Skip to content

CERBUNG –  NATHAN

BAB 15​

Nathan sudah satu jam mengurung diri di dalam kamar setelah kembali dari pertarungannya dengan Denis. Suasana dalam kamar sunyi. Hanya suara napasnya yang terdengar. Ia duduk di atas kasur, memejamkan mata, dan berusaha mengalihkan pikiran dari rasa sakit dan amarah. Fokus pada pernapasan membantunya menemukan ketenangan. Setiap hirupan membawa kedamaian. Setiap hembusan mengeluarkan beban. Dalam keheningan itu, ketegangan mulai menghilang. Tiba-tiba ketukan halus terdengar dari pintu. Nathan membuka mata lalu turun dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu. Ketika pintu terbuka, kepala rumah tangga berdiri di depan, menyampaikan bahwa ia sudah ditunggu oleh Maya di ruang keluarga. Nathan menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa hari penghakiman telah tiba.

Nathan melangkah keluar dari kamar dan menuju tangga. Ia menuruni anak tangga dengan langkah mantap. Di bawah, ia melihat Maya, Denis, dan Ida. Ketiganya memandang ke arahnya, menyiratkan ketegangan. Nathan tidak merasakan takut. Ia siap menghadapi semua kemungkinan, termasuk yang terburuk sekali pun. Sesampainya di sofa besar, ia berdiri di depan mereka, bersiap untuk menghadapi situasi yang ada di hadapannya.

“Duduk!” perintah Maya dengan wajah yang suram.

Nathan duduk di sofa, berdekatan dengan Maya. Denis duduk di samping Maya di sofa panjang, menampilkan ekspresi serius. Di hadapan Nathan, Ida duduk dengan tenang. Ruangan terasa tegang, suasana berat menghampiri mereka. Nathan mencoba memusatkan perhatian pada situasi di depan, mengamati ketiga orang itu. Maya menatapnya, sementara Denis mengalihkan pandangan ke arah Ida.

“Mengapa kau tidak bisa menahan diri, Nathan?” Maya langsung menyalahkannya. “Aku sudah memujimu karena bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berat ini. Tapi sekarang, semua itu sia-sia.”

Nathan menghela napas. “Aku tidak ada pilihan lain. Denis memaksaku untuk berduel.”

Maya tetap tidak puas. “Seharusnya kau bisa mengabaikan Denis. Kau seharusnya bicara padaku dulu, jangan ambil keputusan sendiri.”

“Aku minta maaf,” kata Nathan pelan. “Aku khilaf.”

Denis tersenyum, mengalihkan perhatian ke Maya. “Kau selalu membelaku, Maya. Lihat? Dia tak akan bisa menyakitiku selamanya.”

Maya menoleh tajam kepada Denis. “Aku tidak membelamu, Denis. Aku menghentikan ini karena aku tidak ingin Nathan jatuh ke dalam kebencian yang sama seperti kamu.”

Denis tertawa sinis mendengar perkataan Maya. “Kau pikir bisa mengubahku, Maya? Kebencian adalah bagian dari diriku. Nathan tidak bisa menghindarinya, dan kau pun tidak bisa melindunginya selamanya.”

Nathan merasakan kemarahan membara dalam dirinya. “Kau yang memulai semua ini, Denis. Ini semua salahmu.”

Denis bersandar santai di sofa panjang. “Ah, jangan berlebihan. Kau harus belajar untuk berdiri sendiri. Jika tidak, orang seperti aku akan selalu memanfaatkan kelemahanmu.”

Maya menggelengkan kepala, mencoba menahan diri. “Kau tidak mengerti apa yang kau lakukan. Ini bukan hanya tentangmu, Denis. Ini tentang dampak tindakanmu pada orang lain.”

Denis menyeringai. “Dampak? Semua orang di sekelilingku sudah terbiasa. Kekuatan datang dari keberanian menghadapi kenyataan, bukan dari harapan kosong.”

Nathan menatap Denis dengan penuh tekad. “Kekuatan sejati berasal dari pilihan yang benar, bukan dari kebencian.”

Denis hanya tertawa, menunjukkan bahwa ia tidak terpengaruh oleh kata-kata Nathan. “Kau masih terlalu naif, Nathan. Dunia ini tidak seperti yang kau bayangkan. Kebencian adalah cara untuk bertahan.”

“Denis … Kau sudah kelewat batas …” Maya mendesah marah sembari mengepalkan tangan. “Kesombonganmu harus segera diakhiri,” kini suara Maya menggeram dengan mengatupka gigi gerahamnya.

“Maya, aku hanya mencoba membuat Nathan kuat,” kata Denis, mencoba mempertahankan posisinya. “Dia harus belajar menghadapi kenyataan.”

Maya tidak terima. “Kau hanya ingin menunjukkan dominasimu, Denis. Ini bukan tentang mengajarkan. Ini tentang memaksakan kehendakmu!”

Denis meluruskan tubuhnya, menunjukkan kearoganannya. “Dunia tidak akan mengasihani orang yang lemah. Kau seharusnya mengerti itu.”

Maya menatapnya dengan marah. “Kau benar-benar egois. Semua yang kau lakukan hanya untuk kepentinganmu sendiri. Nathan bukan objek permainanmu!”

Denis terkekeh. “Kau sekarang membela Nathan. Tidak ada gunanya, Maya. Dia tidak akan pernah bisa mengalahkanku.”

Maya merasa darahnya mendidih. “Berhenti meremehkan Nathan! Dia lebih dari sekadar lawan bagimu. Kau hanya takut kehilangan kekuasaan.”

“Takut?” Denis membalas dengan nada mengejek. “Kau tidak tahu apa yang aku rasakan.”

Maya tidak bisa menahan kemarahannya. “Aku sudah cukup mendengarkanmu! Ini semua hanya permainan bagimu. Aku tidak akan membiarkan Nathan terjebak dalam kebencianmu!” Di puncak kemarahannya, Maya mengeluarkan keputusan yang mengejutkan. “Aku ingin duel antara kalian berdua. Sekarang, aku akan melihatnya langsung.”

Denis terkejut hebat saat mendengar pernyataan Maya. Wajahnya seketika pucat, dan matanya membelalak. Dia tidak siap menghadapi permintaan itu. Tubuhnya kaku, seolah semua kekuatan mengalir keluar darinya.

Denis mundur sedikit, tangannya bergerak tidak pasti, mencoba mencari pegangan pada sofa. Napasnya semakin cepat, dan suaranya bergetar saat ia berbicara, “Maya, itu… itu tidak perlu.”

Namun Maya tidak mendengarkan. “Duel ini harus dilakukan dengan satu syarat: salah satu dari kalian harus mati.”

Denis tersentak, wajahnya berubah pucat. “Kau tidak serius, kan, Maya? Itu berlebihan!”

Keringat mulai mengalir di pelipisnya, dan ia menggelengkan kepala seolah berharap dapat membatalkan apa yang baru saja dikatakan. Gesturnya menunjukkan ketidakpastian dan ketakutan. Ia berusaha tetap tenang, tetapi nada suaranya mengkhianati ketakutannya. Denis terus meremas tangan, mencari-cari kata-kata untuk menyakinkan Maya, tetapi jelas bahwa ia tidak siap menghadapi konsekuensi dari permintaan itu.

Maya menatapnya tajam mata Denis, “Kau yang selalu menginginkan ini, Denis. Sekarang saatnya menghadapi konsekuensinya.”

Denis mundur sedikit lagi, terlihat ketakutan. “Aku… aku tidak ingin membunuhnya. Ini tidak perlu. Ki..kita bisa menyelesaikannya dengan cara lain.”

Maya tetap teguh. “Tidak, ini saatnya. Kalian harus membuktikan siapa yang lebih kuat, dan aku tidak ingin melihatnya berakhir tanpa satu di antara kalian yang tersisa.”

Denis merasakan ketakutan menghampiri dirinya. “Maya, tolong. Jangan buat kami berduel. Ini semua tidak perlu.” Suaranya bergetar, jelas menunjukkan bahwa ia mulai merasa terdesak.

“Denis, cukup! Ini adalah konsekuensi dari tindakanmu,” Maya menjawab tegas, tanpa ragu.

Denis berusaha menahan air matanya. “Aku mohon. Jangan lakukan ini. Aku akan melakukan apa saja yang kau mau, asalkan aku tidak harus berduel dengan Nathan.”

Maya tidak bergeming, kemarahan dan kekecewaannya sudah mencapai batas. “Ini bukan tentang keinginanmu, Denis. Ini tentang tindakanmu. Kau harus bertanggung jawab.”

Denis semakin putus asa. “Maya, aku berjanji akan mengikuti semua perintahmu. Jangan paksa aku berhadapan dengan Nathan!”

Senyuman sinis muncul di wajah Maya. “Keluar dari rumah ini. Ingat, nyawamu ada di tanganku. Jika kau melakukan hal yang membuatku marah, aku hanya perlu menjentikkan jari, dan semua ini akan berakhir untukmu.”

Gestur Maya menunjukkan kemurkaannya yang sangat besar. Ia berdiri tegak, menatap Denis dengan tajam, seolah mengingatkan bahwa ia benar-benar serius. Denis merasakan ketakutan menyelimuti dirinya. Dalam keadaan panik, ia berbalik dan berlari keluar dari rumah, tidak berani menoleh lagi. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, sementara ancaman Maya terus terngiang di telinganya.

Maya langsung berjalan ke lantai dua menuju kamarnya. Langkah Maya tergesa, menunjukkan emosi yang terpendam. Nathan mendengar isakan kecil keluar dari mulutnya, suara itu penuh kepedihan. Maya terisak, terperangkap antara kemarahan terhadap Denis dan rasa kasih sayang yang masih mengakar kuat. Perasaan tersebut saling bertentangan di dalam dirinya, menciptakan ketegangan yang sulit dipadamkan. Nathan merasakan kesedihan Maya. Ia ingin mengulurkan tangan, tetapi tidak tahu bagaimana cara memberikan dukungan. Saat Maya menghilang dari pandangan, Nathan berdiri terdiam, merasakan ketidakberdayaan dalam menghadapi situasi yang menyakitkan ini.

Ida melihat Nathan yang tampak cemas. “Maya sudah jengkel kepada Denis sejak lama. Ini adalah saatnya dia membuat keputusan,” ujarnya dengan nada tenang.

Nathan menatap Ida dengan prihatin. “Kasihan Maya. Aku ingin sekali menghiburnya.”

“Biarkan Maya menyendiri dulu,” kata Ida. “Aku yakin dia tidak akan bersedih lama. Dia akan kembali sediakala nanti malam.”

Nathan berharap ucapan Ida terbukti. Ia tidak mau melihat Maya bersedih terlalu lama. “Aku harap begitu,” ucapnya lirih.

Ida mengalihkan perhatian. “Bagaimana kalau kita minum di bar? Mungkin bisa mengalihkan pikiranmu.”

Nathan mengangguk, merasa bahwa sejenak menjauh dari situasi ini bisa membantu. Mereka berdua beranjak dari tempat itu, menuju home bar di bagian timur rumah besar ini, berharap bisa menemukan sedikit pelarian dari perasaan sedih yang menggerayangi. Sesampainya di bar, suasana terasa lebih santai. Lampu redup memberikan nuansa hangat, sementara rak berisi berbagai jenis minuman menunggu untuk dinikmati.

Ida mengambil botol dan menuangkan minuman ke dalam dua gelas. “Kita perlu ini,” katanya, tersenyum tipis. Nathan menerima gelasnya, berusaha untuk menenangkan pikirannya. Mereka duduk di bar, menikmati momen sejenak. Suara gemericik es menambah suasana yang lebih rileks. Nathan berharap Maya akan segera menemukan kedamaian dalam dirinya. Ia ingin melihat senyumnya kembali.

“Maya sudah sangat kecewa dengan sikap sombong Denis,” ucap Ida. “Sikapnya sudah melewati batas. Ini bukan pertama kalinya.”

Nathan mengerutkan dahi. “Maksudmu?”

Ida melanjutkan, “Denis selalu merasa di atas segalanya. Dia terus menerus meremehkan orang lain, bahkan orang-orang di sekitar Maya. Sikap itu membuat banyak relasi Maya mundur.”

Nathan mengangguk, berusaha memahami. “Tapi kenapa Maya tidak menegurnya?”

“Dia sudah mencoba,” Ida menjelaskan. “Namun Denis selalu menganggap dirinya benar. Maya merasa frustasi.”

“Jadi ini semua adalah alasan di balik kemarahan Maya tadi?” Nathan bertanya lagi.

“Persis,” kata Ida. “Dia merasa terjebak. Di satu sisi, dia sangat mencintai Denis, tetapi di sisi lain, dia tidak bisa menerima sifatnya yang egois.”

Nathan menghela napas. “Itu pasti sulit untuknya.”

Ida mengangguk. “Sangat sulit. Maya ingin hubungan ini berhasil, tetapi Denis tidak memberi ruang untuk itu. Dia harus memilih antara mempertahankan hubungannya atau menjaga martabatnya.”

Tiba-tiba, Raka datang dengan semangat yang menggebu. Ia menghampiri Nathan dan langsung menepuk-nepuk pundaknya. Wajah Raka terlihat sangat bergembira, senyum lebar menghiasi bibirnya, seolah membawa suasana baru yang segar. Nathan yang sedang merenung merasa sedikit terkejut, tetapi senyum Raka menular. Raka terlihat seperti tidak memiliki beban, berbeda dengan perasaan Nathan yang masih dipenuhi kekhawatiran akan Maya.

“Selamat Tuan Muda … Aku senang mendengar kabar baik ini. Aku ingin juga merayakannya,” ucap Raka sambil berjalan ke rak bar yang berisi banyak botol minuman.

“Kamu nguping ya?” tanya Ida dengan nada tidak enak.

“Ha ha ha … Ini adalah waktu yang kami tunggu …” ucap Raka tak menghiraukan pertanyaan Ida, Pria tinggi besar itu duduk di sebelah Nathan. “Selamat Tuan Muda …” ucapnya lagi sambil mengangkat botol lalu menenggaknya.

“Bagaimana kalau Maya berubah pikiran dan memanggil Denis datang lagi ke sini?” tanya Nathan setengah bercanda.

Raka tersenyum lebar dan menepuk pundak Nathan lagi. “Nathan, kau tahu, Nyonya Besar bukan tipe orang yang mudah menjilat ludah sendiri. Setiap keputusan selalu dijalankan dengan konsisten, apapun risikonya. Dia keras dan tegas.”

Ida yang duduk di sebelah Nathan mengangguk setuju. “Benar. Maya selalu tegas dalam melaksanakan keputusannya. Tak ada ruang baginya untuk menyesali apa yang sudah dia tetapkan.”

Nathan menatap Ida dan Raka bergantian, masih mencoba memahami situasi. “Jadi, keputusan tentang Denis ini…?”

Ida menatap Nathan. “Maya sudah mempertimbangkannya sejak lama. Kebetulan ada kasus seperti tadi yang memicunya. Ini bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Dia sudah jengkel sejak lama.”

Raka kembali angkat bicara. “Sebenarnya, aku punya ide. Aku berpikir untuk memberi masukan kepada Nyonya Besar agar Taun Muda Nathan menjadi asisten pribadinya.”

Nathan terkejut. “Asisten pribadinya? Aku? Tapi aku bukan pengusaha atau pebisnis. Aku bahkan buta soal bisnis. Bagaimana mungkin?”

Raka tersenyum, tidak terganggu oleh keraguan Nathan. “Tuan Muda punya potensi. Tuan Muda cocok untuk itu, dan aku yakin semua pegawai di lingkungan bisnis Maya akan menghormatimu.”

Ida menambahkan, “Soal mengatur usaha, kau bisa belajar dari Maya. Dia pasti akan mengajarkanmu. Dia tidak akan membiarkanmu gagal.”

Beberapa pegawai dan security tiba-tiba muncul di bar, berjalan mendekat dengan senyum lebar. Mereka mengulurkan tangan, satu per satu menyalami Nathan. Ucapan selamat terdengar dari mulut mereka, memuji Nathan karena telah berhasil mengalahkan Denis. Beberapa di antara mereka terlihat sangat antusias, seolah kemenangan Nathan menjadi kemenangan bagi semua orang. Mereka berbicara dengan nada penuh persetujuan, mengatakan bahwa Nathan layak menjadi pengganti Denis.

Nathan hanya tersenyum bercampur bingung. Ia tidak menyangka akan mendapatkan perhatian sebesar ini, apalagi usulan untuk menggantikan Denis. Walaupun situasi tersebut membuatnya merasa terhormat, ada keraguan dalam hatinya. Suasana penuh semangat dari para pegawai membuatnya hanya bisa merespons dengan senyuman, tanpa tahu apa yang harus ia katakan.

Suasana di dalam rumah berubah seperti perayaan besar. Semua orang yang berkumpul tampak berseri-seri, merayakan kekalahan Denis seolah-olah mereka baru saja mendapatkan kebebasan. Beberapa pegawai sibuk menerima telepon dari rekan-rekan mereka di luar rumah, bertanya tentang kebenaran berita kekalahan Denis. Suara tawa dan sorakan mengisi ruangan, menciptakan atmosfer penuh kegembiraan.

Ada juga yang tidak mengenal Nathan, tetapi tetap ikut merasa senang. Bagi mereka, Denis yang telah lengser dari posisinya adalah alasan cukup untuk merayakan. Aura kolektif di ruangan itu semakin kuat, seolah-olah seluruh beban yang sebelumnya ada karena Denis kini terangkat. Nathan, meski masih bingung dengan semua perhatian itu, hanya tersenyum tipis, sambil melihat suasana yang tak pernah ia duga sebelumnya.


Saat malam tiba, suasana di rumah besar itu benar-benar berbeda dari siang tadi. Riuh perayaan telah lama berlalu, digantikan keheningan. Nathan kini duduk di kamarnya, sebuah buku terbuka di tangan, namun matanya tak benar-benar mengikuti setiap kata. Dia duduk diam, memandang kosong pada halaman buku yang seolah tidak berarti. Setelah dorongan para pegawai siang tadi agar dia menggantikan Denis, pikiran Nathan terus berputar. Meski semua orang tampak mendukungnya, Nathan tahu keputusan akhir tetap ada di tangan Maya. Dan hingga kini, belum ada kejelasan tentang peran apa yang sebenarnya dia harus ambil.

Tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk, suara itu menggema di tengah kesunyian malam yang pekat. Nathan, yang sedang duduk di kursi dekat jendela dengan buku di tangannya, langsung menghentikan bacaannya. Ia tertegun, alisnya berkerut dalam kebingungan. Siapa yang mengetuk pintu di jam selarut ini?

Nathan tertegun, napasnya tercekat di tenggorokan saat pintu terbuka. Di depannya, berdiri Maya dengan gaun tidur tipis berwarna pastel yang melayang ringan di tubuhnya. Kain transparan itu hampir tak menyembunyikan apa pun, memunculkan bayangan samar bra dan celana dalamnya di balik kain lembut. Mata pemuda itu, meskipun berusaha untuk tidak memandang terlalu lama, tak bisa menahan diri dari tertuju pada sosok Maya yang seolah tanpa sengaja memancarkan sensualitas. Nathan berusaha mengalihkan pikirannya, tetapi hasrat kelelakiannya tersentak oleh penampilan Maya yang begitu menggoda.

Maya tetap berdiri di sana, tatapan matanya terlihat tenang, seolah tak menyadari betapa penampilannya telah menyalakan badai dalam benak Nathan. Sekilas, Nathan mencoba memerintah dirinya sendiri untuk tetap tenang, tetapi perasaan rumit antara keterkejutan, keingintahuan, dan godaan birahi membuat pikirannya semakin kabur.

“Boleh masuk?” tanya Maya tanpa basa-basi.

Nathan mengangguk. “Tentu, silakan.”

Maya melangkah masuk, lalu berdiri di tengah kamar, pandangannya menyapu ruangan sebelum akhirnya menatap Nathan. “Aku ingin bicara denganmu soal posisi asisten pribadiku,” ucapnya tegas.

Nathan terdiam, mencoba mencerna maksud Maya. “Tapi, aku tidak yakin bisa mengemban tugas itu. Aku belum paham bisnis atau cara mengatur pegawai.”

Maya melangkah perlahan ke arah tempat tidur. Sesampainya di tepi tempat tidur, Maya duduk dengan anggun. Gerakan sederhana saat ia menyilangkan kakinya, mengekspos paha mulusnya yang terlihat begitu halus di bawah cahaya lampu kamar, menciptakan pemandangan yang langsung menusuk perhatian Nathan. Pemandangan itu bukan hanya sekadar pemandangan indah, tapi terasa seperti serangan langsung pada semua naluri pemuda itu. Paha Maya yang tersingkap membuat jantung Nathan berdebar semakin cepat, panas tubuhnya naik seiring dengan dorongan hasrat yang ia coba redam.

“Kamu memang belum menguasainya. Tapi aku tidak mencari seseorang yang sempurna. Aku mencari seseorang yang bisa dipercaya dan berani. Dan kamu sudah membuktikan itu,” ucap Maya dengan senyum menggoda.

Nathan tampak ragu. “Tapi, para pegawai… mereka lebih berpengalaman. Aku belum siap memimpin mereka.”

Maya menetap lekat mata Nathan, “Pengalaman bisa kamu pelajari. Masalah bisnis dan pegawai, aku akan mengajarkanmu. Yang paling penting, kamu sudah menunjukkan kemampuan untuk bertindak dengan benar, dan itu lebih berharga daripada sekadar tahu teori.”

Nathan berjalan mendekati Maya dan duduk di sebelahnya, “Kenapa aku? Aku tidak pernah membayangkan diriku sebagai pemimpin. Apalagi untuk bisnis sebesar ini.”

Maya tersenyum tipis, tetapi ada ketegasan dalam sorot matanya. “Karena aku tahu kamu berbeda. Kamu bukan Denis. Kamu tidak akan membiarkan kesombongan atau ego mengendalikan keputusanmu. Dan itu yang aku butuhkan.” Maya kemudian mengusap-usap paha Nathan.

Nathan menghela napas panjang. “Aku masih merasa ini terlalu berat.”

Maya mengusap paha Nathan dan sesekali menyentuh organ vitalnya. “Kamu tidak perlu siap untuk segalanya sekarang. Yang penting, kamu siap untuk belajar. Sisanya akan datang dengan waktu. Jadi, mulai besok, kamu resmi menjadi asisten pribadiku.”

Nathan menatap Maya sejenak, melihat kesungguhan di wajahnya. Akhirnya, ia mengangguk perlahan, meski masih ada keraguan di dalam dirinya.

“Baik,” jawab Nathan pelan.

Maya tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Kita mulai pelan-pelan, Nathan. Aku yakin kamu bisa.”

Mata Nathan dan Maya bertemu dalam tatapan yang dalam, seolah berbicara dalam bahasa yang hanya mereka pahami. Nafas mereka berdua semakin berat, perlahan tapi pasti saling mendekat, tanpa kata, tanpa suara, hanya dorongan naluriah yang begitu kuat. Kulit mereka nyaris bersentuhan, hingga akhirnya, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang liar dan penuh gairah. Rasa lapar akan satu sama lain tak bisa lagi ditahan. Ciuman itu menggiring mereka lebih dalam ke pusaran nafsu yang menguasai. Keduanya tenggelam dalam momen yang penuh hasrat, seolah tak ada yang lain di dunia ini selain keinginan birahi yang tak terbendung. Setiap gerakan, setiap sentuhan, membawa mereka semakin jauh ke dalam gelora yang menguasai tubuh dan pikiran mereka.

Pakaian Nathan dan Maya berjatuhan ke lantai. Tubuh mereka saling berpelukan mesra, kulit telanjang mereka bersentuhan dalam kehangatan yang memabukkan. Nafas mereka terengah-engah, setiap desah terasa menggema di ruangan. Ketika tubuh mereka akhirnya bersatu, dunia luar seolah menghilang sepenuhnya. Mereka adalah satu, menyatu dalam gelombang keinginan yang tak terbendung. Ritme tubuh mereka menyatu, seolah menari mengikuti melodi hati yang bergetar. Setiap gerakan dipenuhi dengan kehangatan dan ketulusan, mengalir seperti air yang tak terputus. Mereka saling menyesap, menikmati keindahan setiap detik, merasakan kesenangan yang hanya bisa ditemukan dalam pelukan satu sama lain. Akhirnya, Maya mengeratkan pelukannya, merasakan detak jantung Nathan yang berdetak cepat, seolah memantulkan hasrat yang baru saja terlampiaskan. Tangan Nathan menjelajahi punggung Maya, merasakan kehangatan kulitnya, sementara bibir mereka mendekat, saling mencari satu sama lain.


Acara di rumah Maya berlangsung meriah, dipenuhi tawa dan obrolan hangat di antara para pejabat tinggi yang hadir. Dalam suasana elegan, Maya berdiri di depan tamu-tamunya, senyumnya memancarkan rasa percaya diri dan kebahagiaan. Di sampingnya, Nathan berdiri dengan tampang tenang meski dalam hati ia merasakan campur aduk antara kegembiraan dan gugup.

Maya mengangkat gelasnya, menarik perhatian semua orang. “Terima kasih atas kehadiran kalian semua di sini siang hari ini. Hari ini adalah momen spesial bagi saya dan juga bagi perusahaan kita.”

Suara tepuk tangan menggemuruh dari para tamu. Nathan menatap Maya dengan penuh rasa bangga.

“Seperti yang kita ketahui, Denis telah berhenti dari posisinya,” lanjut Maya, “dan saya ingin memperkenalkan pengganti yang sangat saya percayai.”

“Hidup Tuan Muda Nathan …!” salah satu tamu berteriak.

Maya tersenyum, matanya berkilau. “Saya dengan bangga mengumumkan bahwa Nathan akan menjadi asisten pribadi saya mulai hari ini!”

Suara tepuk tangan semakin kencang, disertai sorakan gembira. “Selamat, Nathan!” seru salah satu pejabat.

Nathan merasa wajahnya memanas, namun senyumnya tak pernah pudar. “Terima kasih, semuanya. Saya sangat bersemangat untuk mengambil tanggung jawab ini. Saya berjanji akan memberikan yang terbaik dan mendukung Maya dalam setiap langkah,” ujarnya, berusaha tetap rendah hati.

Maya menatap Nathan dengan bangga. “Saya tahu kamu akan melakukannya. Mari kita raih kesuksesan bersama!”

Tamu-tamu bersorak dan bertepuk tangan lagi, menciptakan atmosfer yang penuh keceriaan. Beberapa dari mereka maju untuk memberi selamat secara langsung.

Acara pengumuman pengangkatan Nathan sebagai asisten pribadi Maya berakhir dengan suasana yang penuh kegembiraan. Tamu-tamu berdiri, mengobrol akrab sambil menikmati hidangan yang disajikan dengan cantik. Latar belakang musik lembut mengalun, menambah kehangatan hari itu. Nathan berdiri di sudut ruangan, mengamati kerumunan yang bersemangat, merasakan kebanggaan dan rasa syukur mengalir dalam dirinya.

Maya, di tengah kerumunan, dikelilingi oleh para pejabat yang mengucapkan selamat. Senyumnya tak pernah pudar, merefleksikan kebahagiaan yang menular. Setiap sapaan dan pelukan membawa aura positif, menjadikan hari itu terasa lebih istimewa. Nathan memperhatikan bagaimana Maya memancarkan karisma yang membuat semua orang merasa terhubung, dan betapa dia semakin mencintai tugas barunya.

Ketika tamu-tamu mulai beranjak pulang, Nathan merasakan kelelahan dan kepuasan sekaligus. Mereka yang tersisa saling bertukar cerita, berbagi rencana untuk masa depan. Suasana hangat dan penuh harapan membuatnya yakin bahwa langkah yang diambilnya adalah langkah yang tepat. Dalam hati, ia berjanji untuk bekerja keras dan memberikan yang terbaik.

Maya menghampirinya, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh makna. Tanpa perlu kata-kata, Nathan merasakan dukungan dan kepercayaan yang Maya berikan. Dia tahu, bersama-sama, mereka akan menghadapi tantangan dan meraih sukses. Dengan senyum yang tulus, Maya mengusap pipinya, dan Nathan merasa energi positif mengalir di antara mereka.

Rumah Maya yang semula riuh kini berangsur tenang, namun kenangan dari acara tersebut akan terus membekas. Ketika pintu ditutup dan suasana menjadi sepi, Nathan dan Maya duduk bersebelahan di sofa ruang kerja Maya, merasakan kedekatan yang semakin mendalam.

“Nathan, ada yang ingin aku bicarakan tentang Denis,” kata Maya tiba-tiba mengajak Nathan bicara serius.

Nathan mengangguk, matanya fokus pada Maya. “Aku tahu Denis sangat berarti bagimu. Aku ingin dia menjadi bagian dari kita lagi.”

Maya terkejut, memutar tubuhnya menghadap Nathan. “Maksudmu, kau ingin Denis tetap terlibat?”

“Ya, tetapi dengan batasan yang jelas,” ucap Nathan. “Dia bisa berada di sampingmu, mendukungmu, tetapi posisinya tidak lagi berhubungan dengan pekerjaan.”

“Kenapa kamu begitu percaya diri?” tanya Maya, penuh rasa ingin tahu.

“Aku tahu betapa berharganya Denis bagimu. Denis atau Alex bagian dari sejarahmu yang aku yakin kamu tidak akan bisa melupakan sejarah itu,” jawab Nathan.

“Ya, kamu benar. Alex tak akan pernah bisa aku lupakan,” kata Maya lirih.

“Aku bisa merasakan kedekatan yang kamu miliki dengannya. Namun, kita perlu menetapkan batasan. Aku tidak masalah berbagi tempat tidur, tetapi harus ada kejelasan. Denis hanya sebagai suami kamu, tidak lebih,” tegas Nathan.

Maya tersenyum, merasakan betapa besar hati Nathan. “Tapi… bagaimana jika Denis ingin terlibat lebih jauh dalam pekerjaan?”

“Kamu harus bersikap tegas. Pastikan dia mengerti posisinya. Dia tidak punya kewenangan apapun mengenai pekerjaanmu,” kata Nathan, suaranya mantap.

Maya mengangguk, meskipun sedikit ragu. “Aku akan berbicara padanya. Terima kasih sudah mengerti.”

“Ini demi kita semua,” balas Nathan. “Aku ingin hubungan kita berjalan baik tanpa adanya permusuhan.”

“Bagaimana caramu berbagi tempat tidur dengannya?” tanya Maya sambil mengulum senyum.

“Denis adalah suamimu dia lebih berhak atas dirimu. Untuk masalah itu aku serahkan pada kalian berdua,” jawab Nathan.

“Dan aku sangat menghargai kebesaran hatimu,” ucap Maya dengan lembut, wajahnya merona malu.

Setelah menerima tanggung jawab sebagai asisten pribadi Maya, Nathan merasa perlu mengetahui dengan jelas apa yang diharapkan darinya sebagai asisten pribadi. Tanpa menunda, Nathan langsung mengajukan permintaan untuk penjelasan. Maya langsung mengambil kendali pertemuan itu dengan penuh ketegasan. Mereka duduk di ruang kerja Maya yang luas, meja penuh dengan dokumen dan layar monitor yang menampilkan data-data perusahaan. Maya memulai pengarahan dengan menjelaskan struktur organisasi perusahaan, di mana Nathan akan ditempatkan.

“Posisimu berada tepat di bawahku, Nathan,” kata Maya sambil menunjuk diagram organisasi di layar. “Kamu akan menjadi perantara utama antara aku dan tim manajemen proyek. Komunikasi yang jelas dan tepat waktu sangat penting di sini. Tidak boleh ada kesalahan informasi.”

Nathan mengangguk, mencatat beberapa hal penting di selembar kertas yang sudah disiapkannya. Maya melanjutkan penjelasan, memperlihatkan setumpuk dokumen di hadapannya.

“Ini adalah jadwal rapat untuk bulan ini, juga daftar proyek yang sedang berjalan,” Maya menyerahkan beberapa dokumen tebal kepada Nathan. “Pastikan kamu selalu tahu perkembangan setiap proyek. Kalau ada yang terlambat atau terhambat, kamu laporkan langsung ke aku.”

Nathan membuka dokumen itu dan mulai membolak-balik halaman. “Ada banyak proyek yang harus aku pantau. Apa yang harus menjadi prioritas utama?” tanyanya, sedikit ragu dengan tanggung jawab yang baru diberikan padanya.

Maya menatap Nathan sejenak sebelum menjawab. “Fokus utamamu adalah proyek ekspansi di Kalimantan. Itu proyek terbesar kita saat ini. Segala sesuatu terkait proyek itu harus berjalan lancar. Tapi, jangan abaikan proyek yang lebih kecil. Kalau ada masalah, selesaikan dengan cepat. Kamu harus bisa memprioritaskan tanpa perlu menunggu instruksi.”

Nathan menulis catatan tambahan sambil mendengarkan penjelasan Maya dengan serius. Kemudian, Maya menjelaskan tentang prosedur pengelolaan tugas harian. Setiap hari, Nathan harus memeriksa laporan dari setiap divisi, menyusun agenda rapat, dan memastikan semua berjalan sesuai rencana. Dia juga diberi wewenang untuk menindaklanjuti masalah-masalah mendesak.

“Ketepatan waktu itu segalanya di sini,” Maya memperingatkan. “Tidak boleh ada rapat yang tertunda, tidak boleh ada laporan yang terlambat masuk. Semua harus berjalan mulus, dan kamu harus menjaga itu.”

Nathan mengangguk lagi, mulai merasakan beratnya tanggung jawab di pundaknya. Namun, seiring Maya terus menjelaskan, ia mulai merasa lebih percaya diri. Setiap langkah dijelaskan dengan jelas dan detail, membuat Nathan tahu apa yang diharapkan darinya.

“Jadi, misalnya, jika ada masalah di proyek ekspansi Kalimantan, bagaimana cara terbaik untuk menanganinya?” tanya Nathan, mencoba lebih memahami prioritas yang dimaksud.

Maya memberikan contoh situasi. “Kalau ada keterlambatan pengiriman bahan, kamu hubungi tim logistik, tanyakan di mana masalahnya, dan berikan solusi. Jika tidak ada perkembangan dalam dua jam, laporkan ke aku. Tapi ingat, jangan biarkan masalah kecil mengganggu jalannya proyek besar.”

Setelah beberapa waktu, Nathan mulai merasa lebih nyaman. Dia paham bahwa ini bukan hanya soal tugas, tetapi soal bagaimana dia bisa mengelola waktu, memecahkan masalah, dan menjaga profesionalisme di setiap langkah.

Maya akhirnya menyimpulkan pengarahan dengan memberikan beberapa catatan penting, sambil menutup dokumen di depannya. “Kanu sudah tahu tanggung jawabmu sekarang, Nathan. Jangan buat kesalahan.”

Nathan mengangguk tegas. “Aku paham. Aku akan memastikan semua berjalan sesuai rencana.”

Setelah pengarahan selesai, Nathan berdiri dan merapikan dokumen-dokumen yang diberikan Maya. Ia menatap Maya sejenak, menyadari besarnya tanggung jawab yang kini berada di pundaknya. Maya, yang biasanya terlihat dingin dan otoriter, tampak sedikit lebih tenang setelah memberikan penjelasan yang jelas. Nathan menarik napas dalam, merasa lebih siap menghadapi hari-hari ke depan. Saat ia melangkah keluar dari ruangan Maya, pikirannya dipenuhi oleh strategi dan rencana untuk memastikan setiap tugas dapat diselesaikan dengan sempurna. Dalam hatinya, Nathan tahu bahwa ini adalah awal dari peran barunya yang jauh lebih menantang, tetapi juga penuh peluang untuk membuktikan kemampuannya.


Nathan telah bersiap untuk makan malam bersama Maya. Pakaian yang dikenakannya sudah rapi dan tidak ada yang kurang. Setelah memeriksa penampilannya di depan cermin, Nathan membuka pintu kamarnya dan melangkah keluar. Ia berjalan menuju tangga lalu menuruni setiap anak tangga. Ketika sampai di lantai satu, ia langsung menuju ruang makan. Namun, saat memasuki ruang makan, Nathan agak terkejut. Di sana, Denis aka Alex sudah duduk dan terlihat sedang berbincang-bincang dengan Maya. Nathan berjalan mendekat, mengambil tempat duduk di salah satu kursi yang tersedia. Sesaat, Nathan melirik ke arah Denis. Denis tampak menunduk, tidak menunjukkan minat untuk membalas tatapan Nathan.

“Baiklah, semuanya sudah siap,” ucap Maya sambil merapikan serbet di pangkuannya. “Kita mulai makan malam sekarang.”

Nathan mengangguk pelan, mengalihkan pandangannya dari Denis yang masih menunduk. Maya menatap keduanya bergantian, suaranya tenang tapi tegas. “Malam ini, kita lupakan dulu semua urusan. Mari kita fokus menikmati hidangan.”

Nathan dan Denis tidak banyak bicara, hanya mengambil peralatan makan dan mulai menyantap hidangan yang telah tersaji di meja.

Makan malam berlangsung dalam keheningan yang terasa kaku. Suara alat makan yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya yang terdengar. Tidak ada percakapan, hanya tatapan sesekali dari Nathan ke arah Denis, sementara Denis tetap fokus pada makanannya tanpa menoleh. Waktu terasa lambat hingga akhirnya semua selesai menyantap makanan. Maya meletakkan garpu dan pisaunya dengan perlahan, mengakhiri suasana sepi yang telah mengisi ruang makan ini sepanjang malam itu.

Maya membersihkan mulutnya dengan serbet dan kemudian menatap Denis dengan pandangan yang serius. “Kami ingin membicarakan masa depanmu di rumah ini,” kata Maya tanpa basa-basi. “Apakah kau tertarik untuk membicarakannya?”

Denis diam sejenak sebelum menjawab dengan singkat, “Ya.”

Maya menatapnya lebih dalam. “Apakah kau masih ingin tinggal di rumah ini?”

Denis mengangguk, menjawab lagi hanya dengan satu kata, “Ya.”

Maya melanjutkan, nada bicaranya tetap tegas. “Jika kau masih ingin tinggal di sini, ada syarat-syarat yang harus kau patuhi.”

Denis menatap Maya, lalu berkata dengan nada datar, “Aku akan mendengarkan.”

Maya duduk dengan tegak di kursinya, menatap Denis aka Alex tanpa keraguan. Setelah diam sejenak untuk memastikan semua perhatiannya tertuju, Maya mulai berbicara.

“Syarat pertama,” ucap Maya tegas, “adalah kepatuhan penuh terhadap otoritasku. Tidak ada ruang untuk negosiasi. Semua keputusan ada di tanganku, dan kau harus mematuhinya tanpa pertanyaan.”

Denis mengangguk tanpa protes.

“Kedua,” lanjut Maya, “Kau tidak akan terlibat dalam urusan bisnis. Aku tidak akan mengizinkanmu untuk ikut campur dalam operasi atau keputusan apa pun yang berkaitan dengan perusahaanku.”

“Baik,” jawab Denis singkat.

Maya melanjutkan dengan nada yang tetap serius. “Ketiga, kau harus menunjukkan sikap rendah hati dan hormat kepada semua orang di rumah ini, termasuk Nathan. Kesombongan yang dulu kau tunjukkan tidak bisa diterima lagi.”

Denis menundukkan kepalanya, tampak setuju.

Maya menambahkan, “Aksesmu terhadap informasi sensitif akan sangat terbatas. Kau tidak akan mengetahui hal-hal penting yang menyangkut urusan pribadi atau profesionalku kecuali aku sendiri yang memutuskan memberitahumu.”

Denis tetap diam, mendengarkan tanpa interupsi.

“Syarat selanjutnya,” Maya memulai, “adalah memperbaiki hubunganmu dengan Nathan. Ingat, ide untuk memanggilmu ke sini lagi adalah ide Nathan. Kau harus berterima kasih padanya karena dia percaya padamu dan ingin memberikan kesempatan kedua.”

Denis menatap Nathan sejenak sebelum mengangguk. Ia memahami bahwa hubungan baik dengan Nathan sangat penting untuk bisa tinggal kembali di rumah ini.

Maya melanjutkan, “Ada pengawasan ketat atas semua tindakanmu di sini. Setiap langkah yang kau ambil akan diperhatikan. Jika kau melanggar kepercayaan ini, konsekuensinya akan berat.”

Denis mengangguk, menerima fakta bahwa ia harus menjalani masa pemulihan.

“Kemudian, syarat kesetiaan. Kau harus setia pada nilai-nilai yang kami pegang di rumah ini. Kesetiaan tidak hanya pada keluarga, tetapi juga pada prinsip-prinsip yang mengatur kehidupan kita.”

Maya mengambil napas dalam dan melanjutkan, “Jika semua syarat ini kau terima, aku akan mengijinkanmu tinggal bersama kami. Tetapi, jika kau keberatan, aku tidak akan memaksakanmu. Kau bisa memilih untuk tinggal sendiri.”

Denis meresapi semua syarat tersebut. Setelah beberapa saat, ia menghela napas dan mengakui, “Aku terima semua syarat itu. Aku mengakui kesalahanku selama ini. Aku ingin memperbaiki semuanya.”

Nathan berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Denis. Denis menatap Nathan beberapa saat, mempertimbangkan langkah ini. Akhirnya, ia menjabat tangan Nathan.

Nathan berkata, “Denis, aku minta maaf atas perbuatanku yang tidak mengenakan. Aku seharusnya lebih memahami situasi yang kamu hadapi.”

Denis menatap mata Nathan, merasa keikhlasan dalam kata-kata itu. “Aku juga minta maaf, Nathan. Aku telah bersikap egois dan merendahkanmu. Aku seharusnya tidak melakukan itu.”

Nathan mengeratkan jabatan tangan mereka. “Aku menghargai kamu, Denis. Kita seharusnya bisa saling mendukung, bukan saling menjatuhkan.”

Denis membalas erat jabatan tangan Nathan. “Aku setuju. Mari kita mulai lagi dari sini. Kita bisa lebih baik bersama.”

Maya melihat momen antara Nathan dan Denis dengan penuh rasa bahagia. Senyumnya merekah saat ia menyaksikan kedua laki-laki itu saling bermaaf-maafan. Tangan Maya bertepuk dengan lembut, merasakan kelegaan dalam hatinya. Ia merasa beban emosional yang selama ini mengganggu berangsur hilang. Keputusan untuk memanggil Denis kembali ke rumah mulai membuahkan hasil. Maya yakin hubungan antara Nathan dan Denis akan lebih baik ke depannya.


Keesokan harinya, Nathan memulai tugas barunya dengan mengunjungi lima perusahaan besar milik Maya. Tujuan utamanya adalah memperkenalkan dirinya sebagai asisten pribadi Maya yang baru, sekaligus mendalami seluk-beluk setiap perusahaan. Di setiap perusahaan yang ia kunjungi, Nathan langsung bertemu dengan para direksi dan mengadakan rapat untuk membahas kondisi perusahaan serta rencana ke depan. Nathan mencermati setiap presentasi, mendengarkan dengan seksama laporan keuangan, proyek yang sedang berjalan, serta tantangan yang dihadapi masing-masing perusahaan.

Sepanjang hari itu, Nathan merasa semakin memahami tugas yang akan diembannya. Setiap rapat memberinya gambaran yang jelas tentang peran pentingnya dalam struktur organisasi. Ia juga mulai menguasai berbagai aspek operasional dari masing-masing perusahaan. Meskipun banyak informasi yang harus dicerna dalam waktu singkat, Nathan merasa semakin percaya diri dan mampu mengelola tanggung jawab barunya.

Saat sore tiba, Nathan kembali menemui Maya di ruang kerjanya. Dengan tenang, ia melaporkan semua hasil kunjungannya, termasuk kondisi terkini dan rekomendasi dari para direksi. Maya mendengarkan laporan Nathan dengan penuh perhatian, memperhatikan bagaimana setiap detail dijelaskan dengan jelas dan terstruktur. Setelah selesai, Maya mengungkapkan rasa puasnya terhadap hasil kerja Nathan hari itu. Dalam hatinya, Maya membandingkan cara kerja Nathan dengan Denis, dan ia menyadari kalau Nathan lebih teratur dan teliti. Keberhasilan Nathan dalam menjalankan tugasnya membuat Maya semakin yakin bahwa ia telah mengambil keputusan yang tepat.

Baru saja Nathan dan Maya selesai membahas hasil kerja Nathan, pintu ruang kerja Maya diketuk dari luar. Maya mempersilakan pengetuk untuk masuk, dan terlihat Ida melangkah cepat dengan sebuah tablet di tangannya. Nathan langsung berdiri, memberikan tempat duduknya kepada Ida yang tampak tergesa. Ida segera duduk, siap menyampaikan sesuatu yang penting.

“Aku ingin melaporkan hasil investigasi anak buahku tentang Ronny,” Ida membuka percakapan.

Maya mengangkat alisnya sedikit dengan rasa penasaran. “Apa yang kau temukan?” tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.

Ida menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. “Ya, Boss. Kami sudah melakukan investigasi, dan hasilnya… menarik. Kami berhasil melacak Ronny ke sebuah lokasi di Kalimantan, tepatnya di sekitar Hutan Palong.”

Nathan langsung menegakkan tubuhnya. “Hutan Palong? Jadi Ayahku ada di sana? Apa dia baik-baik saja?” Terdengar nada kekhawatiran dalam suaranya.

Ida mengangguk. “Ya, Nathan. Kami menemukan bukti bahwa Ronny hidup bersama sekelompok orang di sana. Jumlah mereka sekitar dua puluh orang, dan mereka tampaknya cukup terorganisir.”

Maya, yang sebelumnya duduk dengan santai, memperbaiki posisi duduknya dan menatap Ida dengan lebih serius. “Kelompok apa ini? Apa yang Ronny lakukan bersama mereka?”

Ida menggeleng, masih tampak kebingungan. “Ini yang membuat aku bingung. Kelompok ini tidak memiliki identitas yang jelas. Mereka tidak terdaftar dalam catatan kepolisian, tidak ada informasi tentang siapa mereka, atau apa tujuan mereka. Tapi… yang lebih aneh, Ronny tampak hidup damai di antara mereka. Dia seperti bagian dari komunitas kecil itu.”

Nathan mengernyitkan dahi, tak bisa menyembunyikan rasa bingungnya. “Apa maksudmu hidup damai? Ayahku menghilang dan sekarang dia hidup dengan orang-orang asing? Tidak mungkin dia hanya… hidup normal di sana.”

Ida menatap Nathan dengan serius, “Aku juga heran, Nathan. Berdasarkan penyelidikan, tidak ada tanda-tanda bahwa Ronny dalam bahaya. Dia terlihat sehat dan tenang. Kami bahkan berhasil mengambil beberapa foto.” Ida kemudian membuka tablet di tangannya dan memperlihatkan foto-foto Ronny yang tampak sedang bercakap-cakap dengan beberapa anggota kelompok di hutan tersebut.

Nathan menatap foto itu dengan penuh rasa tidak percaya. “Itu… itu dia. Tapi, siapa orang-orang ini?” ucap Nathan sembari menyerahkan tablet kepada Maya.

Maya menyipitkan matanya, fokus pada layar tablet di tangannya, “Mereka tidak tampak seperti penjahat, tapi juga bukan penduduk biasa. Ada yang aneh dengan kelompok ini.”

Ida mengangguk dan melanjutkan laporannya, “Tepat sekali. Dan yang paling mengejutkan terjadi saat kami hendak melakukan penggerebekan.”

Nathan langsung bergerak ke depan Ida di samping Maya, rasa penasaran memuncak. “Apa yang terjadi?”

Ida menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara lagi, “Setelah kami mengumpulkan cukup bukti dan memastikan lokasi mereka, kami memutuskan untuk bergerak cepat. Tim sudah ada di lokasi, perimeter sudah disiapkan, dan kami mendekat dengan hati-hati. Tapi hanya beberapa menit sebelum kami mulai bergerak… mereka semua menghilang.”

Maya menatap Ida tajam, kali ini alisnya sedikit berkerut. “Menghilang? Maksudmu apa?” Nada suaranya tetap tenang, tetapi ada rasa penasaran yang mendalam.

Ida, merasa tekanan dari tatapan Maya, tetapi tetap tenang lalu menjelaskan. “Satu detik mereka ada di sana, detik berikutnya… mereka lenyap. Tidak ada jejak, tidak ada perlawanan, tidak ada tanda-tanda evakuasi mendadak. Seolah-olah mereka ditelan oleh hutan. Kami menyisir seluruh area, tapi tidak ada bekas api unggun, tenda, atau bahkan jejak kaki. Semua bersih.”

Nathan terdiam sejenak, mengerutkan kening. “Ini tidak masuk akal… Bagaimana mungkin mereka bisa menghilang begitu saja?”

Maya menatap Nathan sesaat, lalu kembali ke arah Ida. “Apakah ini jebakan? Mungkin ada yang mencoba memanipulasi kita,” tanya Maya.

Ida menggeleng cepat. “Kami sudah memeriksa semua kemungkinan. Kami bekerja sama dengan polisi setempat dan menggunakan teknologi satelit untuk memantau area tersebut. Kami bahkan punya rekaman yang menunjukkan Ronny dan kelompoknya beberapa menit sebelum penggerebekan. Tapi setelah itu, mereka semua hilang, tanpa ada gangguan teknis atau tanda-tanda peringatan.”

Nathan tampak semakin cemas, tangannya mengepal erat. “Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka kelompok macam apa? Apakah mungkin mereka… supranatural?”

Maya tetap tenang, tetapi sedikit terganggu oleh situasi yang tidak biasa ini. Dia selalu ingin ada penjelasan logis di balik segala sesuatu. “Ida, apakah kau punya teori lain yang lebih rasional?” tanya Maya lagi.

Ida menunduk sejenak sebelum menatap Maya dengan serius. “Aku juga sulit mempercayainya. Namun, keanehan yang kami hadapi sungguh di luar nalar. Kami akan terus menyelidiki, tapi aku butuh lebih banyak waktu.”

Maya menghela napas ringan, berjalan perlahan ke arah jendela, memandangi pemandangan di luar. “Ronny memang selalu terlibat dalam hal-hal aneh. Tidak mengherankan kalau dia berakhir dalam situasi seperti ini. Tapi satu hal yang pasti, aku ingin dia ditemukan. Tidak peduli seberapa rumitnya.”

Nathan menatap Ida penuh harap. “Jadi, apa langkah selanjutnya?”

Ida menatap Nathan dengan tatapan penuh simpati, “Kami akan terus menyelidiki. Aku berjanji, kami tidak akan berhenti sampai menemukan ayahmu. Tapi untuk sekarang, kami perlu lebih banyak waktu dan informasi. Aku akan terus berkoordinasi dengan kepolisian, dan kami akan meningkatkan pengawasan di sekitar Hutan Palong.”

Nathan pun berkata, “Aku ingin terlibat langsung dalam pencarian Ayah. Aku tidak bisa hanya duduk di sini dan menunggu kabar dari tim.”

Maya membalikkan badan lalu menatap Nathan, “Kau ingin apa?” tanyanya.

“Aku ingin ikut dengan tim investigasi ke Hutan Palong,” Nathan menjawab. “Ayah di luar sana, dan aku tidak bisa membiarkan mereka mencarinya tanpa aku. Dia butuh aku.”

Maya menghela napas panjang kemudian kembali ke kursinya lagi sebelum menatap Nathan. “Nathan, aku sudah membentuk tim khusus untuk menangani ini. Ida dan timnya sangat berpengalaman. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Kamu tidak perlu terlibat.”

“Tapi…” Nathan mencoba menyela, namun Maya langsung mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam.

“Ini bukan tugasmu, Nathan,” kata Maya, kali ini suaranya lebih tegas. “Kau punya tanggung jawab lain. Tugas-tugasmu di sini lebih penting dan mendesak. Bisnisku sedang menghadapi banyak tekanan, dan kamu sekarang adalah bagian penting dari operasi ini. Aku tidak bisa membiarkanmu meninggalkan semua ini begitu saja.”

Nathan terdiam sejenak, mempertimbangkan ucapan Maya. Lalu, dengan suara yang lebih lembut, dia berkata, “Aku paham. Tapi ini tentang Ayah. Dia hilang selama ini, dan sekarang aku akhirnya tahu di mana dia berada. Aku tidak bisa hanya berdiam diri.”

Maya menyipitkan matanya, menatap Nathan dengan intens, “Kau tahu kenapa aku membentuk tim khusus untuk ini? Karena aku butuh orang-orang yang bisa fokus sepenuhnya pada pencarian. Kamu punya tugas penting di sini. Kita sedang berada di masa kritis. Proyek-proyek besar sangat membutuhkan perhatianmu.”

Nathan mengepalkan tangannya, menahan emosinya. “Tapi aku bisa mengatur waktuku…”

“Tidak!” Maya langsung memotongnya dengan nada yang lebih tegas dan keras. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi ke sana. Kamu adalah asistenku sekarang, dan kamu punya tanggung jawab besar. Percayalah, timku akan menemukan Ronny. Kamu harus fokus pada pekerjaanmu di sini.”

Nathan menghela napas, merasa ketegangan dalam dirinya meningkat. Sebagai anak buah Maya, dia tahu bahwa ketika Maya sudah membuat keputusan, hampir tidak mungkin untuk berdebat. Meskipun hatinya ingin melawan, logikanya tahu dia harus patuh. “Aku mengerti,” Nathan akhirnya berkata, suaranya datar, meski hatinya menolak keras. “Aku akan tetap di sini dan menyelesaikan tugasku.”

Maya mengangguk, matanya menatap Nathan dengan sedikit rasa lega. “Bagus. Aku tahu kamu bisa diandalkan, Nathan. Ayahmu akan ditemukan, percayalah. Tapi biarkan tim yang mengurusnya. Mereka profesional, dan ini bukan tempatmu untuk terlibat.” Maya menatap Nathan dengan lebih lembut, meskipun nadanya tetap otoriter. “Nathan, ini bukan soal kamu tidak peduli pada ayahmu. Aku tahu kamu peduli. Tapi kamu harus percaya pada orang-orang yang kupercaya. Ini bukan sesuatu yang bisa kamu lakukan sendirian.”

Nathan mengangguk dan tersenyum pada Maya, meski hanya sebagai formalitas. Dalam hatinya, ia tetap merasa dorongan kuat untuk terlibat dalam pencarian ayahnya. Setelah keluar dari ruang kerja Maya, Nathan berjalan menuju kamarnya. Sesampainya di sana, ia segera membersihkan diri dan mengganti pakaian. Setelah beristirahat sejenak, Nathan memutuskan untuk duduk dan membaca buku, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang ia rasakan.

Perlahan, Nathan menemukan ketenangan saat membaca. Setiap kata dalam buku tersebut membantunya memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan pengelolaan perusahaan. Ia mulai menghubungkan teori yang dibaca dengan pengalamannya ketika terlibat langsung dalam urusan perusahaan Maya. Pemahamannya semakin mendalam, dan ia merasakan betapa pentingnya setiap keputusan yang diambil dalam lingkungan bisnis.

Saat asyik membaca, konsentrasinya buyar oleh suara ketukan di pintu. Nathan meletakkan bukunya di meja dan berjalan menghampiri pintu. Ketika pintu dibuka, kepala rumah tangga memberitahu bahwa Maya dan Denis sudah menunggu di ruang makan. Nathan menyatakan kalau ia tidak akan ikut makan malam. Kepala rumah tangga kemudian pergi, meninggalkan Nathan sendirian. Nathan kembali ke mejanya dan mengambil buku. Ia kini menemukan cara baru untuk mengatasi kegelisahan melalui membaca. Tak lama kemudian, ia kembali tenggelam dalam bacaannya, melupakan sejenak kekhawatirannya.

Saat tepat jam 21.00, Nathan memutuskan untuk menyelesaikan bacaannya. Ia bangkit dari kursi dan merasa puas dengan hasil bacaan hari ini. Namun, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Jantung Nathan berdegup kencang ketika melihat Maya masuk sambil membawa segelas air berwarna coklat kehitam-hitaman. Air itu tampak menarik perhatian, namun bukan minuman tersebut yang membuat jantung Nathan berdebar, melainkan penampilan Maya yang mempesona. Maya mengenakan pakaian yang menonjolkan sosoknya dengan elegan, membuat Nathan merasa tubuhnya hangat seketika. Senyuman tipis di wajah Maya menambah pesona yang menghipnotis Nathan.

Maya mengenakan gaun tidur tipis yang menempel lembut di kulitnya, membuat tubuhnya tampak membayang dalam gaun yang elegan itu. Di tengah cahaya lampu, terlihat siluet seorang wanita dengan payudara bulat dan kencang yang seakan melambai-lambai. Tanpa bra, keindahan tubuhnya terlihat dengan jelas, menambah kesan sensual namun elegan. Bagian pinggulnya yang dibalut kain segitiga tipis menambah daya tarik sensualitasnya. Lekukan pinggulnya terlihat begitu jelas, memperlihatkan keindahan tubuhnya yang proporsional. Kain yang nyaris melayang itu dengan cermat menutupi bagian intim, namun meninggalkan cukup ruang untuk imajinasi, memancarkan keanggunan yang menggoda.

Nathan berjalan mendekati Maya yang sedang bergerak ke sisi tempat tidur. Wanita itu membungkuk untuk meletakkan gelas di atas meja kecil di samping tempat tidur. Saat pandangan Nathan tertuju pada lekukan bokong Maya, ia tak mampu menahan diri. Tanpa ragu, Nathan segera menghampirinya. Tangannya langsung melingkari pinggang Maya, menarik tubuhnya dengan lembut. Tubuh mereka kini begitu dekat, membuat Nathan semakin terpesona. Ia memanfaatkan momen itu dengan memberikan ciuman lembut di pipi Maya, sementara pelukan di pinggang wanita itu semakin erat.

“Kamu begitu cantik malam ini,” ucap Nathan dengan suara rendah yang penuh kekaguman. “Setiap kali aku melihatmu, rasanya aku selalu dibuat terpesona. Tidak hanya wajahmu, tapi seluruh keindahan yang kamu miliki.”

Maya tersenyum tipis mendengar pujian itu. Dia berbalik sedikit, menatap Nathan dengan mata yang penuh rasa. “Nathan, kamu juga tak kalah tampan,” balasnya dengan lembut. “Ketampananmu bukan hanya dari fisik, tapi dari caramu memperlakukan aku. Kamu selalu membuatku merasa istimewa.”

Nathan terkekeh pelan, tetapi pandangan matanya tetap lekat pada Maya. “Tetapi keindahanmu ini selalu membuatku tak bisa menahan hasratku. Setiap gerakanmu, setiap senyumanmu, selalu membangkitkan keinginanku. Sulit untuk tidak tergoda olehmu.”

Maya, yang saat itu hanya mengenakan pakaian yang membalut tubuhnya secara minim, memandang Nathan dengan tatapan yang lebih dalam. “Nathan,” ucapnya lembut, “kalau kamu memang mengagumi kecantikan dan kemolekanku seperti yang kamu katakan, buktikan bahwa kamu lebih dari sekadar pria yang hanya memujiku.”

Nathan menatap Maya dengan kebingungan yang samar. “Apa maksudmu?” tanyanya, ingin memahami lebih dalam.

Maya membalikkan tubuh lalu mendekatkan wajahnya, menatap Nathan dengan sorot mata yang serius namun tetap penuh cinta. “Lelaki sejati, bukan hanya sekadar memuji kecantikan wanita. Seorang lelaki sejati tahu bagaimana cara membahagiakan wanitanya. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan,” katanya, nada suaranya menantang namun lembut.

Nathan tersenyum kecil, kini mulai memahami sepenuhnya maksud Maya. “Jadi, kamu ingin aku buktikan bahwa aku bisa lebih dari sekadar memujimu? Bahwa aku bisa membuatmu bahagia, benar-benar bahagia?”

Maya mengangguk perlahan, sorot matanya semakin tenang namun menantang. “Iya, Nathan. Aku ingin kamu membuktikan bahwa kamu bukan hanya pria yang terpikat pada kecantikanku saja, tapi juga seseorang yang bisa membuatku merasa bahagia. Aku ingin tahu apakah kamu bisa membuatku merasa menjadi wanita paling bahagia.”

Nathan menatapnya dengan penuh keyakinan. “Aku akan memastikan itu.”

Nathan mendekatkan wajahnya ke arah Maya, niat untuk mencium bibir wanita itu. Namun, tepat sebelum bibir mereka bersentuhan, telunjuk Maya dengan cepat menempel di bibir Nathan, menghentikan gerakannya. Maya kemudian melepaskan diri dari pelukan Nathan, membalikkan badannya dengan gemulai. Tanpa banyak bicara, Maya mengambil gelas yang tadi dia letakkan di atas meja kecil di samping tempat tidur. Setelah itu, Maya menghadap Nathan kembali dan menyodorkan gelas tersebut dengan tatapan yang tenang dan sedikit sayu.

Nathan menerima gelas yang berisikan cairan berwarna coklat kehitaman. “Apa ini?” tanyanya, memperhatikan isi gelas dengan penuh rasa ingin tahu.

Maya tersenyum penuh pesona, matanya berbinar. “Ini jamu kuat yang aku racik sendiri. Rasanya mungkin agak aneh, tapi ini akan membuatmu lebih kuat, terutama saat kita bercinta,” jawabnya, nada suaranya menggoda.

Nathan mengangkat alis, terkesan dengan penjelasan Maya. “Jamu kuat? Apakah selama ini aku tidak memuaskanmu?” tanyanya, sedikit menggoda.

Maya menatap Nathan dengan serius, lalu tersenyum. “Kamu adalah pejantan tangguh, sayang. Tapi aku ingin merasakan lebih dari sebelumnya. Ini hanya sebagai tambahan agar bisa lebih lama dan bisa menyetubuhiku sepanjang malam.”

Nathan tertawa kecil. “Jadi, kamu ingin aku meminum jamu ini agar bisa tahan lama dan menyutubuhimu sepanjang malam? Apakah kamu yakin bisa menahan seranganku setelah aku meminum ini? Jangan-jangan kamu malah kewalahan menghadapiku.”

Maya mengedipkan mata dengan genit. “Oh, aku justru ingin pingsan keenakan setelah serangan itu.”

Nathan merasa bersemangat. “Kalau begitu, aku harus meminumnya. Siap-siap ya …”

Maya hanya tertawa, merasakan chemistry yang semakin kuat di antara mereka. “Aku sudah siap, sayang.”

Nathan meneguk jamu itu, merasakan rasa pahit yang kuat, dan tersenyum lebar. “Pahit sekali … Semoga ini bisa memenuhi harapanmu.”

Maya mengambil gelas kosong dari tangan Nathan dan meletakkannya kembali di atas meja kecil. Sementara itu, Nathan bergerak ke arah pintu yang terbuka, menutupnya dengan lembut untuk menciptakan suasana yang lebih intim. Ketika ia berbalik, matanya langsung tertuju pada Maya yang sedang melepaskan gaun tidurnya. Pemandangan itu begitu menggoda, menampakkan lekuk tubuh Maya yang sangat memikat. Hasrat yang membara dalam diri Nathan seolah meledak, membuat tubuhnya terasa panas. Dalam sekejap, dorongan itu mengalir ke seluruh tubuh pemuda itu, dan ia merasakan sesuatu yang mengeras di balik celananya.

Nathan segera melepas seluruh pakaiannya, tidak menyisakan sehelai pun. Hasrat yang membara di dalam dirinya membuatnya tak bisa menahan diri. Ia melangkah menuju ranjang tempat Maya menunggu. Di atas ranjang, keinginan di antara mereka semakin kuat. Maya memandang Nathan dengan tatapan penuh gairah, bersiap untuk mereguk kenikmatan bersama.

Nathan segera memposisikan dirinya di bawah tubuh Maya, berada di antara kedua pahanya yang terbuka lebar. Sejenak, Nathan terpesona oleh keindahan lekuk tubuh Maya yang anggun. Belahan vaginanya tampak memikat, menciptakan daya tarik yang sulit untuk diabaikan. Setiap detailnya mengundang hasrat dan rasa ingin tahunya, membuat jantung pemuda itu berdegup kencang.

Nathan perlahan menempatkan kepalanya di pangkal paha Maya, merasakan aroma lembut yang mengelilinginya. Pemuda itu menjulurkan lidahnya, menelusuri belahan vagina Maya yang indah. Maya merasakan syaraf-syarafnya bereaksi dengan setiap usapan lidah Nathan di vaginanya, menciptakan sensasi euforia yang mengguncang tubuhnya.

Tubuh Maya menggeliat sebagai respons terhadap rasa nikmat yang diterimanya. Sensasi hangat merambat dari vagina hingga ke punggungnya membuat wanita itu tenggelam dalam kenikmatan. Tiba-tiba tubuh Maya memegang, ia menjambak rambut Nathan kuat-kuat. Maya sudah tidak tahan lagi, badai itu terlalu cepat datang, menghantamnya tanpa ampun. “Crreetss… Creeetss… ” Pantat Maya bergetar merasakan kenikmatan yang tiada tara. Air cinta Maya memancar deras, membasahi mulut dan sebagian wajah Nathan. Setiap tetesannya terasa hangat, membawa sensasi yang membangkitkan gairah di dalam diri Nathan.

Setelah merasa puas, Nathan merangkak perlahan ke atas tubuh Maya. Ia menindih wanita cantik itu dengan lembut dengan kedua sikut sebagai penopang tubuhnya. Nathan pun melekatkan kening pada kening Maya yang masih terpejam.

“Baru pemanasan … Katanya ingin sepanjang malam,” goda Nathan setengah berbisik.

Maya membuka matanya perlahan, menatap Nathan dengan senyuman menggoda, “Kalau baru pemanasan, berarti kamu harus lebih siap,” jawabnya dengan nada menggoda. “Aku tidak ingin setengah-setengah. Ayo buktikan kalau kamu bisa bertahan sepanjang malam.”

“Beberan nih? Kamu jangan menyesal ya …” balas goda Nathan lalu mengecup sekilas bibir Maya.

Maya tersenyum lebar, matanya menyala penuh semangat. “Menyesal? Justru aku yang akan membuatmu menyesal kalau kamu tidak bisa memenuhi janjimu,” ujarnya dengan nada penuh tantangan. Ia mendekatkan wajahnya, memberi tatapan tajam. “Aku sudah siap untuk menikmati malam ini. Jadi, tunjukkan apa yang kamu punya.”

Penis Nathan mulai mencari sasarannya dan setelah menemukan titik yang tepat, pemuda itu mulai menekan perlahan. Tak ayal Nathan merasakan kehangatan dan kelembapan yang menyambut kedatangannya saat penisnya memasuki lorong cinta Maya. Kedua insan itu merasakan nikmat saat tubuh mereka menyatu. Nathan mengerang sambil merem melek keenakan. Kewanitaan Maya meremas-remas penisnya, memilin dan menggilingnya dalam liang kenikmatan yang sempit dan lembab, penisnya seakan disedot ke dalam tubuh Maya.

Kewanitaan wanita cantik itu lama kelamaan makin basah oleh cairan kenikmatan yang keluar dari dalam, membuat goyangan penis Nathan yang baru saja dimulai seakan menumbuk liang yang basah. Desahan manja dan kecantikan Maya membuat Nathan makin tak kuat menahan nafsunya. Dengan penuh tenaga pemuda itu mempercepat gerakan menumbuknya. Maya makin kebingungan, enak sekali rasanya, ia tidak tahu harus berbuat apa. Maya hanya bisa mengimbangi gerakan memilin Nathan dengan menggerakkan pinggulnya maju mundur. Kejantanan Nathan yang ukurannya besar memenuhi liang kenikmatannya dengan penuh, penis itu juga sampai di ujung terdalam dinding kewanitaan Maya, si cantik itu pun belingsatan dan merem melek keenakan.

Vagina Maya terasa sesak saat penis Nathan perlahan-lahan masuk ke dalamnya, menciptakan sensasi yang begitu kuat. Waktu seakan melambat, setiap detik terasa panjang saat mereka saling menyatu. Hujaman demi hujaman yang diberikan Nathan terasa semakin intens, membangkitkan kenikmatan yang kian bertambah seiring dengan setiap gerakan. Maya, tanpa disadari, mulai mendesah lebih sering, selaras dengan irama tubuh Nathan yang tak terburu-buru, namun konsisten. Gerakan yang dilakukan Nathan begitu lembut namun tetap dalam, seakan-akan setiap sentuhan diciptakan untuk dinikmati sepenuhnya. Sesi persetubuhan ini seperti berlangsung tanpa akhir, membuai Maya hingga ia merasa semakin dekat dengan klimaksnya. Saat akhirnya orgasme itu datang, rasanya seperti waktu berhenti sejenak, meledak dalam gelombang kenikmatan yang panjang. “Ooooohhhhh…” Lenguhan panjang Maya terdengar, menandai puncak kenikmatan yang terasa tak berkesudahan.

Nathan mencabut penisnya dari vagina Maya, lalu turun dari atas tubuhnya dan berbaring di sampingnya. Sepertinya, ia menunggu Maya untuk mengumpulkan tenaganya kembali. Penis Nathan yang masih tegak berdiri dipegang oleh Maya, dan ia mulai mengurutnya. Lendir kewanitaannya membantu memperlancar gerakannya.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Maya dengan senyum penuh arti, sementara tangannya masih dengan lembut membelai kejantanan Nathan yang tampak besar dan kokoh.

Nathan menoleh ke arahnya, mengangkat satu alis. “Bagaimana apanya?”

Maya tertawa kecil, lalu mengangkat tubuhnya, bersandar pada bantal Masih dengan tangannya yang membelai kejantanan Nathan. “Jamu kuat buatan aku. Terbukti, kan?” Ia menatap Nathan dengan pandangan genit.

Nathan menghela napas, tertawa lebar, “Aku harus akui, stamina aku memang beda hari ini.”

Maya tertawa kecil, kali ini dengan lebih percaya diri. “Nah, apa kubilang? Jamu buatanku tidak bisa dianggap remeh. Kalau kamu meminumnya secara rutin, kamu akan merasakan hal ini terus-menerus.” Tatapannya penuh kebanggaan atas hasil racikannya.

Nathan menatap Maya, pura-pura serius. “Kalau begini terus, bisa-bisa kamu yang pingsan keenakan.”

Maya tersenyum lebar dan mendekat ke Nathan, “Hmm… pingsan karena keenakan? aku justru sangat menginginkannya,” katanya dengan nada genit, suaranya penuh godaan.

Nathan tertawa lebar, lalu menarik Maya lebih dekat, memeluknya erat. “Hati-hati kalau ngomong, nanti beneran pingsan nggak bangun-bangun,” candanya sambil mengecup keningnya.

Maya perlahan bangkit, memposisikan dirinya di atas tubuh Nathan. Dengan gerakan yang anggun, Maya mengangkangi selangkangan Nathan. Ketika Maya mengarahkan penis Nathan dan tepat di depan vaginanya, wanita itu kemudian menurunkan pinggulnya perlahan-lahan, tak membutuhkan waktu lama penis Nathan kembali masuk ke dalam tubuhnya.

Maya mulai mengayunkan tubuhnya naik dan turun dengan lembut. Tangan Nathan yang sibuk mempermainkan kedua payudaranya semakin memperkuat sensasi itu, membuat setiap sentuhan terasa lebih dalam dan menggema. Maya merasakan bagaimana otot-otot dinding vaginanya bergerak bergelombang, seolah memeluk penis Nathan, sehingga setiap gerakan terasa seperti menggesek dinding-dinding sensitif di dalam dirinya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti menit, dan sensasi kenikmatan terus membangun dengan ritme yang konsisten. Maya meresapi setiap tarikan dan dorongan, seakan tenggelam dalam arus yang tak ada habisnya. Birahinya semakin kuat, berputar dalam pusaran yang lambat tapi tak terhindarkan. Orgasme itu semakin mendekat, membiarkan setiap gelombang kenikmatan menyelimuti tubuhnya. Dan akhirnya, ia tak bisa lagi menahannya.

“Ooohhhh…” erangan panjangnya keluar, menandakan puncak kenikmatannya yang seakan berlangsung tanpa akhir. Tubuhnya jatuh perlahan di atas tubuh Nathan, kelelahan dan terbuai dalam sisa-sisa kenikmatan itu.

Tenaga Maya sudah hampir terkuras, namun pria tampan di depannya, Nathan, belum menunjukkan tanda-tanda mencapai klimaks. Tak lama kemudian, Maya menungging dan meminta Nathan melakukannya dari belakang. Nathan segera mengambil posisi di belakangnya dan mulai melakukan penetrasi ke dalam vaginanya. Ia tampak semakin menikmati permainan ini, menggenjot habis-habisan vagina Maya. Desahan-desahan khas persetubuhan mengiringi setiap gerakan mereka. Setelah beberapa saat, Maya kembali mencapai orgasmenya, dan sekali lagi, jiwanya seolah melayang, merasakan kenikmatan yang tiada duanya.

Bersamaan dengan itu, tanda-tanda klimaks Nathan mulai terasa di dalam tubuh Maya. Tak lama, gerakannya semakin cepat, dan penisnya mulai berkedut. Nathan mempercepat tempo hingga akhirnya ia menyemburkan spermanya, membasahi rahim Maya. “Aaahhhkkk…!” erangnya terdengar jelas saat mencapai puncaknya.

Kedua insan itu mengatur napas sambil menikmati sisa-sisa kebahagiaan dari puncak kenikmatan yang baru saja mereka rasakan. Setelah tenang, mereka saling berpelukan dan berciuman dengan penuh kelembutan. Senyum tersungging di wajah mereka sebelum akhirnya mereka berbincang santai, mengenang momen intim yang baru saja mereka lakukan.

Sementara Maya dan Nathan menghabiskan malam bersama, di kamar lain Denis larut dalam pikirannya. Sulit baginya mempercayai apa yang terjadi di antara mereka, sesuatu yang tak mampu ia pahami sepenuhnya. Denis tertegun mendapati kenyataan ibu dan anak melakukan persetubuhan dan tampak sangat menikmatinya. Namun, pada saat yang bersamaan Denis merasakan sesuatu yang aneh; ada daya tarik yang tak terduga muncul dari tingkah mereka. Sensasi itu membangkitkan hasrat dalam dirinya yang tak bisa ia abaikan. Rasa tertarik yang awalnya hanya samar kini berubah menjadi sesuatu yang lebih nyata. Hatinya berdebar setiap kali bayangan Maya dan Nathan sedang bersetubuh melintas di benaknya. Ada sesuatu yang begitu memikat, meski ia tahu seharusnya tak merasakan hal itu.

Bersambung​

1 thought on “CERBUNG –  NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *