Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 14​

Nathan berdiri di kamar hotel yang sederhana. Hotel itu tidak mewah, tetapi cukup nyaman. Pemandangan kota terbentang di hadapannya, terlihat jelas dari jendela besar yang membingkai langit malam. Lampu-lampu kendaraan di jalanan tampak seperti garis-garis cahaya panjang, menciptakan suasana kota yang terasa hidup, meskipun bertolak belakang dengan perasaannya. Nathan masih berusaha memahami kejadian yang tadi siang ia alami.

Pikirannya kacau. Maya begitu yakin ketika mengatakan kalau Denis tidak terlibat dalam hilangnya Ronny. Denis sendiri dengan sikap dingin membantah keterlibatan dalam peristiwa itu. Yang membuat Nathan bingung, ia bisa merasakan bahwa ucapan Denis sepertinya benar. Tidak ada tanda-tanda kebohongan ketika Denis berbicara.

Jika Denis bukan pelakunya, lalu siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya Ronny? Pertanyaan itu terus berputar di kepala sang pemuda tanpa jawaban.

Nathan terkejut saat suara ketukan pintu memecah lamunannya. Ketukan itu mengguncang fokus dan membuat pemuda itu tersentak dari pikiran kacau. Ia segera bergerak menuju pintu kamar hotel. Begitu pintu terbuka, Nathan melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan wajah cerah dan penuh semangat. Livia tersenyum. Di sampingnya, seorang pria tinggi dan kekar berdiri, kepala security rumah Maya yang sudah dikenalnya, namun Nathan belum tahu nama pria itu.

“Selamat datang di Jakarta …!” seru Livia sembari berhambur ke pelukan Nathan.

“Eh … Kok tahu aku di sini?” tanya Nathan heran dan tangannya membalas pelukan Livia.

“Ya, mudah saja. Aku hanya melacak penggunaan ATM dan kartu kredit Maya yang kamu pakai, dan aku mengetahui dimana kamu berada,” Livia menjelaskan dengan nada ceria.

“Oh … He he he … Aku jadi malu …” ucap Nathan sembari meremas buah pantat Livia.

Livia pun memukul dada Nathan, “Jangan macam-macam di depan adikku,” ucapnya sambil melotot.

“Apa? Siapa adikmu?” Nathan pun mengurai pelukannya pada Livia lalu mengarahkan pandangannya pada sang kepala security.

“Ya, aku adik Mbak Livia,” kata sang kepala security sambil menghampiri Nathan lalu menyodorkan tangannya.

“Aku benar-benar tidak menyangka … Benar kamu adalah adik Livia?” tanya Nathan lagi sambil menjabat tangan kepala security rumah Maya itu.

“Panggil saja aku Raka,” sang kepala security memperkenalkan namanya pada Nathan.

“Raka, senang bertemu lagi denganmu. Aku baru tahu kamu adalah adik Livia,” kata Nathan sambil tersenyum.

“Senang bertemu juga, Nathan. Livia sering menceritakan tentangmu,” jawab Raka dengan senyum penuh arti.

Livia mencibir, “Tapi jangan percaya semua yang dia katakan nanti!”

Nathan mengajak Livia dan Raka masuk ke dalam kamar hotel. Ia menutup pintu dengan pelan, memastikan privasi mereka terjaga. Mereka bertiga bergerak menuju kursi di depan meja berbentuk bundar di pojok ruangan. Nathan duduk di sisi yang berhadapan dengan Livia dan Raka. Mereka memulai percakapan ringan tentang kota Jakarta, cuaca, dan rencana selama berada di sana.

“Aku dengar kamu menentang ‘Duel’ Denis?” tanya Livia sambil menatap lekat wajah Nathan.

“Ya … Sayangnya, Maya menghalangiku. Dia bahkan marah padaku dan meminta aku sopan kepada si Denis,” ucap Nathan dengan nada kecewa.

“Maya memang akan selalu membela Denis … Tapi, aku mendapat info yang sangat mengejutkan. Aku bahkan informasi ini merupakan salah satu keajaiban dunia,” ujar Livia dengan Nada serius.

“Hhhmm … Apa infonya?” tanya Nathan penasaran.

Livia menoleh ke arah Raka dan memberi isyarat agar ia mulai berbicara. “Raka, ceritakan apa yang kamu temukan.”

Nathan, penasaran, ikut menatap Raka dengan serius. Raka mengangguk pelan sebelum mulai bicara. “Maya tampaknya mulai kehilangan kepercayaannya pada Denis. Aku pernah mendengar dia kecewa karena Denis terlalu banyak memiliki musuh. Banyak orang, terutama di lingkaran bisnis, tidak menyukai Denis. Sebagian besar karena kesombongannya.”

Nathan mengerutkan dahi, agak terkejut. “Maya kecewa?”

Livia menambahkan dengan nada yang tegas, “Secara pribadi, aku juga tidak suka pada Denis. Dia selalu bersikap sombong dan merasa paling benar.”

Raka menyambung, “Bukan hanya kamu. Semua security di rumah Maya juga tidak suka dengan Denis. Bahkan mereka pernah memintaku untuk menyampaikan pesan ini padamu.”

Nathan mengangkat alis, bingung. “Meminta apa?”

“Mereka ingin kamu ‘duel’ dengan Denis. Mereka berharap kamu bisa menggantikan posisinya,” ujar Raka dengan nada serius.

Nathan tampak heran. “Duel? Kenapa mereka bisa minta begitu?”

Raka tersenyum tipis. “Waktu kamu hendak pergi dari rumah Maya tempo hari, kamu mendengarkan saran dari para security, dan sejak saat itu, mereka sangat menghormatimu. Mereka merasa kamu berbeda, kamu mau mendengar suara mereka. Itu sesuatu yang belum pernah terjadi selama ini di rumah Maya. Mereka ingin seorang pemimpin yang bisa memahami dan mendengarkan mereka.”

Nathan menghela napas, lalu berkata, “Jujur, aku kurang tertarik dengan posisi Denis. Yang ada di pikiranku sekarang hanyalah keselamatan ayahku.”

Livia langsung menanggapi, “Nathan, kamu tidak perlu khawatir. Aku yakin, ayahmu akan segera ditemukan. Banyak sekali pihak yang sedang mencarinya. Kita hanya butuh sedikit waktu.”

Nathan menatap Livia, berharap apa yang ia dengar benar adanya. “Semoga ayahku segera ditemukan, dan dia selamat. Itu yang paling penting bagiku saat ini.”

Livia tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada sedikit serius, “Nathan, aku ingin kamu mendekati Maya.”

Nathan mengernyit, bingung dengan maksud ucapan Livia. “Mendekati Maya? Apa maksudmu?”

Livia menatap Nathan dengan tajam, seolah-olah ingin memastikan ia menyimak dengan baik. “Ya, Nathan. Mendekati Maya. Kamu tahu, dia memang otoriter dan tidak mudah didekati. Tapi, dia adalah kunci dari semua masalah ini. Kalau kamu bisa mendekati dan memenangkan hatinya, kamu mungkin bisa mendapatkan lebih banyak kendali dalam situasi ini, termasuk soal ayahmu.”

Nathan menggeleng, merasa skeptis. “Tapi Maya selalu membela Denis. Apapun yang terjadi, dia selalu berada di pihak Denis. Bagaimana aku bisa mendekatinya dalam kondisi seperti itu?”

Livia tersenyum kecil, seakan sudah memikirkan jawaban itu jauh sebelumnya. “Maya mungkin terlihat selalu membela Denis, tapi ingat, dia mulai kecewa dengan Denis. Hubungan mereka tidak sekuat yang kamu kira. Maya bukan hanya peduli pada Denis, dia juga punya sisi lembut sebagai seorang ibu. Dan kamu adalah anaknya. Kalau kamu bisa memainkan peran itu dengan baik, menunjukkan bahwa kamu adalah pilihan yang lebih baik, lebih bisa diandalkan, Maya mungkin akan melihatmu dari sudut pandang yang berbeda.”

Nathan termenung sejenak, mencerna kata-kata Livia. “Jadi, maksudmu, aku harus berpura-pura baik dengan Maya, hanya untuk mendekati dia?”

Livia menggeleng. “Bukan sekadar berpura-pura. Kamu harus benar-benar masuk ke dalam dunianya. Mendapatkan kepercayaannya. Hanya dengan begitu kamu bisa memiliki pengaruh atasnya. Dan dengan itu, kamu juga bisa mengetahui lebih banyak tentang Denis dan apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini. Percayalah, Nathan, Maya menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang terlihat.”

Raka, yang sejak tadi mendengarkan, akhirnya ikut berbicara. “Selain itu, semua yang ada di rumah itu menghormati kamu. Para security juga berharap kamu mengambil peran lebih besar. Kalau kamu bisa mendapatkan dukungan dari Maya, Denis tidak akan bisa berbuat apa-apa.”

Nathan menarik napas dalam-dalam, pikirannya berputar, mencoba menyusun langkah berikutnya. Ia tidak suka berpura-pura atau bermain politik dengan keluarganya sendiri. Tapi, dalam situasi yang penuh dengan kebohongan dan intrik ini, sepertinya itulah satu-satunya cara.

“Baiklah,” kata Nathan akhirnya. “Aku akan coba mendekati Maya.”

Livia tersenyum puas. “Bagus … Mulailah dengan berbicara padanya, tunjukkan bahwa kamu lebih bisa dipercaya daripada Denis.”

Setelah percakapan itu, mereka bertiga mulai membahas rencana yang lebih konkret untuk mendekati Maya. Nathan harus mengubah pendekatannya dengan cara yang lebih halus dan terencana. Livia menyarankan agar Nathan mulai menunjukkan perhatian yang lebih tulus terhadap urusan Maya, terutama yang berkaitan dengan bisnis dan keputusan-keputusan penting. Nathan harus mengambil inisiatif untuk terlibat lebih dalam, menawarkan bantuan tanpa terlihat memaksa. Raka menambahkan bahwa Nathan juga harus berhati-hati dalam menghadapi Denis, karena Denis masih memiliki pengaruh besar. Setiap langkah harus terukur, memastikan Nathan mendapatkan kepercayaan Maya tanpa menciptakan konflik yang terlalu jelas dengan Denis. Strategi ini tidak hanya akan memperkuat posisinya di mata Maya, tetapi juga membantu Nathan mendapatkan akses yang lebih besar terhadap informasi yang mungkin disembunyikan Maya terkait Denis.

Setelah membahas langkah-langkah yang akan diambil Nathan untuk mendekati Maya, Livia dan Raka memutuskan untuk meninggalkan Nathan. Mereka memberi kesempatan pada Nathan untuk merenungkan semua yang telah dibicarakan. Setelah mereka pergi, Nathan duduk sejenak di kursi, merasa berat dengan situasi yang dihadapi. Ia kemudian mengambil ponselnya dan membuka aplikasi WhatsApp. Jarinya mengetik pesan singkat kepada Maya. Pesan itu berbunyi, “Apakah Denis bersamamu?” Setelah memastikan kalimat tersebut sudah tepat, ia menekan tombol kirim. Dengan hati berdebar, Nathan menunggu balasan, berharap rencananya akan berjalan dengan lancar.

Nathan menunggu dengan cemas, matanya terus menatap layar ponsel. Setiap detik terasa seperti selamanya, dan pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Akhirnya, pesan balasan dari Maya muncul di layar. “Ya, Denis ada di sini. Kenapa?” Jawaban singkat itu membuat hati Nathan bergetar. Ia tahu ini adalah momen penting, tetapi kehadiran Denis membuatnya merasa terjebak.

Nathan menarik napas dalam-dalam. Ia mengingat semua yang dibahas dengan Livia dan Raka. Meskipun rasa ketidaknyamanan mengganggu, ia tahu bahwa tidak ada jalan lain. Dengan cepat, ia mengetik balasan, berusaha terdengar tenang. “Ada hal yang ingin aku bicarakan. Mungkin kita bisa bertemu?”

Setelah menekan tombol kirim, Nathan merasakan ketegangan yang menyelimuti dirinya. Dalam hatinya, ia berharap Maya akan mengerti betapa seriusnya niatnya. Beberapa menit berlalu, dan Nathan berusaha menenangkan pikirannya. Ia memikirkan langkah-langkah yang akan diambil jika kesempatan ini terbuka.

Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi lagi. Maya membalas, “Baik, kita bisa bertemu di ruang kerjaku besok pagi.” Nathan merasa lega, tetapi sekaligus tegang. Pertemuan ini adalah kesempatan untuk menjelaskan semua yang ada di pikirannya, untuk menunjukkan bahwa ia bukan sekadar anak yang kembali, tetapi juga seseorang yang bisa diandalkan.


Malam itu terasa panjang. Nathan sulit tidur, pikirannya dipenuhi dengan berbagai skenario. Ia membayangkan pertemuan itu, bagaimana ia akan mempresentasikan dirinya, bagaimana ia akan menghadapi Maya. Ia ingin memastikan bahwa ia bisa menyampaikan ketulusan dan komitmennya. Setiap detail terasa penting. Ia tahu bahwa cara ia berbicara, gestur, bahkan nada suaranya akan memengaruhi bagaimana Maya melihatnya.

Nathan bersiap-siap dengan cermat. Ia memutuskan untuk menyewa pakaian dari pihak hotel, ingin memastikan tampil rapi dan profesional. Setelah memilih setelan yang tepat, ia melihat dirinya di cermin dan berusaha meyakinkan diri. Nathan melangkah keluar dari hotel dengan rasa percaya diri yang baru. Ia menuju rumah Maya dengan taksi. Dalam perjalanan ke rumah Maya, ia mengulang-ulang rencana dalam pikirannya, berharap pertemuan ini akan menjadi awal dari segalanya.

Ketika tiba, ia disambut oleh seorang security di pintu gerbang. Sang security sangat ramah dan mempersilakan Nathan memasuki lingkungan rumah yang luas dan megah. Selama perjalanan ke rumah utama, sang security memberikan informasi bahwa Denis sudah pergi 15 menit yang lalu. Nathan merasa lega mendengar hal itu karena kini ia memiliki sedikit lebih banyak keleluasaan untuk berbicara dengan Maya.

Sesampainya di dalam rumah besar milik Maya, Nathan diantar oleh kepala rumah tangga menuju ruang kerja Maya. Ia melangkah mengikuti kepala rumah tangga, merasakan suasana tenang di dalam rumah. Akhirnya, Nathan sampai di depan pintu ruang kerja Maya. Setelah beberapa detik menenangkan hati dan pikirannya, Nathan mengetuk pintu tersebut. Suara Maya terdengar dari dalam, menyuruhnya masuk.

Nathan memasuki ruangan Maya dengan sangat tenang, siap dengan apa yang harus ia lakukan. Ruangan itu tampak rapi, dikelilingi tumpukan berkas dan dokumen. Tatapan Maya yang serius menyambut Nathan, tetapi ada nuansa penerimaan dalam matanya. Ia memerintahkan Nathan duduk di kursi seberang meja kerjanya. Mereka saling tatap dalam keheningan, berusaha menyelami hati masing-masing. Dalam momen itu, Nathan merasakan keraguan yang perlahan memudar. Ia tahu bahwa pertemuan ini penting bagi dirinya.

Setelah beberapa saat, Maya akhirnya bersuara, “Apa yang ingin kamu bicarakan?”

Nathan menatap Maya dengan serius, “Aku ingin minta maaf karena telah menambah bebanmu. Konflik antara aku dan Denis membuat semuanya semakin rumit. Sekarang, aku ingin mengenal Denis lebih baik. Aku berharap, aku dan Denis bisa berdamai dan menghentikan semua perselisihan ini.”

Maya membuka matanya lebar-lebar, tersenyum senang, “Aku sangat senang mendengar keinginanmu itu, Nathan. Kamu dan Denis adalah laki-laki spesial dalam hidupku. Aku berharap kalian bisa hidup berdampingan, saling menghormati satu sama lain.”

“Apa Denis mau menerima aku?” tanya Nathan, sedikit ragu.

Maya mengangguk, “Denis sudah bersedia. Namun, jika nanti ada ucapan atau tindakan dari Denis yang kurang menyenangkan, aku harap kamu bisa berbesar hati dan bersabar. Aku yakin, dengan waktu, Denis bisa mengubah sikapnya dan menerima kamu dengan lebih baik.”

Nathan mengangguk, “Aku paham. Mungkin aku perlu mencoba melihat dari sudut pandangnya.”

Maya menatap Nathan dengan lembut, lalu berkata, “Nathan, aku ingin kamu tinggal di rumah ini detik ini juga. Aku tahu situasi ini sulit, tapi percayalah aku akan selalu ada di sisimu. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mendukungmu dan memastikan semuanya berjalan baik.”

Nathan mengangguk pelan, lalu berkata, “Baiklah, aku akan tinggal di sini.”

Maya merasa sangat bahagia mendengar keputusan Nathan untuk tinggal bersamanya. Senyum lebar menghiasi wajahnya, dan matanya bersinar penuh harapan. Ia merasakan beban yang selama ini mengganggu pikirannya mulai berkurang. Maya melangkah mendekati Nathan dan meraih tangannya dengan lembut. Maya menyadari bahwa kehadiran Nathan di rumah ini bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Nathan. Dia ingin membangun kembali hubungan mereka setelah sekian lama terpisah. Ruang kerja yang biasanya sepi kini terasa lebih hidup dengan kehadiran Nathan.

Nathan berdiri dan membalas genggaman Maya dengan lembut. Ia merasakan kehangatan tangan Maya, tetapi ada keraguan dalam hatinya. Dalam momen itu, Nathan memutuskan untuk memeluk Maya. Pelukan itu lebih sekedar untuk memenuhi harapan Maya daripada ungkapan perasaan pemuda itu yang sesungguhnya. Nathan berusaha memberikan kenyamanan, tetapi di dalam dirinya, ia merasa terpisah. Nathan ingat semua yang telah terjadi dan semua konflik yang masih tersisa. Meskipun tubuhnya mendekat, pikiran Nathan melayang jauh, mempertimbangkan langkah-langkah berikutnya.

