Lost & Found 4.4.2
Bu Norma bukan cuma membelai. Kini kontol Gagah yang mulai bangun dia genggam. Hampir tidak muat, tentu saja. Meski demikian, jari-jari lentikmya mantap melingkari batang berurat itu. Dan bukan hanya dia genggam, kontol dia urut. Naik lalu turun. Naik lalu turun. Naik turun. Naik turun. Naik turun.
Akibat ulah Bu Norma, kulit ari kontol yang gelap itu secara bertahap kehilangan kerutnya. Dalam perjalanan menuju tegang yang paripurna, dari lubang pada kepala penis Gagah keluar cairan bening. Precum itu Bu Norma sambit dengan suka cita. Jadi licin telapak tangan halusnya dalam mengocok.
Diam-diam, Bu Norma penasaran.
Bagaimana rasanya disodok kontol sebesar dan sepanjang itu?
Apa muat?
Apa bisa masuk semua?
Darah siluman yang menodai tubuh Bu Norma turut mengotori Gagah. Penisnya kini mengkilap bukan cuma dari lelehan madhi namun juga dari bukti musnahnya musuh mereka. Penghalang kebersamaan mereka. Meski belum kembali ke alamnya sendiri, lelaki itu tampak begitu menikmati. Benar kata Kancil. Walau halus, tangan Bu Norma tidak kekurangan tenaga. Walhasil, batang perkasanya tegak berdiri, tegang, dan berkedut-kedut.
Sebelum Gagah muncrat, Bu Norma beringsut. Tanpa ragu dia buka mulut. Selebar-lebarnya. Seluas-luasnya. Haaaap! Kepala jamur kontol di hadapannya dia isap. Lahap. Aroma kelelakian seketika menusuk hidungnya. Jika pada skala bau kontol Dokter Abi dia nilai 1, yang ini 100. Matanya berair karena saking kuatnya.
Wanita berhijab itu sedang berusaha menelan seluruh panjang alat kelamin pria itu saat semburan sperma kental menembak-nembak rongga mulutnya. Panas membakar pangkal tenggorokannya. Mengipasi bara birahi yang sudah menyala-nyala.
Dengan rakus Bu Norma terus mengisap. Lidahnya membelit kuat. Pipinya menggembung sebelum kemudian mendadak cekung saat dia telan habis persembahan sang pejantan hingga tetes terakhir. Hingga tak bersisa.
Kepala Bu Norma tak hanya diam. Kepala berbungkus jilbab itu naik-turun-naik-turun secara ritmis. Bibirnya coba menggapai pangkal penis Gagah namun tidak pernah bisa. Kontol itu terlalu panjang untuknya. Bahkan sesudah ujungnya dia paksa masuk ke kerongkongannya. Sedikit kecewa, janda itu memutar akal. Dengan jarinya, dia cari dubur si pria. Begitu ketemu, dia korek-korek lubang itu.
Akibatnya, Gagah mendesah keras. Meski baru saja keluar, lagi-lagi dia ejakulasi. Dan kembali, Bu Norma melaksanakan tugasnya. Pejuh di mulut dia telan seakan-akan dia sedang kelaparan. Faktanya, ibu-ibu yang satu itu memang belum makan apa-apa. Siluman yang memerkosanya lupa akan makan malam mereka sebelum ajal lebih dulu menjemputnya.
Saat keluar untuk yang kedua kalinya ini, Gagah cengkeram kain jilbab Bu Norma. Setelah semburan spermanya mereda, kepala si wanita belum juga dilepasnya. Gemas, dia justru tahan kepala itu agar tetap pada tempatnya. Dari bawah, dia lalu hunjam-hunjamkan kontolnya.
Terdengar suara orang mau muntah dari sela bibir Bu Norma.
Untuk sementara Gagah jeda genjotan agar dia bisa bangkit dari duduknya. Kepala Bu Norma dia jaga agar tak lepas dari selakangannya. Kini berdiri di atas kedua kaki, raksasa itu dapat dengan luasa kembali menyetubuhi mulut Bu Norma, yang meronta karena kehabisan napas. Tangan-tangan wanita itu terangkat. Menggapai-gapai. Mirip orang tenggelam. Lelehan liur menetes-netes mengotori dagu hingga ujung jilbabnya.
Seiring mili demi mili kontol Gagah kian dalam menginvasi kerongkongannya, Bu Norma tahu percuma saja mencoba. Tidak ada gunanya melawan. Jika ada yang menyibak jilbabnya saat itu, akan terlihat bagaimana bentuk ujung kelamin raksasa itu menyembul-nyembul dari dalam lehernya tanpa ada yang bisa mencegah.
Megap-megap, Bu Norma memilih berpegangan saja pada pantat lelakinya. Berharap dia tidak akan pingsan sebelum waktunya. Karena, meski tersiksa, dia tahu dia menginginkannya. Kontol sebesar dan sepanjang itu akan mubazir kalau cuma dia nikmati setengahnya.
Gagah sendiri sepertinya tahu apa yang Bu Norma mau. Karenanya, dia merasa sangat puas saat bibir Bu Norma akhirnya berjumpa jembut lebatnya. Artinya, kontolnya sudah masuk seluruhnya ke dalam mulut dan tenggorokan betinanya.
Pemandangan seorang wanita berhijab yang takluk dan sedang dia deepthroat itu menyalakan kembang api dalam benaknya. Menyusul hadirnya seringai pada wajahnya, lelaki berambut gondrong itu menggeram dalam-dalam. Suaranya tak terdengar bagai suara manusia. Lebih mirip raungan tertahan seekor binatang buas yang cuma eksis dalam legenda.
Tampaknya, Gagah akan kembali orgasme. Dan yang kali ini akan lebih dahsyat dari yang sebelumnya.
Menginginkan sesuatu yang berbeda, Gagah cabut kontolnya pada saat-saat terakhir. Sebelum kecewa mengunjungi mata Bu Norma, dia semprot wajah cantik wanita itu dengan spermanya. Mulai dari hijab, dahi, kacamata, hidung, bibir, dagu, bahkan buah dada Bu Norma dia tandai dengan cairan putihnya. Makna dari tanda itu kentara: mulai saat itu Bu Norma telah jadi miliknya.
Masih dalam serbuan gelombang nafsu, Gagah loloskan kakinya dari celana dan sepatu yang mengganggu. Pria berbadan bak dewa Yunani itu kemudian berlutut. Bahu Bu Norma dia pegangi. Kepalanya maju.
Tanpa meminta izin, Gagah jilati Bu Norma. Dia jilati setiap noda sperma, darah, dan keringat yang ada pada diri si wanita. Dia mandikan mantan pengajar berjilbab itu dengan lidahnya. Dia buat sekujur badan Bu Norma mengkilap dengan ludahnya.
Masih megap-megap, Bu Norma cuma bisa gantian menjambak rambut Gagah saat raksasa itu berlama-lama membersihkan teteknya. Dari sela bibirnya terdengar desahan saat pejantannya memutuskan untuk lanjut ke menu berikutnya. Begitu puting kerasnya dicaplok si bayi raksasa, wanita itu merintih macam kucing sedang dikawin.
Lemas, Bu Norma pasrah saja saat dibimbing untuk berbaring di atas rerumputan.
Sejak kenyotan pertama, Gagah sudah merasakan air susu Bu Norma. Panas. Kental. Penuh nutrisi berharga. Kenyotan-kenyotan berikutnya menjadikan deras aliran susu itu.
Tak puas dengan hanya mengenyot satu susu, Gagah berpindah pada puting yang satunya. Bahkan ketika rasa sperma dan darah telah lama hilang dari rongga mulutnya, Gagah terus saja memompa payudara Bu Norma. Rasa air susu itu lebih nikmat dari air susu ibunya sendiri.
Jauh dalam palung jiwanya, Gagah tahu: dia tidak akan pernah bosan menyusu pada Bu Norma.
Diisap hingga kering, lagi-lagi Bu Norma cuma bisa pasrah. Dia mendesah dan mendesah. Jilbabnya yang kusut basah. Wajahnya memerah. Di atas tanah dia dinikmati macam seekor sapi perah. Kepala wanita itu menengadah. Dia saksikan alam berhenti bernapas demi lebih saksama menyimak pertunjukan yang megah.
Serangan tanpa henti pada kedua titik sensitifnya itu membuat Bu Norma menyerah. Apapun yang lelakinya mau, akan dia kabulkan—kalau tidak malah minta tambah.
Bu Norma baru mengembuskan napasnya saat Gagah jauhkan bibir berkumis tipisnya dari payudara yang memerah. Dia melirik ke bawah. Pria yang lebih muda itu sedang menatapnya. Dia rasakan jemari berbonggol-bonggol menyentuh vaginannya. Membelai celah yang menyembunyikan lubang surgawinya yang becek sejak tadi.
Sentuhan-sentuhan itu membuat Bu Norma mengerjapkan mata dan kembali mendesah.
“Bu Norma?”
“Hmm?”
“Bu Norma cantik banget. Sumpah.”
“Ahh. Mas Gagahhhh,” rintih Bu Norma saat Gagah menemukan itilnya dan bermain-main di sana. Dapat dia rasakan bagaimana ibu jari dan telunjuk lelaki itu memilin-milin daging mentahnya yang dipenuhi berjuta syaraf perasa.
“Bu Norma tahu,” kata Gagah sambil menarik badannya turun agar lebih leluasa memerhatikan belahan vagina Bu Norma yang kemudian dia colok-colok dengan jari, “ini bayi siapa?”
“Hmm?”
“Bu Norma kan, udah tidur sama banyak orang, nih. Nah, sekarang Bu Norma hamil anaknya siapa tuh?”
