Lost & Found 4.3.2
Sosok yang dulunya Sukar itu menyetubuhi Bu Norma lagi dan lagi. Sampai yang bersangkutan lemas. Wanita bermukena itu akan pingsan kelelahan sebelum kemudian siuman dan menemukan suaminya belum berhenti menggagahinya. Dalam pada itu, dia tidak benar-benar merasakan lapar atau dahaga
Satu hal yang Bu Norma cemaskan seiring berlalunya waktu adalah perutnya yang kian membuncit. Seakan-akan sedang ada janin yang tumbuh dengan pesat dalam rahimnya. Bagaimana penjelasannya, dia cuma bisa bertanya-tanya. Tetapi karena sekarang calon bayi itu ada, insting keibuannya menyala.
“Pelan, Mas,” pinta Bu Norma yang sedang berbaring mengangkang sementara Dokter Abi menggenjot memeknya. Dia pegangi perutnya sambil berkata, “Hati-hati. Bayi kita nanti kenapa-napa.”
Penyerupa Dokter Abi itu menyeringai. Pikiran wanita di bawahnya itu sudah benar-benar kabur. Alih-alih meresahkan fakta bahwa lelaki yang kini sedang menggaulinya itu bersisik mirip ular sanca, dia justru memikirkan keselamatan kandungannya. Kandungan yang sedikit banyak membesar karena pengaruh sosok yang bukan manusia itu.
“Gini, Dik?” tanya Dokter Abi sambil memaju-mundurkan pinggangnya pelan.
Bu Norma mengangguk.
“Mas nggak ngantuk?”
“Ngantuk?”
“Dari tadi Mas garap aku terus. Apa ngga capek?”
“C-capek, sih,” ujar Dokter Abi yang lupa kalau manusia cuma kuat berhubungan badan beberapa menit saja. Sempat dia ingin berlagak sudah tidak kuat. Namun apa daya. Hasratnya masih belum tamat. Bahkan sesudah bermili-mili sperma dia tumpahkan. Pada vagina, anus, mulut, pantat, punggung, muka, dan tak lupa mukena Bu Norma. “Tapi, ya, gimana. Mas kangen enaknya jepitan memekmu.”
“Hmm? Cuma memek, Mas?” tanya si wanita bermukena, memainkan sendiri putingnya yang kini mulai sedikit mengeluarkan air susu. Kalau dibiarkan menganggur, buah dadanya itu akan nyeri. Begitu disentuh lagi, nikmat lagi. “Anusku gimana? Enak juga nggak?”
“Enak juga, kok.” Dokter Abi mencabut kontolnya dari vagina Bu Norma untuk kemudian dilesakkan ke dalam dubur. Mereka berdua mendesah karenanya.
“Mas sodok lagi, ya?”
Bu Norma mengangguk.
Plokkk plokkk plokkkk
Dokter Abi menggenjot lubang tahi Bu Norma dengan tempo sedang. Terkadang, tangannya akan terbang membenahi kacamata istrinya. Juga mukena yang kusut dan basah kuyup oleh keringat dan cairan cinta mereka berdua. Kontolnya yang gagah tampak mengkilap. Dengan perkasa daging berotot itu mengobok-obok relung dubur Bu Norma. Membuat wanita itu mulas namun juga tak bisa dipungkiri; puas.
Lain dengan ketika bersetubuh dengan para pemerkosanya, Bu Norma merasakan bersama setiap tumbukan, nikmat senggama mereka meningkat. Bahkan jika tubuhnya kemudian kecapekan, dia tidak pernah ingin Dokter Abi berhenti. Sensasi disetubuhi suami sendiri memang sesuatu yang dia akan selalu nikmati. Syukuri.
Bilamana ketika Bu Norma bersama Pak Pur, Tokek, dan Kancil nikmat itu berasal dari dosa; yang ini dari pahala. Sementara kakinya ditekuk ke dada agar Dokter Abi lebih leluasa menggenjot anusnya, dia seolah bisa melihat gerbang-gerbang surga dibuka.
Sudah tidak terhitung berapa kali Bu Norma menjerit manja saat orgasme datang melanda. Dengan tenaga yang tersisa, kali ini dia mendesah panjang saja. Tanpa memuji performa Dokter Abi pun dia yakin, laki-laki itu tahu betapa berharga berkah yang telah istrinya terima. Dari celah vagina yang menganga, meleleh cairan kewanitaannya yang sudah bercampur pejuh kental suaminya.
“M-mmas?”
Kini Bu Norma sedang digauli dalam posisi bersujud menghadap jendela yang sejak tadi masih menampilkan gelap malam. Di belakangnya, Dokter Abi berjongkok. Kontolnya akan dia tarik hingga hanya kepalanya yang tersisa sebelum lalu dia hunjamkan kembali ke dalam dubur Bu Norma hingga hanya buah zakarnya saja yang tersisa. Begitu terus berulang-ulang.
Tak ayal, badan sintal Bu Norma kelojotan. Payudara indah wanita itu menggantung sempurna. Bergoyang seirama sodokan yang dia terima. Jemarinya meremasi tepian kasur. Matanya sayu. Liurnya menetes-netes dari celah bibir yang terbuka.
Sebentar-sebentar ujung kain mukenanya akan disibak oleh pria di belakangnya agar tak menghalangi pemandangan indah punggung Bu Norma yang ramping dan bokongnya yang bulat menggoda.
“Iya, Dik?” tanya Dokter Abi tanpa menjeda ibadah syahwat mereka. “Capek, ya?”
Bu Norma menoleh dan mengangguk. Namun, alih-alih meminta suaminya agar menyudahi aktivitas mereka, dia justru berkata, “Pengen mandi. Lanjut di bathroom, yuk?”
“O-oke,” jawab Dokter Abi, berhenti dan siap-siap mencabut penisnya.
“Jangan dilepas, Mas.”
“Eh?”
Terinspirasi dari humiliasi yang Pak Pur lakukan padanya, Bu Norma memohon agar dia dibimbing ke kamar mandi dengan Dokter Abi tetap menyetubuhi duburnya.
“Yakin?”
Bu Norma mengangguk. Mantap.
“Pelan-pelan, Dik,” ucap Dokter Abi sewaktu Bu Norma mulai turun ranjang.
Jika oleh Pak Pur mengentotnya sambil berjalan, agar beda, kali ini wanita itu meminta pada suaminya agar dia diizinkan merangkak. Dengan penis menyumpal anusnya, Bu Norma taruh satu tangan di depan tangan yang lain. Satu kaki mengikuti kaki lainnya.
Jarak kasur dan kamar mandi itu sesungguhnya dekat saja. Namun, dengan merangkak bagai seekor binatang jalang, Bu Norma kita jadi lebih lama mengulangi sensasi itu. Selagi dia berjuang mencapai pintu kaca kamar mandi, dia berkata, “Entot yang keras, Mas!”
Ada barangkali lima menit Bu Norma disodomi di lantai kamar hotel itu. Setiap kali dia maju beberapa centi, Dokter Abi akan menariknya lagi. Akan terus menyetubuhi duburnya dengan gaya anjing. Selepas beberapa sodokan, mereka akan kembali bergerak. Pelan. Penuh perhitungan.
Hingga Bu Norma dua kali kembali mengalami orgasme. Yang paling dahsyat terjadi di depan pintu kaca, di mana kedua tangannya dipegangi sang suami sementara kepalanya mendongak ke atas, dadanya membusung ke depan, dan vagina menyemprotkan cairan kemenangan. Manja dia meneriakkan nama suaminya Yang kontolnya dia puja. Yang membuat tubuhnya lupa pada kontol-kontol lain. Ini bukan tentang kontolnya siapa. Tapi ini soal siapa yang punya kontol itu.
Dokter Abi menunggu wanita itu sedikit pulih sebelum mencabut kontolnya hanya untuk menjebloskan lagi batang keras itu ke dalam memek Bu Norma yang basah, licin, dan hangat. Di dalam kamar mandi, di bawah kucuran shower yang belum dibuka, dia disodok dari belakang dengan dada dan kepala menempel pada dinding kaca. Pantatnya yang kenyal bergetar setiap kali Dokter Abi menghantamkan pinggangnya. Kelamin mereka menyanyikan kecipak plak-plak-plak-plak yang menggema di seantero kamar.
“Terus, Mas! Terus!” racau Bu Norma dengan satu tangan di depan perut sementara yang lain meremas sisi kiri payudaranya yang tergencet. “Entot istrimu ini, Mas!”
Tanpa komplain Dokter Abi turuti permohonan Bu Norma. Dia luluh lantakkan raga dan sukma wanita itu di bawah guyuran air. Sembari menyabuni lekuk tubuhnya yang sekal meski sudah tak lagi muda, dia puaskan gairah Bu Norma yang selalu minta tambah. Yang seakan memang tuhan ciptakan agar bisa terus memberikan kenikmatan.
Rasa penasaran sosok penyaru suami Bu Norma itu mulai terjawab. Dia jadi mengerti kenapa manusia rela melakukan apa saja demi pasangan mereka. Dia paham kenapa dulu Adam sampai terbuai dan lupa larangan. Kenapa Sentot gagal menahan diri dari menikmati setiap lubang hangat yang disajikan untuknya.
Dan Sukar maafkan mereka semua. Dia memaklumi. Terima kasih pada Bu Norma yang senantiasa dipenuhi birahi.
“Aahhh, terus, Dik. Isep yang kuat. Yahhh. Gitu. Pinter,” erang Dokter Abi yang kini duduk di atas toilet meresapi servis mulut dan lidah Bu Norma yang bersimpuh tanpa sehelai benang pun di hadapannya. Puting susu mantan guru itu menonjol keras. Bulir-bulir keringat bermunculan dari pori-pori kulit yang kini putih bersih. Kacamata yang basah dia genggam di satu tangan. Tangan yang lain bergerilya di antara kantung telur dan dubur suaminya.
Mata mereka bertemu.
Dapat Dokter Abi rasakan betapa dalam wanita itu mencintainya. Menghormatinya. Memuliakannya. Dan tak bisa tidak, dia rasakan dorongan yang kuat untuk membalas cinta Bu Norma.
Ya. Sambil memuntahkan lahar panasnya ke mulut si wanita, sosok yang dulunya Sukar itu meyakini dia telah jatuh cinta. Dan dengan segala kuasa dari makhluk yang menjadi satu dengan dirinya, dia bisa wujudkan surga bagi Bu Norma. Mereka akan bahagia di dalamnya. Selamanya.
Pada detik-detik yang berlalu selepas pejuhnya ditelan Bu Norma, Dokter Abi berulang kali mengembuskan napas lega. Jika orgasme-orgasme sebelumnya hanya sebatas membuka cakrawala, menunjukkan keindahan yang bisa dia capai, yang kali ini berbeda. Sukar bukan cuma melihat pintu-pintu takdir membuka namun dia juga merasa mampu melangkah ke baliknya. Kakinya kini bebas. Tak lagi terbelenggu masa lalu. Merdeka lebih dari apapun juga.
“Dik?”
“Iya, Mas?”
Bu Norma sedang menyisir rambutnya dengan jari. Belum beranjak dia dari lantai kamar mandi. Sosoknya entah bagaimana jadi tambah menggairahkan dengan perut dan payudara yang membesar. Halus kulitnya yang basah dan wangi tampak sejuk. Mengundang buat dipeluk.
“Laper nggak?”
Segera sesudah menanyakan hal itu, Dokter Abi mengerutkan dahi. Bukan itu yang sejatinya ingin dia katakan. Kenapa tiba-tiba lidahnya punya pikiran sendiri?
“Hmmm, laper sih.”
“Kebetulan.”
“Mas juga laper?”
Dokter Abi mengangguk.
“Pesan apa, ya, enaknya?”
“Eh, Mas? Boleh nggak makannya… jangan di kamar.”
“Hm?”
“Berantakan.”
Bu Norma menerawang ke balik separator kaca. Untung bagi Sukar. Bu Norma masih belum bangun dari ilusi yang dia ciptakan. Alih-alih memikirkan bagaimana mungkin ada hotel di tengah belantara, dia justru mencemaskan kondisi kamar mereka.
“Bau juga. Hehe.”
“Hmm. Bisa, kok.” Sambil berpelukan pasangan itu berjalan meninggalkan kamar mandi. “Mau makan apa?”
“Yang seger-seger boleh banget, Mas.”
“Hmm.” Dokter Abi memagut bibir Bu Norma. Lama. Hingga si wanita cantik terduduk di tepi ranjang. Telanjang bulat tanpa busana. Kaki mengangkang. Payudara ranum mengundang. Sebelum kembali dia setubuhi wanita itu, Sukar hentikan dirinya sendiri. Katanya, “Tunggu di sini, ya. Aku … cek dulu restonya.”
Enggan melepas suaminya, Bu Norma bertanya, “Pakai room service aja nggak bisa, Mas?”
Dokter Abi melirik telepon di atas meja nakas. Dia batuk. Sekali.
“Lagi, uhm, rusak telponnya.”
Usai mengecup Dokter Abi beberapa kali, Bu Norma mengerling manja sambil berkata, “Ya, udah. Jangan lama-lama tapi, Mas.”
Dokter Abi mengangguk. Kaki mundur ke belakang. Jari dia jentikkan. Dalam sekejap dia telah kembali berpakaian. Perubahan mendadaknya tampak normal bagi Bu Norma yang masih dibawah sirep. Tanpa curiga wanita itu berkata, “Aduh. Iya, ya. Mukenaku basah.”
“Ambil aja di lemari, Dik.” Dokter Abi sudah berjalan ke arah pintu saat mengatakannya. “Ada baju ganti buat kamu.”
Lagi-lagi, tanpa bertanya, Bu Norma mematuhi arahan suaminya. Benar saja. Di dalam lemari dia temukan dua setel pakaian muslimah. Keduanya jelas bukan miliknya. Dia tidak mengenali mereka. Akan tetapi, tidak masalah. Dia menyukai mereka. Bahan kerudung dan abaya itu sutra. Halus di tangan. Indah di mata. Yang satu berwarna biru toska. Sedangkan, yang satunya merah hati.
Bu Norma memilih yang pertama. Dia padukan dengan kerudung hitam melilit kepala. Di baliknya, dia tak mengenakan apa-apa. Sengaja. Bra dan celana dalam tersedia juga. Namun, dia tak melihat fungsi mereka. Lagipula, dia sudah kebelet disetubuhi Dokter Abi lagi.
Bu Norma sedang merias wajah di depan cermin saag pintu dibuka.
“Bentar, Mas.”
Bu Norma dengar langkah kaki suaminya mendekat. Kemudian, dia tangkap bayangan lelaki itu pada cermin. Dan seketika, jantungnya berhenti berdetak. Napasnya terkesiap. Untuk pertama kalinya malam itu, dia dapati keanehan pada diri Dokter Abi. Sorot mata wanita itu lekat memerhatikan sisik-sisik bercorak pada lengan suaminya. Sisik itu terlihat… terlalu nyata untuk dikatakan sebagai tattoo dan bukan sisik betulan.
Bulu kuduk Bu Norma berdiri ketika tangan bersisik itu naik ke kepala, mengusap rambutnya dari balik hijabnya.
“Cantik banget kamu, Dik.”
Bu Norma kesulitan menelan saliva. Suara itu entah kenapa jadi asing di telinga. Mirip suara suaminya. Tapi bukan.
“Restonya buka.”
Bu Norma menggigit bibirnya. Lelaki di belakangnya meremas-remas gunung kembarnya. Jadi kusut bagian depan jubahnya karenanya. Lidah Bu Norma beku. Di sana, kata-kata yang sudah meninggalkan otak dibuat layu oleh nafsu. Napas memburu.
“Mau ke sana sekarang?”
Bu Norma masih belum merespon. Sedari tadi dia coba usir pikiran-pikiran buruk dari kepala. Sayangnya, tidak bisa. Tak kuasa dia menyingkirkan cemas itu. Jangan-jangan, yang dia kira suaminya ternyata bukan suaminya. Tetapi, bagaimana mungkin?!
“Atau… kita main aja dulu. Satu ronde.”
Bu Norma memejamkan mata. Badannya tegang. Kaku. Dia tidak punya cukup keberanian untuk mengamati wajah lelaki yang kini menyingkap jilbabnya, membuka kancing depan jubahnya, lalu tanpa kesulitan mengeluarkan buah dadanya; yang kanan dan kemudian yang kiri. Ketika puting kerasnya disentuh, dia rasakan ada yang keluar. Cairan bentuknya. Kental. Panas.
“Hmmm. Susu. Gurih, nih.”
Lelaki yang dia sangka Dokter Abi langsung saja menyusu padanya. Kursi yang dia duduki digeser menyamping. Mereka kini berhadap-hadapan. Bukan cuma dada, daerah di antara kedua paha Bu Norma juga dirangsang. Seketika dia pun melayang. Selagi putingnya digigiti, perlahan dia diajak berdiri. Kakinya merenggang. Dari luar jubah sutera, itilnya disentil-sentil jahil.
“Mmmasss…..”
“Iya, Dik?” tanya Dokter Abi dalam gumaman.
“Cepet masukin lagiii.”
“Apanya?”
“Kontolnya….”
“Hmmm. Udah gatel, ya?”
Bu Norma mengangguk. Dia tahu ini bukan saat yang tepat. Bukan karena mereka mau makan. Tetapi karena identitas suaminya patut diragukan. Bercinta dengannya adalah hal terakhir yang seharusnya dia lakukan sekarang.
Bagaimana kalau netranya tidak sedang coba mengerjainya?
Bagaimana kalau yang dia anggap Dokter Abi betulan bukan manusia?
Namun… apa boleh buat. Birahinya sudah diubun-ubun. Ketika tubuhnya diputar menghadap cermin dan diposisikan menungging, Bu Norma cuma mempersiapkan diri untuk satu hal: menyambut nikmat.
Dan memang, itu yang Bu Norma rasakan saat sekali lagi vaginanya yang sudah banjir diisi sebentuk batang berurat. Dia merasa penuh. Utuh. Sewaktu kontol itu ditarik hanya untuk kembali dihunjamkan, dia melenguh.
“Uhhhh…. uhhhh….. uhhhhh…..”
Bu Norma kembali bermandikan peluh. Sebelah lengan dia tumpukan pada meja rias. Tangan yang lain dia ulurkan ke belakang, memegangi ujung kain jubahnya agar tak mengganggu. Payudaranya yang bebas berayun-ayun. Pad pantulan kaca di depan hidungnya, Bu Norma dapat menyaksikan betapa dia menikmati setiap genjotan. Setiap hentakan. Setiap sodokan.
“Terus, Mas. Terussss. Yang dalem… yang kerasss….”
“Enak, Dik?”
“Enakkk, Massss.”
“Kamu suka kontol, Dik?”
Bu Norma mengangguk. Otot vaginanya mengencang dan mengendur digempur tanpa selang. Tanpa jeda.
“Paling suka kontol siapa, Dik?”
“Hmmm?”
“Kamu, lho, paling suka kontolnya siapa?”
“Kontolnya Masss.”
“Ah, masa?”
Dokter Abi jamah payudara Bu Norma sambil tetap menggenjot memek si wanita. Bulatan buah dada itu terasa lembut meski sedang dalam kondisi kencang.
“Kan, punyaku standar aja. Punya orang-orang yang nyekap kamu gede-gede pasti, kan?”
“Ahhh…. ahhh… uhhhhmmm, yang…. agak gede cumma punyaaahh Pak Purrr, Mass.”
“Pak Pur?”
Lagi-lagi Bu Norma mengangguk.
“Lha, anak-anak muda yang make kamu di sungai itu? Kecil-kecil kontol mereka?”
Muka Bu Norma semakin memerah.
“Kontolnya Kancil…. panjang, Masss. Nggak disunattt.”
Dokter Abi pegangi kedua bulatan bokong kenyal Bu Norma. Dia buka pipi-pipi mereka. Sepertinya dia sedang bersiap pindah lobang.
“Ohhhh?”
“Kalau… uhhhh… kontolnyaahh To-ohhh-kek bengkok, Masss. Terus ditindik gitu.”
“Ditindik?”
“Hu-uuumm. Aaaahhda gotrinyaahhh.”
Dokter Abi tampar-tampar pantat Bu Norma seraya berkata, “Bajunya baju orang taat. Tapi orangnya budak syahwat.”
Bu Norma sempat akan protes. Tapi tahu-tahu saja gantian anusnya yang diisi. Dibuat mengerang panjang dia. Sakit yang dia terima mengundang reaksi. Semakin kuat otot-otot duburnya meremas kontol yang menyumpal. Yang keluar-masuk-keluar-masuk pada rongganya.
Mendekati klimaks, Bu Norma mendongakkan kepala. Dari posisi kepalanya yang sekarang, dia bisa lebih banyak mengintip ke belakang. Dan yang dia temukan menyebabkan matanya membola. Firasatnya benar. Lelaki yang dia kira suami ternyata bukan Dokter Abi. Sama sekali bukan. Pria itu beruban. Wajahnya keriput. Giginya ompong. Matanya sepasang lubang kosong.
Sadar dirinya diperhatikan, Sukar jumpai tatapan Bu Norma. Melalui bayangan di cermin, mereka bertukar paham tanpa lewat kata-kata. Bu Norma paham dia sedang berzina. Sedang menuai dosa. Sedang mempermulus jalannya ke neraka. Sementara, Sukar yang paham dampak shakti-nya sudah luntur, paham kalau sekarang tidak ada gunanya lagi melantur. Tanpa kagok dia pun bertutur, “Jangan kaget, Bu.”
Bu Norma 10000℅ kaget. Siapa juga yang tidak? Mau dibayar istana seisinya juga dia ogah bercinta dengan kakek-kakek buruk rupa! Lebih-lebih yang sekujur badannya bersisik bagai siluman ular macam Sukar. Akibatnya, pantatnya kian dahsyat menjepit kontol Sukar yang meski geraknya melamban namun tetap diayunkan.
“Nikmati aja, Bu.”
Terbata Bu Norma bertanya, “M-mbah siapa?”
“Aku suami barumu, Bu.”
Ekspresi wajah Bu Norma langsung berubah. Dari yang tadinya sange ke tertegun lalu ke jijik. Sedari tadi yang dia layani adalah orang asing. Sejak tadi dia maksiat.
Bagaimana bisa?
Kenapa dia baru sadar?
Berapa kali kakek-kakek itu sudah buang pejuh di dirinya?
Ada apa dengan dirinya?!
“Bu Norma mau, kan? Tinggal di sini?” Sukar kini menangkup kedua semangka Bu Norma sementara kontolnya diam menancap di dalam pantat si wanita berhijab. Dia hayati setiap kedutan dan remasan otot anus wanita yang dia cinta. Yang ingin dia jadikan pendamping hingga nanti dunia gelap gulita. “Anak kita aman di sini, Bu. Dia akan—”
“LEPASKAN SAYA!”
Saat mencoba galak hanya menghasilkan tawa pria bersisik di belakangnya, Bu Norma mencoba cara lain. Kebetulan air matanya sudah bercucuran. Sekalian saja dia harapkan belas kasihan.
“Lepassin sayaaa, Mbahh….”
Sukar kunci kedua lengan Bu Norma di belakang punggungnya. Gerak wanita itu semakin dia kuasai karenanya. Merasa segalanya dalam kendali, dia pun lalu kembali memompa. Hm. Melepaskan Bu Norma? Tidak akan pernah. Mau bulan sekali lagi terbelah dia juga masih ogah.
“Mbaaahhh…. pliiisssss….”
Bu Norma meronta, meronta, meronta, dan meronta. Dan meronta. Dan meronta. Namun, apa daya. Dia cuma seorang wanita. Kontol di dalam anusnya menguasainya. Menjeratnya. Menyandera. Membuat perlawanannnya percuma. Perjuangannya sia-sia. Semakin dia memberontak, semakin nikmat rasanya. Semakin hebat sensasi yang pemerkosanya terima.
Dan Sukar tidak malu menunjukkannya. Penyamarannya terbongkar, memang. Tapi tak masalah. Bu Norma tak bisa ke mana-mana. Wanita berhijab itu miliknya. Selama-lamanya. Sampai tuhan merasa cukup dengan dunia dan memerintahkan malaikat-Nya meniup sangkakala.
“Mbaaahhh…. sssaya mooohhoonnnn….”
Bu Norma menjerit saat jilbabnya ditarik hingga dia dipaksa mendongak. Dipaksa menonton dirinya sendiri disodomi oleh, sekali lagi, lelaki yang bukan suaminya. Dan yang lebih parahnya, mungkin pemerkosanya kali ini bukan manusia.
Lihat saja sisik-sisik ular pada kulitnya yang tampak kian kentara! Lihat saja keriput di wajah si tua bangka! Kerangka bernyawa itu harusnya sudah lama membusuk di neraka. Lha, kok, malah lagi enak-enaknya dia ngentot seorang calon ummahat yang sedang hamil perdana pada diri Bu Norma!
“Nikmati, Bu.”
Sukar sodomi Bu Norma secara bengis. Satu kaki wanita itu dia naikkan ke meja. Lutut ditekuk. Paha dicekal. Gundukan vagina menggesek-gesek tepian meja. Bagian atas torso Bu Norma, yang masih berjubah tapi sudah menunjukkan auratnya, dia paksa condong ke arah cermin. Tanpa ampun dia rojok lobang pembuangan Bu Norma. Seakan-akan, lubang sempit itu sedang dia lebarkan jadi terowongan atau yang semacamnya dan dia cuma punya lima menit mengerjakannya.
“Kayak tadiii.”
Bu Norma menggeleng. Badannya terdorong-dorong. Mati-matian dia coba untuk tak melolong. Tidak akan ada yang menolong. Keselamatannya, juga keselamatan janinnya, sepenuhnya ada pada dirinya. Pada bagaimana dia bereaksi. Diam bagai patung jelas bukan solusi sebab kakek-kakek yang tengah menggarapnya tampak tidak pernah kekurangan energi. Akan tetapi, meladeni dalam kondisinya yang hamil seperti saat ini juga bukan sesuatu yang tanpa bahaya.
Sekarang apa?
Dia harus apa?
Harus bagaimana?
“Mbaaahhhh…. ahhh…. ahhh…. Stop, Mmmmmbahhh.”
Bu Norma coba mengendurkan empotan lubang pantatnya agar badannya sedikit lebih rileks. Sedikit lebih mengimbangi gerakan si tua bangka.
“Ssssaya istri oraaanggg, Mbaaahhh.”
“Hmmm? Bu Norma nolak,” kata Sukar, satu punggung tangan mengelap dahi keriputnya, “lamaranku, nih?”
Sesenggukan, Bu Norma berkata, “Kasihani saya, Mbahhhh.”
“Hmmm. Yawis.” Sukar terdengar kalah untuk pertama kalinya malam itu. “Nggak jadi biniku nggak masalah. Tetap aja kamu jadi bini orang, Bu.”
Untuk sesaat Bu Norma berharap kakek-kakek yang terobsesi dengan pantatnya itu akan membebaskannya.
“Tapi,” kata Sukar, kedua tangan bertumpu pada tepian meja rias sehingga perut buncit Bu Norma tergencet, “kamu wajib jadi gundik abadi-ku kalau gitu.”
Berurai air mata, Bu Norma menggelengkan kepala. Di belakangnya, Sukar tertawa. Kontolnya mengaduk-ngaduk anus sempitnya. Sekarang dan selamanya.
~bersambung