Skip to content

DRAMA Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Collab with Kisanak87 – NO SARA!)

CHAPTER 15​

Kali ini, gue gak bakal berlama-lama bermonolog, dengan bacotan gue seperti biasanya. Serius, meski band serius udah bubar.

Intinya. Karena gue juga gak punya tabungan alesan lagi buat gue kasih ke Dinda yang maksain buat gue harus join kali ini di acara, alhasil, mau gak mau, meski agak kurang semangat, gue pun keluar dari hotel.

Karena gue males ribet, ngantongin kunci kamar hotel berbentuk kartu kemana-mana, alhasil gue nyempetin buat nyetor ke meja resepsionis sebelum gue capcus berjalan keluar lobby.

And then….

Sekarang, disinilah gue berada.

Beneran kan, bro. Gue gak panjang-panjang dalam bermonolog untuk pembukaan chapter kali ini.

Intinya mah, saat ini gue mencoba untuk mengikhlaskan diri buat bergabung dengan sekumpulan orang–orang yang mengenakan pakaian berwarna putih, begitu juga penutup kepalanya yang berwarna putih. Silahkan bayangin sendiri aja bagaimana penampilan para pendamba sorga yang berkumpul di sini ya. Baik itu laki maupun pria, sama-sama berpenampilan yang sering kalian liat baik itu di acara keagamaan maupun di acara serupa yang bertemakan agama. Bahkan kalian juga akan banyak menjumpai pakaian seperti ini saat melaksanakan ibadah umroh maupun ibadah haji. Maaf, bukan maksud kek gimana-gimana, Cuma memang kenyataannya seperti itu. Toh! Gue juga gak ngejudge apa-apa. Hanya sekedar menjelaskan gambaran penampilan nyaris semua orang di sini ke kalian – efek karena malas mendetailkannya aja sih. Haha!

Itu kalo mereka….

Kalo gue, jujur mau di bilang salah kostum, tidak juga. Mau di bilang kostum yang gue pake sudah benar, pun gak gitu juga. Intinynya saat ini, di tengah-tengah kumpulan para pendamba surga, gue terlihat mencolok dari pada peserta yang lain. Gue memakai peci warna hitam, baju koko warna putih dan celana jeans berwarna hitam.

Kami berada didalam aula yang cukup besar dan ditengahnya berjejer meja serta kursi, yang dipakai peserta untuk bercengkrama dan saling tukar cerita. Mereka membentuk kelompok–kelompok kecil sembari menikmati hidangan yang telah disediakan oleh panitia.

Untuk makanan sendiri, jenisnya banyak dan berlimpah ruah. Makanan itu tersusun rapi dibagian pinggir aula dan kita bisa mengambil sepuasnya. Konon kata istri gue, salah satu jama’ah MKTI ini pengusaha tambang dipulau seberang dan dia banyak menyumbang dana untuk acara ini. Sedangkan Gue, gue hanya bisa menyumbangkan pejuh aja. Hahahaha.

Karena sejujurnya juga gue males pake banget buat detailkan kejadian demi kejadian, bahkan suasana di tempat ini, jadi gue banyakin ngeskipnya aja.

Lagian gak penting juga, bukan?

Tapi, kalo gue juga malah diam bae, langsung masuk ke pada intinya, kurang greget. Makanya ada sekilas gue gambarin meski gak detail.

Oke lah. Kenapa malah bahas kemana-mana.

“Ayah mau makan apa?” itu suara Dinda.

Dinda mendekat ke arah gue. Tentulah, yang sebelumnya gue perhatikan tadi tengah berkumpul dengan kawanannya si Tita, Mia, bu Sari dan siapa lagi kalo bukan, the one and only pemilik tubuh menggiurkan itu, Umi Rahmi yang mempesona. Baca : napsuin. Mereka semua selain Dinda, masih mengobrol tidak jauh dari kami.

Untuk Buya yang katanya mengundang gue secara khusus, dia berada didepan meja utama sana dan dia berkumpul dengan para petinggi MKTI dari berbagai daerah.

“Ayah mau yang berkuah aja Bun. Bakso ada kan?” cetus gue. Karena gue lagi males makan nasi malam ini. Lagi males ngonsumsi karbohidrat bro.

“Ada. Kita kesana yuk.” Ajak Dinda.

Begitu kami berdua melewati kumpulan para wanita bahenol yang gue sempat sebutin sebelumnya itu, salah satu dari mereka malah langsung bertanya. “Mau kemana bu?” itu Tita yang bertanya, tapi tentu yang lainnya langsung mengalihkan fokus mereka ke arah gue dan Dinda.

