[Bagian Pertama]
Namaku Fajar, aku datang dari keluarga sederhana dan tidak seberuntung orang orang diluaran sana, bapak terkena PHK sedangkan ibu yang tidak punya skill hanya tamatan SMA, harus bekerja kesana kemari, untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya. Sekalipun bapak membantu namun tentu saja tidak cukup, apalagi semua kebutuhan sudah semakin mahal sehingga aku putuskan untuk bekerja.
Karena kebetulan teman satu circle ku, Abdul, Tedy, dan Iqbal mengajakku untuk bekerja dan ngekos bareng, katanya ada 2 kamar yang kosong dan biaya sewanya lebih murah jika barengan, walaupun saat kesana ternyata maksimal 2 orang namun kami tetap memaksakan ngekos disana dan memakai uang tabungan masing masing, toh semua akan kembali karena kami akan bekerja walaupun di tempat berbeda, aku di bengkel, Abdul dan Tedy di coffeeshop, sedangkan Iqbal ikut bekerja dengan saudaranya.
Siang itu tiba tiba aja Jessi ngajakin aku buat pergi ke rumahnya, katanya “Mumpung kosong.” jelas aja aku langsung buru buru pergi ke rumahnya.
Selama 2 tahun pacaran ini aku ga pernah ngelakuin hal hal aneh pada Jessi, ciuman aja ga pernah mau, paling jauh juga cium tangannya, terasa sangat lembut dan sangat halus.
Singkat cerita aku udah tiba di rumahnya, aku pun langsung disuruh masuk dan langsung duduk di ruang tamu, “Mau minum yang bisa?”
“Boleh.” Ujarku sambil melihat lihat rumah ini, sangat besar, sangat mewah, aku masih ga nyangka, keisengan nyatain perasaan waktu ospek bisa bikin aku jadian dengan seorang chinese yang kini banyak sekali orang yang mendekati Jessi dan dengan nekat mencoba memisahkan aku dengan jessi.
Ga begitu lama Jessi pun tiba sambil bawa 2 gelas minuman dingin seperti biasanya, kami pun ambil masing masing gelas dan minum bersama sambil ngobrol di ruang tamu, bercanda, dan tertawa seperti saat saat aku berduaan dengannya.
Jangan berpikir yang aneh aneh, setiap rumahnya kosong, aku sering main ke rumah Jessi, bukan untuk berbuat mesum, namun untuk ngobrol dengannya, bercanda dan tertawa, tidak pernah sekalipun terpikir di kepala kami berdua untuk berbuat mesum.
Sampai saat sedang enak enaknya ngobrol. Kami mendengarkan suara mobil memasuki halaman rumah, “Loh itu mama sama papa kamu?” Tanyaku dengan panik.
“Udah ga apa apa, emang kenapa juga, ga usah panik, tenang, mama sama papa orang baik baik koq.”
Walau begitu tapi aku tetap panik dan langsung bad feeling. Setelah masuk ke dalam rumah, seketika keduanya terlihat kaget dan tidak percaya melihat diriku berdiri dan tersenyum ke arah mereka, keduanya pun seketika melihat dari atas kepala sampai ke ujung kakiku.
Jessi lalu berkata pada kedua orang tuanya dan memperkenalkan diriku, “Pa, ma, kenalin ini fajar.”
“Fajar om, tante.” Sambil sungkem satu persatu namun setiap aku sungkem mereka langsung menarik tangannya.
Aku semakin merasa tidak enak hati meski kini keduanya tersenyum padaku, “Dari tadi disini ya?”
“Engga koq om, tante, baru setengah jam yang lalu.”
“Oh gitu, ya udah.” Kemudian mereka berdua langsung pergi ke ruang tengah dengan cepat.
Aku terdiam dan yakin kalau ada yang salah, namun Jessi yang mengerti langsung mengusap bahu ku dan tersenyum, “udah ga apa apa, mama sama papa emang kaya gitu kalau kecapean, pasti abis kerja diluar makanya mereka kaya gitu, udah kita duduk lagi yuk, kita ngobrol lagi.”
Melihat niat baiknya, aku pun balas tersenyum dan duduk kembali di sofa yang sama sambil kembali ngobrol dan membahas hal yang sempat tertunda, namun semakin lama disana aku semakin merasa tidak enak hati dan beberapa kali meminta pulang. Tapi Jessi selalu menahan dan meyakinkan kalau tidak ada yang salah dengan orang tuanya.
Namun tiba tiba Jessi dipanggil oleh mamanya, “Jessi!! Sini bantuin mama dulu.”
“Duh maaf ya, mama emang kaya gitu kalau ada butuh bantuan, maklum aku kan satu satunya cewe disini, sebentar ya kamu jangan kemana mana.”
Aliong dan Mei mei punya 2 orang anak Kevin dan Jessica sebagai anak pertama, pembantu mereka yang bernama Asep dan Ujang pun hanya datang setiap dini hari dan sore untuk beres beres, mencuci, dan memasak, setelah itu keduanya diwajibkan untuk langsung pulang.
Bahkan Pak Budi, supir pribadi mereka, dilarang untuk masuk ke dalam rumah, sudah ada toilet, cooler, dispenser, bahkan kopi yang tersedia di halaman belakang supaya pak Budi tidak perlu masuk ke rumah jika ingin buang air dan tidak perlu repot jika ingin minuman, panas dan dingin sudah tersedia disana. Terdengar seperti orang baik baik, namun sebenarnya mereka berdua adalah orang yang rasis terhadap kaum pribumi dan tidak mau ada orang lain di rumah mereka kecuali chinese atau setidaknya orang kaya raya.
Karena tidak kunjung kembali tentu aku langsung merasa curiga karena dirasa sudah terlalu lama menghilang, aku pun pergi mengendap endap mendekati tembok yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah yang kedua ruangan itu sama sama besar.
Terdengar perdebatan antara Jessi dan kedua orang tuanya, benar saja dugaanku, orang tua Jessi tidak suka dengan diriku,
“Pokoknya awas aja kalau kamu bawa anak itu lagi ke rumah ini, mama ga suka, pokoknya kamu harus tinggalin dan jauhin anak itu!!”
“Tapi ma, Fajar orangnya baik banget.”
Terdengar suara Aliong yang menimpali, “Halah, semua orang juga baik kalau ada maunya, jangan jangan dia deketin kamu buat porotin harta kamu aja.”
“Iya bener pa, penampilan anak itu aja ga ada rapi rapinya, cuma sweater hitam doang dengan celana jeans, udah sama sama lusuh pula, iuh, jangan jangan dia nanti minta bayaran kamu buat beliin pakaian bagus, atau bisa jadi disuruh orang tuanya buat porotin kamu.”
Jessi pun terus membela diriku, “Ma!! jangan kaya gitu!! Fajar atau orang tuanya ga munggkin kaya gitu, dia itu pekerja keras, sekarang aja kerja di bengkel, pasti punya uang kalau buat beli pakaian, sekarang cuma lagi salah pake baju aja, sehari hari dia keliatan rapi koq.”
“Tuh kan kerja di bengkel, padahal masih muda, wah bener nih pasti dari keluarga yang kurang mampu, ga deh, jauhin, tinggalin mama, ga suka, mau dia rapi, mau dia bersih, mau dia pekerja keras, mama ga peduli.”
“Betul, pasti beli bajunya juga di flashsale shopee.”
Aku sebenarnya sudah merasa sakit hati direndahkan oleh kedua orang tuanya, terbayang apa yang sebelumnya dibicarakan sebelum aku datang menguping. Namun aku berusaha menguatkan hati dan kembali mendengarkan lagi, toh Jessi juga membelaku. “Ma, pa, jangan kaya gitu, orang tua fajar juga orang baik baik koq, ga ada yang nyuruh porotin lagian kita juga suka jalan jalan ke distro dan dia yang beliin bajunya Jessi.”
“Uiihh antesan aja selera kamu sekarang jelek banget, ternyata dibeliin orang itu.”
“Bener ma, pasti belinya yang murah dan diskon.”
“Bener tuh pa.”
Semakin lama mendengarkan semakin tidak kuat mendengarkan omongan Mei mei dan Aliong, sepertinya Jessi pun sudah tidak kuat mendengar ucapan kedua orang tuanya karena suaranya terdengar sangat bergetar seperti menahan sesuatu, padahal meski membeli dari distro namun aku selalu memberikan kualitas terbaik, mahal, dan dengan model yang bagus.
“Ma, pa, please bahas yang lain, seriusan, ga ada yang morotin dan dia yang selalu traktir Jessi.”
“Nah berarti maunya lain tuh, dia bukan pengen harta kamu..”
“Terus dia mau apa pa?”
“Jangan jangan.. Dia pengen tubuh kamu..”
“Nah bener banget pa, udah kamu ga usah deket lagi sama orang itu, mama takut nanti kamu dibawa ke tempatnya, dicekokin, terus diperkosa, apalagi orang orang kaya gitu fantasinya sama chindo, mama ga pengen ya sesuatu terjadi sama kamu.”
Kami berdua sama sama terdiam. Wajahku memerah padam meski berada di 2 tempat dan situasi berbeda namun aku yakin Jessi pun demikian. Aku bener bener tidak percaya kalau kedua orang tuanya akan berkata demikian, begitu juga dengan Jessi yang tidak menyangka akan menuduh dan merendahkan sejauh itu, padahal selama ini aku selalu menjaga Jessi dari orang orang yang mengganggu dan ingin merusak dirinya.
Aku tidak kuat dan memilih kembali ke ruang tamu dan melepaskan sweaternya, bukan karena dikatakan jelek, namun karena merasa sangat panas dituduh dan direndahkan oleh kedua orang tuanya, “Mentang mentang kaya raya, semena mena sama orang kecil..”
15 menit kemudian Jessi baru kembali sambil membawa segelas air dingin dan beralasan kalau diminta bantu beres beres kamar, namun melihat tangannya gemetaran ketika memberikan segelas air, aku langsung tahu kalau setelah diriku berhenti menguping kedua orang tuanya terus merendahkanku dan mungkin keluargaku juga.
Jessi yang melihatku terdiam langsung duduk disaampingku dan bertanya sambil memegang tanganku, “Kamu ga marah kan ditinggal lama lama?”
Aku pun tersenyum untuk menenangkan dirinya, meski sangat berat dan sangat terpaksa, “Ga apa apa koq, tapi kayanya aku pergi sekarang.”
Jessi terkejut mendengar ucapanku, “Loh koq gitu?? Kenapa ih? Udah santai aja disini dulu, kenapa sih dari tadi pengen banget pulang?”
“Ga apa apa koq.” aku pun menghabiskan minuman yang diberikan Jessi (untuk mendinginkan hatinya) lalu berdiri dan berkata kembali, “Kalau gitu aku pulang ya.”
“Sebentar aku panggilin dulu, Maa..”
“Ga usah!!” Dengan cepat kutarik lengan Jessi dan menghentikan teriakannya.
“Eh kenapa?? Mereka lagi pada nonton tv loh.”
“Iya tau.” aku terdiam tidak tahu haru berkata apa, saking emosinya, namun aku langsung menggelengkan kepalanya dan berkata, “ga apa apa, aku pulang duluan.” Lalu dengan cepat meninggalkan rumah Jessi dan langsung ngebut untuk menenangkan diriku.
Setelah sekian lama dijalanan aku memutuskan untuk kebut kebutan mengobati rasa sakit hati dan emosinya tidak kunjung reda. Merasa tidak cukup mengobati, aku putuskan untuk pergi ke puncak dan mendinginkan kepala dan hati seorang diri dengan melihat pemandangan kota dari atas pegunungan.
Satu jam berada disana hati tidak kunjung membaik, belum pernah kurasakan sakit hati seperti ini, apalagi sampai membawa kedua orang tua, aku pun langsung membulatkan diri, “Ga bisa nih pokoknya aku harus bales, ga mungkin kalau mereka ga ada celah, pasti ada yang bisa aku pake buat ancam mereka dan balas rasa sakit hati aku.”
Esok harinya, aku sengaja tidak masuk dan izin kepada walkel dengan alasan urusan keluarga dan mesti pulang kampung, untungnya wali kelasku mengizinkan.
Beberapa menit sekali Jessi terus menanyakan kabarku dan bertanya dimana posisiku, namun ku balas pesan tersebut sangat singkat dan sengaja tidak langsung langsung dibalas, dengan maksud supaya Jessi marah dan tidak membalas pesanku, namun yang ada malah terus spam mengirim pesan dan terus bertanya posisi dan kabarku.
Dengan sengaja aku menjauhi Jessi karena merasa sakit hati karena langsung teringat dengan perkataan orang tuanya, toh wajah Jessi sangat mirip dengan ibunya.
Sampai 3 hari berlalu, tanpa disangka Jessi datang ke bengkel tempat diriku bekerja, “Hei.” sapanya dengan senyuman manis dengan pakaian sedikit lusuh dan terlihat kusut.
“Loh kamu ga masuk kelas?” Jelas saja aku bingung karena baru jam 12 siang dan tidak mungkin dari tempatnya belajar ke bengkel yang sejauh 7 km bisa langsung tiba setelah bubaran.
“Aku sengaja kesini.”
Seketika aku langsung disoraki oleh semua kru bengkel karena bengkel sedang sepi dan kami hanya kumpul saja.
Tidak ku indahkan perkataan teman temanku dan bertanya, “terus mau ngapain kesini?”
“Mau main aja kesini, emang kenapa? Masa ga boleh ketemu pacar sendiri.” Jawabnya sambil tersenyum manis dan melipat kedua tangan dibelakang tubuhnya.
Melihat teman temanku terus menggoda dan bercanda, kuputuskan untuk membawanya ke tempat sepi, satu satunya yang kupikirkan adalah kamar yang ada di belakang bengkel tempat kru bengkel biasa beristirahat, karena sudah 3 hari ini aku tidak pulang ke kosan, “Sini ikut.”
“Wah langsung dibawa ke kamar, kayanya ada yang ga kuat nih.”
“Sikat Jar jangan kasih kendor hahaha.”
“Jangan lupa di perut ya Jar hahaha.”
Namun aku langsung menimpali, “Ngaco anjir, gw cuma mau ngobrol serius doang, sama kalian disini ga ada yang waras, ayo sini ikut.” Aku pun jalan duluan diikuti Jessi dari belakang.
Setibanya di ruangan 3×4 meter dimana terdapat 3 kasur tanpa ranjang dan 2 lemari saling berjajar, aku pun menyuruh Jessi untuk duduk di kasur yang ada di tengah sedangkan aku mengambil aqua gelas yang ada disana, namun saat aku berbalik bukannya melihat Jessi duduk disana, melainkan malah berlutut di hadapanku sambil mengikat rambut panjangnya.
“Eh kamu mau ngapain kaya gitu? Berdiri ga?”
“Ga, aku tau kenapa kamu berubah dan ngilang selama 3 hari, kamu pasti dengerin kan waktu kemarin minggu, makanya kamu berubah kaya gini, biasanya kamu yang paling rajin.” Sambil melepaskan kedua kancing kemejanya.
“Ga, aku ga mau kaya gini, berdiri.” Balasku sambil meraih kedua bahu Jessi dan mencoba mengangkat tubuhnya.
“Please, please izinin aku.” Ucap Jessi sambil kembali berlutut.
“Izinin buat apa?”
“Kamu boleh lakuin apapun sama aku, asalkan kamu ga kaya gini lagi, aku butuh kamu sayang.” Sambil berlutut dan memegang kedua tanganku.
Aku terdiam selama beberapa saat sambil memalingkan pandanganku. Jelas sekali karena aku masih merasa sakit hati.
“Aku tau kamu sakit hati, kamu boleh lakuin apapun buat lampiasin sama aku.”
“Maksud kamu?”
Jessi berdiri, lalu berjalan ke arah pintu, menutup, dan mengunci pintu sambil menyandar di pintu sambil tersenyum manis menghadapku, “aku rela dilakuin apapun sama kamu, lampiasin semua kekesalan kamu, aku pasrah apapun yang mau kamu lakuin sama aku, selama itu bisa lampiasin emosi kamu dan balik lagi kaya dulu, aku ikhlas dan ga kan protes.”
Aku jelas tidak mau melampiaskan dengan merusak keperawanan Jessi, jika seperti itu maka apa bedanya diriku dengan orang orang yang mengganggu Jessi dan hanya menginginkan tubuhnya saja, aku pun menggelengkan kepala, “Ga, aku ga mau, kamu pikir aku orang kaya gitu?.”
Jessi memejamkan mata, menarik nafas panjang, dan mengeluarkan perlahan, “udah, please lupain apa yang orang tua aku bilang, aku juga tau dan percaya kalau kamu ga kaya yang seperti orang tua aku bilang, tapi kalau kamu mau ngelakuin itu, aku ga kan ngelawan dan ga kan mikir kesitu, aku anggap sebagai permintaan maaf kedua orang tua aku.”
Jessi pun memegang kedua tanganku kembali, “Please Fajar, kamu mau ya balik lagi kaya dulu? Please maafin kedua orang tua aku, aku janji kalau mereka kaya gitu lagi, kamu bisa lampiasin ke aku, anak mereka berdua, dan aku janji ga kan judge kamu seperti itu.”
“Janji??”
“Janji, apa yang terjadi di hari ini tinggalin di hari ini, bakalan aku lupain dan ga kan pernah aku bahas sampai kelak aku punya anak, begitu juga hari berikutnya.”
Aku terdiam dan berpikir lalu Jessi pun inisiatif dengan berlutut di hadapanku lalu mendongakkan kepala menatap wajahku sambil tersenyum dan mengusap bagian tengah celanaku sambil berkata, “Ayo sayang lampiasin emosi kamu, mau apapun aku nurut biar kamu ga kesel lagi.”
Aku yang tadinya emosi dan kesal pun semakin tegang ketika Jessi mengusap tonjolan kontol yang semakin besar dan semakin membuat celanaku semakin sempit, SIAL, seketika aku merasa menyesal memakai celana jeans tebal sehingga usapan tangan Jessi tidak terlalu terasa di kontolku.
Sepertinya Jessi tahu kalau aku sudah semakin tegang, Jessi lalu berkata lagi, “Gimana sayang? Aku nurut koq kamu mau minta apapun juga? Asalkan kamu ga marah lagi dan balik lagi sama kaya dulu, aku janji ga kan marah, ngelawan, atau kalau kamu mau keterlaluan juga boleh, aku ga kan pernah bahas koq, ayo kamu mau apa?”
Jelas saja aku semakin tidak fokus ketika Jessi tiba tiba mengangkat tubuhnya dan meletakkan tonjolan kontolku tepat di tengah dada besarnya, “ayo sayang, jangan malu malu, cuma ada kita berdua loh.” Dengan sengaja Jessi menaik turunkan tonjolan kontol di tengah toket besarnya dan semakin membuat diriku tergoda dan tidak tahan.
“Emmhh aku ngerti, kamu pasti bingung ya saking tegangnya, ya udah kalau gitu, gini aja, selama kita pacaran 2 tahun lalu sampai mau lulus belum pernah kaya gini kan.” Jessi pun bangkit, merangkul pinggulku dan mencium bibirku.
Namaku Fajar, aku datang dari keluarga sederhana dan tidak seberuntung orang orang diluaran sana, bapak terkena PHK sedangkan ibu yang tidak punya skill hanya tamatan SMA, harus bekerja kesana kemari, untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya. Sekalipun bapak membantu namun tentu saja tidak cukup, apalagi semua kebutuhan sudah semakin mahal sehingga aku putuskan untuk bekerja.
Karena kebetulan teman satu circle ku, Abdul, Tedy, dan Iqbal mengajakku untuk bekerja dan ngekos bareng, katanya ada 2 kamar yang kosong dan biaya sewanya lebih murah jika barengan, walaupun saat kesana ternyata maksimal 2 orang namun kami tetap memaksakan ngekos disana dan memakai uang tabungan masing masing, toh semua akan kembali karena kami akan bekerja walaupun di tempat berbeda, aku di bengkel, Abdul dan Tedy di coffeeshop, sedangkan Iqbal ikut bekerja dengan saudaranya.
Siang itu tiba tiba aja Jessi ngajakin aku buat pergi ke rumahnya, katanya “Mumpung kosong.” jelas aja aku langsung buru buru pergi ke rumahnya.
Selama 2 tahun pacaran ini aku ga pernah ngelakuin hal hal aneh pada Jessi, ciuman aja ga pernah mau, paling jauh juga cium tangannya, terasa sangat lembut dan sangat halus.
Singkat cerita aku udah tiba di rumahnya, aku pun langsung disuruh masuk dan langsung duduk di ruang tamu, “Mau minum yang bisa?”
“Boleh.” Ujarku sambil melihat lihat rumah ini, sangat besar, sangat mewah, aku masih ga nyangka, keisengan nyatain perasaan waktu ospek bisa bikin aku jadian dengan seorang chinese yang kini banyak sekali orang yang mendekati Jessi dan dengan nekat mencoba memisahkan aku dengan jessi.
Ga begitu lama Jessi pun tiba sambil bawa 2 gelas minuman dingin seperti biasanya, kami pun ambil masing masing gelas dan minum bersama sambil ngobrol di ruang tamu, bercanda, dan tertawa seperti saat saat aku berduaan dengannya.
Jangan berpikir yang aneh aneh, setiap rumahnya kosong, aku sering main ke rumah Jessi, bukan untuk berbuat mesum, namun untuk ngobrol dengannya, bercanda dan tertawa, tidak pernah sekalipun terpikir di kepala kami berdua untuk berbuat mesum.
Sampai saat sedang enak enaknya ngobrol. Kami mendengarkan suara mobil memasuki halaman rumah, “Loh itu mama sama papa kamu?” Tanyaku dengan panik.
“Udah ga apa apa, emang kenapa juga, ga usah panik, tenang, mama sama papa orang baik baik koq.”
Walau begitu tapi aku tetap panik dan langsung bad feeling. Setelah masuk ke dalam rumah, seketika keduanya terlihat kaget dan tidak percaya melihat diriku berdiri dan tersenyum ke arah mereka, keduanya pun seketika melihat dari atas kepala sampai ke ujung kakiku.
Jessi lalu berkata pada kedua orang tuanya dan memperkenalkan diriku, “Pa, ma, kenalin ini fajar.”
“Fajar om, tante.” Sambil sungkem satu persatu namun setiap aku sungkem mereka langsung menarik tangannya.
Aku semakin merasa tidak enak hati meski kini keduanya tersenyum padaku, “Dari tadi disini ya?”
“Engga koq om, tante, baru setengah jam yang lalu.”
“Oh gitu, ya udah.” Kemudian mereka berdua langsung pergi ke ruang tengah dengan cepat.
Aku terdiam dan yakin kalau ada yang salah, namun Jessi yang mengerti langsung mengusap bahu ku dan tersenyum, “udah ga apa apa, mama sama papa emang kaya gitu kalau kecapean, pasti abis kerja diluar makanya mereka kaya gitu, udah kita duduk lagi yuk, kita ngobrol lagi.”
Melihat niat baiknya, aku pun balas tersenyum dan duduk kembali di sofa yang sama sambil kembali ngobrol dan membahas hal yang sempat tertunda, namun semakin lama disana aku semakin merasa tidak enak hati dan beberapa kali meminta pulang. Tapi Jessi selalu menahan dan meyakinkan kalau tidak ada yang salah dengan orang tuanya.
Namun tiba tiba Jessi dipanggil oleh mamanya, “Jessi!! Sini bantuin mama dulu.”
“Duh maaf ya, mama emang kaya gitu kalau ada butuh bantuan, maklum aku kan satu satunya cewe disini, sebentar ya kamu jangan kemana mana.”
Aliong dan Mei mei punya 2 orang anak Kevin dan Jessica sebagai anak pertama, pembantu mereka yang bernama Asep dan Ujang pun hanya datang setiap dini hari dan sore untuk beres beres, mencuci, dan memasak, setelah itu keduanya diwajibkan untuk langsung pulang.
Bahkan Pak Budi, supir pribadi mereka, dilarang untuk masuk ke dalam rumah, sudah ada toilet, cooler, dispenser, bahkan kopi yang tersedia di halaman belakang supaya pak Budi tidak perlu masuk ke rumah jika ingin buang air dan tidak perlu repot jika ingin minuman, panas dan dingin sudah tersedia disana. Terdengar seperti orang baik baik, namun sebenarnya mereka berdua adalah orang yang rasis terhadap kaum pribumi dan tidak mau ada orang lain di rumah mereka kecuali chinese atau setidaknya orang kaya raya.
Karena tidak kunjung kembali tentu aku langsung merasa curiga karena dirasa sudah terlalu lama menghilang, aku pun pergi mengendap endap mendekati tembok yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah yang kedua ruangan itu sama sama besar.
Terdengar perdebatan antara Jessi dan kedua orang tuanya, benar saja dugaanku, orang tua Jessi tidak suka dengan diriku,
“Pokoknya awas aja kalau kamu bawa anak itu lagi ke rumah ini, mama ga suka, pokoknya kamu harus tinggalin dan jauhin anak itu!!”
“Tapi ma, Fajar orangnya baik banget.”
Terdengar suara Aliong yang menimpali, “Halah, semua orang juga baik kalau ada maunya, jangan jangan dia deketin kamu buat porotin harta kamu aja.”
“Iya bener pa, penampilan anak itu aja ga ada rapi rapinya, cuma sweater hitam doang dengan celana jeans, udah sama sama lusuh pula, iuh, jangan jangan dia nanti minta bayaran kamu buat beliin pakaian bagus, atau bisa jadi disuruh orang tuanya buat porotin kamu.”
Jessi pun terus membela diriku, “Ma!! jangan kaya gitu!! Fajar atau orang tuanya ga munggkin kaya gitu, dia itu pekerja keras, sekarang aja kerja di bengkel, pasti punya uang kalau buat beli pakaian, sekarang cuma lagi salah pake baju aja, sehari hari dia keliatan rapi koq.”
“Tuh kan kerja di bengkel, padahal masih muda, wah bener nih pasti dari keluarga yang kurang mampu, ga deh, jauhin, tinggalin mama, ga suka, mau dia rapi, mau dia bersih, mau dia pekerja keras, mama ga peduli.”
“Betul, pasti beli bajunya juga di flashsale shopee.”
Aku sebenarnya sudah merasa sakit hati direndahkan oleh kedua orang tuanya, terbayang apa yang sebelumnya dibicarakan sebelum aku datang menguping. Namun aku berusaha menguatkan hati dan kembali mendengarkan lagi, toh Jessi juga membelaku. “Ma, pa, jangan kaya gitu, orang tua fajar juga orang baik baik koq, ga ada yang nyuruh porotin lagian kita juga suka jalan jalan ke distro dan dia yang beliin bajunya Jessi.”
“Uiihh antesan aja selera kamu sekarang jelek banget, ternyata dibeliin orang itu.”
“Bener ma, pasti belinya yang murah dan diskon.”
“Bener tuh pa.”
Semakin lama mendengarkan semakin tidak kuat mendengarkan omongan Mei mei dan Aliong, sepertinya Jessi pun sudah tidak kuat mendengar ucapan kedua orang tuanya karena suaranya terdengar sangat bergetar seperti menahan sesuatu, padahal meski membeli dari distro namun aku selalu memberikan kualitas terbaik, mahal, dan dengan model yang bagus.
“Ma, pa, please bahas yang lain, seriusan, ga ada yang morotin dan dia yang selalu traktir Jessi.”
“Nah berarti maunya lain tuh, dia bukan pengen harta kamu..”
“Terus dia mau apa pa?”
“Jangan jangan.. Dia pengen tubuh kamu..”
“Nah bener banget pa, udah kamu ga usah deket lagi sama orang itu, mama takut nanti kamu dibawa ke tempatnya, dicekokin, terus diperkosa, apalagi orang orang kaya gitu fantasinya sama chindo, mama ga pengen ya sesuatu terjadi sama kamu.”
Kami berdua sama sama terdiam. Wajahku memerah padam meski berada di 2 tempat dan situasi berbeda namun aku yakin Jessi pun demikian. Aku bener bener tidak percaya kalau kedua orang tuanya akan berkata demikian, begitu juga dengan Jessi yang tidak menyangka akan menuduh dan merendahkan sejauh itu, padahal selama ini aku selalu menjaga Jessi dari orang orang yang mengganggu dan ingin merusak dirinya.
Aku tidak kuat dan memilih kembali ke ruang tamu dan melepaskan sweaternya, bukan karena dikatakan jelek, namun karena merasa sangat panas dituduh dan direndahkan oleh kedua orang tuanya, “Mentang mentang kaya raya, semena mena sama orang kecil..”
15 menit kemudian Jessi baru kembali sambil membawa segelas air dingin dan beralasan kalau diminta bantu beres beres kamar, namun melihat tangannya gemetaran ketika memberikan segelas air, aku langsung tahu kalau setelah diriku berhenti menguping kedua orang tuanya terus merendahkanku dan mungkin keluargaku juga.
Jessi yang melihatku terdiam langsung duduk disaampingku dan bertanya sambil memegang tanganku, “Kamu ga marah kan ditinggal lama lama?”
Aku pun tersenyum untuk menenangkan dirinya, meski sangat berat dan sangat terpaksa, “Ga apa apa koq, tapi kayanya aku pergi sekarang.”
Jessi terkejut mendengar ucapanku, “Loh koq gitu?? Kenapa ih? Udah santai aja disini dulu, kenapa sih dari tadi pengen banget pulang?”
“Ga apa apa koq.” aku pun menghabiskan minuman yang diberikan Jessi (untuk mendinginkan hatinya) lalu berdiri dan berkata kembali, “Kalau gitu aku pulang ya.”
“Sebentar aku panggilin dulu, Maa..”
“Ga usah!!” Dengan cepat kutarik lengan Jessi dan menghentikan teriakannya.
“Eh kenapa?? Mereka lagi pada nonton tv loh.”
“Iya tau.” aku terdiam tidak tahu haru berkata apa, saking emosinya, namun aku langsung menggelengkan kepalanya dan berkata, “ga apa apa, aku pulang duluan.” Lalu dengan cepat meninggalkan rumah Jessi dan langsung ngebut untuk menenangkan diriku.
Setelah sekian lama dijalanan aku memutuskan untuk kebut kebutan mengobati rasa sakit hati dan emosinya tidak kunjung reda. Merasa tidak cukup mengobati, aku putuskan untuk pergi ke puncak dan mendinginkan kepala dan hati seorang diri dengan melihat pemandangan kota dari atas pegunungan.
Satu jam berada disana hati tidak kunjung membaik, belum pernah kurasakan sakit hati seperti ini, apalagi sampai membawa kedua orang tua, aku pun langsung membulatkan diri, “Ga bisa nih pokoknya aku harus bales, ga mungkin kalau mereka ga ada celah, pasti ada yang bisa aku pake buat ancam mereka dan balas rasa sakit hati aku.”
Esok harinya, aku sengaja tidak masuk dan izin kepada walkel dengan alasan urusan keluarga dan mesti pulang kampung, untungnya wali kelasku mengizinkan.
Beberapa menit sekali Jessi terus menanyakan kabarku dan bertanya dimana posisiku, namun ku balas pesan tersebut sangat singkat dan sengaja tidak langsung langsung dibalas, dengan maksud supaya Jessi marah dan tidak membalas pesanku, namun yang ada malah terus spam mengirim pesan dan terus bertanya posisi dan kabarku.
Dengan sengaja aku menjauhi Jessi karena merasa sakit hati karena langsung teringat dengan perkataan orang tuanya, toh wajah Jessi sangat mirip dengan ibunya.
Sampai 3 hari berlalu, tanpa disangka Jessi datang ke bengkel tempat diriku bekerja, “Hei.” sapanya dengan senyuman manis dengan pakaian sedikit lusuh dan terlihat kusut.
“Loh kamu ga masuk kelas?” Jelas saja aku bingung karena baru jam 12 siang dan tidak mungkin dari tempatnya belajar ke bengkel yang sejauh 7 km bisa langsung tiba setelah bubaran.
“Aku sengaja kesini.”
Seketika aku langsung disoraki oleh semua kru bengkel karena bengkel sedang sepi dan kami hanya kumpul saja.
Tidak ku indahkan perkataan teman temanku dan bertanya, “terus mau ngapain kesini?”
“Mau main aja kesini, emang kenapa? Masa ga boleh ketemu pacar sendiri.” Jawabnya sambil tersenyum manis dan melipat kedua tangan dibelakang tubuhnya.
Melihat teman temanku terus menggoda dan bercanda, kuputuskan untuk membawanya ke tempat sepi, satu satunya yang kupikirkan adalah kamar yang ada di belakang bengkel tempat kru bengkel biasa beristirahat, karena sudah 3 hari ini aku tidak pulang ke kosan, “Sini ikut.”
“Wah langsung dibawa ke kamar, kayanya ada yang ga kuat nih.”
“Sikat Jar jangan kasih kendor hahaha.”
“Jangan lupa di perut ya Jar hahaha.”
Namun aku langsung menimpali, “Ngaco anjir, gw cuma mau ngobrol serius doang, sama kalian disini ga ada yang waras, ayo sini ikut.” Aku pun jalan duluan diikuti Jessi dari belakang.
Setibanya di ruangan 3×4 meter dimana terdapat 3 kasur tanpa ranjang dan 2 lemari saling berjajar, aku pun menyuruh Jessi untuk duduk di kasur yang ada di tengah sedangkan aku mengambil aqua gelas yang ada disana, namun saat aku berbalik bukannya melihat Jessi duduk disana, melainkan malah berlutut di hadapanku sambil mengikat rambut panjangnya.
“Eh kamu mau ngapain kaya gitu? Berdiri ga?”
“Ga, aku tau kenapa kamu berubah dan ngilang selama 3 hari, kamu pasti dengerin kan waktu kemarin minggu, makanya kamu berubah kaya gini, biasanya kamu yang paling rajin.” Sambil melepaskan kedua kancing kemejanya.
“Ga, aku ga mau kaya gini, berdiri.” Balasku sambil meraih kedua bahu Jessi dan mencoba mengangkat tubuhnya.
“Please, please izinin aku.” Ucap Jessi sambil kembali berlutut.
“Izinin buat apa?”
“Kamu boleh lakuin apapun sama aku, asalkan kamu ga kaya gini lagi, aku butuh kamu sayang.” Sambil berlutut dan memegang kedua tanganku.
Aku terdiam selama beberapa saat sambil memalingkan pandanganku. Jelas sekali karena aku masih merasa sakit hati.
“Aku tau kamu sakit hati, kamu boleh lakuin apapun buat lampiasin sama aku.”
“Maksud kamu?”
Jessi berdiri, lalu berjalan ke arah pintu, menutup, dan mengunci pintu sambil menyandar di pintu sambil tersenyum manis menghadapku, “aku rela dilakuin apapun sama kamu, lampiasin semua kekesalan kamu, aku pasrah apapun yang mau kamu lakuin sama aku, selama itu bisa lampiasin emosi kamu dan balik lagi kaya dulu, aku ikhlas dan ga kan protes.”
Aku jelas tidak mau melampiaskan dengan merusak keperawanan Jessi, jika seperti itu maka apa bedanya diriku dengan orang orang yang mengganggu Jessi dan hanya menginginkan tubuhnya saja, aku pun menggelengkan kepala, “Ga, aku ga mau, kamu pikir aku orang kaya gitu?.”
Jessi memejamkan mata, menarik nafas panjang, dan mengeluarkan perlahan, “udah, please lupain apa yang orang tua aku bilang, aku juga tau dan percaya kalau kamu ga kaya yang seperti orang tua aku bilang, tapi kalau kamu mau ngelakuin itu, aku ga kan ngelawan dan ga kan mikir kesitu, aku anggap sebagai permintaan maaf kedua orang tua aku.”
Jessi pun memegang kedua tanganku kembali, “Please Fajar, kamu mau ya balik lagi kaya dulu? Please maafin kedua orang tua aku, aku janji kalau mereka kaya gitu lagi, kamu bisa lampiasin ke aku, anak mereka berdua, dan aku janji ga kan judge kamu seperti itu.”
“Janji??”
“Janji, apa yang terjadi di hari ini tinggalin di hari ini, bakalan aku lupain dan ga kan pernah aku bahas sampai kelak aku punya anak, begitu juga hari berikutnya.”
Aku terdiam dan berpikir lalu Jessi pun inisiatif dengan berlutut di hadapanku lalu mendongakkan kepala menatap wajahku sambil tersenyum dan mengusap bagian tengah celanaku sambil berkata, “Ayo sayang lampiasin emosi kamu, mau apapun aku nurut biar kamu ga kesel lagi.”
Aku yang tadinya emosi dan kesal pun semakin tegang ketika Jessi mengusap tonjolan kontol yang semakin besar dan semakin membuat celanaku semakin sempit, SIAL, seketika aku merasa menyesal memakai celana jeans tebal sehingga usapan tangan Jessi tidak terlalu terasa di kontolku.
Sepertinya Jessi tahu kalau aku sudah semakin tegang, Jessi lalu berkata lagi, “Gimana sayang? Aku nurut koq kamu mau minta apapun juga? Asalkan kamu ga marah lagi dan balik lagi sama kaya dulu, aku janji ga kan marah, ngelawan, atau kalau kamu mau keterlaluan juga boleh, aku ga kan pernah bahas koq, ayo kamu mau apa?”
Jelas saja aku semakin tidak fokus ketika Jessi tiba tiba mengangkat tubuhnya dan meletakkan tonjolan kontolku tepat di tengah dada besarnya, “ayo sayang, jangan malu malu, cuma ada kita berdua loh.” Dengan sengaja Jessi menaik turunkan tonjolan kontol di tengah toket besarnya dan semakin membuat diriku tergoda dan tidak tahan.
“Emmhh aku ngerti, kamu pasti bingung ya saking tegangnya, ya udah kalau gitu, gini aja, selama kita pacaran 2 tahun lalu sampai mau lulus belum pernah kaya gini kan.” Jessi pun bangkit, merangkul pinggulku dan mencium bibirku.