CHAPTER 5
Guncangan mental yang kuterima terutama ketika melewati proses inisiasi membuatku langsung tertidur. Entah dimana aku tidur. Tapi begitu aku bangun aku telah berada di atas kasurku. Bahkan tubuhku sekarang sudah kembali memakai baju piyama. Entah siapa yang memakaikan bajuku.
Tapi begitu aku terbangun dari kasurku, aku melihat sesuatu yang aneh. Ada semacam kerangkek berbentuk balok setinggi setengah meter. Tapi jauh lebih mengejutkan lagi melihat ada orang di dalam sana dalam kondisi bugil tanpa ketahuan.
“Kak Rara!”seruku setengah berteriak begitu menyadari siapa perempuan berambut panjang sepunggung itu.
Mendengar suaraku seketika membuat Kak Rara mengangkat kepalanya hingga mata kami saling beradu pandang.
“GUK GUK!”Kak Rara menggongong kencang layaknya anjing.
“Kakak kenapa sih.”Aku lekas berjongkok dan memandangnya yang berada dalam posisi merangkak.
“GUK GUK GUK!!”Kak Rara menyundul-nyundul bagian grandel kandang anjingnya
“Maksudnya apa kak? Kenapa kakak jadi begini?”
“GUK GUK GUK!”Kak Rara kembali menyundul bagian grendel dengan kepalanya. Lidahnya terjulur dan matanya terus mengisiyaratkan bagian tersebut.
Aku dengan ragu membuka grandel kandang sekaligus pintu kandang. Kak Rara kemudian melangkah keluar dengan posisi merangkak.
“Makasih sudah keluarin aku ya, Ta,”Akhirnya Kak Rara berbicara bahasa manusia.”Selama di kandang aku gak boleh ngomong sama sekali.”
“Ini apa maksudnya kak.”Aku mencoba untuk menutupi tubuh Kak Rara yang bugil dengan selimut.
“Jangan Ta.”Kak Rara langsung memberontak sehingga selimut itu tersingkap.”Kalau kamu memang peduli, tolong jangan buat macem-macem.”
“Aku gak gila kak!”Aku membentak.”Astaga. Kenapa semua orang di sini seperti kehilangan kewarasannya.”
“Ta….”panggil Kak Rara lembut.”Ayo kita bicara dulu.”
Aku mengangguk. Sepertinya aku memang harus mendengarkan semuanya dari Kak Rara.
“Oh ya tolong ambilkan kollar di atas mejamu terus pakaikan ke aku.”
Aku melirik ke meja kecil di samping ranjang dan melihat sebuah kollar dari kulit berwarna merah. Dengan setengah hati aku mengambilnya kemudian membukanya dan memakaikannya ke leher Kak Rara.
“Makasih ya.”ucap Kak Rara berusaha untuk mencium kakiku.
“Ih, apa-apaan ini kak.”
“Tolong, Ta. Begini seharusnya anjing seperti kakak berterima kasih.”
Aku yang jengah akhirnya membiarkan Kak Rara mencium bahkan menjilati kakiku.
“Tolong duduk di atas ranjang Ta. Kamu gak boleh duduk sejajar sama anjing.”
Lagi-lagi aku menuruti permintaan Kak Rara.
“Menurutmu kami ini kenapa Ta?”
“Kalian sudah gila!”jawabku langsung.”Gak akan ada orang waras yang melakukan apa yang kalian lakukan. Apalagi bertingkah kayak anjing seperti kakak.”
“Aku pun dulu mikir begitu, Ta. Apalagi pas aku mulai awal-awal diperkenalkan dengan gaya hidup seperti ini. Aku ingin pulang waktu itu. Tapi Ummi Nayla sabar membimbingku sampai aku bisa seperti sekarang.”
“Kakak bangga dengan kondisi kakak yang seperti ini?”
“Tentu saja. Ini adalah kesempatan emas yang gak bisa sembarang bisa didapat. Kakak bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan bagaiamana mencintai dengan setulus mungkin sampai rela mengorbankan segalanya termasuk tubuh dan harga diri pada seseorang. Itulah yang kakak rasakan dan kakak bahagia akan itu.”
“Masa kakak rela bugil begitu?”
“Gak Cuma bugil, Ta. Banyak aktifitas lain yang kami lakukan sebagai budak Ummi Nayla.”
“Memang apa saja?”
“Jadi begini, begitu kamu jadi budak, pertama kamu harus jadi sukarelawan pemuas nafsu di kampus. Terus kamu bakalan ikut riset namanya SM. Habis itu ada volunteer aurat. Sama ada yang namanya—“
“Tunggu-tunggu. Apaan itu semua. Jangan-jangan aku bakal begituan.”
“Kamu kira pas jadi budak kamu gak akan begituan?”Kak Rara bertanya balik.
Jantungku berdegup kencang membayangkan aku harus menyerahkan keperawananku.
“Jangan khawatir. Semua proses ini dirahasiakan. Bahkan Ummi Nayla akan menjamin kamu akan mendapatkan suami yang baik.”
Aku ingin membantahnya tapi kemudian aku memutuskan diam. Sebaiknya aku membiarkan Kak Rara untuk menceritakan semuanya.
“Intinya kamu akan diajari bagaimana cara menjadi budak dan menyerahkan segala yang kamu miliki untuk menyenangkan orang lain.”
“Apa untungnya buatku?”
“Hehehehe. Menurutmu bagaimana? Bukankah berkorban adalah bentuk kebahagiaan terbesar. Ibu yang berkorban nyawa untuk melahirkan, pemadam kebakaran yang mempertaruhkan nyawa untuk menerobos api, tentara yang berjuang membela negaranya, apa menurutmu mereka tidak bahagia?”
Aku terdiam.
“Pengorbanan adalah esensi dari kebahagiaan itu sendiri. Makin besar pengorbanannya maka makin besar juga kebahagiaan yang kau raih. Itulah mengapa kakak memilih menjadi budak. Karena dengan itulah kakak bahagia.”
“Aku masih gak mengerti.”kataku akhirnya.
“Tenang saja. Kamu akan mengerti suatu saat.”
Kehidupanku di asrama itu mulai kulakukan. Meskipun semuanya kulakukan dengan setengah hati. Karena setidaknya untuk sekarang aku masih waras.
Kak Rara yang ditugaskan untuk mendampingiku menjelaskan beberapa hal penting yang harus kulakukan selama aku ada di sini. Tentu semua itu dilakukan Kak Rara sambil merangkak layaknya anjing.
Ada beberapa aturan yang harus dipatuhi olehku. Secara teknis aku menjalani kehidupan secara biasa saja kecuali pada malam minggu dimana akan ada acara khusus bersama Ummi Nayla. Tapi yang membedakan adalah beberapa kegiatan eksternal yang wajib kuikuti dan harus melibatkan berbagai aktifitas seks.
Namun Ummi Nayla rupanya masih berbelas kasihan denganku. Dia membiarkanku untuk tidak melakukan hubungan sex kecuali atas keinginanku sendiri. Ummi Nayla bahkan memberikanku chasity belt atau sabuk kesucian yang membuat kesucianku dapat terjamin meskipun itu membuatku kesulitan bergerak dan buang air.
Satu hal aneh yang kulakukan adalah merawat Kak Rara yang masih saja bertingkah seperti anjing. Kak Rara tidak berbicara apapun kecuali padaku. Dia selalu menggonggong ketika dia ketika diajak bicara dengan orang lain.
Sebagai orang yang ditugasi untuk mengurus Kak Rara, aku diharuskan memandikannya dengan menyemprotkannya menggunakan selang kemudian menyabuninya menggunakan sikat. Aku juga harus memberikannya makan yang biasanya adalah campuran abon dan nasi yang dimakan secara langsung dari mangkuk makanan. Aku juga yang membawa Kak Rara jalan-jalan di halaman layaknya anjing dengan seutas rantai yang terkait di kalungnya kemudian aku harus memastikan Kak Rara buang air di halaman dengan mengangkat salah satu kakinya. Perilakunya semakin persis dengan anjing bahkan Kak Rara selalu menjulurkan lidahnya seperti anjing kehausan.
Aku juga kini sudah memulai perkuliahan di universitas. Perkuliahan yang kulakukan sama saja seperti kuliah pada umumnya. Aku berangkat pada pagi hari dan pulang di sore hari. Aku juga bergaul dengan teman-teman kampusku yang menurutku sangat asyik dan bisa diajak ngobrol.
Namun di hari kamis atau hari ke empat aku berkuliah, Kak Rara memberikanku pesan ke ponselku dan berkata kalau ia ingin mengajakku untuk ikut salah satu kegiatan wajib yang harus kujalani.
Kak Rara sedang duduk di gazebo taman ketika aku mendatanginya. Dia berpakaian cukup sopan dengan kemeja lengan panjang, jaket, dan juga rok panjang semata kaki.
“Halo, bagaimana kabarmu, Ta?”
Aku diam saja tak membalasnya. Aku malah memberikannya tatapan tajam.
“Eh, jangan judes begitu dong.”
“Langsung saja kak ada perlu apa sama aku. Gak usah banyak basa-basi.”
“Ya sudah deh kalau itu maumu. Ayo ikut kakak.”Kak Rara langsung berdiri dan berjalan pergi menjauhi gazebo diikuti olehku.
“Kita mau kemana kak?”
“Kita bakal ke tempat yang wajib kamu datangi.”
“Pasti berhubungan dengan sex,”kataku mendengus jengkel.
Kak Rara terkekeh pelan.”pasti dong. Tapi tenang saja. Toh keperawananmu bakalan aman kan?”
Kak Rara mengajakku ke bagian GOR kampus yang saat ini sudah sepi seiring dengan matahari yang beranjak terbenam. Hampir tak ada orang yang berada di GOR bahkan mahasiswa UKM pun tidak ada. Kak Rara mengajakku ke bagian gudang yang diluar dugaanku rupanya tertata bersih.
“Kita nanti bakal di sini sampai jam 10.”
“Kita ngapain di sini?”
Belum juga Kak Rara menjawab, tiba-tiba kami sudah didatangi oleh 3 orang mahasiswa. Mereka bertiga menggunakan kemeja lengan panjang dan celana jeans dimana salah satunya menggunakan jilbab ringkas.
“Wih, Ra, ada orang baru nih.”
“hihhi iya nih. Cuma masih percobaan.”
“Masa percobaan?”
“Iya. Dia Cuma observasi hari ini. Paling baru bulan depan dipake.”
“Wkwkwkwk. Ada-ada saja segala pakai observasi. Nyobain mah coba saja.”
“Gak apa-apalah. Ini juga sudah perintah Nyonya Nayla.”
“Oh, benerkah? Ini anaknya Nyonya Nayla?”
“Iya dong. Kan juniorku ini.”ujar Kak Rara hendak merangkulku. Tapi aku langsung menepis tangannya.
“Hehehehe. Kayaknya masih belum jinak tuh.”tukas seorang dari mereka.
“Gak papa. Nanti jinak sendiri.”
“Semoga deh.”
“Halo semua,”kata sebuah suara yang bergema di gudang tempat kami berada. Aku menoleh dan terkejut melihat sosok yang datang.
Rupanya itu adalah Bu Citra. Dia dosen yang sempat mengajar kelasku tadi pagi. Dia seorang perempuan usia pertengahan tiga puluhan yang agak pendek dan gempal yang mengenakan stelan blazer. Rambutnya yang bergelombang di biarkan tergerai sampai melewati bahunya. Wajahnya dirias tipis yang justru menambah kesan cantik pada wajahnya.
“Eh Bu Citra sudah nyampe saja.”
“Iya dong harus semangat. Kan tahun ajaran baru.”Bu Citra kemudian menatapku.”Loh ini kan Anita? Kamu jadi anggotan UPM juga?”
“UPM?”Aku bertanya balik/
“Unit pelayanan Mahasiswi lah. Masa begitu saja gak tahu.”
Aku menatap Bu Citra kebingungan.
“Loh Ra kamu gak jelasin ke anak ini?”Bu Citra mengalihkan pertanyaannya pada Kak Rara.
“Hehehehe. Sengaja bu biar supries.”
“Kamu ini ya kebiasan kalau ngerjain tugas itu sesuai instruksi saja. Gak usah improvisasi. Apalagi ini anaknya Nyonya Nayla kan?”
“Iya bu.”
“Ya sudah. Biar ibu yang jelasin. Kebetulan masih setengah jam lagi sebelum kita mulai.”Bu Citra melirik arlojinya.”Anita ayo ikut ibu.”
BERSAMBUNG …