“Mau ambil bakso” Dinda dengan tangan kanannya mengelendot mesra ditangan kiri gue.

“Mau juga dong.” Celetuk Umi Rahmi. Spontan sepasang mata tak berakhlak gue ini bukannya langsung menatap ke wajahnya, karena memang sudah seharusnya ketika ada orang lain yang mengajak berbicara atau sekedar bertanya, kita harus segera melihat ke wajahnya. Tapi nyatanya, kali ini gue langsung mengarahkan pandangan gue ke……..

Anjir.

Payudara oh Payudara. Masih terngiang dengan jelas imagi gue tadi, yang mengimaginasikan si kembar bulat sempurna itu yang memiliki puting dengan aerola yang memagarinya, melambai tanda perpisahan. Ahhh, apakah gue bakal kembali di pertemukan dengan si kembar sekal menggiurkan itu?

Entah apakah wanita itu menyadarinya, tapi karena gue juga takut jika nantinya di kira melecehkan, sesegera mungkin gue alihkan ke atas. Menatap wajahnya yang manis.

Wanita itu tersenyum….

“Biar saya ambilkan sekalian Mi.” Gue sangat berharap dia mau menerima tawaran gue. Bukan sekedar berharap untuk menerima tawaran tersebut sih, lebih ke – mengharapkan jika gue di beri kesempatan mengobrol dengannya hanya empat mata. Alias hanya berdua saja.

“Gak usah dek Adam, saya ambil sendiri aja.” Umi Rahmi tersenyum, lalu dia berjalan lebih dulu bersama bu Sari. Ah, dia menolak rupanya. Apakah nanti dia juga akan menolak ajakan gue sekedar ‘ngobrol’ berdua dengannya?

Let’s see….

“Pak Adam pilih kasih ih. Masa cuman Umi Rahmi aja yang ditawarin?” Lah. Ini lagi satu. Gue lagi gak ngarepin dia buat menyahut atau sekedar menangkap sebuah maksud penuh makna dari gue tadi. Berharap umi Rahmi yang langsung nangkep, bahkan kalo boleh langsung menindakinya. Ini malah, dari umi Rahmi masih zonk. Malah datangnya dari Tita yang tiba-tiba protes. Bahkan cara dia bersuara terdengar agak sedikit manja.

“Iya bu Tit. Kirain kita juga ditawarin tadi” Mia ikut menyahut.

“Mau diambilin juga? Diambilin aja, apa gak sekalian disuapin aja?” Gue bertanya sambil memainkan kedua alis mata.

“Ayah, genit banget sih?” Gue yakin mah, Dinda pasti nangkep kalo ini hanya candaan gue semata, yang emang bukan kali pertama gue lakukin di hadapannya. Meski, cara dia memprotes tadi sambil menggoyangkan tangannya dilengan gue.

Awalnya sih, gue juga gak ngarep banget dapat respon positif. Tapi, tau-taunya gue salah. Karena jenak berikutnya setelah Dinda berucap, serentak banget kedua wanita di dekat kami itu menyahut bersamaan.

“Mauuu.” Kompak banget nih dua betina euy. Yah, mereka…. Tita dan Mia menjawab dengan kompak.

“Enak aja, ambil sendirilah. Ayo Yah.” Canda Dinda lalu dia menarik tangan gue buat ikut bersamanya.

“Hihihi.” Begitu gue dan Dinda udah pergi, gue sempat mendengar Tita dan Mia tertawa dibelakang kami.

Ternyata kedua wanita itu, pun ikutan langkah kami dari belakang setelah tadi, mereka sempat tertawa sudah seperti nenek sihir aja.

Alhasil, kini, kami beremat pun menyusul Umi Rahmi dan bu Sari yang telah mengantri dimeja makan terlebih dahulu.

“Yah. Baksonya ngantri. Bunda mau siomay aja.” Dinda melepaskan gelendotannya dilengan gue.

“Ya Bun.” Gue tetap mengambil bakso, karena Umi Rahmi sedang mengantri disana. Bu Sari entah dimana, jadi disinilah kesempatan gue untuk mengobrol dengannya, ya walaupun tidak terlalu panjang antriannya.

Karena itulah….

Pada akhirnya gue mencoba memberanikan diri buat mendekat kearahnya. Tak sulit sih, karena sekarang gue udah berhasil berdiri tepat dibelakangnya.

Ehem….

Ehem….

