Skip to content

AKU DAN LAUTAN BIRAHI

AKU DAN LAUTAN BIRAHI

PART 09

Matahari mulai tampak tenggelam di barat dan menyapukan cahayanya ke segala penjuru langit. Pemandangan itu mengingatkanku dengan janjiku pada Martin: kami akan bertemu untuk yang menyaksikan senja.

Aku meminta ijin pada suami untuk membeli beberapa camilan. Suamiku sempat bertanya kenapa harus membeli camilan padahal kita akan segera tiba di tujuan. Namun, aku buru-buru mencari alasan agar ia tidak menjadi curiga.

Tiba di tempat kami janji untuk bertemu, kulihat Martin sudah berdiri di sana. Ia sedikit terkejut saat aku mulai menyapanya.

“Sudah lama?” sapaku.

“Eh…” jawabnya. “Ehmm…ya lumayan. Kamu ijin apa ke suamimu?”

“Beli camilan.”

Martin tertawa mendengar jawabanku.

“Bagus ya langitnya?” kataku mengisi obrolan.

“Iya. Itulah kenapa aku suka pulang lewat laut,” kata Martin. “Aku senang menyaksikan pemandangan seperti ini.”

“Ini pengelaman terindah,” kataku.

Martin lalu menoleh ke arahku. Aku juga menoleh ke arahnya. Aku tersenyum padanya dan wajahnya tampak bertanya-tanya. Tapi beberapa detik berikutnya ia juga mulai tersenyum padaku.

Entah bagaimana awalnya, tanpa memedulikan beberapa orang yang ada di sana, kami mulai berhadap-hadapan dan saling mendekat. Pada akhirnya yang kami rasakan adalah bibir kami yang mulai saling melumat. Tubuh kami saling mendekap. Kami sudah tidak peduli dengan keadaan sekitar. Bahkan rasa takut apabila suamiku tiba-tiba ada di sana sudah lenyap sebelum martin melepaskan ciuman kami.

“Nanti aku akan bepura-pura untuk turun di Namlea,” kata Martin. “Aku akan tinggal di kamar kemarin. Sebelum kamu turun, aku mau kamu datang ke kamar itu menemui aku.”

Tanpa pikir panjang akan risiko yang kemudian akan dihadapi, aku langsung mengiyakan permintaan Martin.

Pukul 23.00 Martin sudah bersiap dengan barangnya. Tidak lupa ia berpamitan dengan suamiku.

“Saya turun duluan ya,” kata Martin.

“Iya. Hati-hati,” jawab suamiku. “Selamat sampai tujuan.”

“Kamu juga. Semoga kita bisa berjumpa lagi di lain waktu.” Saat mengatakan itu Martin juga melihat ke arahku.

Aku hanya tersenyum pada Martin dan berakting seolah ini adalah sebuah perpisahan yang sesungguhnya. Setelah berpamitan pada kami, Martin melangkah meninggalkan kami dan pergi.

“Semoga kita bisa ketemu Martin lagi ya?” kata suamiku. “Dia orangnya baik.”

“Iya, Mas,” jawabku.

“Oh ya, kita cicil barang-barang sudah sekiranya tidak diperlukan. Biar nanti saat mau turun, tidak perlu buru-buru.

Aku mengiyakan perintah suamiku itu. Tetapi sesungguhnya aku sudah tidak bisa berkonsentrasi dengannya, pikiranku masih tertuju pada Martin dan rencana kami nanti malam.

Tidak lama setelahnya, suamiku sudah tertidur. Aku mencoba membangunkannya perlahan untuk memastikan dia sudah terlelap. Setelah aku yakin, langsung kutinggalkan ia sendirian dan pergi menemui Martin.

Jam sudah menunjukkan pukul 00.20. Martin sudah di dalam dan menungguku.

“Kenapa lama?” tanya Martin.

“Aku memastikan suamiku sudah tidur.”

Martin berdiri dan langsung memelukku. “Aku sudah kangen, sayang.”

“Aku juga.”

Kami mulai berciuman. Bibir kami saling bertemu. Detik per detik ciuman kami semakin panas. Bibir mulai saling berpagutan dan melumat satu sama lain. Nafas mulai memburu. Tubuh semakin erat menempel.

Ciuman Martin mulai berpindah ke bagian leher. Ia menelusuri setiap inchi leherku dan membuat nafsuku semakin meningkat. Apalagi saat ia memainkan lidahnya di bagian belakang telinga. Nafsuku terus naik dan membuat tanganku juga merespon dengan menuju selangkangannya. Kurasakan kelelakiannya mulai naik.

Tanganku menyelinap masuk ke dalam celana pendek yang ia kenakan. Rupanya di dalam celana itu ia sudah tidak mengenakan apa pun. Langsung kutemukan batang lelakinya yang sudah mengeras.

