CHAPTER 18
“Jadi bagaimana bu?” Gue duduk ditepi ranjang tepat dihadapan Tita yang masih duduk di sofa kecil itu. Jujur, sengaja gue bertanya seperti ini, agar tidak terlalu memperlihatkan kalau gue sange pake banget sama tubuhnya.
“Hmm, mungkin mau melanjutkan saran dari bapak tadi… masalah suami saya” wahh, cara dia natap. Sumpah. Bikin pala komeng langsung natcenut.
Tatapannya agak sedikit sayu, bibirnya sedikit membuka. Ah, apakah ini hanya sebagian imagi liar gue? Tapi…. ini nyata bro. dia menatap gue seakan sedang menahan sesuatu di dalam sana. Bukan menahan ee loh ya. Karena gue paham betul bagaimana ekspresi yang terjadi ketika sedang ada desakan dari dalam bokong. Hahay
Anjir. Ini kenapa malah bahas ginian ah. Bikin nyaris hilang selera gue.
Ya sudahlah….
Mari kita mainkan kembali speak-speak Jahannam buat menaklukkan target pertama gue ini.
“Ada apa dengan suami Ibu? Apa dia selingkuh?” Gue mencoba santai dan tenang disamping Tita. “Ceritakan ke saya, semoga dengan bercerita, perasaan ibu kembali plong. Mood ibu kembali membaik”
“Nggak, gak gitu pak.” Ia membalas. Sedikit menghela nafas. Berarti, peluang buat langsung nyerang ke titi utama, urung terjadi. Karena jauh lebih baik, dan lebih mudah tentunya untuk menyerang di saat – masalah problematiknya saat ini karena peselingkuhan. Cuma… ternyata gue salah nebak. Dan kini, gue harus memutar otak lagi sembari menunggu alasannya yang sebenar-benarnya.
“Lalu?” gue Cuma sekedar bergumam. Lebih tepatnya memburu kalimat selanjutnya.
“Ini bukan tetang perselingkuhan, tapi karena suami saya cutinya yang harusnya minggu depan, ditunda sampai enam bulan lagi. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan dan hanya suami saya saja yang bisa mengerjakannya.” Tita terlihat mulai sedih. Wah makin parah dong. Makin lama pula wanita ini menahan hasrat seksualnya. Padahal dia sudah begitu mendambakan, seminggu lagi, sawahnya yang kering akan di garap oleh sang suami.
“Ohh, begitu. Harusnya Ibu senang dong. Dengan begitu, karir suami ibu akan semakin naik dan berimbas pada perekonomian keluarga ibu yang tentu saja juga akan semakin baik.” Gue mencoba menenangkannya.
“Wanita itu bukan hanya butuh perekonomian yang baik pak. Tapi wanita juga butuh perhatian serta sentuhan dari pasangan hidupnya. Apalagi kami bertemunya enam bulan sekali, masa harus ditunda enam bulan lagi.” Ia membalas.
“Saya tidak menyalahkan bu Tita dan saya juga tidak membenarkan suami ibu. Tapi saya yakin, suami ibu juga pasti dilema waktu menerima tawaran itu.” Ulur terus. Hahaha.
Belum saatnya gue tarik. Gue masih mengulur mata kail hingga ke dasarnya. Dan pasti akan ada waktunya buat gue narik hingga ke permukaan.
Tita menarik nafasnya dalam–dalam, setelah itu kamipun diam beberapa saat.
Hmm, dari cara dia berekspresi, menatap yang jauh keluar. Gue langsung yakin, kalo pikiran Tita melayang jauh, memikirkan suaminya, serta tanpa sadar, jika satu-satunya pria yang bersamanya di kamar hotel ini, tengah fokus menjelajahi tubuhnya yang menggiurkan banget.
Karena percayalah kawan. Akhwat sepertinya, jangan pernah gegabah dan bertindak grasak-grusuk di hadapannya. Dia pasti tak akan menyukai. Pelan tapi penuh kepastian. Hahay!
“Kok Pak Adam diem aja, sih?” begitu akhirnya Tita memprotes, dan sadar kalau sedari tadi gue malah asyik menatap bongkahan dadanya.
“Hmm tugas saya di sini, hanya sebagai pendengar. Apa yang ingin saya sampaikan, pun telah saya sampaikan. Bohong rasanya jika saya tidak merasakan apa yang bu Tita rasakan. Apalagi ini akan menambah durasi setahun lamanya, ibu tidak merasakan nafkah batin dari suami…. dan gak mungkin, nafkah itu harus ibu cari di luaran sana. Saya mengenal baik ibu. Ibu bukan orang seperti itu. Ibu masih istimewa di mata saya. Amat sangat istimewa”
Setelah mengatakan itu, gue sempat melihat ada bias memerah pada kedua pipinya yang putih. Wah…. rupanya dia tergoda akan rayuan receh gue.
“Pak Adam lagi ngegombal ih”
“Saya sedang tidak menggombal bu. Saya beneran jujur kok”
Hening lagi…..
Sampai sini. Gue makin di buat menimbang-nimbang. Apakah gue harus maju selangkah atau malah langkah panjang buat memulai apa yang seharusnya ku mulai sejak tadi, atau malah tetap bertahan dalam situasi seperti sekarang ini, situasi yang hanya mengobrol doang?
“Kalo bu Dinda di posisi saya, kira-kira apa yang akan bu Dinda lakuin ya?” waduh. Kok malah ngasih case baru kek gini. Hmm, tapi, kalo gue gak jawab, pasti kelanjutan dari acara bertemunya kami di kamar ini tentu gak akan menemukan titik ‘Terang’.
“Saya gak bisa yakin, Dinda akan tetap seperti sekarang ini. Tetap pada prinsipnya mempertahankan legalitas pernikahan kami, meski desakan dan siksaan hasratnya semakin menyiksanya.”
“Nah itu….” dia bergumam. Yes! Apakah jawaban gue tadi sebagai pembuka pintu baru? Semoga saja. Lets see, bro.
“Nah sekarang pertanyaan itu saya balikkan ke ibu…. apakah ibu akan tetap bertahan selama 6 bulan lagi sampai suami pulang?”
Wahh dia diam.
Diamnya, menghadirkan keraguan dalam dirinya. Yes of course brada. Wanita di hadapan gue ini, sekarang sedang di landa dilema, di landa keraguan yang teramat sangat di dalam sana. Dan gue yakin, sedikit saja gue bakar sumbunya, maka birahinya akan terbakar dengan sempurna. Dan itulah yang sedang gue rencanakan.
“Intinya… saya siap membantu. Membantu dengan baik dan tetap terjaga rahasia sampai kapanpun” aku bergumam saja. Tapi, Tita tidak merespon dengan ucapan, hanya sekedar melihat ke arah mata gue doang.
“Dengan…. de… dengan cara apa… Pak Adam akan membantu saya?”
Gue tersenyum.
Senyum penuh kemenangan.
“Apapun…. selama itu bisa membuat ibu kembali tersenyum. Karena jujur, senyuman ibu adalah kebahagiaan bagi saya”
“Uhh. Gombalan bapak emang gak ada obat”
“Intinya jika memang ibu Tita bener-bener membutuhkan bantuan dari saya, maka silahkan langsung panggil saya saja. Tak perlu sungkan. Saya akan siap 24 jam melayani.” Akhirnya, obrolan panjang tentang suaminya pun berakhir
“Makasih ya, Pak…. emang Pak Adam baik banget” Tita tersenyum dan dia mencoba mengalihkan pikirannya dari suaminya.
Wah, baik apaan! Kalau lelaki baik tuh, sudah jelas istri orang, mestinya tidak di ajak berduaan di kamar hotel. Hahay
“Btw, kok pak Adam berani banget ngajakin Tita ke kamar?” Tita menyandarkan punggungnya disofa, sehingga membuat buah dadanya yang menggoda itu semakin membusung, seolah meminta ke penjantan di hadapannya ini untuk segera menjamahnya.
“Kalo Dinda datang tiba-tiba gimana?” sekali lagi, dari cara ia berucap ini, tampak keraguan dan kehati-hatian di nadanya. Yang artinya, mulai balance antara positif dan negatif. Tentu, telah hadir keinginan dari sebagian dirinya yang ingin melakukan sesuatu dengan suami Dinda. Dan itu…. adalah gue.
“Dia kalau tidur lama, puleees banget.” Gue mencoba meyakinkan.
“Hmm… masih banyak waktu dong ngobrolnya.” Wah…. ‘Masih Banyak Waktu’. Tiga kata itu, kalo orang lain denger pasti biasa saja, tapi bagi gue, tentu ada sebuah makna yang tersembunyi di dalamnya.
Mana…. sambil ngomong gitu, senyumannya… gila. Makin menggoda banget bro.
“Lebih dari sekedar ngobrol juga boleh,” gak gak mundur. Maju terus.
Apalagi sesi curcolnya dengan suami berakhir, kalo dia gak meminta pamit, lalu apa coba alasan dia masih bertahan di kamar gue, mana bareng gue yang sudah jelas-jelas telah menunjukkan sedari awal pertemuan, jika gue amat sangat berhasrat terhadap tubuhnya.
“Kok gitu? Padahal menurutku, istri bapak itu jauh lebih cantik daripada aku lho,” katanya. Wah sudah bukan pake saya lagi. Sudah mulai berkomunikasi yang nyaman dengan penggunaan kata aku. Percayalah kawan, kalo kalian liat pasti biasa saja, tapi, merubah cara panggil seseorang tentulah ada tujuannya tanpa bener-bener di sadari sama si empunya suara.
“Bu Tita lebih mantep. Lebih berpengalaman. Dan lagi pula, lebih penuh itunya.”
“Itu apaan?” matanya mendelik.
“Itu, kasih sayangnya,” gue tertawa. Padahal maksud gue udah jelas-jelas adalah lebih penuh air susunya. Eh, apa sepasang payudaranya masih ber-ASI? Entahlah. Kalo gak di buktikan, mana bisa gue tahu.
“Karena itu saya agak penasaran sama kasih sayang bu Tita yang sebenarnya. Jadi pengen nyobain juga. Hehe”
Loh he? Kenapa tangan gue malah langsung nyamber tangannya? Malah kini di belai lembut jemari akhwat berlaki pelaut ini.
“Nggak takut sama suamiku? Suamiku galak lho.” Dia memperingatkan, namun tetap membiarkan tangan kami saling bersentuhan.
“Demi bisa ketemu sama kamu, gak apa-apa deh. Lagian kan, suami kamu lagi gak di darat.” Sekilas kami bertatapan, dan Tita tersenyum.
“Makasih ya, Pak Adam. Bapak bikin aku nggak kesepian lagi.” bisiknya merdu.
“Bu Tita bener-bener… sungguh cantik sekali.” Gue makin merayu. Rayuan receh sih, Cuma tetap aja menimbulkan rona di wajah akhwat satu ini.
Dan…
Inilah kesempatan bagi gue buat menindak lanjuti kedatangannya kesini. Masa iya sih, endingnya malah ngobrol doank. Gak ada asyiknya kan, bro? namanya juga babak bonus, ya harus diambil bonusnya.
Maka dari itu….
Begitu bibir merekahnya mulai bergerak buat membalas ucapan gue itu….. “Makasih, Pak… ahh!!” spontan kalimatnya di akhiri dengan desahan, karena gue langsung bergerak buat merangkulnya, namun kemudian balas mendekap. Karena penerimaannya seperti itu, maka gue semakin yakin, tak bakal ada penolakan yang berarti yang bakal gue dapatkan, makanya, hal itu-pun pada akhirnya gue tanpa mikir panjang, langsung mengambil kesempatan untuk mencucup manis bibirnya tanpa permisi.
“Aih… j-jangan, Pak Adam… hmph, hmph, hmph…” jangan…. jangan. Tapi malah dateng ke sini.
Hadeh….. ucapannya tentu saja mendadak terhenti begitu mulutnya yang sensual kulumat rakus. Dan karena terus memeluk, ujung-ujungnya ia jadi tidak bisa berbuat apa-apa.
Terpaksa ia pasrah terhadap semua serangan dari gue.
Namun ketika gue mulai sedikit meraba tonjolan payudaranya, barulah dia memekik. “Ahh, Pak Adam! Jangaaan!” Tita yang semula diam, jadi kelimpungan sendiri. Ini seperti lagu dangdut. Kau yang mulai… kau yang mengakhiri…
“Yah, Bu. Nanggung nih.” gue ngos-ngosan.
Mana tangan gue masih namplok di payudaranya, selanjutnya malah mulai meremas-remas lembut disana. Terasa begitu besar dan kenyal meski masih tertutup baju panjang dan jilbab lebar.
“Jangan, Pak Adam. Aku nggak mau terlalu jauh…. aku takut khlaf!” Jiah. katanya tersadar.
Jenak berikutnya, dari kesadarannya itulah dia segera menepis tangan gue untuk memblokir pabrik susunya. Khilaf, tapi apa coba tujuannya dia datang kesini, menerima undangan dari gue tadi. Gak mungkin kan, Cuma sekedar curcul? Itu mah Cuma penambah alasan buat yakin jika ia akan memulai sebuah perselingkuhan. Dan target yang akan ia jadikan teman selingkuh, siapa lagi kalo bukan gue. Hahay!
“Lha, terus…. apa yang harus kita lakukan donk sekarang? Gak mungkin kan, kita maen gaplek gitu”
“Lagian pasti kedatangan bu Tita ke kamar saya, bukan untuk sekedar ngajakin ngobrol doang, kan?” gue melanjutkan. Lebih ke protes sih.
“Ih, enggak gitu juga. Aku kan cuma ingin curhat aja,”
Gak boleh berhenti sih ini. Mana si otong udah mengeras banget di bawah. Alhasil, meski gagal di atas, gue gak habis ide. Tangan gue segera memanuver langkahnya, meliuk ke arah lain.
Tanpa di sadari lawan yang terkena serangan mendadak, secepat kilat tangan gue langsung menyingkap rok gombrongnya sampai celana dalamnya kelihatan.
“Ikhhhh….” Tita kontan menjerit, namun telat dalam memblokade hingga gue sukses membentangkan gerbang mungil miliknya yang berisi jalan licin bebas hambatan.
“Ahh.., j-jangan, Pak. Ampun, aku nyeraaah…” seru si cantik itu pada akhirnya ketika sudah benar-benar tak berdaya.
Gue tak menyia-nyiakan kesempatan. Tak boleh ada jedah sama sekali meski itu sepersekian detik saja. Maka dari itu, dengan gerakan super kilat lagi, sesegera mungkin gue menarik turun boxer yang gue kenakan ini, hingga jenak berikutnya…..
Wanita ini langsung menunjukkan ekspresi yang ahhhh….
Ia sampai terhenyak saat melihat ukuran penis gue yang luar biasa.
“Ini kan yang Bu Tita cari?” sambil memegang batangnya, gue berucap menantang.
Ekspresinya lucu, tapi napsuin banget. Bagaimana tidak, dua kubu mulai beradu di sana. Ingin melihat si otong yang berdiri perkasa, tapi tampak masih sedikit merasa risih. Namun, dia tetap saja gak mampu bertahan, buktinya, tetap saja dia melirik kejantanan gue.
Satu bukti lagi nih, kalo gue semakin yakin, sedikit lagi gue bakal menerobos jalan peranakannya. Begitu gue sentuh tangannya dia tidak menolak. Begitu gue bimbing tangannya agar memegang benda panjang itu, lagi-lagi ia tidak menunjukkan penolakan yang berarti sama sekali.
Apalagi…. tiba-tiba ia mendesah, “Ahh…”
“Senuthlah bu…. nikmati otot-ototnya”
Kini….
Tanpa ragu lagi, jari lentiknya yang begitu hangat mulai melingkari batang bertopi baja gue di bawah sana. Gue gak ambil jedah, sesegera mungkin mulai menggerakkan naik-turun agar dia mulai mengocok perlahan.
Sempat gue intip celana dalamnya. Untuk pertama kalinya gue bisa melihat belahan vaginanya meski tidak secara utuh. Warnanya kemerahan, dengan celah mungil membentang di bagian tengahnya. Nampak benda itu sudah basah. Terhiasi rerumputan yang halus.
Ah indahnya vagina wanita ini….
Tita rupanya tidak protes saat tubuhnya gue inspeksi, karena dia masih bengong melihat batang kemaluan gue yang masih ia genggam.
“Sini, Bu.” Tidak tahan, tanpa tendeng aling-aling lagi, segera gue berdirikan, membimbingnya ke ranjang tempat gue duduk tadi.
Masih belum mendapatkan respon, karena si betina masih diem terpukau, sesegera mungkin gue rebahkan tubuh sintalnya di atas ranjang.
Saatnya beraksi….
Dengan penuh nafsu, gue mulai mencium bibirnya kembali, tak lupa juga bongkahan dadanya yang masih tertutup rapat, dan seluruh tubuhnya, sampai Tita akhirnya menggelinjang kegelian.
“S-sudah, Pak Adam. Cepat lakukan, sebelum aku berubah pikiran.” Katanya sambil mengerang.
Yeah!
Gue sampe gemas mendengarnya. Tenang bu Tita. Gue pasti akan ngentoin elu. Bakal ngontolin vagina nikmat lo ini, sayang.
Tanpa pikir panjang lagi, sesegera mungkin gue memposisikan diri di posisi yang tepat, tepat pada tengah-tengah kedua tungkai kakinya yang mengangkang. Serta berada di atas tubuhnya yang lunglai dan pasrah.
Spontan juga, secara samar imagi gue langsung menciptakan backsound tipis, sebuah lagu dari Ahmad Band besutan Ahmad Dani pentolan Dewa 19. “Aku Sedang Ingin Bercinta”
Posisi Tita telentang dengan kaki mengangkang lebar, membuka bibir kewanitaannya agar memberikan jalan lebih lebar buat si komeng di bawah sana.
Inilah saatnya.
Sumpah…. Gue sampai menggertakkan gigi, saking tak mampu menahan sensasi denyutan pada penis di bawah sana, apalagi, mulai adanya proses sentuhan dengan permukaan kewanitaan Tita yang semakin membasah.
Damailah sayangku….
Damaikan dirimu dengan pejantan, suami sahabatmu ini.
Kan ku ajak engkau ke nirwana yang sesungguhnya.
“Pak Adam…. shhh. Buruan masukin. Uhhh”
Errrrr!
Oh shit. Baru kepalanya saja sudah nikmat banget rasanya.
Dikit lagi….
Sedikit lagi, gue bakal ngentotin istri pelaut ini.
Sedikit lagi. Bahkan gue rasain kepala pionnya mulai mencoba menerobos celahnya.
…
…
…
Ahhhhhhh……………………
Kring…. Kring…..
Itu bukan desahan penuh kenikmatan woi. Itu desahan penuh kekesalan. Gimana tidak, tiba-tiba saja ponsel gue berdering. Mana mata gue dengan bodohnya melirik ke layarnya. Dan di sana, terpampang jelas nama Dinda.
Wahh….
“Pak. Jawab dulu telfonnya” uh, akhwat satu ini rupanya bisa mengontrol. Alhasil, si komeng melenceng. Gagal penetrasi coeg!
Tapi gue mengacuhkan.
Gue mencoba memposisikannya kembali.
“Sedikit lagi bakal masuk bu…. abaikan aja”
“Ssstttt”
Begitu gue mulai mencoba menyentuh bibir kewanitannya.
Zighhh!!
SAKIIITTTT!
Anjir….
Kayaknya peler gue ada yang pecah dah, kena sundulan lutut maut si akhwat satu ini.
BERSAMBUNG CHAPTER 19