Bu Norma mengerutkan dahi. Perlahan dia elus perutnya yang membuncit. Asal menebak saja, dia taksir usia kandungannya sudah tujuh bulan kira-kira. Siapa bapak janin di dalam rahimnya?
Nama Pak Pur menempati tempat teratas tentunya. Pada malam pertama Bu Norma disekap, lelaki botak itu yang mengisi penuh rahimnya dengan pejuh. Namun, jika dipikir-pikir, Kancil dan Tokek juga memejuhinya berkali-kali. Dan, anehnya, baru sesudah dia bersama siluman ular perutnya membesar.
Jadi, siapa yang menghamilinya?
“Nggg…. nggak tahu, Mas,” jawab Bu Norna saat Gagah berhenti mengorek memeknya dengan jari hanya untuk menjulurkan lidahnya. Lidah itu tak hanya bermain-main di luar. Tak cukup dia cuma menjilati tepi. Empunya lidah menjulurkan otot tak bertulang itu hingga jauh menyusuri relung lubang peranakannya.
Tanpa bisa dibendung, Bu Norma pun mengejan. Urat-uratnya bermunculan. Kepala Gagah dia himpit di antara kedua paha agar bertahan. Laksana banjir menjebol waduk, cairan cintanya menyembur deras diiringi teriakan membahana.
“Mas Gagaaaaahhhhhhh!”
Gagah sengaja berlama-lama mengisap-isap vagina Bu Norma bahkan sesudah orgasme wanita berhijab itu mereda. Dia puaskan diri dengan menikmati setiap jengkal kelamin Bu Norma. Dari yang dia rasakan, memek itu dia yakin akan menjepit kontolnya. Benar, rongganya tampak longgar. Wajar. Sudah sering dihajar. Namun begitu, otot-otot vagina itu dia percaya belum layu. Kalau bunga, ya, masih mekar tentunya.
“Bu Norma?” tanya Gagah usai dia istirahatkan vagina wanita telanjang di hadapannya yang dengan mata tertutup tampak pulas dalam tidurnya jika bukan karena erangan lirih dari sela bibir sensualnya. “Masih kuat nggak?”
Bu Norma membuka mata. Tanpa melalui kata-kata, dia bertanya-tanya. Kenapa Gagah meragukannya? Mereka bahkan belum betanjak ke menu utama.
Tatapan sange Bu Norma membuat Gagah malu sudah bertanya. Salah tingkah, raksasa itu berkata, “Ya, siapa tahu, Bu Norma mau istirahat dulu.”
“Mas,” kata Bu Norma. Kaki jenjang wanita hamil itu melingkari pinggang berotot lelakinya. Mengunci Gagah agar jangan berani-berani meninggalinya butiran kentang bahkan barang satu buah saja. “Entot saya.”
Gagah berkedip cepat.
“G-gimana, Bu?”
“Entot aku, Mas!” pinta Bu Norma, membuang kata ganti ‘saya’. “Aku milikmu malam ini.”
Gagah bungkam dan cuma bisa menelan ludahnya. Kontol perkasanya mengacung tegak. Ujungnya sudah dekat dengan gerbang surga Bu Norma. Namun, dia tampak enggan segera menyetubuhi wanitanya. Dia sangat bernafsu, tentu saja. Dia cuma… mau mendengar lebih banyak dari Bu Norma saja.
“Ayo, Mas. Entot aku. Jiwaku, ragaku, memekku; semua punyamu, Mas.”
“Bu Norma… yakin?”
Mantap, Bu Norma mengangguk.
“Bunuh aja aku, Mas, kalau Mas ogah ngentot aku.”
Dalam benak Gagah, lelaki itu memaki-maki. Shit. Shit. Shit. Shit. Shit. Sejak kapan Bu Norma sebinal Daisy? Dan kenapa juga, kalau dengan Daisy dia ogah-ogahan tapi kalau yang bilang Bu Norma, dia jadi mabuk kepayang?
“O-oke, Bu,” kata Gagah yang lalu buru-buru menanggalkan bajunya. Telanjang bulat, pria dengan punggung penuh bekas luka itu beringsut sedikit. Dengan satu tangan dia belimbing, eh, bimbing kepala kontolnya agar menempel pada bibir vagina Bu Norma. Tujuannya sederhana: memperkenalkan diri, dan meminta izin bertamu ke lubang paling suci si wanita.
Untuk laki-laki sebesar dan seperkasa dirinya, Gagah termasuk sering kurang pede. Dia benci dengan persepsi orang akan postur tubuhnya. Akan penampilannya. Mereka seperti berhenti menilai dirinya di sana. Mereka berlagak seperti sudah paham dia siapa.
Padahal, di dalam dirinya, Gagah sama sekali berbeda dari yang orang kira. Dia berhati lembut. Dia benci kekerasan. Dia cinta makanan. Dan di antara hidangan yang dia suka, favoritnya adalah ibu-ibu berjilbab yang bisa membuatnya nyaman saat bersama mereka.
Sejauh ini, Bu Norma belum mengecewakannya. Dan agaknya, Gagah akan wanita berjilbab itu buat tergila-gila.
“Saya bakal hati-hati, Bu,” kata Gagah saat kepala jamurnya mulai membelah vagina Bu Norma. Tampak jelas bagaimana bibir vagina Bu Norma mengembang guna menyambut benda tumpul yang hendak silaturahmi itu. Lingkarnya yang tak biasa membuat memek itu bersusah payah dalam menerima.
Pemilik memek itu pun seiya sekata. Netranya mendelik di balik kacamata. Giginya bergemeletuk. Panas menjalar ke otaknya. Bersarang pada jantungnya. Rasanya dia seperti sedang disembelih pakai gergaji saja. Sakit. Teramat sakit. Urat lehernya tegang seperti kawat baja.
Pada satu titik, Bu Norma cengkeram rumput di sekitar kepala sambil memohon, “Maaaas! Stop. Stop. Stop! Ahhhh!”
Bingung, Gagah berhenti mendorong kontolnya yang baru masuk setengah kepala. Entah vagina Bu Norma yang menyempit atau penisnya yang kini lebih besar dari seharusnya; dia tidak tahu. Yang pria itu tahu, memang susah sekali rasanya menyelipkan kemaluannya pada kelamin Bu Norma.
“Bantu dong, Mas,” kata Bu Norma seraya membentangkan kedua kakinya. Dia pegangi mereka dengan kedua tangan. Agak susah sebab perutnya yang membuncit. Karenanya, dia bersyukur saat Gagah ikut menopang paha semoknya.
“Nah, ayo, Mas. Coba lagi.”
Enggan membantah, Gagah kembali berusaha memasuki Bu Norma. Ada bedanya. Dari yang sebelumnya sangat rapat, perlahan sekali celah vagina Bu Norma membuka, membuka, dan membuka.
Kontol Gagah, dengan penuh perjuangan dari mereka berdua, semakin tenggelam ke dalam vagina. Sedikit demi sedikit. Sepanjang prosesnya, Bu Norma menggigit bibirnya hingga cuma asin yang lidahnya rasa.
“Dikit lagi, Bu,” ucap Gagah terengah-engah. Bersama setiap centi batangnya ditelan vagina Bu Norma, dia rasakan napasnya kian berat saja. Bukan main kuatnya cengkeraman otot memek si wanita berkacamata. Susah dipercaya. Seperti perawan saja.
Padahal, kemaluan Bu Norma sudah dijejali banyak penis sebelumnya.
“Aaahhh, terus, Masss….”
Mengabaikan degup jantungnya yang mendekati ambang batas aman bagi manusia, Gagah bertanya, “Enak, Bu?”
Bu Norma mengangguk. Jika bukan karena terhalang perutnya, dia ingin menyaksikan bagaimana kontol Gagah menjebol memeknya. Dia ingin merekam tiap detiknya. Pasti luar biasa menggairahkannya.
“Hhhhah, aaah, udahh, Mas?”
Gagah tak langsung menjawab.
“Maaas?”
“U-udah, Bu,” jawab Gagah, berbohong. Kontolnya kini menancap dalam vagina Bu Norma, meski… cuma setengahnya. Dia ingin membenamkan seluruhnya, tentu saja. Namun apa daya. Sudah mentok. Ujung penisnya sudah menyundul mulut rahim Bu Norma.
Seharusnya, wanita paruh baya itu menyadarinya.
Mungkin, Gagah berpikiran, dia harus biarkan kelamin mereka menyatu selama beberapa waktu dulu. Dia harus beri kesempatan lebih agar kelamin mereka lebih akrab. Lebih bisa saling menerima. Terbiasa.
Itu yang Gagah mau. Tapi bukan itu yang pasangannya inginkan, sayangnya.
“Ayo, Mas. Goyang. Entot aku, Mas,” rengek Bu Norma di tengah deraan perih yang menyandera bagian bawah tubuhnya. Dijejali kontol sebesar itu, syaraf-syaraf Bu Norma meledak gembira. Dia rasakan nikmat yang belum pernah lelaki mana juga beri padanya. Andai saja dia tahu jika saat itu vaginanya menggembung lucu demi menampung kontol si raksasa, mungkin dia tidak akan terburu-buru.
Sebab, bagaimana pun juga, baru kali ini Gagah menyaksikan yang demikian. Bu Norma bukan wanita pertama yang dia setubuhi. Belum ada memek yang seperti punya Bu Norma ini.
Ada apa ini sebenarnya?
“Tahan, ya, Bu,” kata Gagah saat dia tarik kontolnya sedikit dan mendorongnya kembali. Gerakan yang sama dia ulangi. Lagi dan lagi. Harapannya, vagina Bu Norma akan mulai beradaptasi.
Sial, Gagah mencatat selepas semenit lewat, masih terlalu sempit ternyata. Menggembung dan mengempisnya memek Bu Norma masih tampak canggung dilihat dari atas. Tampak berisiko. Laki-laki itu takut janin dalam rahim Bu Norma kenapa-napa.
Meski keenakan diremas-remas pada alat vitalnya, Gagah juga harus berusaha keras menggenjot memek Bu Norma. Bukan perkara mudah menggerakkan kontolnya. Vagina Bu Norma benar-benar keras kepala. Daging mentah itu seperti punya pikirannya sendiri. Dan cara paling ampuh guna menaklukannya masih terkunci.
Tak ayal, keringat bercucuran dari dahi si raksasa. Gagah sampai meludah beberapa kali pada pertemuan kemaluan mereka agar kian lancar senggama mereka.
“Ahhhh, sssssshhhhh, uuuuhmmmmm, ooooorrggghhhh, terus, Masss,” rengek Bu Norma yang sudah berhenti memegangi pahanya sendiri dan beranjak meremasi payudara bulatnya. Perutnya yang berisi jabang bayi bergoyang seirama sodokan Gagah yang kini mulai ikut mendesah.
Dengan cepat tenaga Gagah terkuras. Demi menutupi malu, dia biarkan kontolnya bersarang di selakangan Bu Norma selagi dia ajak wanita yang kebih tua darinya itu untuk berciuman.
Bibir merah Bu Norma dia rasakan panas, lembut, dan menggoda. Lidahnya dengan segera membelit lidah pasangannya. Ludah mereka bertukar mesra. Di bawah, secara samar-samar, Gagah gerakkan pinggulnya. Ujung kontolnya menggedor-gedor mulut rahim Bu Norma.
Usaha itu berhasil lebih dari yang siapa pun sangka. Bukan hanya tenaga Gagah kembali terisi, berangsur-angsur kontolnya kian merdeka menjajah memek si betina. Ya, meski sekali lagi, cuma setenganhnya. Tidak apa-apa.
Toh, setengah saja sudah seenak ini, batin Gagah, yang sesudah puas melumat mulut Bu Norma, menjauhkan wajahnya dari wajah si wanita yang tampak sayu dan menggairahkan dalam balutan hijab yang acak-acakan. Beberapa helai rambut Bu Norma yang jatuh menutupi wajah ayunya dia selipkan kembali ke dalam lipatan kain suci itu.
Dengan kedua tangan meremasi sepasang buah dada kencang namun tetap lembut punya Bu Norma, Gagah percepat sodokannya. Bibir vagina Bu Norma monyong-melesak dihajar kontolnya.
“Yah, yah, yah, terus, Mass.” Kaki Bu Norma kembali mengunci pinggang lelakinya. Tangan-tangannya bergerilya membelai dan mengusapi dada, lengan, perut, dan punggung kekar pasangan barunya. “Enak nggak, Mas, memekku?”
“Enggg… enak, Bu.”
“Mas, ahhh, ahh, shhh, suka?”
Gagah jawab pertanyaan itu dengan menarik-narik pentil Bu Norma hingga wanita itu kelojotan selama orgasmenya, yang entah keberapa, berlangsung. Jempol kaki Bu Norma melengkung. Dada mengkalnya kian membusung. Kuku jari tangannya melukai Gagah punya punggung. Vaginanya semakin menggembung.
Gagah patut berbangga diri. Sebab, dia tidak ikut-ikutan keluar walaupun, ya, sebenarnya memek Bu Norma mengempot habis kontolnya sampai bergemeletuk giginya. Pasca episode orgasme pasangannya tayang, dia tekuk satu kaki Bu Norma. Ruang yang tercipta kemudian dia pakai untuk merebahkan badan.
Bu Norma rasakan vaginanya diaduk saat raksasa itu tiduran di sampingnya.
“Gimana, Bu?” tanya Gagah di telinga Bu Norma. Kontolnya masih menancap di kemaluan betina buntingnya. “Puas?”
Bu Norma menoleh, tersenyum, dan mengiyakan.
Gagah ayunkan pinggulnya, lalu bertanya, “Masih mau lagi?”
“Mau.”
Gagah remasi gunung kembar Bu Norma yang lagi-lagi mengeluarkan susu dari putingnya. Ketagihan, dia jilati lelehan ASI pada jari-jarinya.
“Mas?”
Gagah hentikan aktivitas mengisap jempolnya.
“Iya, Bu?”
“Mas… mau jadi suamiku nggak?”
“Eh?”
“Aku… ikhlas jadi istrimu.”
Gagah bungkam. Kerasukan apa Bu Norma sebenarnya?
“Bu Norma, kok, ngomong gitu?” tanya Gagah sambil merapikan jilbab Bu Norma.
“Aku..,” kata Bu Norma malu-malu, “cinta kamu, Mas.”
“Cinta saya apa kontol saya, nih?”
Bu Norma tertawa.
“Dua-duanya.”
“Lha… yang lain nanti gimana, Bu?” tanya Gagah setelah beberapa lama.
Sepanjang obrolan ini terjadi, kontol hitam Gagah masih keluar masuk liang peranakan Bu Norma meski tak seintens sebelumnya. Nikmat senggama mereka tak membuat lelaki itu lupa sepenuhnya. Bahwa mereka belum kembali ke dunia manusia.
Entah bagaimana, Gagah tahu: dia harus bawa Bu Norma pulang. Dan tentunya, di sana ada konsekuensi-konsekuensi yang menanti mereka. Kata lelaki itu kemudian, “Ada Kopral, Tokek sama Kancil yang nunggu Bu Norma. Mereka nanti pasti cemburu, Bu.”
“Yah, urusan mereka,” jawab Bu Norma selepas berpikir sejenak.
Harus Bu Norma akui, saat di-threesome Tokek dan Kancil, benaknya sesak oleh kupu-kupu. Di masa mendatang, jika diminta lagi melayani dua orang pria (atau bahkan lebih) dia tidak akan ragu menyanggupinya. Sebab, sensasi dinikmati oleh lebih dari satu kontol tak akan pernah tergantikan menurut Bu Norma.
Meski demikian, Gagah kadung membuatnya gila. Pemuda itu adalah sosok pasangan ideal di mata Bu Norma. Hal ini dibuktikan dalam kata-kata si wanita.
“Aku maunya kamu, Mas, yang tiap hari, siang dan malem, ngentot aku.”
“Hmmm.”
“Gimana, Mas? Mau, ya? Nanti anak ini,” kata Bu Norma sambil mengelus perutnya, “jadi anakmu.”
Pasangan haram itu beradu pandangan. Untuk sesaat, tampak tidak ada yang mau mengalah dari keduanya. Sebelum akhirnya, si lelaki yang lebih muda berkata, “Oke, deh. Saya mau.”
Sebelum Bu Norma kegirangan, buru-buru Gahah menambahkan, “Tapi saya boleh minta satu hal, Bu?”
“Minta apa, Mas?”
Gagah berhenti menggenjot santai vagina Bu Norma. Kontol dia cabut sebelum lalu dia usap-usapkan ujungnya pada anus Bu Norma yang sedikit terekspos berkat kaki kanannya yang masih tertekuk di udara.
“Oh, itu.” Bu Norma mengerti. Sangat mengerti. “Boleh dong, Mas.”
“Serius?”
Bu Norma mengangguk.
“Mau coba sekarang?”
“Kalau boleh.”
Bu Norma cubit pinggang Gagah sambil tertawa.
“Buat Mas Gagah apa sih yang nggak boleh?”
Begitulah, dengan ijin yang bersangkutan, Gagah bersiap menyodomi anus Bu Norma. Pertama-tama, dia masukkan satu jarinya. Setelah masuk, jari itu dia putar-putar.
“Uuuhh,” desah Bu Norma.
“Udah dipakai berapa orang ini, Bu, silitnya?”
“Hmmpphhh, banyak, Mas.”
“Kopral, Kancil, Tokek, sama siluman tadi; semua udah nyoba, Bu?”
“Udah, Massss.”
Sekarang dua jari Gagah bersarang dalam lubang belakang Bu Norma, yang perlahan-lahan beringsut menyamping ke kiri agar lelakinya lebih luwes mengorek-ngorek duburnya.
“Mereka bilang apa, Bu?”
“Hmmmphhh?”
“Soal silit Bu Norma ini, lho. Mereka bilang apa?” Saat Bu Norma keasikan mendesah, Gagah ubah pertanyaannya. “Mereka lebih suka mana? Tempik apa silit, Bu?”
“Hmmmmphh, dua-duanya?”
Tak tahan terus-terusan digoda, satu tangan Bu Norma turun. Dia usap-usap kelentitnya yang licin dan basah.
“Dua-duanya?”
Puas dapat memasukkan tiga jari ke dalam anus Bu Norma, Gagah mencukupkan diri. Giliran kontolnya kembali beraksi. Dia posisikan ujung kepala jamurnya tepat di depan lubang tahi. Pelan dia dorong pinggulnya.
“Saya mau buktiin, deh, kalau gitu.”
Anehnya, daripada vaginanya, dubur Bu Norma lebih mudah dimasuki. Meski, tetap saja. Ukuran kontol Gagah yang di atas rata-rata menjadi kendala. Perlu usaha lebih dari kedua pihak agar aksi sodomi itu terlaksana.
“Rileks, Bu,” bujuk Gagah sambil terus mencoba. “Jangan tegang. Santai aja. Enak, kok, nanti.”
“Ini juga udah rileks aku, Mas!” kata Bu Norma menahan rintihan. “Kontolnya Mas Gagah aja yang gede banget!”
“Tapi Bu Norma suka, kan?”
Bu Norma memejamkan mata. Lagi-lagi tubuhnya serasa dibelah dua. Duburnya yang sudah tak lagi perawan, yang sudah digenjot dalam berbagai gaya, yang sudah dilebarkan oleh empat penis berbeda; ternyata masih terlalu mungil untuk menampung kontol si raksasa.
Bukan cuma keringat yang mengucur dari hidung bangir Bu Norma saat centi demi centi kontol Gagah amblas ke dalam pantatnya. Ya, wanita itu menangis.
“Bu?” Gagah menyadari Bu Norma selama beberapa lama tak terdengar suaranya. “Bu Norma nggak apa-apa?”
“Nggak, Mas. Nggak apa-apa.”
“Yakin?”
Kontol Gagah sekarang setengahnya sudah tertanam di tengah belahan pantat Bu Norma. Berbeda dari lubang yang satunya, kali ini si pria meyakini dia bisa membenamkan kelaminnya hingga ke pangkal-pangkalnya. Di samping itu, dia juga yakin dia bisa saja mengabaikan perasaan Bu Norma.
Toh, wanita itu sudah mengizinkan. Adalah haknya untuk menyodomi Bu Norma bagaimana Gagah suka. Namun, karena dalam benaknya, Bu Norma merupakan pengganti Ustazah Nuzula, dia enggan gegabah. Ogah serakah.
“Yakin, Mas.”
Dari yang tadinya menyamping, akibat menggeliat saat pedih menyikat, Bu Norma kini bertumpu pada tangan dan kakinya. Wanita berjilbab itu menungging dengan perut yang hampir menyentuh tanah. Kepalanya terkulai lemas di atas rumput yang basah. Punggungnya melengkung indah. Buah dadanya menggantung pasrah.
“Siap, ya, Bu? Saya dorong lagi ini.”
Bu Norma tadinya bersikeras memendam jeritannya karena dia tahu dia akan pingsan kalau terus-terusan berteriak selama Gagah coba menggagahi anusnya. Akan tetapi, lama-kelamaan, wanita hamil itu tidak lagi melihat poinnya.
Dari sela bibir Bu Norma yang terbuka, terdengar desah nikmat yang bercampur sakit sebelum kemudian pecah menjadi jerit saat Gagah mementokkan kontolnya hingga pinggul mereka melekat. Paha Gagah menempel rapat pada bokong sekalnya.
“Sssshhhhh,” desis Gagah seperti sedang kepedesan. “Masuk juga, Bu, semuanya.”
Merasa kenyang dan mual pada saat yang sama, Bu Norma menengok ke belakang. Dia saksikan pejantannya mengulas senyum bangga. Dalam hatinya, wanita itu ikut bahagia. Setidaknya, Gagah tidak dia buat kecewa. Anusnya ternyata mampu menampung kontol perkasa si raksasa.
“Saya goyang, ya, Bu.”
“Pelan dulu, Mas, tapi.”
“Iya, iyaaa. Sempit banget bo’olmu ini, Bu. Mana bisa langsung ngegas saya. Rahasianya apa, sih?”
“Rahasia?”
“Iya, rahasia. Bu Norma, kan, udah, maaf, berumur.”
Secara bertahap Gagah percepat sodokannya. Dari belakang begini, lelaki itu lebih percaya diri. Risiko Bu Norma keguguran lebih sedikit, kan, kalau begini? Atau, paling tidak, begitu yang dia yakini.
“Umur boleh tua. Tapi memek sama bo’ol Bu Norma masih nggigit banget sumpah gila.”
Tersipu-sipu, Bu Norma memilih menanggspi dengan melenguh seperti sapi sedang disembelih setiap kali Gagah menarik dan menghunjamkan kontol hitam nan panjangnya. Meski kesakitan, dia sungguh-sungguh menikmatinya. Menghayati perannya.
Jika Pak Pur, Tokek, dan Kancil sukses membuatnya merasa jadi wanita seutuhnya setelah tak mendapatkan rasa itu dari Dokter Abi, suami sahnya, Bu Norma kini merasa Gagah mengangkat sekaligus menyurukkan derajatnya sebagai seorang wanita. Di saat yang bersamaan, entah bagaimana, dia merasa bagaikan seorang ratu idaman dan seorang pelacur murahan.
Keterlaluan!
PLOKK PLOKKK PLOOOOKK
Lelah berpegangan pada pinggul Bu Norma, Gagah meraih tangan-tangan si wanita yang sesudahnya dia jadikan satu dan dia kunci. Tak ayal, setengah badan Bu Norma terangkat. Payudara indahnya gondal-gandul menggemaskan. Matanya hanya kelihatan putihnya saja. Liur menetes-netes dari sela bibir yang terbuka dan senantiasa menyuarakan ekspresi kenikmatan.
PLOK-PLOK-PLOK-PLOK-PLOKK
Harus Gagah akui, sejauh ini tubuh Bu Norma lebih gurih dari Ustazah Nuzula. Besok-besok mungkin dia akan lupa sepenuhnya akan mantan guru mengajinya itu.
PLOK-PLOK-PLOK-PLOK-PLOKK
“Kayaknya nggak ada rahasianya, Bu,” kata Gagah yang kini tak cuma menelikung tangan namun juga menjadikan ujung jilbab Bu Norma sebagai tali kekang kuda. “Kayaknya Bu Norma emang spesial edition aja.”
PLOK-PLOK-PLOK-PLOK-PLOKK
“Aaahhh… ahhhh, maaakasih, Masss.”
PLOK-PLOK-PLOK-PLOK-PLOKK
“Makasih kenapa, Bu?”
PLOK-PLOK-PLOK-PLOK-PLOKK
“Karena Mas aku selamet.” Jelasnya kata-kata Bu Norma meski dia sedang hanyut dalam gelombang birahi menandakan betapa tulus hatinya. Betapa tidak ada ruanh untuk dusta di sana. “Karena Mas juga aku bisa ngerasain ini.”
PLOK-PLLLLLOOK-PLOOOOK-PLOkkkkK-PPPPPLLLLOOOOOKK
“Ngerasain apa, Bu?”
PLOK-PLLLLLOOK-PLOOOOK-PLOkkkkK-PPPPPLLLLOOOOOKK
“Ini, uuuughh, terbang ke surgaaaa.”
Gagah mengangguk dan kian giat memacu kuda betinanya.
PLOK-PLOK-PLOKPLOKPLOKPLOK
“Saya yang makasih, Bu.”
Gagah bebaskan tangan dan jilbab Bu Norma. Sebagai gantinya, dia dekap wanita itu. Sepasang buah dada ranumnya dia remas dari belakang. Muncrat ke mana-mana ASI Bu Norma. Di bawah, kontol Gagah basah kuyup oleh cairan cinta dari vagina yang bercampur sisa sperma siluman jahanam yang sudah binasa.
“Makasih buat apa, Mas?”
“Bu Norma udah bikin saya bisa jatuh cinta lagi. Kalau bukan karena Bu Norma, saya masih akan nganggep kalau hati saya mati pas Ustazah Nuzula pergi.”
PLOKPLOKPLOKKKPLOKKKPLOKKK
Teringat akan percakapan antara Pak Pur dan Gagah pada pagi dia habis zina untuk kali yang pertama, Bu Norma tersenyum simpul. Sejak saat itu, dia sudah melalui semuanya.
Dua kali Bu Norma berkabung atas kepergian Dokter Abi. Diperkosa, dilecehkan, dihinakan, dan dipaksa melayani mereka-mereka yang baru dia kenal; sudah dia rasakan semuanya. Dari mulai kontol bapak-bapak milik Pak Pur, kontol berkulupnya Kancil, kontol bergotrinya Tokek, kontol menjijikkan si siluman ular, sampai kontol paling perkasa di dunia punya Gagah; sudah dia coba semua. Dari mulut, vagina, sampai anusnya; sudah dia pakai ketiga-tiganya memuaskan lelaki-lelaki yang bukan suaminya.
Semua itu mengantarkannya ke sini. Ke titik ini. Ke pencapaian ini. Tak bisa tidak, Bu Norma merasa bangga. Janin di dalam perutnya bukan sesuatu yang harus dia sesali. Sebaliknya, dia harus bersyukur.
Bu Norma sadar. Kini dia bukan cuma wanita biasa. Bukan sekadar mantan guru yang sudah ibu-ibu. Dia akan menjadi ibu sungguhan. Dia akan menjadi surga bukan cuma untuk para pejantannya namun juga untuk anaknya kelak.
Tentunya, itu semua patut dirayakan, bukan?
PLOOK PLOKKK PLOKKK PPPPLOOOOK PLOKK
“Maaaasss?”
PLOKKKKPLOKPLOK PLOOOK PPPLOOKKK
“Iya, Buuu?”
PLOOOOOKPLOKPLOKK PLLLLLOOOKK
Gagah mulai kesulitan mengatur tempo genjotan. Sebentar lagi, dia akan sampai ke puncak. Kontolnya ngilu, pertanda mau meledak.
PLOKPLOKPLOKPPPPLOOOOK PLOOOOOOKKKK
“Aku mau keluaaaaarrrrrrr.”
“Sama, Bu. Saya juga.”
“Barengan, Mmmmmassss?”
“Iya, Buuu.”
Gagah lepaskan payudara Bu Norma yang seketika kembali begoyang seirama sodokan pada anusnya. Selanjutnya, pria itu dorong bahu wanitanya agar kembali bersujud seperti sebelumnya. Kaki dia kangkangkan di atas pantat Bu Norma yang menggoda. Kedua tangannya mengepal dan meninju tanah di samping lengan Bu Norma. Terakhir, Gagah hunjamkan kontolnya sedalam mungkin ke dalam usus besar Bu Norma yang berteriak kesetanan.
Diiringi geraman dan desahan panjang, mereka orgasme bersamaan.
~bersambung