Skip to content

AKU DAN LAUTAN BIRAHI

AKU DAN LAUTAN BIRAHI

PART 07

Besok paginya, hari keempat, pagi-pagi sekali aku pergi mandi. Ketika aku berangkat Mas Aldi dan Martin masih ada di tempat tidur. Mas Aldi sedang duduk sambil membuka-buka laptop sedangkan Martin kulihat masih tertidur.

Aku mulai menyiram tubuhku. Tiba-tiba tak berselang lama ada sebuah ketukan di pintu.

Tok…tok…tok…

Aku terkejut. Siapa? Apa dia tidak mendengar sedang ada orang di dalam? Aku abaikan saja ketukan itu. Tapi orang di luar tetap berusaha mengetuk. Kenapa masih belum berhenti? Aku membiarkannya lagi. Tetapi ketukan itu terus terdengar.

“Buka!” kata seseorang di luar pintu.

Tunggu! Aku ingat suara itu. Itu suara…Martin.

“Ngapain?” tanyaku. Heran.

“Cepat,” sahutnya setengah berbisik. “Mumpung tidak ada orang.”

Bagaikan terkena sihir Martin, aku langsung mengiyakan kata-katanya. Segera aku buka pintu kamar mandi dan Martin segera masuk ke dalam. Aku buru-buru berusaha untuk menutupi tubuhku, meskipun aku tahu itu usaha yang sia-sia. Lagipula seharusnya aku tidak membuka pintunya kalau aku memang tidak mau Martin melihat aku telanjang. Tetapi tenyata aku malah mempersilakannya masuk?

“Kamu mau apa?” tanyaku sambil terus berusaha menutup tubuhku.

“Sssttt” Martin memberis respon.

Ia lalu mendekat ke arahku dan menempelkan aku pada dinding kamar mandi. Ia memegang tanganku yang berusaha menutup tubuhku dan ia menurunkannya. Tanganku terlepas dan akhirnya ia bisa dengan leluasa melihatnya. Ia memperhatikan badanku dari atas sampai bawah.

“Kamu benar-benar bikin aku bergairah,” katanya. Ia langsung mencium bibirku. Aku tidak melawan dan merespon ciumannya. Tapi gairah yang mulai bangkit membuatku tak kuasa untuk membalas lumatan bibirnya. Kini kami sudah saling membalas ciuman. Bisa kurasakan ciuman Martin lebir liar dari ciumanku.

Kedua tangannya meraih payudaraku dan ia mulai meremasnya perlahan. Karena terbakar oleh birahi, seketika tanganku bergerak ke arah selangkangan Martin. Langsung kubuka kancing dan resleting celananya dan langsung terjatuh. Penisnya langsung mencuat keluar. Penisnya sudah sangat keras. Pantas saja ciumannya sangat berapi-api.

Aku mulai melakukan gerakan mengocok pada penis Martin. Sesuatu yang semalam gagal aku lakukan. Ah, penisnya sangat besar dan panjang. Aku bisa merasakannya dari tanganku. Aku membayangkan bagaimana jika penis itu masuk ke dalam vaginaku. Birahiku semakin meningkat. Apalagi ciuman Martin kini turun ke leher dan terus turun hingga sampai ke dada. Martin mulai melahap payudaraku dengan mulutnya.

Permainan mulut Martin di payudaraku memberi kuasa pada birahi untuk mengalahkanku. Karena posisinya Martin yang sedikit menunduk membuat tanganku terlepas dari selangkangannya. Kini aku hanya bisa mengelus-elus kepala Martin sambil menikmati permainannya di susuku.

“Ah…” Aku mendesah pelan agar tak ketahuan.

Sambil melumat payudaraku, kurasakan tangan Martin mulai menyentuh vaginaku. Ia meraba-raba dengan tangannya. Lalu perlahan kurasakan jarinya berusaha menyelinap di lubang vaginaku. Aku yakin pasti vaginaku sudah mulai basah karena rangsangan Martin.

Jari-jari Martin terus berusaha masuk ke vaginaku. Seolah mempersilahkan, aku mulai membuka selangkanganku lebih lebar agar mempermudah Martin memainkannya. Martin terus memainkan jarinya. Ia menggesekkannya ke bagian klitorisku dan membuatku tak kuat untuk mendesah tiap kali ia menyentuhnya.

“Ah…” Aku sebisa mungkin berusaha menahan desahanku.

Sambil terus bermain di vaginaku, ciuman Martin turun dari dada ke perut. Ah, ciumannya menambah gairah. Tapi tak lama ciuman itu turun terus ke selangkangan.

Tidak! Aku harus menghentikannya.

“Stop!” kataku. “Jangan di situ.”

“Kenapa?” tanya Martin.

“Jangan. Terlalu berbahaya.”

Martin sepertinya paham maksudku. Ia bangkit dan berdiri di depanku. Wajahnya sangat dekat padaku.

“Apa suamimu suka film?” tanyanya

“Hah? Kenapa memangnya?” Aku penasaran.

“Kalau tidak suka, kamu bisa ijin untuk nonton film,” jawab Martin. “Di kapal ini ada tempat untuk nonton. Nanti kita bertemu di sana.”

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku hanya berpikir bahwa kini Martij makin berani. Hubungan kami mulai jauh. Aku tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi.

Martin lalu kembali mengenakan pakaiannya dan diam-diam keluar dari kamar mandi.

Aku terdiam sendiri di kamar mandi dan kembali memikirkan hubunganku dengan Martin. Apakah akan terus berlanjut atau aku hentikan semuanya di sini?

***

“Mas, kita nonton film yuk!” ajakku pada suami. “Katanya di kapal ini ada tempat untuk nonton.”

“Nonton? Nonton film apa?” tanya suamiku.

“Ya gak tau juga sih,” kataku.

“Film biru?” kata suamiku pelan. Menggodaku.

“Ih, masa di sini nonton film biru?”

“Ya siapa tau menyediakn buat para pasangan yang udah berhari-hari belum ngecas,” goda suamiku.

“Apaan sih, Mas?” kataku. “Emangnya mau di mana di kapal ini? Ya ga bisa lah.”

“Hehe. Ya siapa tau bisa,” kata suamiku. “Habisnya udah kebelet.”

“Hmm ditahan dulu.”

Ada perasaan bersalah pada suamiku. Seharusnya kewajibanku adalah memuaskan dia. Tapi yang kulakukan justru melayani orang lain dan menuruti birahi liarku. Aku justru terjerumus pada lubang hitam perselingkuhan. Ya, aku sudah berselingkuh. Apa namamya kalau membiarkan laki-laki lain melihatnya telanjang dan memainkan tubuhnya?

“Kalo aku nonton boleh ga, Mas? Bosen nih soalnya,” pintaku pada suami.

“Gapapa nonton aja.”

“Makasih ya, Mas.”

Benih-benih kebohonganku terus bertambah. Nafsu benar-benar sudah menguasaiku. Aku tidak takut lagi seandainya tiba-tiba membuntutiku. Saat ini yang kupikirkan hanyalah bertemu dengan Martin. Kejadian di kamar mandi membuatku makin ingin melangkah jauh dengan Martin.

Siang hari, sesuai janjianku dengan Martin, aku berangkat ke tempat nonton. Sesampainya di sana aku membayar tiket dan masuk. Aku mencari-cari Martin lalu kulihat ia di salah satu bangku. Aku menghampirinya.

“Suamiku ga ikut kan?” tanyanya. Aku menggeleng.

“Baguslah.” jawabnya dengan wajah senang.

Kami duduk berdua dan mulai menonton. Tidak banyak penumpang yang menonton. Mungkin karena merasa harga tiketnya terlalu mahal untuk film yang sudah lawas. Kalau saja bukan diajak Martin, aku juga tidak akan pergi ke tempat ini.

Setengah jam berlalu dan aku mulai bosan dengan filmnya. Tiba-tiba saja, Martin mengajakku keluar.

“Mau ke mana?” tanyaku.

“Ayo ikut saja,” ajaknya menggandeng tanganku.

Kami keluar ruangan. Aku melangkah mengikuti Martin. Entah ke mana Martin akan membawaku. Tapi aku tidak takut kalau-kalau suamiku memergoki kami. Aku terus saja berjalan sambil bergandengan tangan dengan Martin.

Martin lalu berhenti dan mulai masuk ke sebuah ruangan. Ternyata ruangan itu adalah sebuah kamar. Terdapat kasur kecil dan sebuah meja.

“Tempat siapa ini?” tanyaku.

Martin mengunci pintunya dan melangkah mendekatiku.

“Tempat kita,” katanya sambil berusaha memelukku.

“Maksud kamu?”

“Sssttttt.” kata Martin.

Martin mendekapku dan membuatku erat dengan tubuhnya. Tangannya menyentuh wajahku. Kurasakan perlahan wajahnya mendekat. Aku memejamkan mata dan selanjutnya kurasakan bibirnya sudah menyentuh bibirku.

Kami mulai berciuman kembali. Bibir kami saling melumat satu sama lain. Lidah saling berpagutan. Kami berciuman sambil terus bergerak menuju tempat tidur. Kami terduduk di sana. Ciuman kami berhenti. Kami saling memandangan seolah bertanya apakah kami yakin akan melanjutkan. Ciuman selanjutnya menjadi jawaban.

Sambil terus berciuman, tangan Martin mulai menggerayangi tubuhku. Tangannya menyelinap masuk ke dalam bajuku. Ia langsung berhasil meraih susuku yang terbungkus BH. Tangannya kemudian ke belakang untuk melepas kaitan BH-ku. Dalam sekejap kaitan itu terlepas dan Martin bebas memainkan susuku dengan tangannya.

Ciuman Martin mulai turun ke leherku. Ia menciumi bagian belakang telingaku dan membuatku mendesah pelan.

“Ah…”

Aku memejamkan mata menikmati cumbuan Martin. Tanganku pun kini tak mau tinggal diam. Aku menuju ke selangkangan Martin dan kurasakan sudah ada yang mengeras di sana. Aku membuka kancing celananya. Martin membantuku sehingga tak butuh waktu lama aku bisa meraih penisnya yang besar itu.

Martin mulai mengangkat bajuku untuk berusaha melepaskannya. Tidak ada penolakan dariku dan justru aku ikut membantunya. Dalam sekejap bagian atas tubuhku pun tak tertutup apa pun. BH-ku juga ikut dilepas olehnya. Martin kini mulai bergerak turun ke dadaku. Wajahnya mulai tenggelam di antara dua susuku. Lalu ia secara bergantian melahap kedua gunung indahku.

“Ah…ah…Martiiinn…” desahku saat Martin memainkan puting susuku dengan lidahnya. Lidahnya berputa-putar mengitari putingku. Aku hanya bisa mengelus kepala Martin sembari hanyut dalam kenikmatan ini.

Martin menidurkanku dan ia sudah melepaskan ciumannya di dadaku. Kini ia mulai berusaha membuka kaitan celanaku. Aku menghentikannya.

“Jangan!” kataku. “Aku takut.”

“Tenang saja,” kata Martin. “Di sini aman.”

“Aku takut!” ucapku belum yakin.

“Lihat aku,” kata Martin. Aku memandangnya. “Semua akan baik-baik saja. Oke?”

Martin mengecupku pelan dan dalam. Tak butuh waktu lama, ia pun menurunkannya hingga terlepas dari kakiku. Ia juga turut melepaskan celana dalam yang kukenakan.

Martin berdiri sejenak memandangi tubuhku.

“Beruntungnya suamimu,” katanya. Lalu ia mulai menurunkan celananya berikut CD-nya. Ia pun kini sudah bertelanjang. Melihat Martin dalam keadaan itu membuatku makin bernafsu. Tubuhnya yang gagah ditambah dengan kelelakiannya yang ‘luar biasa’ membuat aku lupa bahwa aku adalah istri seseorang.

Martin mendekat ke arahku. Kemudian ia membuka pahaku hingga mengangkang. Kini Martin dengan leluasa dapat melihat vaginaku. Dalam beberapa detik kemudian, kepala Martin terbenam di antara kedua pahaku. Tiba-tiba kurasakan ada yang menyentuh vaginaku. Kurasa itu adalah lidah Martin.

Lidah Martin mulai bermain di vaginaku. Lidah itu perlahan mulai menyapu bibir vagina. Lama kelamaan kuraskan mulai menjilat-jilat klitorisku dan membuat aku mendesah dan menggelinjang.

“Ah…ah…ssshhh…”

Martin terus saja memainkan lidahnya. Bahkan terkadang lidah itu berusaha menusuk-nusuk lubang vaginaku. Aku yakin pasti vaginaku sudah sangat basah. Kurasakan juga Martin terkadang menyedot-nyedot klitorisku dan membuatku menggelinjang tak karuan.

“Ahhh…Marttiin…stoopp…aahh…” Kurakan aku sudah tidak sanggup. Aku ingin segera Martin menggagahiku.

“Martiinnn…aayyooo…aahh…” pintaku pada Martin.

Sepertinya Martin mengerti keadaanku, ia langsung menghentikan permainan lidahnya.

“Sebenarnya aku masih ingin merasakan vaginamu, sayang,” katanya.

“Martin, tolong!” kataku. “Aku ingin kamu saat ini.” Aku sudah tidak tahan lagi.

Ia lalu mulai mengarahkan penisnya yang tegang itu ke vaginaku. Awalnya ia gesek-gesekkan di bibir vagina. Lalu kemudian kurasakan penis itu mulai melakukan tusukan di lubang vaginaku. Sedikit demi sedikit Martin mendorong penisnya agar terus masuk. Kepala penisnya kurasakan mulai masuk. Martin mendiamkannya sejenak sebelum kembali mendorong masuk. Sampai akhirnya kurasakan vaginaku sudah penuh. Entah batang penis Martin masuk seluruhnya atau tidak. Martin mendiamkannya sejenak.

Martin menundukkan badannya dan kembali menciumku. Kemudian pantatnya mulai bergerak maju mundur. Penisnya pun turut bergerak keluar masuk di vaginaku.

“Ah…ah…” Aku mulai mendesah keenakan.

Perlahan dorongan penis Martin mulai bertambah cepat ritmenya. Tangan Martin tak mau diam. Ia mainkan susuku dengan tangannya. Bahkan ciuman Martin turut turun ke dadaku. Ia langsung melahap kedua payudaraku secara bergantian.

Sementara itu genjotannya di vaginaku semakin cepat. Aku makin tak kuasa untuk mendesah.

“Ah…ahh…sshhh..ahhh…” Apalagi saat Martin sembari memainkan lidahnya di puting susuku.

Martin bangkit dan kini posisinya bertumpu pada lutut dan kedua tangannya sambil terus menggenjotku. Martin juga sesekali melakukan goyangan dan itu makin mengantarku menuju puncak kenikmatan.

Martin terus menggenjot semakin lama semakin bertambah cepat. Desahanku juga bertambah kencang diikui dengan racauan. Aku sudah tidak memedulikan akan ada yang mendengar atau tidak. Seiring dengan desahanku, Martin juga turut mendesah.

“Mar…tiiinnnn…” Birahi kian mengantarku menuju puncak kenikmatan. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi. Dan akhirnya, “Ahhhh…” Aku melenguh panjang.

Aku menarik badan Martin agar bisa kudekap. Aku peluk tubuhnya erat-erat dan pantatku kubawa ke atas agar penis Martin makin dalam menusuk liang senggamaku. Tubuhku bergetar beberapa kali. Aku terus memeluknya sambil menikmati puncak birahiku.

Setelah itu, Martin tak mengurangi ritme genjotannya. Ia justru makin mempercepat. Penisnya juga makin cepat keluar masuk di vaginaku. Apalagi vaginaku sudah banjir dengan cairan cintaku.

“Hahh…aahhh…” dengus Martin.

Lalu kemudian kurasakan Martin menarik penisnya keluar dengan cepat dan menyemburkan spermanya ke di atas perutku. Banyak sekali sperma yang keluar. Putih dan kental. Martin kulihat langsung merebahkan dirinya di sampingku.

Sejenak aku terdiam merasakan sisa-sisa kenikmatan yang baru saja aku raih bersama Martin. Belum pernah rasanya aku meraih kenikmatan seperti ini dengan suami. Jarang sekali aku dibuat orgasme olehnya.

“Makasih, ya?” kata Martin menoleh ke arahku.

“Seharusnya ini tidak terjadi,” kataku.

Aku bangkit dari tidurku. Kuraih baju Martin untuk aku buat mengelap spermanya. Setelah bersih, aku segera mengenakan pakaianku.

“Mau ke mana?” tanya Martin.

“Aku takut suamiku mencari,” jawabku dan langsung meninggalkan Martin sendirian.

Dalam perjalanan kembali ke deck-ku, aku dihantui rasa bersalah pada suami. Seketika air mataku menetes namun aku buru-buru menghapusnya sebelum bertemu suamiku.

Bersambung…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *