Kopral dan Gagah tiba kembali di pondok lebih awal dari rencana berkat si raksasa yang mengemudi ugal-ugalan sepanjang sisa perjalanan. Petang masih menyala saat mereka turun dari mobil dan disambut Tokek. Pemuda bermata juling itu menekuri ke tanah. Bagi yang tidak tahu-menahu alasan dia melakukannya, dia terlihat seperti bocah yang menjatuhkan recehan uang jajannya dan tak tahu harus mulai mencari dari mana. Kopral, yang tahu persis penyebab gelagat itu, mendecakkan lidah dengan sebal.
“Jangan rica-rica kontolku, Kopral.”
Bahkan tanpa Tokek bicara, Kopral tahu anak buahnya itu gagal menemukan Bu Norma.
“Mana Kancil?”
“Kan— Masih di hutan. Nyari Bu Norma.”
“Lha kowe kok ndak ikut?”
Belum sempat Tokek menjawab, Gagah sudah memerintahnya mengambil minuman. Arak, tepatnya. Di mobil tadinya ada. Sudah habis dia tenggak semua, sayangnya. Sembari menunggu, dia buka bagasi dan mulai menurunkan barang-barang. Betapa terkejut dia saat seseorang melompat dari bawah terpal yang menutupi bawaan mereka di atap. Kopral, seperti biasa, jadi yang paling cepat bereaksi. Revolvernya teracung sempurna, siap melubangi si penyusup.
Untung bagi Daisy, wajahnya hanya setengah diaku gelap. Setengahnya lagi diterangi senja, mengizinkan Gagah dan Kopral mengenalinya.
“Bule gendeng,” maki Kopral.
“D? The fuck?!”
Daisy masih mengenakan seringai di wajahnya ketika Tokek kembali dengan satu kendi arak di tangan. Tanpa rasa canggung dia renggut tembikar itu dari si pemuda. Dia ucapkan terima kasih, baui isi kendi, lalu meminumnya tanpa bertanya.
“Wooooh.” Mata Daisy sipit saat dia jauhkan mulut kendi dari bibirnya. “You got something strong out here i see.”
Dipandangi penuh arti oleh Daisy, Gagah bertanya, “Kamu ngapain ikut kita? Hah?”
“Ya. Kranggalan gimana kamu tinggal?” Kopral mengamankan revolvernya sebelum meminta kendi diserahkan padanya. Di antara mereka berempat, hanya dia dan Daisy yang tahu apa yang terjadi saat mereka pergi. “Bukane kamu betah di sana?”
“Betah?”
Daisy tertawa. Yang lain tidak.
“I’ll pay to watch that shithole burns to the ground.”
Tokek, yang bahasa inggrisnya sebatas yes/no, mengedip-ngedipkan mata dalam bingung. Dia tidak sendiri. Gagah yang paham english pun dibuat bertanya-tanya.
“Kalian ngomong apa?”
Kopral mengembuskan napas sebelum kemudian menjelaskan keadaan Kranggalan waktu mereka cabut dari sana. Dia juga menekankan berkali-kali bahwa dia sama sekali tidak tahu sejak kapan Daisy jadi penumpang gelap mereka. Tampak jelas dia menyesali yang terakhir itu. Keruntuhan sebuah peradaban manusia dia nomor duakan begitu saja.
“But you love that city,” ujar Gagah selepas Kopral rampung menerangkan.
“Ya.” Daisy mengangguk. “Tapi cinta juga bisa jadi benci, no?”
“O…. ke.” Kopral mulai berkeringat. Tensi antara Daisy dan Gagah hanya akan kian memanas kalau dibiarkan. Lagipula, mereka sudah punya cukup drama dengan lenyapnya Bu Norma. “Kenapa kita ndak makan dulu. Hm? Habis makan kita cari Bu Norma. Sama-sama.”
“Bu Norma?” tanya Daisy.
“Panjang,” kata Kopral sebelum berjalan melewati Tokek sambil geleng-geleng kepala, “ceritane.”
Di meja makan, malam itu mereka menyusun rencana. Mereka sepakat untuk menemukan Bu Norma secepatnya. Tanpa perbekalan serta keahlian bertahan di rimba, wanita itu bisa tewas kapan saja. Jika sampai sepekan ke depan dia masih belum diketemukan, pencarian akan dihentikan. Atau begitu seharusnya. Sebab, selama empat bulan berselang, Bu Norma masih menghilang. Dan mereka masih mencarinya.
Daisy, yang praktis cuma mengenal Bu Norma lewat cerita, jadi yang pertama mengusulkan berhenti. Wanita kaukasia itu ada benarnya. Percuma mereka membuang-buang waktu mencari yang tidak ada. Kalau mereka butuh kehangatan, mereka bisa memakai dirinya. Memejuhi lubang-lubangnya.
“I can take you all four,” kata Daisy enteng, “and some more.”
Daisy yang pengalaman dipake orang banyak

Kopral, Gagah, Tokek, dan Kancil akan bohong kalau mereka bilang argumen Daisy tidak meracuni pikiran mereka. Mereka sudah sama-sama mencicipi apem impor si mantan tentara. Mereka cukup menyukainya sehingga tidak ada yang harus coli. Meski begitu, mereka seakan sepakat. Apapun yang terjadi, Bu Norma harus kembali.
“Apa yang spesial dari Bu Norma?” tanya Daisy suatu ketika sehabis mereka berlima bercinta di lantai dapur pondok. “Kenapa masih kalian cari dia?”
“Uhm.” Kancil jadi yang pertama buka suara. “Bu Norma itu dulu guru. Pinter orangnya. Baik juga. Dan, uhm, tetek dia gede. Enak dikenyotnya.”
“Dia langka,” timpal Kopral yang kontolnya masih digenggam Daisy. “Di tengah dunia yang hilang arah, Bu Norma tahu dia siapa. Jilbabe dia bukan cuma penutup kepala tapi juga udah jadi identitas dia.”
“Aku juga langka,” kata Daisy tak mau kalah.
Tokek mengangguk mantap. Di antara keempat pria, dia yang paling suka menggarap si bule. Sekarang saja kontol bergotrinya masih menancap di vagina Daisy. Dibanding memek Bu Norma, memek wanita pirang itu kalah nggigit memang. Wajar. Mengingat dia dulunya budak seks. Akan tetapi, apem impor itu juga tak buruk-buruk amat. Postur Daisy yang tinggi, misalnya, membuat lubang surgawinya lebih dalam dari rata-rata wanita pada umumnya. Atau begitu yang Tokek percayai.
“Dia masih di luar sana.” Gagah terdengar galau saat mengatakannya. “Aku tahu itu. Aku ngerasa… dia nunggu kita.”
“Bah.” Tokek pegangi kedua sisi pinggang Daisy yang ramping sebelum kembali dia pompa vagina si bule yang rambutnya sudah memanjang melewati bahu sejak kali pertama mereka bertemu. “Ada-ada aja. Nyicip orangnya aja belum pernah padahal. Tahu dari mana?”
Tokek buru-buru menyesali ucapannya saat tatapannya bertemu tatapan si raksasa. Demi apapun juga, pemuda itu merasa, nyawanya bisa melayang saat itu juga. Hanya lewat kontam mata. Dikarenakan alasan yang dia tidak ketahui, tampaknya Gagah jadi yang paling merasa kehilangan Bu Norma meski kelamin keduanya belum pernah bersilaturahmi.
Dan Gagah tak hendak menyangkalnya. Pada hari-hari berikutnya, dia masih rela menunda-nunda keberangkatan mereka ke pasar gelap meski sudah merencanakannya dari jauh-jauh hari. Stok beras dan gula yang cuma sisa beberapa hari dia paksa menanti. Ditemani Kancil, pagi itu dia sekali lagi masuk ke hutan. Berharap akhirnya Bu Norma dapat mereka temukan dan bawa pulang.
“Hope is one thing,” kata Daisy saat melepas kedua pria itu pergi. Sperma milik Tokek meleleh dari celah vagina perempuan berambut pirang yang hanya mengenakan bra olahraga di teras pondok itu. “Reality is another thing entirely. Aku harap kamu cepet bangun dari mimpi, G. Biar kita bisa happy di sini. As a family.”
Lain dengan Tokek yang masih buta mengenai Ustazah Nuzula, Kancil kini tahu alasan Gagah ogah merelakan Bu Norma pergi. Dan dia bisa berempati. Kalau dia jadi Gagah, dia akan cari Bu Norma meski harus ke ujung bumi mana juga. Oleh karena itu, saat Kopral dan Tokek mulai—dalam tanda kutip—menyerah, dia masih setia mencari. Masih sedia mendukung Gagah dan kisah cintanya yang berakhir lebih dini dari yang seharusnya.
Juga, kalau disuruh memilih antara Gagah×Daisy atau Gagah×Bu Norma, Kancil akan selalu memilih yang kedua. Bahkan jika itu berarti dia harus berbagi.
“Ceritain lagi, Cil,” kata Gagah sewaktu mereka bersiap berkemah sore harinya. Belum ada tanda-tanda Bu Norma. Pencarian mereka hanya berbuah letih dan hati yang kian nestapa. Meski teehitung sia-sia, mereka sepakat akan bertahan di belantara setidaknya sampai besok siang. Sesudah mereka meneruskan pencarian di pagi hari. “Gimana rasanya disepong Bu Norma?”
Usai membersihkan kerongkongannya, Kancil buka suara. Dia tidak pernah merasa pandai bercerita. Namun, demi kenangan dan senyuman Bu Norma, dia siap bercerita selama apa juga. Rokok yang baru tadi dia nyalakan dia padamkan; daripada lupa tidak dia isap dan terbakar percuma.
pengen permen Bu Norma kita kayaknya

“Uhm, ah. Yang… ehm, Abang rasain pertama itu tangan Bu Norma. Halus, Bang. Tapi kuat. Nggak lembek. Nggak… ringkih. Gimana, ya… Hm. Manteb, lah, genggaman dia. Kayak ibu-ibu yang doyan kerja tapi ingat perawatan juga. Ehm, terus, ah, bibirnya. Aaargh, Bang, kalau udah ngerasain sekali pasti minta lagi. Bibirnya Bu Norma tuh enak banget, Bang, dicipok. Tebel tapi lemes gitu, lho, Bang. Nggak yang kasar. Nggak yang kaku. Pas ketemu kontol kita, ahh, enaknya ngga ada dua. Terus lidahnya. Ah, ck. Juara. Masih nggak percaya aku pas Bu Norma ngaku sebelum sama kita-kita dia… jijik nyepong, tuh. Nggak, ah. Merendah aja dia paling.”
Kancil buat dirinya sendiri berkeringat mengingat-ingat Bu Norma. Di bawah tenda sederhana mereka, tenda kecil berdiri pada selakangannya.
“Dan kalau nanti Abang bisa ngerasain juga, pas Bu Norma nyepong Abang, pegang kepala dia, Bang. Kayak gini.”
Kancil praktikkan apa yang dia ucapkan dengan kepala imajiner Bu Norma di antara kedua pahanya.
“Buat dia mandang Abang. Nah, gini. Mata ketemu mata, Bang. Ah. Nggak ada obatnya itu, sih. Lihat-lihatan sama Bu Norma pas dia nelen pejuh kita. Arrgghh. Asem. Jadi pengen, kan, aku, Bang.”
Selagi Kancil permisi untuk coli di luar tenda, Gagah merebahkan badan di atas tumpukan daun kelapa yang malam itu akan jadi kasurnya. Setiap kali Kancil bercerita, Bu Norma akan hidup dalam kepalanya. Bedanya, karena belum pernah merasakan sendiri dan juga karena masih malu pada Ustazah Nuzula, dia tahan konak itu. Cukup dia bayangkan saja Bu Norma ada di sampingnya dan dia akan jadi laki-laki paling bahagia di dunia.
Malam itu mereka tidur cepat. Kancil ngorok seperti biasa. Gagah lebih pulas dari biasa sebab makan malam mereka sebelumnya berhasil mengisi perutnya yang sudah beberapa hari merana. Seekor kura-kura air tawar mereka santap usai mereka memasaknya di dalam tempurung kura-kura itu sendiri. Kuahnya mereka padukan dengan bawang liar, lempuyang, dan garam yang dibawa dari pondok. Lezatnya gila. Kancil kurang suka? Kebetulan sekali! Lebih banyak buat Gagah kenyangkan diri.
Seharusnya, jika kita tidur dengan perut yang kenyang, tidur kita akan pulas. Akan berkualitas. Mimpi buruk adalah hal terakhir yang akan menyatroni malam kita.
Sayangnya, pada malam itu, Gagah punya cerita yang berbeda. Dalam mimpinya, dia lihat Ustazah Nuzula menangis. Wanita itu memeluk lututnya sendiri. Badannya berguncang-guncang. Air matanya bisa dipakai mengairi ladang.
Sebisa mungkin, Gagah ingin hentikan tangisan itu. Tetapi, sekeras apa dia mencoba, sulur-sulur tanamam yang membelenggunya tidak mengizinkan. Bahkan hanya untuk menyentuh gurunya dia tidak bisa.
Dalam putus asa, Gagah jumpai tiba-tiba Ustazah Nuzula berhenti tergugu. Wanita itu mendongakkan kepala. Wajah ayu yang dibungkus jilbab kuning madu itu tampak murka. Tanpa peringatan dia kata-katai Gagah. Makian dan umpatan itu hampir seluruhnya luput dari benak si raksasa. Yang dia tangkap, dan ingat ketika bangun cuma satu:
“Bocah gemblung. Aku udah nggak ada! Jangan mengada-ada kamu, ya. Kalau kamu mau hormati aku, kalau kamu kangen anakmu, cinta sejatimu: cari Bu Norma. Sampai ketemu. Jangan pakai ragu. Kalau udah ketemu: cintai dia secinta kamu cintai aku. Karena aku hidup di dalam dirinya!”
Ustazah Nuzula yg gajelas kabarnya

Kata-kata Ustazah Nuzula bukan cuma membangunkannya namun juga berhasil mengobori semangatnya agar berangkat mencari Bu Norma saat itu juga, di tengah malam buta. Meninggalkan tenda dan Kancil yang masih lelap di dalamnya, Gagah pun sekali lagi menelusuri hutan. Sebuah senter dia jadikan senjata utama. Sosoknya yang tinggi besar berderap tanpa suara. Sorot cahaya penerangannya timbul-tenggelam di tengah lebatnya pepohonan. Malam yang dingin tak memperlambatnya. Kabut yang perlahan turun dari arah gunung sia-sia saja coba membuatnya urung. Tekadnya bulat. Bu Norma harus dia dapat.
Berbekal percaya pada Ustazah Nuzula yang secara implisit memberitahu bahwa Bu Norma masih hidup dan butuh pertolongannya, Gagah letakkan satu kakinya di depan kaki yang lain dan begitu seterusnya. Tidak ada kata mundur. Tidak dia kasih kendur. Bahkan jika harus sampai pagi dia lembur.
Kepercayaan diri Gagah sedang tinggi. Andaikata dia sekarang sedang jalan-jalan saja di bawah kanopi rimba yang menyembunyikan angkasa dari pandangannya dan bukan sedang dalam misi suci membawa Bu Norma kembali, dia masih akan melangkah dengan mantap. Dengan penuh kalkulasi. Mencelakai diri sendiri adalah hal terakhir yang pria seberpengalaman dirinya akan lakukan. Sayangnya, hari sial tidak ada di tanggalan. Bahkan tupai yang paling lihai bisa terpeleset juga.
Dan seperti si tupai bernasib sial, raksasa itu temukan dirinya tersesat. Di mana timur dan barat? Yang mana selatan? Di situ Utara? Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, dia merasa sedang berada di tempat asing. Yang mustahil sebab dia mengenal baik hutan yang menyembunyikan pondok dari manusia. Sebaik dia mengenali garis-garis tangannya. Juga siluet ramping Ustazah Nuzula yang tahu-tahu saja dia jumpai di antara pepohonan.
Wanita itu sendirian. Dia berdiri menyamping dari raksasa kita. Wajahnya tersembunyi di balik jilbabnya. Jilbab yang sama dengan yang Gagah lihat di dalam mimpinya. Dalam senyap, sosok pengajar itu mengundang Gagah agar ikut. Agar mengejarnya.
Sekiranya sejam berselang, Gagah sadari dia berada di muka sebuah gua. Lain dengan gua yang di belakang pondok, yang satu ini padasnya dari batuan kapur. Langit-langitnya tinggi sekali. Ada suara samar gemericik air dari dalamnya. Di bibir gua, Gagah kumpulkan keberaniannya. Ya, dia yang raksasa, kali ini takut luar biasa. Badannya merinding. Rasanya seperti berdiri di tepi tebing.
Jika bukan karena dituntun Ustazah Nuzula, sudah pasti dia akan menunggu pagi sebelum berpikir dua kali untuk sendirian memasuki gua yang dia baru sekali jumpai.
Dengan kata-kata Ustazah Nuzula menggema dalam benaknya, Gagah pun mempersilakan dirinya sendiri masuk. Cahaya senternya mulai meredup sejak sepuluh menit terakhir. Dia harus ekstra hati-hati menuruni jalan masuk ke perut gua itu. Di ujung jalan, dia temui lagi sosok mendiang gurunya. Wanita itu kini berdiri menghadapnya. Reaksi pertama Gagah adalah ingin menubruknya. Memeluknya.
Sial, sebuah telaga kecil mencegahnya.
Tanpa melalui kata-kata, Ustazah Nuzula memberitahu Gagah bahwa dia sedang mengambang di atas jalan menemukan Bu Norma. Penasaran, raksasa itu pandangi permukaan telaga. Biru. Biru sekali. Bahkan sesudah senternya padam, biru itu masih bisa dia saksikan dalam gelap.
“Aku… harus nyebur ke sini?”
Ustazah Nuzula mengangguk, tersenyum, melayang ke arah Gagah, membelai dagu si pria, mengecup bibirnya, sebelum pudar dan sirna dari mata. Dengan dada berdebar, proa berambut gondrong itu menghela napas panjang. Walau kini dia kembali sendiri, dia punya firasat mantan gurunya masih mengawasi.
Takut akan mengecewakan wanita itu, Gagah telanjangi diri hingga hanya tersisa celana dalam. Sebuah batu kemudian dia pungut dari dekat-dekat situ untuk lalu dilemparkan ke air. Dia simak suara permukaan air dipecah batu yang kemudian tenggelam ke dasar. Tidak dalam, sepertinya. Guna memastikan semuanya aman, dia menunggu hingga hanya deru napasnya yang dia bisa dengar. Setelahnya, dia menelan ludah dan mencelupkan satu kaki ke air. Dingin.
Dengan gigi bergemeretak, Gagah pun masuk ke air. Dia berenang setengah berjalan ke tengah. Garis air hanya mencapai dadanya di sana. Dia mengedarkan pandang. Gelap. Dia butuh lebih banyak cahaya guna— Apa itu tadi? Sesuatu baru saja menyentuh kakinya? Ikan? Ular? Ah! Lagi! Gagah mengepalkan tangan, bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Saat itulah tiba-tiba dasar telaga runtuh dan Gagah tersedot ke bawah.
~bersambung
Reactions: k0lt3no, Cinta6464, hambudi, dan 20 lainnya