Lost & Found 4.4.3
Di bawah bulan yang merajai angkasa, sepasang anak manusia malam itu mengayuh birahi untuk kesekian kalinya. Bu Norma, yang telanjang namun tetap mengenakan jilbabnya, tampak menduduki selakangan Gagah. Bukan sekadar duduk, wanita paruh baya itu mengendarai si raksasa. Kemaluan mereka bertemu. Saling mengunci. Saling memiliki.
Bibir vagina Bu Norma merah. Merekah. Susah payah bibir itu menelan kontol hitam milik Gagah. Mencengkeram erat, seolah enggan kalah. Setiap kali pinggulnya dia angkat, bibir itu monyong. Setiap kali pinggulnya dia jatuhkan, bibir itu amblas ditekan penis si raksasa. Bu Norma mendesah. Kepalanya tengadah. Payudara mengkalnya membusung indah.
Dari bawah, Gagah memberi support pada betinanya. Tangan wanita itu dia biarkan bertumpu pada tangannya. Dengan demikian, mereka saling menguatkan. Saling menyemangati dengan penuh kemesraan.
Dari sela bibir yang terbuka, Gagah menggeram. Macam binatang buas hendak menerkam. Gesekan dinding vagina Bu Norma memberi sensasi mengurut-urut pada kemaluannya yang hitam. Memaksa matanya terpejam. Setiap kali ujung kontolnya membentur-bentur pintu rahim si wanita berkacamata, jantungnya melompat tajam.
mulustrasi

Sewaktu rehat sejenak tadi, sambil cuddling keduanya bicara. Gagah menanyakan pada Bu Norma. Ingin lekas pulang atau tidak. Mereka masih di alam lain soalnya. Kalau mau pulang, mereka perlu jalan keluar. Yang dijawab oleh Bu Norma dengan gelengan kepala.
Bukan. Wanita itu pingin pulang, tentunya. Hanya saja, tidak sekarang. Nanti saja kalau sudah tidak terangsang.
Gagah tanggapi selorohan itu dengan tawa. Mana bisa. Kalau itu syaratnya, yang ada mereka akan di sana selamanya sebab Bu Norma bakal dia entot lagi dan lagi. Dan lagi. Dan lagi. Sampai waktu berhenti.
“Ya, udah. Mas entot aku aja terus,” kata Bu Norma, tangan mulai mengelusi batang pejantannya. Kontras lembut telapak tangannya dengan pejal dan kerasnya kontol Gagah membuat wanita berkacamata itu ketagihan. Sensasi itu selalu membuatnya tergila-gila. Tampak bagaimana pipinya senantiasa merona. “Entot aku sampai aku lahiran, Mas.”
“Terus?” Gagah bertanya, suka ke mana obrolan ini bermuara. “Kalau Bu Norma udah lahiran?”
“Yaaa, Mas entot aku lagi,” jawab Bu Morma manja. Sadar penuh dirinya sedang berzina. Sadar dia tengah aktif mengkhianati jilbab di kepala. “Bikin aku hamil lagi.”
Meski berbeda pendapat, Gagah diam saja. Daripada mendebat, laki-laki gondrong itu lebih memilih mulai memilin-milin puting susu kekasihnya. Yang keras. Yang cokelat muda. Yang menggoda. Sebentar saja, jarinya terasa basah. Lengket. Hangat.
Bu Norma, yang tahu apa yang Gagah mau, berkata, “Mau nyusu, ya, Mas?”
Gagah mengangguk.
“Boleh?”
Bu Norma menjawab dengan menyorongkan buah dadanya ke wajah Gagah. Lelaki itu cepat tanggap. Puting kiri Bu Norma dia jilat. Dia isap. Dia gigit-gigit gemas. Air susu yang keluar dia tenggak.
Selagi kemaluannya kian menuju tegak, Gagah caplok payudara Bu Norma. Masuk ke mulutnya hingga batas areola. Dari yang kiri dia berpindah ke yang kanan. Lalu sebaliknya. Jilbab Bu Norma yang sesekali jatuh menghalangi dia singkap.
Rasa susu Bu Norma yang gurih-gurih nikmat lama melekat di rongga mulut Gagah. Dalam posisi woman on top yang kini mereka peragakan, pemandangan buah dada Bu Norma yang gondal-gandul membuatnya tersiksa. Makanya, dia kembali ingin mengenyot-kenyot mereka. Nyot. Nyot. Nyot.
Cucuran keringat serta bekas ludahnya membuat kedua bola semangka itu kian mengkilap. Kian menambah kaya cita rasa. Kian lezat saja di mulutnya, pastinya.
Berbeda dari sebelumnya, Bu Norma enggan buru-buru mempersilakan sang pejantan menyusu. Dia seperti menikmati muka pengen Gagah. Ekspresi birahi itu membuatnya kian bersemangat. Pinggulnya kian cepat menghentak.
Tak cuma naik-turun, Bu Norma padukan genjotannya dengan goyang ngebor. Gerakan meliuk-liuk ini dia ulangi beberapa kali. Hingga dia mulai kehilangan kendali dan menjerit manakala orgasmenya kembali mengunjungi. Kepuasan yang dia dapatkan tak tertandingi oleh apapun juga.
Masih memegangi tangan Bu Norma, Gagah tergoda untuk gantian menggenjot si betina dari bawah. Akan tetapi, saat menyadari betapa buncit perut kekasihnya, niat itu dia urungkan. Sebagai alternatif, dia minta Bu Norma berdiri. Dengan dia bantu, tentu saja.
Selesai berdiri, Bu Norma dia minta balik badan. Nampaklah pinggul ibu-ibu yang masih kencang dan memohon dipegang. Mereka lalu mendekat ke sebuah pohon.
Bongkahan pantat Bu Norma bergoyang-goyang menggemaskan saat dipakai jalan. Mengerti, wanita berhijab itu berpegangan pada batang pohon. Paha dia renggangkan. Menetes-netes cairan cintanya dari celah vagina yang terbuka. Sebentar kemudian, vagina itu kembali terisi.
Gagah genjot Bu Norma sambil dia cengkeram pinggangnya.
PLOK PLOK PLOK
Mata Bu Norma mendelik. Mulutnya mendesah. Melenguh. Merintih. Janin dalam perutnya ikut bergoyang seperti halnya buah dada dan kepala berbalut jilbabnya. Janin itu seperti ikut berbagi bahagia yang tengah ibundanya rasa.
Pada satu kesempatan, Bu Norma menjulurkan lengan ke belakang. Dia bimbing tangan Gagah agar berpindah. Agar bukan cuma memegangi pinggangnya.
“Nah, iya, gitu, Mas,” ucap Bu Norma ketika Gagah meremas gunung kembarnya, membantu dia agar tidak menabrak pohon di depannya. “Yang kenceng, Mas.”
Gagah pacu anjing betinanya seakan esok tidak akan pernah datang. Pinggulnya tanpa lelah mengayun. Dengan perkasa memek Bu Norma dia sodok-sodok. Dia rojok-rojok. Dia obok-obok.
“Aaarghh, Buuuu.”
“Maaaas.”
“Mau keluarrrr, Buuu…”
“Samaaa…”
Bersama-sama, sepasang anak manusia itu kembalih meraih puncak asmara. Gagah tegakkan badan Bu Norma sebelum menusukkan penisnya sejauh-jauhnya ke dalam vagina Bu Norma. Crat-crat-crat-crats! Rahim wanita itu seketika dibekap hangat. Garis pertemuan kelamin mereka tampak mengkilap dan sedikit berbusa.
Mereka berlama-lama menikmati momen-momen berharga itu sebelum kemudian si pria gondrong, yang masih berstamina, mencabut kontolnya hanya untuk kembali dimasukkan ke dalam tubuh si wanita, kali ini lewat pintu belakangnya yang memesona. Dari lubang vagina yang menganga, meleleh kemudian menetes cairan putih sperma. Tak muat karena saking banyaknya.
“Uuuggghhhhh,” lenguh Bu Norma. Kepalanya menoleh ke belakang. Matanya memandang sayu. Wajahnya yang tak lagi muda tampak ayu bagai ratu kerajaan-kerajaan tempo dulu. “Mas nggak capek?”
“Belum, Bu,” jawab Gagah, menjilat bibirnya dan siap kembali memompa. Penisnya telah tertanam setengahnya di pantat bahenol Bu Norma. Sengaja dia tak hentakkan seluruhnya. Jepitan anus itu meski tak sehangat dan sebasah vagina, punya daya pikatnya sendiri. Yang membuat Gagah enggan lengah fan keluar buru-buru. Sembari menunggu, payudara wanita itu dia pijit-pijit mesra.
“Sambil rebahan aja gimana, Mas?”
“Eh?”
“Dengkulku mau copot. Ngilu. Mas keras banget, sih, genjotnya.”
Gagah kabulkan request kekasihnya. Dengan tanpa melepas kelaminnya dari dubur si wanita, dia kembali berbaring dengan Bu Norma di atasnya. Masih saling membelakangi. Beda tinggi mereka menjadikan kepala Bu Norma jatuh ke dadanya. Agar lebih nyaman, kaki Bu Norma dia rentangkan lebar-lebar.
“Siap, Bu?”
“Siap, Mas. Pelan dulu tapi. Kontolmu gede banget soalnya,” kata Bu Norma yang belum lelah memuja lelakinya.
Menyanggupi, Gagah melesakkan kemaluannya dengan hati-hati. Hingga amblas seluruhnya. Agak lama dia diamkan batang itu di sana. Seolah dia ingin penisnya berkenalan lagi dengan setiap mili otot-otot anus Bu Nirna.
Saat menarik pun, Gagah enggan menyakiti. Pelan namun pasti. Dia ingin jika nanti mereka kembali, adalah kontolnya yang akan Bu Norma minta setiap hari.
“Bu?”
Rehat dari merintih seperti anak kucing, Bu Norma menanggapi, “Iya, Mas?”
“Bu Norma paling suka kontolnya siapa?”
“Hmmmpphh?”
“Dari semua kontol yang Bu Norma coba, Bu Norma paling suka yang mana?”
“Hhgggghh, masa,” kata Bu Norma, mengabaikan ngilu pada anusnya dan fokus pada lidahnya, “pake nanya segala, Mas? Ya kontolnya Mas, lah!”
“Ahhh, yang bener?” goda Gagah.
Bu Norma menjawab dengan gigi yang terkatup rapat, “Bener, Massss. Sumpah demi tuhan. Kontolmu favoritku.”
“Kenapa nggak kontolnya Kopral?”
“Mmmhhh, kurang panjang, Mas.”
“Kalau kontolnya Tokek?”
“Ahhhhhh, ngga enak, Masssh.” Ekspresi ngeden Bu Norma mirip orang buang air besar. “Cuma bikin ngilu gotrinya. Mana dia kasar orangnya. Nggak ada sayang-sayangnya.”
“Hmm. Kalau Kancil? Kontol dia beda, kan.”
“Beda? Polos maksudnya, Mas?” Bu Norma mulai sulit mengendalikan lidahnya. “Ahhh, uhhhh, polos banget dia, Masss. Ya, orangnya. Ya, kontolnya. Ngga disunat. Ngga diapa-apain gitu. Kurang bumbunya. Default pokoknya.”
“Default?” Gagah tertawa. “Kontolku juga nggak spesial, lho, Bu. Ngga ada ubahan apa-apa. Cuma disunat doang.”
“Iiuhhyaaa.” Bu Norma memejamkan mata. Bagaimana bisa ada kontol seenak ini di dunia. Harusnya kontol begini cuma boleh ada di surga. “Tapi punyane Mas gede. Panjang. Item. Marem.”
Terhibur, Gagah percepat genjotnya. Tubuh Bu Norma menggeliat bak cacing kepanasan di atasnya. Demi kian memuaskan kekasihnya, raksasa itu ciumi puncak kepala Bu Norma. Jilbab lembap si wanita dia jilati. Dia gigiti.
Geli, Bu Norma mendongak. Dari balik kacamata, netranya berbinar. Bahagia. Dia pasrah saat lidah lelakinya turun ke mukanya. Jatuh ke dahinya. Membasahi alisnya. Menjilati pelipisnya. Turun ke mata. Lalu hidungnya.
“Isep lidah saya, Bu,” kata Gagah usai seluruh wajah cantik Bu Norma dia jilati seperti manisan.
“Hmm?”
Gagah membuka mulutnya. Menjulurkan lidahnya sejauh-jauhnya. Di bawahnya, lepas menelan ludah, Bu Norma meniru aksi si raksasa. Dia buka bibirnya. Pelan ujung lidah Gagah dia isap-isap.
Mulanya lidah Gagah tak banyak ulah. Tetapi, sebentar kemudian, lidah itu memaksa mengorek-ngorek gusi dan rongga mulut Bu Norma. Sebelum lama, keduanya sudah terlibat dalam ciuman membara. Panas luar biasa. Seolah mereka belum pernah saling bertukar ludah sebelumnya.
Sambil menikmati mulut Bu Norma, Gagah tetap memompakan kontolnya. Benda hitam dan panjang itu keluar masuk lobang pembuangan si wanita berhijab, yang karena saking terangsangnya, mulai meremas-remas payudaranya sendiri. Demi memperkuat sodokan, pria berambut panjang itu menekuk kedua lututnya. Selakangannya Bu Norma kian terangkat jadinya.
Gagah hunjamkan kontolnya dalam tempo yang bervariasi. Tiga kali tusukan cepat dia barengi dengan dua kali genjotan mantap.
Slep-slep-slep-ploook-plookkk!
Slep-slep-slep-ploook-plookkk!
Slep-slep-slep-ploook-plookkk!
Slep-slep-slep-ploook-plookkk!
Slep-slep-slep-ploook-plookkk!
Gagah dan Bu Norma baru berhenti menjelajahi rongga mulut satu sama lain dua menit berselang. Mereka sama-sama kehabisan napas. Meski ngos-ngosan, keduanya tampak puas. Mereka menguas senyum pada satu sama lain.
“Mas?” tanya Bu Norma saat Gagah berhenti bermain-main dengan duburnya dan kini menyetubuhi dalam tempo tinggi. Payudaranya berontak minta dibawa lari. Sendi-sendi tulangnya menggigil ngeri.
“Iya, Bu?”
“Jaaahhhangan keluarin di dalem, ya?”
“Eh?” Mendadak Gagah pelankan ayunan pinggulnya. Dia pun bertanya, “Kenapa, Bu?”
“Perih, Mas, silitku.” Bu Norma raup sebanyak mungkin udara ke dalam paru-parunya. “Di mulut aja, ya, Mas?”
“O-oke, Bu,” jawab Gagah tanpa pikir panjang. Setelah satu tusukan kuat, dia cabut kontolnya. Bu Norma berguling dari atasnya. Lekas dia beringsut bangun.
Sambil mengocok kemaluan, Gagah kangkangi wajah dibingkai hijab itu. Lutut dia tekuk agar kepala penisnya mendekat ke mulut yang dulu terbiasa mengalunkan ayat-ayat suci. Yang dulu senantiasa terjaga kesuciannya. Yang kini tak ubahnya mulut pelacur durjana. Siap membuka kapan saja. Terutama untuk pasangan haramnya.
Malam sudah larut. Gagah mulai merasakan lelah. Konsentrasinya sedikit terpecah. Sementara ujung kontolnya diemut Bu Norma, dari sudut mata, dia dapati ada yang menyaksikan zina mereka. Bulu kuduk lelaki itu meremang. Dia batal membuat Bu Norma minum sperma saat dia justru pejuhi wajah ayu itu gara-gara dia kembali menegakkan badan. Waspada.
Bu Norma, yang matanya kecipratan sperma akibat kacamata yang melorot dari hidung, cuma bisa bertanya-tanya. Kenapa Gagah malah menganggurkan mulutnya. Lidahnya. Padahal, dia haus akan saus kental lelakinya.
Sedikit kesal, Bu Norma usap ceceran pejuh dari mata dengan telunjuknya yang kemudian dia isap bak madu nomor satu di dunia. Dengan telunjuk masih di dalam mulut, wanita itu mendongak. Gagah telah berpaling darinya. Sesuatu menyita perhatian si raksasa.
Bu Norma ikuti ke mana pejantannya memandang. Dan dahinya mengerut.
“Itu… kelinci?”
Momma Bunny

Gagah, yang masih mengangkangi Bu Norma, secara pelan-pelan agar tak mengagetkan penonton mereka, memindahkan beban tubuhnya sehingga kini dia berdiri di antara betinanya dan kelinci setinggi satu setengah meter yang tak berkedip menatapnya dengan mata merah delima.
Bulu kelinci itu putih. Bersih. Badannya gemuk. Lemu ginuk-ginuk. Telinga panjangnya merah muda dan menantang angkasa. Kumisnya panjang menjuntai. Dia berdiri nyaman di atas kaki belakangnya.
“Wah. Kebetulan, Mas.” Bu Norma menjilat bibirnya. “Aku laper.”
Gagah lirik Bu Norma sebentar. Entah ibu-ibu itu masih konak atau bagaimana, tapi tampaknya cuma dia seorang yang curiga pada hewan di seberang mereka. Dari penampilan luarnya saja, itu kelinci tampak tak biasa. Selain tubuhnya yang lebih besar dari kelinci mana pun juga, sepasang matanya memancarkan kecerdasan. Seakan-akan dia bukan kelinci biasa. Seakan-akan dia dari tadi menyaksikan bukan tanpa alasan.
“Mas bisa nangkep, kan?”
“Ssshgh,” desis Gagah, meminta Bu Norma diam.
Ketika si wanita berjilbab tak menjawab, Gagah edarkan pandangan. Dia mengharapkan senjata tetapi hanya ranting kering yang dia temui di lantai hutan itu. Tentu, dia bisa cari ranting yang masih basah. Yang cukup besar. Yang kuat. Yang bisa menghalau serangan. Yang, sayangnya, akan kurang cepat dia dapatkan. Jarak antara dirinya dan Bu Norma dengan si kelinci teramat dekat.
Saat Gagah mulai mengutuki peruntungannya, si kelinci tiba-tiba menurunkan kaki depannya, berbalik, dan melompat-lompat santai menjauhi mereka.
Gagah sempat berharap mereka akan dibiarkan. Ditinggalkan. Dengan begitu, dia bisa berhenti mencemaskan keselamatan dirinya dan Bu Norma. Sayang, si kelinci seperti sengaja mempermainkannya. Alih-alih melompat ke baluk semak dan pergi, dia justru berhenti, menoleh ke belakang, dan membuka mulutnya.
“Rumah.”
Kata-kata itu meluncur dari sela-sela gigi si kelinci. Terdengar datar tanpa emosi. Tanpa enunsiasi. Meski demikian, ada urgensi di dalamnya. Suara yang bukan feminin maupun maskulin itu bukan cuma ingin didengar namun juga dimengerti. Dipatuhi.
Gagah terkesiap mendengarnya. Hal terakhir yang dia butuhkan saat ini adalah makhluk jadi-jadian lagi. Bu Norma, yang turut mendengarnya, merasakan ketegangan si pria perkasa. Hilang sudah selera makan si wanita. Siapa juga yang mau makan kelinci yang bisa bicara?
“Bu?” Gagah menoleh. Raut mukanya panik. Matanya lebar. Kumisnya tampak kaku. “Bu Norma dengar yang tadi?”
Bimbang, Bu Norma mengangguk. Dia tahu apa yang barusan dia dengar. Suara itu bukan cuma lewat di kupingnya namun juga kini bercokol di benaknya. Mengakar di sana. Memancing mual dari dasar perutnya.
Hanya saja, Bu Norma ragukan kewarasannya. Agaknya, Gagah tidak berbeda.
“Saya nggak gila, kan, ya?” ucap Gagah, menelan ludah, dan kembali memerhatikan kelinci yang kini tampak menunggu mereka dengan niat memberi arah. Memberanikan diri, raksasa itu bertanya, “Halo. Situ yang tadi… bilang ‘rumah’, ya?”
Bungkam, kelinci putih itu cuma menatap Gagah tanpa ekspresi apa pun juga. Sepasang matanya yang membara seakan sedang mengerjai mereka. Semburat kecerdasan yang sempat tampak pada kedua manik merah itu kini lenyap entah ke mana. Yang tersisa hanya kengerian yang merambati bulu kuduk Gagah dan Bu Norma.
“K-kayaknya,” kata Bu Norma usai tensi antara mereka dan si kelinci tak kunjung reda, hanya saling pandang tanpa akan pernah mencapai kesepakatan apa-apa, “kita harus ikut dia, Mas.”
“Ikut?” tanya Gagah, sedikit lega dia bukan yang paling sinting di sana. Namun demikian, dia tambah cemas juga. Sebelum tahu kelinci itu kawan atau lawan, dia tak hendak membuat keputusan. “Kita nggak tahu dia ini apa. Jahat apa nggak. Jangan kesusu, Bu.”
Bu Norma sejajari lelakinya. Dia cubit lengan raksasa itu.
“Tapi Mas suka, kan?”
“Suka?”
“Ke… susu.”
Gagah melirik cepat ke arah Bu Norma sebelum memberengut sebal.
“Udah.” Bu Norma berjuang menahan tawa. “Bajunya dipakai, Mas. Kita pulang aja sekarang.”
“Pulang? Bu Norma… udah bosen ngentot sama saya?”
“Belum, dong.”
Bu Norma buktikan kata-katanya dengan menggelayuti bahu kekasihnya. Sengaja dia gesekkan lingkar payudaranya kemudian areolanya pada kulit kasar si pemuda. Pelan telapak tangan lebar si raksasa dia bimbing ke perutnya. Dia mau lelaki itu turut merasakan denyut kehidupan di sana.
“Tapi bayi kita gimana, Mas, kalau kita di sini ngentot terus?”
Terkenang betapa dulu dia kehilangan Ustazah Nuzula dan jabang bayi mereka, Gagah tergeragap mencari kosa kata yang paling pas menggambarkan perasaannya. Dia ingin Bu Norma dan janin dalam perut wanita itu terjamin keselamatanya. Namun demikian, dia juga enggan gegabah. Salah-salah, dia harus kehilangan mereka.
Traumanya bisa-bisa kembali terulang karenanya.
“Bu Norma… yakin?” tanta Gagah sesudah menyerah menemukan kata yang dia cari dan memilih percaya pada si wanita. Kalau ikut kelinci jadi-jadian itu yang Bu Norma mau, dia cuma bisa setuju. Tetapi, sebelum itu, dia harus tahu. Seberapa yakin calon ibu itu.
“Yakin, Mas. ” Jawaban Bu Norma terdengar mantap. Merasakan pejantannya masih meragu, perempuan mantan pengajar itu bertanya, “Mas enggak yakin, ya? Masih beneran pengen di sini?”
Gagah menghela napas lalu menggeleng keras, yang membuat Bu Norma berhenti mengelus-ngeluskan tangannya pada perut yang membuncit.
“Nggak gitu, Bu.” Gagah berdoa supaya Bu Norma tidak salah paham. “Lihat, deh. Itu kelinci… nggak beres, Bu. Bukan kelinci biasa dia. Tadi aja dia ngomong ke kita. Gimana—”
“Justru karena itu, Mas,” potong Bu Norma, melihat pemuda lawan jenisnya itu hanya butuh sedikit motivasi. Sedikit alasan. “Kita kudu ikut dia.”
“Kudu?”
“Dia ke sini ada tujuannya, Mas. Selain nangkep basah kita, pastinya.”
Gagah melipat tangannya di depan dada dan berpikir keras. Di seberangnya, dengan sabar kelinci putih yang meresahkan itu menunggu. Agaknya mereka tidak sedang diburu waktu.
“Tapi nanti kalau Bu Norma kenapa-napa gimana?” tanya Gagah pasca gagal membantah argumen Bu Norma, yang karenanya dia nyatakan saja mentah-mentah apa yang ada di dalam hatinya. Bahwa prioritasnya tak lain dan tak bukan adalah nasib Bu Norma. Wanita yang dia cinta.
“Yaaaa, kan ada Mas.” Untuk sesaat, Bu Norma melirik batang layu si pria. Meski layu, penis itu tetap tampak gagah. Jika dia akan menantang marabahaya, Gagah adalah orang yang akan dia percaya menemaninya. Mengawalnya. Melindunginya. “Mas Gagah mau, kan, jaga aku? Jaga bayi kita?”
Berhasil diyakinkan, Gagah akhirnya mengalah. Satu per satu pakaian dia pungut lalu kenakan. Sebagaimana pria pada umumnya, dia cepat saja berbusana. Pemuda itu sedang akan menggelung rambutnya agar mudah saat memasukkan kepalanya ke lubang kaos singlet saat dia tersadar.
Dia punya semua pakaian ini. Dari atas sampai bawah. Sedangkan, Bu Norma cuma punya jilbabnya. Yang sudah basah. Juga awut-awutan.
“Ada apa, Mas?” tanya Bu Norma waktu tatapan puzzled Gagah jatuh padanya.
Bukannya menjawab, lelaki itu justru bergantian memandang kaos dan Bu Norma.
“Bu Norma kedinginan nggak?”
“Hmm, nggak, sih, Mas. Kenapa?”
Gagah mendekat. Kaos di tangannya dia rentangkan dari satu lubang lengan ke lubang lengan berikutnya. Berkat proporsi badannya yang tinggi besar, kaos itu tampak muat Bu Norma kenakan. Agak ketat di bagian perut, tentu saja. Tapi tidak apa-apa. Bahannya elastis. Akan melar tak ubahnya memek Bu Norma yang muat menampung kontol hitamnya.
“Mas,” kata Bu Norna menebak-nebak, “mau aku pakai ini?”
Gagah mengangguk. Setelah melirik si kelinci yang belum juga beranjak, dia berkata, “Kita nggak tahu, Hu, mau dibawa ke mana sama itu binatang. Buat jaga-jaga aja. Bu Norma kan lagi hamil gitu.”
Meski ragu, Bu Norma terima kaos yang Gagah angsurkan. Berlama-lama dia memakai kaos itu kemudian. Sebagaimana yang Gagah duga. Kaos itu muat. Cuma agak sempt saja di bagian pinggang.
“Gimana, Bu?” Gagah coba memastikan. “Nyaman nggak di perut?”
“Nyaman, kok,” jawab Bu Norma, bertabur dusta. Bukan ukuran kaos itu yang aslinya dia keluhkan, melainkan tekstur kainnya. Baru kali itu dia mengenakan sesuatu yang kasar dan cenderung membikin gatal.
Kok, Gagah tahan, ya?
“Yuk, Mas,” ajak Bu Norma selagi Gagah tak berhenti memerhatikannya. Seakan-akan dia badut atau apa. Memang, gara-gara kaos singlet itu dia kelihatan lebih… nakal daripada saat telanjang. Tapi ya mau gimana lagi. Ini bukan idenya. “Keburu ngambek kelincinya.”
Tersadar dari lamunannya, Gagah berhenti mengagumi lekuk badan Bu Norma yang walau sedang berbadan dua, berhasil membuat celananya sesak tanpa wanita itu harus mencoba. Sebelum dia malah menerkam wanita itu, dia bertanya, “Bu, mau pakai sepatu, nggak?”
“Eh?” Bu Norma terheran-heran. “Sepatu?”
“Iya.” Gagah entakkan kakinya ke udara sehingga lepas kembali sepasang sepatu taktis yang belum dia ikat. “Biar kaki Bu Norma aman kalo ada apa-apa.”
“Ah. Gitu.”
Silih berganti Bu Norma amati sepatu Gagah dan telapak kakinya sendiri. Berkebalikan dari kaos yang melekat pada tubuhnya kini, alas kaki itu tampak kelewat besar dari ukurannya. Belum lagi, cuma sepintas saja, sepatu-sepatu itu tampak sekokoh, dan sangat mungkin seberat, batu.
Oleh karena itu, Bu Norma tak lekas memasukkan jari kakinya ke sana. Hingga akhirnya dia harus katakan yang sebenarnya, “Anu, Mas. Hm. Sepatunya Mas gede banget, kan. Kamplung kakiku nanti.”
“Ya, nggak papa, Bu. Ada talinya. Bisa—”
“Kayak kalo sekarang kontolnya bojoku, Mas Abi,” sela Bu Norma yang sudah bulat tekad enggan memakai sepatu, “masuk ke silitku. Apalagi tempikku.”
Naughty Norma

Dahi Gagah mengerut mendengar perumpamaan itu. Belum juga dia cerna maksud penolakan Bu Norma, wanita itu kembali bicara.
“Udah, ah, Mas. Aku nyeker aja. Kalo kenapa-napa, nanti Mas gendong aku. Setuju?”
Jadilah dengan hanya mengenakan hijab di kepala dan kaos tak berlengan, Bu Norma hampiri kelinci yang sudah menunggu mereka. Gagah tergopoh-gopoh menyusul di belakangnya. Bersama mereka minta si kelinci melalui isyarat mata agar diantarkan pulang. Ke ‘rumah’ yang kelinci tadi bilang.
Lebih gampang daripada yang mereka duga, kelinci jadi-jadian itu cepat tanggap. Dia melompat ke balik semak-semak, berhenti di balik beberapa pohon, mengangkat kaki depannya, dan menoleh kepada mereka seakan berkata, ‘Ayo balap aku ke sana!’
Tanpa mengurangi rasa hormat pada dongeng kelinci dan kura-kura, Bu Norma enggan dibuat tergesa. Rute mereka cukup sulit untuk dinavigasi malam-malam begini. Jalur yang mereka ambil, lagipula, cuma tampak di mata menyala si kelinci.
Dampaknya, Gagah yang menjaga buntut rombongan jadi sering menubruk bokong mentul Bu Norma gara-gara wanita berhijab itu sering berhenti mendadak.
“M-maaf, Mas,” kata Bu Norma ketika untuk kali ketujuh Gagah menubruknya. Yang sekarang lebih keras dari sebelumnya. Jika sebelah lengannya tak lelaki itu cekal, niscaya dia akan tersungkur ke depan. Jatuh dengan wajah nyusruk ke tanah. “Gelap banget jalannya.”
“Nggak papa, Bu. Santai aja.” Gagah raba pipi, tetek, perut, dan pantat Bu Norma. Cuma ingin memastikan wanita paruh baya itu baik-baik saja. Tatapan menghakimi si kelinci yang berhenti di depan mereka diabaikan oleh pemuda itu. “Yuk, pelan-pelan.”
“Hm.” Napas Bu Norma menderu. Karena capek jalan kaki malam-malam dalam kondisi hamil. Dan juga karena Gagah malah merangsangnya. “Iya, Mas. Masih jauh nggak, ya?”
“Moga-miga dah deket, Bu.”
“Hm.”
“Kalo nggak kuat bilang, lho, Bu,” ujar Gagah mengingatkan. “Biar aku gendong Bu Norma nanti.”
Mengulas sedikit senyum dalam gelap di bawah kanopi hutan itu, beban fisik maupun psikis yang Bu Norma pikul terasa lebih ringan. Lebih enteng. Kembali dia melangkah hati-hati. Mengitari satu pohon ke pohon berikutnya. Menjaga keseimbangan agar tak menendang akar yang mencuat ke permukaan di sana-sini dan membikin malu diri sendiri.
“Mas? Boleh aku nanya?”
Sepuluh menit telah lewat sejak terakhir kali mereka bicara. Gagah berhasil menghentikan dirinya sebelum lagi- lagi menubruk Bu Norma dari belakang—dan mungkin kali ini akan menyetubuhi si wanita, doggy-style, karena saking tidak tahannya. Sambil memastikan resleting celananya masih menutup, pria berambut panjang itu berkata, “Nanya apa, Bu?”
“Hm. Itu.”
Bu Norma kembali berjalan.
“Ustazahnya Mas dulu. Ustazah Nuzula. Apa… Mas masih pengen ketemu dia?”
“Eh?” Gagah membeku. Bahkan saat goyangan pantat Bu Norma kian jauh meninggalkannya. “Maksudnya?”
Bu Norma berhenti. Tangan di pinggang bagian belakang. Peluh bercucuran. Punggung sedikit dibungkukkan.
“Ya, misal, nih, Mas.” Bu Norma menengok ke belakang dan agak terkejut Gagah berlama-lama menyusulnya. “Mas ketemu Ustazah Nuzula. Mas bakal pilih siapa. Dia? Apa aku?”
Sembari menunggu tanggapan pejantannya, Bu Norma usap keringat yang mau masuk mata. Di depannya, si kelinci dengan tak sabaran menunggu. Binatang itu ikut-ikutan membersihkan wajahnya. Moncongnya. Kumisnya. Telinganya.
“Kenapa,” kata Gagah mengagetkan Bu Norma (sejak kapan lelaki itu sudah di dekatnya? mana senyap banget lagi dia jalannya!), “Bu Norma tanya gitu?”
Mundur dua langkah, Bu Norma mengulum lidahnya sebelum berkata, “Yaaaa, aku penasaran, Mas. Mas lebih cinta—”
Gagah hentikan omongan Bu Norma dengan meletakkan satu telapak tangan besar, kasar, nan berat di pundak kiri wanita itu. Dibuat mendongak, tampak betapa kalut wanita itu tiba-tiba. Kalau mau, lelaki di hadapannya itu bisa melumatnya secara harfiah dan dia tidak akan mampu melawan. Tak akan bisa berbuat apa-apa. Cuma bisa pasrah.
“Jangan nanya yang enggak-enggak, Bu.”
Mengekeret, Bu Norma cepat-cepat menganggukkan kepala.
“Saya cinta Bu Norma. Sayang Bu Norma. Bu Norma percaya, kan?”
Lagi, Bu Norma mengangguk.
“Kalo gitu, Bu Norma percaya juga, kan, kalau saya harus milih, saya akan milih Bu Norma?”
Bu Norma sudah akan mengangguk kembali saat mendadak dia hentikan dirinya sendiri.
“Bu?”
Gagah sedikit kesal mendapati tatapan mata Bu Norma tidak fokus padanya. Seperti ada sesuatu di belakangnya. Dia melirik dari sudut mata dan—wow!
Ratusan kunang-kunang entah dari mana, tahu-tahu saja sudah mengerumuni mereka. Serangga-serangga api itu terbang dengan canggung di bawah dahan-dahan pohon. Di sela-sela ranting. Zig-zag menghindari semak-semak.
Mengikuti ke mana mereka menuju, Gagah bersitatap dengan kelinci putih yang memandu mereka. Apa pasukan kunang-kunang ini bagian dari rencana si kelinci? Atau kebetulan semata?
“Indah banget, ya, Mas?”
Gagah mau tak mau setuju. Pendar keemasan para kunang-kunang begitu indah untuk disaksikan. Untuk dialami bersama orang yang dia cinta. Sampai-sampai dia mau menangis dibuatnya.
“Eh, Mas???” Bu Norma memekik kaget saat tanpa ba-bi-bu Gagah menggendongnya dan melangkah ke mana skuadron raksasa kunang-kunang terbang. “Kok, aku digen—”
Gagah bungkam Bu Norma dengan mencium dahi si wanita. Mereka kembali meneruskan perjalanan pulang. Kembali mengejar kelinci sialan yang lompat-lompat riang di bawah tarian para kunang-kunang.
“Saya dah nggak tahan, Bu.”
“Eh???”
Sebelum Bu Norma larut dalam takut kalau-kalau Gagah akan menggenjotnya sambil berdiri, dia dengar pemuda itu berkata, “Ayo buruan pulang, Bu. Nanti kita cari penghulu.”
“Penghulu?”
“Iya. Saya mau kita nikah. Saya mau kita sah.”
“T-tapi,” kata Bu Norma setelah beberapa lama, “aku, kan, udah jadi punyamu, Mas.”
“Ya, biar semua tahu aja, Bu. Kopral. Tokek. Kancil. Daisy. Dunia.”
“Daisy? Dunia?”
Meski merasa aman di dalam gendongan lengan-lengan kekar kekasihnya, Bu Norma merasa risau. Gugup. Dia kesulitan menebak apa yang sejatinya Gagah mau. Apa yang lelaki itu ingin katakan.
“Agak susah nyari penghulunya nanti,” kata Gagah melanjutkan seolah-olah dia tuli pada pertanyaan terakhir Bu Norma. “Tapi nggak papa. Demi Bu Norma, segara geni juga ingsun seberangi.”
Tersipu-sipu, Bu Norma cuma bisa mengeratkan pegangan tangan kanannya yang melingkari leher Gagah. Pada dada bidang si pemuda, wanita berhijab itu menemukan tempat paling aman di dunia. Meringkuk seperti amak kecil, dia memilih pasrah.
Apa yang pejantannya mau, Bu Norma enggan membantah. Jiwa dan raganya, lagipula, sudah dia serahkan pada laki-laki itu. Karena itu, saat kantuk hinggap di matanya, Bu Norma terima-terima saja.
Bu Norma baru terbangun saat tak lagi dia rasakan dunia bergerak di sekelilingnya. Semuanya diam. Bungkam. Tidak ada kunang-kunang. Wajah Gagah samar-samar dia saksikan sedang memberengut mengancam.
Mengikuti arah pandang lelakinya, Bu Norma temukan mereka sedang berdiri di depan sebuah tebing tinggi. Puncaknya tersembunyi. Bebatuan putih nan terjal menghalangi mereka seperti sebuah tembok raksasa. Di bawahnya, terdapat lubang/gua yang terlalu kecil untuk dimasuki manusia tetapi juga tampak terlalu besar bagi si kelinci putih yang duduk santai di pintu masuknya.
Tepat di sebelah kiri lubang/gua itu, sesosok lelaki tinggi berdiri.
“Hohohoho, sudah sampai kalian,” kata sebuah suara yang terdengar mirip kayu sedang digergaji. Gesekan itu datang dari kayunya, bukan gergajinya. “Letih? Lelah? Mau ngaso-ngaso dulu?”
“Kowe sopo?!” hardik Gagah. Cepat Bu Norma dia turunkan. Menempatkan dirinya di antara si wanita berhijab dan sosok mencurigakan yang tampaknya sudah menunggu mereka, pemuda kekar itu pasang kuda-kuda. Tangan terkepal di udara. Di depan muka. “Bener, kan? Kelinci bangsat itu nggak beres. Ini semua nggak beres.”
“Hohohohoho.”
Sosok dalam bayang-bayang itu bergerak. Puncak bahunya, yang setidaknya tiga meter tingginya dan dua meter lebarnya, tampak berguncang menahan tawa. Bagian kepala, yang tampak bermahkotakan ranting-ranting kaku, baru diam setelah beberapa lama.
“Jangan buru-buru kau ambil kesimpulan, anak muda. Aku bukan musuhmu.”
“Tunjukkan dirimu!” gertak Gagah, yang meski kalah besar, tak gentar. “Beraninya main jebak aja!”
Saat sosok itu mendekat, Bu Norma perhatikan jalannya lucu. Mirip kakek-kakek jompo. Agak pincang juga. Seakan salah satu kakinya lebih panjang dari yang lain. Belum lagi, sendi-sendinya bergemeretak senyaring rumpun bambu ditingkahi angin kencang.
Namun begitu, Bu Norma tidak tertawa. Apalagi ketika awan di atas kepala menyibak dan tampaklah apa yang Bu Norma duga sebagai pohon yang bisa bicara.
“Aku Besi,” kata sosok yang terlihat bagai perpaduan antara raksasa berwajah keriput penuh jerawat dan pohon trembesi itu memperkenalkan diri. “Penjaga gerbang ini.”
“Apa maumu?!”
Besi mengangkat sebelah tangannya yang berjari-jari runcing dan ya, sebelas-dua belas dengan ranting pohon. Dia lalu berkata, “Aku cuma mau berterima kasih.”
Gagah menelengkan kepalanya ke satu sisi. Dia tidak salah dengar, kan?
“Berkat kalian,” kata Besi, “dunia ini akan kembali dikunjungi pagi. Sukar sudah terlalu lama berkuasa di sini. Dari masa aku masih tunas kecil di bawah kaki mendiang ayahku sampai aku tua bangka begini. Hohohoho.”
“Minggir,” desis Gagah. “Kami mau pulang.”
Kembali Besi tertawa.
“Tentu. Tentu. Aku tidak akan menghalangimu, anak muda.”
Gagah menggertakkan giginya. Ada yang belum keparat yang satu ini katakan. Seakan-akan, dia ada maunya. Gagah tahu itu. Mereka tidak akan dibiarkan lewat begitu saja.
Dan, benar saja. Ketakutan Gagah mewujud nyata saat sosok di hadapan mereka kembali buka suara.
“Kalian boleh lewat. Tapi, ada syaratnya.”
“Langkahi dulu may—”
“Yang aku cuma butuh satu,” potong Besi.
Sadar dirinya kini diperhatikan, Bu Norma menyilangkan tangan di depan dada. Di depan perutnya. Mata jelalatan Besi membuatnya tidak nyaman. Dia jadi gelisah tak karuan.
“Nggak bisa,” kata Gagah usai dia ikuti tatapan Besi. “Berani kowe sentuh Bu Norma, aku bikin kowe jadi kayu bakar.”
“Hohohohoho. Besar juga mulutmu, bocah.” Besi kini berkacak pinggang. “Kau kira kontolmu gede, hah? Kau belum lihat ini kalau begitu.”
Gagah dan Bu Norma serentak bergidik ngeri saat Besi memamerkan apa yang kelihatan sebagai kontol paling besar di dunia. Ya, sebagaimana bagian tubuh yang lain, kemaluan itu juga terbuat dari kayu. Permukaannya kasar. Penuh retakan di sana-sini. Berlumut dan berjamur juga.
“Gede, kan? Hohohoho. Tenang. Aku cuma butuh cah ayu, yang di sana itu, nyium pucuk kontolku.”
Bu Norma terkesiap. Gagah murka, tentu saja. Sebelum salah stau dari keduanya sempat berkata-kata, Besi sudah menekuk lututnya. Kini jongkok, ujung kemaluan sosok itu mengambang satu setengah meter dari tanah. Mengayun seolah sedang menghipnotis para pemirsa.
“Bagaimana, cah ayu?” tanya Besi, langsung pada Bu Norma. “Mau, kan, kau cium pusakaku?”
Bu Norma hampir tersedak ludahnya sendiri. Di satu sisi, dia jelas ogah menuruti permintaan Besi. Namun, di sisi lain, dia kagum juga. Ya, memang. Laki-laki di mana-mana sama saja. Otak mereka suka turun ke selakangan dan stay lama di sana.
Akan tetapi, pusaka yang kini menggantung bak lonceng menara itu memang luar biasa. Bukan cuma ukurannya. Ada sesuatu darinya yang membuat memek Bu Norma basah di luar kehendaknya.
“Bu Norma?” Gagah menatap kekasihnya tidak percaya. “Jangan aneh-aneh, Bu. Dia nggak bisa kita percaya. Dia udah jebak kita. Dia bukan teman kita.”
Bu Norma menghela napas dan berkata, “Iya, Mas. Aku tahu. Tapi kita kudu pulang, kan?”
Gagah menggeleng. Mengabaikan kuda-kudanya, lelaki itu guncangkan bahu si wanita paruh baya. Seakan dengan demikian kewarasan Bu Norma dapat dia selamatkan. Berkata raksasa kita, “Jangan mau, Bu. Pasti ada cara lain.”
Bu Norma tersenyum semanis manggis. Lengan-lengan Gagah dia pegangi. Dia turunkan dari bahunya. Dia genggam tenteram.
“Cuma satu ciuman, kok, Mas.”
Gagah terpana. Tak percaya.
“Tapi, Bu—”
“Udah. Nggak papa.”
Mulut Gagah komat-kamit tanpa ada suara yang keluar dari sana.
“Mas serahin aja ke aku. Oke?” Bu Norma kembali yakinkan lelakinya. Saat Gagah belum juga merelakannya, dia berkata, “Ah, Mas cemburu, ya?”
emmuah

Gagah melirik Besi, yang tampak cengegesan menunggu keputusan mereka.
“Tenang, Mas.” Bu Norma peluk kuda stallion-nya. “Aku masih milikmu, kok. Nggak ada yang harus berubah.”
Meski berat, pada akhirnya, Gagah memberikan persetujuan. Dia beri Bu Norma satu anggukan. Kemudian, dia geser kakinya. Dengan nanar dia saksikan Bu Norma berjalan melewatinya. Dia baru lepaskan genggaman tangan wanita itu pada saat-saat terakhir. Bahkan sesudahnya, dia masih belum rela. Oleh karena itu, dia kemudian sengaja palingkan muka agar tak dia saksikan apa yang terjadi berikutnya.
~bersambung