CHAPTER 8
Pov Alifah
Aku terbangun dengan mengantuk. Sinar matahari terasa agak menyengat terutama karena matahari memang mulai meninggi agaknya. Harusnya, aku akan langsung ke kamar mandi untuk mengambil wudhu agar bisa beribadah. Namun entah kenapa rasa malas begitu menjangkitiku. Seakan ada tali yang mengikatku ke kasur.
Aku melihat tubuhku yang tidak ditutupi sehelai kainpun selain selimut yang dipakai berdua. Aku melirik ke arah samping ke Kak Azizah yang masih terlelap di dalam mimpi. Kondisinya sama sepertiku tanpa mengenakan busana apapun.
Aku dengan perlahan menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. Kutatap wajah cantik Kak Azizah yang dihiasi beberapa bulir keringat. Entah mengapa melihat wajah dan keadaan Kak Azizah yang seperti itu mulai meningkatkan hasratku. Di tandai dengan kenaikan suhu tubuhku dan sensasi aneh di selakangkangku.
Aku berjalan pelan. Mengabaikan diriku yang tidak mengenakan pakaian apapun. Yang membuat siapapun orang yang melihat ke dalam kamar akan melihatku telanjang. Aku kemudian duduk di atas kursi. Menatap ke arah jendela yang masih terutup dengan gorden putih tipis. Andaikan ada orang yang melihatnya, pasti ia akan dapat melihat tubuhku yang menerawang di balik gorden.
Membayangkan hal tersebut, entah kenapa semakin meningkatkan gairahku. Pikiranku dipenuhi bayangan-bayangan dari orang yang menikmati tubuhku dengan mata mesum mereka. Hal yang dulunya begitu kuhindari sekarang justru kunikmati dalam bayanganku.
Aku perlahan menggerakkan tanganku ke arah memekku yang mulai lembab. Tanpa kusadari, gairah yang semenjak aku bangun mulai memicu keluarnya cairan kenikmatan dari memekku.
Jari itu menari-nari di permukaan memekku. Aku bahkan dengan nakal mulai menjepit biji kelentitku dengan kuat. Menambah aliran rangsangan hingga membuat tubuhku semakin terangsang hebat.
Hap!!!
Tiba-tiba saja ada sepasang tangan yang menangkap tokedku. Aku tersentak kaget dan menolehkan kepalaku ke belakang.
“Kak Azizah!!!!”seruku kuat.
Kak Azizah yang berada di belakangku dengan tanpa mengenakan sehelai kainpun tersenyum jail seraya meremas tokedku lebih kuat.
“Hehehehe. Kaget ya.”
“Ihhhh….sakit tahu.”jeritku kaget karena Kak Azizah malah meremas putingku.
“Sekarang kamu sudah berani telanjang ya.”Kak Azizah melepskan tangannya kemudian beranjak mengambil kursi dan duduk di dekatku.
“Hehehe. Iya nih. Ternyata enak ya kak.”
“Huuuu. Kemarin-kemarin juga kamu ngelarang kakak kan? Kok malah ngikut sekarang.”
“Yah, kan ini gara-gara kakak juga.”
“Memang kakak ngapain.”
“Pura-pura gak tahu lagi.”Aku yang jengkel akhirnya mencubit puting Kak Azizah dengan kuat.
“Ihhh…sakit tahu.”
“Rasain tuh.”
Kami berdua saling tertawa lepas. Untuk sejenak aku bisa merasakan kedekatan dari hubungan adik kakak yang selama ini berlangsung teramat kaku. Kak Azizah yang berprinsip bebas dan memang selalu ingin bebas dari semua betasan terutama dari aturan yang aya ciptakan membuatku sangat sulit untuk bergaul dengannya. Tapi kini aku bisa begitu akrab dengan kakakku tanpa ada penghalang terutama dari perbedaan kami berdua.
“Oh ya omong-omong laundry bajumu sudah ada tuh.”
“Eh, sudah beres?”
“Iya. Kayaknya dipercepat.”
Aku menatap Kak Azizah dengan curiga. Entah bagaimana, seperti ada rahasia yang dia sembunyikan.
“Gimana?”
“Gimana apanya kak.”
“Ya bajumu lah. Mau diambil gak.”
Aku berpikir lama. Entah kenapa, aku merasakan kebimbangan. Harusnya aku senang karena bajuku akan bisa kembali kukenakan. Namun pengalaman akhor-akhir ini sekana mengubah segalanya.
Merasakan hembusan angin yang menggelitik kulitku. Merasakan tatapan orang-orang yang menikmati keindahan tubuhku. Juga merasakan sensasi gairah yang senantiasa terpompa seiring dengan penampilan terbukaku.
“Oi, bagaimana jadinya.”
“Eh iya kak. Kayaknya aku ngambilnya nanti-nanti saja.”
“Serius kamu?”tanya Kak Azizah meragukan.
“Emm….kayaknya aku mau coba-coba pakai baju terbuka.”
“Wuih. Gak demam kamu.”Kak Azizah langsung menempelkan tangannya ke dahiku.
“Ihhh…Kakak ngapain sih.”
“Hehehe. Mau mastiin saja. Soalnya kalau kamu yang biasanya pasti langsung maksa buat ngambil bajumu sekarang.”
“Bagaimana ya kak. Nanggung soalnya.”
“Nanggung gimana nih?”tanya Kak Azizah menggoda.
“Ah, kakak ini banyak tanya.”
“Maaf-maaf.”Kak Azizah tersenyum nyengir.”Akhirnya kamu bisa berubah ya, Fah.”
“Berubah bagaimana kak.”
“Masa gak nyadar sih.”
Aku terdiam dengan perkataan Kak Azizah. Sepertinya dia benar. Aku sudah berubah banyak semenjak aku berada di Lombok. Mulai dari berani memakai baju seksi yang menampilkan auratku sampai aksi lesbian bersama kakakku. Bahkan aku kini masih enggan memakai baju dan beribadah.
“Aku aneh ya kak.”ungkapku mulai merasakan perasaan tidak enak.
“Enggak kok.”
Kak Azizah tiba-tiba memelukku erat. Membuat kedua belah dadanya yang besar mendesak tubuh mulusku.
“Jangan ngerasa aneh, Fah. Hanya karena sebagian orang menganggapnya tabu, bukan berarti engkau salah.”
“Iya kak.”Aku akhrinya balas tersenyum. Setelah mulai terbiasa dengan tubuh bugil Kak Azizah juga mengalami berbagai pengalaman panas, aku kini mulai menerima semua tingkah nakal Kak Azizah.
“Oh ya, kamu mau ikut main gak sama kakak?”
“Main ? Kemana?”
“Ada beach club. Kakak diajak sama teman.”
“Siapa kak?”
“Alan. Inget gak ?”
“Oh, Alan toh.”kataku mengingat sosok pria tampan yang sebelumnya mengantar kami dari bandara.
“Bagaimana mau gak?”
“Aduh gimana ya. Itu beach club kan? Takut aku.”
“Apa lagi.”
“Kan itu beach club. Di sana banyak miras kan? Belum lagi nanti kalau—“
“Ada yang ngelecehin?”
“Ya begitu lah….”
“Ah, tenang saja. Nanti kakak jagain.”
“Bener ya kak?”
“Iya. Beneran.”
“Ya udah deh. Aku ikut.”
Malam harinya, sesuai dengan yang dikatakan Kak Azizah, Alan temannya datang menjemput. Kali ini dia membawa sebuah mobil dengan jenis innova berwarna silver. Alan nampak berpenampilan santai di balik kemudi dengan hanya mengenakan celana jeans pendek dan juga juga kaus berwarna biru.
Tin!Tin!Tin! Suara klakson dari mobil Alan terdengar keras memanggil kami berdua yang masih ada di dalam villa.
“Elah! Gak usah ngelakon napa. Pengang ini kuping!”teriak Kak Azizah dari dalam villa. Dia keluar dengan mengenakan kemeja dan juga celana jeans yang menutupi setengah betis. Suatu tampilan yang agak tertutup jika dibandingkan dengan tampilan yang biasa dia kenakan.
“Lama sih!”balas Alan kencang.
“Baru juga semenit.”
“Semenit apaan. Dah mau sepuluh menit ini.”
“Masa sih?”
“Udah ah. Malas debat sama lu.”ujar Alan menydahi perdebatan.”Oh ya, adikmu mana. Ikut kan sama kita.”
“Iya. Paling bentar lagi keluar.”
Aku pun keluar dengan malu-malu. Karena untuk pertama kalinya penampilan terbukaku akan dilihat oleh lawna jeni.
Aku mengenakan pakaian yang mirip dengan kakak. Sebuah kemeja warna putih yang menampilkan bh warna biruku yang menerawang. Bedanya aku mengenakan celana bahan yang sebenarnya sangat ketat di kakiku sehingga siapapun bisa melihat tampilan kakiku.
“Wih, ini beneran si Alifah?”tanya Alan dengan nada menggoda.
“Iyalah. Bagaimana? Cantik gak?”tanya Kak Azizah yang merangkulku akrab.
“Beda banget kamu ya dari yang kulihat di bandara.”
“Hehehe. Iya nih. Gara-gara kakak.”jawabku masih tersipu malu. Masih belum terbiasa dengan tatapan dari lawan jenis yang melihat tubuhku terutama rambutku yang kali ini tidak tertutup dengan jilbab seperti yang biasa kulakukan.
“Sudah berani ya sekarang?”tanya Alan menggodaku.
“Udah ah. Jangan diterusin.”potong Kak Azizah.”Kasian adikku nanti makin lama.”
“Ok deh. Ayo masuk semua.”
Kami berdua akhirnya masuk ke dalam mobil. Alan langsung melajukan mobilnya melewati kegelapan malam di Pulau Lombok. Sesekali ada kenderaan terutama truk yang berpapasan dengan kami. Namun sebagian besar perjalanan kami di temani kegelapan.
Setengah jam berkendara, kami mulai memasuki bagian yang ramai. Bukan karena di pusat kota melainkan berada dalam kawasan vila yang berada di pesisir pantai. Di sana juga ada belasan beach club yang mulai ramai dihampiri para wisatawan.
Mobil yang dikendarai Alan akhirnya berhenti di salah satu beach club yang terletak di ujung. Bila kubandingkan dengan beberapa club yang baru saja kulewati, club yang kudatangi ini nampak lebih sepi. Barangkali hanya ada 30 mobil yang terparkir. Lebih sedikit dibanding klub lain yang barang kali mencapai 100.
Klub yang kudatangi ini langsung berada di pesisir pantai. Tempat itu berada di balik pagar sehingga terasa lebih privat. Ada juga hiasan berupa lampu yang berkelap kelip seperti kunang-kunang. Dan belasan speaker yang mengeluarkan musik. Tapi berbeda dengan speaker raksasa yang biasa kudengar di daerahku. Alunan musik yang keluar terasa lebih teratur dan tidak sekedar mengeluarkan hentakan suara.
Pengunjung di klub ini sebagian besarnya adalah bule. Mereka nampak santai berkeliaran memakai pakaian yang minim. Laki-lakinya hanya mengenakan celana pendek atau bahkan celana renang yang mirip celana dalam. Atau paling tidak atasannya hanya kemeja pantai yang dibuka kancingnya.
Sedangkan perempuannya sebagian bear mengenakan bikini saja. Ada yang ditutupi dengan lilitan kain pantai atau cardigan tipis. Namun sebagian besar mengenakan bikini mini yang memperlihatkan dengan jelas aurat pemakainya.
“Hello,”sapa seorang perempuan dengan bikini berwarna merah muda yang ditutupi cardigan berwarna hitam. Dia seorang bule dengan rambut pirang pendek bergelombang dan tubuh tinggi dan nampak berisi.
“Hei, Catherine,”balas Kak Azizah yang langsung saja memeluk perempuan yang dipanggil sebagai Catherine.
“This is your sister?”tanya Catherine yang mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Sure.”Kak Azizah mengangguk.
“Wow. Nice to meet you.”Catherine langsung menjulurkan tangannya ke arahku.
“Ehmmm….”Aku ragu-ragu menerima uluran tangannya.
Kak Azizah menepuk pundakku dan memberikan isyarat untuk menjabat tangannya.
Begitu kuulurkan tanganku, Catherin langsung menariknya sekaligus tubuhku lalu mendekapnya.
“Kakakmu sudah cerita banyak. Kamu Alifah kan?”tanyanya dengan bahasa Indonesia yang kaku dan kental dengan logat inggrinya.
“Ehhhmmm iya…”
“Catherine ini perwakilan perusahaan yang kerja sama dengna perusahaan kakak. Sudah lama juga di Indonesia. Iya kan, Catt?”
“Yes. Sekitar 2-3 tahun saya di Bali. Kalau aslinya sih saya dari Australia. Pernah dengar Melbroune? Saya dari sana.”
Aku mengangguk-angguk mengiyakan.
“Your sister looks pretty. Dia artis?”tanya Cahterine mengalihkan pandangannya ke Kak Azizah.
Kak Azizah menggeleng sambil tertawa.”Just like another woman.”
“You are kidding. Dia kelihatan seperti model.”
Aku hanya diam saja menanggapi percakapan Catherine. Diam-diam, aku melihat dengan kagum tubuh Cahterine yang dia pamerkan tanpa rasa malu. Mengundang pandangan nafsu dari siapapun yang melihatnya.
“Saya Cuma pengangguran yang baru lulus kuliah.”jelasku dengan malu-malu.
“Oh, belum punya kerja?”
Aku mengangguk malu.
“Mau kerja di tempatku?”
“Eh?”
“Hei! Dont be so rude. Adikku ini anak baik-baik. How can she work with you!”tegur Kak Azizah dengan nada setengah bercanda.
“Why not!”tukas Cahterine
“Emangnya kerja apa sih kak?”
“Ah, pokoknya adalah. Gak cocok sama kamu.”
“No No No.”Catherine langsung menggeleng.”I belive you will love it, Alifah.”
“Kerja apa sih!”kejarku semakin penasaran.
“Sudahlah. Nanti kamu juga tahu.”Kak Azizah mengedipkan matanya penuh rahasia.
“Hei! Pada mau masuk gak!”panggil sebuah suara. Kami menengok dan melihat Alan melambaikan tangan.
“Come on. Lets go party!!”
Bersambung …