Malam Jahannam 1.3.2
“Uuughh!” lenguh Bu Norma keras hingga tiba ke telinga Tokek dan Kancil yang menguping dari dapur seraya bermain kartu. Keduanya cuti dari memandangi angka-angka pada kartu-kartu. Mata mereka saling bicara. Dalam diam, Kancil dorong setengah bungkus rokok filter di atas permukaan meja ke arah seniornya. Semenjak pemerintahan pusat runtuh, barang-barang jadi langka. Sebungkus rokok kadaluwarsa pun hari ini mahal gila harganya. Kentara nian Kancil berat hati berpisah dengannya.
“Apa kubilang,” kata Tokek usai membakar rokok yang dia menangkan. Jatah rokoknya sendiri sebetulnya masih banyak. Lagipula, dia bukan perokok berat. Mengepulkan asap ke wajah Kancil, kemudian, hanyalah iseng belaka. Biar si bocah baru kian dongkol saja.
Dapur sekaligus ruang makan itu terasa luas tanpa kehadiran Kopral dan Gagah—yang tumben-tumbenan memilih ke sungai dan mencari sidat untuk sarapan besok pagi katanya. Keduanya bebas nongkrong di sana. Jauh dari kamar Kopral yang ada di ujung lain pondokan. Bara meretih dalam kandungan tungku bata. Temaramnya menerangi wajah-wajah Kancil dan Tokek. Yang disebut terakhir mengosongkan sloki arak rumahan, lalu berujar, “Cewek model apa juga bakal takluk sama Kopral.”
Kancil tersenyum masam, coba menyembuhkan jengkelnya. Ya, dia kalah taruhan. Taruhan yang dia buat sendiri. Sejak bergabung dengan kelompok Kopral, dia sudah dengar banyak cerita. Tentang betapa hebatnya pria itu. Semuanya dia dengar dari Tokek, orang yang paling dia benci di dunia.
“Yo, aku ketipu berarti,” kata Kancil, mengabaikan kartu-kartunya dan menjatuhkan mereka ke meja. “Emak-emak itu pakai kerudung tapi gampangan ternyata.”
“Lah?”
Tokek terkekeh. Meski Kancil terang-terangan memakai frasa ’emak-emak’ untuk merendahkan tawanan mereka, dia tahu bedebah yang satu itu aslinya pengen juga. Sange juga. Yang sialnya, Kopral meminta semalam penuh untuk tidak diganggu. Pastilah Kancil sedang kentang sekentang-kentangnya malam ini. Sampai pagi.
‘Yang ngeyel, aku sate kontolnya!’
Ancaman itu, Tokek tahu nyata. Dulu waktu masih hijau, dia sempat ngawur ketika menggarap seorang tawanan. Omongan Kopral dia tentang. Ya, maklum. Anak muda. Otaknya gampang pindah ke selakangan. Dan kalau sudah ngetem, ya, pasti lama.
Imbas perlakuan Tokek, lonte yang mereka sekap itu rusak. Padahal aslinya bagus barangnya. Gara-gara dia, perek itu susah dijualnya. Pun waktu laku, murah harganya. Rugi mereka jadinya. Dihukum dia setelahnya. Hal serupa, Tokek pastikan tidak akan terjadi pada Kancil yang—jangankan kok mencari itil—membedakan lubang kencing dan liang kawin saja pasti belum bisa.
“Jilbab itu,” kata Tokek mengangsurkan rokok di tangannya pada Kancil yang buru-buru menyambar sebelum si dermawan berubah pikiran, “tanda taat pada tuhan, Cil. Ayatnya begitu. Tapi soal selakangan, ya, kita semua sama! Hahaha!”
~bersambung