Nathan mengurai pelukannya dan berkata, “Sebaiknya kamu lanjutkan pekerjaanmu. Aku akan ke kamarku.”

“Baiklah …” jawab Maya sambil menangkup wajah Nathan.

Maya tiba-tiba mencium bibir Nathan dengan lembut sebelum akhirnya melepaskan ciuman dan tangkupan tangannya. Momen itu singkat, tetapi terasa mendalam bagi Maya. Nathan pun tersenyum, meski di dalam hati masih ada keraguan. Ia kemudian meninggalkan ruangan kerja Maya dan berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Setibanya di kamar, ia merasa lega berada di tempat yang lebih pribadi. Nathan segera membuka lemari dan mengeluarkan foto-foto lawas serta kertas-kertas tua yang tersimpan rapi. Ketika melihat-lihat, ia menemukan selembar kertas tua yang mencolok. Di atasnya terdapat gambar simbol yang mirip dengan yang ada di jaket seseorang yang membakar rumahnya.

Nathan mengembalikan foto-foto dan kertas-kertas itu ke tempatnya semula. Ia mengambil buku ilmu kepemimpinan yang juga ada di dalam lemari. Buku itu terlihat tebal, penuh dengan konsep dan teori yang menarik. Nathan merasa perlu memahami lebih banyak tentang kepemimpinan. Ia percaya pengetahuan ini bisa membantunya menghadapi situasi yang akan datang. Dengan penuh konsentrasi, Nathan mulai membaca buku tersebut, berharap bisa menemukan wawasan yang relevan untuk diterapkan di dunia nyata.

Nathan tenggelam dengan bukunya. Setiap halaman yang dibaca memberikan wawasan baru dan ide-ide yang menarik. Ia fokus pada konsep-konsep yang dijelaskan, mencatat poin-poin penting dalam pikirannya. Beberapa kali, ia berhenti sejenak untuk merenungkan aplikasi dari teori tersebut dalam kehidupannya. Waktu berlalu tanpa terasa. Ketika ia mengangkat kepala, sinar matahari sudah terik. Nathan melihat jam dinding dan menyadari bahwa hari sudah memasuki tengah hari.

Nathan terperangah saat pintu kamarnya diketuk. Ketukan itu menginterupsi fokusnya pada buku yang dibaca. Dengan cepat, ia bangkit dari kursi lalu melangkah ke arah pintu, membuka dengan rasa ingin tahu. Di ambang pintu, kepala rumah tangga berdiri tegak, wajahnya menunjukkan keseriusan. Ia menyampaikan bahwa Nyonya Besar menunggu Nathan di ruang makan. Nathan pun memberi anggukan kecil, lalu melangkah pergi menuju ruang makan.

Nathan melangkah menuju ruang makan dengan rasa cemas. Saat memasuki ruangan, ia terkejut melihat Denis sudah duduk di meja makan bersama Maya. Nathan menghentikan langkah sejenak untuk menyesuaikan diri. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikiran dan meredakan ketegangan. Setelah merasa lebih siap, Nathan melanjutkan langkahnya. Ia mengambil kursi di sisi meja, berusaha bersikap tenang meski ketegangan di antara mereka terasa. Denis memandangnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Maya tersenyum menyambut kedatangan Nathan, memberikan rasa nyaman di tengah situasi yang menegangkan. Nathan duduk, mencoba fokus pada suasana makan bersama dan menyingkirkan kekhawatiran yang mengganggu pikirannya.

“Wah … Ternyata kamu akan tinggal di sini. Sudah siap dengan kehidupan baru?” Denis berkata dengan senyum sinis.

Nathan mengangguk pelan, berusaha tidak terpengaruh oleh nada provokatif tersebut. Maya menatap Denis dengan cemas, tetapi memilih untuk diam.

“Pastinya di sini akan lebih enak daripada di Pontianak. Di sini serba ada kalau di sana serba terbatas,” lanjut Denis sambil menyuap makanan, suaranya penuh sarkasme.

“Denis … Jaga ucapanmu!” Maya memotong, suaranya tegas.

Nathan tetap tenang, memilih untuk fokus pada makanan. Ia tahu bahwa Denis ingin memancing emosinya, tetapi ia tidak akan memberikan kepuasan itu.

“Tidak, May … Aku hanya ingin memastikan saja, kita tidak akan terganggu dengan keberadaan dia di sini. Mungkin dia perlu belajar bagaimana cara bersikap di tempat yang lebih ‘berkelas’,” Denis melanjutkan, matanya berbinar dengan nada meremehkan.

Maya terlihat tidak senang dengan komentar tersebut, “Cukup, Denis. Kita di sini untuk menikmati waktu bersama, bukan untuk berselisih.”

Nathan hanya tersenyum tipis, tidak berniat membalas. Ia menyadari bahwa Denis sedang mencari perhatian, tetapi ia lebih memilih untuk menjaga ketenangan.

“Gak apa-apa, kok. Yang penting kamu bisa beradaptasi. Semoga di sini kamu bisa lebih ‘dewasa’,” sindir Denis lagi, nada suaranya kian menyengat.

Maya mengerutkan dahi, menatap Denis dengan tajam. “Denis, berhentilah.”

Nathan menghela napas, tetap tidak terpengaruh oleh kata-kata Denis. Ia tahu tujuan utamanya ada di depan mata dan tidak akan terjebak dalam permainan ini.

Denis terlihat mulai frustrasi karena sindirannya tidak memengaruhi Nathan. “Mungkin aku terlalu keras, ya. Kita bisa mulai dari awal,” ujarnya, tetapi senyumnya tampak dipaksakan.

Nathan membalas dengan senyuman yang sama, tanpa mengatakan apa-apa. Baginya, saat ini, yang terpenting adalah fokus pada Maya dan mengabaikan permainan Denis.

Denis melanjutkan serangan sindirannya dengan nada yang semakin merendahkan. Ia tidak puas melihat Nathan yang tetap tenang. Setiap kali Denis mengeluarkan komentar tajam, Nathan hanya tersenyum dan menatap langsung ke arah Maya, berharap mendapatkan dukungan dari sosok yang dianggapnya lebih penting. Maya, yang mengamati situasi dengan seksama, merasa tidak nyaman dengan sikap Denis. Maya tahu kalau Nathan berusaha menahan diri, dan melihat betapa kerasnya usaha Nathan membuat hati Maya tersentuh. Dalam hatinya, ia memuji ketegaran Nathan yang tetap bersikap tenang, meski dihadapkan pada ejekan yang tidak beralasan.

Sementara itu, Denis merasa semakin frustasi melihat ketidakberdayaan serangannya. Ia tidak bisa mengerti bagaimana Nathan bisa tetap tegar. Dalam benaknya, Denis mulai merasa bahwa sindirannya tidak berdampak. Ia mencoba lebih keras, namun Nathan tetap tak terpengaruh. Di sisi lain, Maya memperhatikan setiap gerak-gerik Nathan dengan rasa kagum. Ia melihat Nathan duduk tegak di meja makan, wajahnya tetap tenang meski sindiran demi sindiran dari Denis terus mengalir. Ketidakpedulian Nathan terhadap intimidasi tersebut membuat Maya semakin mengagumi ketegaran hatinya.

Makan siang berakhir dengan suasana yang cukup tegang. Denis, setelah menyelesaikan makanannya, berdiri dan merapikan posisi kursinya. Ia mengalihkan pandangan kepada Maya, menjelaskan bahwa ada urusan mendesak yang perlu diselesaikannya. Dengan langkah mantap, Denis melangkah menuju pintu keluar rumah. Sebelum pergi, ia melirik Nathan sejenak, meski tidak ada ekspresi yang jelas di wajahnya. Saat Denis melangkah keluar, suasana di dalam rumah terasa sedikit lebih tenang.

Maya duduk di hadapan Nathan, mengamati ekspresi wajahnya. Ia tahu betapa sulitnya situasi ini bagi Nathan. Dengan suara lembut, ia memulai percakapan.

“Mungkin Denis memang keras kepala. Dia belum bisa menerima semua ini,” ujar Maya, berusaha menjelaskan.

Nathan menanggapi dengan anggukan. Ia merasa frustasi dengan sikap Denis, namun tidak ingin Maya merasa terbebani.

“Cobalah untuk bersabar. Denis mungkin hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Dia punya banyak hal di pikirannya,” lanjut Maya, memberikan pengertian. “Dia masih merasa dirugikan. Jika kamu terus bersikap tenang, lama-lama dia akan mengerti.”

“Apakah ada yang bisa aku lakukan untuk membantunya?” tanya Nathan.

Maya tersenyum, merasa senang dengan keinginan Nathan untuk membantu. “Cukup bersikap baik dan jangan terlalu memikirkan sindiran-sindirannya. Cobalah untuk menunjukkan bahwa kamu bukan musuh.”

Maya menggenggam tangan Nathan sejenak. Setelah itu, ia bangkit dan meninggalkan ruang makan. Tak lama, Heni, seorang pembantu rumah tangga, muncul di ambang pintu. Nathan mengenalnya dengan baik. Heni sosok ramah dan selalu siap membantu. Ia menghampiri Nathan dengan senyum hangat di wajah.

Heni mengangguk hormat kepada Nathan. “Permisi Tuan Muda, saya boleh membereskan meja makan?”

Nathan tersenyum dan mengangguk.

Heni kemudian membawa nampan kosong dan mulai mengumpulkan piring-piring yang tersisa. “Saya akan cepat selesai, tenang saja Tuan Muda.”

Nathan duduk di meja makan, matanya mengikuti gerakan Heni saat ia mengumpulkan piring-piring yang tersisa. Heni terlihat cekatan, mengatur piring dan gelas dengan rapi di atas nampan. Nathan merasa suasana semakin ringan, namun tiba-tiba Heni menghentikan gerakannya sejenak.

“Maaf, Tuan Muda,” katanya pelan, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. “Bolehkah saya bicara sebentar?”

Nathan terkejut. “Tentu, Heni. Ada apa?”

Heni melangkah lebih dekat dan menunduk sedikit, berbicara dengan suara pelan, hampir berbisik, “Tuan Muda… Saya sangat mendukung Tuan Muda untuk menggantikan Denis sebagai asisten pribadi Nyonya Besar.”

Nathan mengangkat pandangannya, sedikit terkejut mendengar pernyataan Heni. Dia menatap wanita itu sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya dengan lembut, suaranya tak kalah lirih, “Tidak mungkin, Heni. Aku tidak mungkin bisa menggantikan Denis.”

Heni tersenyum tipis, lalu melanjutkan dengan nada yang tetap tenang namun penuh keyakinan, “Kisah Tuan Muda, sudah menyebar di kalangan semua pegawai di rumah ini. Semua mendukung Tuan Muda, termasuk saya.”

Nathan mengernyitkan alisnya, rasa penasaran mulai mengusik benaknya. Dia mendekatkan wajahnya sedikit, seolah tak ingin suara mereka terdengar oleh siapa pun di sekitar mereka, “Apa yang mereka dengar tentangku?”

Heni tersenyum lebih lebar, lalu menjawab dengan bisikan, “Semua pegawai tahu kalau Tuan Muda adalah ahli bela diri. Mereka yakin Tuan Muda bisa mengalahkan Denis.”

Nathan tersenyum samar mendengar itu. Dia tahu kemampuannya dalam bela diri, tapi menjadi asisten pribadi Maya jauh lebih rumit dari sekadar kekuatan fisik, “Untuk menjadi asisten pribadi Maya, tidak cukup hanya ahli bela diri, Heni. Pekerjaan itu juga butuh kemampuan memimpin perusahaan.”

Heni menatap Nathan dengan pandangan penuh rahasia, seolah dia menyimpan sesuatu yang lebih penting dari sekadar rumor di kalangan pegawai. Dia mendekat sedikit, suaranya lebih pelan dari sebelumnya, seolah hanya Nathan yang boleh mendengar, “Saya punya satu tips yang mungkin bisa membuat Nyonya Besar lebih mengistimewakan Tuan Muda daripada Denis. Tapi… tidak sekarang.”

Nathan menatap Heni dengan rasa penasaran yang makin kuat. Dia ingin tahu lebih banyak, tetapi Heni tampaknya punya rencana lain. Sebelum Nathan sempat bertanya lebih lanjut, Heni melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, “Kita bicarakan nanti malam, di taman belakang, dekat kolam renang. Di sana saya akan memberi tahu Tuan Muda segalanya.”

Nathan terdiam sejenak, menimbang tawaran Heni. Ada rasa penasaran dan keraguan di hatinya, tetapi akhirnya dia mengangguk pelan, “Baiklah, aku akan menemuimu di sana nanti malam.”

Heni tersenyum penuh arti, lalu membungkuk sedikit sebagai tanda hormat sebelum berlalu meninggalkan Nathan yang masih tenggelam dalam pikirannya. Nathan terdiam sejenak setelah Heni pergi. Ia merenungi pembicaraan mereka. Pikirannya penuh dengan pertanyaan, tapi ia tidak ingin memikirkannya terlalu dalam sekarang. Setelah beberapa detik, Nathan bangkit dari tempat duduk. Ia keluar dari ruang makan dengan langkah tenang, kembali menuju kamarnya. Setibanya di sana, ia mengambil buku yang sebelumnya telah ia baca, sebuah buku tebal tentang ilmu kepemimpinan. Tanpa berpikir panjang, ia tenggelam lagi dalam bacaannya.

Nathan membaca halaman demi halaman dengan mudah. Ia tidak menyadari bahwa setiap konsep yang dibaca begitu cepat terserap di dalam benaknya. Sejak kecil, Nathan memiliki daya ingat yang luar biasa, tetapi ia jarang menyadari betapa kuat kemampuannya memahami materi yang kompleks. Setiap kata, setiap teori, semua tersusun rapi di pikirannya tanpa kesulitan. Ia terus membaca, seolah-olah tidak ada hal lain yang menarik perhatiannya.

Waktu berlalu tanpa terasa. Setiap kali Nathan menyelesaikan satu bagian, ia merasa ada dorongan kuat untuk terus melanjutkan ke bagian berikutnya. Membaca menjadi kesenangan yang tak terelakkan baginya, membuat pemuda itu hampir lupa dengan waktu. Hingga akhirnya, sebuah ketukan pintu terdengar, memecah konsentrasi. Nathan menghentikan aktivitasnya, menutup buku, lalu melangkah menuju pintu.

Di depan pintu, kepala rumah tangga berdiri dengan sikap sopan, menyampaikan pesan bahwa Maya sedang menunggu Nathan di ruang makan. Untuk kedua kalinya, undangan makan bersama datang. Namun, kali ini Nathan tidak ingin menghadap Maya terutama Denis. Dengan singkat, ia menyampaikan kepada kepala rumah tangga bahwa ia tidak akan ikut makan malam. Kepala rumah tangga menerima jawaban itu tanpa banyak bertanya, lalu pergi setelah memberi salam. Nathan pun kembali menutup pintu kamarnya.

Nathan kembali mengambil bukunya setelah menutup pintu. Halaman demi halaman terserap cepat oleh pikirannya. Setiap teori dan prinsip kepemimpinan yang ada dalam buku itu ia cerna dengan baik. Konsentrasinya tak teralihkan. Otaknya terus memproses setiap kata dan kalimat yang ia baca. Setelah kurang lebih tiga jam berikutnya, Nathan menutup buku itu dengan rasa puas. Buku yang sejak tadi menyita perhatiannya telah selesai ia baca.

Ia mengambil ponsel dan melihat waktu di layar. Jam menunjukkan pukul 21.45. Nathan teringat janji untuk menemui Heni di taman belakang. Ia bangkit dari kursinya dan meninggalkan kamar. Langkah Nathan tenang saat menuruni tangga menuju lantai satu. Suasana rumah sangat hening. Tidak ada aktivitas dari para penghuni rumah. Semua tampak sudah beristirahat.

Nathan terus berjalan menuju halaman belakang. Ia melewati beberapa ruangan yang sudah gelap. Udara malam terasa sejuk saat ia membuka pintu menuju taman belakang. Langkahnya menyusuri jalan setapak yang menuju kolam renang. Setelah melewati kolam yang tenang, pandangannya tertuju pada Heni. Wanita itu duduk di bangku taman, menunggu kehadirannya. Nathan mendekat, siap mendengar apa yang ingin disampaikan oleh Heni malam itu.

“Sudah lama menunggu?” saat sudah berada di dekat Heni.

“Baru lima menitan saya di sini,” jawab Heni sambil tersenyum.

Nathan duduk di bangku sebelah Heni, menyandarkan punggungnya sejenak. Ia menatap langit yang gelap, kemudian menoleh ke arah Heni.

“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nathan.

Heni menatap Nathan dengan tatapan serius, seolah memikirkan setiap kata yang akan diucapkannya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, “Ini sebenarnya sangat rahasia, tentang Nyonya Besar. Saya ingin Tuan Muda bersumpah untuk tidak mengatakan ini kepada siapa pun.”

Nathan mengangkat alis, merasa penasaran namun tetap tenang. Ia mengangguk tanpa ragu, “Aku bersumpah. Kamu tidak perlu khawatir. Apa yang kamu katakan akan tetap jadi rahasiaku.”

Heni memandang Nathan sejenak, memastikan bahwa Nathan serius. Setelah merasa yakin, ia mulai bercerita, “Nyonya Besar memiliki sebuah ritual… yang boleh dibilang jahat. Ritual itu membutuhkan tumbal nyawa manusia.”

Nathan membelalakkan mata, kaget mendengar pengakuan Heni. Ia bergumam pelan, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Ritual? Apa maksudmu?”

Heni mengangguk perlahan, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, “Ritual itu disebut Ritual Sanghyang Jiva. Tujuannya agar Nyonya Besar tetap awet muda dan panjang umur. Ritual ini dilakukan setiap empat tahun sekali… dan bulan ini adalah waktunya Nyonya Besar melakukan Ritual Sanghyang Jiva.”

Nathan terdiam sejenak, merenungkan apa yang baru saja diungkapkan. Ia mengingat kembali bagaimana Maya selalu terlihat muda, meskipun usianya sudah tidak lagi muda. Kini, semuanya mulai masuk akal.

“Pantas saja Maya selalu terlihat segar, meski umurnya sudah lebih dari 40 tahunan,” gumam Nathan.

Heni mengoreksi Nathan dengan suara pelan, “Usia Nyonya Besar sudah 46 tahun, hampir 47. Tapi lihat saja penampilannya. Dia terlihat seperti wanita berusia 20-an.”

Nathan menatap Heni, masih belum sepenuhnya mencerna apa yang barusan ia dengar. Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami kebenaran di balik penampilan Maya yang selalu memikat.

“Apa hubungannya dengan aku?” kemudian Nathan bertanya.

“Ritual Sanghyang Jiva itu… Nyonya Besar melakukannya dengan cara yang mengerikan. Dia mengubah dirinya menjadi seekor Serigala yang sangat besar. Serigala jadi-jadian itu akan memangsa tumbal yang telah disediakan,” jelas Heni.

Nathan terdiam, berusaha mencerna kata-kata Heni. Namun, Heni belum selesai.

“Tapi ada satu cara untuk menghentikan ritual itu selamanya. Jika orang yang dijadikan tumbal berhasil menjinakkan Serigala jadi-jadian itu, maka Ritual Sanghyang Jiva akan selesai. Selamanya. Nyonya Besar akan tetap cantik, awet muda, dan panjang umur tanpa perlu lagi melakukan ritual itu,” jelas Heni lebih lanjut.

Nathan menatap Heni lebih dalam, merasakan ada sesuatu yang lebih penting di balik cerita ini. Wajah Heni tampak yakin, seolah dia sudah lama memikirkan hal ini.

“Saya yakin, Tuan Muda. Kalau Tuan Muda bisa menjinakkan Serigala jadi-jadian itu,” ungkap Heni.

Nathan tercengang mendengar keyakinan Heni, tak percaya bahwa dirinya mungkin bisa terlibat dalam sesuatu yang begitu berbahaya.

“Kenapa kamu berpikir begitu?” tanya Nathan.

“Karena Nyonya Besar pernah membuat sebuah janji. Barangsiapa yang bisa menjinakkan Serigala itu, dia akan menjadikan suami jika itu laki-laki. Jika perempuan, Nyonya akan menjadikannya saudara,” terang Heni sambil menatap Nathan.

Nathan terdiam mendengar kata-kata itu. Apa yang Heni katakan tidak hanya mengandung bahaya besar, tapi juga peluang untuk mendapatkan tempat istimewa di sisi Maya. Hatinya diliputi berbagai macam pikiran, dan tatapan Heni yang penuh harap menambah beban itu.

“Saya yakin … Tuan Muda punya kekuatan untuk melakukannya. Jika Tuan Muda berhasil, Tuan Muda akan menjadi orang yang paling istimewa di hidup Nyonya Besar.”

Nathan belum bisa menjawab. Perasaan tak menentu mulai menyelimuti pikirannya, tetapi ia tahu cerita ini bukan sekadar dongeng. Jika Heni sampai mengungkap rahasia sebesar ini, ada sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia kira. Nathan terdiam, pikirannya berkecamuk. Tawaran Heni yang tak terduga memaksa Nathan untuk menimbang segala kemungkinan. Bayangan tentang Maya yang berubah menjadi serigala besar mengerikan memenuhi benaknya. Gambaran ritual yang disebut Heni begitu nyata dalam pikirannya, dan keseriusan Heni menambah berat persoalan yang sedang dipertimbangkannya. Nathan tahu bahwa janji yang diberikan Maya bukan tawaran biasa. Kesempatan untuk menjadi seseorang yang istimewa di sisi Maya tentu akan membawa dampak besar dalam hidupnya. Namun, di balik janji tersebut, tersimpan resiko yang tidak kecil. Nathan sadar bahwa menjinakkan serigala jadi-jadian bukan perkara mudah. Bahaya yang mungkin harus ia hadapi terasa nyata, dan ia tidak bisa memutuskan dengan gegabah. Apa yang dikatakan Heni membuat Nathan berpikir keras tentang kemampuannya. Apakah dirinya benar-benar memiliki kekuatan untuk menundukkan makhluk sekuat itu.

Suara tenang Nathan akhirnya memecah keheningan, “Aku ragu ini bisa terlaksana. Maya pasti tidak akan mengizinkan aku yang menjadi tumbal. Bagaimana pun, dia tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Heni menatap Nathan dengan tatapan meyakinkan, lalu menjawab dengan tegas, “Tuan Muda, yang mempersiapkan tumbal itu adalah saya, bersama beberapa pegawai lainnya. Nyonya Besar tidak tahu siapa yang dijadikan tumbal. Saya bisa memastikan identitas tumbal tetap rahasia.”

Nathan mengerutkan kening, merasa skeptis. Ia mencoba membayangkan bagaimana semuanya bisa berjalan sesuai rencana tanpa menimbulkan kecurigaan Maya. Namun, kekhawatiran terbesarnya bukan hanya soal Maya mengetahui identitas tumbal, melainkan risiko yang harus dihadapi semua orang yang terlibat.

Setelah terdiam sejenak, Nathan akhirnya membuka suara, “Lalu bagaimana dengan resiko yang harus kita hadapi? Jika aku gagal, aku akan menjadi tumbal untuk Serigala itu. Itu juga berarti kamu dan semua pegawai yang terlibat akan dalam bahaya. Maya tidak hanya tidak akan mengizinkan, dia mungkin juga tidak ingin aku jadi tumbal dalam ritualnya. Maya akan sangat marah jika tumbal itu aku dan kalian akan mendapat hukuman yang sangat berat bahkan nyawa kalian menjadi taruhannya.”

Heni tidak mundur, malah semakin yakin dengan setiap kata yang dia ucapkan, “Saya mengerti resikonya, Tuan Muda. Tapi saya percaya kalau Tuan Muda mampu menjinakkan Serigala jadi-jadian itu. Alasan saya begitu yakin adalah karena saya tahu ilmu yang Tuan Muda miliki.”

Nathan terkejut, tidak menyangka bahwa Heni memiliki informasi lebih dari yang dia kira. Ia menatap Heni dengan tatapan heran.

“Apa yang kamu ketahui?” tanya Nathan penasaran.

Heni menarik napas, bersiap menjelaskan bagaimana dia sampai pada kesimpulan tersebut, “Saat saya sedang membereskan kamar Tuan Muda, saya menemukan sebuah buku di lemari. Buku itu berjudul Ajian Brajamusti. Saya penasaran, lalu saya cari tahu tentang ilmu itu di internet.”

Nathan menatap Heni dengan mata yang sedikit membelalak, tak menyangka bahwa Heni telah menemukan rahasia yang selama ini ia sembunyikan.

Heni pun melanjutkan ucapannya, “Sekarang saya tahu, Ajian Brajamusti adalah ilmu kanuragan tingkat tinggi. Sangat sulit ditandingi. Dan saya yakin Tuan Muda telah menguasai ilmu itu. Buktinya, anak buah Denis yang dikirim untuk mengintimidasi Tuan Muda berhasil dilumpuhkan dengan mudah. Tidak ada yang bisa melakukan hal seperti itu tanpa penguasaan ilmu tinggi.”

Nathan tidak bisa membantah. Heni telah mengetahui terlalu banyak, dan kenyataan bahwa dia sudah memahami kekuatannya membuat Nathan berpikir ulang tentang segala sesuatu yang ada di depannya.

Heni pun kembali melanjutkan ucapannya, “Karena itu, Tuan Muda … Saya berani berbicara dengan Tuan Muda tentang ritual ini. Saya percaya, Tuan Muda bisa melakukannya. Saya ingin Tuan Muda menggantikan Denis, yang menurut saya sangat menyebalkan. Tuan Muda jauh lebih layak.”

Nathan terdiam, pikirannya berkecamuk menghadapi pilihan yang sulit. Kata-kata Heni bergema menyadarkan pemuda itu akan besarnya kepercayaan yang diberikan kepadanya. Di satu sisi, resiko kegagalan tak bisa dianggap remeh. Serigala jadi-jadian yang dihadapi dalam ritual bukanlah makhluk biasa, dan jika gagal, Nathan tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, ia akan menjadi tumbal. Semua yang terlibat, termasuk Heni dan pegawai lainnya, juga akan berada dalam bahaya besar.

Namun, di sisi lain, Nathan menyadari bahwa kesempatan ini bisa menjadi momen penentu dalam hidupnya. Heni percaya bahwa ia mampu melakukannya, tidak hanya karena kekuatan fisiknya, tetapi karena penguasaan terhadap ilmu Brajamusti. Kepercayaan Heni begitu kuat, seolah-olah dia sudah melihat masa depan di mana Nathan berhasil menjinakkan Serigala tersebut dan memenangkan hati Maya. Keyakinan itu membuat Nathan kembali menimbang-nimbang, Heni sudah berani melibatkan dirinya dan mempertaruhkan segalanya. Dan bagi Nathan hal itu tidak bisa diabaikan begitu saja.

“Kamu pernah melihat kekuatan serigala jadi-jadian itu sendiri?” tanya Nathan setelah beberapa saat hening.

Heni menggelengkan kepala dengan cepat. Wajahnya sedikit berubah, menandakan rasa takut yang selama ini mungkin terpendam di dalam dirinya.

“Saya tidak pernah melihat langsung, Tuan Muda. Tapi yang saya tahu, mereka yang menjadi tumbal selalu tewas dalam hitungan detik. Jantung dan hati mereka dimakan oleh serigala jadi-jadian itu tanpa ampun,” ungkap Heni sambil mengusap-usap tengkuknya.

Nathan mendengarkan dengan seksama. Informasi yang diberikan Heni hanya menambah berat bayangan tentang ritual ini. Dan, Heni melanjutkan, seolah ingin memperjelas betapa mengerikannya makhluk itu.

“Tidak ada yang berani menghadapi serigala jadi-jadian itu, bahkan para petarung terbaik di lingkungan Nyonya Besar. Denis pun tidak mau mencobanya,” ujar Heni.

Nathan terdiam lagi, memikirkan lebih dalam tentang betapa besar ancaman yang ada di depannya. Jika Denis, yang selama ini dianggap petarung yang paling tangguh, memilih menghindar, maka tantangan ini jauh lebih besar dari apa yang ia bayangkan.

“Apakah masih ada yang ingin kamu sampaikan? Sesuatu yang belum kamu ceritakan?” tanya Nathan.

Heni menatap Nathan dengan tegas, seolah menyampaikan bahwa semuanya telah keluar dari mulutnya. Tidak ada yang disembunyikan, “Semuanya sudah saya ceritakan, Tuan Muda. Sekarang saya serahkan keputusan ini kepada Tuan Muda. Tapi saya butuh kepastian sebelum tanggal 10, karena saya harus menyiapkan tumbal.”

“Aku akan memberitahumu sebelum tanggal itu. Tapi ingat, aku tidak berjanji apa-apa,” jawab Nathan seraya mengangguk pelan.

Heni mengangguk sedikit, menerima keputusan Nathan tanpa banyak bertanya. Nathan dan Heni meninggalkan taman tanpa kata-kata tambahan. Mereka berjalan dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Nathan melangkah menuju rumah utama, sementara Heni berbelok menuju gedung kecil yang menjadi tempat istirahat para pembantu. Suasana malam yang hening menemani langkah Nathan yang perlahan memasuki rumah besar itu.

Nathan terus berjalan hingga mencapai lantai dua, menuju kamarnya. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia berjalan ke arah jendela. Berdiri di sana, Nathan menatap keluar, namun pikirannya terperangkap pada apa yang baru saja ia dengar. Setiap bagian dari pembicaraan dengan Heni berputar di otaknya, membawa kekhawatiran baru yang tak terelakkan. Belum selesai dengan masalah ayahnya yang terus menghantui, kini muncul tantangan besar yang harus ia hadapi. Tantangan yang tidak hanya mempertaruhkan dirinya, tetapi juga nyawa orang lain.


Nathan baru saja selesai mandi lalu merapikan dirinya dengan cepat. Setiap gerakan terasa otomatis, seolah tubuhnya bekerja tanpa perlu memikirkan banyak hal. Setelah merapikan pakaian, ia hendak melangkah keluar dari kamar. Tiba-tiba, suara dering ponsel menghentikan langkahnya. Nathan segera meraih ponsel yang ada di saku celana. Matanya melebar saat melihat nama Denis muncul di layar. Sedikit ragu, Nathan menatap layar sebentar sebelum akhirnya menggeser ikon untuk menerima panggilan.

“Hallo …” sapa Nathan dengan nada datar.

“Nathan, aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku penasaran denganmu,” suara Denis terdengar tajam di seberang.

“Maksudmu?” Nathan mengernyit, tidak mengerti maksud Denis.

“Aku ingin menantangmu duel. Kita selesaikan ini, satu lawan satu. Aku ingin tahu seberapa kuat kamu sebenarnya. Tak perlu khawatir, Maya tidak akan tahu. Ini hanya antara kita berdua,” jelas Denis penuh percaya diri.

Nathan terkejut mendengar ajakan duel itu. Pikirannya langsung mempertanyakan maksud Denis dan apa yang sebenarnya ia inginkan.

Dengan tenang Nathan menjawab, “Aku tidak tertarik. Tidak ada gunanya bertarung denganmu.”

Namun, Denis tidak menyerah. Ia tahu cara memancing emosi Nathan, “Kau takut, ya? Atau mungkin kau hanya berbicara besar selama ini? Semua orang di rumah sudah mulai bicara soal kehebatanmu, tapi aku tidak melihat apa-apa selain omong kosong. Atau kau memang hanya bayang-bayang pengecut di belakang Nyonya Besar?”

Mendengar hinaan itu, Nathan merasa darahnya mendidih. Namun, ia berusaha tetap tenang dan menahan diri, “Denis, aku tidak akan terjebak dalam permainanmu. Pertarungan seperti ini tidak ada gunanya.”

Denis menyeringai, tetap berusaha menggoyahkan keyakinan Nathan. “Jadi, kau memilih untuk tetap berada di bayang-bayang? Ini kesempatanmu untuk membuktikan diri. Atau kau ingin aku terus meragukanmu?”

Nathan merasa tertekan oleh kata-kata Denis. Ia tahu bahwa tantangan ini akan mempermalukannya jika ia mundur. Namun, ia tetap berusaha menjaga pendiriannya. “Aku tidak peduli dengan omonganmu. Aku tidak akan bertarung hanya karena kamu meragukanku.”

Denis tertawa sinis. “Jadi, kau lebih memilih untuk dianggap pengecut? Itu keputusanmu. Tapi ingat, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Kau bisa membuktikan dirimu atau selamanya dianggap remeh.”

Hinaan Denis mulai memancing amarah Nathan. Ia bisa merasakan darahnya mendidih. Selama ini, ia sudah berusaha menghindari konflik dengan Denis, tapi kata-kata Denis semakin menusuk.

“Baik, Denis. Kalau itu yang kau inginkan, aku terima tantanganmu,” jawab Nathan sambil menahan amarahnya.

“Bagus. Aku sudah di gudang tani dekat taman buah Mekarsari di daerah Cileungsi. Jika kau bingung mencapainya aku akan serlok ke ponselmu. Pastikan kau datang sendiri. Dan jangan khawatir, aku akan memastikan tidak ada yang tahu soal ini, termasuk Nyonya Besar,” kata Denis.

Nathan keluar dari kamarnya dengan langkah tegas, hatinya dipenuhi oleh berbagai emosi yang saling bertentangan. Ia berjalan menuruni tangga, melewati lorong yang sepi. Setiap langkah terasa berat, tetapi tekadnya semakin menguat. Dalam pikirannya, ia memutuskan untuk menghadapi Denis dan mengakhiri semua keraguan yang ada. Nathan sampai di garasi dan memilih mobil yang terparkir di sana. Ia segera meminjam kunci dari montir dan masuk ke dalam mobil. Dengan tenang, ia menghidupkan mesin dan mengarahkan mobil menuju lokasi yang ditentukan Denis. Jalanan sepi dan siang semakin panas, tetapi pikiran Nathan tetap fokus pada tujuan.

Setelah sekitar dua jam perjalanan, Nathan menemukan gedung tani yang dimaksud Denis. Bangunan itu besar dan menyerupai hangar pesawat terbang, tampak kokoh meski sedikit terbengkalai. Nathan memarkirkan mobil di depan gedung dan keluar, menatap bangunan di depannya dengan rasa penasaran.

Nathan melangkah menuju pintu gedung, merasakan ketenangan di dalam hatinya. Begitu memasuki gedung, ia terkejut melihat situasi yang berbeda dari yang ia bayangkan. Di hadapannya, bukan hanya Denis seorang, melainkan ada empat orang lain yang berdiri mengapitnya. Mereka tampak siap untuk sesuatu yang lebih dari sekadar pertarungan biasa.

Nathan hanya tersenyum melihat tingkah Denis yang telah menipunya. Taktik Denis tidak mengubah ketenangan Nathan. Ia tetap melangkah maju tanpa gentar sedikit pun, menjaga jarak sekitar empat langkah dari Denis. Rasa penasaran pemuda itu semakin tumbuh. Nathan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik tantangan ini.

Nathan memandang Denis dengan tatapan tajam. Semua ketenangan dalam dirinya kini berubah menjadi kemarahan. “Kau memang penipu, Denis. Tak berani melawan satu lawan satu. Kau lebih dari pengecut.”

Denis hanya tersenyum, tampak santai di hadapan Nathan. “Orang tak tahu diri sepertimu memang sudah selayaknya dimusnahkan,” ujarnya dengan nada mengejek.

Nathan berdiri tegas, menatap Denis dengan serius. “Pikirkan ulang, Denis. Ini bukan permainan yang bisa kau anggap remeh.”

Denis dan kawan-kawannya tertawa terbahak-bahak, suara mereka menggema di dalam gedung. Denis menghentikan tawanya sejenak dan mengangguk, “Salut untuk kepercayaan dirimu, Nathan. Tapi itu tidak akan lama. Dalam waktu singkat, kepercayaan dirimu itu akan terkubur di samping jasadmu.”

Nathan mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. “Jika Maya tahu tentang semua ini, akibatnya akan sangat buruk untukmu dan aku.”

Denis hanya menyeringai, “Maya tidak akan bisa berbuat apa-apa padaku. Dia selalu patuh kepadaku. Bahkan dia tahu tempatnya sendiri.” Kata-kata itu meluncur tajam, seolah mengingatkan semua orang di situ tentang dominasi Denis.

Mendengar itu, Nathan merasakan amarahnya semakin membara. “Jangan salahkan aku jika kau dan kawan-kawanmu terluka.”

Salah satu anak buah Denis, yang berdiri di sebelahnya, tidak dapat menahan diri. Dengan gerakan cepat, ia melesat ke arah Nathan, menghunus samurai di tangannya. Gerakannya begitu lincah, seolah ia meluncur di atas tanah, mengikuti aliran energi yang tak terlihat. Dalam sekejap, ia sudah berada di depan Nathan, anak buah Denis tersebut meluncurkan samurai ke arah leher Nathan dengan niat untuk menghabisinya. Namun, Nathan hanya tersenyum, menunjukkan ketenangan di tengah ancaman. Dia menggerakkan kedua tangannya dengan lembut. Saat samurai mendekat, hawa pukulan dari kedua tangannya mengalir dengan cepat. Setiap kali samurai itu berusaha menusuk atau memotong, hawa pukulan dari Nathan menolak serangan tersebut.

Begitu samurai bertemu dengan energi yang dikeluarkan Nathan, samurai itu terhenti sejenak, tertolak oleh kekuatan yang tidak terlihat. Pemuda itu tidak berusaha melawan dengan kekerasan, tetapi justru menggunakan keanggunan dalam gerakan. Setiap serangan yang dilancarkan oleh lawan, dipatahkan dengan presisi yang sempurna. Tindakan Nathan membuat anak buah Denis terperangah. Dalam waktu singkat, mereka menyadari bahwa mereka menghadapi lawan yang jauh lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan.

“Habisi dia!!!” Terdengar teriakan Denis.

Ketiga anak buah Denis melesat mendekati Nathan dengan samurai di tangan mereka masing-masing. Empat anak buah Denis bergerak serentak, mengelilingi Nathan dengan samurai terhunus, siap menyerang. Mereka mengayunkan senjata tajam itu dengan kecepatan tinggi, mencoba mengejutkan Nathan dari berbagai arah. Namun, Nathan tetap tenang, menghindari setiap serangan dengan gerakan cepat dan akurat. Dengan tangan kosong, ia mengantisipasi setiap serangan, memanfaatkan keanggunan dan kekuatan tubuhnya.

Saat satu samurai meluncur ke arahkan dadanya, Nathan menggeser tubuhnya ke samping, kemudian memukul pergelangan tangan pemilik samurai dengan keras. Senjata itu terlepas dan terjatuh ke tanah. Tanpa henti, Nathan bergerak maju, menyerang dengan serangkaian tendangan dan pukulan, membuat ketiga lawan lainnya terdesak dan tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti. Mereka terpaksa mundur, terkejut oleh kekuatan dan kecepatan Nathan yang tidak mereka duga.

“He he he …” Nathan tertawa, nada suaranya penuh ejekan. Dia melihat ke arah para penyerang dan berkata, “Hanya segitu kemampuan kalian?”

Salah seorang penyerang yang masih memegang samurai, wajahnya tampak marah, menjawab dengan nada menantang, “Jangan terlalu sombong, ini baru saja dimulai.”

Nathan mengangguk pelan, lalu menjawab, “Memang ini baru dimulai. Aku juga belum melakukan penyerangan.”

Saat para penyerang bersiap untuk menyerang kembali, Nathan berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang akan datang.

“Mampuslah kau keparat!!!”

Keempat anak buah Denis menyerang secara bersamaan, bergerak dengan sinergi yang menakjubkan. Mereka menyerang Nathan dengan serangan bergiliran, seperti kincir angin yang berputar tanpa henti. Pedang samurai mereka berkilau di bawah cahaya, menciptakan bayangan yang menakutkan. Nathan menyadari bahwa keempatnya memiliki ilmu tarung yang cukup baik, terampil dalam mengoordinasikan serangan mereka. Dalam situasi ini, Nathan tidak mendapatkan kesempatan untuk beristirahat sejenak. Dia terus bergerak, menghindari setiap sabetan dan tusukan dengan ketangkasan yang luar biasa. Meskipun pemuda itu kebal terhadap senjata, kali ini dia merasakan rasa sakit ketika samurai salah satu penyerang mengenai tubuhnya.

Nathan sebenarnya tidak ingin mencederai lawan-lawannya. Dia berusaha menahan diri, tetapi setiap pukulan dan tendangan yang dilayangkan Nathan tampak tidak berpengaruh pada keempat penyerangnya. Mereka terus melancarkan serangan tanpa henti, menekan Nathan dalam situasi semakin sulit. Dalam kondisi ini, Nathan merasa terpaksa untuk mengambil tindakan lebih jauh. Ia memetakan ajian brajamusti, merasakan energi yang mengalir dalam dirinya. Tiba-tiba, kedua telapak tangannya bersinar dengan cahaya merah yang menyilaukan. Dia tahu bahwa dengan menggunakan ajian ini, situasi akan berubah. Meskipun hatinya berat untuk melukai lawan, dia menyadari bahwa keputusan ini tidak bisa dihindari.

Nathan memfokuskan perhatian pada serangan yang datang. Dengan gerakan cepat, ia menghindari sabetan samurai dari arah samping, menggeser tubuhnya mendekati penyerang lain. Tangan kirinya terangkat, menangkis serangan yang mengancam. Dalam satu gerakan halus, tangan kanan Nathan menghantam dada lawannya. Pukulan itu membuat orang tersebut terangkat dan melayang jauh, hingga menabrak dinding gedung dengan keras. Tubuhnya terhempas dan jatuh tak bergerak.

Namun, dalam kekacauan itu, Nathan terpaksa menerima sabetan samurai dari penyerang yang lain. Meskipun terasa sakit, sabetan samurai itu tidak melukai dirinya. Dalam hitungan detik, Nathan membalas dengan cepat. Ia mengarahkan tangan ke perut penyerang itu dan melepaskan pukulan. Dampak dari pukulan tersebut sangat mengerikan, membuat penyerang melambung tinggi ke belakang, terjatuh keras di tanah. Jarak jatuhnya mencapai beberapa meter, menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan yang dimiliki Nathan.

Dalam sekejap, dua samurai menyerangnya secara bersamaan. Ia dengan cepat menangkis serangan dari kedua arah, tetapi satu samurai berhasil mengenai perutnya. Meskipun tidak ada luka, rasa sakit yang luar biasa menjalar di tubuhnya. Tanpa membuang waktu, Nathan mengarahkan tangannya dengan presisi tinggi, menghantam dada penyerang ketiga. Pukulan itu membuat penyerang melayang dan menabrak tembok, jatuh tak berdaya. Dengan kecepatan luar biasa, Nathan melanjutkan serangannya. Ia menghantam perut penyerang keempat, yang kemudian meluncur ke belakang, terseret jauh dari tempat pertarungan. Dalam waktu singkat, keempat penyerang tergeletak di tanah, tidak mampu melanjutkan serangan.

Nathan berdiri tegak, mengatur napas setelah pertarungan sengit dengan keempat anak buah Denis. Saat ia berbalik, tiba-tiba ia melihat kepalan tinju meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arahnya. Jarak yang terlalu dekat membuat Nathan tidak sempat menghindar. Dalam sekejap, ia menyilangkan kedua tangan di depan wajahnya, bersiap untuk membendung serangan itu. Pukulan yang mengena cukup kuat, mengguncang tubuhnya dan mengakibatkan Nathan terjejar ke belakang beberapa langkah. Meskipun ia berhasil menangkis serangan itu, dampak dari kekuatan serangan membuatnya merasakan getaran di seluruh tubuh. Kekuatan penyerang itu terasa luar biasa, dan Nathan harus berjuang keras untuk tetap berdiri kokoh di tempatnya.

Denis berdiri tegak, wajahnya dipenuhi nada meremehkan. Ia mengarahkan pandangan tajam ke Nathan. “Pantas saja kamu petantang-petenteng di depanku. Ilmu kamu lumayan, tapi jangan kira itu cukup untuk melawanku.”

Nathan tidak terpengaruh. “Aku tidak merasa sok jago di depanmu. Aku hanya mempertahankan harga diriku dari sikapmu yang selalu merendahkanku.”

Denis mendengus. “Aku tidak suka karena kamu telah mengganggu ketenanganku. Aku juga tidak senang kamu dekat dengan Maya. Aku tahu, kamu hanya akan menggunakan kasih sayangnya untuk menghabiskan harta kekayaannya.”

Nathan menatap Denis dengan tajam. “Kamu sudah salah menilaiku. Aku tidak pernah punya pikiran seperti itu.”

“Ketahuilah Nathan … Tidak ada seorang pun yang menginginkan kehadiranmu dalam hidup Maya. Kebenaran yang menyakitkan adalah, kamu hanya hantu dalam hidupnya,” kata Denis sangat menyakitkan hati Nathan.

“Aku tidak akan memaafkanmu lagi. Keterlaluanmu sudah melewati batas,” ujar Nathan, dengan nada tegas, menegaskan komitmennya untuk tidak mundur.

“Majulah dan buktikan siapa yang lebih kuat,” tantang Denis, matanya berkilau dengan amarah. “Aku akan menunjukkan bahwa semua omonganmu hanya sia-sia. Kamu akan merasakan konsekuensi dari sikap sombongmu.”

Nathan tidak mengalihkan pandangannya. Dia bersiap menghadapi setiap ancaman, “Jika itu yang kamu inginkan, maka aku tidak akan mundur. Tapi ingat, aku tidak mencari pertarungan ini. Kamu yang memulai.”

Denis menyeringai, memperlihatkan kebencian yang mendalam, “Aku akan menghancurkan keangkuhanmu, Nathan. Siapkan dirimu.”

Nathan berdiri dengan tegak, memusatkan fokusnya. Denis menyerang lebih dulu, meluncurkan serangan cepat dengan kepalan tangan. Nathan menghindar dengan lincah, memanfaatkan gerak tubuhnya untuk menghindari serangan demi serangan. Denis berusaha memukul dengan kombinasi gerakan yang tak terduga. Nathan mengukur setiap langkah Denis, memperhatikan pola serangannya. Setiap kali Denis mencoba menyerang, Nathan menangkis dengan tangan terbuka, mengalihkan energi serangan lawan.

Pertarungan antara Nathan dan Denis mencapai puncaknya. Gerakan mereka semakin sinkron, masing-masing sudah memahami ritme dan jurus lawan. Denis, yang semula hanya menggunakan jurus-jurus dasar, kini berubah. Gerakannya kian cepat, setiap pukulan dan tendangan diiringi siuran angin yang tajam dan mematikan. Namun, Nathan tak tinggal diam. Dia merespons dengan jurus-jurus yang mematahkan serangan Denis, menangkis setiap pukulan dengan presisi yang sempurna. Tubuh mereka seolah diliputi badai energi, benturan kekuatan terasa begitu dahsyat, hingga menggetarkan ruang di sekitarnya.

Gerakan mereka semakin cepat, tak terhitung lagi seberapa banyak tangan yang bergerak. Pukulan, tendangan, tangkisan, semua terjadi dalam sekejap. Tangan-tangan mereka seolah mengganda, sulit dilihat mata biasa. Benturan kecil terus terjadi, sentuhan yang membuat tubuh keduanya bergetar. Nathan merasakan kesemutan di tangannya, efek dari serangan Denis yang semakin kuat. Di sisi lain, Denis pun merasakan pukulannya bagaikan membentur dinding kokoh yang tak bisa dirobohkan.

Nathan tetap menggunakan ajian Brajamusti, seperti saat melawan anak buah Denis. Namun kali ini, dia lebih waspada. Gerakan Nathan menandakan dia tidak ingin terburu-buru dalam pertarungan. Meski kekuatan ajian tersebut bisa membuat Denis terkapar seketika, Nathan hanya mengeluarkan 15% dari kekuatannya. Setiap pukulan dan tangkisan Nathan penuh perhitungan, ia selalu memastikan serangannya cukup untuk memukul mundur Denis tanpa menimbulkan luka serius. Nathan tetap mencari momen yang tepat, terus menguji batasan lawan, sambil menjaga agar kekuatannya tetap terkendali.

Sebuah pukulan keras menghantam wajah Nathan, membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Meskipun begitu, Nathan dengan cepat mengendalikan diri. Dalam sekejap, ia membalas dengan menghantam dada Denis. Pukulan itu terasa berat bagi Denis. Rasa sakit dan sesak menyelimuti dadanya, meski hanya sebentar sebelum Denis berhasil menguasai diri. Namun, benturan-benturan keras yang terus terjadi mulai menguras tenaga mereka. Nathan tetap bertahan, namun Denis semakin lemah. Serangan-serangannya meleset dan tidak lagi memiliki kekuatan. Denis merasakan tulang-tulangnya ngilu, tubuhnya melemah, sementara setiap serangan Nathan terasa semakin berat baginya.

Merasa sudah terdesak namun tak ingin kalah, Denis akhirnya mengeluarkan pistol dari balik jaketnya. Dengan tangan gemetar, ia mengarahkan moncong senjata itu ke arah Nathan. “Kau pikir bisa seenaknya menghancurkanku?” Denis berteriak, mencoba menutupi ketakutan dengan kemarahan.

“Senjata itu tidak akan mengubah apa pun, Denis. Kau sudah kalah,” ujar Nathan, suaranya rendah tapi penuh keyakinan.

Denis tersenyum miring, jarinya mulai menarik pelatuk, tapi Nathan bergerak secepat kilat. Dengan gerakan tak terlihat, ia mengarahkan pukulan Brajamusti ke tangan Denis. Pistol itu terlepas dari genggaman Denis, terlempar jauh sebelum suara tembakan sempat terdengar. Denis terhuyung, rasa sakit dari pukulan Nathan menyebar ke seluruh lengannya. Kini dia berdiri tak berdaya, kehabisan opsi.

Denis terhuyung, matanya melotot, menatap Nathan dengan kebencian bercampur ketakutan. “Kau tak tahu siapa yang kau hadapi, Nathan,” ucapnya terputus-putus sambil meremas lengan yang terkena pukulan. Namun, ancaman itu terdengar kosong sekarang, karena senjatanya sudah terlempar jauh dan tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain berdiri terpaku.

Nathan melangkah maju, pandangannya tidak tergoyahkan. “Aku tahu siapa kau, Denis. Kau adalah seseorang yang takut menghadapi kebenaran, takut menghadapi kenyataan bahwa kau sudah kalah.”

Denis mundur beberapa langkah, kakinya hampir tersandung reruntuhan yang tersebar di lantai akibat pertarungan mereka. “Kau tidak mengerti,” desisnya, napasnya memburu. “Aku… aku tidak bisa kalah. Bukan sekarang.”

Nathan tidak terpengaruh oleh kata-kata itu. Dengan cepat, dia menghampiri Denis, berdiri di hadapannya. “Semua orang punya pilihan, Denis. Kau memilih jalan ini. Sekarang hadapi konsekuensinya.”

Nathan mencengkram kerah baju Denis lalu menyiapkan pukulan yang bisa membuat Denis pingsan. Saat Nathan mengangkat tangannya, bersiap untuk memberikan pukulan terakhir yang akan membuat Denis pingsan, tiba-tiba terdengar suara lantang seorang wanita dari arah belakang, “Nathan, hentikan!”

Gerakan tangan Nathan seketika terhenti di udara. Dia menoleh dan melihat Ida berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kekhawatiran dan ketegangan. “Jangan lakukan ini,” lanjut Ida dengan suara bergetar. “Ini bukan cara untuk menyelesaikannya.”

Nathan menghela napas panjang, menurunkan tangannya perlahan, namun pandangannya tetap pada Denis. “Ida, dia sudah terlalu jauh. Aku harus menghentikannya dan mengirimnya ke neraka,” ucap Nathan berpura-pura hanya sekedar untuk mengintimidasi Denis.

Ida melangkah maju, mendekati keduanya. “Aku tahu, Nathan. Tapi jangan seperti ini. Kita bisa selesaikan tanpa kekerasan. Kamu lebih baik dari ini.”

Nathan melepaskan cengkeramannya dari kerah Denis, melangkah mundur sejenak untuk menenangkan diri. Tanpa sepatah kata lagi, ia berbalik dan berjalan keluar dari gedung, tak lagi mempedulikan Denis maupun Ida yang masih berdiri di sana. Langkah Nathan tegas, tak ada keraguan meski pikirannya mulai dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang tindakannya. Setelah mencapai pintu keluar gedung, Nathan membuka pintu mobil yang terparkir di depan. Ia duduk di balik kemudi, menyalakan mesin, lalu melaju menuju rumah Maya. Di sepanjang perjalanan, pikirannya terus berkecamuk. Tindakannya tadi, meski gemilang, tetapi terasa begitu jauh dari rencana awal yang sudah disusunnya bersama Livia dan Raka.

Nathan memacu mobil dengan kecepatan tetap, pikirannya berputar mencari jawaban atas apa yang baru saja terjadi. Ia tahu Maya pasti akan segera menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, dan kemungkinan besar akan mengkonfrontasi tindakannya. Namun, dalam benaknya, Nathan berharap bahwa ketika saat itu tiba, takdir akan memihak kepadanya, memberi ruang untuk menjelaskan semuanya tanpa memperburuk keadaan. Setiap kilometer yang ia tempuh terasa semakin mendekatkannya pada momen yang tidak bisa dihindari. Nathan tak yakin apakah Maya akan mengerti, tapi ia tak punya pilihan selain melanjutkan perjalanan dan menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Bersambung​

Terakhir diubah: 23 Sep 2024

1 thought on “CERBUNG – NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *