BAB 32
Sinar matahari pagi perlahan menyinari rumah megah yang berdiri kokoh di tengah lingkungan yang tenang, memantulkan cahaya lembut ke dinding-dinding putih dan jendela besar yang menghadap ke halaman luas. Pemilik rumah itu baru saja selesai sarapan dan kini duduk di ruang tengah, bersandar di sofa empuk menghadap televisi layar lebar. Maya dan Nathan duduk berdampingan di sofa, menonton berita yang sedang tayang. Sesekali mereka saling bertukar pandang sambil membicarakan topik yang muncul di layar. Maya memberi komentar ringan tentang perkembangan berita politik terbaru, sementara Nathan lebih tertarik pada berita ekonomi yang kemudian ditayangkan.
“Bun … Sebenarnya Cici dan Sisi itu orangnya gimana sih?” tanyanya sambil menatap ibunya dengan penasaran. “Aku ingin tahu sifat mereka.”
Maya tersenyum kecil mendengar pertanyaan Nathan. “Cici dan Sisi itu sebenarnya anak-anak yang baik,” jawabnya dengan nada lembut. “Tapi, mereka punya sifat yang keras dalam pendiriannya. Kalau ada yang berseberangan dengan pendapat atau keinginan mereka, biasanya mereka akan mempertahankannya sekuat tenaga.”
Nathan tersenyum mendengar jawaban ibunya. “Hm, jadi begitu, ya? Rasanya sifat itu malah mirip sekali sama Bunda,” katanya sambil tertawa kecil.
Maya ikut terkekeh mendengar komentar Nathan. “Oh ya? Padahal Bunda nggak ada niat menurunkan sifat itu ke mereka, loh!” balasnya sambil menggeleng pelan.
“Bunda … kira-kira Cici dan Sisi sampai di Jakarta jam berapa, ya?” tanyanya sambil sedikit membungkuk ke arah ibunya untuk mendengar lebih jelas.
Maya mengambil ponselnya sejenak untuk memeriksa catatan jadwal penerbangan. “Mereka terbang dari Sidney jam 10 pagi waktu Australia, jadi harusnya sampai Jakarta sekitar jam 1 siang nanti,” jawabnya sambil tersenyum.
“Hah? Kok sebentar banget, Bun?” Nathan terlihat bingung mendengar perkiraan waktu kedatangan itu.
Maya tertawa kecil melihat ekspresi Nathan. “Sebenarnya, perjalanan dari Australia ke Jakarta itu butuh waktu sekitar 7 jam lebih, Nathan,” jelas Maya. “Tapi karena ada perbedaan waktu 4 jam antara Sidney dan Jakarta, jadinya kelihatan seperti lebih singkat.”
“Oh, jadi itu karena beda waktu, ya?” Nathan mengangguk-angguk paham.
Maya meraih tangan Nathan dan menggenggamnya dengan lembut. “Nathan … Bunda sudah memikirkan saranmu soal asisten pribadi,” katanya pelan. “Sebenarnya, Bunda masih ragu untuk punya asisten pribadi. Bunda khawatir kehidupan pribadi Bunda jadi terusik,” lanjutnya sambil menghela napas kecil. “Banyak hal yang bersifat pribadi, belum lagi ada rahasia perusahaan yang selama ini Bunda jaga sendiri. Bunda takut nanti kewenangan Bunda justru diintervensi oleh orang lain, apalagi jika asisten itu harus tahu terlalu banyak.”
Nathan menoleh ke arah ibunya dan mengernyit sedikit, menunjukkan keheranannya. “Bunda … Bukankah Bunda adalah pemimpin yang mengatur semuanya?” kata Nathan dengan suara pelan namun yakin. “Bunda punya otoritas penuh atas semua rahasia, baik yang pribadi maupun urusan perusahaan. Jadi, menurutku, kekhawatiran Bunda itu sebenarnya nggak beralasan.”
Maya menggeleng pelan, lalu menatap Nathan dengan serius. “Nathan, meskipun Bunda punya otoritas penuh, itu bukan jaminan semua akan berjalan sesuai kehendak Bunda,” ujarnya tegas. “Begitu ada orang lain yang tahu hal-hal pribadi atau rahasia perusahaan, risikonya jadi berbeda. Sekali rahasia itu ada di tangan orang lain, Bunda bisa saja kehilangan kendali.”
Nathan terdiam sejenak, lalu dengan hati-hati ia bertanya, “Jadi sebenarnya, yang Bunda inginkan apa?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Maya menghela napas pelan sebelum menjawab. “Untuk sementara waktu, Bunda akan menjalankan semuanya sendirian dulu,” katanya dengan suara mantap. “Bunda butuh waktu untuk memastikan diri sebelum benar-benar melibatkan orang lain dalam urusan yang sangat pribadi ini.”
Nathan merangkul bahu ibunya dengan hangat. “Aku menghargai keputusan Bunda,” ujarnya dengan penuh pengertian. “Kalau Bunda merasa ini yang terbaik untuk sekarang, aku akan selalu mendukung apa pun yang Bunda pilih.”
Maya tersenyum dan menatap Nathan dengan penuh kasih. “Kalau begitu, berarti kamu harus tetap jadi pangeran Bunda, ya,” ujarnya dengan nada lembut.
Nathan mengerutkan keningnya, bingung mendengar ucapan ibunya. “Pangeran? Maksudnya apa, Bunda?” tanyanya heran, tak sepenuhnya paham maksud di balik sebutan itu.
Maya langsung mencubit perut Nathan dengan gemas. “Masa Bunda harus jelasin juga, sih?” katanya sambil terkekeh. “Pangeran itu ya kamu! Kamu yang selalu menemani Bunda tidur.”
Nathan terkekeh sambil berkata, “Oke, aku bakal selalu jadi pangerannya Bunda,” ujarnya sambil tersenyum lebar. “Tapi ada syaratnya. Aku minta privilege buat tidur sama siapa aja yang aku mau,” tambahnya dengan nada menggoda.
Maya tertawa kecil mendengar permintaan Nathan. “Oke, Bunda setuju, asal Bunda tetap jadi yang nomor satu di antara semua wanita yang ada di hidup kamu,” jawabnya sambil tersenyum jahil.
Nathan tersenyum lebar dan mengangguk. “Tenang aja, Bunda. Aku janji, Bunda akan selalu jadi yang nomor satu di sisiku,” balasnya dengan suara mantap, penuh keyakinan.
Nathan dan Maya melanjutkan obrolan mereka, kali ini membahas berbagai hal ringan. Mereka berbicara tentang rencana kegiatan keluarga saat Cici dan Sisi tiba di Jakarta dan juga membahas berbagai topik lain yang membuat suasana semakin hangat. Percakapan mengalir santai, membuat mereka larut dalam suasana yang menyenangkan hingga waktu berlalu tanpa terasa. Setelah pukul 10.30, Nathan dan Maya bersiap untuk pergi ke bandara menjemput Cici dan Sisi. Mereka keluar rumah dan menaiki mobil super mewah yang sudah disiapkan di depan. Nathan duduk di kursi pengemudi dan menjalankan mobil dengan santai, sementara Maya duduk di sebelahnya menikmati perjalanan sambil sesekali berbincang dengan Nathan. Selama perjalanan, mereka berbagi cerita dan tertawa ringan. Setelah dua jam di perjalanan, mereka akhirnya tiba di bandara. Nathan memarkir mobil dan bersiap menyambut kedatangan Cici dan Sisi bersama Maya.
Nathan dan Maya segera bergegas menuju ruang kedatangan, bergerak cepat di antara kerumunan orang yang memenuhi area bandara. Begitu tiba, keberadaan Maya langsung menarik perhatian banyak orang. Sebagai sosok yang dikenal luas oleh masyarakat, kehadirannya tidak terlewatkan begitu saja. Beberapa orang mendekatinya untuk meminta foto bersama, dan Maya meluangkan waktu dengan ramah untuk berpose di samping mereka. Di sela-sela itu, beberapa lainnya mengajaknya berbincang singkat, menanyakan kabar dan menyampaikan salam hangat. Setelah menyapa beberapa penggemarnya, Nathan dan Maya akhirnya duduk di kursi tunggu, menghadap pintu kedatangan.
Nathan tersenyum dan berbisik pelan, “Bunda ternyata populer banget, ya. Kayaknya malah lebih ngetop dari artis-artis terkenal,” katanya sambil tertawa kecil.
Maya mengangguk pelan, kemudian menjawab, “Itulah sebabnya Bunda sebenarnya enggan untuk keluar rumah. Bunda hanya akan keluar jika keadaan benar-benar memaksa, seperti sekarang ini.”
Nathan tersenyum nakal dan berkata, “Ternyata Bunda memang tidak siap jadi orang terkenal, ya? Harusnya Bunda bisa lebih enjoy dengan perhatian ini.”
Maya tertawa mendengar candaan Nathan. “Mungkin kamu benar,” ujarnya dengan senyum. “Tapi Bunda lebih suka menjalani hidup tanpa sorotan terus-menerus. Rasanya lebih nyaman ketika bisa beraktivitas tanpa terlalu banyak perhatian dari orang lain.” Dia menatap sekeliling, sedikit merasa lega saat melihat kerumunan mulai berkurang. “Tapi, kalau untuk keluarga, Bunda akan selalu siap,” tambahnya dengan penuh kasih.
Setelah beberapa menit menunggu, suara pengumuman di bandara terdengar, memberitahukan bahwa penerbangan dari Sidney, Australia, telah mendarat. Mendengar itu, Nathan dan Maya segera berdiri dari kursi tunggu, bersiap menuju area kedatangan untuk menyambut Cici dan Sisi. Mereka melihat sekeliling, memastikan mereka berdiri di tempat yang mudah terlihat oleh kedua gadis itu saat keluar dari pintu kedatangan. Maya merapikan sedikit rambutnya dan menarik napas dalam, sementara Nathan melirik jam tangannya, seolah ingin memastikan semuanya tepat waktu.
Beberapa saat kemudian, Maya dan Nathan melihat Cici dan Sisi muncul dari pintu kedatangan. Keduanya terlihat mendorong troli bagasi, sambil mengamati sekeliling, mencari sosok Maya dan Nathan di tengah keramaian. Maya melambaikan tangan untuk menarik perhatian mereka, dan wajah Cici serta Sisi langsung berseri-seri begitu melihat ibu dan kakaknya. Maya berjalan mendekat dengan senyum lebar, sementara Nathan mengikutinya dengan langkah antusias. Cici dan Sisi mempercepat langkah, dan akhirnya mereka semua bertemu dengan pelukan hangat, melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa.
Maya memeluk Cici dan Sisi bergantian, tersenyum hangat. “Akhirnya kita bertemu juga. Bunda benar-benar merindukan kalian,” ujarnya lembut, menatap mereka penuh kasih.
Cici membalas pelukan Maya erat. “Kami juga, Mommy. Rasanya lama sekali tidak bersama. Perjalanan panjang ini benar-benar sepadan.”
Sisi tersenyum pada Nathan sambil meraih tangannya. “Senang bisa bertemu denganmu, Kak. Kami sudah sangat menantikan saat ini,” katanya dengan tulus.
Nathan memeluk kedua adiknya dengan hangat. “Aku juga. Kalian akhirnya di sini, dan rasanya lengkap sekali bisa berkumpul lagi.”
Maya menghela napas lega, merasa bahagia melihat ketiga anaknya bersama. “Mari kita pulang. Bunda sudah menyiapkan segalanya untuk kita berkumpul. Kalian pasti lelah.”
Cici dan Sisi tersenyum, keduanya tampak bahagia, dan mereka pun beranjak bersama menuju mobil.
Nathan menilai kedua adiknya dengan cermat. Cici, dengan tinggi sekitar 165 cm, memiliki wajah anggun, rambut hitam terurai lembut, dan kulit kuning langsat yang bercahaya. Tubuhnya proporsional, dada berukuran kira-kira 32C, dan pinggul melengkung, membentuk lekuk alami yang memberikan kesan elegan. Gerak-geriknya lembut dan penuh pertimbangan, seolah-olah setiap langkahnya mencerminkan ketenangan.
Sisi berdiri lebih tinggi, sekitar 170 cm, dengan postur yang sedikit lebih tegas. Sama-sama memiliki kulit kuning langsat, Sisi juga berukuran dada sekitar 32C dan pinggul melengkung yang serupa, namun dengan cara membawa diri yang berbeda. Sisi tampak lebih tegap, penuh percaya diri, dan energik. Nathan menyadari betapa keduanya memiliki daya tarik unik, keindahan fisik yang jelas terpancar dan karakter yang menonjol pada tiap detil diri mereka.
Setelah memasuki mobil di parkiran bandara, Nathan membantu Cici dan Sisi memasukkan koper mereka ke dalam bagasi. Dengan hati-hati, ia memastikan semua barang terorganisir dengan baik agar tidak mengganggu ruang di dalam mobil. Maya, yang duduk di kursi penumpang depan di samping Nathan, tersenyum melihat ketiga anaknya. Senyum itu mencerminkan kebahagiaan dan rasa syukur karena mereka bisa bersama lagi. Cici dan Sisi duduk di kursi belakang, mengatur posisi duduk mereka agar nyaman selama perjalanan. Cici bersandar sedikit ke jendela, menikmati pemandangan luar, sementara Sisi memeriksa barang-barang yang mereka bawa.
Nathan menyalakan mesin mobil dan mulai mengemudi, mengikuti arus lalu lintas yang lancar. Suasana di dalam mobil terasa hangat dan nyaman, dipenuhi dengan kebersamaan dan keakraban. Musik lembut yang mengalun dari sistem suara mobil menambah kesan tenang, menciptakan suasana yang mendukung obrolan ringan antara mereka. Ketika mereka mendekati rumah, suasana di dalam mobil terasa semakin hangat dengan tawa dan cerita yang mengalir di antara mereka. Sesampainya di rumah, Nathan memarkir mobil di halaman. Mereka berempat keluar, mengambil koper, dan berjalan menuju pintu depan bersama Maya. Nathan membuka pintu dan masuk terlebih dahulu.
Setelah memasuki rumah, mereka semua berkumpul di ruang keluarga yang luas dan nyaman. Ruangan itu dihiasi dengan foto-foto keluarga dan berbagai kenang-kenangan dari perjalanan Maya. Cici dan Sisi meletakkan koper mereka di sudut ruangan, sementara Nathan membantu Maya melepaskan mantel yang dikenakannya. Maya mengajak mereka duduk di sofa empuk yang menghadap ke televisi besar.
Di atas meja, ada beberapa camilan dan minuman yang telah disiapkan sebelumnya. Cici mengambil sepotong kue dan menawarkan kepada Sisi, yang dengan senang hati menerimanya. Nathan mengambil tempat duduk di sebelah Maya, siap mendengarkan cerita dari Cici dan Sisi tentang pengalaman mereka di Australia.
Setelah beberapa waktu bercerita, Maya menatap kedua putrinya dengan rasa ingin tahu. “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar pacar kalian? Ryder dan Finnley?” tanyanya sambil tersenyum.
Cici menoleh ke arah Sisi, sebelum menjawab, “Ryder baik-baik saja, Mom. Dia baru saja mendapatkan beasiswa untuk program pertukaran mahasiswa di Eropa. Kami sedang merencanakan untuk bertemu akhir bulan ini.”
Sisi menyambung, “Finnley juga baik, Mom. Dia sedang sibuk dengan proyek seni di kampus. Kami baru saja merayakan ulang tahunnya minggu lalu.”
Maya mengangguk, terlihat senang mendengar kabar baik tentang kedua pemuda tersebut. “Senang mendengar itu. Kapan kalian berdua akan membawa mereka ke sini? Mommy ingin mengenal mereka lebih dekat,” ujarnya, penuh semangat.
Cici dan Sisi saling berpandangan, terkejut dengan sikap Maya yang begitu antusias. Cici, yang awalnya yakin bahwa ibunya tidak terlalu peduli dengan kehidupan pribadinya, tidak bisa menahan rasa tidak percayanya. “Mommy, serius? Kenapa tiba-tiba Mommy ingin mengenal Ryder dan Finnley? Bukankah Mommy tidak pernah suka pada mereka?” tanyanya, suaranya menggambarkan kebingungan.
Sisi, yang merasa situasi ini aneh, ikut menimpali, “Iya, Mom. Apakah Mommy benar-benar ingin bertemu mereka? Mommy selalu bilang mereka tidak cocok untuk kita. Apa yang berubah?”
Maya tersenyum, tetapi ada nada serius dalam suaranya. “Mommy hanya merasa sudah saatnya untuk melihat sendiri siapa yang dekat dengan kalian. Mungkin Mommy perlu memberi kalian kesempatan. Ini penting untuk Mommy agar bisa memahami pilihan kalian.”
Cici menggelengkan kepalanya, berbisik pelan, “Ini tidak bisa dipercaya. Sejak kapan Mommy jadi begitu terbuka?”
Sisi yang duduk di sebelah Cici juga tidak bisa menyembunyikan rasa herannya. “Aku benar-benar tak percaya Mommy bisa berubah seperti ini. Dulu, Mommy selalu bilang Ryder dan Finnley tidak cocok untuk kita,” ucapnya dengan nada bingung.
Maya mendengarkan gumaman mereka, dan meskipun ada keheranan di wajahnya, ia tetap tenang. “Terkadang, kita perlu memberi diri kita ruang untuk berubah, bahkan dalam cara berpikir. Dan, yang terpenting, Mommy ingin kalian bahagia.”
Cici menoleh ke arah Nathan, yang duduk di samping Maya. “Nathan, sepertinya kamu sudah memberikan virus yang sangat positif kepada Mommy kita,” katanya sambil tersenyum lebar. “Lihat, sekarang Mommy mau memberi kesempatan kepada Ryder dan Finnley.”
Nathan hanya tertawa ringan, merasa bangga. “Aku hanya mencoba untuk menunjukkan sisi baik dari mereka, Cici. Mungkin sudah saatnya Mommy melihat mereka dari perspektif yang berbeda.”
Cici melanjutkan, “Aku sangat berterima kasih padamu, Nathan. Kamu selalu bisa mengubah suasana menjadi lebih baik. Ini tidak mudah bagi kita, dan dukunganmu sangat berarti.”
Sisi menambahkan, “Iya, terima kasih, Kak. Kami tidak tahu bagaimana cara berbicara tentang mereka tanpa kamu di sini untuk mendukung kami. Kakak memang menjadi penengah yang baik.”
Nathan mengangguk, tetapi dia merasa sedikit terharu dengan pujian dari adik-adiknya. “Tidak perlu berterima kasih. Kalian berhak mendapatkan kebahagiaan, dan aku ingin membantu kalian mencapai itu.”
Saat keempat orang tersebut melanjutkan obrolan mereka, suasana di ruang keluarga semakin akrab. Tawa dan cerita mengalir dengan lancar. Namun, tiba-tiba, ponsel Nathan bergetar di saku kemejanya, menarik perhatian pemuda itu. Dia melihat layar ponselnya menampilkan pesan WhatsApp dari Darren. Isi pesan itu singkat dan langsung: Darren ingin bertemu dengan Nathan. Nathan merasa sedikit cemas, mengingat percakapan terakhir mereka yang tidak begitu baik. Akhirnya Nathan memutuskan untuk merahasiakan pesan itu dari Maya dan kedua adiknya.
Setelah menimbang sejenak, Nathan berpamitan kepada mereka. Dia berdiri dan memberi tahu keluarga bahwa dia perlu keluar untuk menyelesaikan sesuatu yang penting. Maya dan kedua adiknya tidak mencurigai apa pun dan mengangguk setuju, memberinya izin untuk pergi. Nathan melangkah keluar dari rumah dengan langkah pasti. Sesampainya di luar, dia menuju mobilnya yang terparkir di halaman. Saat duduk di dalam mobil, dia menghidupkan mesin dan menarik napas dalam-dalam, memikirkan pertemuan yang akan datang dengan Darren. Dengan tujuan yang jelas, Nathan mengemudikan mobilnya menjauh dari rumah, meninggalkan tawa dan kebersamaan keluarganya di belakang.
Nathan mengemudikan mobilnya dengan fokus. Jalanan kota mulai ramai dengan kendaraan lain saat dia memasuki pusat kota. Dia melewati beberapa gedung tinggi dan lampu-lampu neon yang menyala. Setelah beberapa waktu berkendara, dia tiba di sebuah restoran elit yang terletak di sudut jalan. Restoran tersebut terkenal dengan hidangan berkualitas tinggi dan suasana yang mewah. Nathan memarkir mobilnya dan melangkah keluar, dia melihat sekeliling, memperhatikan tamu-tamu lain yang berpakaian rapi dan suasana sibuk di dalam restoran.
Nathan memasuki restoran dan disambut oleh seorang pelayan yang ramah. Pelayan itu mengarahkan Nathan ke meja yang sudah disiapkan. Dia duduk dan mengambil napas dalam-dalam, merasa percaya diri dengan apa yang ingin dia bicarakan dengan Darren. Meja di dekat jendela memberinya pandangan langsung ke jalanan di luar, di mana orang-orang berlalu lalang. Nathan menunggu dengan sabar, yakin bahwa dia sudah siap untuk menghadapi diskusi yang akan datang.
Ketika menit berlalu, Nathan melihat sosok Darren memasuki restoran bersama adiknya, Rafael. Darren tampak percaya diri, mengenakan jas yang rapi, sementara Rafael mengenakan pakaian kasual yang stylish. Nathan melambaikan tangan untuk menarik perhatian mereka, dan keduanya segera berjalan menuju meja Nathan.
Darren menghampiri meja dengan senyum, lalu berkata, “Maaf, Nathan, sudah membuatmu menunggu. Aku harap kamu tidak terlalu lama di sini.”
Nathan membalas dengan nada santai, “Tidak apa-apa, Darren. Santai saja. Aku baru saja tiba, jadi kamu tidak perlu khawatir.”
Rafael yang berdiri di samping Darren menambahkan, “Senang bisa bertemu denganmu lagi.”
Setelah pertukaran salam, Nathan memanggil pelayan yang melintas. Pelayan itu segera mendekat dengan senyuman ramah. Nathan melihat ke menu yang terletak di atas meja, mempertimbangkan pilihan yang ada.
“Nah, kami ingin memesan,” kata Nathan kepada pelayan. “Aku akan mengambil steak medium rare dengan sisi sayuran panggang. Untuk minum, aku akan pesan air mineral saja.”
Darren melihat sekilas ke menu dan menambahkan, “Aku juga akan memesan steak, tetapi dengan saus jamur. Dan untuk minuman, aku mau segelas anggur merah.”
Rafael kemudian berkata, “Aku akan coba pasta seafood dan segelas jus jeruk, terima kasih.”
Pelayan mencatat pesanan mereka dengan cepat, lalu beranjak untuk menyiapkan makanan. Setelah pelayan pergi, Nathan melihat ke arah Darren dan Rafael, merasa lebih rileks setelah memesan. Mereka bisa memulai percakapan serius tanpa harus terburu-buru.
Nathan kemudian membuka topik yang ingin dia bahas. “Aku tahu apa yang ingin kalian bicarakan dan aku mempunyai informasi yang menurutku sangat baik untuk kalian.”
Darren menatap Nathan dengan wajah sumringah. “Aku berharap informasi itu kabar gembira untuk kami. Sudah cukup lama kami menunggu, dan kami sangat ingin mendengar apa yang kamu punya.”
Rafael, yang duduk di samping Darren, ikut menaruh harapan yang sama. “Ya, Nathan. Kami sudah tidak sabar. Apa pun yang kamu katakan, semoga itu bisa membawa perubahan yang positif untuk kita semua.”
Nathan tersenyum, mencoba menghangatkan suasana. “Kabar baik, kalian. Ayah kita dalam keadaan baik-baik saja. Beliau sangat sehat dan terlihat bahagia.”
Darren dan Rafael saling berpandangan, terkejut dengan berita itu. “Serius?” tanya Darren, tidak percaya.
“Ya,” lanjut Nathan. “Beliau tidak ada di penjara gaib. Dia sudah diselamatkan oleh putri dari raja siluman ular, dan sekarang sang putri itu sudah menjadi istri ayah kita.”
Rafael mengernyitkan dahi, lalu bertanya, “Apakah ayah kita menanyakan tentang aku dan Darren?”
Nathan menggelengkan kepala. “Sayangnya, pertemuanku dengan ayah sangat singkat dan kami tidak sempat membicarakan kalian.” Darren terlihat sedikit kecewa, tetapi Nathan segera menambahkan, “Tapi jika kalian ingin bertemu dengan ayah, aku bisa mengantarkan kalian.”
“Benarkah? Aku sangat ingin bertemu dengannya’” sambar Rafael sangat bersemangat.
“Kalau begitu … Antarkan kami, Nathan!” sambung Darren yang juga antusias.
Nathan tersenyum melihat semangat mereka. “Baiklah, sebaiknya kita makan siang dulu. Setelah itu, kita bisa langsung pergi menemui ayah kita.”
Makanan dihidangkan dengan rapi, dan aroma yang menggoda memenuhi udara. Ketiga kakak-beradik itu menikmati setiap suapan, merasakan kelezatan makanan yang disiapkan oleh chef handal. Mereka sesekali saling bertukar cerita, merasa nyaman dalam kebersamaan setelah sekian lama tidak berkumpul. Setelah menyelesaikan makan siang, Nathan memanggil pelayan untuk meminta cek. Setelah membayar, mereka beranjak dari meja dan melangkah menuju toilet yang terletak di bagian belakang restoran. Toilet itu bersih dan modern, dengan cermin besar dan penerangan yang hangat. Setelah memastikan tidak ada orang lain di dalam, mereka berdiri berdekatan, merencanakan langkah selanjutnya.
Nathan berdiri di depan cermin, matanya terfokus pada refleksi dirinya. Ia mengambil napas dalam-dalam dan mulai memanggil jin penjaga Gunung Brajamusti. Suaranya jelas, penuh keyakinan, dan bergema di dalam ruangan toilet yang sepi. “Wahai Jin Penjaga Gunung Brajamusti, aku memanggilmu.”
Begitu namanya disebut, udara di sekitar mereka berubah. Suasana menjadi tegang, dan cahaya di dalam toilet bergetar seakan merespons panggilan Nathan. Dalam sekejap, muncul sosok tinggi yang megah, jin dengan kulit berwarna kebiruan dan mata bersinar cerah. Ia mengenakan pakaian tradisional yang terlihat anggun dan berkilau. Dengan gerakan perlahan, jin itu menampakkan dirinya, mengisi ruang dengan kehadirannya yang kuat. Darren dan Rafael tertegun melihat penampakan jin tersebut. Nathan tetap berdiri tegak, matanya tidak pernah berpaling dari sosok yang muncul di hadapannya. Jin itu memandang Nathan dengan tatapan tajam dan penuh kekuatan.
“Hamba siap membantumu, Tuan …” suara jin itu bergema, tegas namun tidak menyeramkan. Setiap kata yang diucapkan seolah menggetarkan dinding toilet.
“Aku membutuhkan bantuanmu untuk membawa kami bertiga ke negara siluman ular,” perintah Nathan kepada jin tersebut.
Jin itu mengangkat tangannya, dan cahaya yang memancar semakin terang. Dalam sekejap, cahaya menyelimuti Nathan, Darren, dan Rafael, menciptakan pusaran energi di sekitar mereka. Mereka merasakan tubuh mereka terangkat, seolah berat badan mereka menghilang. Suara gemuruh dan desis terdengar di telinga mereka. Ketika cahaya memudar, mereka mendapati diri mereka berdiri di tepi hutan yang rimbun. Pepohonan tinggi menjulang, dengan daun-daun lebat yang menyaring cahaya matahari menjadi sinar kehijauan. Namun, suasana tenang itu segera tergantikan oleh suara aneh yang membisikkan kehadiran makhluk lain.
Jin itu mengamati sekeliling, lalu menatap ketiga pria tersebut dengan serius. “Hamba hanya bisa mengantarkan kalian sampai di sini,” ucapnya dengan suara yang tegas. “Kerajaan ini penuh dengan siluman ular yang tidak bersahabat. Mereka tidak akan menerima kehadiran hamba, dan hamba tidak ingin terlibat dalam konflik dengan mereka.”
Dengan itu, sosok jin mulai memudar, perlahan-lahan menghilang dari pandangan. Cahaya di sekelilingnya bergetar sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya, menyisakan Nathan, Darren, dan Rafael berdiri di tengah sisi rimbun. Nathan kemudian melangkah ke depan, diikuti oleh Darren dan Rafael di belakangnya. Nathan mengangkat kalung pemberian Permana, memancarkan cahaya lembut.
Tiba-tiba, dari dalam hutan di hadapan mereka, cahaya kuning melesat, berkilau seperti api. Nathan terhenti, diikuti oleh Darren dan Rafael yang juga berhenti. Cahaya itu bergerak cepat dan berhenti di hadapan mereka. Cahaya kuning mulai bergetar. Dalam sekejap, bentuknya berubah. Dari sinar itu muncul sosok manusia setengah ular, tubuhnya ramping dan kekar, dengan sisik yang berkilau. Kepala sosok itu memiliki fitur ular, dengan mata tajam. Senyumnya terlihat menakutkan.
“Kalian memasuki wilayah kami tanpa izin. Apa yang kalian cari di sini?” tanya sang siluman ular.
“Kami mencari ayah kami, Permana,” jawab Nathan, suaranya bergetar tetapi tegas. “Kami ingin bertemu dengannya.”
Sang siluman ular menatap kalung di tangan Nathan. Ia memperhatikan ketiga pria itu beberapa saat, lalu mengangguk pelan dan memberi isyarat. Beberapa siluman ular lain bergerak mendekat, bersiap mengawal Nathan, Darren, dan Rafael. Siluman-siluman ular itu mengawal mereka melalui jalan setapak. Suara langkah kaki terdengar di tanah lembap. Mereka berhenti di depan gerbang besar yang kokoh, dijaga dua siluman ular dengan tombak. Gerbang itu terbuka perlahan. Di baliknya, kota megah tampak jelas, dengan bangunan besar dan dinding abu gelap. Bangunan tinggi berdiri rapi, menampilkan ukiran indah. Sebuah istana besar menjulang di tengah kota, dilengkapi menara tinggi dan gerbang besar. Tanpa bicara, para siluman ular membawa ketiga pria itu menuju pusat kota dan istana megah di hadapan mereka.
Nathan, Darren, dan Rafael melangkah melalui jalan kota menuju istana. Bangunan di sekitar tampak kokoh dan megah. Para penduduk beraktivitas dengan tenang, seolah tidak terpengaruh oleh kehadiran mereka. Nathan memimpin langkah, diikuti oleh Darren dan Rafael yang terus menjaga sikap hati-hati. Di depan gerbang istana, sosok protokoler menyambut mereka dengan sikap formal. Mereka menyampaikan tujuan kedatangan tanpa ragu. Mendengar penjelasan itu, protokoler memberi anggukan singkat dan segera berbalik, mengisyaratkan agar ketiganya mengikuti. Nathan, Darren, dan Rafael mengikuti langkahnya menyusuri lorong istana yang dihiasi ukiran khas. Langkah-langkah mereka berhenti di depan sebuah pintu besar yang dijaga dua pengawal. Protokoler membuka pintu tanpa suara dan memberi isyarat kepada mereka untuk masuk. Nathan, Darren, dan Rafael menatap sejenak, mengatur napas, lalu melangkah ke dalam ruangan besar tempat Permana tinggal.
Nathan, Darren, dan Rafael melangkah memasuki ruangan. Permana berdiri di tengah ruangan, sosoknya tampak lebih tua dari yang mereka ingat, dengan tatapan yang dalam dan kerutan di wajah. Nathan, Darren, dan Rafael berdiri mematung di depan Permana, yang menatap mereka dengan wajah penuh emosi. Air mata mulai menggenang di mata Permana saat ia melihat kedua putra yang telah lama hilang darinya. Hanya keheningan yang mengisi ruangan itu, tetapi di dalam hati mereka, kerinduan dan kesedihan menggelegak, menunggu saat untuk tumpah.
Darren, yang selama ini menahan kerinduannya, akhirnya melangkah maju dengan langkah yang ragu. Tatapannya tidak pernah lepas dari wajah ayahnya. Setelah sekian lama, jarak di antara mereka terasa begitu dekat namun begitu berat. Ia tak lagi mampu menahan perasaannya. Tanpa berkata apa-apa, ia menghampiri Permana dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan air mata mengalir deras di pipinya. Semua kerinduan, semua harapan, semua penantian selama bertahun-tahun kini seolah mencair dalam pelukan itu.
Rafael menyusul Darren, berjalan mendekat dengan tangan gemetar. Ia memandang wajah ayahnya, wajah yang hanya bisa ia bayangkan saat malam-malam sunyi dan sepi. Dengan isak tertahan, Rafael bergabung dalam pelukan itu, merasakan kehangatan yang selama ini hanya hadir dalam mimpinya. Air mata mulai membasahi pipinya, namun ia tidak peduli. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, mereka merasa utuh.
Permana memeluk kedua putranya dengan erat, tanpa berkata apa-apa. Di dalam hatinya, ada rasa lega yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata. Setiap hari selama perpisahan itu adalah luka yang terus menganga, tapi hari ini, ia merasa seperti menemukan kembali bagian dari hidupnya yang hilang. Ketiga pria itu terisak dalam diam, merasakan kerinduan yang selama ini hanya menjadi angan-angan.
Nathan, yang menyaksikan adegan itu, tersenyum kecil. Baginya, ini adalah pertemuan yang layak diperjuangkan, pertemuan yang akhirnya memulihkan keluarga yang telah lama tercerai-berai. Nathan menatap ayah dan kedua kakaknya yang masih berpelukan. Ia tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan di matanya. Ia melangkah mendekat, menunggu sampai ketiganya mulai tenang dan melepas pelukan mereka.
“Ayah, Darren, Rafa,” Nathan berkata, suaranya lembut namun tegas. “Aku sangat bahagia bisa membawa kita semua bertemu di sini. Tapi… pertemuan ini adalah milik kalian. Kalian sudah menunggu momen ini terlalu lama.” Nathan menghela napas, matanya menatap wajah mereka satu per satu. “Sudah saatnya aku kembali ke duniaku.”
Darren dan Rafael, yang masih memegang bahu Permana, memandang adik mereka dengan tatapan tidak rela. Darren menggeleng pelan. “Nathan… kamu juga bagian dari keluarga ini. Jangan pergi begitu cepat.”
Permana mengangguk pelan, pandangan matanya lembut. “Nathan, kamu sudah membawa kami bersama. Kamu juga seharusnya ada di sini bersama kami.”
Nathan tersenyum kecil, meski ada berat di hatinya. “Tapi dunia di sini bukan tempatku. Aku tahu apa yang harus kulakukan di dunia kita, dan itu tugasku.” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih dalam. “Dan aku tahu Ayah, Darren, dan Rafa bisa bersama lagi. Itu sudah cukup buatku.”
Permana menatap Nathan dengan tatapan penuh kasih. Meski ia tidak rela, ia bisa melihat tekad di mata putranya itu. Tanpa berkata-kata, Permana meraih Nathan dalam pelukan erat, mengungkapkan rasa bangga dan terima kasih yang tidak bisa terucapkan. Darren dan Rafael kemudian memeluk adik mereka, menguatkan ikatan yang kini terasa begitu dalam di antara mereka.
Nathan menepuk bahu kedua kakaknya, memberi senyum penuh arti sebelum akhirnya melangkah mundur. Ia mengangguk sebagai salam perpisahan, lalu berbalik meninggalkan mereka bertiga. Nathan melangkah mantap menuju ruangan khusus di istana, tempat untuk kembali ke dunianya. Langkahnya terdengar hampa di lorong panjang. Prajurit menunggunya di depan pintu, memberi isyarat agar Nathan masuk. Tanpa ragu, Nathan melangkah masuk ke dalam ruangan. Di tengah ruangan itu, sebuah lingkaran magis terukir di lantai, bercahaya dengan warna biru terang. Prajurit memberi aba-aba, dan Nathan segera berdiri di tengah lingkaran tersebut. Cahaya di sekelilingnya semakin terang, menyelimuti tubuh Nathan. Tak lama, Nathan merasakan tubuhnya seakan mulai melayang, kehilangan rasa berat. Tiba-tiba, cahaya itu lenyap. Suara gemuruh berhenti. Nathan tersentak, membuka mata dan mendapati dirinya di ruang kecil yang akrab. Dinding berubin, wastafel, dan cermin di hadapannya, ia berdiri di toilet restoran tempatnya memulai perjalanan ini.
Nathan melangkah keluar dari toilet, melintasi lorong restoran setelah pengalaman yang baru saja ia alami. Ia keluar dari restoran, menghampiri mobilnya yang terparkir di depan. Pemuda itu pun membuka pintu mobil, masuk, dan menyalakan mesin. Tanpa ragu, Nathan memacu mobilnya menuju rumah. Setibanya di rumah, Nathan memarkir mobil di garasi. Ia keluar dari mobil, menutup pintu dengan tenang, dan berjalan menuju pintu masuk rumahnya. Nathan membuka pintu dan melangkah masuk ke ruang depan.
Nathan melangkah ke ruang tengah, kemudian menuju tangga yang mengarah ke lantai dua. Ia membuka pintu kamarnya dan segera masuk. Nathan mandi, membersihkan diri dari keringat. Setelah itu, ia mengenakan pakaian olahraga yang ketat, menampilkan otot-ototnya dengan jelas. Nathan keluar dari kamarnya dan melangkah menuju gym. Ia memulai sesi latihan dengan pemanasan, melakukan serangkaian gerakan sederhana untuk menghangatkan tubuhnya. Setelah merasa cukup, Nathan berjalan ke treadmill, mengatur kecepatan, dan mulai berlari. Detak jantungnya meningkat seiring dengan langkahnya yang semakin cepat. Setelah beberapa menit berlari, Nathan beralih ke alat angkat beban. Ia memilih bobot yang sesuai dan mulai mengangkat, merasakan otot-ototnya bekerja keras.
Setelah selesai melakukan angkat berat, Nathan membuka pakaiannya yang basah oleh keringat. Tampak tubuh Nathan yang kekar dan berotot membuat para wanita akan terkesima. Setelah mengatur napasnya yang mulai stabil, Nathan bergerak ke matras untuk melakukan push-up. Ia fokus pada setiap gerakan, menjaga ritme napasnya agar tetap teratur. Selesai dengan push-up, Nathan melanjutkan dengan sit-up, merasakan setiap otot perutnya bekerja keras.
Saat Nathan melakukan sit-up, tiba-tiba Cici muncul dan langsung tersenyum padanya. Gadis itu menghampiri Nathan dengan langkah percaya diri. Nathan terbelalak melihat penampilan Cici yang begitu memukau di dekatnya. Dia mengenakan tanktop ketat berwarna putih yang mengekspos lekuk tubuhnya dan buah dadanya yang bulat, sementara legging yang dipakainya mencetak tubuh bagian bawahnya dengan sempurna. Pemandangan ini membuat Nathan kehilangan konsentrasi, sehingga ia segera menghentikan sit-up yang sedang dilakukannya. Dengan cepat, ia bangkit dan berdiri di hadapan Cici, merasakan adrenalinnya meningkat.
Saat Nathan berdiri di hadapan Cici, ia mengatur napas dan berkata, “Kamu mau nge-gym juga?”
Cici tersenyum dan menjawab, “Oh, tidak. Aku cuma ingin menikmati tubuhmu yang sangat seksi.”
Nathan tersenyum lebar dan balas berkata, “Sepertinya mata kamu harus segera diperiksa, karena ada yang salah dengan matamu.”
Cici tertawa dan menjawab, “Pantas Mommy nempel terus sama kamu, karena kamu memang sangat layak menjadi pasangan Mommy.”
“Emangnya perangko?” canda Nathan sambil geleng-geleng kepala.
Cici tidak bisa menahan senyumnya saat mendengar jawaban Nathan. “Serius deh, kamu itu tampan banget. Badanmu juga seksi, seakan diciptakan untuk jadi pusat perhatian,” pujinya, tatapannya penuh kekaguman.
Nathan merasa sedikit tersipu mendengar pujian itu, meski ia mencoba untuk bersikap santai. “Ah, kamu jangan berlebihan, Ci …”
Cici menggoyangkan kepalanya, tidak setuju dengan perkataan Nathan. “Tidak, aku serius. Dengan wajah tampan dan tubuh seperti itu, kamu bikin semua orang ingin menoleh. Bahkan, kalau aku bisa, aku akan memajang fotomu di dinding kamar,” ujarnya sambil tertawa.
Nathan menanggapi dengan bercanda, “Kalau begitu, pastikan kamu menambahkan label ‘barang terlarang’ di samping fotoku agar tidak ada yang berani mendekat!”
Cici tertawa dan menjawab, “Kalau gitu, bisa-bisa Mommy dan aku berebut untuk menempelkan fotomu di dinding kamar!”
Nathan pura-pura berpikir sambil mengusap dagunya. “Hmm, mungkin aku bisa jadi model majalah dewasa, ya? Atau, paling tidak, menjadi bintang utama di film porno!”
“Pasti filmnya bakal laris, hi hi hi …” balas Cici sambil tertawa.
Nathan dan Cici melanjutkan obrolan ringan mereka, namun di dalam hati masing-masing, ada kekaguman yang tumbuh. Cici tak bisa menahan pandangannya saat melihat Nathan berdiri di depannya. Ia menyadari betapa tampannya pria ini, dengan otot-ototnya yang terdefinisi jelas dan wajah yang menawan. Dalam hatinya, ia berpikir, “Pria seperti ini seharusnya berada di atas ranjangku.” Senyumnya yang lebar dan kepercayaan dirinya membuat Nathan semakin menarik di mata Cici.
Di sisi lain, Nathan juga tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Cici. Ia merasakan denyut jantungnya bergetar saat melihat gadis itu, dengan wajah cantik dan aura yang memikat. Tanktop ketat berwarna putih yang ia kenakan menonjolkan lekuk tubuhnya yang sempurna, dan legging yang membentuk kaki rampingnya membuat Nathan berimajinasi. Dalam hatinya, ia berbisik, “Dia benar-benar luar biasa. Aku tahu wanita dengan tubuh seperti ini adalah wanita yang gemar seks. Aku gak sabar membawanya ke tempat tidurku.”
Saat mereka saling bertukar cerita dan tawa, keduanya merasa nyaman dengan kehadiran satu sama lain. Cici merasakan getaran ketegangan yang menyenangkan setiap kali pandangan mereka bertemu, dan Nathan tidak bisa menahan senyumnya saat ia membayangkan betapa menyenangkannya jika mereka bisa lebih dekat. Masing-masing dari mereka merasakan ketertarikan yang semakin dalam, tetapi tak satu pun dari mereka yang berani mengungkapkannya.
“Ehem…” Tiba-tiba terdengar suara deheman. Nathan dan Cici pun menengok ke arah sumber suara, dan ternyata Sisi sedang berdiri di ambang pintu gym. “Kak Nathan… Ditunggu Mommy di ruang kerjanya!” kata Sisi sambil menyandarkan tubuhnya di sisi pintu gym.
“Ah… Aku segera ke sana,” sahut Nathan sambil mengambil kaosnya yang tergeletak di lantai dan memakainya.
Nathan melangkah keluar dari gym, meninggalkan Cici dan Sisi tanpa berkata-kata. Pikiran Nathan fokus pada Maya, terpaku pada firasat tentang pesan penting yang menunggunya. Tanpa mengulur waktu, ia langsung menuju tangga dan menuruni anak-anak tangga itu satu per satu dengan cepat. Sesampainya di lantai yang dituju, ia bergerak lurus menuju pintu ruang kerja Maya. Nathan mengetuk pintu, membuka tanpa ragu, dan melangkah masuk. Pintu tertutup di belakangnya, dan Nathan mendekat ke meja kerja Maya. Tanpa kata, ia menatap Maya, siap mendengar dan menerima pesan yang telah memenuhi pikirannya sejak di gym.
Maya tersenyum saat melihat Nathan yang terlihat tegang. “Kenapa kamu begitu tegang?” tanyanya dengan nada lembut. “Santai saja. Duduklah di situ!” Ia menunjuk kursi kosong di depan meja kerjanya.
Nathan mengangguk dan duduk di kursi dengan sedikit lega. “Aku pikir ada sesuatu yang urgent.”
Maya menatap Nathan dengan serius, “Nathan, Sisi sedang bersedih,” katanya dengan nada lembut. “Anak gadisku itu punya masalah dengan pacarnya.” Maya berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Gunakan momentum ini untuk membuat Sisi benar-benar bisa melupakan pacarnya itu.”
Nathan mengerutkan kening, menatap Maya dengan bingung. “Maksudnya? Aku belum paham,” ujar Nathan. “Apa yang sebenarnya ingin Bunda lakukan?”
Maya menatap Nathan dengan senyum samar. “Nathan, hibur dia,” ujarnya pelan. “Bunda yakin kamu mengerti maksud Bunda.”
Nathan menatap Maya dengan sedikit terkejut. “Seks?” katanya, suaranya hampir berbisik, memastikan maksud Maya.
Maya mengangguk pelan, menatap Nathan dengan serius. “Iya, Nathan. Sisi butuh pelarian, sesuatu yang membuatnya merasa diinginkan dan dicintai,” katanya lembut. “Kadang, ketika hati hancur, seks bisa mengalihkan rasa sakit itu, membuatnya merasa utuh kembali.”
Nathan mengangguk pelan, mencoba memahami maksud Maya sepenuhnya. “Baik, kalau itu yang menurut Bunda terbaik untuk Sisi,” jawabnya tanpa ragu. “Aku akan lakukan.”
“Nathan, pastikan kamu memberikan yang terbaik untuk Sisi,” pesannya dengan serius. “Buat dia benar-benar merasakan kebahagiaan dan melupakan semua rasa sakitnya.”
Nathan mengangguk kepala, menyetujui permintaan Maya. Ia bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruang kerja Maya. Pemuda itu melangkah menuju ruang depan, lalu masuk ke ruang tengah. Di sana, Nathan melihat Cici sedang asyik menonton televisi dan terlihat senang dengan acaranya.
Nathan menghampiri Cici dan langsung bertanya, “Cici, kamu tahu di mana Sisi?”
“Dia di kolam renang,” jawab Cici tanpa menoleh.
Nathan mengangguk mendengar jawaban Cici. Ia segera bergerak menuju kolam renang. Sesampainya di sana, ia melihat Sisi duduk di tepi kolam, menatap air dengan ekspresi sedih. Sebagian kaki Sisi tenggelam di dalam air, seolah tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Nathan menghampiri Sisi dan duduk di sebelahnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Suaranya tenang, berusaha membuka percakapan tanpa menekan.
Sisi menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Tidak apa-apa, Kak. Hanya menikmati suasana. Kadang, aku butuh waktu untuk sendiri.” Dia mencoba tersenyum.
Nathan memandang Sisi dengan serius. “Kamu tahu, Sisi, berbagi kegembiraan adalah menambah rasa kebahagiaan. Berbagi kesedihan adalah mengurangi beban penderitaan.” Nathan berhenti sejenak, memberi ruang bagi kata-katanya untuk meresap. “Aku tahu kamu sedang sedih. Bunda Maya sudah memberitahuku tentang apa yang terjadi. Jangan biarkan kesedihan ini menguasaimu. Terkadang, kita perlu melepaskan dan membuka diri agar hal-hal baik bisa masuk.”
Sisi menundukkan kepala, berusaha menahan emosi. “Aku tahu, Kak. Tapi kadang rasanya sulit untuk melupakan,” katanya pelan. “Aku hanya butuh waktu untuk mencerna semua ini. Semua yang terjadi membuatku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri.” Dia menghela napas, berharap Nathan bisa memahami betapa beratnya beban yang dia rasakan.
Nathan menghela napas, mencoba menyampaikan maksudnya dengan jelas. “Sisi, makin lama kamu berdansa dengan iblis, maka makin lama kamu tinggal di neraka. Jika kamu terus membiarkan dirimu terjebak dalam hubungan yang buruk, kamu akan terus merasakan penderitaan. Semakin lama kamu berada di situ, semakin sulit untuk move on atau menemukan kebahagiaan. Bersama seseorang yang tidak mencintaimu tidak disebut kesetiaan, itu disebut kebodohan.”
Sisi terdiam sejenak, meresapi setiap kata yang diucapkan Nathan. Ekspresinya mulai berubah, beban yang selama ini ia pikul terasa lebih ringan. Matanya sedikit membelalak, dan bibirnya bergetar seakan ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dalam hatinya, ia merasa tersentuh oleh ucapan Nathan.
Nathan menatap Sisi dengan penuh perhatian. “Hubungan itu seperti kaca. Terkadang lebih baik membiarkannya rusak daripada mencoba menyakiti diri sendiri dengan menyatukannya kembali. Jangan menangis karena sudah berakhir, tersenyumlah karena sudah terjadi. Setiap kali hatimu hancur, pintu terbuka untuk dunia yang penuh dengan permulaan baru, peluang baru. Ingat, dunia ini terlalu luas untuk terjebak dalam satu rasa sakit. Masih banyak tempat, orang, dan pengalaman yang menunggu untuk kamu temui. Jangan biarkan satu hubungan yang buruk menghalangimu untuk menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.”
Setiap kata yang diucapkan Nathan menyentuh hati Sisi lebih dalam. Dia merasa seakan dikelilingi oleh cahaya baru yang memancarkan harapan. Ucapan Nathan membangkitkan semangat di dalam dirinya. Meskipun rasa sakit masih menghantuinya, dia mulai melihat bahwa ada jalan keluar dari kegelapan yang membelenggu. Pikiran tentang dunia yang luas dan penuh peluang mengisi benaknya, menggantikan bayangan kesedihan yang selama ini mendominasi. Dengan perlahan, Sisi menyadari bahwa mungkin, ada kesempatan untuk memulai kembali dan menemukan kebahagiaan yang lebih berarti.
Nathan kemudian berdiri dan melepaskan pakaiannya hingga tersisa boxer. “Ayo berenang!” ajaknya dengan nada ceria. “Airnya segar dan bisa membantumu merasa lebih baik.”
Nathan melompat ke kolam renang, tubuhnya menyentuh air dengan keras. Ia berenang dengan lincah ke sisi kolam yang berlawanan, merasakan dinginnya air yang menyegarkan. Setiap gerakan memberinya rasa bebas dan ceria, seolah semua beban di pikirannya menghilang seketika. Nathan mengangkat kepala, tersenyum ke arah Sisi, mengundangnya untuk ikut merasakan kebahagiaan di dalam air.
Sisi bangkit dari duduk dan melepaskan pakaiannya, menyisakan bra dan celana dalam mininya. Nathan menahan napas, terpesona oleh keindahan tubuh Sisi, terutama pada bagian dada dan pinggul. Nathan berusaha untuk tidak terlihat terlalu memperhatikan, tetapi rasa kagum dan ketertarikan sulit diabaikan. Sisi menyebur ke kolam. Ia berenang dengan perlahan, mendekati Nathan yang menunggu di sisi kolam. Sisi berusaha menikmati momen ini, mencoba melupakan beban yang mengganggu pikirannya. Ketika ia semakin dekat, senyumnya muncul, membawa sedikit kelegaan.
Sisi tiba di samping Nathan, berdiri tegak. Nathan tersenyum dan berkata, “Melihat gerakan berenangmu, sepertinya kamu sering berlatih. Mungkin bisa disebut atlet renang.”
Sisi menjawab, “Aku memang anggota tim renang di kampus. Aku sering ikut lomba antar kampus, tetapi belum pernah juara.”
Nathan mengangguk, kemudian menantang, “Bagaimana kalau kita adu cepat berenang? Siapa yang kalah harus menuruti permintaan pemenang.”
Sisi tidak ragu dan langsung menjawab dengan antusias, “Tantangan diterima!” Senyumnya lebar, dan matanya berbinar penuh semangat. Ia merasa terhibur oleh tantangan tersebut dan siap untuk menunjukkan kemampuannya. Adrenalin mulai mengalir, membuatnya bersemangat untuk berlomba dan menikmati hal ini.
Nathan berkata, “Lomba ini lomba renang 100 meter, jadi kita harus mulai dari sana.” Ia menunjuk sisi kolam di kanannya. “Siap?”
Sisi mengangguk dan menjawab, “Siap! Aku sudah tidak sabar untuk mulai.”
Keduanya bergerak menuju sisi kolam sebelah kanan dan naik ke tepi kolam. Sisi berdiri tegak, siap menghadapi tantangan. Nathan memeriksa posisi awalnya, memastikan semuanya siap. Mereka saling berpandangan, merasakan ketegangan yang menyenangkan sebelum pertandingan dimulai.
Dengan semangat, Nathan mengangkat tangan. “Siap… tiga, dua, satu… mulai!”
Mereka melompat ke dalam air, bersaing untuk mencapai garis finish secepat mungkin. Suara air yang terpecah oleh gerakan tubuh mereka yang saling berusaha mendahului. Ternyata Sisi berada di depan Nathan, melesat dengan cepat. Nathan yang merasa tertinggal mulai ragu. Dalam hati, ia memanggil jin penunggu Gunung Brajamusti. Ia berharap mendapatkan bantuan untuk mempercepat gerakannya. Ketika mencapai 50 meter kedua, tiba-tiba ia merasakan dorongan yang kuat dari belakang. Jin itu muncul, membantu mendorong tubuh Nathan sehingga ia meluncur cepat di dalam air. Dengan bantuan jin, setiap gerakan menjadi lebih mudah dan cepat. Nathan merasa seolah terbang di atas permukaan air. Ia meningkatkan kecepatan, melewati Sisi. Keduanya bersaing ketat, tetapi Nathan terus maju, mendekati garis finish. Dengan satu dorongan terakhir dari jin, ia meluncur ke depan, mencapai garis finish terlebih dahulu.
Sisi terkejut saat melihat Nathan tiba-tiba berada di depannya. Ia tidak percaya bahwa Nathan bisa secepat itu. “Kak! Apa yang terjadi? Kakak tidak melakukan gerakan berenang sama sekali!” serunya dengan nada tidak percaya. Sisi menatap Nathan dengan curiga, “Kakak curang! Ada yang tidak beres di sini!” Sisi merasa kesal dan bingung.
Nathan mengangkat kedua tangan dan menjawab, “Hey, aku tidak curang! Ini semua tentang teknik dan strategi.” Nathan tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa semua itu adalah bagian dari persaingan yang sehat. “Kamu pasti terlalu fokus berenang dan tidak melihat bagaimana aku melakukannya.”
Sisi menatap Nathan dengan tajam dan berkata, “Kakak curang! Tidak mungkin kakak bisa secepat itu tanpa melakukan gerakan berenang yang sebenarnya.”
Nathan tersenyum lebar dan berkata, “Yang penting kamu sudah kalah, Sisi. Sekarang kamu harus menerima permintaanku, sesuai perjanjian kita!”
Sisi pun mendesah pasrah sambil berkata, “Baiklah, jadi apa yang kakak minta?”
Nathan mendekati Sisi dan dengan lembut, ia menarik pinggul Sisi hingga tubuh mereka saling menempel. “Aku ingin memelukmu dan mencium bibirmu.”
Sisi tampak terkejut, matanya melebar sejenak saat Nathan mengungkapkan keinginannya. Namun, sejurus kemudian sebuah senyuman manis muncul di wajahnya. Dengan gerakan lembut, ia mendorong dada Nathan pelan, “Hadiah itu akan aku berikan, tapi bukan di sini,” katanya dengan suara menggoda, sambil mengedipkan mata.
Setelah itu, Sisi berenang ke sisi kolam tempat pakaiannya tergeletak. Air kolam mengalir di sekelilingnya, menciptakan riak kecil saat ia bergerak. Setelah mencapai tepi kolam, ia keluar dengan anggun, air menetes dari tubuhnya yang basah. Sisi kemudian mengambil pakaiannya, namun sebelum meninggalkan tempatnya, gadis itu menoleh kembali ke arah Nathan. Senyum menantang menghiasi wajahnya, seolah mengatakan bahwa permainan baru saja dimulai. Ia berjalan perlahan meninggalkan kolam renang, hanya mengenakan bra dan celana dalam, tubuhnya yang basah berkilau di bawah sinar matahari. Ketika Sisi melangkah ke dalam rumah, dia merasakan mata Nathan yang terus mengikuti setiap gerakannya, membuatnya menoleh sekali lagi dan memberikan tatapan serta senyuman menantang sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.
Nathan tersenyum puas. Usahanya hampir berhasil. Tanpa ragu, dia berenang menuju tepi kolam. Begitu mencapai tepi, dia keluar, meraih pakaiannya, lalu mengenakannya meski tubuhnya masih basah. Tanpa berhenti, Nathan berjalan menuju rumah. Dia langsung menuju kamarnya di lantai dua, melewati koridor dan menaiki tangga dengan langkah cepat. Begitu tiba di kamar, Nathan masuk ke kamar mandi dan mulai membilas tubuhnya, membiarkan air membasuh sisa-sisa air kolam di kulitnya.
Nathan selesai membilas tubuhnya. Dia meraih handuk dan mengeringkan tubuhnya dengan teliti, lalu melilitkan handuk di pinggangnya. Ketika keluar dari kamar mandi, matanya langsung tertuju pada sosok Sisi di tempat tidur. Sisi sedang berbaring menyamping, tersenyum santai, dengan tangan kanan menopang kepalanya. Napasku sedikit tersendat melihat Sisi tanpa sehelai kain pun di tubuhnya. Setelah menguasai diri, Nathan melangkah mendekat. Dia duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping Sisi, pandangannya tetap terpaku pada gadis seksi itu.
Nathan terpesona oleh tubuh Sisi yang tampak sangat sempurna di matanya. Ia menatap buah dada Sisi yang bulat dan kencang, terlihat alami dan memikat. Dua puting susu berwarna merah muda menghiasi penampilannya, menambah daya tarik yang sulit untuk diabaikan. Pandangannya kemudian turun ke pangkal paha gadis itu, di mana kulitnya tampak bersih dan mulus. Nathan terus mengamati, merasakan ketertarikan yang mendalam, dan birahi Nathan pun meledak. Kejantanannya bangkit dengan kekuatan yang tak tertahan. Rasa ingin dan hasratnya meluap, membuat jantungnya berdetak cepat.
Nathan menatap Sisi dengan kagum. “Kamu benar-benar cantik, Sisi. Tubuhmu sempurna dan memikat,” ujarnya tulus. “Setiap lekukmu membuatku terpesona.”
Sisi tersenyum dan berkata, “Hi hi hi … Jujur saja ya kak … Aku sering mendengar gombalanmu itu. Dan, lebih baik kakak segera lakukan permintaan kakak tadi sebelum Mommy dan Cici kembali.”
Nathan terkejut dan bertanya, “Bunda dan Cici pergi? Kapan?”
Sisi menjawab, “Aku tidak tahu. Pas masuk ke rumah, mereka sudah tidak ada di sini.”
Nathan sebenarnya sudah mengetahui bahwa kepergian Maya adalah trik untuk memberinya kesempatan. Dengan cepat, ia melepaskan handuk di pinggangnya dan naik ke tempat tidur. Tanpa ragu, ia membuat Sisi terlentang dan menindihnya di atas kasur. Nathan mendekat dan mencium lembut bibir Sisi. Gadis itu membalas ciuman Nathan dengan mesra. Keduanya kemudian terlarut dalam momen itu, saling berbagi kehangatan tanpa kata. Nathan menyangga tubuhnya dengan siku. Ia menunduk agar bisa mencicipi manisnya bibir Sisi yang terbuka dan bibir itu manis, menggoda tetapi gerakan tubuh Sisi yang terus menggesekkan pangkal pahanya dengan kejantanan Nathan memaksa kejantanan Nathan membesar dan mengeras. Nathan pun kemudian menggerakkan tangannya menuju pangkal paha Sisi.
“Oooohhhhh…. ” teriak Sisi saat merasakan jari Nathan memasuki lubangnya. Pinggul Sisi terangkat menyambut jemari Nathan yang membelai isi vaginanya.
Nathan kembali memasukkan dua jarinya, mendiamkan sebentar lalu mengeluar masukan jarinya untuk mempenetrasi vagina Sisi. Tiga jemari Nathan keluar masuk dengan cepat di vagina Sisi, mempenetrasi pangkal paha Sisi agar saat ia memasukkan kejantanannya yang besar, Sisi tidak terlalu merasa sakit.
“Aaahhhh… Aaaahhh… Aaahhh… ” Sisi mengerang ketika denyutan di pangkal paha meningkat seiring sentuhan Nathan. Pemuda itu menaik turunkan tangannya di pangkal paha Sisi. Sesekali meremas dan memberikan cubitan pada payudara Sisi.
Nathan benar-benar ingin merasakan vagina gadis di hadapannya ini dalam kehangatan mulutnya, ia ingin menjilat, mengulum dan menghisap cairan gadis ini, tetapi untuk sekarang Nathan pikir, cukup jemari tangannya dulu yang memberikan kenikmatan untuk gadis ini.
Otak Sisi seakan kosong pada apa yang dilakukan Nathan dengan jari-jarinya di pangkal pahanya. Gadis itu tidak kuasa menghentikan diri, sama seperti ia tidak kuasa menahan gejolak saat Nathan memeluknya tadi di kolam renang. Sisi membutuhkan kesejukan tangan Nathan yang menenangkan. Ia sangat membutuhkan…
Nathan melepaskan jari-jemarinya dan memposisikan kejantanannya di vagina Sisi, menangkup wajah adiknya itu dengan kedua tangannya. Nathan ingin melihat kenikmatan tercermin di mata Sisi. Nathan kemudian menghunjam dalam-dalam, dan Sisi pun mengerang nikmat.
“Oooohhh… Oohhhh… Oh My God… Aaaaaaaaahhhhhhhhhh… ” Sisi menjerit sementara kenikmatan meledak dalam gelombang menggetarkan denyutan yang terus berlanjut di pangkal pahanya.
“Mmmmm…” Nathan tersenyum senang. Sisi sudah terbuai, terbukti dengan menggerak-gerakan pinggulnya, mendesak dengan berani, mengetatkan dinding vaginanya, menarik kejantanan Nathan lebih dalam.
“Ooohhh… Kamu benar-benar ketat, Manis.” Nathan mengerang sambil melajukan penis besarnya di lorong nikmat adiknya, mengertakkan gigi, dan membiarkan Sisi bertindak sesuka hati selama mungkin.
“Aaaahhhh… Aaaaaahhh… Aaaaahhhh…” Sisi menggerakkan pinggulnya tambah cepat, mempertemukan gerakan pinggulnya dengan gerakan pinggul Nathan. Sisi merasa sangat bergairah karena kejantanan Nathan yang keras dan besar mengisi penuh lubangnya. Nathan terus menghunjam semakin dalam, menumbuk dengan keras g-spot Sisi.
Nathan terus bergerak masuk dan keluar dari vagina adiknya, sepenuhnya menikmati basah, sesak, dan perasaan panas menyelimuti penisnya. Kesenangan yang pemuda itu rasakan sangat surgawi sehingga dia tidak bisa berhenti. Sambil terus menghujam, ia meraih payudara Sisi, mencium yang lain dan mulai menghisap mereka. Nathan mendengar desahan-desahan intens yang menggema, mirip suara seorang wanita yang tenggelam dalam kenikmatan luar biasa. Suara itu terus berulang, kadang terdengar setengah berteriak, mengisi setiap sudut ruangan dengan ketegangan yang kian terasa di sekitar Nathan.
“Aaahh… Terus kak… Kocok terus bikin aku puas … Aaahh ouchhhhh shhhhh … Terus kocok jangan berhenti …!” racau Sisi.
Vagina Sisi yang terus berkedut-kedut dengan rakus dan penuh keserakahan mencoba memonopoli kejantanan Nathan dengan cengkraman dan remasan setiap otot-ototnya yang begitu kuat seolah ingin melahap dan menelan bagian vital milik Nathan. Sisi merasakan gelombang kenikmatan yang seolah melumpuhkan seluruh inderanya. Setiap sentuhan dan desiran yang menjalari tubuhnya membangkitkan sensasi yang menggetarkan hingga ke ujung jemarinya. Napasnya tersengal, semakin cepat seiring intensitas yang terus meningkat, dan desahannya tak lagi bisa ia tahan. Dalam pusaran perasaan itu, seakan seluruh dunia memudar, menyisakan hanya dirinya yang hanyut dalam kebahagiaan yang begitu dalam dan luar biasa.
Tak butuh waktu lama Sisi pun mencapai klimaks. “AAAAAAAAKKKKHHHHHH…” Teriak Sisi saat mencapai puncak kenikmatannya. Tubuh Sisi mengejang, seolah seluruh aliran energi berkumpul dalam satu titik yang menakjubkan. Sensasi yang mengalir begitu kuat hingga ia hampir kehilangan kendali, dan seluruh dirinya tenggelam dalam ledakan kebahagiaan yang melampaui kata-kata. Akhirnya Sisi merasa melayang di lautan kenikmatan yang melemahkan. Ketegangan itu akhirnya berlalu, meninggalkan Sisi dalam keadaan puas dan rileks.
“Kak… apa yang barusan aku rasakan, sungguh… luar biasa. Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.” Ucap Sisi sambil menatap wajah Nathan di atasnya yang kini pemuda itu telah menghentikan aktivitasnya.
Nathan tersenyum, menatapnya dengan tatapan penuh keyakinan. “Itu baru sebagian kecil, manis,” jawabnya pelan namun dalam. “Masih banyak kebahagiaan yang bisa kamu rasakan, jauh lebih dari ini, kalau kamu mau. Jika hatimu tak lagi terikat oleh apa pun… bebas, lepas.”
“Kamu benar, Kak,” ucap Sisi pelan tapi tegas, seolah mengakui sesuatu yang selama ini ia pendam. “Aku sudah terlalu lama bertahan dalam hubungan yang hanya membuatku lelah… Dia bahkan tidak mencintaiku lagi, dan aku merasa terjebak, seolah tak ada jalan keluar. Aku rasa sudah waktunya aku mencari kebahagiaanku sendiri. Aku ingin merasakan kebebasan itu… menjalani hidup tanpa terus memikirkan apa yang harus aku korbankan demi orang lain. Aku janji, Kak, aku akan melepaskannya. Aku ingin hidup untuk diriku sendiri, merasakan setiap kebahagiaan yang selama ini tertahan.”
Nathan tersenyum, bangga melihat keberanian yang akhirnya muncul dari diri Sisi. “Aku tahu kamu bisa, Manis,” jawabnya lembut. “Dan aku akan ada di sini, menemanimu menemukan semua kebahagiaan itu.” Nathan pun tersenyum lalu berkata, “Kita lanjut lagi ya,” ujar Nathan dan dijawab dengan anggukan Sisi.
Nathan mendaratkan sebuah ciuman yang sangat dalam ke dalam mulut Sisi, yang dengan sigap diladeni oleh Sisi dengan permainan lidahnya yang penuh gairah. Nathan menggerakkan pinggulnya perlahan namun mantap, menciptakan gerakan in-out yang ritmis, membuat mereka berdua semakin larut dalam kenikmatan. Sisi pun memeluk leher Nathan dengan kedua tangannya, sementara kedua buah dadanya yang besar dan ranum itu bergoyang-goyang bergesek-gesekan dengan dada bidang Nathan.
Pinggang dan pinggul Sisi yang begitu aduhai itu pun juga ikut mulai bergoyang memberikan sensasi goyangan tak tertahankan kepada penis Nathan yang masih terjebak dalam tawanan vagina sang adik. Sensasi sedotan yang kuat, hisapan yang dalam, serta cengkraman dan remasan yang begitu keras, yang berpadu dengan pijatan-pijatan lembut yang dihasilkan dari setiap kedutan otot-otot yang berada di dalam liang cinta sang adik terasa begitu luar biasa bagi Nathan yang sedang mengunci selangkangannya dengan selangkangan Sisi. Ditambahkan lagi dengan perasaan hangat, basah dan lembab yang diberikan oleh cairan yang disekresikan oleh vagina Sisi untuk melumasi setiap bagian dari penis Nathan yang kini telah tertanam sangat dalam hingga membentur pintu rahimnya, terasa begitu luar biasa bagi penis Nathan yang terus bergerak, bergesek-gesek beradu dengan setiap bagian di dalam lubang cinta Sisi.
Nathan memeluk tubuh Sisi erat-erat. Tangan pemuda itu menelusuri setiap bagian punggungnya yang mulus, mengirimkan sensasi nikmat yang menggetarkan jiwa ke seluruh tulang di tubuh sang adik. Dihentikannya ciumannya dengan sang adik dan ditatapnya sepasang mata Sisi yang terisi penuh dengan kehangatan sambil menunjukkan ekspresi penuh harap. Tangan Nathan yang kini telah turun akhirnya tiba di kedua belah pantat Sisi yang begitu indah membulat. Diremasnya kedua pantat Sisi yang membuat sang adik mengerang penuh nikmat dengan kedua tangannya jatuh lemas dari punggung Nathan yang tadi masih dipeluknya dengan penuh hasrat.
Wajah Sisi semakin memerah dan nafasnya mulai semakin memburu ketika Nathan yang kini telah membuka pintu masuk vaginanya lebar-lebar, memegangi kedua belah pahanya yang putih dan mulus sembari mengerakkan pinggulnya menyodok-nyodok liang vagina Sisi dan mengaduk-aduk seisi liang kenikmatan sang gadis dengan rudal Nathan yang besar, panas, keras dan panjang.
Kepala Sisi tersentak ke belakang. Pinggulnya bergerak liar di luar kendali. Ia terus mengejar klimaks demi klimaks. Rasanya semua itu tidak akan berhenti. Ia merasa perutnya kencang dan pinggulnya kelelahan, namun Nathan sama sekali tidak menurunkan kecepatannya. Saat Sisi mendekati puncak kenikmatannya lagi, tubuh gadis itu seolah tak mampu lagi menahan gelombang sensasi yang semakin menguat, gelombang euforia mengalir dari dalam dirinya, memenuhi setiap inci tubuhnya dengan kenikmatan yang sulit dilukiskan. Otot-otot tubuhnya menegang, terutama di sekitar paha dan panggul, yang berdenyut dengan irama yang semakin cepat, sementara tubuhnya melengkung ringan mengikuti sensasi yang memuncak.
“Aaaaakkkhhhhhhhh!!!!! Ini sunggguh nikmattttt!!!!! Sudah hampir tiba waktunya… Aaaahhhh… Sebentar lagi…. Aaaahhhh… Aku akan aaaahhh … Aku … keluarrrr….!!!!” jerit Sisi melepas orgasmenya.
Tubuh Sisi pun melepaskan seluruh ketegangan yang telah menumpuk, membuatnya tenggelam dalam gelombang kebahagiaan yang memancar dari dalam. Otot-ototnya berdenyut, dan ia merasakan desiran hangat yang menyebar dari vaginanya, menjalari setiap inci tubuhnya dengan sensasi yang memabukkan. Tubuhnya bergetar halus, sementara napasnya tertahan sesaat sebelum kembali mengalir, berat namun penuh kepuasan.
Nathan tersenyum lembut sambil menghentikan gerakannya, membiarkan Sisi menikmati setiap sisa gelombang nikmat yang masih terasa di tubuhnya. Ia menatap wajah Sisi yang berseri, dengan mata terpejam dan napas yang perlahan mulai teratur. Bagi Nathan, momen itu adalah segalanya, melihat Sisi merasa bahagia dan dipenuhi rasa nikmat membuat Nathan merasa telah memberikan apa yang Sisi butuhkan.
Dengan lembut, Nathan mengusap rambut Sisi yang sedikit berantakan, jemarinya menyentuh wajahnya penuh kehangatan. “Kamu baik-baik saja?” bisiknya pelan, hampir seperti rahasia di antara mereka berdua.
Sisi membuka matanya, tersenyum dengan tatapan yang penuh kelegaan, sambil mengangguk pelan. Gadis itu pun berkata, “Ini sungguh luar biasa, Kak… Rasa nikmatnya sampai ke ubun-ubun.”
Nathan tersenyum, terlihat puas mendengar kata-katanya. “Aku senang kamu merasakannya begitu,” balas Nathan dengan lembut. “Kamu layak merasakan kebahagiaan ini, Manis.”
Sisi menatap Nathan dengan mata berbinar. “Terima kasih Kak… Aku bahkan tidak pernah menyangka bisa sebahagia ini.”
Sisi dan Nathan saling berpandangan, merasakan kedekatan yang semakin mendalam di antara mereka. Dengan hati yang bergetar penuh perasaan, Sisi perlahan mendekatkan wajahnya, mengajak Nathan untuk merasakan kembali kehangatan yang baru saja mereka alami. Nathan menangkap sinar dalam mata Sisi, dan tanpa ragu, ia menyambutnya. Bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut yang segera berubah menjadi lebih dalam dan penuh gairah.
Nathan mulai menggerakkan pinggulnya lagi, menciptakan gerakan in-out yang ritmis dengan batangnya yang keras. Kaki Sisi bergetar saat tongkat gemuk itu memijat dinding rahimnya dengan gesekan pelan. Sisi merasakan daging berwujud panjang, besar dan keras milik Nathan terseret keluar-masuk ke dalam liang tubuhnya dengan cepat dan menumbuhkan sensasi nikmat yang teramat kuat. Benda tumpul itu berkali-kali menumbuk satu titik di dalam tubuhnya yang teramat dalam. Kedua tangan Nathan meremat kedua buah pantatnya. Dada Nathan konstan naik turun menggosok laju di payudara Sisi.
Rasanya seperti dinding-dinding rahimnya penuh dengan cairan, dan gesekan itu memberikan stimulus hangat ke perutnya, memberikan sinyal untuk terus menambah cairan. Penis itu terus keluar masuk membelah lipatan bengkak yang basah. Kenikmatan ini jauh lebih hebat dari yang pernah Sisi rasakan sebelumnya. Sisi merasakan kenikmatan yang membawanya semakin larut, membuat setiap saraf di tubuhnya bergetar halus.
“Oooohh My God … Soooo gooood ….” Sisi mendesah.
Rasa kenikmatan yang sangat kuat itu membuat kepala Sisi tengadah ke belakang dengan punggung melengkung. “Ungh, Kak!” Erangannya bergetar seiring dengan gelombang getaran yang Nathan berikan melalui penis perkasanya.
Rasa nikmat itu terus menerus tercipta di dalam vaginanya yang berdenyut-denyut cepat. Nathan terus menerjang dengan penisnya ke dalam vagina Sisi dan memberikan adukan kuat, membuat vagina adiknya itu terenjak-enjak oleh besar dan panjangnya penis Nathan. Sisi nampak terengah-engah dan setengah menangis, namun dari bantingan tubuhnya dan suara erangannya yang terus memanggil nama Nathan, membuat pemuda itu dapat menyatakan bahwa tubuh Sisi saat ini sudah tak terkendali. Cairan cintanya terus menerus mengalir membasahi penisnya meski ia sudah mengaduk selama lebih dari tiga puluh menit. Nathan lalu sengaja menggenjot dalam tempo pelan untuk melihat apakah Sisi masih sanggup.
“Apa yang kamu rasakan sekarang?” goda Nathan.
“Ngh…hngh, enak, geli … Kak … Ooohh … “
Nathan kemudian menambah kecepatannya lagi. Sodokan demi sodokan mendera kencang saluran senggama Sisi, mendesak g-spotnya untuk terus bereaksi. Sisi tidak mampu lagi mencerna apa yang terjadi di dalam tubuhnya. Yang ia rasakan hanyalah kenikmatan yang menyerang vaginanya, rasa panas yang mengubur kepalanya, hentakan detak jantung yang meledak di dadanya, juga sengatan kejang yang menstimulasi seluruh jengkal tubuhnya. Kali ini, Nathan benar-benar memberikan servis hubungan kelamin terbaik pada tubuh adiknya itu. Sisi mengalungkan kedua tangannya di leher Nathan. Belum pernah tubuhnya merasakan gelora seksual tinggi seperti ini. Ia membuka peluang lebar-lebar pada Nathan untuk membuatnya orgasme berkali-kali.
Tak terasa, satu jam sudah berlalu dan Nathan terus menekan isi perut Sisi secara bertubi-tubi. Sisi tenggelam sepenuhnya dalam kenikmatan yang menguasai setiap inci tubuhnya, hingga pikiran gadis itu tak lagi mampu memproses apa pun selain sensasi luar biasa yang terus menderanya. Gelombang demi gelombang kenikmatan melanda, membuatnya kehilangan kendali atas setiap pikiran yang tersisa. Sisi tak lagi mampu menghitung berapa kali dirinya mencapai puncak kenikmatan. Setiap gelombang membawa sensasi baru yang membutakan logikanya, membuatnya tenggelam lebih dalam pada kebahagiaan yang seolah tak berujung.
Nathan memandangi dengan puas wajah adiknya itu yang terguncang-guncang oleh luapan orgasme yang masih menggetarkan bagian dalam tubuhnya. Tubuh seksinya basah kuyup oleh keringat. Lubang merah di antara kedua pahanya mengeluarkan banyak cairan bening, seperti kran air yang secara berkelanjutan terus mengeluarkan air sisa-sisa puncak kenikmatan.
Dalam posisi yang sama, Nathan mengayunkan pinggulnya dengan gairah yang membara. Ia dan Sisi terlibat dalam persenggamaan yang penuh emosi, dan ketika Sisi merasakan bahwa Nathan hampir mencapai puncaknya, ia menatapnya dengan tatapan mendamba. “Ayo kak, isilah diriku,” pintanya. Dengan beberapa dorongan kuat, Nathan mulai kehilangan kendali. Ia menarik penisnya dari dalam vagina Sisi, dan sambil menggigit bibir, ia merasakan puncak kenikmatan, spermanya membasahi perut Sisi. “Aaahhkkk…!” Nathan mengerang dalam kelegaan.
Sisi tersenyum melihat ekspresi wajah Nathan yang diliputi kepuasan, lalu dengan lembut mengusap pipinya. “Kakak sangat tampan saat orgasme, hi hi hi…” ujarnya sambil tertawa kecil. Napas Nathan masih terengah, dan ia kemudian berbaring di samping Sisi. Tanpa ragu, Sisi merangkak naik ke atas tubuh Nathan, mendekatkan hidungnya ke hidung Nathan.
“Kenapa gak dikeluarin di dalam saja, Kak?” tanya Sisi lembut.
“Gak, aku takut kamu hamil,” jawab Nathan singkat.
“Tenang saja, Kak, aku rutin minum pil,” ujar Sisi dengan senyum kecil. “Jadi Kakak nggak perlu khawatir soal itu.”
Nathan menatap Sisi dengan sedikit ragu, lalu mengangguk perlahan. ” Aku cuma nggak mau ambil risiko,” katanya.
Sisi mengangguk mantap. “Aman kok Kak,” jawabnya sambil menyentuh lembut bibir Nathan.
Nathan melingkarkan lengannya di tubuh Sisi, menariknya lebih dekat. “Aku cuma berharap kamu benar-benar menikmati apa yang baru saja kita lakukan,” ucapnya lembut sambil menatapnya dalam-dalam. “Aku ingin kita bisa terus begini, tanpa ada rasa khawatir atau beban apa pun.”
Sisi tersenyum hangat, mengusap pelan dada Nathan. “Aku juga, Kak. Aku nyaman banget sama kamu,” jawabnya. “Aku suka bisa seperti ini tanpa perlu cemas soal apa pun.”
Nathan menarik napas dalam, suaranya lembut namun penuh keyakinan. “Aku cuma ingin kamu nyaman,” ucapnya pelan. “Dan semoga kamu benar-benar menikmati semuanya tanpa ada beban, termasuk beban pikiran karena pacarmu.”
Sisi tersenyum kecil, menyandarkan dirinya lebih dekat. “Aku sudah melupakan dia, Kak,” jawabnya dengan tenang.
Nathan tersenyum tipis, tampak lega mendengar jawaban Sisi. “Bagus kalau begitu.”
Sisi tersenyum nakal dan berkata dengan nada menggoda, “Sekarang aku jadi tahu, kenapa Mommy tertarik sama kamu. Mommy itu orangnya sangat selektif kalau soal pasangan, nggak sembarang orang bisa menyentuhnya.” Ia mendekatkan dirinya, berbisik pelan, “Tapi kamu… kamu satu-satunya yang bisa menaklukkannya. Mungkin karena kamu tangguh dan tahu persis gimana cara membahagiakan seorang wanita di atas ranjang.”
Nathan tertawa kecil, sedikit terkejut dengan kelakar Sisi. “Oh ya?” balasnya sambil mengusap punggungnya dengan lembut.
Sisi tersenyum genit, “Iya, Kak. Aku nggak heran lagi kenapa Mommy bisa jatuh ke pelukanmu. Kamu punya daya tarik yang bikin semua orang, termasuk aku, terpesona.”
Nathan tertawa kecil, mencoba bersikap santai. “Yah, sebenarnya aku ini pecinta wanita, jadi bisa dibilang koleksiku cukup banyak,” katanya dengan nada bercanda. “Dan sekarang, koleksiku bertambah, yaitu kamu.”
Sisi terkekeh mendengar pernyataan Nathan, merasa terhibur. “Oh, jadi aku hanya jadi salah satu koleksimu, ya?” ujarnya dengan gaya menggoda.
Nathan menggelengkan kepala. “Bukan begitu! Kamu istimewa, Sisi. Setiap wanita punya tempatnya masing-masing, dan kamu di sini adalah yang paling bikin aku terkesan.”
Sisi terkekeh dan berteriak, “Gombal!” sambil mencubiti tubuh Nathan dengan penuh semangat.
Nathan tertawa, mencoba menghindar dari serangan cubitan Sisi. “Aduh, jangan gitu! Aku serius, lho!” ujarnya sambil melindungi dirinya dengan tangan.
Sisi semakin menggoda, “Serius? Tunjukkan buktinya, Kak!” Mereka berdua kemudian terlibat dalam permainan ringan, saling cubit dan tertawa, menciptakan suasana hangat di atas tempat tidur.
Ketika tawa mereka mulai mereda, Nathan dan Sisi berbaring berdampingan, merasakan kedekatan yang tak terpisahkan. Dengan senyum di wajah mereka, Nathan berbisik, “Kita harus melakukan ini lebih sering.”
Sisi mengangguk setuju, merasa bahagia dalam kebersamaan ini. Mereka berdua tahu, apa yang terjadi di antara mereka adalah sesuatu yang spesial, dan mereka siap menjalaninya bersama.
Bersambung
Akhirnya lanjut kak !!!???