BAB 18
“Kalian benar-benar sudah gak waras …”
Tiba-tiba, terdengar suara yang mengganggu percintaan Nathan dan Maya. Kedua insan itu menghentikan sejenak gerakan untuk menengok ke arah sumber suara. Ternyata, Denis berdiri di ambang pintu sambil bertolak pinggang dan geleng-geleng kepala. Nathan dan Maya saling berpandangan dengan ekspresi tenang kemudian saling melemparkan senyum, lalu kembali fokus pada satu sama lain. Keberadaan Denis tidak menghentikan acara penyatuan tubuh mereka yang nikmat. Nathan melanjutkan gerakannya dengan percaya diri, sementara Maya hanya tertawa kecil, menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap kehadiran Denis.
“Aaaahh … Lebih keras sayang … Keras lagi …. Aaaahh …” Maya mengerang sambil menerima setiap hujaman kejantanan Nathan.
“Akku … Sebentar lagi kelluuaaarrr …” balas erang Nathan.
Nathan menatap Denis sambil terus menggenjotkan vagina Maya tanpa henti. Keringat menetes dari dahinya, tapi pandangannya tak pernah lepas dari Denis. Sementara itu, Denis mulai tampak terpengaruh oleh apa yang dilihatnya. Gerakan Nathan dan erangan Maya membuat Denis berpikir lebih dalam. Namun, di wajah Denis terlihat ada keraguan. Meski hasrat dalam dirinya mulai bangkit, ada sesuatu yang membuatnya menahan diri. Pemandangan di depan matanya membuat perasaannya tak menentu, antara keinginan dan keraguan yang sulit ia abaikan.
“Kalian benar-benar sudah gila …,” ucap Denis, suaranya bergetar antara canda dan keheranan. Namun, kata-katanya hanya keluar dari bibir. Di dalam hatinya, ada hasrat yang tidak bisa dia sembunyikan.
Nathan, dengan senyum santai, terus menatap ke arah Denis. “Ayo, Denis, bergabung saja. Ini menyenangkan.”
Denis mengernyitkan dahi. “Gila …!” ucapnya lagi, tetapi kali ini suaranya lebih pelan. Ia merasa seperti terjebak dalam dilema. Di satu sisi, ada keinginan yang menggebu, di sisi lain, ada keraguan yang menghantui.
“Ayo, Denis, jangan cuma berdiri di situ!” seru Maya sambil tertawa kecil.
Melihat keduanya, Denis merasakan gejolak hasrat semakin kuat. Meskipun dia ingin mendekat, pikirannya penuh dengan keraguan. Dengan perlahan, dia menutup pintu kamar Nathan. Suaranya bergetar saat dia melakukannya, seolah menutup segala keraguan di dalam dirinya.
“Gila,” bisiknya pada diri sendiri saat pintu tertutup, meninggalkan Nathan dan Maya dalam dunia mereka yang penuh gairah.
Maya dan Nathan saling memberikan senyum tanpa menghentikan gerakan erotis mereka yang penuh birahi. Nathan terus menghantamkan penisnya keluar masuk, merangsang berbagai titik di dalam vagina Maya. Suara becek selangkangan mereka yang saling beradu menciptakan irama yang indah. Setiap gerakan diselingi oleh erangan penuh nikmat yang keluar dari bibir Maya, menambah suasana yang semakin panas di antara mereka.
“Hebat…. Aaarrrrrghhhh…. Terus…, Sayang, terus….. Yah, di situ…. Hebat…. Rahimku terasa begitu nikmat!” suara Maya dipenuhi oleh keinginan. Setelah Nathan menemukan area paling sensitif di dalam diri Maya, semangatnya semakin membara. Ia terus memacu penisnya keluar masuk vagina Maya, menghantam titik tersebut dengan penuh percaya diri.
Nathan perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Maya, sementara Maya melingkarkan tangannya ke lehernya. Tangan Nathan merayap dari paha Maya, menyusuri pinggang, pinggul, dan perutnya. Ia kemudian bermain sebentar dengan kedua payudara Maya yang indah, memijat dan meremasnya dengan lembut. Setelah itu, ia mengelus leher Maya dan membelai pipinya dengan penuh kasih. Dengan tangan kanannya, Nathan mengelus rambut dan kepala Maya, sementara tangan kirinya merayapi daerah punggungnya. Mereka berpagutan dan berciuman dengan penuh gairah, seolah terhanyut dalam suasana. Pinggul mereka terus bergerak, seakan telah menemukan irama dansa yang tepat, saling memuaskan dalam gerakan yang harmonis.
Setelah puas berciuman, Maya melepaskan tangannya yang melingkari leher Nathan dan merentangkan kedua tangannya ke samping, meremas sprei kasur dalam genggamannya. Mulutnya meracau tanpa henti, matanya terpejam, tenggelam dalam kenikmatan. Nathan terus menciumi Maya, perlahan merayapi tubuhnya ke bawah, memberikan kecupan di bibir, dagu, dan kemudian turun ke leher, dan kedua payudaranya. Sambil terus memacu penisnya keluar masuk, Nathan menjilati dan menghisap kedua puting susu Maya secara bergantian, kanan-kiri, sementara tangannya yang tadinya berada di punggung Maya kini memijat dan meremas kedua buah payudaranya.
Irama permainan mereka semakin intens. Klimaks Nathan dan Maya sudah semakin dekat. Nathan merasakan kontraksi otot vagina Maya semakin kuat, sementara sesuatu yang panas memberontak ingin menyembur keluar dari penisnya. Ia menggenggam tubuh Maya dan memeluknya erat.
“Sayang… bentar lagi aku mau keluar…”
“Keluarin…. saja…. di dalam….”
Dengan satu hentakan terakhir, mereka berdua mengalami klimaks secara bersamaan. Tubuh mereka yang saling berpelukan mengejang dan bergetar bersama dalam harmoni hasrat. Tidak ada teriakan, tidak ada raungan penuh nafsu. Mereka tak sanggup bersuara lagi, terjebak dalam nafsu yang memburu. Nathan mencengkeram kepala dan punggung Maya dengan kedua tangannya, sementara tangan Maya terkulai lemah di samping kasur. Otot-otot dinding vagina Maya yang ketat, kencang, hangat, dan basah dengan rakus memeras habis cairan dari kejantanannya, mengisi penuh lubang kenikmatan Maya hingga tumpah merembes keluar, bercampur dengan nektar cinta yang memiliki aroma khas kewanitaan.
Sesaat kemudian, mata Maya setengah terbuka, mulutnya megap-megap mencari nafas, membuat Nathan tidak tahan untuk menciuminya kembali. Segera saja, mereka kembali saling berciuman, menikmati puncak kenikmatan yang telah mereka capai. Setelah beberapa detik, ciuman mereka terlepas. Nathan dan Maya saling menatap. Kedua mata mereka bertemu, senyum lembut muncul di wajah mereka. Rasa puas dan hangat mengisi ruang di antara mereka.
“Maya, vaginamu sangat ketat. Gak kerasa kendor sama sekali,” ucap Nathan pelan.
Maya tersenyum, “Kamu ini terlalu membesar-besarkan, Nathan.”
Nathan menggelengkan kepala. “Tidak, aku jujur. Vaginamu mencengkramku luar biasa.”
Maya mendekat, mengusap wajah Nathan dengan lembut. “Itu bukan karena aku yang ketat. Tapi karena kontolmu yang besar,” ujarnya sambil tersenyum nakal.
Nathan tertawa, merasakan kehangatan dari Maya. “Kalau begitu, penisku akan selalu merindukan vaginamu.”
Maya mengangkat kepalanya sedikit dan mencium bibir Nathan. Ciuman mereka berlangsung agak lama, penuh gairah. Keduanya terbenam dalam momen itu, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka. Akhirnya, Maya melepaskan ciuman dengan perlahan. Mereka saling menatap, merasakan kedekatan yang semakin kuat.
Maya menatap Nathan dengan perhatian, “Nathan, sudah waktunya untuk makan malam. Kita harus siap-siap,” ujarnya sambil tersenyum.
Nathan terkejut mendengar itu. Ia menoleh ke arah jendela dan melihat cahaya senja yang semakin memudar. “Aku sampai lupa waktu gara-gara kamu,” balas Nathan, senyumnya lebar.
Maya tertawa ringan, “Tentu saja. Siapa yang bisa berpikir normal saat bersamaku?”
Nathan segera turun dari atas tubuh Maya dan duduk di sisi tempat tidur. Maya bangkit dan mengenakan pakaiannya kembali. Setelah siap, dia berjalan ke arah pintu. Dia menahan sejenak langkahnya dan menengok ke arah Nathan.
“Jangan melewatkan lagi makan malammu …!” kata Maya yang terdengar seperti perintah.
“Baik,” jawab Nathan sambil mengangkat jempolnya.
Maya melanjutkan langkahnya dan keluar dari kamar, meninggalkan Nathan sendirian di dalam ruangan. Pintu tertutup pelan di belakangnya. Nathan duduk sejenak, mengatur napas dan menyusun pikirannya. Setelah merasa siap, ia segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Nathan menyalakan air dan membiarkan aliran hangat menyentuh kulitnya. Nathan merasakan butiran air mengalir di tubuhnya. Ia membersihkan diri dengan seksama, merasakan kesegaran air yang mengalir. Setelah selesai mandi, Nathan mengenakan pakaian bersih dan merapikan penampilannya di depan cermin. Dengan langkah ringan, ia meninggalkan kamar dan langsung menuju ruang makan.
Nathan memasuki ruang makan dan tidak menemukan Maya atau Denis. Dia hanya melihat makanan yang tersusun rapi di atas meja. Pemuda itu duduk di salah satu kursi dan memainkan ponselnya. Beberapa menit kemudian, Maya dan Denis datang ke ruang makan. Mereka mengambil kursi masing-masing dan duduk di kursi yang di hadapannya sudah siap dengan hidangan.
Mereka semua mulai menyantap hidangan makan malam yang telah disiapkan oleh koki profesional. Makanan disajikan dengan indah di atas meja, menciptakan daya tarik tersendiri. Nathan mencicipi setiap hidangan dengan rasa ingin tahu, sedangkan Denis menikmati makanan dengan lahap. Maya melihat dengan senyuman puas, menyadari bahwa pilihan menu malam itu tepat. Ketiganya terlibat dalam obrolan ringan, membahas pengalaman sehari-hari dan berbagi cerita lucu. Suasana santai mengisi ruang makan, membuat mereka merasa nyaman satu sama lain. Tawa dan candaan mengisi setiap sudut. Ketiganya menikmati makanan sambil berbagi pandangan.
Di tengah obrolan ringan itu, Denis tiba-tiba berbicara, suaranya terdengar ragu namun cukup jelas. “Maya… Nathan… Aku merasa ada sesuatu yang… tidak biasa di antara kalian.”
Nathan tidak bereaksi sama sekali, hanya melanjutkan memotong makanannya dengan tenang, seolah tak terganggu oleh arah pembicaraan ini. Maya, di sisi lain, mengerutkan alisnya sedikit. “Apa yang kamu maksud dengan ‘tidak biasa’, Denis?”
Denis meneguk air sebelum melanjutkan, suaranya sedikit gemetar. “Hubungan kalian… aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi cara kalian berinteraksi satu sama lain… dan sangat intim. Seperti ada sesuatu yang tidak semestinya di sana.”
Maya menghela napas panjang, matanya kini menatap Denis dengan lebih tajam, “Maksudmu apa? Hubungan kami wajar saja.”
Denis terdiam sejenak, sebelum akhirnya berani melanjutkan. “Aku tahu Nathan anakmu, Maya. Tapi, jujur saja, hubungan kalian adalah… incest. Tidak seperti hubungan ibu dan anak yang normal.”
Nathan akhirnya berhenti memotong makanannya, meletakkan pisaunya di samping piring. Ia menoleh pelan ke arah Denis, namun tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengamati dengan tatapan datar, seolah menunggu reaksi Maya.
Maya memandang Denis dengan tatapan dingin, penuh dengan kesabaran yang tersisa. “Incest, kamu bilang? Apakah kamu benar-benar berpikir hubungan kami sebatas itu?” tanya Maya, suaranya terdengar sangat tajam. “Nathan adalah darah dagingku. Aku yang melahirkannya, dan aku yang paling memahami dirinya. Apa yang kamu maksud dengan tidak wajar?”
Denis tampak sedikit cemas di bawah tatapan keras Maya, tapi ia tetap melanjutkan. “Aku tidak mengatakan itu tanpa alasan, Maya. Aku bisa melihat cara kalian berdua berinteraksi… terasa begitu berbeda. Aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hubungan kalian terlihat lebih dari sekadar ibu dan anak.”
Maya mendengar semua itu dengan tenang, namun raut wajahnya mulai berubah, memperlihatkan ketegasan yang lebih kuat. “Denis,” ia berkata dengan nada yang lebih rendah, namun penuh kendali, “hubungan kami mungkin tidak terlihat ‘normal’ di mata orang lain. Tapi aku tidak peduli dengan apa yang dianggap normal. Nathan dan aku memiliki ikatan yang jauh lebih dalam dari sekadar ibu dan anak biasa. Kami memahami satu sama lain dalam cara yang mungkin tidak bisa kamu mengerti.”
Denis terlihat semakin tidak nyaman. “Tapi… tetap saja, Maya. Hubungan ini… aku tidak bisa bohong. Aku merasa aneh, tapi di saat yang sama, aku tidak bisa memungkiri bahwa… kalian berdua terlihat menggairahkan.”
Nathan menatap Denis dengan tatapan tajam, sementara Maya mengangkat alisnya, ekspresi wajahnya berubah menjadi sedikit lebih lembut. “Menggairahkan?” ucap Maya dengan suara rendah, “Jadi, kamu menganggap hubungan kami aneh, tapi di saat yang sama, kamu merasa itu menggairahkan? Itu cukup menggelikan, Denis.”
Denis merasa sulit untuk menjawab, namun ia tetap mencoba. “Aku hanya mencoba jujur, Maya. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kalian berdua, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Mungkin… mungkin karena hubungan kalian yang aneh itulah yang membuat aku tidak bisa mengalihkan pandangan.”
Maya tertawa pelan. Ia menatap Nathan sejenak, lalu kembali menatap Denis dengan sorot mata penuh keyakinan. “Tentu saja kamu merasa begitu. Karena hubungan kami bukan hubungan biasa. Justru karena keanehan inilah, Denis, semuanya terasa lebih hidup, lebih kuat. Inilah yang membuat hubungan kami menggairahkan.”
Denis terdiam, seolah sedang mencerna setiap kata yang diucapkan istrinya. Nathan, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Denis, kamu mungkin tidak pernah mengerti. Hubungan ini tidak bisa dijelaskan dengan norma atau standar yang biasa. Ini adalah sesuatu yang lebih rumit dari yang kamu bayangkan.”
Denis memandang Nathan, masih mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan. “Aku… aku hanya merasa aneh dengan semua ini. Tapi aku juga kagum, karena kalian berdua bisa menjalani hubungan yang begitu… berbeda.”
Maya tersenyum tipis, puas dengan jawaban Denis. “Denis, kamu tidak perlu mengerti. Nathan adalah bagian dari hidupku yang paling penting. Hubungan kami, meskipun mungkin tidak sesuai dengan apa yang orang lain anggap normal, tetaplah sesuatu yang nyata. Itulah yang membuatnya begitu… menggairahkan.”
Denis tersenyum tipis, “Ya, aku sangat mengagumi apa yang kalian lakukan. Kalian telah menyebarkan sesuatu… semacam ‘virus’ di dalam keluarga ini. Sebuah bentuk hubungan yang… berbeda. Dan jujur saja, aku merasa tertular.”
Nathan tetap duduk diam, pandangannya tak lepas dari Denis dan Maya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam nada bicara Denis, tetapi memilih untuk tidak menyela. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya kemana arah percakapan ini akan berakhir.
Maya menyilangkan tangannya di atas meja, memperhatikan Denis dengan tatapan tajam. “Virus, Denis?” tanyanya heran. “Apa maksudmu?”
Denis menghela napas panjang dan akhirnya mengungkapkan apa yang telah memberatkan pikirannya. “Aku merasa tertarik pada Chelsea… Cici. Aku tidak bisa mengabaikannya lagi. Aku merasa seperti hubungan ini telah membuatku memahami sesuatu yang berbeda, sesuatu yang mungkin sulit diterima oleh orang lain, tetapi… aku ingin jujur padamu. Aku tertarik pada putri kita.”
Maya mengangkat dagunya sedikit, menatap Denis dengan tatapan tajam namun tetap tenang. “Jadi, kau tertarik pada Cici? Putri kita? Lalu apa yang kau inginkan dariku?”
Denis meremas jemarinya di atas meja, mencoba menenangkan diri. “Aku tidak ingin ada yang disembunyikan di antara kita. Aku hanya merasa perlu mengatakan ini. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku ingin tahu… apakah kamu bisa menerima perasaan ini? Jika aku berusaha mendekati Cici…”
Maya menatap Denis dalam-dalam, menganalisis kata-katanya. Ia terdiam beberapa saat, seolah menimbang-nimbang setiap kemungkinan sebelum akhirnya bicara. “Denis,” suaranya pelan namun penuh makna, “aku tidak akan menghalangimu.”
Denis terkejut, tapi tidak sepenuhnya. Ia menatap Maya dengan sorot mata penuh harapan, seolah mencari kepastian lebih lanjut.
“Aku tidak akan keberatan,” lanjut Maya, kali ini lebih jelas, “selama kau bisa membuat Cici menerima hal ini. Jika Cici mau dan setuju dengan keinginanmu, aku tidak akan menolak. Tapi ingat, Denis, ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Jika Cici tidak menginginkannya, maka tidak ada yang bisa kau lakukan. Aku hanya mengizinkan jika dia datang padamu dengan sukarela.”
Denis mengangguk pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan istrinya. “Jadi, selama Cici setuju, kamu tidak keberatan?”
Maya menatapnya tajam. “Aku tidak keberatan, Denis. Tapi ingat, semua tergantung pada Cici. Jika kau bisa mendapatkan hatinya, jika dia mau menerima konsep ini dengan sadar dan tanpa paksaan, maka itu pilihan kalian. Namun, jangan pernah memaksanya. Itu syaratku.”
Denis menghela napas lega, seolah sebuah beban besar telah terangkat dari pundaknya. “Terima kasih, Maya. Aku berjanji, aku akan melakukannya dengan cara yang benar. Aku tidak akan memaksa, aku hanya ingin mencoba.”
Maya menatapnya dengan dingin, lalu mengangguk. “Terserah padamu, Denis. Tapi ingat, semua ini tidak akan ada artinya tanpa persetujuan Cici.”
Nathan memperhatikan percakapan itu dengan perasaan senang. Bagi Nathan, konsep incest sudah lama bukan lagi hal yang tabu, bahkan ia menganggapnya sebagai sesuatu yang mengikat keluarga mereka secara istimewa, membedakan mereka dari orang lain. Melihat Denis kini mulai memahami dan menerima dinamika keluarga ini, Nathan merasakan keluarga mereka justru semakin kuat. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Apa yang baru saja dibicarakan bukanlah sesuatu yang aneh baginya, melainkan bagian dari kehidupan mereka yang tidak biasa, sebuah kehidupan yang menurut Nathan, semakin menarik. Nathan yang sejak tadi diam tiba-tiba menarik napas panjang, lalu meletakkan garpu dan pisau yang sejak tadi dipegangnya. Ia menatap Denis dengan tatapan tenang namun penuh makna, seolah merasa waktunya telah tiba untuk berbicara.
“Denis,” Nathan memulai dengan suara tenang, “aku paham apa yang kamu rasakan. Aku juga melalui fase yang sama ketika aku menyadari hubungan ini. Dan, jujur saja, aku tidak melihat ada yang salah selama semua yang terlibat melakukannya dengan kesadaran dan keinginan yang sama.”
Maya menoleh sekilas ke arah Nathan, tak terkejut, namun mendengarkan dengan penuh perhatian.
Nathan melanjutkan, “Kalau kau memang benar-benar ingin mendekati Cici, aku akan mendukungmu sepenuhnya. Keluarga ini sudah berjalan dengan caranya sendiri, dan aku pikir kita semua sudah sepakat bahwa kita tidak terikat oleh norma-norma luar. Selama Cici nyaman dengan semua ini, aku rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ia tersenyum tipis pada Denis, menandakan dukungannya, “Aku di pihakmu.”
Denis tersenyum senang setelah mendengar ucapan Nathan. Dia lalu mengedipkan sebelah matanya sebagai tanda persetujuan. Mereka menikmati setiap hidangan dengan tenang. Tidak ada lagi percakapan serius, hanya sesekali terdengar suara alat makan yang menyentuh piring. Setelah selesai makan, mereka bertiga beranjak dari meja makan dan pindah ke ruang keluarga. Ruangan itu terasa hangat dengan sofa empuk yang mengelilingi meja kecil di tengahnya. Denis, Maya, dan Nathan duduk santai, melanjutkan obrolan ringan. Mereka benar-benar menikmati kebersamaan malam itu. Tidak ada tekanan, tidak ada ketegangan. Semuanya terasa lebih dekat, seolah ada kesepahaman baru yang mengikat mereka.
Nathan, yang awalnya masih terlibat dalam percakapan, mulai merasakan rasa kantuk yang mendera. Matanya terasa berat, dan kepalanya mulai terasa ringan. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan Denis dan Maya, memberi tahu mereka bahwa dia akan tidur lebih dulu. Tanpa banyak kata, Nathan berdiri dan meninggalkan ruang keluarga, melangkah menuju kamarnya di lantai dua untuk beristirahat.
Tak lama, Nathan sudah berbaring di tempat tidurnya. Dengan pandangan yang mulai kabur oleh kantuk, kelopak matanya perlahan menutup, dan pikirannya pun semakin tenggelam dalam rasa kantuk yang semakin dalam. Ia merasakan kesadarannya memudar, semakin jauh dari kenyataan hingga akhirnya tertidur sepenuhnya. Dalam tidurnya, Nathan mulai bermimpi. Ia merasakan dirinya berada di sebuah tempat yang asing. Lingkungannya terasa samar, kabut menyelimuti setiap sudut, tidak ada yang benar-benar jelas. Udara terasa berat, hening. Tanah yang ia pijak tampak kosong, seperti padang luas tanpa batas.
Nathan menatap ke depan, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang berdiri kokoh. Sosok itu begitu dikenalnya, meskipun mereka hanya pernah bertemu sekali. Ada kekuatan besar yang terpancar, membuat Nathan tak mampu berpaling. Wajahnya keras, penuh kewibawaan, tatapannya tajam. Itu adalah Prabu Prajamusti, sosok yang selalu Nathan puja dan dijadikan panutannya.
Saat Nathan hendak melangkah mendekati Prabu Prajamusti, sang prabu mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. Nathan merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tertegun sejenak, menanti arahan selanjutnya. Prabu Prajamusti menatapnya dengan serius. Sang prabu kemudian berkata, “Kau harus menghadapi siluman serigala itu. Selamatkan ibumu!”
Sebelum Nathan sempat mengucapkan sepatah kata pun, sosok Prabu Brajamusti menghilang dari pandangannya. Bayangan itu lenyap dalam sekejap, meninggalkan rasa kebingungan dan kekosongan di dalam hati Nathan. Ia tertegun di tempatnya, tidak dapat bergerak, memikirkan misi yang kini terbentang di hadapannya. Dalam kekosongan itu, kesadaran mulai kembali. Nathan terbangun dari tidurnya, kembali ke dunia nyata dengan napas yang berat. Ia mengingat setiap kata yang diucapkan Prabu Brajamusti, terutama tentang siluman serigala dan tanggung jawab untuk menyelamatkan ibunya.
Suasana hening dan penuh makna itu membangkitkan rasa tenang dalam hatinya. Namun, dalam ingatan itu juga hadir bayangan serigala jadi-jadian, jelmaan dari ibunya, Maya. Serigala itu sangat sakti, lahir dari keinginan Maya untuk mempertahankan kecantikan dan kemolekannya. Setiap empat tahun sekali, ritual ini membutuhkan tumbal yang harus dipenuhi. Nathan merasakan getaran ketegangan yang mengalir di sekelilingnya. Dia harus menjinakkan makhluk itu dengan taruhan nyawanya. Meskipun berbahaya, dia sangat yakin bahwa dia harus menjalani ritual ini. Keraguan yang sebelumnya mengganggu pikirannya sirna seketika. Dalam hati, dia menyadari bahwa ritual ini adalah panggilan untuk melakukan tanggung jawabnya untuk menyelamatkan ibunya dari siklus pengorbanan.
Nathan terdiam sejenak. Tiba-tiba, ingatannya kembali pada kalimat yang pernah dia baca di buku kepemimpinan. Kalimat itu berbunyi, “Jangan menantang, jika tak pandai melawan. Kenali dulu lawanmu sebelum melawan.” Pikiran ini muncul dengan jelas. Nathan merasa penting untuk memahami sosok serigala jadi-jadian itu. Dia tahu bahwa jika dia ingin menjinakkan makhluk tersebut, dia harus mengetahui lebih banyak tentang asal usul dan kekuatannya. Pengetahuan itu bisa menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini.
Nathan berbaring kembali dan menutup matanya. Kali ini, tidur tidak menghampirinya. Pikiran tentang serigala jadi-jadian dan ritual Sanghyang Jiva berputar-putar dalam benaknya. Dalam kebisingan pikiran itu, Nathan memutuskan untuk keluar dari kamar. Ia perlahan menuruni anak tangga ke lantai satu, setiap langkahnya terasa berat. Saat tiba di lantai bawah, dia berjalan menuju halaman belakang. Ketika Nathan sampai, ia disambut oleh kolam renang yang tenang. Dia berdiri di sisi kolam renang, menatap jauh ke depan.
Tanpa diduga, mata Nathan menangkap sosok yang berjalan santai ke arahnya. Sosok itu terkejut saat melihat Nathan, tampak tertegun sejenak. Dia adalah Heni, pembantu rumah tangga kepercayaan Maya. Dia mendatangi Nathan dengan langkah tenang, walaupun wajahnya ada sedikit keterkejutan. Nathan merasa bahwa kehadiran Heni bisa memberikan informasi yang sangat ia butuhkan.
“Tuan Muda, sedang apa di sini sendirian?” tanyanya pelan.
Nathan menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Heni. “Aku sedang memikirkan ritual Sanghyang Jiva,” jawabnya dengan nada datar namun penuh beban.
Mata Heni langsung membulat terkejut. “Ritual Sanghyang Jiva? Apakah… apakah Tuan Muda memutuskan untuk menjadi tumbal dalam ritual itu?” tanyanya dengan suara agak gemetar.
Nathan mengangguk pelan, ekspresinya serius. “Iya, Heni. Aku harus melakukannya.”
Heni menelan ludah, “Tapi kenapa? Kenapa Tuan Muda harus menjadi tumbal? Kenapa harus? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Nathan menunduk, menatap rerumputan di bawah kakinya. “Aku tidak punya pilihan, Heni. Ini perintah leluhurku. Aku harus melakukannya demi menyelamatkan ibuku.”
Heni semakin bingung. Dia mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari ucapan Nathan. “Menyelamatkan ibu Tuan Muda? Tapi, bukankah Nyonya Besar baik-baik saja? Selama ini saya tak pernah mendengar apa pun tentang Nyonya Besar yang dalam bahaya.”
Nathan menggeleng pelan, “Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, leluhurku mengatakan bahwa aku harus menjalani ritual ini jika ingin menyelamatkannya.”
“Leluhur Tuan Muda?” Heni bertanya, nadanya penuh kebingungan. “Siapa leluhur Tuan Muda yang memerintahkan seperti itu?”
Nathan menatap Heni sejenak, seolah menimbang-nimbang jawabannya. Namun, dia memilih untuk tidak menjawab. “Itu tidak penting untuk sekarang, Heni.”
Heni menghela napas, sedikit frustrasi karena Nathan tampak begitu tertutup soal siapa leluhurnya yang misterius itu. “Kalau memang itu perintah leluhur Tuan Muda, pasti ada sesuatu yang sangat penting di baliknya. Ada yang lebih besar dari ini, Tuan Muda.”
Nathan terdiam, menatap jauh ke langit senja yang mulai gelap. “Kamu benar, Heni. Aku juga mulai berpikir bahwa ada sesuatu yang besar di balik perintah ini. Tapi, aku belum tahu apa.”
Suasana kembali sunyi sesaat. Heni tak tahu harus berkata apa lagi. Dia tahu ritual Sanghyang Jiva menyimpan banyak misteri, terutama dengan mitos tentang serigala jadi-jadian yang selalu dikaitkan dengan ritual itu. Mungkinkah ada kaitannya dengan perintah leluhur Nathan? Tapi pertanyaan-pertanyaan itu tetap menggantung di benaknya, belum berani diucapkan.
Nathan akhirnya menghela napas panjang dan berkata, “Heni, aku harus tahu seperti apa serigala jadi-jadian itu.”
Heni terkejut mendengar permintaan itu, “Tuan Muda ingin tahu… dengan cara apa? Saya sendiri yang selama ini mengurus sebagian proses ritual itu, tapi… saya belum pernah melihat serigala jadi-jadian,” jawabnya dengan suara pelan.
Nathan tampak berpikir sejenak, lalu sebuah ide melintas di benaknya, “Heni, bisa kah kau mengantarku ke tempat ritual Sanghyang Jiva?”
Heni menatap Nathan dengan tatapan tak percaya. “Tuan Muda ingin ke sana? Buat apa?”
Nathan memandang Heni dengan serius. “Aku perlu mencari petunjuk, sekecil apa pun. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa menjelaskan tentang serigala jadi-jadian itu.”
Heni terdiam, matanya menatap ke tanah, berpikir keras. Sebenarnya, tempat ritual itu adalah lokasi yang penuh dengan rahasia dan berbahaya. Sanghyang Jiva bukanlah sekadar upacara, dan banyak yang berkata tempat itu memiliki kekuatan gaib yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Setelah berpikir cukup lama, dia menghela napas dan menatap Nathan lagi.
“Saya bisa mengantarkan Tuan Muda ke sana,” kata Heni dengan pelan, seolah ragu dengan keputusan yang diambilnya. “Tapi, ada satu syarat. Tuan Muda harus merahasiakan hal ini dari Nyonya Besar. Ibu Tuan Muda tidak boleh tahu tentang kunjungan ini.”
Nathan mengangguk cepat, merasa lega bahwa Heni bersedia membantu, “Aku berjanji, Heni. Nyonya Besar tidak akan tahu apa pun soal kunjunganku ke tempat itu.”
Heni mengamati Nathan sejenak, memastikan bahwa niatnya benar-benar serius. Setelah yakin, dia pun berdiri. “Baiklah, kalau begitu, kita akan pergi. Tapi saya ingatkan, Tuan Muda, ini harus sangat dirahasiakan.”
“Tidak masalah, Heni. Aku akan merahasiakannya,” kata Nathan mantap. Mata mereka bertemu sesaat, dan di sana ada tekad yang tak terbantahkan.
Heni mengangguk, lalu bergerak ke arah selatan. Dia melewati kolam renang yang tenang, airnya berkilauan di bawah sinar bulan. Nathan berjalan di sampingnya, mengikuti langkah Heni. Mereka menyusuri jalan setapak yang membelah taman luas dengan pepohonan besar menjulang di sisi kanan dan kiri. Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan pintu gerbang tinggi. Pintu itu terbuat dari besi, dihiasi ukiran indah yang menceritakan berbagai kisah kuno. Heni mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan kepada seseorang, wajahnya tampak serius. Setelah sekitar tiga menit menunggu, pintu gerbang terbuka sedikit. Seorang pria muncul dari balik pintu, terlihat terkejut melihat kedatangan Heni dan Nathan.
“Ada keperluan apa Tuan Muda dan Heni datang ke sini malam-malam begini?” tanyanya langsung, nadanya serius.
Nathan diam sejenak, membiarkan Heni yang menjawab. Heni, dengan sikap tenang namun tegas, melangkah maju sedikit. “Kami harus pergi ke tempat ritual Sanghyang Jiva,” ucapnya tanpa ragu.
Penjaga itu menatap Heni lebih tajam, tampak heran sekaligus ragu. “Tempat ritual? Itu bukan tempat yang bisa dimasuki sembarangan. Apa kalian punya izin?”
Heni menarik napas dalam. “Ini urusan penting. Saya yang bertanggung jawab atas Tuan Muda, dan dia harus ke sana.”
Penjaga itu menatap Nathan, yang hanya diam dan memasang wajah serius. Ia tahu bahwa Nathan bukan orang yang akan datang ke sini tanpa alasan kuat, tetapi tetap saja, aturan adalah aturan.
“Apa Nyonya Besar tahu tentang ini?” tanya penjaga itu lagi, nada suaranya lebih keras, seolah ingin memastikan segalanya jelas.
Heni menjawab, “Nyonya Besar tidak tahu, tapi Tuan Muda perlu ke sana.”
Penjaga itu terdiam, menimbang kata-kata Heni. Matanya beralih dari Heni ke Nathan, yang tetap berdiri dengan tenang di belakangnya. Setelah beberapa saat, dia mendesah pelan.
“Saya mengerti ini mungkin urusan yang sangat penting,” katanya perlahan. “Tapi saya juga harus memastikan tempat itu aman. Jika terjadi sesuatu, saya yang akan dimintai pertanggungjawaban.”
Nathan yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara, “Aku mengerti tanggung jawabmu, tapi ini bukan urusan biasa. Aku harus pergi ke sana sekarang.”
Penjaga itu memandang Nathan sekali lagi, memastikan bahwa Nathan benar-benar serius. Akhirnya, dia mengangguk pelan, menyerah pada situasi.
“Baiklah,” ucapnya, membuka gerbang sedikit lebih lebar. “Saya akan mengizinkan kalian masuk. Tapi jangan lupa, kalian harus menjaga sesuatunya tetap sediakala. Saya tidak ingin ada kerusakan atau apapun yang membuat Nyonya Besar tahu kalau tempat ritualnya dimasuki seseorang.”
Heni mengangguk dengan mantap. “Terima kasih. Kami akan berhati-hati.”
Penjaga itu menepi, membiarkan Nathan dan Heni melangkah melewati gerbang besar yang kini terbuka. Heni dan Nathan melangkah masuk ke dalam area yang tersembunyi di balik gerbang besar. Nathan mengamati sekeliling, melihat empat gedung berdiri di hadapannya. Gedung pertama di sisi kanan tampak modern, dengan dinding berwarna putih dan desain minimalis. Di sebelahnya, gedung kedua lebih kecil dan terlihat tua. Batu-batu yang menyusun dindingnya sudah kusam, sebagian ditutupi oleh lumut yang tumbuh tebal. Di tengah, berdiri bangunan terbesar, dengan arsitektur megah dan atap tinggi, seperti peninggalan masa lalu yang kokoh. Namun, perhatian Nathan tertuju pada gedung di paling kiri, yang tampak sederhana, meskipun memiliki aura mistis yang kuat. Heni tanpa ragu melangkah menuju gedung itu. Nathan mengikuti di belakang, memperhatikan setiap detil bangunan. Mereka sampai di depan pintu kayu tebal yang tertutup rapat. Heni mengeluarkan kunci dari saku bajunya, memasukkannya ke dalam lubang kunci, dan memutarnya. Pintu berderit saat terbuka, memperlihatkan ruang dengan pencahayaan remang-remang di dalamnya.
“Saya hanya bisa mengantarkan Tuan Muda sampai sini. Saya akan menunggu Tuan Muda di sini,” kata Heni pada Nathan.
“Baiklah … Saya tak akan lama,” ucap Nathan.
Nathan melangkah masuk ke dalam ruangan ritual Sanghyang Jiva, dan suasana di dalamnya langsung menyergap panca inderanya. Ruangan itu luas dan terawat, dengan lantai marmer hitam yang berkilauan, memantulkan cahaya dari lilin-lilin besar yang berdiri di sepanjang dinding. Dindingnya dihiasi kain beludru hitam yang lembut, tersemat dengan ukiran emas yang menggambarkan makhluk-makhluk mistis dan simbol-simbol kuno yang menambah kesan megah. Di tengah ruangan, terdapat lingkaran merah yang terukir di lantai, dikelilingi oleh garis-garis rumit yang membentuk pola-pola aneh. Noda-noda merah tua yang mengering di dalam lingkaran itu memberi kesan bahwa tempat ini telah menyaksikan banyak ritual yang sangat penting. Cahaya lembut dari chandelier besar yang menggantung di langit-langit memancarkan nuansa hangat namun tetap menyisakan bayangan-bayangan misterius di sudut-sudut ruangan.
Udara terasa dingin dan hening, seolah-olah dinding-dindingnya menyimpan banyak rahasia yang belum terungkap. Meski tampak bersih dan rapi, ruangan ini memancarkan aura yang berat dan penuh misteri. Lingkaran merah di tengah ruangan mengundang rasa ingin tahu sekaligus ketakutan, menandakan bahwa apa pun yang terjadi di sini bukanlah hal biasa.
Nathan berdiri di tengah lingkaran merah, merasakan aliran energi yang aneh menyergap seluruh perasaannya. Jantungnya berdegup kencang, detakan itu terasa semakin cepat seiring ketidakpastian yang menyelimuti dirinya. Rasa takut yang mendalam tiba-tiba menghantui, tanpa alasan yang jelas. Dia tidak memahami mengapa ketakutan itu begitu kuat, namun nalurinya mengingatkan akan pentingnya momen ini. Dengan cepat, Nathan duduk bersila di tengah lingkaran, mencoba menenangkan diri.
Dia menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan mulai berkonsentrasi. Fokusnya terpusat pada napas yang masuk dan keluar, membiarkan pikirannya kosong dari gangguan. Lingkungan sekitar perlahan memudar, dan suara-suara di luar seolah menjauh. Dalam meditasi itu, Nathan merasakan sebuah tarikan, seakan lingkaran itu menariknya ke dalam dimensi lain. Setiap napasnya membawa Nathan lebih dalam ke dalam keadaan meditatif. Gambar-gambar samar mulai muncul di balik kelopak matanya, namun semuanya tampak gelap dan mengancam. Dia melihat bayangan-bayangan hitam melintas, seolah sesuatu sedang mengawasinya dari kegelapan. Dalam keheningan yang mendalam, dia merasakan ketegangan yang mencekam, seakan dunia nyata perlahan menjauh dan digantikan oleh sesuatu yang tidak dikenal.
Tiba-tiba, Nathan mendengar suara geraman yang sangat dekat, menggetarkan suasana hening di sekelilingnya. Dengan cepat, dia membuka matanya dan terkejut. Di hadapannya, hanya beberapa sentimeter, ada moncong serigala yang sangat besar. Gigi-giginya yang besar dan runcing bersinar dalam kegelapan, menebarkan ancaman yang tak terelakkan. Air liur kental menetes-netes dari mulutnya, menciptakan genangan kecil di lantai yang bersih.
Nathan merasa terjebak dalam tatapan tajam serigala itu, merasakan ketakutan yang menyelimuti tubuhnya. Namun, ada keanehan yang menyelimuti momen itu. Sang serigala tidak bisa mencapai Nathan. Seakan ada pembatas tak kasat mata yang menghalangi, menjaga jarak antara keduanya. Meskipun ancaman dari makhluk itu sangat nyata, rasa aman yang aneh juga mengelilingi Nathan. Keberadaan pembatas itu menciptakan suasana yang penuh konflik, dan Nathan menyadari bahwa dirinya berada di tepi jurang antara kehidupan dan kegelapan.
Nathan menatap tajam ke dalam kegelapan, merasakan kehadiran yang tidak biasa. Perlahan, bayangan mulai mengambil bentuk di belakang sang serigala besar yang masih menggeram, tampak samar dan tidak jelas. Gerakan itu sangat halus. Dalam hati, Nathan merasa ada sesuatu yang akan terjadi, tetapi dia tidak bisa menentukan apa. Saat cahaya dari lilin-lilin mulai berkedip, bayangan itu semakin jelas. Sosok perempuan muncul dalam pandangan Nathan, tetapi wajahnya masih tertutup bayangan. Perlahan, pakaian terusan putih yang dikenakannya mulai terlihat, panjang hingga menyentuh lantai. Setiap detik, sosok itu semakin mendekat seperti melayang, tetapi tidak bergerak dari posisinya. Nathan menyadari bahwa sosok itu terikat di sebuah tiang, tak berdaya untuk bergerak. Ketika sosok itu akhirnya terungkap sepenuhnya, Nathan merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Wajahnya yang pucat dan rambut panjangnya tergerai di sekelilingnya menambah kesan menakutkan. Meski terikat, matanya yang besar dan penuh harapan menatap Nathan, seolah meminta pertolongan.
Nathan terperangah melihat sosok perempuan. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat menyadari wajahnya yang sangat familiar. Rasa terkejutnya melanda sekujur tubuh, membuatnya tak berdaya. Kakinya terasa berat, seolah terikat oleh kekuatan yang tidak terlihat. Tatapan perempuan itu penuh harapan, seakan meminta pertolongan. Dalam sekejap, semua rencana dan ketakutannya lenyap, tergantikan oleh rasa cemas yang meluap. Nathan hanya bisa terpaku, terjebak dalam keadaan yang membuatnya bingung dan putus asa.
“Ma…Maya …” gumam Nathan suaranya nyaris tak terdengar.
Lidah pemuda itu terasa kaku, sulit untuk melontarkan kata-kata. Semua yang dilihatnya terasa nyata dan sekaligus tidak nyata. Perempuan yang terikat di depan matanya adalah sosok yang telah menjadi bagian dari pikirannya, tetapi sekarang ia berada di hadapannya, terjebak dalam keadaan yang memprihatinkan. Jantungnya berdegup kencang, rasa cemas dan ketakutan bercampur menjadi satu.
“To..long … Tolong a..ku …” ucapnya penuh dengan putus asa.
“Maya … Ke..kenapa ka..kamu ada di sana?” Tanya Nathan. Mata pemuda itu tak berkedip memandangi sosok wanita yang terikat di tiang.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Wanita itu, yang ia yakini adalah ibunya, memandangnya dengan bingung dan bertanya, “Siapa kamu?” Suaranya bergetar, tapi bukan karena rasa takut, melainkan kebingungan yang mendalam. Nathan tertegun. Tidak mungkin wanita itu tidak mengenalnya.
“Aku… Nathan,” jawab Nathan, suaranya bergetar. Ia masih mencoba menguasai dirinya meskipun rasa kebingungan semakin menyelimuti pikirannya. Serigala besar di hadapannya, yang sebelumnya menggeram, kini berusaha menyerang Nathan. Giginya masih terlihat jelas, tapi tampak tertahan oleh pembatas tak kasat mata, seolah-olah ada kekuatan yang menghalanginya menyerang Nathan.
Wanita yang terikat di tiang itu menggelengkan kepala perlahan, seakan mencoba memahami, namun tidak berhasil. “Aku tidak mengenalmu,” katanya dengan nada ragu. Matanya menatap Nathan seolah menelusuri wajahnya, mencari sesuatu yang bisa dikenali, tapi tak ada yang membuatnya merasa akrab.
Nathan menghela napas, hatinya semakin kacau. “Aku… anakmu,” katanya lirih. Ucapannya membuat wanita itu terbelalak, matanya terbuka lebar seolah-olah baru menyadari sesuatu yang sangat mengejutkan.
“Anakku?” wanita itu bergumam, suaranya nyaris tenggelam dalam kekacauan emosional yang terlihat jelas di wajahnya. Tubuhnya yang terikat tampak sedikit bergetar, meskipun ia tidak bisa bergerak. Serigala yang ada di depan Nathan kini bergerak sedikit, moncongnya meneteskan air liur, seakan berusaha mendekat lagi, tapi tetap tidak mampu melewati batas tak kasat mata yang menahannya.
“Ya,” jawab Nathan lebih mantap, “Aku anakmu, Maya. Ayahku, Ronny, membawaku pergi darimu saat aku masih bayi, saat usiaku baru tujuh bulan.” Nathan menundukkan kepala sejenak, seolah mencoba menahan emosi yang mendesak keluar. “Kau adalah ibuku.”
Air mata mulai membasahi wajah wanita itu. Tangisnya pecah, mengguncang tubuh yang terikat erat. Wanita itu, meskipun terikat, terlihat benar-benar hancur. Dia menganggukkan kepalanya, akhirnya mengakui kenyataan yang berada di depannya. “Nathan…” bisiknya penuh penyesalan dan rasa sakit, “Kau… benar-benar anakku.”
Wanita yang terikat itu menundukkan kepalanya, air mata masih mengalir di pipinya. Suaranya terdengar pelan namun jelas ketika dia berbicara, “Aku menyesal… menyesal dengan apa yang telah kulakukan pada Ronny. Sikapku… perbuatanku yang menyakitinya… semua ini… adalah akibatnya.”
Nathan terdiam, mendengarkan dengan penuh perhatian. Wanita itu menarik napas berat, pandangannya masih terpaku pada lantai, seakan tak sanggup menatap Nathan.
“Aku merasa bersalah,” lanjutnya dengan suara bergetar. “Inilah hukuman yang harus kuterima… untuk semua kesalahanku di masa lalu.” Dia menggeleng pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri tentang kenyataan pahit yang ia jalani sekarang.
Nathan merasakan perasaan tak menentu menguasainya. Mendengar penyesalan ibunya membuatnya semakin tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, mengapa semuanya bisa berakhir seperti ini. Sementara itu, serigala di hadapannya tetap menggeram, namun tak bisa mendekat, seakan dibatasi oleh sesuatu yang tak terlihat.
“Kenapa… kenapa Ibu ada di sini?” Nathan bertanya, suaranya sedikit gemetar. “Bagaimana bisa Ibu terikat di tempat ini?” Tatapannya tak lepas dari sosok ibunya yang tampak lelah dan terluka.
Wanita itu hanya menunduk, sesaat tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca, tangisnya belum sepenuhnya berhenti. Sementara itu, serigala besar di dekat Nathan menggeram pelan, masih tertahan oleh kekuatan tak kasat mata yang memisahkan mereka.
“Aku terlalu tamak, anakku,” ucap wanita itu dengan suara berat. “Aku ingin kekuasaan, kekayaan, kekuatan, dan kecantikan. Semua hal yang tidak seharusnya kumiliki sepenuhnya. Aku… aku ada di sini karena aku ingin tetap cantik dan awet muda.” Dia menundukkan kepala, suaranya bergetar. “Aku tidak sadar, sukma ini yang menjadi gantinya. Sekarang… aku akan selamanya terjebak di sini. Ini hukuman untuk keserakahanku.”
“Sukma …??? A..aku tidak mengerti …” ucap Nathan, suaranya penuh kebingungan.
Wanita yang terikat dalam tiang itu menatap Nathan dengan mata yang penuh kesedihan. “Aku menukarkan sukmaku. Aku ingin kekuatan yang lebih besar, kecantikan yang abadi. Tapi sebagai gantinya, aku kehilangan diriku sendiri.” Wajahnya tampak semakin lelah saat ia melanjutkan. “Sekarang, aku hanya bayangan dari diriku yang dulu. Tidak ada jalan kembali.”
“A..aku tidak mengerti … Aku ingin penjelasan … Buat aku mengerti ..” ucap Nathan yang kebingungan. Nathan melanjutkan, “Apa yang ibu maksud dengan sukmaku?”
“Sukma itu adalah bagian terdalam dari diriku,” jawab Maya, suaranya rendah dan penuh kesedihan. “Bukan tubuh, bukan pikiran, tapi inti yang membuatku menjadi siapa aku sebenarnya. Ketika aku menukarkan sukma itu, aku kehilangan diriku sendiri. Maya yang kau kenal di dunia nyata hanyalah cangkang… bayangan yang tersisa. Sedangkan yang terikat di sini adalah aku yang sesungguhnya, terjebak di dalam ruang ini, selamanya.”
“Jadi … Siapa Maya yang aku kenal di dunia nyata?” tanya Nathan ingin penjelasan.
“Maya yang kamu kenal di dunia nyata adalah bagian dari diriku yang masih tersisa. Dia adalah sosok yang penuh ambisi dan keinginan, dan terjebak dalam pencarian kekuasaan dan kecantikan. Dalam upaya untuk mempertahankan penampilan dan kekuatanku, aku menukarkan sukma. Maya sekarang menjalani hidup tanpa menyadari betapa besar pengorbanan yang telah kulakukan. Dia hidup dengan bayanganku, sementara aku terperangkap di sini, tanpa bisa membebaskan diri. Apa yang kamu lihat sekarang hanyalah cerminan dari kesalahan yang aku buat. Maya tidak tahu bahwa aku ada di sini, terkurung dalam kesalahan yang sama.”
“Jadi, Maya yang aku kenal di dunia nyata tidak tahu kalau identitas dirinya yang asli adalah ibu di sini?” tanya Nathan sambil terkejut karena sang serigala berusaha menyerangnya tetapi lagi-lagi pembatas itu yang menghalanginya.
“Ya, anakku. Maya di dunia nyata tidak menyadari bahwa dia adalah aku, yang terikat di sini. Dia hidup dalam ilusi yang aku ciptakan. Semua kekuatan dan kecantikan yang dia miliki, itu berasal dari pengorbananku. Dia tidak tahu tentang duniaku dan apa yang terjadi di sini. Aku terjebak dalam keinginanku sendiri, dan dia tidak memiliki ingatan tentang diriku yang sebenarnya,” ucap Maya dengan suara penuh penyesalan, matanya yang penuh kesedihan menatap Nathan dengan harapan.
Nathan mengerutkan kening, mendapatkan gambaran yang lebih jelas. “Jadi, cara untuk membebaskan sukma ibu ini adalah dengan membunuh serigala itu?” tanyanya, suaranya bergetar. Dia menatap sosok serigala besar di depan mereka, masih menggeram, seolah tahu bahwa rencana itu sedang dibicarakan.
Maya mengangguk perlahan, matanya yang penuh kesedihan bertemu tatapan Nathan. “Serigala itu adalah penjaga yang menghalangi jalan menuju kebebasan. Hanya dengan membunuhnya, lingkaran ini bisa hancur. Namun, itu bukan hal yang mudah. Dia memiliki kekuatan yang sangat besar.”
Nathan mengingat sesuatu yang pernah ia dengar dan menatap wanita yang terikat di tiang itu dengan penuh keyakinan. “Aku pernah mendengar, ibu bisa bebas kalau serigala ini bisa dijinakkan, bukan dibunuh,” katanya, suaranya mengandung harapan.
Maya menatap Nathan dengan tatapan serius. “Nathan, anakku … Jika kamu berpikir untuk menjinakkan serigala ini, itu adalah kesalahan besar. Jika serigala itu dijinakkan, dia akan memakan aku, karena tidak ada tumbal sebagai bayaran dia untuk menjagaku,” katanya dengan suara bergetar. “Setelah aku dimakan, sukma ini akan hilang selamanya. Ritual ini akan selesai, dan serigala tidak lagi bertanggung jawab untuk menjaga sukma yang terjebak di sini.” Maya menundukkan kepala, mengingat nasibnya yang mengerikan. “Jika serigala ini mati, maka sukma inilah yang akan bebas dan kembali ke tubuhku di dunia nyata.” Wajahnya menunjukkan harapan yang penuh haru, namun juga kesedihan.
Nathan tertegun, merenungi penjelasan yang baru saja didengarnya. Ia tidak menyangka bahwa cara untuk membebaskan sukma ibunya adalah dengan membunuh serigala itu. Namun, pernyataan sukma ibunya tentang menjinakkan serigala dan risikonya mengejutkan Nathan. Pikiran tentang serigala yang mungkin akan memakan sukma ibunya jika dijinakkan membuatnya merinding.
“Kenapa Maya di dunia nyata memintaku untuk menjinakkannya bukan membubuhnya?” tanya Nathan.
“Maya di dunia nyata sudah terpengaruh oleh entitas kegelapan yang menguasainya. Entitas ini tidak ingin sukma aslinya kembali. Dia telah memanipulasi Maya untuk berpikir bahwa menjinakkan serigala adalah solusi terbaik. Sesungguhnya, membunuh serigala berarti entitas kegelapan itu akan terusir dari tubuh Maya. Entitas itu berusaha memastikan Maya tetap terjebak dalam keadaan ini, menjadikannya sebagai alat untuk kepentingan gelapnya. Itulah sebabnya Maya meminta untuk menjinakkan serigala, bukan membunuhnya.”
“Berarti aku harus membunuhnya,” ucap Nathan sambil menatap sang serigala yang masih saja mempertontonkan taring-taringnya. “Jika sukma ibu bebas, apakah itu akan memengaruhi kecantikan Maya di dunia nyata?” tanyanya, mencoba memahami konsekuensi dari pilihan yang harus diambil.
Sukma Maya mengangguk perlahan, menatap Nathan dengan tatapan serius. “Memang, kecantikan Maya di dunia nyata akan hilang. Tetapi, dia tidak akan langsung menjadi buruk rupa, dia akan seperti wanita normal lainnya. Penuaan akan datang secara berangsur-angsur,” jelasnya dengan suara berat. “Tetapi itu bukanlah masalah utama, yang terpenting adalah sukma ini kembali ke tubuh Maya. Jika kamu bisa membebaskan ibu, ibu akan menghalau bisikan entitas kegelapan yang selama ini mempengaruhi Maya.”
“Tapi …” Ucapan Nathan ditahan sukma Maya dengan mengangkat tangan.
Sukma Maya menatap Nathan dengan tatapan serius, suaranya bergetar saat dia berbicara. “Nathan, anakku … Waktuku sudah habis. Kamu harus berhati-hati. Siluman serigala yang menjaga tempat ini sangat kuat dan tidak akan segan-segan membunuhmu.” Sukma itu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Ingat, setiap gerakanmu harus hati-hati. Jika kamu ingin membebaskan sukma ini, kamu perlu strategi dan keberanian. Jangan anggap remeh kekuatannya, karena dia adalah penjaga yang telah menghalangi jalan menuju kebebasan selama ini.” Dengan nada mendesak, sukma Maya melanjutkan, “Waktuku semakin sedikit. Pastikan kamu siap menghadapi apa pun yang akan datang. Percayalah pada dirimu sendiri dan jangan pernah kehilangan harapan.”
Sukma Maya menghilang, perlahan-lahan lenyap dari pandangan Nathan. Begitu dia menghilang, dimensi tempat Nathan berada mulai bergetar dan mengaburkan segalanya. Dalam sekejap, ia merasa tersedot ke dalam kegelapan dan kembali ke dunia nyata. Ketika matanya terbuka, Nathan mendapati dirinya berada di ruangan ritual yang sama, dengan pencahayaan redup dan aura mistis yang masih menyelimuti tempat itu.
Nathan merenung sejenak, mengingat semua kejadian yang baru saja dialaminya. Pikiran tentang sukma Maya dan perjuangan untuk membebaskannya berputar dalam benaknya. Kini, semua terasa sedikit lebih terang. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang situasi ibunya, Nathan bangkit dan berjalan ke arah pintu keluar gedung. Dia merasa ada dorongan kuat untuk melanjutkan misinya. Setelah keluar dari gedung, Nathan melihat Heni yang setia menunggu di luar. Ekspresi wajah Heni menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
“Apakah Tuan Muda menemukan sesuatu di dalam sana?” tanya Heni dengan tatapan tajam.
Nathan menggeleng, “Aku tidak menemukan apa-apa.”
“Oh … Sangat disayangkan …” keluh Heni.
“Sebaiknya kita cepat keluar dari sini,” ajak Nathan sembari jalan mendahului Heni.
Nathan melangkah duluan, meninggalkan Heni yang mengunci pintu gedung ritual. Tak lama setelah itu, Heni berhasil menyusul langkahnya. Mereka berdua berjalan bersama menuju pintu gerbang yang menandakan batas antara tempat tersebut dan dunia luar. Setelah berterima kasih kepada penjaga, Nathan dan Heni melintasi taman yang terawat, dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip. Sesampainya di kolam renang, mereka berpamitan. Nathan kembali menuju rumah utama, sementara Heni melanjutkan ke gedung tempat para pembantu rumah tangga beristirahat.
Setibanya di rumah, Nathan masuk melalui pintu belakang, melewati dapur yang sepi dan ruang tengah yang tenang. Ia menaiki anak tangga, hingga sampai di lantai dua. Di sana, matanya tertuju pada pintu kamar Maya yang tertutup rapat. Suara erangan dan kadang teriakan nikmat Maya datang dari dalam kamar. Suara itu jelas terdengar, menandakan aktivitas yang berlangsung di balik pintu. Nathan tahu betul apa yang terjadi di dalam sana. Ia memutuskan untuk berjalan menuju kamarnya. Setelah membuka pintu, ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Nathan terbaring di atas tempat tidurnya, pikirannya berputar dengan berbagai rencana dan harapan. Keduanya saling berinteraksi, seolah menari di benaknya, memaksa dia untuk bangkit dan berjuang. Cita-citanya untuk menyelamatkan ibunya tidak akan pudar. Dalam setiap detak jantungnya, terpatri tekad untuk mengatasi semua rintangan yang menghadang. Ia tidak akan mundur, tidak akan menyerah pada ancaman entitas kegelapan. Dengan keberanian yang mengalir dalam nadinya, Nathan bersiap menghadapi tantangan berikutnya. Ia percaya, di ujung jalan ini, kebebasan dan cinta akan menanti.
Bersambung
Oke lh,bab ke 17 lnjut kak