Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 24​

Nathan berdiri di ruang tengah rumahnya. Ia merasa perlu keluar dari ruangan itu. Nathan berjalan menuju ruang depan. Ia melintasi lantai marmer yang dingin di bawah kakinya. Langkahnya kemudian membawa Nathan menuju teras. Di sana, ia berhenti. Pandangannya lurus ke arah taman luas yang terbentang di hadapannya. Tanaman hias tersusun rapi, pepohonan berdiri kokoh, dan rerumputan memenuhi permukaan tanah. Udara malam terasa segar. Tiba-tiba, seorang security muncul dari arah taman. Ia mendekat dengan langkah cepat. Security itu terus menghampiri Nathan tanpa ragu.

“Maaf, Tuan Muda,” kata security itu dengan nada sedikit tergesa. “Ada seseorang yang mencari Tuan Muda.”

Nathan mengangkat alis, terkejut sesaat. “Siapa?”

“Beliau tidak menyebutkan namanya, Tuan Muda,” kata security tersebut. “Tapi dia meminta bertemu langsung dengan Tuan Muda.”

Nathan terdiam sejenak, kemudian berkata tegas, “Bawa orang itu ke sini.”

Security itu mengangguk cepat dan segera berbalik menuju arah taman, meninggalkan Nathan yang masih berdiri di teras dengan pikiran yang mulai bertanya-tanya siapa tamu tak terduga itu. Identitas orang yang ingin menemuinya belum jelas, membuat Nathan bertanya-tanya siapa yang datang tanpa pemberitahuan. Waktu berlalu beberapa menit, dan langkah kaki terdengar semakin mendekat dari arah taman. Nathan menoleh dan melihat security kembali. Di sampingnya, seorang pria paruh baya dengan jenggot putih tampak berjalan perlahan. Penampilannya sederhana, namun ada sesuatu yang membuatnya tampak berbeda. Nathan memperhatikan setiap gerakannya dengan saksama. Saat jarak mereka semakin dekat, pria paruh baya itu menghentikan langkahnya dan mengangguk singkat ke arah Nathan, memberi tanda hormat tanpa sepatah kata.

Nathan menatap pria paruh baya itu sejenak, lalu berbicara dengan suara tegas. “Silakan masuk.”

Tanpa berkata lebih lanjut, Nathan membalikkan badan dan berjalan menuju pintu rumah. Pria paruh baya itu mengikuti langkah Nathan, sementara security tetap berjaga di belakang mereka. Nathan membuka pintu rumah dan membiarkan pria itu melangkah masuk ke ruang tamu yang luas. Nathan berjalan ke ruang tamu dan menghentikan langkahnya di dekat sofa. Ia mengarahkan tangannya ke sofa panjang yang ada di tengah ruangan. Tamu pria paruh baya itu mengikuti isyarat Nathan dan duduk dengan tenang. Setelah memastikan tamunya duduk, Nathan menuju sofa tunggal di sudut ruangan. Ia duduk dengan punggung tegak.

“Jadi … Siapa bapak ini sebenarnya?” tanya Nathan.

Tamu pria paruh baya itu menatap Nathan sejenak sebelum membuka mulut. “Nama saya Sudirman,” ucapnya dengan suara berat. “Tapi orang-orang biasa memanggil saya Dirman.” Nathan mengerutkan dahi, tetap memperhatikan pria di depannya. Sudirman melanjutkan dengan nada yang lebih pelan, “Saya kuncen Gunung Brajamusti.”

Nathan terkejut, matanya membesar seketika. “Kuncen Gunung Brajamusti?” katanya dengan nada tak percaya.

Sudirman mengangguk pelan. “Betul, Tuan … Saya datang ke sini bukan hanya untuk memperkenalkan diri,” katanya sambil merogoh saku jubahnya. “Ada sesuatu yang harus saya serahkan kepada Tuan. Ini bukan sekadar simbol, tapi lambang dari pewaris sah Gunung Brajamusti.” Nathan memandang Sudirman dengan penuh rasa ingin tahu. Sudirman kemudian mengeluarkan sebuah cincin dengan batu alam berwarna gelap yang berkilau samar. “Ini adalah Cincin Brajawali,” ucapnya, memegang cincin itu di telapak tangan terbuka. “Cincin ini bukan sembarang cincin. Hanya pewaris sejati yang bisa mengaktifkan kekuatan mistis di dalamnya. Dan Tuan adalah pewaris sah Gunung Brajamusti.”

Nathan menerima Cincin Brajawali dari tangan Sudirman. Tanpa ragu, ia memakainya di jari manis. Sesaat setelah cincin itu terpasang, fenomena mistis terjadi. Ruangan menjadi dingin seketika. Bayangan samar muncul di sekitar, seolah sesuatu tengah bergerak tanpa wujud. Tubuh Nathan merasakan aliran energi aneh, seakan cincin itu membangkitkan kekuatan yang tersembunyi di dalam dirinya.

Sudirman menatap Nathan sambil tersenyum, “Itulah tanda bahwa Tuan adalah pewaris sejati,” ucapnya, suaranya terdengar berat. “Cincin Brajawali telah mengenali Tuan. Kekuatan di dalamnya akan menyatu dengan diri Tuan. Gunung Brajamusti sudah menanti Tuan.”

Nathan menatap Sudirman dengan raut bingung. “Tapi saya belum berusia 25 tahun. Kenapa cincin ini diberikan sekarang?”

Sudirman mengangguk pelan, memahami kebingungan Nathan, “Cincin Brajawali memang harus diberikan beberapa bulan sebelum waktunya. Ini bukan soal menguasai sekarang, Tuan. Cincin ini adalah tanda bagi para penunggu dan penjaga Gunung Brajamusti. Mereka harus mengenal pewarisnya lebih awal. Ini semacam perkenalan, agar mereka tidak menganggap Tuan sebagai ancaman ketika waktunya tiba.”

“Oh …” gumam Nathan kini mengerti. “Pak Dirman … Darimana Bapak tahu saya adalah pewaris Gunung Brajamusti?” tanya Nathan kemudian.

Sudirman mengamati Nathan sejenak, kemudian menjawab, “Saya menerima wangsit dari leluhur Tuan. Mereka memberi tahu bahwa Tuan adalah pewaris sah Gunung Brajamusti. Wangsit itu juga menunjukkan kepada saya tempat di mana saya bisa menemui Tuan.”

“Oh …” Nathan bergumam lagi.

Sudirman melanjutkan penjelasannya, “Para penunggu dan penjaga Gunung Brajamusti berasal dari golongan jin yang kuat. Mereka telah menjaga gunung ini selama berabad-abad. Kini, setelah Tuan mengenakan Cincin Brajawali, mereka akan tunduk dan patuh kepada Tuan. Kekuatan cincin itu mengikat mereka untuk menghormati pewaris yang sah. Mereka akan membantu Tuan dalam segala hal.”

“Wow…” ucap Nathan, rasa takjub memenuhi wajahnya. “Jadi, aku benar-benar memiliki kekuatan untuk memimpin mereka?”

Sudirman mengangguk. “Ya, Tuan. Setelah Tuan mengenakan Cincin Brajawali, semua jin yang menjaga Gunung Brajamusti akan tunduk dan patuh kepada Tuan.”

“Keren …” ucap Nathan sambil tersenyum.

Sudirman menatap Nathan dengan serius, “Tuan, kekuatan yang Tuan miliki adalah anugerah sekaligus tanggung jawab. Setelah Tuan mengenakan Cincin Brajawali, semua jin yang menjaga Gunung Brajamusti akan tunduk dan patuh kepada Tuan. Namun, ingatlah untuk menggunakan kekuatan ini dengan bijaksana. Tuan dituntut untuk mensejahterakan masyarakat sekitar. Setiap potensi yang ada dalam perut Gunung Brajamusti harus digunakan untuk kebaikan. Apabila Tuan melanggar prinsip ini, konsekuensinya akan sangat berat. Tuan akan mengalami serangkaian kemalangan dan kegagalan dalam segala usaha. Dalam perjalanan, Tuan akan mengalami konflik dan perselisihan dengan orang-orang terdekat, yang dapat mengakibatkan perpecahan dalam hubungan keluarga. Selain itu, para jin atau makhluk gaib yang merasa dikhianati dapat melakukan tindakan balas dendam terhadap Tuan sebagai pewaris sah. Oleh karena itu, gunakanlah kekuatan ini untuk membantu dan memperbaiki kehidupan orang lain. Dengan begitu, Gunung Brajamusti akan tetap aman dan berkahnya akan mengalir dengan baik.”

“Begitukah?” Nathan terbelalak mendengar penjelasan Sudirman.

Sudirman melanjutkan dengan nada tegas, “Para penunggu dan penjaga Gunung Brajamusti sangat tidak menyukai orang-orang yang serakah dan mementingkan diri pribadi. Mereka menjaga gunung ini dengan penuh kesetiaan dan akan melindungi segala sesuatu yang berharga di dalamnya. Jika ada orang yang berusaha mengambil apa pun dengan cara yang salah, mereka tidak akan ragu untuk menyerang. Ini adalah prinsip yang dijunjung tinggi oleh makhluk-makhluk tersebut. Kekuatan dan harta yang ada di gunung ini bukanlah milik sembarangan orang. Oleh karena itu, Tuan harus selalu ingat untuk menghormati kekuatan yang ada di Gunung Brajamusti. Setiap tindakan harus dilakukan dengan niat baik dan untuk kebaikan bersama. Jika tidak, konsekuensi yang sangat serius dapat menanti. Jangan pernah anggap remeh kekuatan yang Tuan pegang, karena hal itu dapat berubah menjadi bumerang jika digunakan dengan cara yang salah.”

“Ya … Saya mengerti …” ucap Nathan pelan.

Sudirman berdiri, menyiapkan diri untuk berpamitan. “Tuan Nathan, tugas saya di sini sudah selesai. Saya harus melanjutkan perjalanan,” ujarnya dengan penuh rasa hormat.

Nathan merasa ragu. “Tapi Pak Dirman, mengapa tidak menginap di sini dulu? Saya akan mempersiapkan tempat untuk Bapak,” pintanya, berharap Sudirman mau tinggal lebih lama.

Sudirman menggelengkan kepala. “Saya tidak bisa, Tuan. Saya memiliki tanggung jawab lain yang harus saya selesaikan. Kuncen tidak boleh berlama-lama di satu tempat.”

Nathan mengambil uang dari dompetnya hampir satu gepok untuk ongkos Sudirman. “Setidaknya terima ini untuk membantu perjalanan Bapak,” katanya dengan nada memohon.

Namun, Sudirman kembali menolak. “Saya tidak boleh menerima apa pun dari Tuan. Itu adalah larangan bagi saya sebagai kuncen. Tugas saya adalah membantu, bukan mengambil.”

Dengan sedikit kecewa, Nathan hanya bisa mengangguk. “Baiklah, Pak Dirman. Jika itu keinginan Bapak, saya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengijinkan Bapak pergi.”

Nathan mengantar Sudirman menuju pintu gerbang rumah yang megah. Nathan berjalan di samping Sudirman, menjaga jarak hingga sampai di gerbang. Setelah Sudirman mengucapkan salam perpisahan, Nathan melihat Sudirman melangkah menuju mini bus yang terparkir di luar gerbang. Sudirman membuka pintu mini bus dan masuk ke dalam kendaraan. Mini bus itu mulai bergerak perlahan. Nathan tetap berdiri, memperhatikan kendaraan itu menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan. Setelah mini bus hilang, Nathan berbalik dan melangkah kembali menuju rumah.

Nathan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan melewati ruang tengah tanpa berhenti, lalu menaiki tangga menuju lantai dua. Saat mencapai ujung tangga, pandangannya tertuju ke arah kamar Maya. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Nathan merasa penasaran, membuatnya mendekati pintu tersebut hingga sampai di depan pintu, kemudian ia mendorong pintu dengan pelan. Di balik pintu, ibunya tampak duduk di depan meja rias, memegang sisir di tangannya. Pandangan Nathan langsung tertuju pada ibunya yang sedang menyisir rambutnya.

Mata Nathan terbelalak saat melihat ibunya yang hanya mengenakan gaun tipis, tubuhnya samar di balik kain yang menerawang. Nathan berdiri mematung di depan pintu kamar, merasakan jantungnya berdegup kencang. Sosok wanita di hadapannya begitu memikat. Lekuk tubuhnya tampak indah, sempurna dalam setiap detail. Kedua payudaranya menggantung indah begitu bulat dan kencang seakan melambai-lambai ingin digoda. Lekuk tubuhnya begitu sempurna seperti gitar Spanyol. Gairah dalam diri Nathan terbangun, hasrat yang selama ini ia pendam seakan menyala kembali. Nathan menyadari bahwa saat ini, segala sesuatu di sekelilingnya menghilang. Hanya ada dia dan ibunya. Ketika pandangannya terkunci pada ibunya, hasratnya tumbuh semakin dalam, seolah ada magnet yang menariknya lebih dekat. Saat ibunya mengangkat wajahnya dan menatapnya, dunia di sekitar Nathan lenyap. Hanya ada rasa yang kuat, penuh gairah, dan ketertarikan yang tak bisa ia abaikan.

Nathan berdiri kaku di ambang pintu. Ia tidak bisa berkata-kata. Pandangannya tertuju pada ibunya, yang duduk di depan cermin. Maya tersenyum lalu kembali menyisir rambutnya. Gairah yang meluap dalam hati Nathan akhirnya mendorong kakinya untuk melangkah. Ia merasa dorongan itu sangat kuat, membuatnya tak kuasa menahan diri. Nathan melangkah masuk ke dalam kamar. Ia menutup pintu dengan pelan. Dengan langkah ragu, Nathan menghampiri ibunya dan berdiri di belakangnya.

Nathan dan Maya saling menatap lewat cermin. Keduanya terdiam. Maya duduk tenang, namun matanya menunjukkan kebingungan. Nathan berdiri di belakang ibunya, ia masih merasakan detak jantung berdebar cepat. Nathan menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan hatinya. Pemuda itu merasa bergetar. Dalam keheningan, ia perlahan mengulurkan tangan. Tangan Nathan menyentuh bahu ibunya yang terbuka. Sentuhan itu lembut, penuh harapan.

Setelah keheningan melanda, akhirnya Nathan buka suara, “Setiap hari, aku berusaha menahan diri. Aku sudah mengalihkan hasrat ini sekuat tenaga, tetapi semua itu hanya sementara. Malam ini, rasa itu kembali menyergap. Hati ini bergejolak. Suara-suara dalam kepalaku menggoda, meminta untuk dilepaskan. Setiap detak jantungku menjadi pengingat akan keinginan yang tak tertahan lagi.”

Maya menatap Nathan dengan lembut, “Bunda pun memiliki perjuangan yang sama, Nathan … Bunda ragu bisa menahan hasrat ini jika kamu menyerah.”

Dengan suara pelan, Nathan berkata, “Bunda, aku sudah berusaha sekuat tenaga. Tetapi sekarang, aku tidak mampu lagi menahan keinginanku. Rasa ini terlalu kuat. Setiap hari terasa semakin menyiksa. Aku merasa terjebak dalam pertempuran yang tidak bisa dimenangkan. Mungkin sudah saatnya aku mengakui bahwa aku tidak bisa terus menahan diri.”

Dengan nada lembut namun penuh keraguan, Maya berkata, “Jika kamu tidak berusaha menahan diri, kita berdua bisa kehilangan kendali.”

Nathan menatap ibunya dengan mata penuh harap, “Bunda … Aku tidak bisa terus berjuang sendirian. Jika Bunda merasa ragu, mungkin lebih baik biarkan aku mencurahkan hasratku pada Bunda.”

Maya menatap putranya dengan tatapan penuh keraguan. Di dalam hatinya, perasaan bergejolak antara “ya” dan “tidak”. Maya hanya bisa membalas tatapan Nathan dari cermin. Matanya mencari kepastian, menunggu langkah selanjutnya dari putranya yang tampan itu. Dalam keheningan, Maya berusaha menenangkan pikirannya. Di sudut hatinya, ia tahu bahwa cinta dan pengertian adalah bagian dari perjalanan ini.

Tangan Nathan mulai memijit ringan bahu Maya. Ia merasakan otot-otot ibunya yang tegang. Gerakan lembutnya memberikan kenyamanan. Nathan mencoba untuk menenangkan, berharap bisa mengurangi keraguan yang ada. Perlahan, ia melanjutkan gerakannya. Jari-jarinya mulai menjelajahi bagian tubuh Maya yang lain. Dalam ketenangan, Nathan akhirnya meraba payudaranya. Ia merasa detak jantung ibunya. Nathan meremas payudara itu dengan kelembutan, merasa seolah-olah ia sedang menangani sesuatu yang sangat berharga. Setiap gerakannya penuh perhatian. Pemuda itu menatap wajah ibunya, mencari tanda-tanda kenyamanan dan keinginan. Dalam sekejap, suasana menjadi semakin hangat.

“Aku tidak bisa menahan diri lagi, Bunda … Aku ingin sekali meniduri, Bunda …” bisik Nathan di telinga kanan Maya.

“Kalau begitu … Bawa ibumu ini ke ranjang,” Maya berkata pelan setengah mendesah.

Dengan sekali hentakan, tubuh Maya sudah berada di gendongan Nathan dengan gaya bridal. Tangan Nathan mengangkat tubuh ibunya dengan hati-hati, memastikan agar ia nyaman dan aman. Nathan melangkah menuju tempat tidur. Setelah sampai di tepi kasur, Nathan membaringkan tubuh Maya perlahan. Ia memastikan bahwa ibunya terbaring dengan nyaman di atas kasur.

Nathan kemudian melepaskan seluruh pakaiannya hingga telanjang, kemudian naik ke tempat tidur. Nathan duduk dengan melipat lutut di samping Maya, kemudian tangannya melepaskan gaun tipis Maya dari tubuhnya. Maya yang tidak mengenakan apa pun selain gaun tipis tadi kini telanjang bulat. Tubuhnya terpapar cahaya lembut dari lampu kamar, menampilkan keanggunan dan kecantikan yang natural. Nathan melihat dengan penuh perhatian, memastikan ibunya merasa nyaman dan tenang.

Nathan memandang ibunya dengan serius. “Bunda benar-benar cantik. Setiap kali aku melihat Bunda, aku selalu terpesona,” katanya tanpa ragu.

Maya tersenyum, tetapi wajahnya tampak ragu. “Kamu terlalu berlebihan Nathan,” jawabnya.

“Tidak, Bunda … Bunda memiliki kecantikan yang nyata. Bunda selalu menarik perhatian. Aku tidak bisa melupakan bagaimana menawannya dirimu,” Nathan menegaskan.

Maya mengerutkan dahi. “Apakah kamu yakin? Aku sudah tua.”

“Usia tidak mengubah apa pun. Bunda tetap seksi dan menawan. Gambar ini akan selalu ada dalam ingatanku,” kata Nathan tegas.

Maya mengangguk, tetapi tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. “Nathan, cukup dengan pujian itu. Ayo mulai saja. Jangan terlalu banyak bicara,” ucapnya sambil tersenyum lembut.

Maya terbaring terlentang di atas tempat tidur, matanya tertutup. Nathan mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Maya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Maya membuka mata kembali, melihat Nathan yang tersenyum. Nathan pun menggeser rambut Maya ke belakang telinga. Nathan melanjutkan dengan membelai payudara Maya, merasakan kelembutan teksturnya. Maya menggigit bibir, merespons setiap sentuhan dengan rasa yang mendalam. Nathan kemudian menaiki tubuh Maya, menempatkan dirinya senyaman mungkin di atas tubuh ibunya. Maya menanggapi dengan melingkarkan tangannya di leher Nathan sambil membuka pahanya lebar-lebar.

Keduanya saling bertukar tatapan penuh hasrat. Nathan menyentuh wajah Maya, mengusap pipinya dengan lembut. Maya mengeluarkan desahan halus, menandakan rasa yang semakin menggebu. Dengan perlahan, Nathan mendekatkan wajahnya, menyentuh bibirnya ke bibir ibunya. Ciuman itu dimulai dengan lembut, penuh ketulusan. Maya merespons dengan membuka bibirnya sedikit, memberi Nathan akses yang lebih dalam. Nathan merangkul kepala ibunya, menariknya lebih dekat. Maya membalas ciuman itu, menambah intensitas dengan menggenggam leher Nathan. Rasa birahi di antara mereka semakin kuat. Ciuman mereka semakin dalam dan penuh gairah yang membuat keduanya tenggelam dalam momen itu. Suara desahan lembut keluar dari Maya, menggambarkan hasrat yang tak tertahan.

Nathan menempelkan kepala penisnya ke vagina Maya, merasakan kehangatan yang menyelimuti. Nathan merasakan bagaimana kepala penisnya terasa basah, menandakan bahwa vagina ibunya siap untuk dimasuki.

Kemudian dengan perlahan-lahan Nathan mulai menekan kepala penisnya membelah bibir kemaluan Maya. Mendapat tekanan dari kepala penis Nathan, bibir kemaluan Maya tertekan ke bawah dan mulai terbuka dan karena kemaluan Maya telah basah, akhirnya kepala penis Nathan mulai terbenam ke dalam lubang kewanitaan Maya. Disebabkan penis Nathan yang sangat besar, maka klitoris Maya ikut tertarik masuk ke dalam lubang kemaluannya dan terjepit oleh batang penis Nathan yang berurat menonjol itu. Hal ini menimbulkan perasaan geli dan sekaligus nikmat yang amat sangat pada diri Maya, sehingga disertai badannya yang menggeliat-geliat, dengan tanpa sadar dari mulutnya terdengar suara, “Ooohh…” yang panjang, mengikuti tekanan penis Nathan pada kemaluannya.

Nathan mendiamkan penisnya sesaat agar ibunya dapat meresapi nikmatnya kedutan penis besarnya dan beradaptasi. Namun sebelum Nathan melanjutkan aksinya, Maya keburu berkata, “Punyamu kok terasa jadi besar sekali?”

Nathan terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan Maya, sambil menatapnya dengan heran. “Masa sih, Bun?” tanyanya, sambil sedikit tersenyum.

Maya meresapi perasaan yang tak biasa itu, lalu mengangguk pelan, “Iya, rasanya beda… lebih besar dari sebelumnya.”

Nathan masih merasa bingung, tapi dengan penuh perhatian, dia berkata, “Mungkin Bunda lebih sensitif sekarang, atau mungkin karena kita udah lama nggak kayak gini.”

Maya tertawa kecil, masih dengan rasa penasaran, “Tapi beneran, Nathan, kok rasanya beda.”

Nathan, sambil tersenyum hangat, kemudian menjawab, “Ya udah, kita pelan-pelan aja biar Bunda nyaman, ya.”

Nathan mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, menciptakan pertemuan dua kelamin yang penuh kenikmatan. Penis pemuda itu keluar masuk dengan irama yang pelan dan teratur. Sementara itu, Maya pun mulai mengimbangi gerakan Nathan dengan menggerakkan pinggulnya. Tidak ada rasa yang lebih nikmat daripada pertemuan kedua kelamin itu. Gesekan antara penis yang besar dan keras dengan dinding vagina yang sensitif menyimpan berbagai rasa geli dan birahi, membuat keduanya mulai mendesah. Penyatuan tubuh mereka benar-benar membawa mereka terbang jauh, melayang dalam gelombang kenikmatan yang tak terperikan.

“Ooohh, Nathan … Bunda nggak nyangka, ini terasa begitu…” bisik Maya di sela-sela napasnya yang tersengal.

Nathan tersenyum mendengar bisikan ibunya, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Maya sambil berbisik lembut, “Aku juga nggak nyangka, Bun. Rasanya lebih dari yang aku bayangkan. Punya Bunda ngejepit banget.”

“Oooohh … Terus sayang … Engghh … Cepetin sayang …” lenguh Maya dengan rasa nikmat yang luar biasa.

Nathan kini mempercepat gerakan pinggulnya, memunculkan ritme yang lebih mendalam dan penuh gairah. Maya merespons setiap gerakannya dengan desahan lembut, menyesuaikan irama yang semakin menggairahkan. Nathan berusaha untuk bermanuver dan menjelajahi setiap sudut liang kenikmatan ibunya. Ia mencari area G-spot yang menjadi titik kenikmatan bagi ibunya, menghantamkan ujung kejantanannya di berbagai tempat dalam lubang kewanitaannya. Nathan mengamati reaksi dan ekspresi wajah ibunya, yang tampak terbuai dalam kenikmatan yang ia berikan. Ia terus melanjutkan gerakan keluar masuk, merangsang berbagai titik di dalam vaginanya.

‘Cleb … Cleb … Cleb …’ Suara becek pertemuan kelamin kami yang saling beradu menjadi musik indah yang mengiringi permainan kami, diselingi oleh erangan penuh nikmat yang keluar dari bibir ibu pujaan hatiku.

“Hebaaat…. Aaaarrrrrghhhh…. Terus… Sayang, terus….. Yah di situ…. Di situ…. Rahimku terasa begitu nikmat!”

Setelah Nathan menemukan daerah yang paling merangsang bagi Maya, semangatnya semakin membara. Ia terus memacu penisinya keluar masuk vagina ibunya, menghantam titik tersebut dengan penuh gairah. Perlahan, Nathan mendekatkan wajahnya ke wajah Maya, yang kemudian melingkarkan tangannya di leher Nathan dengan lebih erat. Tangan pemuda itu merayap ke bawah, mulai dari paha, menyusuri pinggang, pinggul, dan perut ibunya. Ia bermain sebentar dengan memijat dan meremas kedua buah dada indahnya, lalu mengelus lehernya dan membelai kedua pipinya. Nathan mengelus rambut dan kepala Maya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya merayapi daerah punggung Maya. Mereka berpagutan dan berciuman dengan penuh gairah, sementara pinggul mereka terus bergerak, seolah keduanya telah menemukan irama dansa yang sempurna, saling memuaskan dalam harmoni gerakan pinggul yang indah.

“Aaahh … Aaahh … Aaahh … Punyamu besar sekali, nak …” ujar Maya di tengah gelombang nikmat yang melanda dirinya.

“Nimati saja, Bun … Ini buat Bunda …” sahut Nathan sambil terengah-engah.

Setelah puas berciuman, Maya melepaskan tangannya yang melingkari leher Nathan dan merentangkan kedua tangannya ke samping, meremas sprei kasur dalam genggaman tangannya. Dengan mata tertutup, ia meracau tanpa henti, tenggelam dalam kenikmatan yang tak terhingga. Nathan, yang tidak bisa berhenti menciumi ibunya, perlahan merayapi tubuhnya ke bawah, memberikan kecupan lembut di bibirnya, lalu berlanjut ke dagunya, turun ke leher, dan dadanya. Sambil terus memacu penisnya masuk dan keluar, Nathan menjilati dan menghisap kedua puting susu ibunya bergantian, sambil tangannya yang semula berada di punggung Maya kini berpindah untuk memijat dan meremas kedua buah payudaranya dengan penuh kasih sayang.

Irama permainan mereka semakin intens, dan keduanya semakin mendekati klimaks. Nathan merasakan kontraksi otot vagina ibunya yang semakin kuat, sementara sesuatu yang panas mulai memberontak di dalam dirinya, ingin segera menyembur keluar. Dalam momen itu, Nathan sergap tubuh Maya dan memeluknya erat.

“Bunda… Bentar lagi aku mau keluar…”

“Keluarin…. Sayang…. Bareng-bareng….”

Nathan semakin cepat menggenjot vagina Maya, dan akhirnya, dengan satu hentakan terakhir, keduanya mengalami klimaks secara bersamaan. Tubuh mereka yang saling berpelukan mengejang dan bergetar dalam harmoni hasrat yang mendalam. Dalam nafsu yang memburu, mereka tak sanggup bersuara lagi. Nathan mencengkeram kepala dan punggung Maya dengan kedua tangannya, sementara tangan Maya terkulai lemas di samping kasur.

Otot-otot dinding vagina Maya yang ketat, kencang, hangat, dan basah memeras habis sperma dari kejantanan Nathan, memenuhi ruang kenikmatan Maya hingga tumpah merembes keluar, bercampur dengan nektar cinta yang memiliki aroma khas kewanitaan. Mata Maya setengah terbuka, dan mulutnya megap-megap mencari napas, membuat Nathan tak tahan untuk menciuminya kembali. Segera, mereka kembali saling berciuman, menikmati puncak kenikmatan yang baru saja mereka capai.

Rasanya, mereka telah benar-benar bersatu, baik secara fisik maupun spiritual. Nathan merasa seolah ia adalah Maya, dan Maya adalah dirinya. Kehangatan dan kenikmatan yang mengalir dalam hubungan badan mereka telah mengikatkan sebuah hubungan batin yang dalam di hati mereka berdua. Mereka saling menatap, kali ini bukan dengan tatapan nafsu, tetapi dengan penuh cinta. Nathan menciumnya sekali lagi, dan dengan senyuman manis, Maya membalas senyuman itu. Lama sekali mereka bercumbu dan berciuman dalam pelukan, menikmati sisa-sisa orgasme hingga tetes terakhir, terbuai dalam lembah kenikmatan yang terasa tiada akhir.

Maya akhirnya melepaskan ciumannya lalu menatap Nathan sambil berkata, “Bunda nggak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi kejantananmu terasa jauh lebih besar dibandingkan yang pernah Bunda rasakan sebelumnya.”

Nathan menarik napas dalam-dalam, mengerutkan alisnya sambil mengeluarkan kejantanannya dari vagina ibunya. “Aku… aku tidak merasa ada yang berbeda, Bunda,” katanya pelan, matanya menatap dalam-dalam ke mata Maya.

Maya dengan cepat meraih kejantanan Nathan dengan tangannya, matanya terfokus penuh pada penis Nathan yang kini ada di genggamannya. Saat ia melihat kejantanan Nathan lebih dekat, suara terkejut keluar dari mulutnya, “Wow!” Memekik kaget, Maya tak bisa menyembunyikan ekspresi terherannya. “Apa ini?”

Nathan pun penasaran, matanya menyusuri tangan Maya yang menggenggam kejantannya. Saat ia melihatnya lebih dekat, ekspresi terkejut muncul di wajahnya. “Astaga!” pekik Nathan, suara kagetnya pecah. Ia baru menyadari betapa besarnya ukuran dirinya saat ini. “Aku … Aku … Ini… ini membesar! Aku … Aku … tidak percaya!”

Nathan tertegun saat melihat penisnya yang tampak begitu besar dan panjang, hampir mencapai 20 cm. Dia merasa terkejut ketika menyadari betapa lebar dan tebalnya penisnya saat ini, sampai-sampai tangan ibunya tidak bisa menggenggam sepenuhnya. Melihat ukuran yang mencolok itu membuatnya merasa bingung dan tidak percaya. “Bagaimana bisa?” gumam Nathan dalam hati, tidak pernah membayangkan bahwa keadaannya bisa seperti ini.

Maya yang masih terkejut, matanya membesar saat menatap Nathan. “Bagaimana penismu bisa seperti ini?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Nathan menatap ibunya dengan ekspresi bingung. “Aku benar-benar tidak tahu,” jawabnya pelan, menggelengkan kepala. “Tadi sore waktu mandi aku merasa biasa saja, tapi sekarang…”

Maya semakin terheran, matanya tak lepas dari pandangan kejantanan Nathan. “Aku benar-benar tidak mengerti, Nathan. Ini luar biasa!” katanya dengan nada kagum. “Bagaimana bisa tetap keras dan tegang seperti ini? Rasanya tidak ada tanda-tanda kamu akan berhenti!” Dia menggelengkan kepala, terpukau oleh ukuran dan kekuatan yang ditunjukkan Nathan. “Ini sangat mengesankan.”

“Aku… aku tidak percaya ini,” kata Nathan, suaranya bergetar. “Kenapa bisa begini? Rasanya sangat aneh, seperti mimpi. Ini semua membuatku bingung!”

Tiba-tiba, Maya mendorong tubuh Nathan hingga ia jatuh terlentang di kasur. Dengan tatapan penuh hasrat, Maya tersenyum dan berkata, “Jangan terlalu dipikirkan.” Tanpa ragu, ia mengangkangi tubuh Nathan, memastikan vaginanya dan penis Nathan berhadap-hadapan. Kemudian, Maya menatap Nathan dan berkata, “Aku ingin menikmati ini sepuasnya.” Dengan perlahan, dia menurunkan pinggulnya, merasakan setiap detak jantung yang berdegup kencang. Saat vaginanya mulai menyambut penis raksasa Nathan, sensasi hangat dan ketat menyelimuti mereka berdua.

Maya menggigit bibirnya, merasakan kedalaman yang belum pernah ia alami sebelumnya. Setiap inci dari kejantanan Nathan terasa menyentuh bagian terdalamnya, membuatnya menggigil dalam kenikmatan yang mengalir deras. Dalam detik itu, Maya sepenuhnya tenggelam dalam sensasi yang memabukkan, seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dalam harmoni hasrat yang tak terlukiskan.

Nathan merasakan setiap gerakan Maya, sensasi lembut dan menegangkan saat dia melanjutkan menurunkan pinggulnya, menciptakan gelombang kenikmatan yang tak tertahankan. “Ini luar biasa,” gumam Nathan, suaranya penuh kekaguman. Maya membalas dengan senyuman, merasakan kehadiran Nathan yang mengisi seluruh lorong cintanya, membuatnya merindukan lebih banyak lagi.

Vagina Maya yang masih berkedut-kedut dengan rakus dan penuh keserakahan mencoba memonopoli kejantanan Nathan, mencengkeram dan meremas setiap ototnya dengan kekuatan yang luar biasa, seolah ingin melahap dan menelan penis Nathan. Merasa tidak nyaman dengan posisinya, Nathan kemudian bangkit duduk sambil memangku Maya yang berada di atas tubuhnya. Dia mendaratkan sebuah ciuman yang sangat dalam ke dalam mulut ibunya, yang dengan sigap meladeni ciuman tersebut dengan permainan lidahnya yang penuh gairah.

Maya pun memeluk leher Nathan dengan kedua tangannya, sementara kedua buah dadanya yang besar dan ranum itu bergoyang-goyang, bergesek-gesekan dengan dada bidang Nathan. Pinggang dan pinggul Maya yang begitu aduhai itu pun juga ikut mulai bergoyang memberikan sensasi goyangan tak tertahankan kepada penis Nathan yang masih terjebak dalam tawanan vagina ibunya. Sensasi sedotan yang kuat, hisapan yang dalam, serta cengkraman dan remasan yang begitu keras, yang berpadu dengan pijatan-pijatan lembut yang dihasilkan dari setiap kedutan otot-otot yang berada di dalam liang cinta ibunya terasa begitu luar biasa bagi Nathan yang sedang mengunci selangkangannya dengan selangkangan Maya.

Ditambahkan lagi dengan perasaan hangat, basah dan lembab yang diberikan oleh cairan yang disekresikan oleh vagina ibunya untuk melumasi setiap bagian dari rudal balistik Nathan yang kini telah tertanam sangat dalam hingga membentur pintu rahimnya, terasa begitu luar biasa bagi penis Nathan yang mulai bergerak bergesek-gesek beradu dengan setiap bagian di dalam lubang cinta sang ibu.

Nathan memeluk tubuh Maya erat-erat. Tangannya menelusuri setiap bagian punggungnya yang mulus, mengirimkan sensasi nikmat yang menggetarkan jiwa ke seluruh tulang di tubuh ibunya. Dihentikannya ciumannya dengan Maya dan ditatapnya sepasang mata Maya yang terisi penuh dengan kehangatan sambil menunjukkan ekspresi penuh harap. Tangan Nathan yang kini telah turun akhirnya tiba di kedua belah pantat ibunya yang begitu indah membulat. Diremasnya kedua buah pantat itu yang membuat sang ibu mengerang penuh nikmat dengan kedua tangannya jatuh lemas dari punggung Nathan yang tadi masih dipeluknya dengan penuh hasrat.

Wajah Maya semakin memerah dan nafasnya mulai semakin memburu ketika Nathan yang kini telah membuka selangkangannya lebar-lebar, memegangi kedua belah pahanya yang putih dan mulus sembari mengerakkan pinggulnya menyodok-nyodok liang vagina Maya dan mengaduk-aduk seisi liang kenikmatan ibunya dengan rudalnya yang besar, panas, keras dan siap untuk meledak kapan saja.

“Aaaakkkkhhhh….. Aaakkkkhhh….. Aaahhhh….. Rasanya enak banget sayang… Terasa senikmat ini…. Punya Bunda gemetaran dan terasa sebahagia ini…..” Mulut Maya mulai mengeluarkan desahan dan erangan yang terdengar sangat nakal, pinggul dan pinggangnya yang begitu indah dan ramping turut bergoyang mengikuti gerakan putranya ketika Nathan mulai menggoyangkan pinggulnya.

Entah sudah berapa lama waktu yang berlalu, seakan detik-detik mengalir seperti air, tak terhentikan dalam lautan kenikmatan yang tiada akhir, sementara gelombang hasrat terus menggulung mereka dalam tarian asmara yang tak berujung, melampaui batas ruang dan waktu.

Maya kini sedang menikmati goyangan penuh nafsu dan peraduan di antara selangkangannya dengan selangkangan Nathan. Kedua tangannya terangkat mencoba meraih sang lelaki pujaan, mengundang dirinya untuk masuk ke dalam pelukannya. Namun sang lelaki pujaan malah menjulurkan kedua tangannya yang sedari tadi memegangi paha sang wanita dan kini mereka berdua saling mengadu selangkangan, saling berhadapan satu sama lain sementara kedua tangan mereka yang telah bertemu di tengah-tengah saling menggenggam satu sama lain. Tangan kiri Maya menggenggam tangan kanan Nathan sementara tangan kanan Maya menggenggam tangan kiri Nathan.

“Ah ah aah aaaakkkkhhh….!”

Tubuh Maya yang semula terbaring di atas kasur perlahan ditarik dan dituntun oleh tangan Nathan yang menarik kedua tangan ibunya dengan penuh kelembutan. Selangkangan kedua insan yang masih bersatu tersebut masih terus saling beradu hingga Maya kini telah terduduk kembali di atas selangkangan putranya sementara selangkangannya sendiri terbuka lebar dengan kedua kakinya yang panjang semampai membuka ke samping. Dengan tubuh mereka yang saling berhadapan satu sama lain, nafas mereka yang panas memburu saling membentur menyublim menjadi satu sementara Nathan tanpa henti terus menggenjot tubuh indah gemulai ibunya yang turut bergoyang mengikuti irama pinggulnya. Kedua buah payudara Maya yang besar dan ranum bergoyang dengan liar membal-membal terayun ke sana – ke mari memperlihatkan pemandangan yang sangat playful dan begitu menggoda di mata Nathan.

Dengan penuh gairah Maya menghentakan pinggulnya semakin cepat dan dalam, membuat penis Nathan semakin ganas meluluh lantakkan lubang kenikmatan ibunya.

“Aaaakkkkhh!!!! Aaaahhhhhh!!!!! Kontolmuuu … Nikmmmaaatttt ….”

Teriakan panjang penuh nafsu keluar dari mulut Maya yang menjulurkan lidahnya yang sangat merangsang sementara kepalanya terdongak ke atas saat dirinya kembali meraih puncak kenikmatan dan mengalami orgasme ringan saat penis Nathan semakin menggila berontak di dalam liang cintanya.

“Wow, Bunda … Teriakan cabulnya sungguh sangat merangsang!”

Nathan terus menggenjot tubuh sang ibu sembari terus memperhatikan paras wajahnya yang jelita yang telah penuh diwarnai hasrat nafsu dengan sepasang payudaranya yang besar bergoyang terayun ke sana – ke mari memamerkan segala keindahannya yang begitu glamor dengan ujung puting yang terlihat jelas sudah begitu keras bagaikan sepasang permata yang bertahta dengan anggun di puncak sebuah gunung.

“Bagaimana, Bunda? Enak Bunda? Hmmmm?” tanya Nathan dengan suara penuh godaan.

Maya menjawab lirih di tengah nafasnya yang terengah-engah, “Aaaaakkkhhhhhhhh!!!!! Ini sunggguh nikmattttt!!!!!”

Tiba-tiba saja Maya berteriak sekuat tenaganya sambil mencurahkan seluruh isi hatinya saat Nathan dengan tiba-tiba menaikkan intensitas permainannya dan dengan tanpa belas kasihan menggenjot tubuh Maya dengan penuh kebrutalan. Vagina Maya semakin luluh lantak meledak-ledak dalam kenikmatan saat penis Nathan dengan liar semakin ganas merongrong liang cintanya.

Nathan pun tiba-tiba saja menarik kedua tangan ibunya sehingga Maya kini telah jatuh ke dalam pelukannya, sembari mengangkang di atas selangkangan Nathan yang tanpa henti terus menggenjot tubuh indah Maya tanpa ampun. Dengan ganas tangan-tangan Nathan menjamah menelusurinya setiap jengkal punggung Maya, hingga akhirnya tangan kirinya berlabuh di pantat Maya yang besar dan empuk sementara tangan kanannya kini mengelus-elus rambut Maya dari atas ubun-ubun hingga ke ujung rambutnya yang menghampar dengan megah di tengah-tengah lekukan punggung ibunya yang telah membusur hingga membususungkan dadanya dan membuat kedua belah payudaranya lumat dihimpit oleh dada Nathan yang perkasa.

“Ini….. Ini sungguh luarrr biasa…. Oh, anakku ini luar biasa… Akkkkghhhhhh!!! Aaakkkhhhhh!!!! Kontolnya aaahh… Kontolnya … Besar dan keras!!! Sangat panas!!!! Niiikkmaattt seekaaaliiii … Oooohh!!! Memekku Aaakkkhhh…. Di dalamku diisi penuh…. Aaakkkhhh….!!! Ini sungguh niiikkkmmaaatttt!!!” Maya terus mendesah dan mengerang tiada hentinya sambil membatin dengan penuh kenikmatan.

Dinikmatinya tusukan-tusukan penis raksasa Nathan sambil dengan penuh inisiatif bibirnya yang mempesona itu menyambar mulut Nathan, memagut lidahnya, dan mengundangnya masuk untuk ke dalam mulutnya sembari memainkan tarian nakal yang panas dan basah.

“Kontolnya seperti membesar berkali-kali dengan panas bergesek-gesekkan di dalam liang memekku…. Aaakkkhhh…. Ini kontol apaaaa?! Oh, rasanya itu…!!! Rasanya luar biasa sampai rasanya otakku mau melayang…!!!” Maya terus bergumam dalam hatinya sembari menghisap lidah Nathan yang sedang membelit dan gantian menarik lidahnya untuk masuk ke dalam mulut Nathan yang dengan rakus terus berusaha menyedot segala yang ada di dalam mulutnya, seolah tidak ingin kalah dengan vagina Maya yang dengan kuat terus berusaha mencengkeram dan melahap penis Nathan.

“Kontolnya beda!!! Kenapa bisa berbeda?! Aku senang sekali…. Aaahhhh… Punya kontol seperti ini… Aaaahhhh… bisa merasakan kenikmatan yang luarr biasa seperti ini… Aaaakkkhhhh…!!!” Maya menatap mata Nathan dengan penuh nafsu, kedua tangannya kini merangkul leher dan punggung sang lelaki jantan yang sedang memasuki tubuhnya.

“Aaaahhhh… Kamu sekarang…. Aaaahhhh… Sudah benar-benar berubah menjadi seorang pejantan tangguh…. Aaaahhhh…!!!” Maya memejamkan matanya, membiarkan dirinya terhanyut dalam kenikmatan hubungan badan mereka berdua.

“Sayang … Aaaahhhh… Sebentar lagi…. Aaaahhhh… Bunda mau keluarrrr….!!!!” pekik Maya denga tubuh menggigil keenakan.

Maya mengerutkan dahinya, menahan gelombang kenikmatan yang semakin intens membakar seluruh tubuh dan jiwanya. Ia berusaha sekuat tenaga mengendalikan dirinya saat merasakan gerakan penis Nathan yang terus menerus menghantam bagian terdalam tubuhnya. Rasanya semakin besar, panas, keras, dan berdenyut hebat, seolah-olah memuncak seperti bom yang siap meledak.

Dengan penuh harap, Maya mengerahkan segenap tenaganya untuk menahan dirinya yang sudah mencapai titik kritis puncak kenikmatannya sendiri. Dia ingin muncrat bersama Nathan. Hasrat ini tiba-tiba saja muncul dan bertunas di dalam hatinya, sebelum tumbuh dengan cepat seolah ingin menguasai dirinya.

“Ah ah ah … Sebentar lagi aku akan muncrat, Bunda….” Bisikan lembut Nathan di telinga ibunya membuat mata Maya yang tadinya terpejam berusaha menahan orgasmenya menjadi terbuka lebar kembali.

Maya lalu dengan penuh gairah menjadi semakin bersemangat dan berusaha dengan sepenuh hati menggoyangkan seluruh tubuhnya, menstimulasi setiap jengkal tubuh Nathan dan vaginanya dengan sekuat tenaga semakin kencang meremas-remas penis Nathan dan semakin liar memijiti setiap bagian tongkat yang tertanam sangat dalam hingga menghujam rahimnya tersebut dengan seluruh otot-otot yang ada di dalam liang cintanya. Nathan yang terkesima begitu terperangah dengan tarian cabul ibunya.

“Aku Kelluuaarrr… Bunda…. Uuggghhh…!!!”

Nathan yang sudah tidak tahan lagi langsung saja menembakkan seluruh muatan misilnya yang telah begitu panas berkedut-kedut mencapai ukuran maksimalnya. Cairan panas Nathan yang berwarna putih dengan tekanan tinggi dengan ganas melesak masuk di tembakkan langsung ke dalam rahim Maya dari ujung penisnya yang tertancap di bagian terdalam vagina Maya.

“Ooooohhh Dewa yang agung!!!! Aaaakkkhhhh…!!! Aaaahhhh…!!! Aaaakkkhhhh…!!! Di dalam…!!!! Di dalamku rasanya nikmat sekaliii…!!!!” Maya berteriak keras melengking. Erangan nakalnya bergema memenuhi seluruh ruangan.

Seluruh otot-otot di sepanjang dinding dalam vagina Maya dengan rakus melahap dan memerah batang penis Nathan yang berada di dalam cengkramannya. Nathan dengan penisnya yang masih terus muncrat berusaha menggesek-gesekkan batang kejantanannya di dalam lembah kewanitaan Maya yang begitu kencang menjepitnya kuat-kuat seolah tidak ingin melepaskan tongkat pusaka yang dicengkeram oleh vagina Maya.

Nathan menarik dan menyodokkan selangkangan dan pinggulnya dengan sepenuh tenaga, membuat batang kenikmatan yang masih memuncratkan lahar putihnya tanpa henti terus bergesek-gesekan dengan setiap bagian dalam lubang kenikmatan Maya, mengaduk-aduk dan mengacak-ngacak lubang nikmat ibunya sementara setiap kedutan dan remasan dari otot-otot vagina Maya yang dengan tamak terus memerah batang penis Nathan mengirimkan sensasi nikmat tak tertahankan pada pemuda tampan itu.

Nathan dan Maya tenggelam dalam kenikmatan yang saling mereka berikan satu sama lainnya. Maya tak henti-hentinya meracau seperti orang kesurupan, mengeluarkan segala erangan nakal dan melampiaskan perasaan hebat yang melanda hatinya, mencurahkan segalanya di hadapan laki-laki yang sedang menyetubuhinya.

“Aaaakkkhhhh…!!! Eenaaaakkk…!!! Enaak sekali!!!! Nathan…!!! Kontolmu enak banget!!! Aaaakkkhhhh…!!! Keluar!!!! Aku mau keluar lagiii!!!! Aaaakkkhhhh…!!! Aaaakkkhhhh…!!! Muncrat…! Aku muncrat lagi!!!!!” prkik Maya sambil melentingkan tubuhnya dan bergetar hebat penuh suka cita dan berkedut-kedut tiada henti di atas selangkangan Nathan. Paras wajahnya yang begitu cantik jelita membuat ekspresi cabul yang begitu menggairahkan di hadapan mata Nathan. Kedua bola matanya yang indah bergulir ke atas.

Maya kembali mengalami orgasme hebat akibat pergesekan kelamin dan peraduan selangkangan mereka berdua sementara Nathan masih saja memuncratkan muatan lahar panas yang diangkut oleh misilnya yang langsung menembak ke dalam vagina Maya hingga memenuhi seisi rahimnya sampai tumpah-ruah ikut muncrat keluar bersama dengan cairan nektar yang dihasilkan oleh vagina Maya sendiri.

“Apa iniii….!? Aaaakkkhhhh…!!! Aaaakkkhhhh…!!! Ini terlalu nikmat…! Aaaakkkhhhh…!!! Tidaak…. Nathan… berhenti… berhenti….!!!! Aku bisa gilaaa…!!!! Aaaakkkhhhh…!!! Aaaakkkhhhh…!!!” Jerit Maya dalam hatinya.

Kenikmatan yang begitu hebat mengguyur sekujur tubuhnya dan api nafsu yang dengan hebat berkobar-kobar membakar jiwanya membuat Maya merasakan puncak kebahagiaan seorang wanita yang teramat sangat. Akhirnya setelah mengalami orgasme yang sangat hebat dan dahsyat berturut-turut, Maya terkulai lemas di pangkuan Nathan dengan menyandarkan tubuhnya di dada bidang Nathan. Nathan dengan penuh kelembutan memeluk tubuh Maya hingga penisnya berhenti berkedut-kedut di dalam vagina ibunya yang masih tetap mencengkeram batang kenikmatannya dengan penuh kekuatan.

Nathan memeluk erat tubuh Maya dengan tangan kirinya. Tangan kanan Nathan bergerak perlahan, menyentuh punggung Maya yang basah oleh keringat. Sentuhannya lembut dan penuh perhatian. Dengan perlahan, Nathan mendekatkan wajahnya ke kening Maya, lalu mengecupnya dengan penuh kasih. Ciuman itu terasa dalam, seolah Nathan ingin menyalurkan seluruh rasa cinta yang ia rasakan untuk Maya.

Nathan membaringkan tubuh Maya dengan hati-hati di atas kasur yang lembut. Perlahan, tubuhnya terpisah dari Maya, membuat kontak fisik mereka terlepas sepenuhnya. Nathan kemudian merebahkan dirinya di samping Maya, memandang wajahnya yang tenang. Dengan gerakan lembut, dia menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di dahi Maya, lalu mengecup keningnya sekali lagi, penuh kasih. Maya pun membuka matanya perlahan, menatap Nathan dengan senyum lembut. Kedua telapak tangannya terangkat, kemudian menangkup pipi Nathan dengan sentuhan yang tenang dan hangat.

Maya menatap Nathan dengan senyum tipis lalu berkata, “Tadi itu hal yang paling nikmat yang pernah Bunda rasakan. Kamu benar-benar menjadi pejantan tangguh yang membuat Bunda sangat bahagia.”

Nathan merespons dengan tenang, “Aku senang kalau Bunda merasa bahagia. Memang itu yang aku inginkan, membahagiakan Bunda.”

Maya membulatkan matanya saat merasakan sesuatu yang keras menyentuh pahanya. “Penis kamu masih keras,” ucapnya dengan nada terkejut. Ia lalu meraih kejantanan Nathan dengan tangannya, mencoba memastikan apa yang dirasakannya. “Aku tidak percaya, bagaimana bisa masih keras seperti ini?”

Nathan, yang tak kalah terkejut, menatap Maya dengan bingung. “Aku juga tidak tahu. Aku nggak percaya penisku masih seperti ini,” jawabnya sambil mengernyitkan dahi, mencoba memahami apa yang terjadi.

Maya kemudian menatap Nathan sambil berpikir, “Coba ingat-ingat, kamu makan apa tadi? Mungkin makanan itu yang bikin penismu keras terus begini.”

Nathan terdiam sejenak, mencoba merenung, lalu menggelengkan kepala. “Aku nggak makan yang aneh-aneh. Semua yang kumakan tadi cuma makanan biasa, yang ada di meja makan,” jawab Nathan dengan nada bingung.

Nathan masih dalam kebingungan ketika matanya menangkap cahaya redup dari pantulan cermin di depan. Posisi tubuhnya yang menghadap lemari Maya membuatnya jelas melihat cahaya itu berasal dari cincin di jarinya. Cahaya lembut itu tampak aneh baginya, dan seketika, firasat muncul dalam pikirannya. Nathan merasa cincin tersebut mungkin menjadi penyebab kejantanan yang tak kunjung melemas. Diam-diam, dia memutuskan untuk melepas cincin itu di belakang punggung Maya, berusaha tidak menarik perhatiannya. Sesaat setelah cincin terlepas, penis Nathan perlahan melemas, seperti firasatnya memang benar.

Beberapa detik berselang Maya menatap Nathan dan berkata, “Penis kamu melembek.”

Nathan tersenyum, merasa lega. “Syukurlah,” katanya sambil tertawa kecil. “Kalau terus tegang, jangan-jangan Bunda bakal kewalahan.”

Maya, sambil tersenyum menggoda, membalas, “Kewalahan? Justru aku pengen penis kamu tegang terus.”

Nathan tertawa kecil mendengar ucapan Maya, lalu berkata, “Mudah saja bikin dia tegang lagi, nggak usah khawatir.” Ia menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, “Tapi sekarang aku pengen istirahat dulu. Kita ngobrol aja dulu, ya?”

“Apa yang ingin kamu obrolkan?” raut Maya berubah seketika terlihat ada kecemasan di sana.

“Aku hanya ingin bertanya, kemapa Chelsea dan Lusi tidak pulang? Seharusnya jika tahu ayahnya meninggal, mereka pulang,” tanya Nathan.

Maya pun langsung tersenyum dan berkata, “Cici dan Sisi tidak menganggap Denis itu ayahnya. Mereka tidak ingin mengakui kalau Denis itu ayahnya. Kedua gadisku itu merasa ayahnya sudah meninggal dunia.”

Nathan mengangguk pelan, mencerna kata-kata Maya. “Jadi, meskipun Denis punya roh Alex, mereka tetap tidak mau mengakuinya sebagai ayah?”

Maya tersenyum tipis, menyadari kebingungan Nathan. “Iya, Cici dan Sisi tidak pernah bisa menerima itu. Bagi mereka, Denis hanya tubuh orang lain, bukan ayah mereka, meskipun rohnya milik Alex. Mereka tidak setuju sejak awal ketika aku memasukkan roh Alex ke dalam tubuh Denis.”

Nathan menatap Maya dengan raut serius. “Tapi kenapa mereka tidak bisa melihat ini sebagai kesempatan? Bukankah ini seperti cara untuk mempertahankan ayah mereka?”

Maya menggelengkan kepala. “Buat mereka, roh ayah mereka harusnya dibiarkan pergi dengan tenang, bukan disimpan di tubuh orang lain. Mereka merasa aku mengganggu keseimbangan. Itulah kenapa, walaupun Denis adalah Alex dalam satu sisi, mereka tetap menolak kehadirannya.”

Nathan menghela napas, mencoba memahami. “Aku mengerti sekarang. Jadi itulah sebabnya mereka tidak pulang. Bagi mereka, Alex sudah pergi sejak lama.”

Maya mengangguk lagi. “Mereka sudah menganggap ayahnya meninggal dunia secara alami. Bagi Cici dan Sisi, tidak ada Denis, hanya ada Alex yang sudah pergi dengan damai.”

Nathan memperhatikan Maya dengan penuh rasa ingin tahu. “Sebenarnya seperti apa Cici dan Sisi? Maksudku, bagaimana karakter mereka?” tanyanya sambil mengenakan kembali cincin brajawali di jari manisnya tanpa sepengetahuan Maya.

Maya tersenyum, matanya berbinar saat ia mulai menjelaskan. “Cici dan Sisi itu gadis-gadis yang cantik. Mereka periang dan selalu membawa kebahagiaan bagi Bunda.” Ia melanjutkan, “Mereka juga memiliki gaya hidup yang sederhana dan tidak berlebihan, baik dalam penampilan maupun perilaku.” Nathan mengangguk, mendengarkan dengan seksama. Maya melanjutkan, “Keduanya selalu menghargai pandangan berbeda dan terbuka dalam segala hal. Mereka tidak pernah merasa ragu untuk berbagi pemikiran dan mendengarkan pendapat orang lain.”

Nathan tersenyum mendengar penjelasan Maya. “Pasti menyenangkan punya adik seperti Cici dan Sisi,” katanya.

Maya menghela napas, terlihat sedikit kecewa. “Sangat disesalkan mereka memilih studi di Australia. Padahal, Bunda ingin mereka selalu dekat sama Bunda di sini.”

Nathan mengangguk, lalu bertanya, “Apa motivasi mereka kuliah di Australia?”

Maya menjawab, “Mereka ingin hidup mandiri.”

Nathan tertawa kecil. “Aku sulit percaya dengan alasan itu. Aku yakin kalau Cici dan Sisi sangat sering meminta uang sama Bunda.”

Maya terkikik, tidak bisa menahan diri. “Kamu benar. Mereka memang sering meminta uang padaku.”

Nathan pun tersenyum, dan tak lama Nathan bertanya, “Bunda, bagaimana keadaan Bunda sekarang? Apakah Bunda sudah merasa lebih baik dan bisa melupakan Alex?”

Maya menghadapi Nathan dengan senyuman yang tulus. “Hmm, melupakan seluruhnya memang belum bisa,” jawabnya, “tapi aku merasa lebih baik. Sejak kamu memberiku semangat, semuanya terasa lebih ringan.”

Nathan kemudian mencium kening ibunya, lalu berkata. “Aku senang mendengarnya.”

Maya mengingat kembali kata-kata Nathan. “Saat kamu mengatakan bahwa Bunda adalah orang yang membangun semua ini, itu sangat menyentuh Bunda. Bukan hanya karena Alex, tapi karena keteguhan dan kekuatan diri Bunda sendiri.” Dia melanjutkan, “Kamu juga mengatakan, dulu saat Bunda belum punya apa-apa, Alex memang membantu Bunda. Tapi yang membuat Bunda bertahan dan sampai di puncak seperti sekarang ini adalah diri Bunda sendiri. Itu yang menyadarkan Bunda dan membuat cepat melupakan kesedihan Bunda.”

Nathan tersenyum, merasa senang mendengar Maya menyerap semua masukan yang diberikannya. “Aku bangga padamu, Bunda.”

Maya mengangguk, matanya berbinar. “Terima kasih, anakku yang nakal. Kamu benar-benar mampu menyadarkan Bunda.” Tiba-tiba, Nathan merasakan tangan Maya membelai kejantanannya yang setengah bangun. “Sayang,” bisiknya, suaranya lembut namun penuh hasrat, “Bunda ingin meneruskan pertempuran kita.”

Nathan pun tersenyum, “Rupanya Bunda sudah kecanduan dengan penisku ya …”

Maya mendesah, matanya berbinar. “Hmm, Bunda memang kecanduan dengan penismu, anak nakal …” jawabnya dengan nada menggoda.

Nathan dan Maya saling meraba lembut, jari-jari mereka menyentuh tubuh satu sama lain dengan penuh rasa. Ciuman mereka semakin dalam, membawa mereka pada keinginan yang tak terhindarkan. Dengan penuh gairah, mereka melanjutkan ke penyatuan tubuh, merasakan kehangatan dan kedekatan yang luar biasa. Setiap gerakan mengalir alami, menciptakan momen-momen yang menyenangkan bagi keduanya. Mereka tidak puas hanya sekali; hasrat mereka membuat mereka terus kembali lagi, menjelajahi tubuh satu sama lain dalam beberapa kali sesi yang penuh kenikmatan. Dalam persetubuhan tersebut Maya kalah berkali-kali, tetapi dia tidak pernah menyerah. Meskipun mengalami kekalahan telak, Maya terus menantang Nathan untuk melakukannya lagi dan lagi. Akhirnya, setelah semua itu, mereka terbaring kelelahan di ranjang, senyum puas menghiasi wajah mereka, merasa bahagia dengan malam yang telah mereka lalui bersama.


Nathan dan Maya menikmati sarapan pagi di meja yang telah disiapkan. Piring berisi roti panggang, telur, dan segelas jus jeruk tersaji rapi. Keduanya terlihat bahagia, berbagi senyuman dan tawa. Nathan memperhatikan Maya dengan seksama. Ia merasakan suasana hati Maya kini sudah normal, seperti hari-hari sebelumnya. Maya tampak lebih ceria, senyumnya merekah saat mereka berbincang-bincang ringan. Obrolan tentang topik-topik sepele mengalir lancar. Mereka tertawa bersama, dan suasana di sekitar mereka terasa hangat dan nyaman.

Nathan menghentikan sarapan dan obrolannya ketika ponsel di saku kemejanya berbunyi. Suara nada dering itu memecah suasana santai yang sedang berlangsung. Ia merogoh saku kemeja dan melihat layar ponsel yang menunjukkan nama Ida. Tanpa ragu, Nathan segera mengangkat telepon tersebut.

Nathan menyapa Ida dengan ramah. “Halo, Ida. Bagaimana?”

Ida langsung saja pada inti pembicaraan. “Boss, pihak Ronny ingin bertemu denganmu pada hari Kamis tengah malam di puncak Gunung Brajamusti.”

Nathan merasa heran. “Kenapa pertemuan itu harus di Gunung Brajamusti dan tengah malam?”

Ida menjawab, “Aku tidak tahu motivasi Ronny meminta hal itu. Tapi aku memprediksi dia sudah merencanakan sesuatu. Hati-hati, Boss.”

Nathan mengangguk, meskipun Ida tidak bisa melihatnya. “Terima kasih atas informasi dan nasihatnya.”

Sambungan telepon terputus. Nathan merenungkan apa yang baru saja disampaikan Ida, pikiran tentang pertemuan itu berputar di kepalanya.

Maya langsung berkata, “Ayahmu ya …”

Nathan menatap Maya, lalu mengangguk pelan. “Ronny meminta pertemuan denganku di puncak Gunung Brajamusti pada hari Kamis tengah malam.”

Maya hanya tersenyum ringan. “Berikan saja Gunung Brajamusti itu padanya.”

Nathan terkejut mendengar ucapan Maya. “Mengapa Bunda berkata seperti itu?”

Dengan santai Maya menjawab, “Ayahmu akan digilas dan mati oleh Gunung Brajamusti.”

Nathan kembali terkejut. “Bagaimana bisa Bunda berkata seperti itu?”

Maya menatap Nathan, wajahnya sedikit berubah menjadi sendu. “Bunda tahu sedikit tentang tambang emas di Gunung Brajamusti. Dulu tambang itu milik kakekmu. Dia pernah berkata pada Bunda kalau tambang itu adalah warisan leluhur kalian. Jika ada orang yang ingin menguasainya dengan cara yang salah, maka gunung itu akan menyerang orang tersebut, yang bisa menyebabkan nyawanya hilang.” Ucapan Maya terhenti sejenak dan Maya melanjutkan dengan suara lebih serius, “Kalau nyawa yang hilang, bagi Bunda tidak jadi masalah. Tapi yang lebih Bunda takutkan adalah kutukan kepada orang yang menguasai tanpa hak. Kutukan itu membuat hidup susah dan menderita sepanjang hidupnya.” Maya menggeleng pelan. “Bunda tidak ingin hidup susah dan menderita sepanjang hidup.”

Nathan menatap ibunya dengan bingung. “Bunda benar-benar percaya pada mitos itu?”

Maya menatap Nathan dengan serius. “Sangat percaya. Dulu, kakekmu pernah memberikan tambang emas itu pada ayahmu.”

Nathan mendengarkan dengan seksama, alisnya berkerut. Maya melanjutkan, “Tak lama setelah tambang itu diberikan pada ayahmu, tiba-tiba kandungan emas di gunung itu menghilang begitu saja. Kehidupan kami benar-benar melarat setelah itu.” Maya berhenti sejenak, tatapannya menerawang seolah mengingat masa lalu yang suram. “Untuk mendapatkan sesuap nasi saja sangat susah. Bunda bahkan harus meminta belas kasihan orang lain untuk makan. Untuk membeli susu buatmu waktu itu, Bunda harus mengandalkan kebaikan orang lain.”

“Saat itulah Alex datang?” tanya Nathan ingin tahu versi Maya.

Maya menggeleng pelan, menatap meja sejenak sebelum kembali melihat Nathan. “Bunda sudah lama kenal Alex sebelum keadaan Bunda yang serba kesusahan,” katanya dengan suara rendah. Nathan menatap ibunya, menunggu penjelasan lebih lanjut. Maya melanjutkan dengan nada hati-hati, seolah setiap kata yang diucapkannya membawa beban tersendiri. “Tapi memang Alex lah yang menolong Bunda dari kemelaratan.” Nathan sedikit mengernyit, merasakan ada sesuatu yang lebih besar di balik cerita ini. Maya terdiam sejenak, lalu dengan ragu-ragu melanjutkan, “Sebenarnya… Alex dan Ronny bersahabat baik.”

“Terus … Apa yang terjadi …?” tanya Nathan sangat hati-hati.

Maya menghela napas panjang, wajahnya berubah benar-benar suram. “Seharusnya Bunda mengatakannya dari dulu padamu,” Maya berkata pelan, suaranya dipenuhi penyesalan. “Bunda punya hubungan terlarang dengan Alex.” Nathan menatap ibunya dengan tenang karena Nathan pernah mendengar hal itu. “Alex begitu baik,” lanjut Maya dengan nada getir, “dan dia punya sifat yang membuat Bunda terpikat… pantang menyerah. Sifat itu yang membuat Bunda menerima dia sebagai kekasih gelap Bunda.”

“Akhirnya ayah tahu …” ujar Nathan.

“Ya … Dia murka sekali dan membawamu pergi saat kamu masih bayi …” jawab Maya sambil mengangguk sedih.

“Apakah Bunda tahu … Alasan lain ayah membawaku pergi saat aku masih bayi?” tanya Nathan pelan-pelan untuk membuka tabir gelap di keluarganya.

“Tidak … Bunda tidak tahu … Apa yang kamu tahu?” Bola mata Maya membulat dan keningnya berkerut, memperlihatkan ekspresi terkejut sekaligus cemas.

“Aku ingin mengajak Bunda menjawab teka-teki ini. Aku ingin Bunda menganalisisnya dengan keadaan kita sekarang,” ungkap Nathan mengajak berpikir Maya.

Maya masih terdiam, matanya memandang dalam-dalam ke arah Nathan. “Apa maksudmu, Nathan?” tanyanya, suaranya terdengar lebih tenang, tapi ada ketegangan yang jelas di sana.

Nathan menarik napas dalam, mencoba merangkai kata yang tepat. “Bunda, ada yang mengganjal di pikiranku,” ujarnya pelan, menatap Maya. “Kenapa ayah membawaku pergi saat aku masih bayi? Bunda selalu bilang dia hanya meninggalkan Bunda, ya mungkin karena sakit hati, tapi aku merasa ada lebih dari itu.”

Maya menatap Nathan, ekspresinya penuh kebingungan, “Bunda benar-benar tidak mengerti.”

Nathan menghela napas, lalu berkata, “Karena aku pewaris tambang itu, Bunda. Ayah membawaku jauh, padahal seharusnya dia meninggalkan aku saja agar dia tidak perlu repot mengurusku. Apakah Bunda tidak merasakan ada yang aneh di sini.”

Maya menatap Nathan lebih dalam, tatapannya seolah mulai memahami maksud putranya, “Dia pergi denganmu karena…” Maya terhenti sejenak, lalu menggeleng pelan. “Ronny membawamu pergi karena dia tahu … Ya, dia tahu kalau kamu adalah pewaris Gunung Brajamusti … Bukan begitu maksudmu?”

“Ya, seperti itulah …” Nathan tersenyum sambil mengakui kalau Maya memang analis sejati. “Apakah Bunda tahu dari mana ayah mengetahui kalau aku yang masih bayi adalah pewaris Gunung Brajamusti?” lanjut Nathan mencoba sedikit demi sedikit membawa arah pembicaraan kepada yang ingin ia ketahui.

“Bunda sama sekali tidak tahu, Nathan … Untuk masalah ini Bunda buta sama sekali,” jawab Maya jujur.

Nathan mengangguk, lalu melanjutkan, “Ada dua versi mengenai bagaimana ayah mengetahui bahwa aku adalah pewaris Gunung Brajamusti saat aku masih bayi. Versi pertama adalah ayah diberitahu oleh kakek. Versi kedua, ayah diberitahukan oleh seorang dukun sakti yang juga guru kebatinannya.”

Maya tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi bingung dan khawatir. Nathan mengamati setiap detil perubahan di wajah ibunya. Ada sesuatu yang membuat Maya ragu untuk membagikan informasi lebih lanjut. Nathan merasa bahwa ada aspek dari latar belakang mereka yang disembunyikan oleh Maya. Maya menunjukkan kegugupan yang tidak dapat disembunyikan. Gerakannya yang defensif semakin meyakinkan Nathan bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin disembunyikan oleh ibunya.

Nathan menatap ibunya dengan serius. Ia merasa saatnya untuk meminta kejujuran. “Bunda,” katanya, “Aku ingin sekali Bunda menceritakan sejarah keluarga kita sejujur-jujurnya. Aku punya tanggung jawab untuk menyelamatkan seluruh anggota keluarga kita.” Nathan menekankan kata-kata itu, berharap Maya memahami betapa pentingnya hal ini. Ia ingin mengetahui segala sesuatu yang mungkin terkait dengan masa lalu mereka dan bagaimana hal itu mempengaruhi masa depan. Nathan menunggu dengan harap-harap cemas, berusaha memberi dorongan agar Maya terbuka.

Karena Maya tidak menjawab dalam waktu yang cukup lama, Nathan pun akhirnya mengajukan pertanyaan, “Bunda, bagaimana hubungan Bunda dengan kakek Permana?” tanyanya, suaranya penuh ketegasan.

Saat Nathan menyebut nama kakek Permana, Maya terlonjak kaget, namun sikapnya tetap waspada. Matanya menyempit, dan alisnya terangkat, memberikan kesan bahwa ia tidak ingin menunjukkan ketidakpastian. Dia tetap duduk dengan postur tegak, tetapi napasnya sedikit tercekat. Maya menatap Nathan dengan sorot mata tajam, berusaha menutupi kegemparan yang melanda dalam dirinya. Dari gesture ini, Nathan semakin yakin bahwa ada sesuatu yang sangat rahasia yang Maya sembunyikan.

Maya berdiri sambil menatap tajam pada Nathan. Tatapannya bagaikan singa yang ingin menerkam mangsanya. “Jangan sekali-kali lagi membahas tentang kakekmu! Ingat itu baik-baik!!!” suaranya menggeram dan Maya menggerakkan telunjuknya ke arah Nathan, menandakan kemarahannya yang sangat mendalam.

Nathan adalah sosok yang tak pernah merasa takut. Namun, saat melihat kemarahan Maya seperti ini, hatinya menciut. Aura kemarahan Maya begitu menakutkan. Pandangannya tajam dan mengintimidasi. Gerak tubuhnya menunjukkan kekuasaan dan dominasi. Nathan merasakan perubahan dalam dirinya. Kekuatan yang biasanya ada padanya seolah menguap.

Maya langsung melangkah keluar dari ruang makan. Dia tidak menoleh lagi. Akhirnya Nathan bisa bernapas lega. Namun, rasa lega itu tidak berlangsung lama. Pikiran Nathan mulai berputar. Ia merenungkan penyebab kemarahan Maya yang sebegitu hebatnya. Kenapa ketika membahas kakeknya Maya bereaksi seperti itu? Pertanyaan ini terus menghantuinya. Nathan mencoba mengingat kembali setiap percakapan yang terjadi antara mereka barusan. Rasa penasaran dan kebingungan membuatnya merenung lebih dalam. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kemarahan itu.

Nathan meninggalkan ruang makan. Dia pun berjalan melewati koridor, mengambil kunci mobil, dan keluar menuju mobil. Udara pagi terasa segar saat Nathan mengemudikan kendaraan menuju gedung perusahaan. Setibanya di sana, Nathan memarkir dan melangkah masuk melalui pintu utama. Saat melintasi lobi, para pegawai menyapa pemuda itu. Nathan membalas dengan senyum dan melanjutkan ke lift, kemudian menekan tombol lantai kantornya.

Nathan keluar dari pintu lift dan melangkah menuju ruangan kerjanya. Saat dia memasuki ruangan Anggi, senyumnya muncul. Dia melihat Livia sedang berbincang dengan asistennya, Anggi. Livia terlihat ceria dengan tawa yang hangat. Dia berlari kecil, menghampiri Nathan yang baru saja datang. Livia tidak ragu. Dia langsung memeluk Nathan dengan kedua lengannya menggantung di leher Nathan, mengabaikan tatapan Anggi yang tersipu malu.

“Kenapa kamu jarang muncul dan jarang menghubungiku?” tanya Nathan sambil memegang pinggul Livia.

Livia tersenyum nakal, “Harusnya cowok yang nanya kabar cewek, bukan sebaliknya,” jawabnya, sambil mengedipkan mata.

Nathan tertawa, “Aku bingung mau menghubungi cewek karena terlalu banyak,” balasnya sambil tersenyum lebar.

Mendengar jawaban Nathan, “Dasar playboy,” ucapnya, sambil mengerucutkan bibirnya.

Nathan tertawa mendengar perkataan Livia, “Ayo masuk ke ruanganku,” ajaknya kemudian.

Livia mengikuti Nathan ke dalam ruangannya. Begitu masuk, mereka duduk di sofa panjang bersebelahan. Lengan Livia terus melingkari lengan Nathan.

“Aku yakin kamu punya cowok idaman baru,” kata Nathan sambil tersenyum.

Livia langsung cekikikan. “Hi hi hi … Kok kamu tahu?” tanyanya dengan nada genit.

Nathan tertawa, “Ha ha ha … Semua orang kira-kira sama. Kalau jarang bertemu, berarti punya kesibukan atau pasangan baru.”

Livia masih dengan cekikikan, “Hi hi hi … Di kantorku ada cowok tampan dan perkasa yang lebih menarik daripada kamu, lho!”,” ucapnya sambil menyenggol lengan Nathan.

Nathan pura-pura merajuk. “Loh, serius? Aku yang sudah berusaha tampil oke, ternyata masih kalah dengan cowok itu?”

“Dia memang bikin aku lengket,” Livia menjawab dengan semangat.

Nathan mengangkat alisnya, menganggap serius candaan itu. “Jadi, aku hanya pilihan atau cadangan ya? Coba bandingin, apakah dia bisa ngelawak seperti aku?”

Livia tertawa lagi. “Hi hi hi … Dia mungkin lebih tampan, tapi leluconnya… yah, pasti kalah sama kamu!”

“Pasti,” Nathan mengangguk, pura-pura percaya diri. “Jadi, aku masih bisa berharap jadi cowok idamanmu, kan?”

“Sepertinya,” Livia menjawab sambil tersenyum. Tawa mereka menggema, menandakan kehangatan di antara keduanya.

Mereka kemudian berbincang dengan santai, saling bertukar cerita dan tawa. Percakapan mengalir dengan mudah antara mereka. Livia menggoda Nathan dengan candaannya yang lucu, sementara Nathan membalas dengan senyuman. Suasana di sekitar mereka terasa ceria dan hangat. Tawa mereka mengisi ruangan, menciptakan suasana yang penuh kebahagiaan.

“Nathan, aku ingin membahas tentang peremajaan pegawai di perusahaanku,” kata Livia mendadak serius.

Nathan mengangkat alis, penasaran. “Maksudmu, mengganti pegawai yang sudah tua dengan yang lebih muda?” tanyanya, mencoba memahami.

“Ya, aku pikir di perusahaanku butuh ide dan energi baru. Pegawai-pegawai yang lebih muda bisa membawa semangat baru ke perusahaan,” jelas Livia.

Nathan tersenyum nakal. “Oh, jadi ini tentang menjaring cowok-cowok keren dan ganteng, ya?” ucapnya sambil tertawa.

Livia langsung mencubit lengan Nathan. “Ini serius, Nathan. Aku tidak sedang bercanda!” tegasnya, meski senyum masih menyeringai di wajahnya.

Nathan mengangguk, sedikit menahan tawa. “Oke, baiklah. Tapi bagaimana dengan pengalaman pegawai yang lebih tua? Mereka juga punya banyak pengetahuan.”

“Aku tahu. Tapi kadang-kadang kita butuh perspektif baru. Aku yakin, dengan pegawai yang lebih muda, kita bisa mengatasi tantangan yang ada,” jawab Livia, mencoba menjelaskan.

“Jadi, berapa banyak pegawai yang ingin kamu ganti?” Nathan bertanya, mulai serius.

“Aku pikir sekitar sepuluh hingga dua puluh orang. Kami perlu memperkuat tim inti dengan orang-orang yang lebih dinamis,” Livia menjawab.

Nathan mengangguk. “Oke, aku setuju. Tapi pastikan prosesnya dilakukan dengan bijak. Jangan sampai ada yang merasa tersisih,” katanya dengan nada serius.

Livia tersenyum, merasa lega. “Terima kasih, Nathan. Aku akan pastikan semuanya berjalan dengan baik. Kalau begitu aku pamit,” kata Livia sambil berdiri.

“Buru-buru banget?” Nathan coba menahan Livia sembari ikut berdiri.

“Pekerjaanku banyak sekali. Aku harus cepat kembali,” jawab Livia sambil melangkah menuju pintu, diikuti oleh Nathan. Namun, setelah beberapa langkah, Livia menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Nathan, dan berkata, “Hei, kamu harus tahu, asistenmu itu naksir berat padamu.”

Nathan menatap Livia dengan tatapan tidak percaya. “Serius? Ah, kamu hanya bercanda. Masa iya Anggi naksir padaku?” tanyanya, mencoba menegaskan.

“Kalau kamu tidak percaya, cobalah goda dia. Lihat reaksi dia,” katanya sambil mengedipkan mata.

Nathan tersenyum kecil sambil menggandeng lengan Livia dengan lembut, lalu membimbingnya menuju pintu. “Ayo, cepat keluar sebelum aku berubah pikiran,” ucapnya dengan nada bercanda, membuka pintu sambil mengisyaratkan agar Livia lekas pergi. Livia menatap Nathan sejenak, lalu dengan sengaja melangkah pelan, penuh gaya seperti seorang model, membuat Nathan tak bisa menahan senyumnya. Saat Livia akhirnya melewati pintu, Nathan pun menggelengkan kepala. Nathan berdiri di ambang pintu, menatap punggung Livia yang semakin menjauh. Sesekali Livia menoleh dan melempar senyum kecil ke arahnya, seolah menikmati permainan kecil di antara mereka. Nathan tetap berdiri di tempatnya, senyumnya tak memudar. Hingga akhirnya, Livia menghilang di ujung koridor. Setelah Livia tak lagi terlihat, Nathan menarik napas panjang lalu menghempaskannya perlahan.

Nathan baru saja akan memasuki ruang kerjanya ketika Anggi bersuara, “Saya tidak menyangka kalau Tuan Muda dekat dengan Livia,” katanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Nathan berhenti sejenak dan menoleh ke arah Anggi. “Dekat? Hmm, kami hanya teman biasa,” jawabnya sambil tersenyum, berusaha menegaskan bahwa hubungan mereka tidak lebih dari sekadar pertemanan.

Anggi mengangguk, tetapi matanya terlihat penuh makna. “Tapi, Livia memang pantas dikelilingi banyak teman pria. Dia cantik. Tak heran jika banyak yang menyukainya,” ungkapnya dengan tulus.

Nathan berdiri di ambang pintu ruang kerjanya, memikirkan kembali kata-kata Livia tentang Anggi. Pikiran itu terus berputar dalam benaknya. Setiap kali mereka berinteraksi, Nathan merasakan adanya ketertarikan seksual kepada Anggi yang sulit disembunyikan. Senyuman Anggi tampak menggoda, dan tatapannya sering kali penuh hasrat saat mereka berbicara. Nathan tergelitik oleh kemungkinan bahwa Anggi memiliki perasaan lebih dari sekadar profesional. Dorongan ini membangkitkan rasa percaya dirinya, membuatnya bersemangat untuk menggoda Anggi. Nathan melangkah mantap menuju meja Anggi. Dia duduk di sisi meja kerja Anggi dengan posisi yang lebih dekat. Wajahnya menghadap langsung ke arah Anggi.

“Anggi, kamu tahu tidak? Kamu tidak kalah cantik dibandingkan Livia,” kata Nathan, mencoba menciptakan suasana yang lebih akrab. Anggi terkejut mendengar pujian itu, tetapi dia hanya tersenyum. Nathan melanjutkan, “Mungkin yang membedakan kalian berdua hanya dalam penampilan. Livia berdandan bak model, sementara kamu terlihat natural. Menurutku, kecantikanmu itu lebih menawan.”

Anggi sedikit tersipu mendengar pujian tersebut. Dia merasa senang, tetapi mencoba menyembunyikan rasa malunya. Nathan melihat Anggi tersenyum dan merasa berhasil membuat Anggi merasa nyaman.

“Tuan Muda terlalu berlebihan memuji saya,” kata Anggi sambil menunduk, berusaha meredam rasa malunya.

Nathan tersenyum, “Aku serius. Kecantikanmu itu berbeda, lebih segar. Terkadang, tampil natural jauh lebih menarik daripada berdandan berlebihan. Bahkan aku sering mendapat kabar burung yang mengatakan aku ini boss yang bodoh karena telah membiarkan asisten pribadinya yang cantik.”

Anggi menggelengkan kepala, “Tuan Muda seharusnya tidak percaya kabar burung itu, saya lebih suka bekerja dengan serius daripada menarik perhatian.”

Nathan mengangguk pelan dan berkata, “Memang tidak salah apa yang mereka katakan. Sebagai orang yang berkuasa, seharusnya aku memanfaatkan kesempatan besar ini.”

Anggi berpura-pura tidak mengerti dan bertanya, “Kesempatan besar untuk apa, Tuan Muda? Saya mengerti maksudnya.” Dalam hati, Anggi sudah tahu arah pembicaraan Nathan menuju masalah yang sangat intim, tetapi dia memilih untuk tetap bersikap polos.

Nathan berpura-pura berpikir sejenak dan kemudian berkata, “Jika ada seseorang sepertiku yang memiliki asisten wanita cantik, menurut pendapatmu, seharusnya dia diapakan?”

Anggi terkikik kecil dan berkata, “Hi hi hi … Mungkin saya bukan tipe Tuan Muda.” Dia menundukkan kepala, menyembunyikan senyumnya, padahal sebenarnya dia tertarik pada Nathan dan berharap ada kesempatan untuk melakukannya.

Nathan berkata, “Aku tidak ingin dianggap bodoh. Aku ingin memanfaatkan kesempatan besar ini.”

Anggi mengangkat kepalanya dan menatap Nathan. Dalam sekejap, rasa birahi muncul dalam dirinya. Namun, Anggi hanya bisa menunggu perintah dari Nathan. Dia sadar bahwa tidak mungkin baginya untuk meminta terlebih dahulu. Keinginannya untuk Nathan semakin kuat. Keinginannya itu berputar-putar dalam benaknya.

Nathan tersenyum, melihat Anggi yang masih terdiam. “Anggi, bagaimana kalau kita makan siang di luar nanti? Aku tahu tempat yang enak dan suasananya santai,” katanya, berusaha membuat suasana lebih ringan.

Anggi menatap Nathan dengan mata berbinar. “Tentu, Tuan Muda. Itu terdengar menyenangkan,” jawabnya dengan antusias. Hatinya berdebar mendengar ajakan itu. Rasa bahagia menyelimuti hatinya saat membayangkan waktu bersama Nathan. Anggi merasa bersemangat dan tidak sabar untuk pergi bersama atasannya.

Nathan kembali ke ruangannya. Dia duduk di meja kerjanya, mengambil napas dalam-dalam dan fokus pada tumpukan berkas di depannya. Dengan penuh konsentrasi, dia mulai membuka dokumen-dokumen yang harus diselesaikan. Nathan menelaah setiap halaman, mencatat poin-poin penting dan menandai bagian yang perlu perhatian lebih. Suasana di ruangan terasa tenang, hanya suara ketikan keyboard yang terdengar. Dia bertekad untuk menyelesaikan semua tugasnya agar bisa lebih leluasa di kemudian hari.

Bersambung​

1 thought on “CERBUNG – NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *