Skip to content

CERBUNG – Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Hanyut 3.4.2​

Sejoli itu seperti sepakat untuk menghalau Tokek dari merusak momen berharga mereka.

“Gantian, Cil!”

Bu Norma rasakan pantatnya ditampar. Kesakitan, dia coba menoleh ke belakang. Matanya nyalang menantang perang. Akan tetapi, Kancil tak mengijinkan. Bu Norma rasakan kedua payudaranya diremas seperti sapi perah. Jika saja dia sedang menyusui, sudah pasti ASI akan mengotori sekujur badan Kancil yang sedang dia naiki.

Bu Norma menahan desah, dan melupakan Tokek. Untuk sekarang. Dia tatap pemuda lancang yang penisnya masih menancap dalam vaginanya. Mata mereka bertemu. Bertanya. Dan menemukan jawaban. Tidak ada dari mereka yang mau dipisahkan.

“Nggak mau?”

Tokek kini berlutut di belakang Bu Norma. Di antara kaki Kancil yang mengangkang. Lubang pembuangan Bu Norma dia pandang sebelum lantas dia ludahi beberapa kali.

“Yaudah, barengan.”

Tubuh Bu Norma menegang. Otot-otot pantatnya belum lupa. Betapa mereka disika. Dibuat mabuk dosa. Kepala kontol bergotri yang kini mengusap-usapi pintu belakangnya ingin dia singkirkan. Terbayang kembali nyeri yang sempat dia rasakan.

Nikmat disodomi memang membuat Bu Norma kepayang tadi siang. Tapi, apa harganya sepadan? Dengan apa yang dia dapatkan? Dan lagi, barengan? Disetubuhi lewat depan dan belakang di waktu yang bersamaan? Apa-apaan?

Binatang saja tahu aturan!

“Bu?” tanya Kancil dalam bisikan. “Apa perintah Bu Norma? Bilang aja. Akan saya kerjakan.”

Oh, Kancil. You sweet summer child. Bu Norma yakin Kancil tidak sedang membual. Bocah itu kebelet jadi pria dewasa. Dia mau dianggap pahlawan. Bibit-bibit perpecahan yang Bu Norma semai, kini sudah bisa dia tuai dari pangkal malai.

Bu Norma harus akui, dia tergoda. Ingin dia saksikan kedua pejantan memperebutkan dirinya. Andaikan dulu Dokter Abi seputus asa Kancil sekarang, pasti tidak akan pernah ada mata lelaki yang berani menelanjanginya di tempat umum. Bertanya-tanya harta apa yang dia sembunyikan di balik jilbabnya. Penasaran, apakah buah dadanya 36 atau 38. Pingin tahu, seberapa lama imannya bertahan saat diperkosa bergiliran.

“Nggak,” kata Bu Norma, mengusir pikiran kotor dari kepalanya sekaligus menolak tawaran Kancil. “Jangan.”

Sadar akan implikasi yang kata-kata Bu Norma timbulkan, Kancil buru-buru berujar, “Tapi, Bu—”

Bu Norma sumpal mulut Kancil dengan puting susunya yang kanan. Sembari memeluk tengkuk si pemuda yang minim jam terbang, dia beralasan, “Saya mau bukti. Siapa yang lebih perkasa. Kamu, atau Tokek.”

“Tapi, Bu,” sergah Kancil usai dia lolos dari dekapan Bu Norma. Beruntung dia tidak tersedak ludahnya sendiri lalu mati. Akan menyedihkan sekali. Tewas kehabisan napas. Penyebabnya, dipaksa menyusu seorang mantan ibu guru.

“Bu Norma… nggak apa-apa? Dipakai kita berdua?”

bu norma habis dikira ngga kuat main bertiga a.k.a feeling old
bfd28ef0bf491f7c4bcc3ffd37e7c8e1e1d5b8fe-high.webp


Bu Norma menelan ludah. Dahinya mengerut dalam. Tokek sudah memulai penetrasi. Belum lebih dari se-centi. Pinggangnya dikunci dari kanan dan kiri.

“Ahh, ini bo’ol padahal udah jebol,” komentar Tokek yang tengah berjuang melepaskan kemeja safari sebelum lalu melanjutkan upanya menyodomi Bu Norma kembali. “Tapi masih rapet gini. Mahal pasti Bu Norma kalau kita jual, Cil.”

Abai pada rekan banditnya, Kancil mengelusi pundak dan leher belakang Bu Norma. Rambut si wanita yang jatuh menutupi wajahnya dia singkirkan. Dia selipkan ke belakang telinga, bersama kacamata.

“Kalau Bu Norma nggak kuat, bilang. Oke?”

Entah kerasukan setan mana, Bu Norma mengiyakan. Dengan menerima jadi roti lapis di antara kedua residivis, perempuan itu telah memvonis dirinya sendiri. Bahwa dia benar-benar tak lagi punya tempat kembali. Keluarganya sudah tiada. Suaminya sudah pergi. Ditembak mati. Oleh Kopral yang cintanya ternyata dusta. Yang tak lebih dari pemerkosa dan biang segala dosa.

Kini yang Bu Norma miliki hanya kontol-kontol penggila wanita suci. Merekalah sekarang yang bisa dia panggil rumah. Kepada mereka dia kini berserah. Pasrah.

Tiba-tiba, Bu Norma menengadah. Di belakangnya, Tokek mendesah.

Oohhhk. Jadi begini. Rasanya digauli dua laki-laki.

“Ayo, Cil,” bujuk Tokek yang kini memaju-mundurkan penis bergotrinya ke dalam anus Bu Norma. “Masa wis loyo?”

Diiringi anggukan wanita yang dia hormati, Kancil pun mulai memompa. Saat dia menekan, Tokek berjaga-jaga. Giliran kontol Tokek amblas ke dalam pantat Bu Norma, dia mengimbangi. Begitu seterusnya. Gonta-ganti. Syaraf-syaraf Bu Norma dirangsang tanpa henti. Bersama-sama, mereka pacu si kuda betina mendaki tangga-tangga surga dunia.

“Aaaaahhhh…. ahhhhh….. aaahhhkkkkh yesss yesss…. oooooohhh…. gusssstiii…. aduhhh… uhhhh… ahh. emmhhh…. enak bangettt….” ungkap Bu Norma yang belum pernah sekenyang kini.

Nggak akan pernah lagi, dia membatin, aku puas cuma dengan satu lelaki.

Jika saat mendengar kabar kematian Dokter Abi dia serasa ikut mati, kali ini Bu Norma merasa seperti dilahirkan kembali. Nikmat yang para lekakinya beri datang bertubi-tubi. Masuk-keluarnya napas di dada seperti menemukan makna. Keras dan liatnya batang-batang kemaluan Tokek dan Kancil yang menyumpal anus dan vagina, meski sangat berbeda karakter dan rasa, sama-sama menyuguhkan nikmat tiada tara.

“Hahahahaha.”

Tokek tertawa. Lepas. Membahana. Sudah benar riwayat Bu Norma tadi tidak dia sudahi. Meski mudah sekali dia bisa kelabui Kopral dan yang lain dengan bilang tawanan mereka mati dimakan macan atau kecemplung kali, dia hentikan dirinya sendiri segera setelah wanita itu hilang kesadaran.

Jelek-jelek begitu, firasatnya kuat. Tokek itu. Dia seperti tahu Bu Norma akan jadi peliharaan yang bukan saja piawai memuaskan namun juga tidak membosankan. Sudah berkali-kali orgasme saja, mantan guru itu masih ingat suaminya. Masih memberontak. Masih belum juga jinak.

Tokek suka yang begitu. Daripada yang langsung menghamba sekali kena pompa. Mereka barang murahan. Cepat lakunya di pasaran. Tidak seperti Bu Norma. Yang pasti akan meninggalkan banyak kesan. Banyak cerita.

“Bangsat, ya, Kek!” Bu Norma sengaja tak menyematkan ‘Mas’ di depan nama lelaki yang kini olehnya dia sedang disodomi. Karena darinya dia tahu kabar kematian Dokter Abi. Pemuda bertato itu bisa saja, padahal, memelihara dusta yang Kopral sampaikan di awal. Dasar tidak peka. “Udah capek?”

Tokek menyeringai. Hunjaman tongkolnya memang sempat melambat tadi. Salahnya sendiri. Keasikan memuji diri.

“Briiiiik, Gembrik!” maki Tokek sambil menghentak-hentakkan penis saktinya seakan dia ingin membelah Bu Norma jadi dua. “Ngomongmu lho saru! Nggak malu sama murid-muridmu?”

“Auuuhhh… Ahhh… ngapain malu? Haruse emmmhh…. mereka terkesimmma malah!”

“Ter…. kesss… ima?” Tokek mulai memadukan tempo cepat dan lamban dalam menyetubuhi lubang tahi Bu Norma. Sesekali, dia seka peluh dari muka. Bukan apa. Di antara mereka bertiga, dia yang belum beristirahat sejak pagi. Mana semalam dia begadang lagi. “Opo iku, Bu?”

“Wis, ahh.” Bu Norma terengah-engah. Di antara desah, dia rasakan lutut dan sikunya melemah. “Eeehntot wae. Rasah cangkeman.”

“Lho… lha asu. Katanya situ guru. Guru itu digugu dan ditiru. Bubrah kelasmu, Bu, kalau omonganmu digugu. Kalau polahmu ditiru.”

Obrolan Bu Norma dan Tokek mengompori Kancil. Dengan ada di bawah, gerak pinggulnya memang dibatasi. Dia tidak akan bisa menyamai brutal cara Tokek menyodomi. Akan tetapi, bukan berarti dia lantas pantas diabaikan.

Bu Norma mau tahu siapa yang lebih perkasa? Hm. Jangan tanya.

“Aaaggghhkkk, yahh,” racau Bu Norma manakala Kancil bermain-main pada bulatan payudaranya. Bibir, gigi, jari, dan lidah semua dipakai. Dan belum cukup sampai di situ, sementara gunung kembarnya diremas kuat-kuat, lidah pemuda itu dia rasakan menjalar. Ke leher dan ketiaknya. Oleh Kancil, dia dipaksa melipat kedua tangannya di belakang kepala. Semakin membusung buah dadanya.

“Eeeehmmmmpppphhh nakal kamu, yaaaah….”

Tokek sambar tangan-tangan Bu Norma. Dia tarik mereka ke belakang. Seraya terus memompa, keduanya dia jadikan kemudi yang erat dia pegangi. Entah sadar atau tidak, pemuda itu banyak menolong Kancil karenanya. Sekarang, bagian depan tubuh Bu Norma dapat dia santap tanpa jeda. Janda tanpa anak itu tak bisa berbuat apa-apa. Selain mendesah, mendesah, dan mendesah.

Belum lima menit dia digarap, Bu Norma kembali klimaks. Kali ini di tangan bukan satu tapi dua pemuda. Oleh lelaki yang menyodomi duburnya, tubuh bagian atasnya ditahan di udara. Di sana, dia menggeliat bagai cacing mau dijadikan umpan ikan. Tumit kakinya menjejak-jejak tikar daun kelapa. Membuat kacau balau.

Menyusul meredanya siraman cairan cinta yang mengguyur penis tak bersunat di dalam liang peranakannya, Bu Norma rasakan tiba-tiba anusnya dipaksa hampa. Tokek juga melepas kedua tangannya. Belum sempat dia beroleh keseimbangan lagi, kontol bergotri si lelaki sudah disodorkan di depan wajahnya.

Dengan penuh pengertian, Kancil topang tubuh Bu Norma. Kaki-kaki pemuda itu kini setengah ditekuk. Bu Norma bukan lagi mendudukinya tetapi dia pangku lebih tepatnya. Selagi Tokek memandikan wanita berkacamata itu dengan pejuh, Kancil tanpa henti mengayuh peluh. Bahkan sesudah kemaluan temannya dikulum-kulum dan dijilat bersih, dia belum menunjukkan tanda-tanda akan lumpuh.

Sementara Tokek ambruk bersimpuh, genderang ronde berikutnya Kancil tabuh.

“Masss,” kata Bu Norma saat Kancil coba menggendongnya namun tak kuat dan mengakibatkan lepasnya kelamin mereka. Tanpa kontol-kontol para pejantannya, dia merasa ada yang hilang. Ada yang kurang. “Ini kita mau apa?”

“Udah, percaya saya.”

Kancil kecup bibir Bu Norma. Satu kali. Sebelum selanjutnya dia peluk dan pandu si wanita agar berbalik menghadap tenang permukaan air bendungan di luar gubuk. Langit sedang cerah-cerahnya. Bu Norma bisa melihat bintang-bintangnya dari posisinya sekarang yang merangkak di atas pasir.

“Kurang nungging nggak, Mas?” tanya Bu Norma saat Kancil pindah ke belakangnya.

“Nggak, kok. Udah pas, Bu.”

Benar saja. Detik berikutnya, lorong vagina Bu Norma kembali dijejali penis berkulup si lelaki. Oleh Kancil, dia kemudian dikendarai ke tepi sungai. Hentakan bertubi-tubi yang dia alami membuatnya tersentak-sentak. Semakin mendekati bibir pantai.

“Aaahhhh…. ahhhh, Masssshhhh.”

“Iyaaa?”

“Capekkkk,” keluh Bu Norma sebelum ambruk.

Ikut merunduk, Kancil lanjut saja menggenjot Bu Norma yang kini menelungkup di atas pasir kali. Ada barangkali sepuluh menit dia setubuhi janda ditinggal mati itu. Lain dengan yang tadi, kali ini dia jauh lebih santai mengayunkan kejantanannya. Seolah ingin Bu Norma kembali terlelap karenanya.

“Gimana, Bu? Siapa yang menang?”

Dihiasi butiran pasir dan kerikil, bibir Bu Norma mengembang.

“Mas Kancil.”

“Jadi, Bu Norma mau saya ambil istri?”

“Mau, Mas.”

“Lha, tapi, suami—”

“Udah, Mas. Jangan sebut-sebut dia.”

Kancil diamkan penisnya di depan rahim Bu Norma.

“Tapi—”

“Saya udah tahu, kok. Dari Tokek. Kalau Pak Pur yang habisi Mas Abi.”

Kancil menoleh ke belakang. Tokek dia dapati sedang membuat api ditemani arak dan daun-daun blarak. Pemuda itu agaknya sedang kelaparan. Daripada menyimak obrolan Bu Norma dengannya, dia lebih memilih menyiapkan makan malam.

“Bu Norma… nggak marah?”

Kancil kini menyetubuhi Bu Norma dalam posisi menyamping. Perlahan-lahan batangnya keluar masuk vagina yang memerah dan agak bengkak. Kentara dia enggan lekas berpisah. Masih ingin mencuri-curi waktu demi kebersamaan mereka. Merayakan penyatuan keduanya.

“Marah, Mas. Tapi mau apa. Yang pergi nggak usah dicari lagi.”

Tokek merunduk, coba menawarkan pelipur lara lewat kecupan-kecupan hangat pada pundak Bu Norma, yang kegelian lalu bertanya, “Mas? Masih lama?”

“E-eh?”

“Dari pagi saya belum mandi.”

“… Bu Norma mau mandi?”

Wanita berkacamata itu mengangguk. Seolah apa yang dia maksud belum jelas. Padahal, Kancil punya mata. Tidak buta juga. Masa iya, Bu Norma dicegah dari membersihkan diri? Setelah semua yang dia beri?

“Boleh saya temani?” tanya Kancil sebelum kemudian menarik lepas kontolnya dari memek perempuan yang kini dia anggap istri. Lelehan bekas senggama mereka menggumpal di pasir dalam waktu singkat.

“Lha kalau saya bilang nggak boleh,” kata Bu Norma, mengulurkan lengan agar dibantu duduk, “Mas mau apa?”

“Mau… saya tonton aja Bu Norma mandi.”

“Ih, timbilen nanti, lho, nontonin orang mandi.”

“Biar. Kan bini sendiri yang mandi.”

Bu Norma tersenyum.

Kancil balas tersenyum.

Bu Norma tiba-tiba meraup segenggam pasir dan melemparkannya ke muka Kancil.

“Eh! Aduh! Bu Norma! Kena mata!”

Seraya berderap ke air, Bu Norma berkata, “Yang terakhir nyebur dimakan ubur-ubur!”

“Ubur-ubur?” gumam Tokek, heran menyaksikan betapa romantisnya Bu Norma dan Kancil. Berkejaran di tepi sungai seperti bocah-bocah tak berdosa. Apalagi si wanita, yang masih memakai kaos kakinya.

Malam itu Bu Norma pura-pura bahagia. Pura-pura lupa mendiang suaminya. Pura-pura kebal duka. Pura-pura sedang tidak berkubang dosa. Namun demikian, dia bukannya tidak lega. Sesudah mandi, mereka bersantap daging tupai dan kelelawar yang dimasak di atas api. Setelahnya mereka minum-minum dan bersenggama hingga mendekati pagi. Tanpa menyadari, sepasang mata yang berkilau kekuningan mengawasi bahkan jauh sesudah nyala api tinggal memori.

~bersambung​

T

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *