BAB 4
Suara gemercik air jatuh bergema di ruang mandi. Aliran shower yang hangat membasahi tubuh Nathan, sementara uap menutupinya. Perlahan, air di bawah kaki menghilangkan busa sabun yang tersisa, meninggalkan rasa segar di kulitnya. Nathan merenung tentang ibunya yang penuh kejutan. Sekarang, Nathan mengetahui bahwa ibunya adalah seorang pengusaha dengan pengaruh sangat besar di negara ini. Kekuasaan Maya begitu dominan, bahkan pemimpin negara tampak patuh dan tunduk padanya. Walau Nathan tahu bisnis ibunya tak sepenuhnya legal, ada kekaguman yang sulit ia hindari. Maya mengendalikan segalanya dengan kecerdasan dan ketegasan, seolah dunia berada di telapak tangannya. Setiap gerakan yang Maya lakukan penuh perhitungan, membuatnya tak tersentuh oleh hukum atau kekuasaan lain.
Ada satu hal yang terus membingungkan dan membuat Nathan penasaran, yaitu sikap Maya yang ambigu terhadapnya. Selama empat hari terakhir Nathan tinggal bersama Maya, dia merasakan keanehan yang tak bisa dijelaskan. Kadang-kadang, Maya bersikap seperti seorang ibu yang penuh kasih sayang, merawat dan memperhatikan Nathan dengan kelembutan. Namun, di saat lain, sikapnya berubah menjadi provokatif, seolah sengaja memancing hasrat kelelakian Nathan yang tak selalu bisa dikendalikan. Godaan-godaan halus dan sikap yang penuh teka-teki itu sering membuat Nathan kehilangan kendali, melihat Maya bukan hanya sebagai sosok pengasuh, tetapi sebagai wanita dewasa yang begitu menggairahkan. Hingga kini, Nathan tak bisa menghilangkan pandangannya terhadap Maya sebagai wanita dewasa yang menawan, penuh misteri, dan daya tarik yang tak tertahankan.
Perasaan Nathan terhadap Maya semakin hari semakin jelas. Dia tidak bisa lagi memungkiri bahwa dia menyukai dan mencintai Maya bukan sebagai sosok ibu, melainkan sebagai wanita dewasa yang menggugah seluruh hasrat dan perasaannya. Setiap gerakan Maya, tatapannya yang terkadang lembut dan hangat, namun di saat lain sangat menggoda, semakin menguatkan keinginan Nathan untuk memiliki wanita ini seutuhnya. Hatinya dipenuhi oleh keinginan untuk lebih dari sekadar dekat, Nathan ingin Maya menjadi miliknya, baik secara fisik maupun emosional. Hasrat itu tak lagi bisa dibendung; setiap momen bersama Maya hanya membuatnya semakin yakin bahwa dia ingin bersama Maya dengan cara yang lebih intim, sebagai pasangan, sebagai pria yang mencintai dan dimiliki oleh wanita yang begitu memikatnya.
Ketika ponsel pintarnya mulai berdering, Nathan segera menyelesaikan mandinya. Dia melilitkan handuk di pinggang dan berjalan keluar dari kamar mandi. Dengan cepat, dia mengambil ponselnya yang terletak di atas kasur, melihat nama di layar. Sambil tersenyum, dia menyambungkan telepon, siap menjawab.
Nathan mengangkat teleponnya, memandang layar sejenak sebelum menekan tombol sambung. “Hallo, Ayah?” suaranya terdengar hangat namun sedikit ragu, mungkin karena sudah beberapa hari tidak menghubungi ayahnya.
Ronny menjawab dengan nada penuh kegembiraan, “Nathan, Nak, bagaimana kabarmu di sana?” Suaranya yang dalam dan penuh perhatian segera membuat Nathan merasa lebih nyaman.
Nathan tersenyum tipis, merasa lega bisa mendengar suara ayahnya. “Aku baik, Ayah. Bagaimana dengan Ayah?” tanyanya, meskipun ia sudah tahu bahwa ayahnya selalu menampilkan sikap tenang dan kuat.
Ronny terkekeh kecil di ujung sana. “Ayah juga baik-baik saja.” Ada kehangatan yang begitu tulus dalam suaranya. “Jadi, bagaimana di sana? Kamu betah tinggal di rumah ibumu?”
Nathan menarik napas pelan, berpikir sejenak. “Ya… rumahnya besar, mewah. Aku senang tinggal di sini. Tapi… semuanya terasa baru bagiku, Ayah. Maksudku, aku nggak terbiasa dengan suasananya. Tapi, ya, aku nyaman.”
Ronny terdiam sejenak, seperti mencari kata-kata yang tepat. “Ibumu baik-baik saja, kan?” suaranya tetap terdengar tenang, meski ada sedikit kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
“Iya, dia baik,” jawab Nathan sambil tersenyum kecil, meskipun ayahnya tak bisa melihatnya. “Dia perhatian, banyak cerita tentang masa lalu.”
Ronny menghela napas panjang, terdengar dari ujung telepon. “Ayah senang mendengarnya, Nak. Tapi, Ayah minta kamu harus hati-hati. Jangan terlalu dekat dengan ibumu.”
Nathan mengerutkan kening. “Kenapa, Ayah? Maksudku, kenapa Ayah bilang begitu?” Ada nada penasaran, hampir seperti tantangan dalam suaranya.
“Ayah cuma… punya firasat nggak enak,” jawab Ronny dengan suara yang lebih rendah, hampir seperti berbisik. “Ayah nggak bisa jelasin semuanya sekarang. Tapi, percayalah sama Ayah. Kamu harus pulang secepatnya.”
Nathan mendesah pelan, merasa frustasi. “Tapi aku baru empat hari di sini. Aku butuh waktu lebih lama buat kenal ibu. Aku nggak bisa pulang sekarang.”
Ronny terdiam lagi, suaranya terdengar lebih berat ketika ia akhirnya berbicara. “Nathan… Ayah ngerti kamu pengen tahu lebih banyak tentang ibu kamu. Tapi, tolong… jangan terlalu lama di sana.”
Nathan menggigit bibirnya, merasa tertekan oleh desakan ayahnya. “Beri aku waktu beberapa hari lagi, Ayah. Aku janji akan pulang setelah itu.”
Di ujung sana, terdengar napas panjang Ronny sebelum ia menjawab, suaranya terdengar sedikit pasrah. “Baiklah, Nak. Tapi janji ya, jangan lebih dari lima hari.”
“Janji, Ayah.” Nathan tersenyum kecil, meski perasaan di dadanya terasa tak menentu.
“Ayah selalu doain yang terbaik buat kamu, Nathan,” suara Ronny terdengar lebih lembut. “Jaga dirimu baik-baik, ya?”
Nathan mengangguk pelan, meski ayahnya tak bisa melihat. “Iya, Ayah. Terima kasih.”
Telepon pun berakhir, meninggalkan Nathan dengan pikirannya sendiri, terombang-ambing antara harapan dan kebingungan. Nathan terdiam di kamarnya. Perang batin mulai berkecamuk. Di satu sisi, ada suara ayahnya yang selalu ia percaya, memperingatkannya untuk berhati-hati dan tidak terlalu dekat dengan Maya. Ucapan ayahnya terngiang, membuat Nathan merasakan kegelisahan yang sulit dijelaskan. Namun, di sisi lain, Maya, ibunya, memberikan perasaan hangat dan perhatian yang selama ini tidak pernah ia rasakan dari sosok lain. Maya begitu ramah dan menggoda, membuat Nathan mulai merasa ada hubungan yang perlahan terjalin di antara mereka. Nathan tidak bisa memungkiri, ada rasa suka yang tumbuh di hatinya untuk Maya, sesuatu yang membuatnya ingin mengenalnya lebih dalam dan lebih intim.
Penasaran terhadap ibunya bukan hanya soal siapa Maya sebenarnya dalam dunia bisnis, tetapi juga karena kemolekan tubuh dan kecantikan ibunya yang memancarkan pesona kuat sebagai seorang wanita dewasa. Nathan mulai melihat ibunya tidak hanya sebagai sosok ibu, melainkan juga sebagai seorang perempuan yang memiliki daya tarik sensual yang sulit ia abaikan. Kecantikan dan pesona Maya membuatnya terperangkap dalam lamunan yang lebih dari sekadar kekaguman seorang anak terhadap ibunya. Pemuda itu terjebak dalam perasaan aneh, sebuah situasi antara kekaguman dan ketertarikan seksual yang membuat pikirannya kacau.
Setelah perang batin yang berkecamuk di dalam dirinya, Nathan akhirnya memilih untuk menyalurkan hasrat kepada Maya. Meski nasehat ayahnya terus terngiang di benaknya, Nathan memutuskan untuk mengabaikannya untuk sementara. Bagi pemuda itu, saat ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan soal ayahnya. Semua kekhawatiran yang sempat menahannya kini terasa seperti bayang-bayang yang memudar, kalah oleh rasa yang kian mendesak. Nathan merasa yakin bahwa jalan yang ia pilih untuk memiliki Maya adalah yang tepat, meski ia sadar bahwa konsekuensi mungkin akan menanti di ujung perjalanan.
Nathan segera merapikan diri. Kaos polo putih dan celana jeans menjadi pilihannya hari ini. Setelah memastikan penampilannya, dia keluar dari kamar dengan tujuan menemui Maya di ruang kerjanya. Langkah Nathan tidak terburu-buru. Sambil berjalan di sepanjang koridor rumah besar itu, pikirannya dipenuhi oleh berbagai hal yang ingin ia sampaikan pada ibunya. Dia mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati, memastikan agar setiap kalimatnya terdengar tepat. Sesampainya di depan pintu ruang kerja Maya, Nathan berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengetuk pintu dengan ringan. Suara Maya dari dalam segera terdengar, menyuruhnya masuk.
“Pagi, Ma …” sapa Nathan sesaat setelah melewati pintu. Ia pun menutup kembali pintu tersebut.
“Hhhmm … Ada apa? Kelihatannya penting sekali,” ucap Maya sembari memperhatikan wajah Nathan.
Nathan melangkah masuk ke ruang kerja ibunya dengan perasaan sedikit gelisah. Setelah menutup pintu, dia berjalan perlahan menuju kursi di depan meja kerja Maya dan duduk. Maya duduk di kursinya, tampak anggun dan tenang seperti biasa, matanya mengamati Nathan dengan penuh perhatian. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, saling bertukar pandang. Akhirnya, dengan sedikit ragu, Nathan menghela napas dan menyampaikan tujuannya.
“Ma, aku mulai merasa bosan hanya berdiam diri di rumah. Aku butuh sesuatu untuk dikerjakan,” ucap Nathan.
Maya mendengarkannya dengan seksama, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia tersenyum lembut, tetapi ada kilatan usil di matanya. “Kerja, ya? Apa yang bisa kamu kerjakan?” ucapnya, sedikit menggoda.
Nathan hanya mengangkat bahu. “Entahlah, tapi aku butuh aktivitas, Ma.”
Maya bangkit dari kursinya dan berjalan pelan ke sisi meja, mengambil tempat di tepi meja tepat di depan Nathan yang duduk di kursi. Dia menatap Nathan dengan intensitas yang sulit diabaikan. “Kenapa tidak kuliah saja, sayang? Mama rasa itu lebih cocok untukmu saat ini,” ujarnya sambil menyilangkan kaki, memamerkan pahanya yang mulus, dan secara tidak langsung menampilkan bagian dalam roknya.
Nathan menelan ludah, mencoba mempertahankan fokusnya pada percakapan. “Kuliah, Ma? Aku sudah 24 tahun. Sudah terlalu tua untuk mulai lagi.”
Maya tertawa kecil, suaranya rendah dan lembut. Dia menggeser sedikit, membuat jarak antara mereka semakin sempit. “Tidak ada yang tahu umurmu kecuali kamu sendiri yang mengatakannya. Kamu tidak terlihat tua, Nathan. Kamu masih bisa masuk kuliah dan tidak ada yang akan curiga.” Dia menunduk sedikit, matanya menyapu Nathan dari atas hingga bawah, seolah menantang.
Nathan berusaha mengalihkan perhatiannya, tetapi mata dan pikirannya terus terseret pada paha Maya yang terbuka. Ini bukan pertama kalinya Maya menggoda dengan caranya yang halus namun mematikan, tapi tetap saja, hasrat Nathan sulit untuk dikendalikan.
“Mungkin Mama benar, tapi… aku masih ragu,” gumam Nathan, suaranya sedikit goyah.
Maya tersenyum lebih lebar, melihat bahwa rayuannya mulai bekerja. Dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, membuat jarak di antara mereka semakin tipis, hingga Nathan bisa mencium wangi parfumnya yang manis dan menggoda.
“Ragu kenapa, sayang? Kamu tahu, kuliah akan memberikanmu banyak hal. Teman-teman baru, lingkungan baru… dan tentu saja, masa depan yang lebih baik.” Suara Maya begitu lembut, tapi ada desakan yang samar di balik kata-katanya. “Kamu bisa tinggal di sini, di rumah Mama. Kamu nggak perlu jauh-jauh. Mama bisa bantu kamu dengan segala hal yang kamu butuhkan. Lagipula, kamu selalu bisa pulang ke Pontianak kapan saja. Tapi untuk sekarang… kenapa tidak menikmati waktu di sini dulu? Di rumah Mama, bersama Mama?”
Nathan menunduk, merasa terhimpit oleh godaan yang semakin kuat. “Tapi… bagaimana kalau nanti aku harus kembali ke rumah Ayah? Aku mungkin nggak akan selamanya di sini, Ma.” Suaranya terdengar lebih ragu sekarang, tapi ada sesuatu dalam cara Maya berbicara yang membuatnya mulai mempertimbangkan tawaran itu.
Maya menghela napas pelan, lalu menempatkan tangannya di bahu Nathan dengan sentuhan yang hampir seperti belaian. “Nathan, sayang… Ayahmu akan selalu ada di Pontianak. Kamu bisa kembali kapan saja kamu mau. Tapi… di sini, sekarang, Mama bisa memberikanmu lebih dari sekadar tempat tinggal. Kamu bisa berkembang, belajar, dan Mama akan memastikan kamu mendapatkan yang terbaik.” Dia menatap mata Nathan dalam-dalam, seolah ingin menariknya lebih dekat, baik secara fisik maupun emosional. “Lagipula, sayang, apa yang bisa ditawarkan Pontianak selain masa lalu yang mengikatmu? Di sini, bersama Mama, kamu punya masa depan.”
Nathan menelan ludah lagi. Rayuan Maya mulai membuatnya berpikir lebih dalam. Mungkin benar, apa yang ada di Pontianak selain kenangan lama? Tapi dia juga sadar bahwa setiap keputusan yang diambil di sini akan membawa konsekuensi. “Aku… harus memikirkannya lagi, Ma.”
“Percayalah pada Mama. Kuliah bisa membuka jalan yang lebih besar daripada kamu tinggal di Pontianak. Kalau kamu mau, kita bisa mulai mencari universitas yang bagus,” ujar Maya.
Ada jeda di antara mereka, di mana Nathan merenung. Meski terasa aneh dan tidak nyaman, Nathan akhirnya mengangguk. “Baiklah, Ma. Aku akan coba. Tapi jangan salahkan aku kalau aku gagal nanti.”
Maya tersenyum lebar, puas dengan keputusannya. “Kamu tidak akan gagal, sayang. Mama yakin itu.”
Nathan pun berdiri, menatap Maya sejenak dengan berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, dia berbalik dan meninggalkan ruang kerja ibunya. Saat berjalan di lorong, pikirannya melayang, mempertanyakan apakah di usianya yang sudah 24 tahun, dia masih pantas untuk kuliah. Bagaimana dengan ayahnya? Namun di sisi lain, gagasan itu terasa keren, memulai sesuatu yang baru dan mengejar ilmu. Nathan menunduk, tenggelam dalam lamunannya, sampai tiba-tiba dia terkejut karena di depannya ada sosok yang hampir saja dia tabrak.
“Kalau jalan itu pakai kaki dan mata!” kata orang yang Nathan tabrak lalu orang itu mencubit hidung Nathan keras.
“Aduh … Maaf … Aku ngelamun …” Seru Nathan sambil merasakan hidungnya yang sakit.
“Ibumu sedang sibuk?” tanya wanita cantik yang ternyata Ida.
“Kayaknya begitu …” jawab Nathan.
“Em … Kamu tunggu sebentar di sini, aku ingin ngobrol sama kamu.” Ida cepat-cepat berlalu dari hadapan Nathan.
Nathan memperhatikan Ida yang melangkah tergesa-gesa menuju ruang kerja Maya. Mata Nathan yang nakal tertuju pada goyangan pantat Ida yang terlihat jelas di balik celana dinasnya. Dia tersenyum sendiri, merenung mengapa dia selalu tertarik pada bentuk tubuh wanita, khususnya bagian pantat, paha, dan dada. Sementara itu, Ida menghilang ke dalam ruangan Maya. Nathan menunggu di lorong, sesekali mempermainkan ponselnya. Sekitar lima menit kemudian, Ida keluar dari ruangan dan langsung menghampiri Nathan.
“Ayo … Kita cari tempat!” kata Ida sembari menarik tangan Nathan.
“Kelihatannya ada pencairan nih?” goda Nathan.
“Kok kamu tahu?” tanya Ida sambil terus memegang tangan Nathan.
“Kecium dong wangi dollar-nya …”
“Hi hi hi … Kamu bisa aja …”
Nathan dan Ida akhirnya sampai di bar lounge, sebuah ruangan yang dirancang dengan sentuhan elegan dan modern. Bar lounge tersebut memiliki dinding kayu gelap dengan pencahayaan lembut yang memberikan suasana hangat. Meja bar terbuat dari marmer hitam yang mengkilap, dikelilingi oleh bar stools yang nyaman dengan dudukan kulit berwarna gelap dan kaki logam ramping. Di belakang bar, rak-rak penuh dengan berbagai botol minuman berkelas dan aksesori bar. Lampu gantung di atas bar memberikan pencahayaan fokus yang menambah kesan glamor.
Ida langsung beraksi di belakang bar, mengeluarkan berbagai botol dan bahan-bahan untuk meracik minuman. Dia membuat dua gelas minuman dengan kadar alkohol rendah, dominan rasa manis, yang mengandung campuran buah-buahan segar dan sirup manis. Sambil beraksi, Ida menunjukkan keterampilan dalam mencampur dan mengguncang shaker.
Setelah selesai, Ida membawa kedua gelas ke arah Nathan. Nathan duduk di bar stool, kursi tinggi dengan dudukan yang nyaman dan sandaran rendah, dirancang khusus untuk meja bar yang lebih tinggi. Bar stool tersebut memiliki kaki yang panjang dan tapak kaki di bagian bawah, memberikan kenyamanan saat bersantai di meja bar. Ida menyerahkan salah satu gelas minuman buatannya kepada Nathan, lalu duduk di sampingnya dengan santai. Mereka duduk berdekatan.
Nathan menatap gelas di tangannya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kamu campur minuman ini dengan alkohol, ya?” tanyanya, mengamati cairan bening dengan rasa curiga.
Ida, yang sedang menyesap sedikit dari gelasnya sendiri, menjawab dengan santai, “Hanya sedikit. Bahkan jika kamu meminumnya sekaligus, kamu tidak akan mabuk.”
Nathan mengangkat gelasnya ke bibir dan menyesap sedikit, merasa manisnya yang mencolok. Setelah beberapa detik, dia bertanya, “Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Ida memulai dengan pertanyaan tentang Maya. “Em, gimana keadaan Maya setelah kamu datang? Ada yang berubah?”
Nathan mengangguk. “Ya, semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang istimewa.”
Ida mengamati Nathan dengan ekspresi yang lebih serius. “Sebelum kamu datang, Maya sering sekali marah-marah tanpa alasan jelas. Banyak orang yang bekerja dengannya merasakan tekanan itu. Tapi sejak kamu datang, sepertinya ada perubahan.”
Nathan, yang semakin tertarik, bertanya, “Sifat Maya yang sebenarnya seperti apa sih?”
Ida menghela napas panjang, seakan memikirkan kata-katanya dengan hati-hati. “Maya bisa sangat keras dan mudah marah, mungkin karena tekanan besar dalam hidupnya. Dia tampak selalu berada di tepi jurang, berjuang dengan berbagai masalah pribadi. Kadang-kadang, dia bisa sangat sulit diajak berkompromi. Sepertinya semua itu mengarah pada bentuk depresi yang dia sembunyikan dari orang-orang di sekelilingnya.”
“Masalah pribadi?” Nathan semakin penasaran, mendalami topik tersebut.
Ida melanjutkan, “Pekerjaan Maya yang berat dan berbahaya membuatnya hampir tidak punya waktu untuk bersenang-senang. Dan, aku menduga kalau Maya itu kesepian. Dia butuh perhatian dan belaian dari seorang laki-laki.”
Nathan agak ragu dan membalas, “Tapi sebagai seseorang dengan kekayaan yang melimpah, seharusnya Maya mudah saja mendapatkan teman kencan atau pendamping.”
Ida menegaskan, “Maya sangat selektif dalam memilih teman kencan dan pasangan. Dia tidak mau sembarangan orang masuk ke dalam hidupnya. Maya takut orang luar bisa mengacaukan segala sesuatu yang sudah dia capai.”
Nathan mendengarkan dengan saksama, menimbang-nimbang setiap kata dari Ida. “Jadi, Maya mungkin memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan ketertarikan, tetapi tidak untuk mengatakannya secara langsung?”
Ida mengangguk, “Betul. Kadang-kadang, Maya yang sangat berkuasa dan independen memiliki cara khusus untuk menunjukkan ketertarikannya. Maya mungkin tidak secara terang-terangan menyatakannya, tetapi Maya akan memberikan sinyal melalui tindakannya.”
Nathan menatap ke arah minumannya, merenungkan kata-kata Ida. “Jadi, Maya mungkin saja menunjukkan ketertarikan dengan cara menggoda tanpa harus mengatakan sesuatu secara langsung.”
Ida tersenyum, “Benar. Kadang-kadang, orang seperti Maya yang sangat mengontrol hidupnya dan dikelilingi oleh banyak orang, mungkin merasa lebih nyaman menunjukkan ketertarikannya melalui tindakan kecil. Itu adalah cara dia untuk memberi tahu kalau dia tertarik tanpa harus mengungkapkan perasaannya secara langsung.”
Nathan menatap Ida dengan serius. “Apa kamu yakin dengan hal itu?”
Ida mengangguk penuh keyakinan. “Ya, aku sangat yakin. Kadang-kadang orang yang sangat kuat dan mandiri seperti Maya sulit untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung. Mereka lebih cenderung menunjukkan ketertarikan melalui tindakan-tindakan kecil daripada kata-kata.”
Nathan mulai menyusun potongan-potongan teka-teki dari pengalamannya selama tinggal di rumah Maya. Setiap tindakan Maya, dari godaan-godaannya yang halus hingga sikapnya yang tampak ambigu, mulai membentuk pola yang lebih jelas di benaknya. Informasi dari Ida semakin memperjelas gambaran tersebut; Maya, dengan segala kekuatan dan kontrol yang dimilikinya, cenderung menunjukkan ketertarikan melalui sinyal-sinyal kecil daripada ungkapan langsung. Nathan, yang kini merenungkan semua interaksi yang telah terjadi, mulai mengaitkan godaan-godaan Maya dengan kebutuhan rohaninya akan sentuhan dan belaian. Semakin dalam Nathan menganalisis, semakin jelas baginya bahwa semua tanda-tanda itu mengarah pada satu kesimpulan: Maya tampaknya memang menginginkan dirinya. Dengan pemahaman yang baru ini, Nathan tidak dapat menahan senyum. Ia merasa yakin akan membuktikan kebenaran dari kesimpulan yang telah ia tarik, dan rasa ingin tahunya semakin membara untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Nathan dan Ida melanjutkan percakapan mereka tentang Maya, semakin dalam mereka membahas berbagai sisi kepribadian ibunya, semakin jelas bagi Nathan bahwa keyakinannya bukanlah tanpa dasar. Setelah sekitar 30 menit, Ida pamit untuk kembali ke kantornya, meninggalkan Nathan dengan gelas setengah kosong di tangannya. Dia tetap duduk di bar stool, merenungkan keputusan penting yang harus diambilnya. Dengan setiap tegukan minumannya, pertempuran antara moral dan keinginan semakin intens di dalam dirinya. Hasrat yang tak tertahan untuk dekat dengan Maya perlahan-lahan mengalahkan keraguan dan pertimbangan etika. Menyadari bahwa ia belum pernah benar-benar mengenal Maya dan bahwa hasratnya selama ini telah memuncak, Nathan akhirnya memutuskan untuk bertindak. Dia bangkit dari bar stool, langkahnya mantap dan penuh tekad. Saat tiba di depan pintu ruang kerja Maya, Nathan berhenti sejenak, mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa. Setelah beberapa detik perenungan, Nathan mengetuk pintu dan segera mendengar suara Maya dari dalam, memintanya untuk masuk. Nathan segera membuka pintu dan masuk ke ruangan Maya. Maya mengangkat pandangannya dari tumpukan berkas yang memenuhi mejanya dan melihat Nathan berdiri di ambang pintu.
“Ada keperluan apa lagi, Nathan?” tanya Maya dengan nada heran.
Nathan melangkah masuk dan berkata, “Hanya ingin memastikan Mama baik-baik saja. Sepertinya Mama terlalu sibuk dengan pekerjaan.”
“Mama baik-baik saja. Mama sudah terbiasa dengan beban kerja seperti ini.” Maya tersenyum tipis dan menunjuk ke arah tumpukan berkas di mejanya.
Nathan mengangguk, dan memasang wajah khawatir. “Mama sebaiknya istirahat sebentar. Pekerjaan bisa menunggu.” Tanpa menunggu jawaban, Nathan berjalan ke belakang kursi Maya dan mulai memijat bahunya dengan lembut.
Maya menghela napas, merasakan tekanan di bahunya mereda. “Mama memang baik-baik saja, tapi pijatanmu terasa enak. Membuat Mama merasa lebih rileks.”
Nathan melanjutkan pijatan sambil berbicara, “Jangan terlalu diporsir dengan pekerjaan. Jaga kesehatan Mama juga.”
Maya hanya mengangguk pelan, menikmati pijatan yang membuatnya merasa tenang, tanpa memberikan tanggapan lebih lanjut. Namun, di balik sikap tenangnya, Maya sebenarnya merasakan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar relaksasi. Sentuhan tangan Nathan di bahunya, terutama saat jemari Nathan menyentuh lehernya, memberikan sensasi yang membuat bulu-bulu halus di tubuhnya berdiri. Rasa yang sebenarnya dia dambakan selama ini. Maya memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan dan kelembutan sentuhan itu, yang perlahan-lahan menggoda dan membangkitkan hasrat yang telah lama hilang.
“Aku harap ini membuatmu merasa lebih nyaman,” ucap Nathan sambil terus memijat lembut bahu dan leher Maya.
Maya memejamkan mata, menikmati pijatan lembut Nathan. Dengan nada penuh kepuasan, dia akhirnya merespons, “Sungguh, pijatan ini terasa sangat menyenangkan. Terima kasih.”
Nathan melanjutkan pijatan dengan lembut, tangannya bergerak dari bahu Maya, menyentuh lehernya dengan gerakan penuh perasaan. Perlahan, jari-jarinya meresap ke arah punggung atas, mengikuti garis tulang belikat dan otot-otot yang tegang. Setiap gerakan disertai dengan tekanan yang hati-hati, dirancang untuk mengurangi ketegangan dan memberi rasa nyaman. Maya terlihat semakin rileks, tubuhnya semakin melunak di bawah sentuhan lembut Nathan.
Nathan terus bergerak dengan perhatian penuh, berusaha mencapai setiap area yang mungkin masih tegang. Tangan Nathan perlahan turun ke sisi punggung, sementara Maya tetap duduk dengan tenang di kursi kerjanya. Dengan sandaran kursi yang menghalangi, Nathan harus berhati-hati untuk menghindari posisi yang tidak nyaman.
Saat tangannya bergerak lebih rendah, pijatannya secara tidak sengaja mulai menyentuh sisi tubuh Maya. Dengan kursi yang menghalangi akses langsung, pijatan Nathan terasa menyentuh sisi-sisi payudara Maya secara tidak sengaja. Meskipun pijatannya tetap dalam batas kesopanan, sentuhan itu terasa semakin intim karena jarak yang dekat. Maya merasakan perubahan dalam pijatan, merasakan getaran halus yang menggoda, antara kenyamanan dan kegelisahan yang sulit diabaikan. Nathan, yang tetap berdiri di belakang kursi, melanjutkan pijatannya dengan ritme yang sama, sementara Maya merasakan dampak halus dari setiap gerakan yang dilakukan.
Dengan hati-hati, Nathan mengarahkan pijatannya ke sisi bawah payudara, secara perlahan menyentuh dan menekan area tersebut dengan lembut. Meskipun pijatannya tetap dengan ritme yang halus, setiap kali tangannya melewati sisi payudara, Maya merasakan sentuhan yang semakin panas. Gerakan tangan Nathan yang berulang kali menyentuh sisi-sisi payudara menciptakan rasa yang semakin intim, menambah intensitas sensasi yang dirasakannya. Maya merasakan bahwa pijatan yang awalnya dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan, kini secara perlahan merambah ke area yang lebih pribadi.
“Apakah Mama merasa lebih rileks?” tanya Nathan berbisik di telinga Maya.
“Ya … Lanjutkan …” jawab Maya sedikit mendesah.
“Apakah Mama mau dipijit di area yang bisa memberikan sensasi lebih nikmat saat dipijat?” bisik Nathan yang bibirnya hampir menyentuh daun telinga Maya.
Maya pun tersenyum dalam hati dan menjawab, “Ya.”
“Tapi berjanji, Mama tidak akan marah,” ucapan Nathan semakin sugestif.
Hati Maya pun berbunga-bunga, dan menjawab dengan suara pelan, “Ya.”
Nathan dengan perlahan mengalihkan telapak tangannya ke payudara Maya yang memang sudah menunggu. Maya merasakan setiap sentuhan Nathan dengan mendalam, desahan pelan keluar dari bibirnya seiring dengan rasa hangat yang menyebar di tubuhnya. Sentuhan itu menyentuh inti perasaannya, menimbulkan gelombang kehangatan yang menyelimutinya.
“Ooohhh …” Maya semakin tidak bisa menahan gejolanya.
Dengan kelembutan, Nathan memijat payudara Maya yang terasa semakin mengeras di bawah telapak tangannya. Setiap gerakan tangan Nathan menyebarkan rasa geli dan nikmat yang membelai kulit Maya. Tubuh wanita itu semakin menghangat seiring dengan birahi yang perlahan meningkat. Sensasi itu mencapai puncaknya saat bibir Nathan mendarat lembut di leher Maya, menambah intensitas birahi yang membakar dalam dirinya. Setiap sentuhan dan ciuman membangkitkan gelombang birahi yang semakin membesar.
“Oooohhh ….” Desahan pelan Maya semakin panjang.
Desahan lembut Maya berpadu dengan kekenyalan payudara yang membangkitkan gairah, sementara aroma tubuhnya yang khas semakin memanaskan nafsu hewani pemuda itu. Darah Nathan mendidih menghadapi godaan yang begitu kuat, tetapi kesadaran akan tanggung jawabnya untuk membahagiakan Maya menuntunnya untuk tetap tenang. Meski gejolak hasrat yang membakar dalam dirinya semakin sulit ditahan, Nathan berusaha menekan dorongannya dengan penuh kesadaran. Ia tahu bahwa saat ini, tugas utamanya adalah menunggu waktu yang tepat untuk melepaskan semua perasaan yang membuncah di dalam dirinya.
Dengan keterampilan dan kesabaran, Nathan berhasil membangkitkan simpul-simpul syaraf di otak Maya, mengaktifkan gejolak birahi yang kian membara di dalam diri wanita itu. Setiap sentuhan dan cumbuan yang diberikan, seolah menyalakan api yang semakin membesar di dalam tubuh Maya. Namun, setelah sekian lama terlibat dalam cumbuan, Nathan sendiri tidak bisa menahan dorongan birahi yang bergejolak. Hasratnya sudah meluap hingga ke ubun-ubun, memicu keinginan untuk menelanjangi Maya dan merasakan keintiman yang lebih dalam lagi.
Nathan menghentikan cumbuannya dengan lembut, memutar kursi Maya dengan hati-hati sehingga mereka saling berhadap-hadapan. Perlahan, Nathan berjongkok di hadapan Maya, posisi yang memungkinkan dirinya melihat dengan jelas ke dalam rok Maya. Dalam tatapan penuh arti, Nathan memandang mata Maya yang sayu, seolah meminta izin untuk melangkah lebih jauh. Maya, seakan mengerti kehendak Nathan, tiba-tiba menganggukkan kepalanya dengan lembut. Meski sedikit terkejut oleh respon tersebut, Nathan segera menyingkirkan keraguannya. Dengan penuh keyakinan, tangannya menyusup melalui sisi rok Maya dan menemukan tali karet celana dalam Maya. Dengan bantuan Maya yang sedikit mengangkat tubuhnya, Nathan menarik celana dalam itu hingga akhirnya terlepas. Nathan memandang bercak basah yang tampak jelas pada celana dalam Maya, sebuah pertanda kalau hasrat wanita itu telah mencapai tingkat yang sangat tinggi.
Nathan menyimpan celana dalam Maya di sisinya, lalu mengarahkan perhatian penuh pada sesuatu di balik rok Maya. Pandangannya terfokus, terpikat oleh vagina Maya yang begitu menggugah. Dengan tatapan kagum, ia melihat vagina itu yang memancarkan daya tarik kuat, membuat hasrat Nathan semakin bangkit. Perlahan, Nathan meletakkan kedua tangannya di atas lutut Maya dan dengan lembut merenggangkannya, membuka ruang yang memperlihatkan dengan lebih jelas apa yang dari tadi menarik perhatiannya. Vagina yang kini terlihat merekah di depannya membuat Nathan semakin terpesona, seolah kecantikan itu memanggilnya untuk lebih dekat.
Nathan memegang pinggul Maya dengan mesra, menarik tubuhnya lebih dekat. Maya langsung menggeser tubuh ke depan, membantu Nathan mewujudkan niatnya. Dengan perlahan, Nathan menyingkap rok yang dikenakan Maya, dan Maya merespons dengan mengangkat sedikit tubuh agar rok terangkat lebih mudah. Pandangan Nathan terpaku pada keindahan di depannya, kagum tak terkatakan. Setelah sejenak terdiam, Nathan mendekatkan bibir, menyentuh vagina Maya dengan lembut oleh bibirnya. Maya pun mendesah pelan sambil tangan wanita itu meremas rambut Nathan.
“Ooooohhh ….” Maya mendesah, tubuhnya sedikit melengkung ke belakang meresapi setiap sentuhan. Desahan itu terdengar semakin dalam, menggambarkan gelombang kenikmatan yang menjalar di tubuhnya. Nathan merasakan getaran yang muncul dari respons Maya, membuat pemuda itu semakin terdorong untuk memberikan yang lebih.
Nathan mulai mencium dan menyentuh vagina Maya dengan lidahnya, dan Nathan langsung merasakan respons halus yang datang dalam bentuk getaran kecil di setiap sentuhan. Lidahnya dengan lembut menyusuri vagina itu, bergerak perlahan dari atas ke bawah dan kembali lagi berulang-ulang, menjelajahi setiap sudutnya dengan penuh kesabaran. Saat mencapai bagian atas, lidah Nathan berhenti sejenak di tempat sebuah benjolan kecil, seperti kacang yang memancing lebih banyak sensasi. Tak butuh waktu lama, tiba-tiba dari dalam vagina Maya keluar semburan gerimis yang membasahi sebagian wajah Nathan. Namun, Nathan tidak terhenti. Sebaliknya, pemuda itu semakin intens menggoda benjolan kecil itu, membuat Maya kehilangan kendali atas dirinya, tenggelam dalam lautan kenikmatan yang semakin dalam.
“Oooohhh … Naatthhhaaaannn …” Erang Maya sambil menengadahkan kepala meresapi kenikmatan yang diberikan Nathan.
Setiap sentuhan dan aksi yang diberikan Nathan membuat Maya merasa seakan terbang melayang, seperti terlepas dari batasan dunia. Kenikmatan yang mengalir di tubuhnya membawa jiwa wanita itu seolah terbang bebas ke angkasa, melintasi batas-batas yang hanya bisa dirasakan dalam momen-momen penuh keintiman ini. Maya benar-benar merasa dimanjakan, seolah seluruh tubuhnya diselimuti oleh karunia yang begitu indah. Setiap gelombang sensasi yang diterimanya mengisi setiap sudut perasaannya, membuatnya tenggelam dalam kenikmatan.
Nathan merasa sangat senang melihat Maya tersiksa oleh gelombang kenikmatan yang tak tertahankan itu. Lidah dan bibirnya semakin aktif bergerak, memanjakan vagina Maya yang kini semakin basah. Sesekali, lidah Nathan dengan nakal menerobos masuk ke dalam saluran cinta itu, membuat tubuh Maya bergetar hebat, semakin kehilangan kendali atas dirinya. Setiap sentuhan semakin menggiring Maya ke puncak, hingga beberapa menit kemudian, Maya merasakan dirinya sudah berada di ambang batas. Dengan satu tarikan napas panjang, wanita itu pun memekik keras, melepaskan seluruh kenikmatan yang telah membuncah dalam dirinya.
“Aaaaakkkhhh …. Kellluuuaaaaarrrrr … Aaaaahhhh …”
Tubuh Maya mengejang-ngejang, bergerak tak terkendali seperti cacing kepanasan di bawah pengaruh gelombang kenikmatan yang baru saja meledak. Kedua pahanya tanpa sadar mengapit kepala Nathan dengan sangat kuat, membuat Nathan kesulitan bernapas, kekurangan oksigen untuk beberapa saat. Beruntung, ketegangan itu tidak berlangsung lama. Paha Maya perlahan mengendur, dan Nathan segera melepaskan kepalanya dari kungkungan yang sempit itu. Dengan napas teratur kembali, Nathan memandang wajah Maya yang masih terpejam, dadanya naik turun seiring usaha tubuhnya untuk pulih. Nathan pun bangkit dari posisi jongkok, lalu duduk di pegangan kursi besar tempat Maya bersandar. Dengan penuh kelembutan, Nathan meraih kepala Maya, menyandarkannya di perutnya, memberikan kehangatan yang menenangkan di tengah kelelahan Maya yang perlahan mereda.
Beberapa saat hening, sebelum akhirnya Maya bersuara, “Terima kasih, sayang …” Kedua lengan Maya melingkari pinggang Nathan dengan kepala masih terbenam di perut Nathan.
“Jangan dulu berterima kasih, karena belum selesai …” Kata Nathan.
Maya mengangkat sedikit wajahnya, menatap Nathan dengan senyum tipis di bibirnya. “Apa maksudmu?” tanyanya lembut, meski dalam hatinya sudah bisa menebak arah pembicaraan Nathan.
Nathan menunduk, jemarinya perlahan mengusap rambut Maya, lalu menjawab dengan nada tenang, “Masih ada yang ingin kulakukan untukmu, jika kau tidak keberatan.” Kali ini, kata-kata Nathan terasa lebih intim, lebih dekat. Ia kini memanggil Maya dengan “kamu” dan “mu”, bukan lagi sapaan formal. Nathan merasa, setelah semua yang mereka alami bersama, hubungan mereka telah melampaui batasan-batasan yang pernah ada. Rasa sayang dan kedekatan yang mereka bagi membuatnya ingin lebih dekat, lebih personal. Maya bukan lagi sosok yang hanya dihormati dari kejauhan, tetapi wanita yang ia cintai sepenuhnya, tanpa jarak.
Maya menatap Nathan sejenak, membaca ketulusan di balik kata-katanya. Tanpa ragu, ia mengeratkan pelukan di pinggang Nathan, lalu berbisik, “Aku tidak keberatan, lakukan apa yang kamu inginkan.” Senyum Maya melebar, memberikan isyarat penuh kepercayaan dan penerimaan.
Nathan menurunkan tangannya, menyentuh pipi Maya dengan lembut. “Aku ingin kamu bahagia,” ucapnya dengan suara pelan namun tegas. “Bukan hanya sesaat, tapi sepenuhnya. Aku ingin memberikanmu segalanya, membuatmu merasa dicintai seperti yang seharusnya.”
Maya mengangkat kepalanya lagi lalu menatap dalam ke mata Nathan, merasakan ketulusan yang menyelimuti kata-kata itu. “Kamu sudah membuatku bahagia, Nathan,” bisiknya. “Setiap detik bersamamu, aku merasakannya.”
Nathan tersenyum lagi, kali ini lebih hangat, sambil membelai rambut Maya. “Kalau begitu, biarkan aku terus melakukannya. Aku ingin setiap momen bersamamu dipenuhi kebahagiaan, tidak hanya untuk sekarang, tapi untuk seterusnya.”
Maya merasakan kebahagiaan yang luar biasa, tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan begitu istimewa dari Nathan. Hatinya meluap oleh perasaan cinta yang mendalam. Dengan penuh emosi, ia bangkit, menangkup wajah Nathan dengan kedua tangan, lalu tanpa ragu melekatkan bibirnya pada bibir Nathan. Ciuman lembut yang penuh perasaan tercipta, menyatukan mereka dalam momen keintiman. Setelah sekitar satu menit berlalu, Nathan tiba-tiba melepaskan ciuman itu, namun segera menarik tangan Maya, mengajaknya menuju sofa di ujung ruangan. Maya mengikuti tarikan Nathan dengan penuh antusiasme, tak mampu menahan kebahagiaan yang begitu besar di hatinya. Saat tiba di sofa panjang, tanpa kata-kata, mereka kembali melanjutkan ciuman mereka, seolah tak ingin momen itu berakhir.
Saat masih berciuman, tangan Nathan dengan cekatan membuka kancing rok Maya, membiarkan kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya terlepas dan jatuh ke lantai. Namun, Nathan tak berhenti di situ. Ia segera melanjutkan dengan melepas blouse yang dikenakan Maya. Setelah blouse itu terlepas, tangan Nathan dengan lembut mulai bermain-main di sekitar payudara Maya yang masih terbungkus bra putih. Sentuhan itu membuat Maya mendesah pelan di tengah ciuman mereka, merasakan kehangatan dan gairah yang membakar, sementara tubuhnya merespons perlakuan Nathan dengan sensasi birahi yang semakin kuat.
Maya pun perlahan menggerakkan tangannya ke bawah, meraba kejantanan Nathan yang kini sudah terasa sangat keras di telapak tangannya. Dengan cekatan, Maya segera membuka kancing jeans Nathan dan menurunkan resletingnya, membuat jeans itu jatuh ke lantai tanpa perlawanan. Tak berhenti di situ, Maya terus melanjutkan, tangannya menarik boxer yang masih menutupi bagian bawah tubuh Nathan. Dengan sedikit bantuan dari Nathan, boxer itu pun akhirnya terlepas. Maya belum merasa puas, sambil melepaskan berciuman, tangannya dengan cekatan menyingkirkan kaos polo dari tubuh Nathan.
“Aku sangat bahagia, Nathan … Sejujurnya, aku tidak mengira kalau aku akan jatuh cinta padamu pada pandangan pertama. Aku tahu ini sulit diterima tetapi hati dan perasaanku ini tidak bisa aku tolak. Sejak awal aku sudah menganggapmu pria tampan yang mampu membahagiakanku,” kata Maya sembari mengalungkan lengannya ke leher Nathan.
Nathan tersenyum lembut, menatap mata Maya. Tangannya memegang kedua pinggul Maya, “Aku juga merasakan hal yang sama. Sejak pertama kali bertemu, ada sesuatu tentangmu yang menarikku begitu kuat. Nathan menarik Maya lebih dekat, payudara Maya menempel ketat di dadanya. “Aku tidak pernah menyangka akan menemukan perasaan seperti ini, secepat ini,” lanjut Nathan.
Nathan dengan lembut mendorong Maya ke belakang hingga tubuh wanita seksi itu terbaring di atas sofa. Maya mengikuti gerakan ini hingga dia sepenuhnya berada di atas sofa. Dengan penuh pengertian, Maya membuka kakinya lebar, memberikan ruang yang cukup untuk Nathan di antara mereka. Nathan kemudian membungkuk, menunduk untuk mencium Maya dengan lembut, sebelum perlahan merangkak di atasnya. Saat Nathan sudah berada di atas Maya, ciuman mereka dimulai dengan sentuhan ringan, penuh kehangatan dan perasaan yang mendalam. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut, lalu semakin mendalam seiring waktu. Tangan Nathan mengelus lembut sepanjang tubuh Maya, sementara Maya merespons dengan penuh gairah.
Nathan kini sudah mengarahkan kepala penisnya yang besar itu dengan hati-hati, siap untuk membelah vagina Maya. Dengan penuh perasaan, Nathan menempelkan kepala penisnya itu di bibir vagina Maya, merasakan kehangatan dan kelembutan yang menanti di balik bibir vagina tersebut. Perlahan, Nathan mulai menerobos dengan lembut, memasukkan kepala penis itu dan membelah vagina Maya dengan penuh kehati-hatian. Tubuh Maya tampak gemetar, merespons dengan desahan pelan yang meluncur dari bibirnya. Nathan menekan penisnya agak lebih kuat membuat benda yang besar itu perlahan-lahan menerobos, memasuki bagian dalam vagina Maya. Desahan Maya semakin dalam, mengungkapkan rasa nyaman dan kenikmatan yang membuncah, sementara Nathan terus melanjutkan gerakannya dengan penuh kelembutan, memastikan setiap gerakan yang ia lakukan sehalus mungkin.
“Eeegghh…… Aaaahhh……” erang Maya.
Nathan dengan hati-hati terus mendorong penisnya sedikit demi sedikit, memasuki lorong vagina Maya. Setiap inci penetrasi dilakukan secara perlahan, membiarkan Maya merasakan setiap gesekan. Wanita cantik itu tampak tenggelam dalam percintaan ini, meresapi setiap sensasi yang mengalir melaluinya. Rasa nyaman dan nikmat memenuhi tubuhnya, seiring dengan bertambahnya kedalaman penetrasi penis Nathan. Maya menikmati proses ini dengan penuh penghayatan, merasakan bagaimana penis Nathan perlahan-lahan memenuhi dan mengisi setiap ruang di dalam rongga vaginanya. Nathan terus mendorong penisnya, menembus lorong vagina Maya hingga seluruh bagian penis Nathan amblas ke dalamnya.
“Oooouuggghhh ….” terdengar suara erangan Maya, tubuh telanjangnya nampak menggeliat menahan nikmat.
Nathan merasakan himpitan lembut vagina Maya ketika penisnya tenggelam di kedalaman lorong cinta Maya. Sensasi yang dinikmati pemuda itu begitu menakjubkan, seolah seluruh kesenangan dunia terpendam di dalam vagina Maya.
Nathan mulai bergerak dengan ritme yang lembut, menciptakan gelombang kenikmatan yang menyapu mereka berdua. Maya menyesuaikan gerakan Nathan dengan penuh keselarasan, tubuh bagian bawahnya menari mengikuti irama Nathan. Mereka saling menyatu dalam gerakan yang harmonis, sambil berbagi ciuman mesra. Dalam kenikmatan yang semakin mendalam, setiap gerakan menjadi lebih intens dan penuh rasa. Nafas mereka berpadu dalam irama yang semakin cepat, menciptakan gelombang euforia yang melingkupi mereka. Keduanya tenggelam dalam pengalaman yang memabukkan, saling menyelami kenikmatan dengan setiap sentuhan dan desahan.
“Oohhh …. Saayyanngghh…ehhssss oouughh!!” tampak sekali Maya sangat dikuasai nafsu birahi. Maya tak bisa menahan erangan penuh gairahnya, suara wanita itu mengungkapkan betapa dalamnya ia larut dalam kenikmatan.
Mereka bergumul. Keringat membasahi tubuh mereka. Tetapi gerakan mereka tidak berhenti, gerakan membawa kepada kenikmatan. Erangan dan rintihan disela kecipak pertemuan kelamin mereka silih berganti berkecap-kecap. Saling memacu berkejaran di sirkuit birahi, bersigegas mencapai finish.
“Aaaahh … Aaaahhh … Aaaahhh …” pekik Maya berulang kali. Kedua matanya tak menampakkan bagian hitamnya. Menggelepar dalam kenikmatan yang melambungkan perasaanya.
Dengan tempo yang dipercepat dan hentakan yang kadang Nathan lakukan ke vagina Maya, sambil menggesekan klitoris Maya dengan batang penisnya sesekali, lengan Maya merangkul dan mengunci di leher Nathan. Maya agak sedikit terangkat dari sofa, dan Nathan menahan punggung Maya dengan lengannya. Mereka tidak mau terlepas satu sama lain. Terus bergerak satu sama lain untuk mencapai kenikmatan. Maya berkata kepada Nathan kalau dirinya sudah mau sampai.
“Ooohh sayang…. Aku mulaiiii nih…aaaakhhhhh…” Maya berbisik mendesah, menahan nikmat orgasme yang sudah merongrongnya.
“Aaaaku…juga …” balas Nathan.
Dan akhirnya kenikmatan surga yang selama ini mereka impi-impikan terwujud, “Oooohhh… Aaakkkhhhh..yesss….. Aku keluar sayanggg…..yeahhhhhh…ssshhhhh …” pekik Maya dengan tubuh bergetar hebat.
Pada saat yang bersamaan, penis Nathan pun menyeburkan sperma berkali-kali, “Aaacchh ….”
Nathan dan Maya berpelukan sambil meresapi sisa-sisa kenikmatan orgasme yang mereka alami. Nathan dan Maya terkulai lemas setelah tenaga mereka terkuras. Nathan mencium kening Maya sebelum turun dari atas tubuhnya dan mengambil gelas untuk menuangkannya dengan air mineral. Setelah itu, Nathan kembali kepada Maya yang masih terbaring di sofa. Melihat Nathan membawa air mineral, Maya segera bangkit perlahan dan duduk berselonjor di sofa.
“Terima kasih …” ucap Maya sembari menerima gelas yang diberikan Nathan.
Nathan menatap Maya dengan khawatir dan berkata, “Kamu perlu istirahat, Maya. Tubuhmu sudah terlalu lelah dan butuh pemulihan.”
Maya tersenyum lembut dan menjawab, “Aku akan istirahat, tapi hanya jika kamu mau menemaniku.”
Nathan tersenyum kembali dan mengangguk setuju. “Tentu saja, aku akan menemanimu,” jawabnya.
Setelah berpakaian, Nathan dan Maya berjalan bergandengan menuju kamar Maya. Namun, setibanya di kamar, Maya malah mengajak Nathan untuk mengulangi percintaan mereka. Nathan hanya bisa menggelengkan kepala, menyadari bahwa niat untuk beristirahat berubah menjadi pertarungan sengit di atas kasur. Keduanya melakukannya berulang kali hingga kelelahan. Akhirnya, mereka tertidur pulas dalam keadaan lelah namun puas.
Bersambung