Skip to content

Rasa Untuk Tania ~ Part 2 ~

Esok paginya, untuk memastikan bahwa hubunganku dengan Tania baik-baik saja, aku memberanikan diri mampir ke tempat kost Tania, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam.

Aku mengetuk pintu kamarnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara.

Wajah manisnya tampak begitu alami karena ia tidak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan celana legging warna hitam.

Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar. “Eh, Di? Kok nggak bilang mau kesini?” tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat.

“Iya, gue kebetulan lewat sini dan inget mau ngembaliin buku,” ucapku canggung. “Oh iya, yuk masuk dulu.

Sori agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam kamar. Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam kamarnya. Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku kamarnya tampak rapi.

Ada boneka kucing cukup besar di sudut kamar, yang menandakan bahwa ia tidak setomboy yang orang pikir.

Tania mengambil buku yang aku berikan, lalu menyimpannya di dalam lemari. Ketika ia sedang menyimpan buku dan membelakangiku, timbul suatu keinginan yang amat besar untuk memeluknya dari belakang, lalu mencium lehernya, dan meremas buah dadanya.

Tapi tentu saja aku tidak berani melakukan hal itu. Aku sangat menghargai dia sebagai temanku, terlebih lagi aku menyukainya sebagai perempuan yang menyenangkan. “Adi, lain kali lo kalau nonton di bioskop deket gue, hati-hati dong. Mentang-mentang gelap, lo seenaknya aja grepe-grepe gue. Pelecehan tau!” Dadaku serasa tertusuk mendengar ucapannya yang tiba-tiba itu.

Tapi kemudian ia menoleh ke arahku dan tertawa lepas. “Haha. Becanda ih. Muka lo pucat banget sih?” “Iya. Abisnya gue keasyikan nonton film, lagi seru-serunya. Murni kecelakan kok, Tan,” jawabku membela diri. “Baru pertama kalinya ‘itu’ gue dipegang cowo.

Kanget banget gue waktu itu,” ucapnya sambil tersenyum. Kok rasanya pembicaraan ini jadi agak gimana gitu. Aku tahu, di luar sifatnya yang suka seenaknya, Tania adalah gadis yang baik-baik. Setidaknya ia bukan penganut pergaulan bebas seperti perempuan perkotaan yang lain.

Tapi tetap saja, dia adalah perempuan dewasa yang tidak naif lagi. “Apalagi gue, Tan,” ucapku menimpali. Setelah itu kami berdua saling bertatapan, cukup lama, sampai akhirnya aku berpikir untuk segera pulang saja.

Namun belum sempat aku pamit,

Tania membuka mulutnya dan berbicara. “ehm, Di….” “Ya?” tanyaku. “Ngg… gimana ya bilangnya… bingung,” Tania tersipu. “Apaan sih?” ucapku, berlagak santai. “Hmm… boleh nggak? Ngg…, tapi jangan bilang siapa-siapa, yah?” “Maksudnya?” “Lo janji dulu, jangan bilang siapa-siapa. Please…,” ucap Tania dengan senyum malu-malu. “Iya, gue janji kok. Ada apa?” Tania menunduk, kedua tangannya bertautan di belakang punggung, “Lo…, lo mau nggak megang ini gue lagi? Sejak semalem gue penasaran banget, pengen ngerasain. Bagian yang lo sentuh kemarin rasanya jadi gatel terus, gimana gitu.” “Tan, lo nggak lagi ngerjain gue kan?” nafasku serasa berhenti selama beberapa detik, sementara penisku perlahan-lahan menegang. “Terserah elo mau nganggepnya gimana.

Gue malu banget sebenernya, tapi gue percaya sama lo,” ucap Tania sambil terus menunduk. Aku mencubit pipiku, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan sekedar mimpi basah di tengah malam. Ini sungguhan.

Terdengar konyol dan kekanak-kanakan memang, tapi aku kenal Tania, dia bisa saja seperti itu. Mungkin ini hanyalah nafsu sesaatnya. Mungkin ia tak punya perasaan apa-apa padaku, dan dia, di luar dugaanku, mungkin memang agak naif dalam urusan semacam ini. “Yaudah, gue cuma bercanda kok! Nggak juga nggak apa-apa. Tapi lo udah janji ya nggak akan bilang siapa-siapa,” ucap Tania tiba-tiba, sambil tertawa yang dipaksakan, tapi ada sorot kecewa dari matanya.

Aku tak tahan lagi, aku tak mau bersikap munafik. Aku langsung melangkah maju dan memeluk tubuh Tania. Tubuhnya yang langsing dan tinggi sekarang berada di dalam dekapanku.

Aku dapat merasakan kehangatannya, kelembutan dan kerapuhannya, begitu juga dengan wangi rambutnya yang membuatku melayang. Lalu kutatap matanya, dan kukecup bibirnya dengan lembut.

Kecupan itu berubah jadi lumatan, lalu hisapan, bahkan sesekali ia memainkan lidahnya. “Mmmhh…” Hanya suara lenguhan pelan yang terdengar di antara kami.

Bibirnya terasa manis dan lembut, seperti mengirimkan sensasi luar biasa di seluruh mulutku. Tak lama kemudian, ia memaksaku melepaskan ciuman. “Bego dasar! Gue nggak minta dicium, tapi gue minta lo remesin toket gue!” ucapnya sambil menahan tawa.

Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Kedengaran seperti lelucon yang sangat konyol. Aku duduk di atas kasurnya, “Tania, sini duduk, gue pangku.” Tania melangkah sambil tersenyum malu-malu, lalu duduk di pangkuanku dengan posisi menghadap belakang.

Aku dapat merasakan pinggul dan pahanya yang hanya dibalut legging tipis. Dan aku menduga ia juga bisa merasakan tonjolan penisku di pantatnya, tapi ia tak bilang apa-apa. “Oh iya, Di. Lo jangan macem-macem ya. Kita masih tetep temenan, jadi lo jangan ngelakuin hal yang lebih ya,” ucap Tania. “Iya, gue ngerti kok.

Gue nggak akan ngelakuin yang nggak lo minta,” Aku melingkarkan tanganku di pinggang Tania, lalu mulai meraba perutnya yang rata dari luar kaos. “Perut lo six pack ya?” tanyaku, bercanda. Ia hanya tertawa. Lalu rabaan kedua tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubelokkan ke arah ketiak. “Duuh Adi… Please dong.

Lo lebih suka megang ketek daripada toket ya?” Tania meledek. “Haha. Iya, iya.” Kugunakan jari-jemariku untuk menyentuh buah dada Tania, kutelusuri permukaanya, lalu kutekan-tekan sedikit.

Rasanya lembut dan kenyal, jauh lebih intens dari yang aku rasakan waktu di bioskop.

Dan ternyata ia tidak memakai bra, mungkin karena tadi sedang bersantai di kamar. “Mmmh…,”

Tania melenguh pelan, seperti ditahan. Lalu kupijat lembut kedua payudaranya dari luar kaos.

|

Kuremas-remas pelan. Ternyata ukurannya tidak sekecil yang terlihat dari luar kaos, bahkan gunungnya masih cukup memenuhi telapak tanganku. Selain itu, bentuknya juga bulat dan kencang, sama sekali tidak kendor atau menggantung. Semakin lama pijatanku semakin kuat, kuremas dari bagian pangkal hingga ke putingnya.

Samar-samar aku dapat merasakan putingnya yang sudah sangat keras. Langsung saja kuelus-elus menggunakan jari. “Haaaah… Di, pelan-pelan dong,” ucap Tania dengan nafas yang penuh desahan.

Mendengar suara desahannya, penisku menjadi tegang dengan sempurna, mendesak ke arah pantat Tania. “Gue nggak ngerti nih, rasanya gue udah gila deh.

Bisa-bisanya sekarang toket gue diremes-remes sama sahabat gue sendiri…, dan sekarang, tongkol sahabat gue itu ngaceng di pantat gue,” ujar Tania di sela desahan nafasnya, dan berusaha untuk tertawa. “Gue juga ngerasa ini bener-bener aneh,” ucapku sambil terus meremas buah dadanya. “Iya, aneh. Tapi enak. Ahhh…,”

Tania mendesah panjang ketika kuremas bagian putingnya. Perlahan-lahan, Tania menggerakkan pinggulnya, memberikan gesekan pada penisku. “

Uhhh… gila, enak rasanya,” ujarku.

“Gue kasih bonus tuh dikit, hihi,” ucap Tania. “Mau gue isep pake mulut ga?” tanyaku padanya.

Sekarang rasa malu dan canggungku kepadanya sudah hilang entah kemana. Mungkin tenggelam di lautan nafsu. “Mmmmh… Iyah… mau,” ucap Tania. Kemudian ia langsung berdiri dan membalikkan badan. Lalu ia duduk lagi di pangkuanku, kali ini saling berhadapan. “Kaosnya buka dulu dong,” ucapku sambil menunjuk kaos putihnya yang sudah lecek di bagian dada. “Nggak ah…! Nggak mau!” tolaknya sigap. “Lah, katanya mau diisep?” tanyaku. “Ya lo isep dari luar kaos aja, gimana?” “Susah dong….” “Pokoknya gue nggak mau buka baju, gue takut kebablasan ntar. Bahaya Di, kita kan cuma temenan. Lagian gue masih perawan gitu lho.

Dasar aneh, gumamku dalam hati. Namun aku tetap menghargainya, bisa begini saja sudah merupakan mukjizat bagiku. Langsung kudekatkan kepalaku ke arah dadanya, lalu kuciumi buah dadanya dari luar kaos. Kucoba untuk menghisapnya. Rasanya pahit, kaos ini rasanya tidak enak. “Yaudah, gue kasih bonus lagi,” ucap Tania sambil menggoyangkan pinggulnya lagi. Kali ini penisku bergesek-gesekan dengan vaginanya secara tidak langsung.

Rasanya membuatku kembali bergairah. Kugigit-gigit buah dadanya yang kanan, sementara yang kiri aku remas-remas. “Mmmmhh… Di… this is… our dirty little secret,” ucap Tania. Tiba-tiba saja ponsel Tania berdering.

Merasa terganggu, aku menghentikan aktivitasku. Tania menoleh ke arah ponselnya, lalu segera meraihnya sambil tetap duduk di pangkuanku. “Cuma SMS,” kata Tania. “Siapa?” tanyaku. “Dari Santi. Dia bilang… dia lagi di jalan mau ke sini, lima belas menit lagi sampe,” jawab Tania sambi mengerutkan dahi. “Wah gawat, berarti kita harus udahan nih,” ucapku. Aku mulai panik, akan jadi bencana kalau sampai salah satu dari rangers lain mengetahui perbuatan kami. “Sebentar, jangan dulu,” ucap Tania. “Tapi sebentar lagi Santi mau kesini kan? Lo nggak mau kan kalau Santi sampe tau atau curiga?” tanyaku. “Iya, gue ngerti kok.

Tapi masih ada lima belas menit. Please,” Tiba-tiba Tania menyentuh penisku dari luar celana, lalu membuka restletingnya. Ia menatapku dan tersenyum, “Gue kocokin deh, yah?” Aku tak sanggup menolak.

Tania umurnya sedikit lebih muda dariku, tapi meski begitu ia adalah orang yang cerdas, terutama dalam masalah pelajaran. Aku pertama kali mengenalnya saat kami satu kelas dalam sebuah mata kuliah. Waktu itu aku sudah akrab dengan Galih dan Rian, Tania juga sudah akrab dengan Santi. Lalu kami berkenalan, dan mungkin itulah awal mulanya geng Power Rangers terbentuk. Aku ingat bagaimana aku adalah orang yang paling canggung di hadapan perempuan, bahkan terhadap Tania.

di tunggu part selanjut nya :

1. : https://heylink.me/MATALELAKI18+/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *