Lost & Found 4.3.1
Tahun ’67
Desa-desa sepi. Kota-kota mati. Orang lebih banyak membunuh waktu di rumah. Kalau tidak sedang ada perlu, mereka tidak keluar. Saat di luar pun, mereka tumbuhkan mata di punggung mereka. Jaga-jaga. Telinga selalu waspada. Bicara secukupnya. Negara sedang tidak baik-baik saja.
Dan Sukar jadi salah satu yang paling merasakannya. Bahkan saat orang belum diciduk untuk lalu dihabisi lalu dipendam dalam kuburan massal tak bernama atau didor di tempat, dia sudah benci dengan yang namanya aparat. Seragam pria-pria gagah itu di benaknya cuma bermakna satu kata: kejam. Terutama, sesudah dia cukup besar dan bisa mengingat siapa bapaknya.
Ibunda Sukar gadis desa biasa. Kerja melinting tembakau di salah satu pabrik rokok tetangga. Sampai kegadisannya direbut paksa. Oleh seorang aparat yang sang bapak berhutang padanya. Alih-alih membela, saat dirinya diperkosa, penjudi bermental banci itu cuma diam di kamar sebelah. Mabuk dan setengah lega, hutangnya dianggap lunas.
Kala itu, andai mantan perawan itu menerima saja, mungkin nasibnya akan berbeda. Tidak akan dia diusir dari rumahnya. Namun dasar tabiatnya yang keras kepala. Bungkam bukan bahasa yang dia percaya. Sang ayah dia ajak ribut. Dia mengira, ibunya akan ada di pihaknya. Mereka sama-sama wanita, lagipula. Sial, dia salah sangka. Justru dia yang mereka keroyok bersama lalu anggap tidak ada.
Sendirian, dengan janin di perutnya, wanita itu mengembara. Dari satu kota ke kota berikutnya. Hingga tahu-tahu saja sudah jadi kupu-kupu malam dia. Hidup dari sedikit jatah yang muncikarinya beri. Meski, dia yang semalaman digagahi. Dinodai.
Kelahiran Sukar membuat wanita itu mengambil cuti. Segera sesudah si bocah bisa dititipkan pada tetangga, dia kembali pada dunia malamnya. Tanpa bisa dihindari, Sukar pun tumbuh dengan menganggap ibunya sendiri sebagai orang asing. Sebagai sosok yang cuma sekadar ada, tetapi tidak pernah benar-benar menjadi rumahnya.
Merasa kesepian, Sukar remaja sengaja menghindari pergaulan. Selain malu dengan profesi sang ibu, dia juga enggan dikasihani. Dia ingin mandiri. Hidup dari keringatnya sendiri. Lalu pergi dari kotanya dan tak akan lagi kembali.
Dalam kesendiriannya, Sukar menemukan pelipur sepi pada diri seorang gadis cantik bernama Putri. Saat sedang mengangon sapi milik juragannya, dia selalu sempatkan lewat di depan warung sang pujaan hati. Dia tahu dia tidak akan dilirik. Tidak akan dianggap. Akan tetapi, dia cukupkan diri dengan mengetahui ada makhluk seindah Putri di dunia ini.
Seiring bertambahnya usia, Sukar dapati perasaannya kian sukar dia kendalikan. Kerap Putri menghampirinya di mimpi. Dan celananya selalu basah saat dia bangun pagi-pagi. Merana memendam rahasia ternyata bisa membikin orang gila. Oleh karenanya, pada suatu petang, sesudah dia mandi dan mengenakan baju terbaiknya, dia tinggalkan rumah.
Hujan gerimis tak menyurutkan langkah Sukar. Tekadnya sudah bulat. Akan dia ajak Putri bicara. Ya, hanya bicara. Dia akan berlagak membeli rokok di warungnya. Apa yang akan terjadi setelahnya, dia tak ambil peduli. Asal dia bisa bicara dengan Putri, dia akan jadi lelaki paling bahagia di dunia.
Semangat Sukar masih menggebu meski sesampainya dia di warung Putri, tidak ada siapa-siapa di sana. Penasaran, dia beranikan diri mendekati pintu di sudut ruangan. Barangkali Putri di sana. Barangkali perempuan itu sedang butuh bantuannya.
Betapa terkejut Sukar saat dia dapati di gang belakang warung itu Putri sedang berpegangan sekuat tenaga pada pasak kayu sementara di belakangnya seseorang sedang memaju mundurkan pinggulnya. Mereka masih berpakaian lengkap. Putri dalam kebaya sederhana. Si pria dalam seragam tentara. Mereka tidak menyadari kehadirannya. Mereka terlalu asik menumbukkan kelamin mereka.
“Lebih cepat, Pak!” erang Putri yang rambutnya dijambak si pria.
“Hahahaha. Kamu ini. Tadi aja emoh. Sekarang malah minta tambah.”
“Mmmmaksud saya,” kata Putri, “jangan lama-lama. Ada yang lihat kita nanti.”
“Ck, siapa? Gerimis juga. Ndak ada yang ke warungmu, cah ayu.”
“Mmmm, tapi, Pak—”
“Sudah. Nikmati saja. Sesuai janji saya, warungmu bakal aman. Ndak akan ada lagi yang minta sumbangan keamanan.” Napas si pria kian memburu. Kepala botaknya menengadah. “Jangan sebut aku Sentot Prakoso kalau aku bohong.”
“Mmmakasih, Pak,” rintih Putri sebelum kepalanya lunglai. Jika bukan karena ditahan Sentot, niscaya sudah rubuh ke tanah wanita ayu itu.
Mendapati lawan mainnya lemas, Sentot justru kian beringas. Di atas tanah, dia setubuhi Putri yang sedang bersujud menghadap tembok warung. Payudara wanita muda itu dia remas dari balik kemejanya. Tak lama setelahnya, dia pun turut mencapai klimaks. Saking dahsyatnya gelombang nikmat yang dia dapat, dia tuli akan suara ribut dari dalam warung.
Bergegas Sukar beranjak sebelum ada yang memergokinya. Meski bukan dia yang berbuat, dia rasakan panas dosa maksiat itu. Alih-alih kembali ke rumah, dia pun langkahkan kaki menuju bengawan. Dalam gelap dia ceburkan diri ke tempat dia biasa memandikan sapi-sapi. Sambil meremas-remas lalu mengocok kemaluannya, dia bayangkan dia yang menyetubuhi Putri dan bukan aparat tadi.
Fajar sudah menjelang saat Sukar berjalan gontai ke rumahnya. Tidak biasanya dia pulang selarut itu. Wajahnya kuyu. Badannya penuh gigitan nyamuk. Pakaiannya terasa seperti ditenun dari batu. Tanpa mengucap salam, dia masuk dari pintu belakang yang tidak pernah dikunci.
Alangkah terkejutnya Sukar saat lagi-lagi dia jumpai Sentot Prakoso. Bedanya, kali ini pria botak itu tidak sedang bersama Putri melainkan ibunya sendiri. Keduanya terlelap di atas meja tanpa sehelai benang pun menutupi ketelanjangan mereka.
Meski terkejut, Sukar tak ambil peduli. Dia cuma mau mengistirahatkan diri. Tidur di tepi bengawan memberinya pengalaman berharga. Membuatnya mensyukuri tikar usang di kamarnya. Berselimut lelah dia pun memejamkan mata.
Hingga terik matahari menusuk-nusuk satu sisi wajahnya. Sial. Dia kesiangan. Sapi-sapi belum dia ambil. Jelas akan kena damprat dia karena telah lalai.
Sukar yang sedang buru-buru langsung membeku saat dia berjumpa ibunya dan Sentot sedang makan bersama di dapur rumah mereka. Si pria menyapanya. Ibunya menjelaskan bahwa aparat tersebut adalah bapaknya. Yang baru dipindah tugaskan ke kota mereka. Yang akan sering mengunjunginya.
Sukar lupa apa yang dia ucapkan pada mereka. Yang dia ingat, dia enggan kembali menginjakkan kaki di rumahnya. Apa-apaan? Sentot adalah bapaknya? Ke mana saja dia? Dan juga, kenapa dia tidak berpuas diri menyetubuhi Putri? Kenapa masih harus meniduri ibunya juga?
Selepas memulangkan sapi-sapi dan menerima setengah upah hariannya, Sentot berangkat ke alun-alun kota. Dengan uang tabungan yang dia bawa saat meninggalkan rumah, dia berfoya-foya. Seporsi sate ayam dan sebotol ciu dia nikmati seorang diri. Setengah mabuk, dia berjalan-jalan memangi kerlap-kerlip cahaya lampu, petromaks, obor dan lilin yang menghidupkan malam.
Hal terakhir yang dia ingat dari malam itu adalah dia bertemu teman-teman sekolahnya. Mereka mengajaknya ke kota sebelah. Ada pasar malam, katanya. Mereka akan bersepeda ke sana.
“Tapi aku ndak ada sepeda,” ujar Sukar.
“Alah. Gampang. Bonceng aku,” kata seseorang.
Entah dia jadi dibonceng atau tidak, tahu-tahu saja pagi itu Sukar bangun tidur di dasar jurang. Badannya remuk redam. Wajahnya lebam. Kakinya yang kanan menolak dia gerakkan. Spertinya patah. Di atas lutut. Dia mengerang tetapi yang keluar dari sela giginya lebih halus dari bisikan. Tidak akan ada yang mendengarnya. Tidak akan ada yang menolongnya. Riwayatnya akan tamat di sana.
Atau begitu seharusnya.
“Kau tidak harus mati, anak muda.”
‘Siapa? Yang bicara?’ tanya Sukar tanpa suara.
“Aku teman barumu. Namaku tidak penting bagimu. Aku cuma mau bantu.”
‘Kau bisa bantu aku?’
“Terserah kau. Mau aku bantu tidak?”
‘Mau! Bantu aku!’
“Oh? Dan kenapa aku harus bantu kau? Apa yang akan kau lakukan dengan hidupmu kalau kau aku bantu?”
‘Aku mau… hajar Sentot,’ batin Sukar gamblang. Kalau bukan karena pria itu, dia tidak akan berakhir di sini. Sekarat menunggu mati. Bicara dengan dirinya sendiri.
“Bapakmu? Kenapa?”
‘Bajingan dia.’
“Tak bahagia kau jumpa dia?”
‘Pftt. Bahagia? Jangan bercanda.’
“Oh…. Aku tahu. Kau cemburu. Dia bukan cuma tunggangi ibumu. Tapi juga pujaan hatimu.”
‘Cemb— Tidak! Amit-amit! Gara-gara dia aku mabuk. Aku sekarat karena aku mabuk. Dia sumber masalahnya.’
“Hmm. Dan kalau sudah kamu hajar dia, apa setelahnya?”
‘Set— Tidak ada?’
“Hmm. Sempit juga kepalamu, ya.”
‘Aku mau mati. Kau mau bantu aku atau tidak?’
“Menurutmu?”
Sukar akhirnya dibantu. Oleh sosok yang identitasnya dia tidak tahu. Syaratnya cuma satu: Sukar harus mau gantian membantu.
‘Maksudnya?’
“Nanti kau juga tahu,” kata suara itu sebelum lalu membisu.
Gagu, Sukar sepenuhnya ragu. Jangan-jangan dia sudah gila. Apa semua yang sekarat mendengar suara yang sama? Atau hanya dirinya?
Kekalutan Sukar dibalas dengan mati rasa yang tanpa permisi lenyap dari kaki kanannya. Ajaib. Mendadak yang patah dapat kembali digerakkan. Pening di kepalanya pun reda. Tenggorokannya berfungsi sebagaimana sedia kala. Cepat-cepat dia pun tinggalkan jurang tempat dia dibuang. Pulang ke peradaban.
Petang kembali menjelang begitu dia tiba di rumah. Dan lain dari biasanya, sang ibu masih di sana. Berdandan rapi namun merokok saja di dekat meja makan. Gelagatnya menunjukkan dia tidak akan ke mana-mana malam itu.
“Mana Sentot?” tanya Sukar.
“Pergi.”
“Ke mana?”
“Ya, mana aku tahu?”
“Benar dia bapakku?”
Ibunya tersenyum miring.
“Kemarin kau tak peduli.”
“Aku lihat dia di warungnya Putri. Mereka… mandi keringat di gang belakang.”
Sukar dapati ibunya mendengus.
“Dasar tukang intip.”
Setiap hari Sukar bertemu ibunya. Mereka tinggal seatap. Dia tahu apa yang orang katakan tentang wanita itu. Dia juga tahu wanita itu kepalanya batu. Dia sendiri sudah belajar apatis. Jarang menggubris. Penampilan nakal ibunya bukan urusannya.
Akan tetapi, ada yang berbeda dari malam itu. Sedari tadi dia tak bisa mengabaikan gundukan payudara ibunya. Gundukan yang sangat jarang dia sentuh semasa balita. Mereka memilih waktu yang salah untuk menggodanya.
“Mau apa kamu?” tanya pelacur itu pada si bocah akhir belasan yang tiba-tiba saja sudah menjulang di sampingnya.
Tanpa berkata apa-apa Sukar renggut rokok dari jari ibunya yang lantas dia isap dalam.
“Ibu cantik malam ini.”
“Can— Bilang apa kau, heh?”
Sukar bertindak lebih cepat dari yang otaknya bisa proses. Dengan napas memburu, dia pojokkan ibunya ke meja. Bibir merekah si wanita dia sosor begitu saja. Payudaranya dia remas dari luar gaun pendek murahan yang dikenakan. Salah satu lutut dia desakkan ke arah vagina yang dia dilahirkan dari sana. Memaksa sang ibu semakin mengangkang.
“Hentikan! Jangan! Aku ibumu!” sergah wanita itu sambil meronta dan mulai kehabisan asa. Dia memang pendosa. Memang bukan ibu nomor satu di dunia. Namun demikian, dia tak ada mimpi menjadi Dayang Sumbi.
Sukar merobek gaun ibunya. Terpampang buah dada yang tak lagi kencang namun tampak menggairahkan di matanya. Liurnya menetes membayangkan mereka di mulutnya. Dia baru mendekatkan bibirnya pada salah puting susu saat tiba-tiba dia sadar.
Membeku, Sukar teringat kata-kata penolongnya. Inikah yang dimaksud? Bangsat! Keparat! Bejat!
Buru-buru Sukar berhenti memerkosa ibunya. Dia mundur, berbalik, dan menghambur ke arah pintu. Itulah terakhir kalinya mereka bertemu.
Sampai ketika malam nahas itu tiba.
Sukar sedang berjalan menyusuri kota masa kecilnya. Tiga tahun sudah dia merantau. Dalam kurun waktu itu, dia berubah. Bukan cuma fisiknya yang mustahil dikenali. Jiwanya juga tak akan pernah sama lagi.
Dalam pengembaraannya memburu Sentot, Sukar habisi satu per satu teman sekolahnya. Tidak ada dari mereka yang mengakui kejahatan mereka. Tidak ada yang mengaku membuangnya ke mulut jurang dan merampas uang tabungannya. Tidak ada dari mereka yang selamat darinya. Dia tatap mata mereka saat dia cabut nyawa mereka.
Dan Sukar masih haus akan balas dendam. Jika belum menyikat Sentot, dia belum akan beristirahat. Berkah kebal yang dia peroleh sesudah dia hampir mati di jurang itu dia bawa ke mana-mana. Dia gunakan selayaknya senjata. Siapa saja yang dia tidak suka akan dia buat jera.
Satu-satunya alasan nama Sukar tidak melegenda adalah karena pada tahun-tahun itu, dia bukan satu-satunya iblis yang memindah neraka ke dunia. Jutaan orang tewas di tangan sesama mereka. Di tangan mereka yang sebangsa. Cuma karena mereka dianggap mengikuti sebuah ideologi. Nama-nama mereka lenyap bersama tubuh mereka. Tidak ada yang membela mereka. Tidak akan ada yang mengingat mereka.
Sukar tidak masalah. Malah, tragedi itu dia anggap berkah. Apalah artinya tumpukan bangkai saudara sebangsanya jika dia cuma menyumbang beberapa? Selama dia semakin dekat dengan Sentot, dia belum akan berhenti. Atau demikian yang dia yakini sepenuh hati.
Pada tengah malam itu, Sukar berjalan melintasi sebuah kompleks sekolahan yang sudah disulap menjadi markas penyiksaan. Dua truk militer parkir di halamannya. Menurut kabar yang dia dengar, Sentot ada di sana. Tanpa ada yang tahu, dia menyelinap ke balik pagar. Kegelapan dia jadikan kawan.
Gedung-gedung sekolahan yang diterangi hanya oleh beberapa bohlam dan lampu petromaks memudahkan Sukar yang mengendap-endap. Dia cari keberadaan Sentot dengan menguping obrolan tentara yang lalu-lalang atau sedang duduk-duduk saja di teras kelas. Belum juga dia dengar nama ayahnya disebut, dia tiba di depan sebuah gedung yang mengerdilkan gedung-gedung lainnya. Aula, kelihatannya.
Yang menarik perhatian Sukar bukan ukuran bangunan itu melainkan suara-suara yang datang darinya. Dia dengar desahan, teriakan, rintihan, lenguhan, ratapan, tangisan perempuan yang ditingkahi cacian, makian, dan tawa para pria. Sebelum mengintip dari lubang angin, dia sudah bisa menebak apa yang terjadi di balik tembok aula. Namun, ketika dia menyaksikannya, dia hampir mengira matanya menipunya.
Sukar menghitung setidaknya tiga puluh wanita dalam keadaan telanjang. Tua atau muda, cantik atau buruk rupa, ramping atau gendut, tinggi atau pendek; tidak ada bedanya. Sedang digilir oleh pria-pria berseragam mereka. Satu wanita bisa dipakai oleh lima pria pada waktu yang sama.
Gila.
Apa-apaan?
Dan kenapa tahananan di sini semuanya perempuan?
Di mana yang laki-laki?
Sudah pada mati?
Terus, datang besok, wanita-wanita ini mau diapakan?
Dipakai sampai mati?
Di tengah tubuh-tubuh mengkilap manusia itu, Sukar temukan kepala botak bapaknya.
“Sentot,” geram Sukar. “Mati kowe malam ini.”
Sentot jelas tidak akan mendengar ancaman anaknya. Pria itu sedang asik menggenjot seorang wanita berkacamata. Kontolnya keluar-masuk lubang pembuangan lawan mainnya yang sedang tengkurap dan juga disetubuhi dari bawah dan depan lewat mulutnya.
“Ndaaan,” kata pria yang di bawah, “aku mau keluarrr.”
“Sama.” Pria beruban yang sedang dioral si wanita berkacamata mengangguk sambil merem-melek keenakan. “Barengan.”
Sementara kedua rekannya memuntahkan pejuh mereka ke vagina dan mulut si wanita, Sentot memilih beristirahat. Dia rasakan anus yang dia sodomi menyempit. Menghimpit kontolnya. Dia cengkeram kuat-kuat bongkahan pantat wanita yang memimpin sebuah koperasi swasta itu. Usai penis-penis pria lain melemeas, dia pangku wanita itu dari belakang.
“Goyang, Mbak Rusmi,” kata Sentot sembari menggerayangi payudara Rusmini. Dengan tenaga yang tersisa, wanita yang sekujur badannya lengket oleh keringat dan sperma itu menyanggupi. Pantatnya mulai naik-turun di atas pangkuan pemerkosanya. Cuma itu pilihannya. Kalau menolak, besok dia akan dibawa ke regu tembak. “Aahh, ya, gitu. Pinter.”
Di tengah Sentot sibuk menikmati layanan korbannya, dia dengar namanya dipanggil. Tahu-tahu saja seonggok tubuh wanita yang sudah tak berdaya diseret ke arahnya. Dia kenal wajah itu. Sukar pun begitu.
“Tukar, Tot,” kata pria yang menyeret ibu Sukar. Mata wanita itu terpejam. Sperma kental meleleh dari mulut, vagina, dan duburnya. “Sudah wegah gerak binimu. Mau mampus paling.”
“Bini dari mana?”
Sentot hampir-hampir tak mengenali wanita itu. Wanita yang pernah dia janjikan akan dia jadikan istri. Satu di antara banyak wanita lainnya. Tidak ada yang spesial darinya.
Malam ini pun sama. Sebagaimana para tertuduh lain, anggota koperasi lain; nasib wanita yang melahirkan Sukar itu sama. Jadi budak seks semata. Sebelum akhirnya dihabisi nantinya. Tinggal tunggu komando dari pusat saja.
“Gembrik burik begitu. Asu juga ndak doyan dia.”
“Alah. Alesan.”
“Gabung sini saja, wis,” kata Sentot yang lalu merenggangkan kaki Rusmini sehingga paha dan vaginanya terkuak. Wanita setengah baya itu tampak kesakitan namun juga, anehnya, menikmati.
“Masih kuat dia?”
“Siapa yang peduli?”
Tidak ada yang peduli. Sukar geram setengah mati. Sementara Rusmini kembali diperkosa dua laki-laki, dia turun dari lubang angin. Kalap, dia merangsek masuk aula. Penjaga maupun mereka yang ikut pesta dia habisi satu per satu. Peluru, pisau, dan bogem mereka tidak ada yang menyakitinya.
Sentot dan rekannya menjadi yang paling terakhir dia hajar. Sengaja. Dia biarkan mereka klimaks. Baru setelahnya, dia patahkan leher mereka. Si laki-laki yang ngecrot di vagina dulu, baru bapaknya.
“Mimpi yang buruk, ya, Pak,” kata Sukar sebelum memadamkan nyala mata Sentot dengan memutar kepala yang bersangkutan. Mematahkan pangkal tengkoraknya. Berdiri di atas mayat ayahnya, pemuda itu meludah sekali. Beberapa korban pemerkosaan massal yang masih sadar memandangnya dengan campuran antara bingung, lega, dan ngeri.
Sementara puas yang dia cari belum juga dia rasakan, Sukar dekati ibunya. Dia raba denyut nadi si wanita. Sialan. Dia terlambat. Seketika itu juga dia jatuh bersimpuh. Kesedihan yang mendalam menguasainya.
Sentot sudah mati. Tetapi, kematiannya tidak berarti apa-apa. Tidak mengisi lubang dalam diri Sukar. Buat apa dia capek-capek ke sini?
“Hmmm, malang betul nasibmu, bocah.”
Setelah sekian lama, Sukar dengar lagi suara itu. Suara yang menolongnya di jurang. Yang mengutuknya agar selamanya menderita di dunia.
“Sekarang, apa rencanamu?”
“Tidak ada,” kata Sukar sambil mengusap mata. Kian ngeri para saksi mata menyaksikan penolong mereka kini bicara pada udara kosong. Perlahan, mereka berbondong-bondong merangkak ke arah pintu. “Ambil kembali pemberianmu. Aku—”
“Yang sudah diberikan tidak bisa dikembalikan. Kau kira aku ini apa?”
“Setan?” tanya Sukar setelah beberapa lama.
“….”
“Kau yang dulu bikin aku mau merkosa ibuku.”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Penasaran saja.”
“Bangsat. Setan perempuan pada ke mana memangnya?”
“Kau tidak penasaran?”
“Apa?”
“Wanita. Hawa. Penyebab Adam dibuang dari surga.”
“… tidak.”
“Hm.”
“Dengar,” kata Sukar yang entah sejak kapan sudah menodongkan pucuk sebuah pistol ke pelipisnya, “terima kasih sudah bantu aku. Tapi aku tak bisa bantu kau. Selamat tinggal.”
Sukar mengira ilmu kebal yang dia punya tidak akan mempan kalau dia sendiri yang coba mengakhiri hidupnya. Dia salah besar, ternyata. Peluru dari pistol itu mental entah ke mana. Sementara, nerakanya di dunia selamanya.
Meski mengaku tak bisa membalas kebaikan penolongnya, Sukar harus hidup dengan kutukan yang dia punya. Harus mengakrabi suara tanpa rupa yang tak pernah lagi meninggalkannya. Menyendiri ke dalam rimba tatkala negeri menyongsong sebuah orde yang baru.
Lambat laun mereka menjadi satu. Sosok mereka mengambang di antara dua dunia. Bukan manusia. Bukan pula setan atau arwah gentayangan. Mereka bisa berkomunikasi dengan penghuni dua dunia—kalau mereka mau. Lebih banyak waktu mereka habiskan dengan bertapa. Mengamati semesta. Menunggu kutukan mereka sirna.
Sampai mereka berjumpa Bu Norma.
~bersambung