Panasnya matahari membuat keringatku mulai turun dari sudut dahi, lalu lalang orang membawa berbagai material bangunan membuat fokusku seakan hilang sesaat.
Memilih menyisi Aku berjalan menuju warung makan proyek yang menjadi tempat ternyaman saat ini, senyuman wanita dari balik etalase membuat Aku hanya bisa membalas seadanya.
Nama Aku Feri, saat ini Aku berusia tiga puluh lima tahun. Profesiku memang terbilang terkenal karena berjasa bagi seluruh rumah, ya Aku adalah seorang arsitek yang saat ini memegang beberapa proyek sekaligu.
Maka, waktu adalah hal yang sangat berharga jika dibandingkan dengan hasil yang ku dapatkan selama ini.
Langit mulai menurunkan egonya, awan seperti mengajak orang-orang untuk beristirahat sejenak dan benar saja hujan turun kemudian.
Jatuh beriringan dengan tempo yang kian cepat saat orang-orang berlarian masuk kedalam bedeng di sisi bangunan.
Aku hanya bisa mengerutkan dahi dan lagi-lagi ingkar pada Istriku jika hari ini akan pulang cepat.
Namanya Elsa, Wanita yang Aku persunting sepuluh tahun lalu dan bisa kalian tebak jika dia adalah seorang wanita cantik yang mengisi malam bahkan siangku.
Perbedaan usia yang tak terlalu jauh membuat obrolan kami tak memiliki jarak yang berarti bahkan saat awal pernikahan Istriku sudah jujur tentang hal yang boleh dan tidak boleh kepada ku.
Termasuk urusan seksual yang ia tekankan, memang agak jarang jika mendengar cerita teman-temanku yang akan berkata jika istrinya terlalu pasif dan cendrung diam saat pertama kali melakukan hubungan seksual.
Masih teringat dibayanganku saat melihat Elsa dengan berani membuka pakaiannya dimalam pertama tanpa diperintah. Istriku seperti tahu harus berbuat seperti apa bahkan diriku tak berkutik sedikitpun.
Hujan masih saja turun dan hanya ada kopi yang menemaniku saat ini. Pemilik warung terlihat menata gorengan didalam etalase karena waktu akan memasuki waktu sore hari.
Para pekerja masih khusyuk didaalm bedeng yang terbuat dari baja ringan itu.
Aku mencoba membenarkan tali Sepatu yang tak Aku sadari lepas, menali sembari membayangkan ekspresi muram Istriku yang lagi dan lagi gagal makan bersama.
“tiba-tiba hujan ya Pak.” Ucap pemilik warung yang baru kali ini Aku lihat.
“Iya nih, teteh nya baru?” balasku melihat wajah baru di proyek perumahan ini.
“Iya pak, saya gantiin Ibu yang lagi pulang rawat Bapak dikampung.”
Aku hanya mengangguk dan melanjutkan obrolan basa-basi diantara kami. Namun tidak dengan hujan yang masih setia membasahi bumi dengan tanpa ragu.
Telepon ku berdering dan menampilkan nama Istriku yang Aku tebak akan mengeluarkan omelan.
“Dimana?” tanya nya.
“Masih di proyek sayang, hujan nya belum berhenti.” Jawabku mengalihkan menjadi video call.
Istriku tak membalas dan tiba-tiba sambungan telepon terputus. Namun, belum saja Aku memeriksa koneksi Istriku kembali menelpon yang kali ini menampilkan wajah Istriku yang tak berias.
Mata bulat dengan hidung mancung membuat siapa saja setidaknya melirik dua kali untuk memastikan jika ada Wanita secantik Istriku.
Ini bukan khayal tapi beberapa kali Ia memergoki pria dewasa yang menoleh saat berjalan melewati Istriku di tempat umum.
Mataku melebar saat Istriku mengalihkan kamera nya menuju bawah dan menampilkan piyama berwarna hitam dengan renda tipis, tiba-tiba tubuhku memanas dan was was jika ada orang lain yang melihat istrinya.
MatAku dengan cepat melihat kearah belakang dan hanya ada penjaga warung yang duduk sembari bermain gawai, rasanya napas ku mulai kembali normal dan tak bisa menutupi ekspresi terkejut.
Dibalik telepon Istriku hanya bisa tertawa dan menampilakn gigi rata dengan bibir tebal yang ingin segera kulumat saat ini.
Aku mematikan panggilan dengan hati yang berdebar rasanya saat ini keingian untuk pulang lebih besar daripada kehujanan, segera Aku menghabiskan sisa kopi digelas dan beranjak menuju motor yang terparkir.
Memang lucu saat pernikahan yang sudah berusia 10 tahun tak membuat kami kehilangan gairah terutama diatas ranjang, entahlah mungkin ini keuntungan memiliki istri yang berani seperti Elsa.
Derasnya hujan membuat semua pengemudi memelankan kendaraan dan membuat perjalanan saat ini sangat lambat, belum lagi banjir di beberapa titik yang membuat pengendara lain berada di jalur yang sama.
Tanganku meremas kencang pada stang motor dan berharap bisa memanaskan jari-jari ku, apalah daya hanya dingin yang kian menusuk dan pikiran akan hangatnya rumah.
Perjalanan yang saharusnya ditempuh hanya dengan waktu satu jam kini Aku masih bergelut dengan waktu hingga dua setengah jam.
Perkiraan ku ada banjir yang terpaksa membuat jalan ditutup, sedikit pusing Aku memilih untuk menyisi dan beristirahat.
Hanya teh panas yang menjadi teman saat hujan sudah berhenti tapi tidak dengan banjir dan macetnya jalan.
Jam sudah menunjukkan angka sembilan lewat saat kendaraan mulai bergerak kembali, tapi tidak dengan Istriku yang tak membalas pesan maupun panggilan.
Hanya bisa mengumpat saat melihat jam pada tanganku yang sudah menunjukkan angka sepuluh.
Dan kini Aku sudah berdiri dengan badan yang basah dan hati yang ikut mendingin, rumah tampak sudah gelap dan hanya lampu dapur yang masih setia melawan gelapnya bayang.
Aku berjalan pelan menuju kamar mandi didekat dapur dan melepas semua pakaian termasuk celana dalam yang lembab saat Aku baru sdar jika jas hujan yang kupai ada robek di beberapa jahitannya.
Tak butuh waktu lama untuk sekedar membilas tubuh dan kembali memakai pakaian yang sudah ada ditas meja dekat kamar mandi, dahiku hanya mengerut pelan dan melihat cahaya dari balik pintu kamar.
Krek.
“Yang.” Ucap ku pelan pada Istriku yang sudah berada di atas ranjang dengan posisi membelakangiku.
“Maaf ya, tadi dijalan mecet total.” Lanjutku sembari naik ketas ranjang dan memeluk tubuh Istriku yang kini sudah berganti pakaian.
“Kemana baju yang tadi dipake video call?” rayu ku dan hanya mendapat gelengen kepala.
“Ayah tidur aja, pasti cape.” Balas Istriku dingin dan menarik selimut hingga Aku hanya bisa melihat segumpal kain dengan tubuh Istriku didalamnya.
Napasku terasa berat karena merasa bersalah sudah menjanjikan akan pulang lebih cepat. Namun, lagi-lagi atas nama pekerjaan Aku tak bisa bergerak banyak.
TRINGG TRINGG
Gawai ku berdering dan menmapilakna nama seseorang yang Aku pastikan akan menanyakan progress desain yang Aku buat.
“Halo Feri.” Ucap seseorang diseberang telepon setalah Aku menggeser ikon <i>call.</i>
“Halo pak, gimana?” jawabku dan menepuk pelan bahu Istriku yang ternyata ikut mendengarkan.
Sedikit berbinacang yang Aku pahami jika desain gedung yang kubuat harus dipercepat dan revisi dibeberapa bagian. Aku melirik pada Istriku yang sudah memasang wajah malas yang membuat Aku tersenyum kecil.
Selesai menelpon Aku hanya bisa menarik napas pelan dan memeluk Istriku yang masih diposisi semula meski kali ini sudah tidak ada selimut yang menghalangi.
“Aku mau kerja dulu ya sayang.” Ucap ku mencium bahu Istriku dan hanya mendapat anggukan.
Ada rasa malas yang membuat langkhku terhenti dan sekedar merenungkan alur hidupku yang tak Aku duga akan seperti ini,
tapi matAku bisa dengan jelas menatap pintu yang berwarna merah muda yang menjadi semangatku malam ini.
Rumah ini sudah menemani ku eelama delapan tahun, ya setelah Aku menikah dengan Elsa Aku memutuskan untuk membuat rumahku ini dengan waktu yang bertahap.
Wajar saja karena saat itu namAku belum dikenal sebagai seorang arsitek tapi tidak dengan kali ini, bahkan sudah ada tiga klien yang menjadi waiting list pada dua bulan kedepan.
Rumah ini terdiri dari empat kamar dengan interior yang kau rencanakan seminimalis mungkin dengan pertimbangan psikologisku yang sampai saat ini tak ada satupun yang mengetahui.
Dimulai dari gerbang depan yang Aku buat dengan bahan bata roster berwarna putih dan taman kecil yang berada tepat disamping pintu masuk menuju rumah.
Sedangkan didalam rumah untuk sebelah kiri Aku menempatkan kamar tamu dan anak pertamAku, sedangkan di sebelah kanan ada kamarku dan anak keduAku.
Untuk halaman belakang disebelah kiri ada ruangan yang terbuat dari peti kemas bekas yang bernuansa rustic,
dan itulah tempat dimana Aku menciptakan banyak desain yang membuat orang terus mencari namAku, bukan sombong tapi hanya itu keahlianku saat ini.
Namun ada satu hal yang tak diketahui oleh siapapun termasuk Istriku, Elsa.
Didalam peti kemas itu Aku membuat pintu rahasia menuju ruang bawah tanah yang terdapat jalan memutar menuju kanan dan berakhir di sebuah ruang rahasia yang bisa memperlihatkan kamarku.
Aneh memang, tapi begitulah diriku yang sampai saat ini belum sembuh dari trauma masa lalu saat kedua orang tuAku acap kali bertengkar bahkan setiap hari.
Dan korbannya adalah Aku yang hanya bisa menangis dan bersembunyi dan berharap bumi dapat menelanku dengan utuh.
Dampaknya saat Aku mempunyai masalah, Aku akan pulang dan bersembunyi pada ruangan rahasia itu.
Bahkan Aku bisa bersembunyi hingga seharian hanya untuk menenangkan hati saat tahu Istriku sempat mengalami keguguran di kehamilan pertama.
Bukannya tak ingin berobat tetapi rasa yang dibawa oleh masa kecilku terlalu sakit untuk disembuhkan agar seperti semula, entahlah sampai kapan trauma ini akan berakhir.
Yang jelas dihdapan ku sudah ada kertas A3 dengan pensil yang Aku genggam,
garis yang kutarik dari arah kanan bergeraka menuju kira dan berlanjut hingga tenggelam dalam lautan imajinasi yang membutakan rasa sakit.
Mataku bolak-balik melihat hasil gambar dengan ucapan klienku, merasa ada yang kurang Aku mencoba memperbaiki dan kembali meneliti jika ada yang kurang dan janggal.
Namun, saat ini sepetinya cukup sampai disini bahkan langit mulai kembali benderang.
TOK..TOK. TOK..
Aku menoleh dan melihat Istriku dengan pakaian yang sama seperti semalam sedang tersenyum kecil dan membawa nampan berisikan gelas dan mangkuk yang mengepulkan asap.
“Sudah selesai yah?” tanya Istriku saat meletakan nampan pada meja didekat pintu.
“Sudah, dede udah pada bangun belum?” balas ku yang dijawab dengan gelengan kepala.
Kalau sudah sepeti ini Aku tahu jika Istriku akan menggodaku dan benar saja Dia langsung mengambil tempat dipahaku dengan tangan yang dikalungkan.
“Wangi banget istri Akuu.” Ucap ku spontan saat Dia meyodorkan lehernya yang putih bersih.
“Ahhhh” Desahnya saat mulutku bergerak menjilati dari atas hingga bawah dengan ritme pelan. Perpaduan keringat dan parfum membuat Aku berdecak beberapa kali karena begitu hangatnya pagi ini.
“Pak Soni datang kemarin mau ngobrol sama kamu” Ucap Istriku ditengah cumbuan yang Aku serang.
“Pak Soni RW baru kita?” tanyaku dan melanjutkan jilatan pada leher Istriku.
“Iya Yah sshhhh katanya masalah tanah sebelah gitu.”
DEG
Aku tertegun saat ada yang membahas tanah sebelah yang mana tanah itu adalah ruangan tersembunyi.
Memang tanah sebelah hanya tanah kosong yang Aku siapkan jika anakku beranjak dewasa tapi apa yang harus ia katakan saat ada sebuah bangunan yang tertutupi ilalang tinggi berada ditengah tanah kosong.
“Biasa aja kali Yah hehe, firasat Aku si mau di pinjam buat acara agustusan.” Tenang Istriku dan membuat Aku tak kunjung tenang.
“Iya juga, dua bulan lalu udah ngasih sinyal si.” Blasku menutupi rasa gugup.
Istriku menggeleng dan mengambil alih permainan dengan langsung membuka pakaiannya dan pagi ini pun semakin hangat dan kian panas di tiap detiknya.
Aku membuka pintu yang berada dibawah karpet ruang kerjaku, ada sebuah tangga dengan lebar satu meter.
Kakiku berjalan menelusuri lorong yang disisinya dipenuhi gambar-gambar yang Aku buat sejak kecil. Termasuk foto Ibuku yang Aku koleksi sejak dulu tapi tidak dengan Bapakku yang mungkin Aku sudah muak dan akan langsung membakarnya.
Tak butuh waktu lama Aku sudah berada disebuah ruangan yang berbentuk persgi panjang dengan sisi kiri berupa dinding beton berwanra hijau tosca dan pada sisi kanan ada sebuah jendela berukuran dua kali satu meter.
Jendala itu menampilkan kamarku yang seprtinya belum dirapihkan karena Istriku terlalu bernafsu tadi pagi hingga anakku berteriak kencang untuk mengurusi kebutuhan pagi ini.
Dari sini pula Aku tahu sifat Istriku yang lain, mulai dirinya yang seringkali berbohong saat Ia tanya sedang apa hingga satu fakta yang membuat Aku semakin tertarik dengan ruangan ini.
Mataku menoleh kerah kanan dan mengambil sebuah figura kayu dyang berisikan foto Aku dan Ibuku saat wisuda. Aku mengelus pelan sebelum telepon ku bergetar dan menampilkan nama Istriku.
“Halo yang.” Ucapku cepat
“Kata Bu Soni suaminya mau kerumah kita. Kamu gak ke kantor kan?” tanya Istriku.
“Aku udah dijalan nih” balasku yang entah mengapa ingin berbohong.
“Kan mobil Aku pakai, kamu naik motor lagi?” tanya Istriku khawatir karena Aku sama sekali belum tidur.
“Naik ojol ini, kamu aja ya yang ngurus masalah sama Pak Soni. Bilang aja halaman di pinggir ga bisa dipakai.” Putusku yang langsung dijawab dengan deheman khas Istriku.
Telepon pun terputus dan menampilkan sebuah wallpaper senyum cantik Istriku saat di Bali tiga bulan lalu.
Wanita yang dapat menerimaku saat belum bekerja, dia juga yang mendamaikan masalah antara Aku dan kedua orang tua.
Wanita yang Aku temui dikantin kampus ternyata sama menaruh hati dan saling paham akan rasa yang meuncul begitu saja.
Sedikit Aku ceritakan dia memilih menjadi Ibu rumah tangga meski sudah bekerja diperusahaan ternama sebagai HRD, tapi Ia memlih mengasuh rumah tangga dan aktif disetiap kegiatan komplek.
Kulitnya berwarna putih dengan mata bulat dan hidung kecil yang mancung.
Mungkin Aku yang terlalu beruntung mendapatkan Elsa yang notabene berasal dari keluarga harmonis tidak seperti Aku yang sudah hancur sedari kecil.
Rasa kantuk segera melanda dan Aku memilih untuk tidur diruangan rahasia ini selaian udara yang bersih ditambah rasa aman yang Aku dapatkan saat menyendiri tanpa dinggangu oleh siapapun.
Empuknya ranjang sepeti racun yang merenggut kesadaranku hingga tak butuh waktu lama Aku sudah masuk kedalam mimpi semu.
Hawa dingin membuat Aku merinding seketika dan terpaksa membuka mata, tanganku melirik jam yang masih meingkat pada pergelangan dan menunjukkan pukul sembilan pagi.
“Sudah dua jam Aku tertidur.” Batinku.
Rasa haus segera datang dan membuatku beranjak dari kasur untuk mengambil minum dari lemari es dipojok ruangan.
Sebotal air mineral kini sudah ku genggam sembari duduk tapat didepan kaca yang memperlihatkan kamarku.
Tampak terang namun kali ini sudah tertata rapih yang menandakan jika Istriku sudah pulang dari mengantarkan kedua anak ku yang bersekolah.
Aku mengambil napas dalam dan melihat ada email baru yang mengiisi kotak notifikasi pada gawai ku.
Desain semalam sudah approve yang berarti hari ini tak ada kegiatan lain selain beristirahat dan ada sebuah buku baru yang akan Aku baca.
Pikiran ku terus berjalan sebelum pintu kamar terbuka dan memperlihatkan Istriku yang sedang memakai handuk dengan rambut basah.
Nafsuku seketika bangkit begitu saja saat bongkahan pantat Istriku membesar karena menunduk untuk mengambil celana dalam pada lemari pakaian.
Akupun memilih membuka celana dan mengocok pelan penisku, seketika hawa dingin berubah menjadi panas saat beberapa kali Istriku mengganti pakaian dalam.
Aku menggeleng dan merasa Istriku sangat pemilih bahkan pakaian dalam sekalipun. Kocokan pada penisku berangsur santai dan nikmat, ada ide jahil yang muncul begitu saja dalam benakku.
TRING…TRING
“Halo yang” sapaku dari balik telepon dan membuat Istriku berhenti mencari pakaian dalam.
Kini Aku bisa melihat Istriku dengan tubuh tanpa sehelai benangpun sedang memegang gawai di pipi sebelah kanannya.
“Ada apa yah?” tanya nya.
“Susu kamu kayaknya makin besar deh” ucapku yang membuat tagan Istriku reflek memegang payudara sebelah kanannya.
“Ihhhh, tau ah. Ada apa Ayah tiba-tiba telepon?” tanya nya penasaran dengan payudara yang menggantung.
“Minta tolong dong ambilin gambar di meja Aku. Terus kirim ke kantor hehe” ucapku asal
“kebiasaan deh Ayah udah Aku bilang juga ah” jawab Istriku lucu dan langsung berjalan tanpa memakai pakaian. Aku menggeleng dan tak percaya jika Istriku berjalan santai tanpa menggunakan pakaian,
ini adalah hal baru bagiku setelah selama ini melihat dari balik cermin.
Saat berjalan Istriku bersenandung asal dan Aku menahan nafsu sembari tetap mengocok penis, namun belum sampai Istriku masuk ke dalam ruang kerja Aku mendengar suara bel dari pintu depan.
“Sebentar! Teriak Istriku dari balik telepon dan tak lama Aku melihat Istriku kembali masuk kedalam kamar sembari berlari.
“Yah ada Pak Soni kayaknya, ini Aku udahin dulu ya teleponnya. Bye.” Ucap Istriku dan memutuskan panggilan sepihak.
Aku hanya bisa diam dan seketika penisku kembali pada posisi lemah, Istriku terlihat terburu-buru hingga lupa memakai BH dan terlihatlah sudah payudaranya yang hanya terutupi kaos putih tipis dan celana pendek selutut.
SalivAku naik turun dan tak percaya jika Istriku memlih tak memkai BH, Aku hanya bisa menahan nafsu yang bangkit begitu saja.
Belum lagi rasa haus yang menjalar dengan cepat dan terpaksa Aku menghabiskan sisa minuman pada botol yang Aku genggam.
Kini pilahan ku hanya dua, diam seperti orang bodoh atau bergerak menuju dalam rumah. Tapi apa jadinya jika Istriku tahu jika Aku berbohong.
Pikiranku sudah dipenuhi oleh gelembung pertanyaan yang siap meledak kapan pun dan Aku memilih untuk mengintip dari arah belakang rumah.
‘Masa bodoh jika Istriku tahu ruangan rahasia ini’ batinku yang sudah dipenuhi rasa amarah.
Aku berjalan dengan cepat menyusuri lorong dibawah tanah dan berakhir di peti kemas yang kosong. Jantungku berdebar kencang dan kini terfokus pada Istriku.
Rasanya euforia ini sudah hilang bertahun-tahun setelah kematian dirinya akan hal dunia.
Munafik memang tapi begitulah diriku, kehadiran buah hatiku hanya seperti kembang api yang akan hilang sesaat tapi tidak dengan hari ini.
Ada rasa jengkel, penasaran bahkan marah secara bersamaan yang datang begitu saja.
Kaki ku melangkah pelan seperti tentara yang mengendap-ngendap dengan mata yang tertuju pada ruang tamu yang hanya tersekat oleh lemari setinggi satu meter yang membentang antara dinding.
Kali ini Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oaleh Istriku pada pria tua berambut tipis itu.
“Masuk Pak, kebetulan suami saya baru saja berangkat kerja” ucap Istriku memberi ruang agar Pak Soni dapat masuk kedalam rumah.
Aku hanya bisa mendecih saat melihat mata jelalatan Pak Soni yang tak lepas dari dada Istriku yang tak memkai BH itu,
Bagai Binatang yang diberi pakan rasanya Pak Soni akan melahap Istriku mentah-mentah.
Detak jantungku berangsur memelan saat tahu jika Pak Soni datang bersama Istrinya, Aku sedikit bersyukur tapi ada rasa sesal yang tak Aku mengerti.
Sesudah melihat itu Aku memilih untuk mundur dan kembali pada ruang rahasiaku karena merasa tak ada hal aneh selain obrolan basa-basi yang membosankan.
Hingga waktu sudah menjelang siang dan Istriku keluar untuk menjemput anak ku dari sekolah dan menjadi kesempatan bagiku untuk masuk kedalam rumah tanpa diketahui siapapun.
Dari atas ranjang Aku berfikir tak selamanya Aku akan bersembunyi jika sewaktu-waktu mendapat pekerjaan yang diluar jangakauan ku.
‘CCTV’
Kata itu muncul begitu saja sebelum Aku memilih untuk kembali tidur saat merasa sudah tak tahan menahan kantuk yang datang dengan cepat.
BERSAMBUNG...