Woi. Itu masih sekedar deheman dalam hati. Hahahaha. Masih berusaha untuk menguatkan diri buat mengeluarkan sekalimat yang receh dan penuh kebasa-basian di awal.

Bismilah.

Jingannnn. Pake kata bismillah pula. Tepok jidat.

Dah lah. Gue segera saja mendekatkan wajah ke telinganya. “Suka bakso juga umi?”

“Astaghfirullah hal’adzim.” Loh he? Malah kaget gitu si akhwat cantik ini. “Dek Adam ini ngagetin aja.” Setelahnya, setelah ia melanjutkan ucapannya, sembari menoleh ke arah gue di belakangnya. Tangannya itu…. uh, pengen gue gantiin buat mengelus dadanya yang besar itu dengan pelan dan penuh kelembutan.

Andai kata….

Tiba-tiba dia ngelanjutin lagi omongannya, buat nyuruh gue yang ngelus dadanya itu, sumpah bro…. gue berani di sumpah pake cara apapun, gue pasti gak bakal nolak. Bahkan gue akan melakukannya dengan senang hati.

“Oh, maaf Mi. Saya gak tau kalau Umi lagi melamun.”

“Gak apa-apa. Tadi tanya apa dek Adam?”

“Anu Mi. suka bakso juga?” Tanya gue ragu, karena gue berencana mengajaknya makan bakso, tapi berdua aja. Ini rencana dadakan, tapi kalau berhasil, gue bisa menjalankan rencana yang lain, agar bisa lebih dekat dengannya lagi.

“Gimana ya? Biasa aja sih dek. Cuman karena tadi dek Adam bilang mau makan bakso, saya jadi kepengin”

Andai gue ajekin menikmati dua bakso gue, baca ; zakar… mau gak?

Ahhh. Kebanyakan berimagi nih.

“Oh. Kirain suka banget.” Kata gue yang aslinya. Karena apa yang di narasikan dalam hati sejak tadi, gak mungkin banget gue jabarkan di hadapan wanita ini.

“Emangnya kenapa Dek? Dek Adam mau ajakin makan bakso diluar?”

Wadawwww…..

Wahhh, kok jadi lancar begini rencana gue? biji gue mana langsung cenat-cenut, coeg!

Emang sih ya. Gue sempat baca salah satu novel, karya dari si penulis yang juga menulis cerita jalan kehidupan gue ini, jikalau orang ingin berbuat jahat, pasti akan di mudahkan oleh sang khaliq. Sedangkan orang yang ingin berbuat kebaikan, ada aja aral rintangan yang bakal menunggunya.

Nah… berarti… kalo beneran si umi serius nih, jadi enak dong gue. Gue gak perlu susah-susah buat membentuk sebuah rencana buat di awal mengajaknya sekedar berduaan saja. Toh! Dia udah cetusin juga, bukan?

Tapi….

Serius tidaknya, mah. Mari kita buktikan.

“Rencananya sih. Tapi kalau Umi gak terlalu suka, ya gak jadi.” Sengaja gue tarik ulur. Tentu sekedar ingin lihat rekasinya.

“Hem. Gimana ya?” Antrian didepan sudah habis dan obrolan kamipun langsung terhenti, karena Umi sedang meracik baksonya.

“Jangan terlalu pedas Mi, nanti sakit perut loh.”

“Astaghfirullah hal’adzim.” Anjir. Giliran gue yang kaget. Karena tiba-tiba kayak anak setan aja maen ngomong tepat di dekat telinga gue.

Begitu gue berbalik dikit.

Ahhh sial.

Dia lagi…. dia lagi.

Itu si Tita, yang baru saja nyeletuk dari arah belakang.

Sejak kapan Tita ada dibelakang gue? Apa dia dengar obrolan gue dengan Umi Rahmi tadi? Wah, kacau ini. Bisa–bisa dilaporkan ke Dinda ini.

“Iya. Ini dikit aja kok sambelnya. Duluan ke meja ya.” Pamit Umi Rahmi kepada kami berdua.

Loh, he.

Terus lanjutannya bagaimana ini? Dia mau diajak makan bakso atau kagak?
Argghhh. Ini semua gara–gara si biang kerok Tita, rencana gue jadi berantakan.

Kenapa nasib gue seharian seperti ini? Tadi waktu berduaan sama Dinda, Umi Rahmi mengganggu sampai birahi gue harus tertunda berberapa kali. Sekarang giliran sudah berduaan sama Umi Rahmi, giliran Tita yang mengganggunya. Kenapa bisa beruntun seperti ini?

Lama-lama, gue kontolin juga nih betina. Hahay!
Dah ah, kenapa jadi bahas nih betina pengganggu. Gue targetin di awal, adalah umi Rahmi. Apalagi dia juga sempat mendengar, bahkan gue kayaknya agak ragu jika dia hanya sekedar mendengar saja, mungkin saja sudah ngintip dan melihat dengan jelas bagaimana perkasanya gue di ranjang yang tengah menyiksa Dinda tadi.

“Iya Mi.” itu balasan gue ke umi Rahmi, setelahnya, gue langsung mengambil bakso yang ada dimeja dan meraciknya, dengan sedikit rasa gondok.

“Jadi yang diajak makan bakso Cuma Umi Rahmi aja ya Pak?” Errr. Bener kan, dia dengerin semua obrolan gue tadi. Mana dia sudah berdiri disebelah gue, sekarang.

Apa gue pancing aje ya? Kali aja gak dapet kakap, dapat kerapuh di awal gak masalah. Hahay!

“Bu Tita mau ikut juga? Tapi jangan bertiga, gak enak. Gantian aja ya.” Ucap gue. Kalo lo langsung nyamber, berarti lo paham maksud gue. Makna dari ‘makan bakso’ gue tentulah berbeda dari arti makan bakso yang sebenarnya.

“Gak enak atau gak kuat?” Tanya Tita dengan tatapan sedikit nakal, lalu dia meninggalkan gue dengan cueknya,

Wah…..

Kayaknya beneran di samber umpan gue. Tapi sayangnya, si ikan kerapuhnya malah langsung capcus gak jelas gitu.

Baiklah…

Sepertinya gue harus menjalankan plan B. mengganti target pertama gue dari kakap menjadi kerapuh. Dari umi Rahmi ke si Tita ini. Atau jangan-jangan, justru yang kakap, si Tita ini ya? Hahay! Kalo bener terjadi, bakal nangis bombay dah lakinya di tengah lautan.

Berdasarkan pemikiran rencana itu, biar target gak lepas begitu saja, gue pun mengejar. Bukan mengejar seperti maling. Cukup berjalan, karena si Tita juga ninggalin gue dengan berjalan pelan kok. Gak sampai lari.

“Kuat apa dulu ini.?” Begitu tiba, begitu udah berjalan di sebelahnya, gue bertanya.

“Eh, meja kita penuh.” Bukannya menjawab. Tita justru menujuk kearah tempat kami duduk tadi.

Dinda, Umi Rahmi, bu Susi dan Mia duduk ditempat yang mereka duduki tadi, sementara kursi gue dan kursi Tita ditempati orang lain.

Wadau….

Gusti semesta. Apakah ini jalan yang engkau berikan pada hambamu yang masih nakal ini?

“Terus?” gumam gue. Dan pasti di denger ma Tita, karena dia pas banget berdiri di samping gue.

“Hmm…. cari tempat lain aja yuk”

Wah. Gue punya ide.

“Kalo tempat lainnya, di kamar saya aja, gimana?”

Just pancingan semata kawan. Kalo di samber, syukur. Kalo kagak. Ya sukurin.

“Hmmm…. pasti….” Tita menggantung, lalu lebih mendekatkan wajahnya di telinga gue. Selanjutnya, dia mulai berbisik, meski agak geli sih terasa di telinga gue, “Mau nyari informasi tentang umi Rahmi kan ya? Hihihi….”

Degh!

Bajigur…. Tita menyadari kalo gue????

Modyar.

“Dorrrrr! Hihihi muka pak Adam lucu deh, kayak habis ketangkap basah nyolong duit emak di lemari”

Mampus kalo kek gini.

Bukannya dapet kakap atau kerapuh, bahkan kerang bermutiara gue yang mendiami rumah gue selama ini, pun bakal lenyap dari hidup gue, kalo sampai si betina ini menyanyi. Apalagi kalo cara dia menyanyi seperti rocker di jaman old.






Udah kan ya?

Udah 2 chapter sekaligus saya posting malam ini. Karena berhubung lagi banyak proyek cerita-cerita lain yang lagi collab juga dengan beberapa suhu ternama lainnya yang lagi ane kerjain, jadi untuk Adam dan para akhwat-akhwat majelisnya, ane liburin updatenya beberapa hari kemudian. atau mungkin saja, seminggu or dua minggu kemudian. Hahahay…..!

Kalo gak sabar nungguin, ya udah. Pada tahu kan, harus bagaimana?

BERSAMBUNG CHAPTER 16

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *