BAB 19
Nathan sudah siap menjalani hari. Ia mengenakan pakaian yang sangat rapi. Jas hitam melekat sempurna di tubuhnya, dipadukan dengan celana bahan yang sewarna. Dasi dengan motif garis-garis melingkari kerah kemejanya, tertata rapi tanpa cela. Nathan duduk di balik kemudi mobil sedan hitam. Ia menyusuri jalanan ibukota yang mulai dipadati kendaraan. Kecepatan mobilnya tetap stabil meski lalu lintas sudah ramai. Langit terlihat cerah, sementara Nathan tetap fokus mengemudikan mobilnya di antara deretan kendaraan lain.
Nathan tetap fokus mengemudi, namun pikirannya kembali terlempar ke peristiwa semalam. Saat itu, di ruang ritual Sanghyang Jiva, sosok sukma ibunya tiba-tiba muncul di hadapannya. Ekspresinya tidak menampakkan kebahagiaan atau kedamaian. Ketamakan telah menjeratnya, membelenggu seluruh jiwa, mengurungnya dalam penderitaan tanpa akhir. Demi kekuasaan dan kecantikan yang fana, ia terperangkap, tersisih dari dunia nyata. Dirinya yang asli terikat pada tiang di alam asing, jauh dari kehidupan yang ia harapkan.
Nathan mengingat ada empat gedung di area rahasia, tempat yang terkait dengan ritual Maya lainnya. Ia bertanya-tanya apakah setiap ritual itu juga akan meminta pengorbanan besar demi kekuasaan, kekuatan, dan kehormatan. Pikiran tentang kemungkinan itu membuatnya semakin penasaran. Ia merasa harus menyelidiki tiga tempat ritual lainnya.
Nathan tiba di gedung perusahaannya. Ia terkejut melihat ruangan yang kemarin hancur sudah kembali dalam kondisi sempurna, seolah tak pernah terjadi apa pun. Keheranan bercampur kekaguman menguasai pikirannya. Namun, ada kekecewaan yang muncul. Ruangan itu sekarang ditempati oleh Denis. Nathan menerima kenyataan tersebut dan berpindah ke ruangan lain, tepat di samping ruangan Denis. Nathan memasuki ruang kerjanya yang baru. Ruangan itu tampak elegan, dengan dinding kaca yang bersih dan furnitur modern yang tertata rapi. Tetapi, suasana di dalam tidak semewah atau semegah seperti yang ada di ruangan Denis.
Nathan duduk di kursi besar miliknya, mulai menata ulang laporan yang sempat hilang akibat insiden kemarin. Beberapa pekerjaan harus diulang, meskipun sebelumnya sudah selesai. Ia bekerja dengan fokus, membenahi dokumen satu per satu. Ketukan di pintu memecah konsentrasi, membuatnya menoleh. Setelah memberi isyarat untuk masuk, Pak Djoko muncul bersama seorang wanita berpakaian ketat. Lekuk tubuh wanita itu terlihat jelas, menarik perhatian begitu ia melangkah ke dalam ruangan. Nathan mempersilakan pegawainya untuk duduk. Pak Djoko dan wanita itu segera mengambil tempat di kursi yang berada di depan meja kerja Nathan. Keduanya duduk dengan tenang, menunggu Nathan melanjutkan urusannya.
Nathan duduk di kursi kerjanya menatap Pak Djoko, “Apakah dia adalah yang akan menjadi asisten pribadiku?” tanyanya, merujuk kepada wanita cantik yang duduk di sebelah Pak Djoko.
Pak Djoko mengangguk, lalu menyerahkan sebuah berkas kepada Nathan. “Benar, Tuan Muda. Dia adalah Anggi, asisten pribadi yang akan mendampingi Tuan Muda.”
Nathan menerima berkas itu, ia membuka halaman pertama, berharap semua yang diinginkannya ada di dalamnya. “Aku harap semua kemampuan yang aku butuhkan ada di sini,” katanya sambil meneliti profil Anggi.
“Anggi adalah ahli di bidang manajemen keuangan, perencanaan, dan analisis bisnis,” jelas Pak Djoko. “Dia juga memiliki latar belakang yang kuat dalam teknik informatika. Namun, dia kurang menguasai dunia keserketarisan. Meski begitu, Anggi memiliki kemampuan belajar yang cepat.”
Nathan mengalihkan pandangannya kepada Anggi, yang duduk dengan sikap tenang. Wajah Anggi tampak cantik, dan saat mata mereka bertemu, Nathan tersenyum. “Aku sangat terkesan dengan semua kemampuan yang kamu miliki,” ujarnya dengan tulus.
Anggi tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Ia mengangguk dan menjawab, “Terima kasih, Tuan Muda. Saya akan berusaha memberikan yang terbaik.”
Mereka berdua saling menatap sejenak, merasakan kehadiran satu sama lain. Anggi merasa kagum pada ketampanan Nathan, sedangkan Nathan terpesona oleh kecerdasan dan keanggunan Anggi. Suasana di dalam ruangan terasa berbeda, seolah ada ikatan yang baru terbentuk di antara mereka.
Pak Djoko memperhatikan interaksi mereka dan tersenyum, “Tuan Muda, saya yakin Anggi akan membantu Tuan Muda dalam banyak hal. Dia cepat beradaptasi dan siap untuk belajar.”
Nathan mengangguk, merasa optimis. “Aku berharap bisa bekerja sama dengan baik.”
Anggi kembali tersenyum, merasa termotivasi oleh dukungan Nathan. “Saya siap, Tuan Muda. Kita bisa mulai kapan saja.”
Nathan menatap Anggi dengan penuh semangat, merasakan bahwa pertemuan ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru dan menarik. Dengan semua kemampuan luar biasa yang dimiliki Anggi, Nathan mulai berpikir bahwa beban kerjanya akan terasa jauh lebih ringan. Keahliannya dalam manajemen keuangan, perencanaan, dan analisis bisnis membuat Nathan yakin bahwa banyak tanggung jawab yang selama ini memakan waktu bisa diserahkan kepadanya. Bayangan tentang hari-hari penuh tekanan yang kerap ia hadapi perlahan memudar. Anggi tampak seperti solusi yang selama ini ia cari.
Setelah pertemuan selesai, Anggi menempati ruangan yang terletak tepat di depan ruang kerja Nathan. Setiap orang yang hendak menemui Nathan harus melewati ruang kerja Anggi terlebih dahulu. Usai mempersiapkan semuanya, Nathan berbincang dengan Anggi, membahas berbagai tugas yang akan membutuhkan keahliannya untuk diselesaikan dengan cepat. Mereka berdiskusi panjang lebar tentang bagaimana membagi beban kerja dan mempercepat proses penyelesaian proyek-proyek penting. Sepanjang hari, Nathan dan Anggi bekerja sama, menyamakan visi serta misi mereka. Keduanya merasa optimis terhadap kemitraan ini, karena mereka memiliki pandangan yang serupa terhadap banyak hal. Tanpa terasa, hari mulai petang. Waktu bekerja telah usai, dan saatnya bagi mereka untuk pulang dan beristirahat.
Di ruang kerjanya, Nathan memandang Anggi yang sedang merapikan berkas di meja. Dengan nada santai, ia berkata, “Anggi, bagaimana kalau kita ngopi-ngopi di kafe? Apakah kamu ada waktu?” Nathan bertanya dengan santai.
Anggi menatap Nathan dengan penuh perhatian. Senyumnya mengembang saat ia menjawab, “Tentu, Tuan Muda. Saya akan sangat senang menerima tawaran itu.”
Nathan sedikit berseloroh, “Em, bagaimana dengan suamimu? Apa dia tidak keberatan kita menghabiskan waktu bersama di kafe?”
Anggi tertawa ringan. “Oh, suami saya pasti akan mengerti dan bisa menunggu.”
Keduanya saling bertukar tatapan, merasakan ketulusan dalam percakapan mereka. Anggi merasa terkesan dengan ketampanan Nathan. Kepercayaan dirinya dan sikapnya yang ramah membuat Anggi semakin mengagumi sosok pria di depannya.
Nathan melanjutkan, “Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi ke kafe sekarang? Ada tempat yang ingin kamu kunjungi?”
Anggi menggelengkan kepala. “Saya tidak terlalu memilih. Selama bersama Tuan Muda, saya pasti akan menikmati.”
Nathan dan Anggi segera meninggalkan tempat kerja mereka. Keduanya melangkah menuju lift di sudut gedung. Saat pintu lift terbuka, Nathan dan Anggi masuk dan menekan tombol ke basement. Suara deru lift mengisi ruang sempit itu. Ketika lift berhenti, pintu terbuka, dan mereka melangkah keluar ke area parkir yang tenang. Mereka menghampiri mobil masing-masing. Nathan membuka pintu sedan hitamnya, sedangkan Anggi menuju mobilnya yang berwarna merah cerah. Keduanya segera meluncur dari area parkir dan mengikuti jalanan yang mengarah keluar gedung. Nathan mengarahkan mobilnya ke kafe yang tidak jauh dari gedung perusahaan. Jalanan tampak lancar, dan suasana sore hari memberi rasa nyaman bagi mereka.
Tak lama kemudian, mereka sampai di kafe yang dimaksud. Kafe itu memiliki desain modern dengan nuansa hangat dan aroma kopi yang menggoda. Nathan dan Anggi memilih meja di dekat jendela, memudahkan mereka untuk menikmati pemandangan luar. Mereka memesan kopi favorit masing-masing dan beberapa makanan ringan. Ketika kopi hangat disajikan, keduanya terlibat dalam percakapan ringan sambil menikmati suasana santai di kafe tersebut. Tak lama setelah percakapan ringan mereka berlangsung, Nathan merasa bahwa di luar jam kerja, hubungan mereka sebaiknya lebih santai dan akrab. Ia memutuskan untuk menghilangkan formalitas dan berharap agar Anggi memanggilnya dengan nama saja, seperti teman biasa. Nathan ingin suasana di antara mereka lebih hangat saat berada di luar urusan pekerjaan. Pembicaraan mereka awalnya mengalir tentang pekerjaan dan latar belakang pribadi, lalu beranjak ke topik yang lebih mendalam.
Nathan menatap Anggi sambil mengaduk kopinya perlahan, “Aku sangat terkesan dengan semua pengetahuanmu. Kamu kelihatannya menguasai banyak sekali bidang. Apa yang membuatmu begitu tertarik untuk mempelajari semua itu?”
Anggi tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dia meletakkan cangkir kopinya dan menjawab, “Sejak kecil, aku memang suka membaca dan mencari tahu banyak hal. Buatku, ilmu pengetahuan itu seperti kekuatan. Setiap orang butuh kekuatan, apalagi dalam dunia yang penuh persaingan ini. Jadi, aku selalu berusaha belajar sebanyak mungkin.”
Nathan mengangguk pelan, setuju dengan pandangan Anggi. “Aku juga berpikir begitu. Ilmu memang bisa memberikan kekuatan, entah dalam bentuk fisik seperti ilmu kanuragan, atau dalam bentuk lain yang lebih modern.”
Anggi tertawa kecil, lalu menggigit sedikit dari kuenya sebelum melanjutkan, “Iya, benar. Ilmu kanuragan memang memberi kekuatan, tapi banyak juga ilmu yang tidak berhubungan langsung dengan fisik, seperti ilmu manajemen keuangan. Itu juga kekuatan besar. Dengan pengelolaan yang tepat, bisnis bisa tumbuh kuat.”
“Betul sekali,” kata Nathan, tersenyum. “Aku juga berpikir kalau ilmu adalah modal utama dalam menjalankan kehidupan, bukan cuma bisnis. Semakin banyak yang kita tahu, semakin siap kita menghadapi apa pun.”
Anggi mengangguk setuju dan menambahkan, “Itu sebabnya aku suka membaca. Setiap buku memberi sudut pandang baru. Aku percaya, dengan banyak membaca, kita bisa mendapatkan kekuatan dari berbagai sumber.”
Nathan, yang tertarik dengan pemikiran Anggi, lalu menyesap kopinya sambil berpikir. “Kalau boleh tahu, buku apa yang paling kamu suka baca sekarang?” tanyanya.
Anggi meletakkan cangkirnya, tersenyum, lalu menjawab, “Aku suka berbagai jenis buku, tapi akhir-akhir ini aku sedang senang membaca buku tentang hal-hal supranatural. Banyak orang sekarang yang mulai mempelajari ilmu-ilmu seperti itu. Menarik buatku, karena di luar sana banyak misteri yang belum terpecahkan.”
Nathan terdiam sejenak, merasa topik itu cukup menarik. Obrolan ringan tadi berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Pikirannya melayang ke kejadian aneh yang dialaminya tadi malam, saat ia melihat sukma ibunya. Ia tak langsung menyebut hal itu, tapi ada rasa penasaran yang mengganjal.
“Supranatural, ya…” gumam Nathan, mencoba menyelami kata-kata Anggi. “Maksudmu hal-hal yang berkaitan dengan dunia lain? Seperti… energi yang tidak terlihat, atau bahkan… roh?”
Anggi menatap Nathan dengan minat yang sama. “Ya, semacam itu. Aku rasa, di dunia ini ada banyak hal yang kita belum sepenuhnya pahami. Seperti konsep energi dan kehidupan setelah kematian.”
Nathan sedikit meneguk kopinya sebelum akhirnya bertanya dengan nada lebih hati-hati, “Kamu percaya dengan konsep sukma, Anggi? Tentang roh manusia yang tetap ada meskipun fisiknya sudah tidak di sini?”
Tatapan mereka bertemu lagi, kali ini lebih serius. Nathan merasakan obrolan ini membuka jalannya untuk membahas kejadian ganjil yang ia alami, tanpa terburu-buru, tetapi perlahan masuk ke topik yang ia inginkan.
Anggi tersenyum sejenak sebelum mulai menjelaskan, “Aku percaya manusia terdiri dari ruh dan jiwa. Ruh itu adalah kesadaran murni yang identik dengan Tuhan. Sementara jiwa atau sukma, adalah gabungan dari beberapa unsur, termasuk pikiran dan ego. Jadi, sukma ini lebih kompleks.”
Nathan mengernyitkan dahi. “Tunggu, tunggu. Apa perbedaan antara ruh dan sukma? Aku selalu mengira keduanya sama saja.”
“Ruh itu lebih dalam,” lanjut Anggi, “Ruh adalah inti dari diri kita yang paling murni. Itu bagian dari kita yang abadi, tidak terikat pada fisik kita. Itu seperti bagian dari kekuatan spiritual yang menghubungkan kita dengan sesuatu yang lebih besar, kayak Tuhan atau alam semesta. Banyak orang percaya bahwa ruh itu mencerminkan siapa kita sebenarnya dan menghubungkan kita dengan dunia yang lebih luas. Sementara sukma, itu lebih rumit. Dia melibatkan pikiran dan perasaan kita. Sukma itu tentang semua pengalaman hidup kita, kepribadian kita, dan bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain.”
Nathan mendengarkan dengan seksama. “Jadi, sukma itu lebih terkait dengan dunia material dan realitas sehari-hari?”
“Betul,” Anggi mengangguk. “Sukma itu berkaitan dengan cara kita berpikir dan merasa, yang pada akhirnya memengaruhi perilaku dan reaksi kita. Jadi, seiring kita menjalani pengalaman hidup, sukma kita bisa berubah dan berkembang.”
Nathan mengangguk perlahan, mencoba menyimpulkan. “Berarti sukma seseorang itu bisa banyak, ya?”
Anggi tersenyum lagi. “Tepat sekali! Menurut ajaran kejawen, sukma terdiri dari lima macam yaitu sukma perasaan, sukma pemahaman, sukma hubungan, sukma sakral, dan sukma budaya.”
Nathan terlihat bingung. “Baru tahu kalau sukma punya banyak jenis. Bisa jelasin tentang masing-masing sukma itu?”
Dengan penuh semangat, Anggi menjelaskan. “Sukma perasaan berhubungan dengan berbagai emosi yang kita alami, seperti cinta, kesedihan, dan kegembiraan. Sukma pemahaman mencakup cara kita berpikir dan memproses informasi. Sukma hubungan adalah tentang interaksi kita dengan orang lain dan bagaimana kita terhubung secara sosial. Sukma sakral berhubungan dengan pencarian makna dan nilai-nilai spiritual dalam hidup. Terakhir, sukma budaya mencakup pengaruh budaya terhadap kepribadian dan perilaku kita.”
Nathan terdiam sejenak, mencerna semua informasi baru itu. Rasa ingin tahunya muncul kembali. “Tapi, Anggi, apakah sukma bisa terlepas dari tubuh kita?”
Anggi menjawab, “Bisa, tapi bukan berarti mati. Ada kalanya seseorang bisa ditinggalkan salah satu sukma tersebut. Misalnya, jika seseorang mengalami trauma mendalam, sukma perasaan mereka hilang, sehingga mengganggu keseimbangan emosional mereka.”
“Nah, Anggi,” Nathan mulai, matanya berbinar dengan rasa ingin tahu. “Kalau begitu, apakah sukma bisa menjadi tumbal atau bayaran bagi seseorang yang mempelajari ilmu kebatinan?”
Anggi tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Hmm, berdasarkan buku yang aku baca, sebenarnya bisa. Kadang-kadang, tanpa mereka sadari, orang menumbalkan sukmanya demi mencapai ilmu kebatinan tertentu.”
Nathan mengerutkan dahi, wajahnya menunjukkan rasa ngeri. “Jadi, mereka bisa kehilangan sukma begitu saja? Bagaimana bisa?”
“Begini,” Anggi menjelaskan, menggerakkan tangannya seolah menggambarkan situasi tersebut. “Ilmu kebatinan tertentu sering melibatkan entitas yang menempati tempat sukma di dalam tubuh seseorang. Jadi, bisa dibilang, sukma itu ‘dipinjamkan’ atau bahkan tergantikan.”
Nathan terdiam, membayangkan apa yang Anggi katakan. “Jadi, orang-orang itu bisa berubah jadi orang lain, gitu?”
“Yap! Dan biasanya, mereka akan berubah sifat dan karakter,” Anggi melanjutkan, matanya berkilau. “Bisa saja, tiba-tiba dia suka musik metal padahal sebelumnya penyuka dangdut.”
Nathan tertawa kecil, membayangkan perubahan yang ekstrim. “Bayangkan kalau aku jadi penggemar berat musik metal. Keluarga dan teman-teman pasti bingung!”
“Jadi, makanya penting untuk berhati-hati,” Anggi menekankan, tetapi dengan nada yang lebih santai. “Menjaga kesadaran diri dan tahu apa yang kita hadapi itu kunci. Ilmu kebatinan itu tidak semua baik, dan tidak semua entitas membawa dampak positif.”
“Kalau begitu, mungkin aku harus cukup dengan ilmu kebatinan membuat kopi yang enak saja, deh,” Nathan berseloroh, berusaha menghilangkan rasa ngeri yang masih tersisa.
Anggi tertawa, dan suasana kembali cair. “Nah, itu lebih aman! Tidak ada yang hilang dari sukma jika kamu hanya belajar cara menyeduh kopi.”
Nathan dan Anggi terus membicarakan dunia supranatural. Anggi menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi di sekitar mereka. Ia berbicara tentang keberadaan makhluk halus, ritual, dan energi yang tidak terlihat. Pengetahuan Anggi di bidang ini sangat luas, mulai dari sejarah hingga pengalaman pribadi yang menarik. Nathan mendengarkan dengan antusias, menggali informasi lebih dalam dan memberikan pertanyaan yang menantang. Pembicaraan ini berlangsung seru, sehingga mereka berdua tidak menyadari waktu berlalu dengan cepat. Suasana kafe semakin sepi, dan lampu-lampu mulai menyala dengan terang. Mereka akhirnya menyadari malam sudah larut. Dengan sedikit menyesal, mereka sepakat untuk pulang.
Nathan memarkirkan sedan hitamnya di garasi. Ia menutup pintu mobil dengan lembut dan berjalan menuju pintu masuk rumah. Ketika ia melangkah masuk, suasana di dalam rumah terasa sepi. Lampu-lampu menyala temaram, memberikan nuansa yang tenang. Nathan berharap Maya dan Denis berada di ruang makan, menikmati waktu bersama seperti biasanya. Ia melangkah cepat ke ruang makan dengan penuh harapan bisa menemukan mereka. Sesampainya di ruang makan, Nathan merasa kecewa. Maya dan Denis tidak ada di tempat yang ia harapkan. Ruangan itu hanya diisi Heni dan beberapa pembantu rumah tangga. Mereka terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Heni mengatur beberapa peralatan makan, sementara pembantu lainnya membersihkan meja.
“Heni, kamu tahu di mana Maya dan Denis?” tanya Nathan dengan nada penasaran.
Heni menoleh dan tersenyum, “Nyonya Besar dan Tuan Besar baru saja keluar. Mereka sedang menghadiri acara penting di Hotel Alam Sutra.”
Nathan mengerutkan dahi, “Acara penting apa yang mereka hadiri?”
Heni menggelengkan kepala. “Saya kurang tahu, Tuan Muda. Hanya mendengar mereka sebutkan tentang pertemuan bisnis.” Mendengar itu, Nathan mengangguk. Heni kemudian berkata lagi, “Tuan Muda, bagaimana kalau Tuan Muda makan malam di sini? Kami baru saja menyiapkan beberapa hidangan.”
Nathan tersenyum, menghargai tawaran itu. “Terima kasih, Heni. Tapi aku sudah makan di luar. Aku baru saja selesai ngopi bareng teman di kafe.”
Heni mengangguk, menerima penjelasan Nathan, “Baiklah, Tuan Muda.”
Nathan membalikkan badan untuk melangkah pergi, tetapi Heni memanggil, menghentikan langkahnya. Nathan pun berbalik kembali dan menatap Heni yang tampak ingin berbicara, tetapi ragu melanjutkan.
“Ada apa, Heni?” tanya Nathan penasaran.
Heni berdiri ragu di dekat meja makan. Ia melihat Nathan sejenak sebelum bertanya, “Apakah Tuan Besar Denis menjadi asisten pribadi Nyonya Besar lagi?” Heni tampak cemas.
Nathan mengangguk. “Ya, dia memang kembali ke posisi itu,” jawabnya. “Tapi Heni dan semua orang di sini tidak perlu khawatir. Tuan Besar Denis sekarang sudah berubah. Dia telah menjadi orang yang lebih baik.”
Heni menghela napas, tampak tidak sepenuhnya yakin. “Tapi, Tuan Muda, saya masih menyayangkan keputusan itu. Menurut saya, Tuan Muda lebih pantas untuk jabatan itu dibandingkan Tuan Besar,” ungkapnya, matanya menatap Nathan penuh harap.
Nathan tersenyum lembut, menyadari kekhawatiran Heni, “Aku menghargai pendapatmu, Heni. Tapi, aku tidak sanggup menjadi asisten pribadi Nyonya Besar. Tanggung jawab dan tugas itu terlalu berat bagiku saat ini.”
Salah seorang pembantu rumah tangga yang sedang mengatur peralatan mendengarkan dan menambahkan, “Kami semua menyukai gaya Tuan Muda dalam memimpin. Tuan Muda selalu mendengarkan kami dan menghargai setiap masukan.”
Pembantu rumah tangga lainnya menimpali, “Benar sekali. Kami merasa lebih dihargai dengan cara Tuan Muda memimpin.”
Nathan merasa senang mendengar kata-kata itu. Ia ingin memberikan dukungan kepada mereka semua. “Aku akan selalu berada di depan kalian jika ada masalah dengan siapa pun. Jangan ragu untuk menghubungiku kapan saja.”
Heni melihat wajah Nathan, kemudian mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Tuan Muda, kami ingin mengajukan permohonan,” katanya, dengan suara yang sedikit bergetar. Para pembantu rumah tangga yang lain mengangguk setuju, tampak menunggu dengan harap.
Nathan memperhatikan mereka dengan seksama. “Apa yang ingin kalian ajukan?” tanyanya, bersikap terbuka.
Heni mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Tuan Muda, kami ingin minta tolong. Bagaimana kalau peraturan tentang larangan membawa pacar atau cowok ke sini dicabut? Kami butuh waktu untuk bersenang-senang, apalagi setelah seharian bekerja.”
Salah satu pembantu menambahkan, “Kami hanya ingin memiliki waktu untuk bersenang-senang, Tuan Muda. Tidak ada yang salah dengan memiliki teman cowok.”
Nathan mendengarkan dengan cermat, mempertimbangkan kata-kata mereka, “Aku mengerti perasaan kalian. Tapi, keputusan seperti itu tidak sepenuhnya berada di tanganku. Aku akan membicarakan permintaan ini dengan Nyonya Besar. Bagaimana pun, Nyonya Besarlah yang memutuskan peraturan ini.”
Heni dan para pembantu lainnya tampak sedikit kecewa, tetapi mereka menghargai sikap Nathan yang mau mendengarkan, “Terima kasih, Tuan Muda. Kami sangat menghargai itu,” kata Heni dengan penuh harap.
Nathan melihat wajah-wajah yang kecewa di hadapannya. Ia kemudian berusaha memberikan solusi, “Kalau kalian butuh teman cowok untuk bersenang-senang, kenapa tidak coba berkenalan dengan para pegawai cowok di sini? Mereka banyak, dan kalian bisa mengajak mereka. Pasti mereka mau,” saran Nathan dengan nada optimis.
Heni menggelengkan kepala. “Tapi, Tuan Muda, para pegawai cowok di sini terkesan jual mahal. Mereka sering memandang sebelah mata kepada kami,” ujarnya dengan sedikit kecewa.
Nathan tersenyum mendengar itu, “Aku tidak percaya mereka menolak kalian. Kalina di sini kan cantik-cantik. Mereka itu bodoh kalau sampai menolak kesempatan seperti itu.”
Mendengar pernyataan Nathan, para pembantu mulai cekikikan. Salah satu dari mereka berkomentar, “Wah, Tuan Muda, kalau Tuan Muda bilang begitu, berarti Tuan Muda mau diajak bersenang-senang oleh kami, dong?”
Nathan terkejut, merasa terjebak dengan ucapannya. “Eh, ya… pasti aku mau. Tapi harus dilihat waktu dan situasinya. Tidak mungkin saat aku sangat sibuk, mau diajak bersenang-senang.”
Tuti, salah satu pembantu yang paling berani, langsung menyela. “Kalau begitu, bagaimana kalau malam ini kita bersenang-senang, Tuan Muda?” Ia menggoda Nathan dengan senyuman genit, menggoyangkan rambutnya dengan cara yang menggemaskan.
Heni langsung menegur Tuti, “Tuti, sopanlah kepada Tuan Muda Nathan.”
Nathan hanya tersenyum melihat interaksi itu, “Untuk saat ini, aku merasa lelah dan perlu beristirahat. Aku juga pegal-pegal setelah seharian bekerja. Mungkin lain kali saja. Permintaan kalian pasti akan aku kabulkan.”
Namun, Tuti nekat meski sudah diperingati Heni. “Saya ingin sekali mencium pipi Tuan Muda,” ujarnya dengan berani, menatap Nathan dengan mata penuh godaan.
Heni kembali memperingati Tuti, “Tuti, sekali lagi, bersikaplah sopan.”
Nathan, terhibur oleh keberanian Tuti, akhirnya berkata, “Baiklah, Tuti. Jika itu yang kamu mau, silakan saja.” Ia memberikan senyuman yang hangat, merespons dengan cara yang ringan.
Tuti terbelalak, tak percaya dengan jawaban Nathan. Namun, rasa terkejut itu cepat hilang. Dengan langkah penuh semangat, ia mendekati Nathan dan mendaratkan ciuman di pipinya. Ciuman itu berlangsung cukup lama. Para pembantu lainnya bersorak riang, bertepuk tangan dan tertawa melihat keberanian Tuti. Sorakan itu mengisi dapur dengan suasana ceria dan tawa. Tuti pun akhirnya melepaskan bibirnya dari pipi Nathan, tapi tidak sebelum memberikan ciuman kedua yang cepat. Dengan senyum lebar, ia berjalan mundur menjauhi Nathan, tampak bangga dengan tindakannya. Keceriaan di antara mereka membuat suasana di dapur semakin hidup, dan Nathan tidak bisa menahan senyum, merasakan kegembiraan di sekelilingnya.
Nathan berpamitan pada para pembantunya untuk beristirahat. Ia meninggalkan ruang makan dan berjalan ke kamarnya di lantai dua. Setibanya di kamar, Nathan segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu, ia mengambil buku yang sudah lama ingin dibacanya. Ia merebahkan tubuh di tempat tidur dan mulai membaca dengan nyaman. Sekitar setengah jam setelah Nathan mulai membaca, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Nathan agak terkejut, tetapi ia langsung turun dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Saat pintu dibuka, matanya menyipit melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.
“Heni? Ada apa?” tanya Nathan dengan nada heran, melihat sosok Heni yang berdiri ragu di ambang pintu.
Heni terlihat malu-malu. Ia menunduk sejenak, kemudian mengangkat wajahnya. “Tadi Tuan Muda mengatakan kalau Tuan Muda pegal-pegal. Saya ingin membantu untuk menghilangkan rasa pegal itu. Saya bisa memijat Tuan Muda,” ujarnya, suara Heni sedikit bergetar.
Nathan tertegun sejenak, memikirkan tawaran itu. Nathan mengangguk pelan dan berkata, “Baiklah, aku ingin mencoba pijatanmu.”
Nathan membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan Heni masuk. Setelah menutup pintu, ia melangkah menuju tempat tidurnya dengan langkah tenang. Heni meminta Nathan untuk melepaskan semua pakaiannya sebelum berbaring di atas kasur. Nathan menatap Heni sejenak, merasakan rasa penasaran yang muncul. Dalam hitungan detik, ia memutuskan untuk mengikuti permintaan itu dan melepas semua pakaiannya, menyisakan hanya boxer yang menempel di tubuhnya. Heni kemudian menyuruh Nathan untuk berbaring tengkurap. Nathan melakukannya dengan patuh, meregangkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Heni duduk di sampingnya, bersiap untuk memberikan pijatan yang dijanjikannya.
Heni mulai memijat bagian belakang tubuh Nathan dengan cermat. Ia mengawali pijatan dari pergelangan kaki, menggunakan telapak tangan untuk memberikan tekanan lembut pada otot-otot yang terasa kaku. Setelah beberapa menit, ia berpindah ke betis, merasakan ketegangan yang perlahan mulai mengendur. Pijatan berlanjut ke paha, Heni mengalirkan tekanan yang cukup, memastikan setiap otot mendapatkan perhatian yang layak. Dengan lembut, ia bergerak ke punggung bawah, menekankan telapak tangan pada titik-titik yang membutuhkan relaksasi. Nathan merasakan aliran kehangatan saat Heni melanjutkan pijatan ke punggung tengah, membuat tubuhnya merasa lebih ringan. Heni kemudian memijat bagian punggung atas, dengan gerakan yang teratur, memastikan tidak ada area yang terlewat. Ketika ia sampai di pundak, Heni memberikan sedikit lebih banyak tenaga, membantu menghilangkan rasa pegal yang tersisa.
“Heni, pijatanmu benar-benar luar biasa,” ucap Nathan.
Heni tersenyum malu, hatinya bergetar mendengar pujian itu. “Terima kasih, Tuan Muda. Saya senang mendengarnya.” Tak lama Heni berkata lagi, “Sekarang berbalik Tuan Muda.”
“Berbalik? Terlentang maksudmu?” tanya Nathan agak terkejut.
“Iya, terlentang,” jawab Heni sambil tersenyum tipis.
Heni mulai memijat lengan Nathan dengan lembut. Ia mengawali pijatan pada lengan kanan, menggunakan ibu jari untuk memberikan tekanan pada otot-otot yang tegang. Heni merasakan otot-otot Nathan yang kuat, tetapi juga menyadari bahwa ada kelelahan di sana. Ia memindahkan tangan ke bagian siku, menggerakkan jari-jarinya dengan hati-hati.
Heni menatap Nathan, kemudian berkomentar, “Saya sangat kagum sama Tuan Muda. Tuan Muda berbeda dengan cowok-cowok di rumah ini.”
Nathan tersenyum, merasa terkejut. “Berbeda bagaimana?” tanyanya, ingin tahu.
Heni berhenti sejenak, mengatur kata-katanya. “Para pegawai cowok di lingkungan rumah ini tidak mau bergaul dengan kami. Mereka merasa kami ini kasta yang lebih rendah. Jangankan diajak bergaul, diajak ngobrol pun mereka enggan. Kami sering merasa seperti warga nomor dua,” jelasnya, matanya sedikit berkaca-kaca saat mengingat perlakuan yang ia alami.
Mendengar itu, Nathan mengerutkan kening. “Seharusnya mereka tidak begitu. Kalian semua bekerja di tempat yang sama. Tidak ada yang lebih rendah di sini,” katanya tegas, menekankan pentingnya saling menghargai.
Heni merasa lega mendengar jawaban Nathan. “Saya berharap Tuan Muda bisa membantu mengubah image itu,” ujarnya penuh harapan.
Nathan mengangguk. “Saya berjanji akan melakukan yang terbaik. Setiap orang berhak mendapatkan rasa hormat yang sama,” katanya, menatap Heni dengan serius.
Setelah beberapa menit, Heni berpindah ke lengan kiri, melakukan pijatan dengan cara yang sama. Ia memastikan setiap gerakan terasa nyaman bagi Nathan, berfokus pada setiap bagian lengan dengan seksama. Heni menyadari bahwa setiap sentuhan membantu menghilangkan ketegangan yang masih tersisa. Nathan merasakan rasa rileks yang menyebar, membuatnya lebih nyaman dalam posisi berbaring.
Pijatan Heni kini pindah ke bagian kedua paha Nathan. Nathan merasakan setiap sentuhan lembutnya. Ia merasakan ketegangan pada otot-ototnya mulai menghilang. Heni mengatur tekanan jarinya, menyesuaikan dengan respons tubuh Nathan. Kelelahan yang ia rasakan seolah menguap, meninggalkan rasa nyaman. Suasana di ruangan itu tenang, hanya terdengar suara napas Nathan. Dia menikmati momen itu dengan mata terpejam, merasakan kenyamanan yang menyelimuti dirinya.
Tiba-tiba, tangan Heni menyentuh lembut bagian sensitif tubuh Nathan. Sensasi itu membuat Nathan terkejut. Ia membuka mata, mengalihkan perhatian dari rasa nyaman yang sebelumnya mengisi pikirannya. Kebingungan dan ketidakpastian kini menyelimuti pemuda itu. Tangan Heni terus mengelus lembut kejantanannya yang mulai beraksi, sementara Nathan masih dalam keadaan terkejut dengan apa yang dilakukan Heni. Ia mencoba memproses situasi yang baru saja terjadi. Nathan menatap Heni, melihat wajahnya yang memalingkan perhatian darinya. Ekspresi Heni menunjukkan ketenangan meski tangan Heni tetap bergerak, mengelus dengan lembut kejantanannya.
Nathan menatap Heni dengan serius. Ia merasa perlu menegaskan situasi yang mereka hadapi. “Heni, kamu harus bertanggung jawab kalau adikku bangun,” katanya dengan nada tegas.
Heni mengerutkan dahi sejenak, kemudian tersenyum malu. Ia mengalihkan pandangannya dan menggigit bibir, tampak sedikit genit. “Iya, aku akan bertanggung jawab,” jawab Heni dengan suara lembut.
Sambil melanjutkan usapan dan pijatan di kejantanan Nathan yang sudah membengkak, Heni mencondongkan tubuhnya ke arah Nathan. Tangan lembutnya bergerak lebih cepat, menambah intensitas usapan dan pijatan. Heni tersenyum kecil, memberikan sentuhan yang lebih intim saat tangannya menjelajahi kejantanan Nathan.
Nathan tidak bisa menahan hasratnya. Organ intimnya mengeras maksimal, merespons setiap gerakan tangan Heni yang lembut dan menggoda. Ia merasa dorongan yang kuat mengisi dirinya. Nathan berpikir bahwa wanita ini memang sengaja membuat kejantanannya menjadi seperti itu. Kesadaran itu membuat Nathan semakin paham dengan situasi yang terjadi. Ia sangat tahu dengan apa yang harus ia lakukan. Dalam pikiran Nathan, pilihan jelas, dan ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
“Buka saja boxernya kalau kamu mau,” ujar Nathan.
Heni masih tak berani memandang wajah Nathan, tetapi dia paham apa yang harus dilakukan. Dengan gerakan hati-hati, Heni mendekatkan tangannya ke bagian bawah Nathan. Ia merasakan detak jantungnya berdengung di telinga. Heni menarik boxer Nathan hingga lepas dari tubuh Nathan. Heni membulatkan mata ketika melihat kejantanan Nathan yang hanya beberapa senti dari mukanya. Ia tertegun sejenak, terperangkap dalam perasaan kagum sekaligus ngeri. Dia begitu kuat dan kokoh. Ukurannya pun membuat kagum wanita itu. Heni tidak pernah melihat sesuatu seperti ini sebelumnya. Perhatiannya terfokus pada detil yang ada di depan mata. Ia merasakan adrenalin mengalir dalam tubuhnya, membuat jantung berdegup kencang.
Heni memegang batang kejantanan Nathan dengan kedua tangan, mendekatkan wajahnya yang bersemu merah. Perlahan, dia membuka mulutnya, menjulurkan lidahnya, dan mulai menjilati ujung kejantanan Tuan Mudanya sambil menutup mata dengan ekspresi penuh nikmat. Heni menggerakkan kepalanya naik turun, ke kanan dan ke kiri, menjilati serta menghisap ujung kejantanan Nathan dalam berbagai posisi. Betapa nikmatnya oral yang Heni berikan kepada Nathan. Meskipun hanya di ujung, rasanya membuat kepala Nathan melayang-layang. Tak lama kemudian, Heni membuka kedua belah matanya, menatap ujung penis Nathan dengan penuh kasih sayang, sebelum memberinya sebuah ciuman.
“Kontol Tuan Muda enak banget …” lirihnya.
Heni melanjutkan oral seks yang diberikan kepada Nathan, kali ini dengan menjilati batang kejantanannya seperti sebuah lolipop yang sangat manis. Kadang-kadang, dia menghisap dan menyeruput penis Nathan yang telah basah dengan ludahnya. Saat itu, otak Nathan tidak mampu memikirkan apa pun lagi selain kenikmatan yang diberikan oleh mulut Heni.
Setelah beberapa saat, Nathan pun berkata, “Buka pakaianmu dan naiklah di atasku,” ucap Nathan terdengar lebih seperti perintah.
Heni pun tersenyum dan kali ini sudah berani menatap wajah Nathan. Segera saja wanita itu melepaskan seluruh pakaiannya. Heni kemudian perlahan merayap di atas tubuh Nathan. Dengan berani, Heni mencium Nathan dengan tatapan mesra sambil memegang kedua pipinya. Nathan membalas dengan memeluk tubuh Heni dengan lembut, mengelus-elus kepala dan punggung Heni yang mulus dengan kedua tangannya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Nathan sambil menatap Mata Heni.
“Saya sudah lama menginginkan ini Tuan Muda,” jawabnya sambil tetap tersenyum.
“Apakah kamu sudah siap?” tanya Nathan.
Dia membelai pipi kiri Heni yang berada di atas wajahnya dengan punggung tangan kanannya, turun dari pelipis kiri hingga ke dagu. Nathan menjepit dagu Heni dengan ibu jari dan telunjuk sebelum menuntun wajahnya mendekat hingga bibir mereka bertemu dan berciuman kembali. Mata mereka saling menatap, melihat api hasrat yang membakar tubuh dan pikiran mereka.
Begitu ciuman itu lepas, membentuk benang perak yang menghubungkan ujung-ujung lidah mereka. Heni berkata Nathan dengan nafas memburu, “Tuan Muda… cepet, saya udah gak sabar….! Masukin kontolnya ke memekku!”
Nathan mengerjapkan matanya, tidak percaya bahwa Heni, yang selalu dilihatnya sebagai sosok alim dan polos, kini menunjukkan sisi yang begitu menggoda. Api nafsu di dalam dirinya semakin berkobar, seolah “garuda” di selangkangannya mengibarkan sayapnya dengan semangat yang tak tertahan. Heni, merasakan gairah Nathan, menatapnya dengan senyuman sambil menggerakkan pinggulnya, mencari posisi yang tepat untuk meluapkan keinginan mereka. Air terjun cinta yang mengalir dari Heni membasahi paha dan selangkangannya, memberikan sensasi hangat yang tiada tara bagi Nathan. Ketika paha Heni yang halus bersentuhan, semangatnya semakin membara, mendorongnya untuk menjelajahi setiap jengkal tubuh Heni. Heni semakin tidak sabar, mempersiapkan posisi bibir vaginanya, siap menjepit ujung kejantanan Nathan dalam satu gebrakan yang menggairahkan.
“Masukin Tuan Muda …” pinta Heni yang masih terbaring di atas tubuh Nathan.
Nathan segera bangkit dan berbalik posisi, membuat Heni terkejut hingga terjengkang di atas ranjang. Vaginanya yang basah kini tampak jelas di hadapannya. Dengan penuh hasrat, Nathan menghujamkan penisinya tepat ke arah vaginanya, menggerakkan pinggulnya dengan kuat ke bawah.
‘Jrebbbb … Blesss’
Dalam satu hentakan, batang kejantanan Nathan masuk dengan sempurna, mengisi setiap jengkal liang kewanitaan Heni. Tubuh Heni yang terbaring mengangkang di atas ranjang langsung menggelinjang hebat, sementara otot-otot vaginanya yang ketat mengalami kontraksi hebat, seolah mencekik penis Nathan dengan kuat dan memuncratkan cairan cinta ke mana-mana. Buah dada Heni yang besar semakin membusung ke atas, dipicu oleh dorongan punggungnya yang melengkung. Kepala Heni tertolak ke belakang, terbenam dalam kasur, dan selangkangannya bergetar tak henti. Tiap kedutan di otot-otot dinding vaginanya yang hangat dan basah memijat penis Nathan dengan penuh suka cita. Heni menutup matanya, tenggelam dalam ombak kenikmatan yang menghantam dirinya, sebelum akhirnya berseru dalam nafasnya yang tertahan.
“Masuk…. akhirnya…. Kontol Tuan Muda masuk…. Aaaaarrrrrghhhh…!”
Nathan membiarkan dirinya tetap terbenam dalam kehangatan tubuh Heni, yang perlahan kembali menempel pada permukaan kasur. Ia memegang kedua paha mulus Heni yang mengangkang, memamerkan selangkangannya yang basah oleh cairan cinta. Setelah Heni membuka matanya kembali dan menatapnya, Nathan memberikan senyuman hangat. Perlahan, ia mulai menggerakkan dirinya keluar hingga hampir ke ujung, lalu masuk kembali ke dalam liang kewanitaan Heni. Vagina Heni yang penuh hasrat terus berkedut dan memijat-mijat dirinya sepanjang perjalanan tersebut, menghantam ke bagian terdalam dari lubang kenikmatan Heni. Nathan mencoba bermanuver, menjelajahi setiap sudut dalam liang tersebut, mencari G-spot yang menjadi titik kenikmatan Heni. Ia terus menghantamkan ujung kejantanannya di berbagai tempat dalam lubang kewanitaannya, memperhatikan reaksi dan ekspresi wajah Heni yang terbuai dalam kenikmatan yang ia berikan.
Nathan tersenyum lalu menciumnya, sambil terus bergerak memasuki lubang kewanitaan Heni. Heni, yang sudah menunggu saat-saat ini, mencengkeram penis pemuda tampan itu dengan otot-otot dinding vaginanya dengan kuat, membimbingnya semakin dalam seolah-olah telah begitu lapar menginginkan sesuatu untuk mengisi setiap ruang yang tersisa di sepanjang liang kenikmatannya. Sensasi yang dirasakan Nathan begitu kencang, ketat, hangat, dan basah ketika dirinya semakin membesar, melesak masuk ke dalam vaginanya. Kontraksi dan tekanan dinding-dinding vaginanya memijat-mijat dirinya, seolah berusaha keras ingin memerah susu putih kental miliknya.
Tak lama, ujung penis Nathan menghantam bibir rahim Heni, bersamaan dengan ciuman mereka yang sudah berada di ujung napas. Heni mengalami kontraksi hebat, dan tubuhnya menggelinjang keras dalam pelukan Nathan. Vaginanya, yang telah menjadi begitu sensitif, tak kuasa menahan kenikmatan yang diberikan oleh penis Nathan sepanjang perjalanan tersebut. Nathan juga sudah tak sanggup lagi menahan klimaks yang ingin keluar sedari tadi.
Pelukan Nathan dan Heni semakin erat, dan ciuman mereka yang terputus membebaskan mulut mereka yang mengeluarkan raungan penuh nikmat akan orgasme yang dialami secara bersamaan. Ombak demi ombak kenikmatan tidak berhenti menggempur tubuh dan jiwa mereka yang telah basah diguyur keringat. Penis Nathan yang tertanam dalam vagina Heni langsung menembakkan sperma yang muncrat, menembus langsung ke dalam rahim Heni. Sementara otot-otot vaginanya terus berkontraksi, berusaha memerah setiap tetes susu kental untuk mengisi rahimnya yang haus akan madu putihnya. Cairan cinta Heni tak henti-hentinya muncrat dan mengalir keluar dari vaginanya, membasahi paha dan selangkangan mereka, serta kasur yang mereka tiduri.
Akhirnya, setelah orgasme panjang yang cukup lama, tubuh mereka berguling ke samping sambil tetap saling memeluk. Heni berada di kiri dan Nathan di kanan. Wajah mereka yang begitu dekat menyatukan napas yang saling memburu, menerpa wajah satu sama lain. Penis Nathan yang masih besar dan keras tetap menancap mantap di dalam vagina Heni yang bergetar dan berkedut seirama dengan gemetar tubuhnya. Nathan membelai rambut Heni perlahan dan menciumi bibir, pipi, dan keningnya sambil tersenyum. Heni yang matanya tak berhenti menatap mata Nathan membalas dengan sebuah ciuman yang dalam, perlahan menutup matanya dan merangkul leher serta punggung Nathan dengan lengannya.
Nathan membalas dengan membelai rambut Heni menggunakan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menyusuri kontur tubuh Heni dari sepanjang pipi, mengikuti garis horizon leher, bahu, lengan, lalu masuk menyusuri bagian samping dadanya, turun menuju pinggul, pinggang, dan pahanya, sebelum memutar ke belakang dan berakhir dengan mencengkeram pantatnya. Nathan meremas lembut pantat Heni sambil melanjutkan ciumannya hingga tubuh mereka berdua tenang kembali. Setelah tubuh mereka kembali tenang dan turun dari puncak kenikmatan yang baru saja dirasakan, tangan mereka tak berhenti saling membelai satu sama lain. Nathan melepas ciumannya dan melemparkan sebuah senyuman kepada Heni.
“Punyamu enak sekali, Heni. Jepitannya kuat sekali,” ungkap Nathan.
“Saya juga Tuan Muda … Sudah lama sekali saya tidak melakukannya,” balas Heni.
“Kamu berani sekali menggodaku …” kata Nathan sambil meremas buah pantat Heni.
“Karena Tuan Muda sangat menggoda,” canda Heni sambil mengulum senyum.
“Jujur, tadi itu kamu sangat nekat. Bagaimana kalau aku marah waktu kamu menggoda adikku?” ucap Nathan agak serius.
“Saya tahu, kalau Tuan Muda tidak akan marah. Tuan Muda orangnya baik dan pengertian,” jawab Heni sambil melebarkan senyumnya. Heni sedikit menggoyangkan pinggulnya, seolah menekankan kata-katanya, dengan ekspresi genit yang membuat Nathan terpesona.
“Kamu yakin, ya?” tanya Nathan sambil mengangkat alis, mencoba menahan senyuman. “Berani sekali kamu bermain-main dengan api.”
“Ah, Tuan Muda tidak perlu khawatir. Saya hanya ingin melihat reaksi Tuan Muda,” Heni menjawab sambil menjulurkan lidahnya dengan genit, membuat Nathan merasa bergetar di dalam.
“Menggoda orang seperti itu bisa berisiko, lho,” kata Nathan sambil mengedipkan mata, berusaha menunjukkan sikap serius meskipun senyum di wajahnya tidak bisa ditahan.
Heni menempelkan tubuhnya lebih dekat ke Nathan, memberi isyarat bahwa dia siap untuk melanjutkan permainan ini. “Saya rasa, Tuan Muda akan sangat terkejut dengan apa yang bisa saya lakukan,” ujarnya dengan nada menggoda.
“Oh ya? Kalau begitu tunjukkan?” tantang Nathan.
Heni langsung bergerak ke atas tubuh Nathan. Kali ini Heni terduduk di atas selangkangan Nathan, memunggungi sang lelaki yang berbaring di atas ranjang dengan kedua tangannya menahan pinggul Heni. Heni menggerakkan pinggulnya yang ditahan oleh tangan Nathan naik dan turun, membuat penis Nathan yang sudah berdiri dengan tegaknya keluar-masuk dan menghantam berbagai bagian dalam vagina Heni, memberinya sensasi kenikmatan yang berbeda dari posisi-posisi sebelumnya.
Heni dengan mudah dapat mengatur posisi tubuhnya saat dirinya bergerak naik dan turun di atas tubuh Nathan, sehingga dia dapat merangsang berbagai bagian yang berbeda dalam vaginanya sesuai dengan keinginan hatinya. Hal ini membuat dirinya merasakan kepuasan tersendiri dalam menentukan bagian mana di dalam vaginanya yang ingin diberi rangsangan kenikmatan saat berhubungan intim dengan sang lelaki pujaan hatinya tersebut.
Setelah mereka berdua sudah terbiasa dengan posisi tersebut, Nathan pun mulai menggerakkan pinggulnya berlawanan dengan arah gerakan pinggul Heni. Ketika Heni menaikkan pinggulnya ke atas, Nathan menurunkan pinggulnya hingga menekan ranjang, sehingga penisnya keluar sampai hanya tersisa ujung kepalanya saja yang dijepit oleh bibir vagina Heni. Saat Heni menurunkan pinggulnya ke bawah, Nathan menyodokkan pinggulnya ke atas yang membuat penisnya yang sudah berdiri dengan tegak melesak masuk dan menghantam bagian terdalam vagina Heni, bergesekan dengan berbagai daerah di dalam vaginanya, mulai dari bibir vagina Heni yang menjepit serta menahan penisnya agar tidak keluar dari mulut vaginanya, melewati setiap bagian dinding-dinding vagina Heni yang begitu ketat dan kencang memijat-mijat penis Nathan tanpa henti, hingga akhirnya sampai di bagian terdalam lliang kenikmatan Heni dan membentur pintu rahimnya.
“Aaaakkhhhh…!!! Kontol Tuan Muda hebat banget…!!!”
Heni mengeluarkan teriakan penuh gairah mengagumi betapa nikmatnya bersetubuh dengan lelaki tampan ini. Dirinya begitu menikmati persetubuhan yang mereka lakukan. Betapa tidak, dengan posisi sekarang ini, Heni tidak hanya dapat merangsang daerah G – Spot yang merupakan titik kenikmatan dirinya, Heni juga dapat dengan mudah merangsang berbagai daerah yang tidak pernah disodok oleh ujung penis Nathan sebelumnya, seperti misalnya bagian belakang dinding vaginanya. Hal ini memberikan sensasi baru yang terasa segar menambah nikmatnya permainan cinta mereka.
“Aaahhh….. Aaaaahhhhh!!!!”
Nafas Heni yang tersengal-sengal tidak menghentikan gerakan pinggulnya naik turun di atas selangkangan Nathan. Malahan mereka berdua semakin bersemangat memacu pinggul mereka dan beradu kelamin dengan intens.
“Heni… Aku sudah mau keluar….!”
Nathan yang sudah merasakan klimaks yang semakin mendekat dan akan segera meletus di ujung kepala penisnya memperingatkan Heni yang menggerakkan pinggulnya dengan semakin cepat penuh gairah dan semangat.
“Iya… nggak apa-apa… Tuan Muda… Keluarkan saja semuanya… di dalam…” Dengan nafas yang tersengal-sengal, Heni masih berusaha menjawab pertanyaan Nathan. Nathan pun memacu gerakan pinggulnya semakin cepat.
Tiba-tiba Nathan menghentakkan pinggulnya dengan keras menyodok bagian terdalam vagina Heni yang membuat kenikmatan yang begitu luar biasa menghantam diri Heni secara tiba-tiba hingga membuat kedua kakinya lemas dan tubuh Heni yang sudah tidak kuat lagi bertahan pun terjungkir ke depan hingga tertungging di atas kasur. Nathan pun bangkit maju ke depan dan terus menyodok vagina Heni dari belakang dalam posisi doggy style. Dipegangnya pergelangan tangan kiri Heni dengan tangan kirinya sementara tangan kanan Nathan menahan pinggul Heni. Tubuh Heni tersentak membusur ke atas menerima setiap sodokan keras dari selangkangan Nathan yang menepuk-nepuk pantatnya yang putih dan mulus. Kedua payudara Heni yang membusung berayun-ayun ke atas dan ke bawah seiring dengan hentakan pinggul mereka berdua. Nafas Heni dan Nathan semakin memburu dipacu oleh betapa intensnya persetubuhan mereka berdua.
Tangan kanan Nathan yang tadi masih berada di pinggul Heni kini sudah berpindah ke kepalanya. Dibelainya rambut Heni dengan penuh kasih sayang dan ditariknya pergelangan tangan kiri Heni sehingga tubuh Heni yang masih lemah lunglai dihajar oleh kenikmatan bertubi-tubi dengan mudah naik mendekat ke dalam pelukan Nathan. Nathan memeluk tubuh Heni dari belakang. Wajah Heni yang tertoleh ke belakang kini berada begitu dekat dengan wajah Nathan. Sangat dekat hingga nafas mereka dapat bercampur dan menyatu. Nathan melingkarkan tangan kirinya ke depan memeluk perut dan pinggul ramping Heni, memantapkan pelukan tubuh mereka berdua. Penis Nathan masih tetap menancap di dalam vagina Heni, berkedut-kedut penuh gairah menikmati setiap pijatan otot-otot dinding vagina sang gadis. Sementara itu, tangan kanan Nathan tak berhenti membelai lembut rambut Heni yang berwarna hitam pekat. Mata mereka masing saling bertatapan dan bibir Nathan memberikan sebuah kecupan lembut di mulut Heni yang sedikit terbuka.
“Kamu dan teman-temanmu menginginkan ini, bukan?” tanya Nathan pelan.
“Iya, Tuan Muda. Mereka ingin memek mereka ingin diisi kontol,” jawab Heni dengan napas yang terengah-engah.
“Aku pastikan mereka akan mendapatkannya,” tegas Nathan sambil membelai payudara Heni lembut.
Heni langsung tersenyum sumringah mendengar perkataan Nathan. Dikecupnya kembali bibir Nathan yang berada begitu dekat dengan bibirnya dan dia lingkarkan kedua tangannya ke belakang, memeluk leher Nathan. Heni dan Nathan berciuman dengan sangat mesra dan saling bertatapan dengan penuh gairah.
Nathan membaringkan tubuh Heni ke atas ranjang lalu mulai menggenjot penisnya yang masih berada di dalam vagina Heni. Tubuh Heni yang tertindih di bawah tubuh Nathan menerima setiap genjotan dengan penuh suka cita dan tangannya yang menyilang melingkari bagian belakang leher Nathan memeluk sang lelaki dengan semakin erat. Kedua kaki Heni yang terbuka pun turut memeluk tubuh Nathan dengan menyilangkannya di atas pinggang pria yang sedang meniduri tubuhnya kini dan menekan pantat Nathan ke bawah sehingga mendorong batang kejantanannya semakin dalam menghujam ke dalam liang cinta Heni.
Heni dan Nathan bercumbu dengan penuh nafsu. Gerakan pinggul mereka semakin cepat mendorong dan menarik tongkat kenikmatan Nathan keluar-masuk liang senggama Heni dan ciuman bibir mereka pun juga menjadi semakin liar. Perasaan klimaks yang tadi tertunda dengan cepat kembali naik hingga sampai ke ubun-ubun. Nathan yang sudah hampir mencapai batasnya dengan segera berseru kepada Heni.
“Aku sudah…, sudah mau keluar…!!!!”
Heni yang juga sudah berada di puncak kenikmatan yang sebentar lagi akan segera tumpah membanjiri dirinya memeluk Nathan dengan semakin erat. Kedua kakinya yang menyilang semakin kencang menekan pantat Nathan. Nafas mereka yang saling memburu menderu menghantam wajah mereka satu sama lain. Di sela-sela nafasnya, Heni masih sempat melengking dengan suara yang menggema mengisi seluruh ruangan.
“Keluarin… Keluarin semuanya… Di dalam Heni!!!”
Nathan yang mendengar permintaan Heni semakin bersemangat memacu pinggulnya semakin cepat dan semakin dalam menghujam vagina Heni yang telah kebanjiran dan menggedor-gedor pintu rahimnya yang terbuka lebar-lebar siap untuk menerima setiap tetes spermanya yang kental dan begitu penuh dengan kenikmatan.
“Iya, semuanya untuk Heni!”
Kedua tangan Heni yang terasa lemas karena sudah terlalu lama mengejang tak sanggup lagi memeluk leher Nathan dan jatuh dengan lunglai membentang di kedua sisi tubuhnya. Kedua kaki Heni yang menyilang di atas pantat Nathan pun juga ikut melemas dan melonggar. Nathan yang terbebas dari belitan Heni dengan segera bangkit dan kedua tangannya langsung menahan kedua belah paha Heni yang putih mulus mengangkang terbuka memperlihatkan selangkangannya yang telah basah kebanjiran.
Dengan sebuah hentakan keras, Nathan melesakkan masuk seluruh bagian batang kejantanannya yang telah membesar di ukuran maksimal hingga tertanam dengan sangat dalam di liang vagina Heni yang menyempit dengan kencang meremas penis Nathan sekuat tenaga. Seluruh batang kejantanan Nathan telah tertanam hingga ke ujung dasar liang cinta Heni. Ujung kepala penis Nathan berhasil membobol pintu rahim Heni dan langsung berciuman dengan bibir rahim Heni yang sudah begitu haus ingin meminum sperma kental Nathan dan memerahnya hingga tetes terakhir.
Heni yang sudah tak sanggup lagi menahan gelombang kenikmatan demi gelombang kenikmatan yang sangat dahsyat menggempur setiap bagian tubuhnya akhirnya mengeluarkan sebuah teriakan klimaks yang dengan penuh nafsu.
“Aaahhhh….!!!! Haaa!!! Aaaaahhhhh ….. Tuaaannnn ….. Saya mau….!!!!”
“Heni … Aaarrrggghhh …!!!”
Pertahanan Nathan langsung jebol bersamaan dengan runtuhnya pertahanan Heni dan klimaks yang telah lama terbendung langsung pecah membanjir, menenggelamkan kedua insan ini ke dalam sebuah kenikmatan yang begitu panjang dan dalam. Sperma Nathan yang kental dan penuh dengan kenikmatan langsung mengucur deras ditembakkan langsung oleh penis Nathan menembus pintu rahimnya dan masuk menerjang ke dalam kamar bayi Heni, memberikan kenikmatan yang sangat luar biasa ke pada sang gadis yang membuat dinding vaginanya yang liat menjadi semakin giat berkontraksi untuk memerah setiap tetes sperma Nathan dari batang kejantanannya.
“Hebat…!!! Hebat sekali…!!!! Enak banget rasanya ….!!!” pekik Heni menjembut orgasmenya.
Dengan sebuah lengkingan panjang di tengah nafas yang memburu, tubuh Heni langsung menggelinjang hebat dan membusur ke atas, membusungkan dada serta perutnya yang mengejang dalam sapuan ombak kenikmatan yang menggempur dirinya. Kepala dan leher Heni tertolak ke belakang, membenamkannya semakin dalam menekan kasur, terbenam dalam gelombang hasrat yang membanjiri dirinya. Pantat dan pinggulnya yang bertumpu pada paha Nathan bergetar hebat, dan selangkangan mereka yang saling berciuman seolah-olah saling menghisap satu sama lain dan saling menempel dengan ketatnya. Cairan cinta Heni dengan meluap-luap keluar membanjiri selangkangan mereka berdua dan turun ke bawah membasahi paha Nathan yang menahan pantat Heni hingga merembes ke atas sprei kasur. Wajah Heni menunjukkan ekspresi yang penuh dengan kenikmatan yang dapat dilihat dengan jelas dari kedua matanya yang terpejam dan mulutnya yang menganga terbuka lebar, mengeluarkan lengkingan-lengkingan liar yang penuh akan hasrat birahi yang telah mencapai puncaknya.
“Keluar…!!!! Keluarrr…!!!! Keluar!!!! Aku muncratt…!!!! Aaakkkhhhh!!!! Haaa….!!!! Ahhhhhh~!!!! Enak banget , Tuaann….!!!! Nathanaan…..!!!!
Heni meracau dengan penuh nafsu setengah tersadar diombang-ambingkan oleh ombak-ombak kenikmatan yang menghantam tubuhnya. Sesekali dipanggil-panggilnya nama sang lelaki pujaan hatinya dengan mata yang terpejam dan tubuh yang terus bergetar penuh kenikmatan. Tubuh Nathan yang juga digempur oleh kenikmatan luar biasa yang mereka dapatkan pun juga ikut tumbang menindihi tubuh Heni yang terbaring tak berdaya ditelan oleh gelombang kenikmatan di atas kasur. Penis Nathan yang masih tertanam di dalam liang cinta Heni pun akhirnya terdorong lebih dalam lagi melesak masuk menerjang rahim Heni dan mengirimkan gelombang orgasme yang kembali menggempur tubuh mereka berdua.
Erupsi hebat dari penis Nathan yang begitu dahsyat menyerbu menerjang ke dalam rahim dan vagina Heni menyemburkan lahar putih panas yang meluap-luap hingga vagina Heni yang sempit tak sanggup lagi menampung semuanya. Cairan cinta bercampur dengan madu putih Nathan dengan segera muncrat tumpah keluar disemprotkan oleh tekanan otot-otot vagina Heni yang berkontraksi dengan kuat.
Cukup lama Heni dan Nathan bergumul terombang-ambing dalam gelombang puncak kenikmatan yang telah mereka dapatkan bersama-sama. Setelah puas menikmati setiap kontraksi dan kedutan di organ-organ kelamin mereka yang perlahan mereda, penis dan vagina mereka yang saling bergumul dalam kenikmatan yang intim mulai memisahkan diri mereka masing-masing. Nathan perlahan mencabut batang kejantanannya dari liang cinta Heni, sambil menikmati setiap pijatan dan tekanan dari otot-otot di sepanjang jalur vagina Heni yang mencengkram penisnya dengan sangat kuat seolah tak ingin melepaskan instrumen yang telah memberinya kenikmatan yang luar biasa.
Tubuh mereka berdua yang masih lemah lunglai setelah digempur habis-habisan oleh gelombang demi gelombang kenikmatan saling berpelukan dengan lembut di atas ranjang. Nafas mereka yang tersengal-sengal menyatu dalam sebuah irama yang harmonis. Nathan perlahan turun dari atas tubuh Heni, menarik napas dalam-dalam saat tubuh mereka terpisah. Nathan dan Heni terbaring diam, mengatur napas yang perlahan kembali normal seiring dengan orgasme mereka yang mereda. Dada mereka naik turun dalam irama yang selaras, sementara kehangatan tubuh perlahan menghilang, digantikan oleh keheningan yang menenangkan. Napas keduanya mulai teratur, meski masih ada jejak sisa-sisa momen intim yang baru mereka lalui. Nathan, terbaring di sebelah Heni, diam-diam memperhatikan. Bibir Heni melengkung tipis, sementara tangannya perlahan menggenggam jemari Nathan.
“Terima kasih, Tuan Muda,” bisik Heni pelan, suaranya lirih namun penuh makna. Dia menoleh sedikit, menatap Nathan dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan yaitu bahagia, namun juga ada sedikit rasa segan.
Nathan menoleh, tersenyum kecil. “Untuk apa berterima kasih, Heni?” tanyanya dengan nada ringan, meski dia tahu jawabannya.
Heni tersenyum tipis, wajahnya sedikit tertunduk. “Untuk… segalanya, Tuan Muda,” jawabnya sambil memainkan jemari tangan Nathan. “Sudah lama sekali saya tidak merasakan hal seperti ini,” tambahnya, suaranya mengambang di antara rasa syukur dan pengakuan. Ia menghela napas pelan, merasa lega namun tetap berhati-hati dalam setiap kata yang keluar.
Nathan terdiam sejenak, menatapnya dengan tatapan lembut. “Kamu pantas mendapatkannya, Heni,” ucapnya, suaranya rendah tapi tegas. “Aku hanya ingin kamu bahagia.” Tangannya kini menyusuri rambut Heni yang terurai di atas bantal, membelai dengan pelan seperti ingin menenangkan.
Heni menahan napas sejenak, merasakan sentuhan itu. Dia mengangkat sedikit wajahnya, menatap Nathan dengan mata yang kini bersinar, penuh rasa syukur. “Saya merasa lebih dari bahagia, Tuan Muda. Tuan Muda memberikan saya sesuatu yang sudah lama hilang,” ucapnya, suaranya penuh kejujuran. Dia menggeser tubuhnya mendekat, meletakkan kepalanya di dada Nathan, merasakan detak jantungnya yang menenangkan.
Nathan tersenyum kecil, lalu mengusap punggung Heni dengan lebih lembut, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sejenak. “Kalau begitu, aku senang bisa memberikan itu padamu,” katanya pelan, sambil mencium lembut puncak kepala Heni.
Ada sejenak keheningan yang nyaman di antara mereka, hanya suara napas yang teratur dan detak jam di kejauhan. Heni, meski puas, tampak menahan diri. Sebuah perbedaan yang tipis tapi terasa. Meski mereka berada di tempat yang sama, ada jarak tak kasatmata yang membatasi.
Heni mengangkat kepalanya sedikit, menatap Nathan lagi dengan senyum malu-malu. “Maaf kalau saya… terlalu keenakan, Tuan Muda,” katanya, suaranya rendah tapi tulus. Dia mencoba menjaga batas meski hatinya terasa lega dan penuh.
Nathan hanya tersenyum, menatapnya penuh pengertian. “Heni, nggak perlu minta maaf,” jawabnya dengan lembut. “Di sini, di saat seperti ini, kita sama.” Dia mengusap pipi Heni pelan, ingin memastikan bahwa tak ada salah atau rasa takut yang tersisa di antara mereka.
Heni menundukkan kepala lagi, merasa lega mendengar kata-kata Nathan. Namun, tetap saja, ada rasa segan yang tak bisa sepenuhnya dia hilangkan. Di antara kehangatan itu, perbedaan mereka tetap terasa, meski hanya seperti bayangan tipis di ujung malam yang hampir pudar.
Setelah beberapa saat, Nathan berkata, “Heni,” katanya pelan, nadanya menandakan bahwa ada sesuatu yang mendesak.
Heni menatapnya, tersenyum kecil meski wajahnya masih menunjukkan sisa kelelahan. “Apa, Tuan Muda?” tanya Heni, suaranya lembut namun penuh perhatian, seperti biasanya ketika mereka berada dalam momen seperti ini. Tangannya bergerak menyusuri dada Nathan dengan perlahan.
Nathan menarik napas dalam, dan tiba-tiba keberanian yang dia kumpulkan meluap. “Aku ingin kamu mengatur ritual Sanghyang Jiva untukku,” katanya tanpa berputar-putar.
Heni terdiam, tangan yang tadi menyentuh Nathan kini terhenti di tengah gerakan. Tatapannya berubah, matanya membelalak sedikit, menatap Nathan dengan kaget. “Tuan Muda… apa yang Tuan Muda maksud?” tanyanya dengan nada yang lebih waspada, seolah dia berharap mendengar sesuatu yang lain.
Nathan duduk perlahan, tubuhnya menghadap Heni. “Aku ingin menjadi tumbal dalam ritual itu, Heni. Aku ingin melawan serigala jadi-jadian dan membunuhnya,” ucapnya dengan tegas.
Heni, yang kini juga bangkit, menatap Nathan dengan ekspresi bingung sekaligus cemas. “Tuan Muda, tidak… Tuan Muda tidak bisa melakukan itu,” katanya, suaranya sedikit gemetar. “Serigala itu sangat kuat. Tuan Muda… Tuan Muda akan mati jika mencobanya.”
“Bukankah kamu yang dulu menyarankan aku untuk melakukan ritual itu?” tanya Nathan mengingatkan Heni atas ucapannya beberapa hari yang lalu.
Heni menunduk, merasa tertusuk oleh kata-kata Nathan. “Tuan Muda, waktu itu saya hanya berpikir ingin Tuan Muda menggantikan Tuan besar Denis… Saya salah … Saya tidak ingin kehilangan Tuan Muda, apalagi kalau nyawa Tuan Muda jadi taruhan.” Suaranya semakin lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan rasa bersalah dan keraguan. “Sekarang, saya tidak siap kalau harus melihat Tuan Muda menghadapi serigala itu…”
Nathan meraih tangan Heni, menggenggamnya erat. “Aku tahu risikonya, tapi ini adalah satu-satunya cara agar ritual itu selesai. Aku tahu Maya tidak akan mengizinkanku. Itulah kenapa aku butuh bantuanmu, Heni. Hanya kamu yang bisa mengatur segalanya tanpa dia tahu.”
Heni menunduk, matanya terpaku pada jari-jarinya yang kini terjebak dalam genggaman Nathan. Ragu terlihat jelas di wajahnya, bibirnya terkatup rapat, seolah dia menimbang-nimbang permintaan itu. “Tuan Muda,” gumamnya pelan, “saya tidak bisa… kalau terjadi sesuatu pada Tuan Muda, ibu Tuan Muda akan menghukum saya. Lagipula, saya tidak bisa membiarkan Tuan Muda mengambil risiko sebesar ini.”
Nathan meremas tangan Heni lebih kuat, menariknya lebih dekat. “Aku tahu kamu takut, tapi aku harus melakukannya.”
Heni terdiam, dadanya naik turun pelan saat mencoba mencari kata-kata. Dia menarik napas panjang, kemudian melepaskan genggaman tangannya dari Nathan dengan hati-hati. “Tuan Muda… ini gila. Tuan Muda sendiri tahu bagaimana kekuatan serigala itu. Ini bukan lawan biasa, ini adalah makhluk yang luar biasa kuat, tidak pernah ada yang berhasil mengalahkannya.”
Nathan menggeleng, sorot matanya penuh keyakinan. “Justru karena itu, aku harus melakukannya. Aku siap mengambil risiko.”
Heni terdiam, matanya berkaca-kaca melihat keteguhan Nathan yang tidak tergoyahkan. Dia tahu betul apa arti dari permintaan itu, dan bahaya yang mengintai Nathan jika benar-benar menghadapi serigala jadi-jadian. Tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, Nathan kembali berbicara, suaranya pelan tapi tegas.
“Kalau kamu membantuku, Heni… aku janji akan memberikanmu kehidupan yang lebih baik. Kamu tidak akan lagi bergantung pada ibuku. Aku akan memberimu uang yang sangat banyak. Setelah semua ini selesai, kamu bisa pergi, menjalani hidup yang bebas. Kamu tidak akan lagi bekerja di sini. Dengan uang yang aku berikan kamu bisa membuka usaha sendiri atau menikmati hidup sesuka hatimu. Dan bukan hanya itu…” Nathan tersenyum kecil, mencoba menggugah lebih banyak emosi Heni. “Aku tahu rekan-rekanmu juga punya impian mereka sendiri. Aku bisa membantu mereka. Mereka bisa bebas, bisa menikmati hidup mereka, mendapatkan apa yang selama ini mereka inginkan. Aku jamin mereka akan mendapatkan laki-laki untuk bersenang-senang, tanpa batasan atau aturan yang mengikat,” Ungkap Nathan.
Heni menatap Nathan dalam diam, pikirannya berkecamuk. Tawaran Nathan sangat menggiurkan, kehidupan yang lebih baik, kebebasan, dan masa depan yang selama ini hanya bisa dia impikan. Namun, di balik janji manis itu, ada risiko besar yang tidak bisa diabaikan. Dia tahu betapa kuatnya siluman serigala itu, dan jika Maya tahu bahwa Nathan terlibat dalam ritual ini, semuanya bisa berakhir dalam bencana.
Setelah beberapa saat, Heni menarik napas dalam dan mengangguk pelan, meski sorot matanya masih menunjukkan keraguan yang besar. “Baiklah, Tuan Muda… Aku akan membantu Tuan,” katanya akhirnya, suaranya bergetar sedikit. “Tapi hanya dengan satu syarat.”
Nathan menatapnya dengan penuh harap. “Apa pun itu, katakan.”
Heni mendekat sedikit, ekspresinya tegang. “Apa yang kita lakukan tidak boleh diketahui oleh Nyonya Besar. Nyonya Besar tidak boleh tahu bahwa Tuan Muda yang akan menjadi tumbal dalam ritual ini. Saya akan mengatur semuanya, tapi saat ritual berlangsung nanti… Tuan Muda harus memakai topeng. Nyonya Besar tidak boleh tahu identitas Tuan Muda. Kalau tidak, ini akan berakhir sangat buruk untuk kita semua.”
Nathan terdiam sejenak, menimbang syarat itu, lalu mengangguk. “Aku setuju. Apa pun yang diperlukan agar ini berhasil.”
Nathan merasakan gelombang terima kasih yang dalam kepada Heni, yang telah berani mengambil langkah untuk membantunya meski penuh risiko. Nathan mengangkat tangan Heni, menggenggamnya dengan lembut, sambil mengagumi betapa cantiknya wanita itu dalam cahaya lampu yang menghangatkan ruangan. Dalam keheningan, dia menyentuh pipi Heni, merasakan halus kulitnya. Dengan penuh keyakinan, Nathan bertekad untuk memperlakukan Heni seperti permaisuri. Dia ingin memberi Heni kenikmatan yang tiada tara, melupakan semua keraguan dan kekhawatiran yang mungkin mengganggu pikirannya. Setelah beberapa saat saling menatap, Nathan perlahan menarik Heni ke dalam pelukannya, membiarkan wanita itu bersandar di dadanya. Dia membelai rambut Heni dengan lembut, setiap sentuhan penuh kasih. Heni menghela napas dalam-dalam, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka, membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan kenyamanan dan keintiman.
Dengan gerakan lembut, Nathan membaringkan Heni hingga terlentang di ranjang, memastikan bahwa Heni merasa nyaman. Dia kemudian mengatur posisinya di atas tubuh Heni, mempertemukan pandangan mereka dalam keintiman yang mendalam. Saat mereka menyatukan tubuh mereka, Nathan merapatkan dadanya ke dada Heni, menggesekkan kulit mereka dengan lembut, seolah ingin menyatukan jiwa mereka dalam satu kesatuan. Pertemuan dua alat kelamin mereka menambah intensitas keintiman yang dirasakan, setiap gerakan menjadi ungkapan terima kasih yang tulus. Nathan ingin Heni merasa berharga, ingin memberikan segalanya untuk wanita itu dalam saat istimewa ini.
Waktu seakan berhenti, dan Heni melupakan semua yang ada di luar ruangan ini. Dia tenggelam dalam gelombang kenikmatan, tubuhnya bergerak mengikuti irama Nathan yang lembut, setiap gerakan mengisi ruang di antara mereka dengan cahaya. Senyum puas dan desahan lembut Heni semakin memperkuat ikatan yang baru saja terjalin di antara mereka, menjadikan pengalaman ini lebih berharga dari sebelumnya. Kepuasan merayapi setiap bagian dari tubuh Heni, membuatnya merasa seolah-olah terbang jauh dari dunia yang penuh ketidakpastian. Dalam pelukan Nathan, Heni merasakan bahwa semua beban yang selama ini dia pikul perlahan-lahan menghilang. Dia merasa aman dan dikasihi, terlindungi dalam dekapan yang hangat ini.
Akhirnya, setelah melalui gelombang kenikmatan yang tiada henti, Heni pun kelelahan. Mata indahnya mulai terpejam, napasnya perlahan menjadi lebih tenang. Nathan tersenyum melihat Heni yang tertidur lelap dalam kepuasan. Dia membiarkan Heni beristirahat, merasa bahagia bisa memberikannya pengalaman indah yang akan dikenang. Dalam hening malam, Nathan mengamati Heni dengan rasa syukur. Dia tahu, meskipun banyak tantangan yang akan datang, saat ini mereka telah menciptakan sebuah kenangan yang akan mengikat mereka lebih erat. Dengan lembut, Nathan mencium dahi Heni, merasakan ketenangan yang memenuhi ruangan, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi di masa depan.
Bersambung
Lanjut lgi kak