Martin tak mau kalah. Tanganya meraih ujung bawah kaosku dan perlahan ia mengangkatnya untuk ia lepas. Aku bantu dengan mengangkat tanganku agar mudah dilepas. Saat sudah terlepas, tangannya langsung membuka BH yang masih menutupi. Tak butuh waktu lama untuk membuat tubuh bagian atasku telanjang.

Mulut Martin langsung melahap susuku. Keduanya menjadi sasaran nafsu menggeloranya. Mulutnya secara bergantian menghisap kedua payudaraku. Putingnya ia sedot dan mainkan dengan lidahnya. Wanita mana yang tidak naik nafsunya saat dirangsang seperti itu?

Martin juga tidak segan meninggalkan bekas cupang di dadaku.

Puas dengan dadaku, Martin mulai menidurkanku di kasur. Sambil berdiri ia melucuti seluruh pakainnya hingga telanjang. Penisnya langsung tegak seolah berkata bahwa siap menggagahiku. Kini aku berada di bawahnya. Tangan Martin meraba bagian dada dan turun terus hingga ke kancing celana. Kancing itu kemudian ia buka dan celana yang kukenakan ia turunkan hingga terlepas. Tampaklah selangkangan yang masih tertutup oleh CD. Martin menyentuh CD itu dan kemudian juga menurunkannya. Kini jadilah aku telanjang dan siap untuk digagahi oleh Martin.

Kakiku dibawa naik ke tepi kasur. Martin kulihat mulai berjongkok dan wajahnya berada di antara kedua padaku. Ia memandangku sebelum akhirnya kurasakan mulutnya mulai bergerak di selangkangan.

“Ahh…” Mulai kurasa lidah Martin menyentuh vaginaku.

Lidah itu bergerak-gerak dan mulai mengantar kenikmatan ke seluruh tubuhku. Aku mulai mendesah-desah menikmati setiap jilatan Martin di vaginaku. Apalagi saat lidahnya menyentuh bagian klitorisku. Seperti ada sengatan listrik yang menyengatku. Tubuhku menggelinjang ketika Martin bermain-main dengannya.

“Ahh…ahh…ahh…,” aku terus mendesah. Tubuhku juga bergerak-gerak merespon kenikmatan yang diberikan oleh lidah Martin. “Ahh…Marr…tiinnn…”

Lidah Martin semakin liar memainkan lidahnya di vaginaku. Bahkan kurasakan Martin menyedot-nyedot klitorisku. Itu semakin membuatku ke gelinjang dan tidak tahan.

“Ahhh…stooopp…” Aku bangkit dan mendorong mundur kepala Martin.

Martin memandangaku sambil tersenyum puas. Dia bangkit. Aku meraih tangannya dan membawanya untuk menindihku. Birahi yang kian memuncak membuatku makin bernafsu. Aku langsung mencium bibir Martin.

Saat ciuman kami terlepas, Martin mulai mengarahkan penisnya ke vaginaku. Secara perlahan batang penis Martin masuk dan tenggelam dalam liang senggamaku itu. Seperti sebelumnya, vaginaku terasa penuh dengan penis Martin.

Martin perlahan mulai menggerakkan penisnya keluar masuk di vaginaku. Aku memejamkan mata mulai menikmati gerakan penis Martin. Martin kembali meraih bibirku dan kami berciuman sambil terus menggagahiku.

“Ahh…” Aku mendesah saat Martin mulai mempercepat gerakannya.

Dadaku tidak lepas dari lahapan Martin. Dengan bergantian, payudarku ia lahap. Ia menyedot-nyedot puting susuku. Ia bermain-main dengan lidahnya di putingku. Itu makin membuat birahiku semakin memuncak.

“Ahhh…Martinn…” desahku.

“Ahhh…ahh…ahh…” Kudengar Martin juga mulai mendesah seirama dengan genjotannya di vaginaku.

Kurasakan genjotan Martin kian cepat. Tubuhku juga berguncang-guncang semakin cepat. Kurasa pula aku semakin dekat ke puncak.

“Ahh…Marrtiin…oohh…” Aku semakin keras mendesah.

Sudah kulupakan bahwa ada laki-laki yang kutinggalkan di deck demi bisa bercinta dengan laki-laki yang baru beberapa hari aku kenal. Kini aku hanya ingin meraih kepuasan terakhir yang bisa aku dapatkan dari laki-laki gagah ini.

“Ohh…ahhh…” Kurasakan Martin makin buas menggagahiku dan aku semakin tidak kuat untuk mencapai orgasmeku.

“Marr…tiinnn…ahhh…,” Tubuhku kurasakan menegang. Aku memeluk Martin erat dan selangkanganku bergerak naik seolah meminta penis Martin makin dalam masuk di vaginaku. Tubuhku bergetar beberapa kali.

Belum pernah aku merasa kenikmatan seperti ini bersama suamiku.

Menyadari aku baru saja mencapai puncakku, Martin menghentikan tusukannya. Ia mencabut penisnya dari vaginaku. Aku tidak meresponnya dan terpejam sejenak menikmati sisa-sisa orgasmeku.

Setelah melihat tenagaku mulai pulih, Martin kembali mendekat. Kulihat penisnya masih tegak berdiri dan kembali siap untuk menggagahiku. Martin pun mulai menindihku lagi. Dia tidak berkata apa-apa dan hanya tersenyum nakal kepadaku. Aku membalas senyuman nakalnya.

Penis Martin mulai menusuk kembali vaginaku dan dengan cepat ia sudah langsung menggenjotku. Genjotan itu perlahan semakin cepat dan birahiku perlahan juga semakin naik.

“Ahh…ahh…” desahku. Kudengar Martin juga mulai mendesah.

Saat sedang asyik menikmati genjotan penisnya, Martin mencabut penisnya. Kini ia berbari di atas kasur. Ia memintaku untuk naik ke atasnya. Tanpa protes, aku langsung menuruti kemauannya itu. Aku naik ke atas dan mengangkanginya. Kuarahkan penisnya ke vaginaku.

“Ahh…” desahku saat vaginaku mulai menelan penisnya. Dengan posisi ini penis Martin jadi semakin dalam menusuk vaginaku.

Aku mulai bergerak naik turun. Penis Martin mulai keluar masuk di dalam vaginaku. Setelah itu aku mencoba menggoyangkan pinggulku untuk memberikan kenikmatan lebih pada penis Martin. Kulihat Martin memejamkan matanya menikmati sensasi yang dirasakan. Melihatnya demikian, aku jadi ingin mencium bibirnya.

Aku menurunkan badanku dan langsung melahap bibirnya. Kami berciuman dengan penuh nafsu.

Puas dengan posisi di atas, Martin kembali menidurkanku dan langsung menindihku. Penisnya langsung menggenjotku seolah ia sudah tidak tahan lagi.

“Ahh…ahh…ennakkk.Martiinn…” Rasanya aku akan kembali mencapai puncakku. Apalagi Martin semakin kuat menggenjotku.

Nafas Martin semakin memberat. Ia semakin mempercepat tusukannya di vaginaku. Badanku perlahan mulai menegang. Rasa nikmat semakin merangkak naik dan akan sampai di puncak.

“Ahhh…Maarrttiinnn…” Aku memeluknya erat. Tubuhku bergetar. Aku kembali meraih orgasmeku.

Martin, tanpa mengurangi kekuatannya, terus menindihku. Dan tak lama kemudian, Martin menghujamkan penisnya dalam-dalam ke vaginaku. Kurasakan penisnya berkedut-kedut di dalam dan menyemburkan spermanya yang kurasa sangat banyak.

“Ahhh…” Martin melenguh panjang dan ia mendekapku erat.

Setelah terdiam cukup lama, Martin bergeser dan tidur di sampingku. “Terima kasih.” ucanya.

Aku hanya diam dan tak membalas apa-apa. Ada perasaan aneh yang kurasakan. Setelah baru saja kami berdua mendayung ke pulau kenikmatan bersama-sama, tiba-tiba saja kami dilanda perasaan sedih: ini adalah terakhir kita akan bertemu.

Martin kemudian bangkit dan kembali menciumku. Lalu ia mengambil kaosnya dan tiba-tiba saja menuju selangkanganku. Ia membersihkan sisa-sisa cairan bekas persenggamaan kami hingga bersih. Entah kenapa aku sangat tersentuh dengan sikapnya itu. Kini aku juga ikut bangkit dan memeluknya erat.

“Terima kasih,” ucapku lalu kembali menciumnya dalam-dalam.

Aku kembali ke suamiku dan ternyata ia masih tidur. Aku merebahkan tubuhku di sampingnya. Aku menoleh ke arah bekas tempat tidur Martin. Aku kembali mengingatnya dan hanya tersenyum. Kemudian aku melihat ke arah suamiku.

Pertemuan dengan Martin membuat pengalamanku menaiki kapal ini menjadi sangat berkesan. Meskipun sebetulnya ada perasaan sedih saat tahu aku dan Martin akan berpisah. Tentang perasaanku padanya, sejak setelah percintaanku dengannya tadi, aku jadi berpikir bahwa itu adalah perasaan sesaat saja. Martin memberikan kesempatan padaku untuk merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Namun, itu bukan berarti bahwa mulai memiliki ‘perasaan’ pada dia. Aku masih memiliki suami yang seutuhnya sangat menyayangiku.

Martin akan aku kenang sebagai seseorang yang telah membawaku pada sebuah pengalaman seksual yang baru. Namun, tidak berarti aku akan melupakan kenikmatan seksual dengan suami.

Tamat 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *