Skip to content

NATHAN

BAB 1​

Matahari sudah mulai sejajar dengan jendela kamar. Suara ramai kendaraan terdengar dari luar pagar. Burung-burung berkicau turut riuh meramaikan pagi yang baru dimulai. Nathan masih saja berdiri di depan kaca cermin, sesekali matanya mencari-cari ke arah rambut yang sedang ia sisir. Senyum mengembang saat dia puas dengan hasil sisiran rambutnya.

Nathan mengambil jaket yang tergantung di samping lemari, lalu menyambar tas berisi dompet serta ponselnya. Dari situ dia berjalan keluar kamar, dilihatnya seorang pria berkerudung sarung menutupi wajah dan kepalanya. Nathan tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat ayahnya yang belum siap ke tempat kerja.

“Mau ke bengkel gak?” tanya Nathan pada ayahnya yang terlihat masih setengah mengantuk.

“Duluan aja,” sahut sang ayah.

“Duluan … Duluan … Nanti kayak kemarin, gak datang,” gerutu Nathan sambil melangkah menuju pintu, matanya melirik kesal.

Sang ayah hanya tertawa kecil, “Santai, ayah pasti datang.”

Nathan berhenti sejenak di ambang pintu, menatap ayahnya dengan tatapan ragu. “Iya, kayak waktu bilang jam sembilan nyusul tapi jam dua baru nongol,” sindir Nathan.

“Kemaren ada urusan mendadak,” jawab sang ayah dengan nada membela diri, sambil melipat sarungnya.

“Alasan klasik,” balas Nathan sambil menghela napas panjang, lalu akhirnya keluar rumah.

Nathan bergegas menghampiri motor yang terparkir di halaman dan melesatkannya. Roda motor berputar kencang, membawa serta pergi tubuh Nathan di atasnya. Tak lama, dia sampai di tujuan. Membuka rolling door pelan-pelan, aroma khas oli dan besi tua langsung menyambut. Pandangannya menyapu bengkel yang masih sepi, hanya deretan alat-alat yang sedang menunggu sentuhan.

Nathan meletakkan tasnya di atas meja kerja dan segera menggulung lengan baju. Di sudut bengkel, sebuah mobil tua milik customer yang sudah dua hari dia kerjakan menunggu untuk diselesaikan. Nathan meraih kotak peralatan dan melanjutkan memeriksa bagian mesin yang masih bermasalah. Tangannya cekatan memutar kunci pas, mengencangkan baut, dan menyeka peluh di dahinya dengan punggung tangan. Sekali-sekali, dia menyalakan mesin untuk mendengar apakah suara aneh yang kemarin masih terdengar.

Saat Nathan sedang fokus memeriksa mesin mobil yang dia kerjakan, suara deru mobil sedan terdengar memasuki bengkel. Sebuah sedan hitam berhenti perlahan, dan dari dalamnya keluar seorang wanita cantik yang diperkirakan Nathan berusia pertengahan empat puluhan. Wanita itu melangkah dengan anggun, rambutnya tergerai rapi, dan senyuman tipis menghiasi wajahnya.

“Halo, pagi,” sapa wanita itu ramah, suaranya lembut namun tegas.

Nathan segera berdiri tegak, menghapus tangannya yang berlumur oli dengan lap. “Pagi, ada yang bisa dibantu?” tanyanya sopan.

“Saya mau ganti oli mobil, bisa sekarang?” tanya wanita itu sambil tersenyum.

Nathan mengangguk cepat, merasa sedikit gugup. Segera saja Nathan mengangkat mobil menggunakan dongkrak otomatis dan mengeluarkan wadah oli yang sudah kotor. Si wanita berdiri di dekatnya, memperhatikan setiap gerakan Nathan dengan minat. Sesekali, dia mengangguk atau tersenyum, tampaknya puas melihat keahlian Nathan. Dengan hati-hati, Nathan mengganti filter oli dan menuangkan oli baru ke dalam mesin.

“Kemana pekerja yang satu lagi?” tiba-tiba si wanita bertanya.

Dengan santai Nathan menjawab, “Masih di rumah.”

“Oh … Apakah kalian anak dan bapak?” si wanita lanjut bertanya.

“Benar Bu … Dia adalah ayahku,” jawab Nathan sambil terus fokus pada pekerjaannya.

Hening untuk beberapa detik sebelum akhirnya si wanita bertanya lagi, “Apakah nama ayahmu itu Ronny? Ronny Suparjaya?”

Kali ini Nathan terkejut sampai-sampai menghentikan pekerjaannya. Nathan merasa aneh kenapa wanita ini mengetahui nama ayahnya. Kepalanya sedikit berkerut, mencoba mengingat apakah dia pernah bertemu atau mendengar tentang wanita ini sebelumnya.

“Ibu mengenal ayahku?” tanya Nathan sambil menatap wanita itu dengan penuh rasa ingin tahu.

“Kalau dia Ronny Suparjaya … Ya, aku mengenalnya,” jawab si wanita dengan senyumannya yang semakin manis.

“Ibu tidak salah. Ayahku bernama Ronny Suparjaya,” ungkap Nathan sambil menganggukan kepala lalu kembali fokus pada pekerjaannya, namun pikiran pemuda itu masih berputar-putar mencoba memahami keterkaitan antara wanita tersebut dan ayahnya.

Wanita itu dengan suara lembut melanjutkan ceritanya. “Sebenarnya, aku pernah satu sekolah dengan ayahmu waktu SMA. Ronny Suparjaya adalah siswa yang paling terkenal dan paling tampan di sekolah. Banyak wanita yang menyukainya dan berusaha menarik perhatiannya.”

“Oh ya? Tapi kedengarannya seperti dongeng … He he he …” canda Nathan.

“Serius loh … Ayahmu itu seperti bintang film di sekolah kami. Semua orang tahu siapa dia, dan banyak yang berusaha untuk dekat dengannya,” ungkap si wanita lagi.

Nathan tertawa, “He he he … Wah, jadi ayahku semacam selebriti sekolah ya?”

“Benar sekali … Dan ibumu adalah permaisurinya. Ibumu adalah satu-satunya yang berhasil mencuri hati ayahmu,” kata si wanita yang membuat Nathan menghentikan pekerjaannya.

“Ibu kenal juga dengan ibuku?” tanya Nathan sambil menatap wajah si wanita.

“Tentu saja. Aku sahabat karib ibumu, sampai saat ini pun kami masih bersahabat karib,” jawab si wanita.

Nathan merasa jantungnya berdegup kencang, dan wajahnya berubah bingung. “Tunggu sebentar … Ibu mengatakan kalau ibu masih bersahabat dengan ibuku sampai saat ini?”

“Ya …” jawab si wanita sambil mengangguk dan tersenyum.

“Ibu jangan mengarang cerita. Ibuku sudah meninggal dunia. Mungkin ibu salah orang,” tegas Nathan dengan nada lebih serius, wajahnya menunjukkan keraguan yang teramat sangat.

Wanita itu menatap Nathan dengan penuh pengertian. “Aku mengerti kalau ini sulit diterima. Tapi percayalah, ibumu masih hidup.”

Nathan tertegun sejenak sambil menatap si wanita tak percaya, bingung dengan apa yang baru saja dia dengar. Langsung saja Nathan meneruskan pekerjaannya tanpa ingin mempercayai ‘ocehan’ si wanita yang dianggapnya bual belaka.

Tiba-tiba terdengar suara deru motor memasuki ruangan bengkel, dan ternyata Ronny, ayah Nathan, muncul di ambang pintu. Si wanita, yang segera menyadari kehadiran Ronny, cepat menggeser tubuhnya untuk bersembunyi agar tidak terlihat oleh Ronny. Ronny kemudian menghampiri Nathan yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Namun, saat hendak membantu Nathan, Ronny tiba-tiba melihat sosok wanita itu dari balik sudut. Seketika wajahnya berubah pucat dan tubuhnya bergetar, seolah-olah baru saja melihat hantu.

“Apakabar Ron … Lama tidak bertemu,” sapa si wanita lembut dan bersahabat.

“Ka..ka..kau …” di hadapan perempuan itu, lidah Ronny terasa kelu. Suaranya tidak lebih dari bisikan tergagap-gagap, seolah kata-kata yang ingin diucapkannya tersangkut di tenggorokan. Dengan tangan yang bergetar, Ronny berusaha menenangkan diri, namun matanya tetap terpaku pada wanita itu, yang seolah-olah telah menggali kembali masa lalunya yang kelam.

Nathan, yang merasa bingung dengan situasi yang tiba-tiba menjadi tegang, mengalihkan perhatiannya antara ayahnya dan wanita itu. Wajah Nathan menunjukkan campuran rasa ingin tahu dan kecemasan. “Apa yang terjadi?”

Wanita itu menatap Ronny dengan lembut, “Kita perlu berbicara, Ron. Ini penting. Tentang masa lalu dan tentang apa yang terjadi pada keluargamu.”

Ronny, masih dengan wajah yang semakin pucat, berjuang untuk menemukan kata-kata, sementara Nathan berdiri di tengah keduanya, terjebak antara rasa ingin tahunya dan kekacauan yang mengelilinginya.

“Kamu jangan terus bersembunyi, Ron … Hadapi kenyataan dan sudah saatnya untuk memaafkan masa lalumu,” ucap si wanita dengan nada serius sambil masih menatap lembut wajah Ronny.

“Ja..jangan ganggu keluargaku. Aku mohon pergilah,” ucap Ronny pelan nyaris tak terdengar.

“Ron … Jangan biarkan masa lalu mengusikmu. Kamu boleh melihat ke belakang, tapi jangan membawanya ke masa depan. Ingatlah bahwa setiap hari adalah kesempatan baru untuk memulai lagi. Fokuslah pada apa yang bisa kamu capai hari ini dan biarkan hari kemarin menjadi pelajaran, bukan menjadi beban,” kata si wanita bersungguh-sungguh.

“Ka..kau akan menghancurkan semua yang telah aku pertahankan. Pergilah … Aku mohon pergilah …” tegas Ronny sembari balik badan.

“Ron … Bisakah kita bicara sebentar saja?” tanya si wanita sembari bergerak cepat.

Si wanita mengejar Ronny hingga berhasil menyusul pria yang sedang melangkah dengan tergesa-gesa, menundukkan kepala seolah ingin menghindari tatapan dunia, tapi si wanita dengan lembut menyentuh bahunya, menghentikan langkahnya sejenak. Ronny terdiam, napasnya berat, namun ia tetap tak berani menatap mata si wanita yang kini berdiri di hadapannya dengan penuh kesabaran.

“Ron …” si wanita meletakkan tangannya di kedua bahu Ronny. “Maya sangat ingin bertemu dengan anaknya. Batinnya tersiksa selama ini. Kasihinilah dia, berilah dia kesempatan untuk bertemu dengan anaknya. Dia pernah berkata padaku jika dia diberi kesempatan bertemu dengan anaknya, dia tidak akan merebut darimu, karena kamulah yang mendidik dan membesarkannya.”

“Ini bukan soal merebut atau tidak merebut, ini soal caraku membalas sakit hatiku padanya.” Ronny menepis tangan si wanita dari bahunya, matanya menatap tajam ke kejauhan seolah-olah ada sesuatu yang tak terlihat namun sangat menyakitkan yang sedang ia pandang.

Tak lama, Ronny melanjutkan ucapannya, “Selama bertahun-tahun, aku mencoba melupakan, mencoba menerima bahwa semua yang terjadi adalah takdir. Tapi setiap kali aku melihat wajah anakku, aku ingat apa yang Maya lakukan. Bagaimana dia meninggalkan kami, meninggalkanku, seolah-olah aku tak berarti apa-apa baginya.”

“Ron, orang bisa berubah…”

“Berubah?” Ronny menyela dengan suara yang lebih tinggi, penuh amarah yang tersimpan lama. “Maya mungkin sudah berubah, mungkin dia sekarang ingin menjadi ibu yang baik, tapi itu tidak menghapus apa yang dia lakukan dulu. Luka itu belum sembuh.”

Si wanita menggigit bibirnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Tapi, Ron… ini bukan hanya tentang kalian berdua lagi. Anakmu juga berhak tahu siapa ibunya. Maya juga berhak mendapat kesempatan untuk menjelaskan dirinya.”

Ronny menggeleng pelan, menahan perih yang kembali menyeruak ke permukaan. “Berhak? Bagaimana mungkin dia punya hak setelah semua yang dia lakukan? Aku sudah melupakan hakku dulu, demi anak ini. Aku yang menggantikan semua peran yang hilang. Dan sekarang dia datang, berharap semuanya bisa baik-baik saja? Tidak semudah itu.”

“Ron… kasih itu luas. Aku tahu sakit hatimu yang sangat dalam, tapi membiarkan Maya bertemu anak kalian mungkin juga bisa jadi cara untuk menyembuhkan lukamu.”

Ronny menarik napas panjang, matanya berkabut emosi yang tertahan. “Luka yang kubawa ini tidak bisa sembuh hanya karena satu pertemuan. Terlalu dalam, terlalu banyak yang hilang karena dia. Dan mungkin… mungkin aku tak ingin sembuh.”

Nathan datang mendekat dan menyerahkan kunci mobil kepada wanita itu tanpa sepatah kata. Wanita tersebut menerima kunci dan langsung berjalan menuju mobilnya. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan segera pergi meninggalkan bengkel. Ronny hanya melihatnya pergi tanpa mengatakan apa-apa. Setelah wanita itu menghilang, Ronny hendak beranjak, namun Nathan cepat-cepat menahannya. Nathan berdiri di depan ayahnya, terlihat bingung dan khawatir, menatap Ronny seolah ingin mencari penjelasan atas apa yang baru saja terjadi. Sementara itu, Ronny hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

Nathan menatap Ronny dengan tatapan bingung dan penuh pertanyaan. “Ayah, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa wanita tadi?”

Ronny menghela napas panjang, matanya menunjukkan beban yang berat. “Wanita tadi namanya Ida. Dia teman ayah waktu SMA.”

“Dia berkata padaku, kalau ibuku masih hidup. Aku mendengar semua percakapan ayah sama dia, dan …” Nathan menghentikan ucapannya karena Ronny tiba-tiba bergerak dan duduk di kursi tunggu.

Nathan pun ikut duduk sambil melihat ayahnya yang tampak memikirkan kata-kata yang akan diucapkan. Tak lama, Ronny mulai bercerita dengan suara yang penuh dengan emosi yang tak tertuturkan.

“Waktu kamu masih berusia 7 bulan, hidup kita sangat sulit. Ibumu merasa tertekan dengan kemiskinan yang kita alami. Pada saat itu, dia sudah menjalin hubungan dengan seorang pria kaya, sekarang suaminya. Ibumu tidak hanya menjalin hubungan diam-diam, tapi juga secara terbuka menunjukkan kedekatannya dengan pria itu di depan ayah. Ayah berjuang keras untuk mempertahankan keluarga kita, tapi setiap kali ayah melihat ibumu bersama pria lain, ayah merasa dunia ini runtuh di sekeliling ayah.” Jelas Ronny dan Nathan hanya bisa mendengarkan, wajahnya penuh dengan kebingungan dan kesedihan.

Ronny melanjutkan, suaranya mulai bergetar. “Ayah merasa hancur dan putus asa. Ayah memutuskan untuk pergi dari Jakarta, membawa kamu ke Pontianak, berharap bisa memulai hidup baru.”

Nathan menatap ayahnya dengan rasa ingin tahu dan kesedihan. “Kenapa dia baru muncul sekarang? Kenapa tidak dari dulu?”

Ronny menunduk, matanya penuh keputusasaan. “Ayah tidak tahu apa yang ada di pikirannya sekarang. Mungkin dia merasa bersalah atau mungkin ada alasan lain.”

“Dan kenapa ayah tidak memberitahuku sejak dulu kalau ibuku masih hidup? Kenapa ayah terus menyembunyikannya dengan mengatakan kalau ibu sudah meninggal sejak aku bayi? Tanya Nathan sangat serius.

Ronny menatap Nathan dengan tatapan tajam. “Nathan, ayah tidak memberitahumu karena ayah tidak ingin kamu bertemu ibumu. Ayah ingin Maya merasakan rasa sakit yang sama seperti yang ayah rasakan dulu. Dengan membawamu pergi, ayah berharap Maya akan merasakan kehilangan dan penyesalan sepanjang hidupnya.”

“Jadi nama ibuku adalah Maya?” tanya Nathan.

“Ya …”

“Jadi, ayah hanya ingin membuat ibu menderita?” tanya Nathan lagi.

“Ya, itulah alasannya. Ayah merasa, dengan cara ini, Maya akan merasakan dampak dari keputusannya meninggalkan kita. Ayah ingin dia tahu betapa sakitnya kehilangan sesuatu yang berharga. Ini adalah cara ayah untuk membalas rasa sakit yang Maya berikan.”

Nathan mengerutkan dahi, berjuang untuk mencerna kata-kata ayahnya. “Tapi, apakah itu adil untukku? Aku juga berhak tahu tentang ibuku.”

“Ayah mengerti perasaanmu, Nak. Tapi keputusan ayah adalah bagian dari bagaimana ayah menangani rasa sakit dan kemarahan itu. Jika sekarang kamu ingin mencari tahu atau bertemu ibumu, ayah tidak akan bisa menghentikanmu. Tapi ingatlah, apa pun yang terjadi, keputusan ayah ini adalah bagian dari bagaimana ayah mencoba untuk menangani luka lama.”

Ronny pun akhirnya menceritakan kepada Nathan masa-masa awal pernikahannya dengan Maya, ketika kemiskinan menyelimuti kehidupan mereka dengan sangat menyakitkan. Mereka sering kali tidak memiliki cukup makanan; kadang makan pagi, tetapi sering kali tidak makan sore. Rumah kontrakan kecil yang mereka tempati adalah simbol dari kesulitan mereka, sebuah tempat yang bahkan tidak bisa mereka bayar. Untungnya pemilik kontrakan tidak pernah menagih uang kontrakan mereka.

Ketika Nathan lahir, perubahan dalam sikap Maya mulai tampak jelas. Maya mulai menunjukkan secara terang-terangan ketidakpuasannya terhadap keadaan mereka, berani berkonfrontasi dengan Ronny mengenai kemiskinan. Beberapa bulan setelah itu, Maya mengungkapkan keinginannya untuk berpisah, tetapi Ronny berusaha menahan perpisahan itu.

Namun, harapan Ronny segera sirna ketika ia menemukan Maya sedang bersama seorang pria di rumah kontrakan mereka. Pria itu adalah pacar Maya, yang bernama Alex. Ronny terkejut dan sangat terpukul saat Maya memperkenalkan Alex sebagai pacarnya. Meski dengan kesedihan yang dalam, Ronny mencoba untuk memperbaiki keadaan, namun hanya menemukan pertengkaran dan pembangkangan dari Maya.

Puncak dari penderitaan Ronny terjadi ketika, setelah pulang dari pekerjaannya sebagai kuli bangunan, ia menemukan Maya dan Alex sedang bercinta di rumah kontrakan mereka. Maya dan Alex menantang Ronny untuk menyaksikan perbuatan mesum mereka. Dengan kemarahan yang membara, Ronny segera mengambil Nathan yang masih bayi dan meninggalkan rumah kontrakan itu tanpa niat untuk kembali.

Hidup sebagai gelandangan sambil mengurus Nathan yang masih bayi adalah penderitaan yang tak terbayangkan. Ronny menghabiskan hari-harinya mengemis untuk membelikan susu dan makanan untuk Nathan, mengalami kesulitan dan kelaparan. Suatu hari, seorang nenek merasa iba melihat penderitaan Ronny dan membawa mereka ke rumahnya yang berada di Pontianak. Sejak saat itu, Ronny dan Nathan tinggal bersama nenek di Pontianak, memulai hidup baru.

Saat Nathan mendengarkan cerita ayahnya, kemarahan mulai membara dalam dirinya. Setiap detail dari penderitaan yang dialami ayahnya akibat tindakan Maya membuat darah Nathan mendidih. Perlakuan Maya yang kejam dan tidak berperasaan, termasuk pengkhianatannya dengan Alex juga keputusan untuk meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan. Melihat betapa beratnya hidup yang harus dijalani Ronny, dan mengetahui bagaimana Maya dengan sengaja menambah penderitaan mereka, membuat Nathan merasakan kemarahan yang meledak-ledak. Tindakan Maya dianggap sebagai kekejaman yang sangat besar, dan apa yang dilakukan Maya benar-benar tidak termaafkan.

“Aku lebih baik tidak mengenalnya,” kata Nathan lirih, berusaha menahan amarah yang membara di dalam dirinya.

Ronny berdiri, mengatur napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. “Tapi ibumu pasti akan datang menemuimu,” katanya, mencoba memberikan pemahaman meski hati dan pikirannya masih terombang-ambing antara harapan dan kenyataan. “Dia mungkin merasa bersalah atau ingin memperbaiki semuanya, tapi apapun yang terjadi, itu keputusanmu untuk menentukan apa yang terbaik untuk dirimu sendiri.”

Nathan menunduk, matanya menghindari tatapan Ronny, mencoba menenangkan diri di tengah amarah yang masih membara. “Aku tidak ingin melihatnya,” ucap Nathan dengan nada tegas yang menunjukkan betapa dalam kebenciannya. “Aku tidak mau bertemu dengan seseorang yang telah menghancurkan hidup kita.”

Ronny dan Nathan melanjutkan pekerjaan mereka di bengkel seperti biasa. Mereka fokus pada tugas-tugas yang ada, menyelesaikan perbaikan dan pekerjaan dengan efisien. Sore hari tiba, dan mereka mulai menutup bengkel, membersihkan alat-alat dan merapikan tempat kerja. Setelah semua selesai, mereka pulang ke rumah, siap untuk beristirahat setelah seharian bekerja.


Nathan baru saja selesai makan malam sendirian setelah Ronny pergi menghadiri undangan ulang tahun temannya. Saat duduk di sofa ruang tengah dan hendak menyalakan televisi, bel rumah berbunyi. Nathan segera menuju pintu dan membukanya. Ia langsung terkejut melihat Ida, wanita yang pagi tadi mengungkapkan identitasnya, sedang berdiri di pintu rumah.

“Apakah aku mengganggu?” tanya Ida seramah mungkin.

“Tergantung,” tegas Nathan yang enggan menerima tamunya saat ini.

“Hhhmm … Apakah ayahmu ada?” tanya Ida lagi cuek dengan sikap Nathan yang kurang bersahabat.

“Ayah sedang pergi,” ucap Nathan dengan nada kesal.

“Bagus kalau begitu. Berarti kita akan bebas ngobrol,” kata Ida dengan nada tenang, tak terganggu oleh sikap Nathan.

“Ngobrol?” Nathan terkejut.

“Aku akan memberitahukan sesuatu yang pasti ayahmu tidak pernah membicarakannya denganmu,” ungkap Ida dan kata-kata itu manjur sehingga Nathan menjadi penasaran.

“A..apa yang ingin ibu bicarakan?” tanya Nathan yang kini bernada lembut.

“Kita akan bicarakan kalau aku diajak masuk ke dalam,” ucap Ida dengan senyum mengembang di bibirnya.

Dengan rasa penasaran yang membuncah, Nathan akhirnya mempersilakan Ida masuk. Mereka duduk di sofa ruang tamu, saling berhadapan. Nathan merasa sangat tegang, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan ketidaknyamanan. Ida duduk dengan tenang, tampak tidak terganggu oleh suasana yang canggung. Keduanya saling memandang, masing-masing menunggu untuk memulai percakapan.

“Jadi …” Nathan mengawali percakapan. “Apa yang hendak ibu bicarakan?” tanya Nathan kemudian.

Ida langsung bertanya, “Apakah ayahmu pernah menceritakan latar belakang kehidupannya?”

Nathan menjawab, “Tidak terlalu banyak. Hanya sedikit tentang masa lalunya.”

Ida melanjutkan, “Apa yang kamu ketahui tentang ayahmu?”

Nathan menjelaskan, “Ayah sudah yatim piatu sejak kecil dan sebatang kara.”

Ida tersenyum, lalu berkata, “Apa yang dikatakan ayahmu adalah bohong.”

Nathan terkejut dan bertanya, “Kejutan apa lagi yang akan Ibu berikan padaku?”

Ida menjawab, “Kamu punya dua paman, yaitu adik-adik ayahmu.”

“Apakah ucapan Ibu bisa dipercaya?” tanya Nathan yang mulai tertarik dengan cerita Ida.

“Tidak ada untungnya membohongi kamu. Aku hanya ingin kamu mengetahui latar belakang keluarga kamu. Ini penting supaya kamu bisa mengerti tentang latar belakang tindakan ibumu, yang telah menyakiti ayahmu,” jawab Ida.

“Baiklah … Aku akan mendengarkan dan mudah-mudahan aku bisa mengerti,” ucap Nathan sembari memperbaiki posisi duduknya.

Ida menatap Nathan sejenak sebelum melanjutkan. “Ayahmu sebenarnya berasal dari keluarga yang kaya raya,” katanya pelan. “Tapi hidup ayahmu berubah setelah ibunya meninggal saat dia berusia enam tahun. Setahun kemudian, ayahnya – kakekmu – menikah lagi dan memiliki dua anak dari istri barunya. Ibu tiri ayahmu sangat kejam. Dia membuat ayahmu menderita setiap hari. Sampai akhirnya, ayahmu diusir dari rumah oleh ayahnya sendiri karena sebuah fitnah keji.”

“Fitnah apa?” tanya Nathan dengan suara rendah.

“Ibu tiri ayahmu mengaku diperkosa oleh ayahmu,” jawab Ida dengan tenang, sementara itu Nathan tampak semakin terkejut. “Padahal itu bohong. Saat itu, ibumu sedang mengandungmu sembilan bulan. Dia percaya sepenuhnya kalau ayahmu tidak bersalah. Ibumu memohon agar ayahmu melawan fitnah itu dan mempertahankan kebenaran, tapi ayahmu menyerah. Dia pergi begitu saja dan meninggalkan semuanya,” jelas Ida. Nathan merasakan emosi yang bercampur, antara marah dan kecewa.

Ida pun melanjutkan, “Ibumu sangat kecewa dengan sikap ayahmu yang tidak mau melawan. Jadi, dia mulai merencanakan balas dendam terhadap ibu tirimu. Saat kamu lahir, ibumu langsung bergerak dengan meminta bantuan seorang pengacara bernama Alex. Tapi di sinilah kesalahan terbesarnya.”

Nathan menatap Ida dengan tajam. “Apa yang dia lakukan?”

“Alex setuju akan membantu ibumu, tapi dengan satu syarat … Ibumu harus mau menjadi pacarnya, dan ibumu menerima syarat itu.” kata Ida, menghela napas. “Ya, itu awal dari kehancuran semuanya.”

“Dia bercinta di depan ayahku, bukan?” Nathan menggeram menahan marah dengan mata yang terus menatap Ida.

Ida menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Ibumu melihat Alex sebagai pria yang ideal. Dia pintar, berani, dan selalu tahu cara menghadapi masalah. Itulah yang membuat ibumu akhirnya jatuh cinta padanya. Tapi ibumu pernah mengakui kepadaku, kalau semua itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Ibumu ingin sekali meminta maaf pada ayahmu.”

Nathan mendengus, wajahnya dingin. “Kesalahan dia itu tidak terampuni. Aku tidak akan pernah memaafkannya seumur hidup.”

Ida menatap Nathan dengan lembut, mencoba menasehati. “Nathan, kamu harus mengubah sikapmu terhadap ibumu. Dia sangat menyayangimu. Dia menyesali apa yang terjadi, dan kamu harus memberi kesempatan.”

Dengan tegas, Nathan menjawab, “Itu mustahil. Kalau dia benar-benar menyayangiku, kenapa dia membiarkan ayah membawaku pergi? Seharusnya dia melarang ayah, bukan diam saja.”

Ida terkejut mendengar itu. “Nathan, bukan begitu cerita yang sebenarnya. Ayahmu membawa kamu kabur secara diam-diam saat ibumu tidak ada di rumah kontrakan. Ibumu tidak menyangka kamu akan dibawa pergi oleh ayahmu.”

Nathan menatap Ida tajam, keraguan mengisi pikirannya. “Apa cerita ini benar adanya? Atau ini hanya cara agar aku memaafkan dia?”

Ida menghela napas, mencoba memahami kemarahan Nathan. “Ini adalah kebenaran, Nathan. Ibumu depresi ketika tahu kamu hilang dibawa ayahmu. Dia hancur, kehilangan arah. Tapi saat itu, dia tidak bisa berbuat banyak untuk mencari kamu. Keadaan dia juga sangat sulit.”

Nathan tetap diam, masih berusaha mencerna kata-kata Ida, namun matanya menunjukkan tanda-tanda kebingungan dan amarah yang mulai mereda. Tak lama, Nathan menggelengkan kepala, masih bingung. “Aku tidak bisa menerima cerita ini begitu saja. Aku harus mengkonfrontasikan hal ini dengan ayah.”

Ida menatap Nathan dengan ragu. “Aku tidak yakin ayahmu akan mengatakan yang sebenarnya, Nathan. Selama ini dia menutupi semuanya darimu, bahkan sampai kamu dewasa. Bukankah itu sudah cukup bukti? Jika aku tidak muncul, mungkin kamu tidak akan pernah tahu kebenaran ini.”

Nathan terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ida. Setelah menghela napas, ia pun berkata, “Tapi aku ingin membuktikan kebenaran semua ini sendiri. Aku butuh kepastian.”

Ida tersenyum tipis, “Kalau begitu, temuilah ibumu di Jakarta. Hanya dia yang bisa menceritakan sisanya.”

Nathan berpikir sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan pergi ke Jakarta. Aku akan menemui dia dan mendengar langsung semuanya.”

Mendengar hal itu, Ida tersenyum lega. “Aku senang kamu mau mempertimbangkan ini. Aku akan membantumu mengatur segalanya agar bisa bertemu ibumu.”

Setelah percakapan itu berakhir, Ida pamit untuk pulang. Ida berjanji akan menemui Nathan besok pagi di bengkel, memastikan semuanya siap sebelum Nathan berangkat ke Jakarta. Nathan mengantarnya sampai ke mobil yang terparkir di pinggir jalan. Nathan memperhatikan mobil itu pergi, lampu belakangnya perlahan menghilang dari pandangan di balik gelapnya malam. Setelah itu, Nathan kembali ke rumah, menutup pintu dengan perasaan tak menentu. Tanpa berpikir panjang, dia langsung merebahkan badannya di atas tempat tidur. Dalam hati, Nathan bertekad untuk menemukan kebenaran terlebih dahulu sebelum memutuskan langkah selanjutnya.


Setelah perdebatan panjang antara Nathan dan Ronny, akhirnya Ronny menyetujui Nathan untuk menemui ibunya di Jakarta. Namun, ada satu syarat yaitu Nathan harus segera kembali secepat mungkin ke Pontianak setelah pertemuan itu. Dengan persetujuan yang didapat, Nathan segera menyiapkan segala keperluan untuk perjalanannya. Pakaian dan barang-barang penting dia kemas dengan cepat. Setelah semuanya siap, Nathan menuju bengkel dan menunggu kedatangan Ida.

Tidak butuh waktu lama, Ida tiba dengan mobilnya. Tanpa banyak bicara, mereka segera berangkat menuju bandara. Sesampainya di sana, Ida dan Nathan membeli tiket penerbangan ke Jakarta. Setelah menunggu beberapa saat, pesawat yang membawa mereka pun mengudara, membawa Nathan lebih dekat pada kebenaran yang sedang dia cari.

Nathan duduk di kursi pesawat, memandang ke luar jendela dengan pikiran yang berkecamuk. Sementara itu, Ida yang duduk di sebelahnya, tak bisa mengalihkan pandangannya dari Nathan. Dia mengamati wajah Nathan dan menyadari betapa tampannya Nathan, perpaduan sempurna antara ketampanan ayahnya dan kecantikan ibunya. Ida merasa terkagum-kagum melihat bagaimana Nathan mewarisi gen terbaik dari kedua orangtuanya.

“Bagaimana kehidupan ibuku sekarang?” tiba-tiba Nathan bertanya, suaranya penuh keingintahuan.

Ida tersenyum sebelum menjawab, “Ibumu sekarang hidup dalam kemewahan. Dia menjadi seorang pengusaha sukses dengan harta dan kekayaan yang melimpah. Semua yang dia impikan dulu telah tercapai.”

Nathan menatap Ida dengan serius. “Apakah Alex menjadi suaminya?”

Ida mengangguk. “Ya, Alex memang menjadi suami ibumu. Tetapi, Alex meninggal sepuluh tahun yang lalu karena sakit. Sejak saat itu, ibumu tidak memiliki pendamping lagi.”

Nathan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. Sambil memandang ke luar jendela pesawat, dia berpikir tentang bagaimana hidup ibunya yang bergelimangan harta, sementara dirinya masih mencari kebenaran tentang masa lalu mereka.

Nathan agak terkejut ketika Ida bersuara, “Sebenarnya aku dibayar ibumu untuk menemukanmu.”

“Dibayar?” kata Nathan sambil menoleh ke arah Ida.

Akhirnya Ida memutuskan untuk mengungkapkan kebenaran. “Nathan, aku sebenarnya adalah seorang polisi intel yang dibayar ibumu untuk mencari kamu. Selama dua tahun terakhir, aku mencari kamu dan ayahmu, dan akhirnya aku berhasil menemukan kalian.”

Nathan terkejut dan menatap Ida dengan penuh pertanyaan. “Kenapa ibuku baru berniat mencari aku dalam dua tahun terakhir?”

Ida menghela napas sebelum menjelaskan, “Sebenarnya, ibumu sudah mencari kamu sejak belasan tahun yang lalu. Dia telah menyebar orang-orang untuk mencarimu. Aku baru dua tahun ini mendapat tawaran untuk mencarimu, tetapi ibumu sudah menyuruh banyak orang untuk menemukanmu sebelum aku.”

“Oh …” gumam Nathan.

“Nathan … Aku ingin memberi kejutan pada ibumu,” ungkap Ida membuat alis Nathan terangkat.

“Kejutan apa yang ingin kamu berikan padanya?” tanya Nathan penasaran.

Ida tersenyum, “Sebenarnya aku belum melaporkan keberhasilan penemuanku ini pada ibumu. Dan hari ini adalah hari ulang tahun ibumu. Aku punya rencana untuk memberinya kejutan sebagai hadiah ulang tahun, dan aku butuh kerja samamu.”

“Hhhmm … Baiklah …” jawab Nathan sedikit mendesah.

Ida menjelaskan rencananya kepada Nathan untuk memberikan kejutan pada Maya yang akan merayakan ulang tahunnya hari ini. Meskipun Nathan merasa enggan mengikuti rencana tersebut, dia akhirnya memutuskan untuk terlibat. Nathan berpikir bahwa tidak ada salahnya ikut serta, meskipun dia masih menyimpan banyak rasa sakit hati. Nathan merasa bahwa terlibat dalam rencana ini mungkin akan membantunya memahami lebih baik tentang ibunya dan memberikan sedikit penutupan pada masa lalu yang penuh luka.

Tak terasa pesawat pun mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Nathan dan Ida turun dari pesawat dan melangkah ke area kedatangan. Mereka segera menuju ke tempat pengambilan bagasi dan setelah mengambil barang bawaan mereka, keluar dari terminal. Ida memanggil taksi dan mereka berdua masuk ke dalamnya. Selama perjalanan menuju rumah Ida, suasana di dalam taksi tenang, dengan jalan-jalan Jakarta yang sangat ramai terlihat melalui jendela.

Bersambung​

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *