Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 16​

Pagi itu, Nathan duduk di belakang kemudi mobil hitam yang meluncur mulus di atas aspal kota. Cuaca di Jakarta mulai menghangat, dan jalanan tampak lebih ramai dibandingkan biasanya. Ia menuju salah satu perusahaan milik Maya yang terletak di pusat kota. Gedung itu menjulang tinggi, mewakili kekuatan dan ambisi Maya dalam dunia bisnis. Nathan kini harus hadir untuk memantau jalannya operasi di sana. Tugas yang dulu selalu dipercayakan kepada Denis, kini menjadi tanggung jawabnya.

Akhirnya, mobil berhenti di depan gedung perusahaan, sebuah bangunan megah dengan fasad kaca yang memantulkan langit cerah. Nathan menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari mobil. Ia melangkah keluar, mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, meski perasaan canggung menyelimuti dirinya karena situasi ini baru baginya. Seorang pria berkemeja rapi menyambut Nathan di pintu masuk dengan sikap formal. Dengan langkah mantap namun penuh pertimbangan, Nathan berjalan memasuki gedung tersebut, merasakan hawa dingin dari pendingin udara yang menyelimuti tubuhnya. Ia dan pegawainya berjalan menuju ruangan di lantai delapan gedung. Ruangan yang dituju adalah ruang rapat, dilengkapi meja panjang dengan kursi-kursi ergonomis, proyektor, dan layar lebar. Jendela besar menghadap ke panorama kota, memberi suasana yang mendukung untuk diskusi yang akan berlangsung.

Di dalam ruang rapat, suasana tampak tegang dan formal. Para pejabat perusahaan sudah berkumpul, mengenakan setelan rapi dan tampak serius. Mereka duduk di sekitar meja panjang yang terbuat dari kayu gelap, dengan catatan dan laptop terbuka di depan mereka. Beberapa wajah terlihat cemas, sementara yang lain menampilkan ekspresi netral, berusaha menyembunyikan pikiran mereka. Di dinding, terdapat layar proyektor yang siap menampilkan presentasi penting. Hawa di ruangan itu terasa dingin, bukan hanya karena pendingin udara, tetapi juga karena suasana yang menekan. Beberapa pegawai saling berbisik, membahas topik yang mungkin berkaitan dengan proyek-proyek penting perusahaan.

Nathan melangkah ke bagian depan ruangan, menarik perhatian semua orang. Pandangan mereka beralih kepadanya. Satu per satu, para pejabat berdiri sebagai penghormatan. Ia berdiri di depan meja, menatap wajah-wajah yang menanti arahan darinya. Nathan berusaha menampilkan sikap tenang. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikiran yang berlarian di benaknya. Setelah beberapa detik, Nathan mengangkat tangan, meminta semua orang untuk duduk kembali. Suara kursi yang digeser menandakan kembali ke suasana rapat.

Nathan berdiri di depan meja rapat, menghadapi tim yang terdiri dari para pejabat perusahaan. Ruangan itu tenang, semua mata tertuju padanya. Nathan menarik napas sejenak sebelum memulai.

“Kita semua tahu bahwa perusahaan kita menghadapi tantangan besar,” lanjut Nathan. “Pesaing kita semakin agresif dan mulai mengancam posisi kita di pasar.” Suasana di ruangan menjadi serius, dan semua peserta rapat menatapnya dengan penuh perhatian. Nathan melihat raut wajah mereka yang menunjukkan kekhawatiran akan kondisi perusahaan.

Setelah beberapa detik hening, Nathan melanjutkan, “Saya ingin meminta salah satu dari kalian untuk mempresentasikan masalah yang kita hadapi terkait aktivitas perusahaan pesaing. Siapa yang ingin berbagi pemikiran?”

Seorang peserta rapat, David, mengangkat tangan. Nathan mengangguk, memberi tanda untuk melanjutkan. Semua mata tertuju pada David, siap mendengarkan penjelasan tentang tantangan yang dihadapi perusahaan.

David maju ke depan, mempersiapkan presentasinya. “Mari kita lihat gambaran umum tentang masalah yang kita hadapi,” katanya sambil menekan remote. Layar proyektor menampilkan grafik penjualan yang menunjukkan penurunan signifikan dalam beberapa bulan terakhir.

“PT Sinar Sejahtera adalah pesaing utama kita,” David mulai. “Mereka telah mengambil alih pangsa pasar dengan strategi pemasaran yang sangat agresif.” Ia menunjukkan slide berikutnya yang menampilkan rincian produk pesaing.

“Mereka menawarkan produk dengan harga jauh lebih rendah,” David melanjutkan. “Kualitas yang mereka klaim tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, pelanggan sering terperdaya oleh iklan yang sangat menarik.”

Nathan mendengarkan dengan seksama. “Apakah kita memiliki data pelanggan yang menunjukkan kekecewaan terhadap produk mereka?”

“Ya, kami sudah mengumpulkan beberapa umpan balik,” jawab David. “Banyak pelanggan melaporkan bahwa produk PT Sinar Sejahtera seringkali tidak memenuhi standar yang dijanjikan. Ini bisa menjadi senjata kita untuk melawan klaim mereka.”

Nathan mengangguk, terlihat semakin fokus. “Kita perlu menggunakan data ini dalam kampanye pemasaran kita. Jika kita bisa membuktikan bahwa produk mereka tidak berkualitas, kita bisa mengembalikan kepercayaan pelanggan.”

David melanjutkan dengan informasi tentang taktik pemasaran yang digunakan pesaing. “Mereka tidak hanya menawarkan harga rendah. Mereka juga aktif di media sosial, memanipulasi ulasan dan menciptakan citra positif yang tidak akurat.”

David melanjutkan presentasinya dengan memberikan informasi mendalam tentang taktik pemasaran yang digunakan pesaing. Ia menjelaskan bahwa PT Sinar Sejahtera tidak hanya menawarkan harga rendah untuk menarik pelanggan. Mereka juga menerapkan strategi pemasaran yang sangat agresif di berbagai platform.

Pesaing tersebut aktif di media sosial, menggunakan iklan yang menarik perhatian dan kampanye yang terencana dengan baik. Mereka seringkali menggandeng influencer untuk mempromosikan produk mereka, menciptakan kesan bahwa produk tersebut sangat populer dan berkualitas tinggi. David menunjukkan bukti berupa tangkapan layar dari berbagai postingan yang menunjukkan produk pesaing dalam berbagai situasi yang menguntungkan.

Selain itu, David mengungkapkan bahwa pesaing juga melakukan manipulasi ulasan. Mereka berusaha untuk menghapus ulasan negatif dan menggantinya dengan ulasan positif yang dibuat secara sistematis. “Ini menciptakan citra yang tidak akurat di mata publik,” David menjelaskan. “Banyak pelanggan yang terpengaruh oleh citra positif ini dan beralih ke produk mereka, tanpa menyadari kualitas sebenarnya.” David melanjutkan, “Ini adalah ancaman serius bagi kita. Jika kita tidak segera mengambil tindakan untuk mengatasi citra kita dan memperkuat kehadiran kita di media sosial, kita akan terus kehilangan pelanggan.”

Nathan melihat ke arah tim. “Mari kita buat rencana tindakan konkret. Kita tidak bisa membiarkan pesaing ini terus mengganggu posisi kita di pasar.”

Setelah mendengarkan penjelasan David, Nathan memimpin diskusi mengenai rencana tindakan konkret untuk menghadapi perbuatan curang perusahaan pesaing. Ia meminta setiap pejabat perusahaan untuk memberikan pandangan dan ide-ide mereka. Suasana di ruangan semakin tegang. Semua orang menyadari urgensi situasi ini. Nathan mencatat semua masukan yang diberikan, mulai dari strategi pemasaran hingga langkah-langkah hukum. Salah satu manajer pemasaran mengusulkan untuk meningkatkan kehadiran perusahaan di media sosial dengan konten yang lebih menarik dan autentik. Seorang analis pasar menyarankan untuk melakukan riset lebih dalam tentang perilaku konsumen dan preferensi mereka. Nathan menyetujui semua saran itu dan meminta agar semua departemen berkolaborasi. Ia menekankan pentingnya menciptakan citra positif yang kuat dan memberikan bukti nyata mengenai kualitas produk. Diskusi berlangsung aktif dan fokus, dengan semua peserta berusaha untuk merumuskan rencana yang dapat mengatasi ancaman dari pesaing.

Setelah rapat selesai, Nathan diantar seorang pegawai menuju ruang kerjanya. Begitu memasuki ruangan, rasa kagum langsung menyelimuti dirinya. Ruang kerja itu luas, terang, dan memiliki jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Meja kerja yang besar dan rapi mencerminkan profesionalisme dan kekuasaan. Nathan merasa terkesan dengan desain ruangan yang modern dan elegan. Ia menyadari betapa istimewanya posisi yang kini ia pegang. Perasaan bangga mengalir dalam dirinya.

Nathan bukan tipe orang yang gila jabatan. Ia adalah tipe pekerja keras. Segera setelah memasuki ruang kerja, Nathan mulai membaca dokumen-dokumen yang ada di meja. Ia mencatat beberapa hal penting dari bacaannya untuk dibahas dengan Maya nanti. Tanpa ia sadari, kemampuan daya ingat dan analisisnya sangat luar biasa. Dengan sekali baca, ia sudah mampu menganalisa keadaan secara menyeluruh.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan tengah hari. Nathan tersadar ketika pintu kerjanya diketuk dan langsung terbuka. Senyum merekah di wajah pemuda itu saat melihat wanita yang masuk tanpa persetujuannya.

Livia memasuki ruang kerja Nathan dengan senyuman lebar. “Selamat, Tuan Muda Nathan! Atas terpilihnya menjadi asisten pribadi Maya,” katanya ceria. Nathan berdiri dan mengucapkan terima kasih sambil merasa bangga.

Livia langsung mengalungkan lengannya ke leher Nathan. “Aku sudah yakin sejak awal kalau kamu akan mendapatkan posisi ini. Kamu memang pantas,” ujarnya. Nathan tersenyum dan merasa senang atas dukungan Livia.

“Bagaimana kamu bisa yakin seperti itu?” tanya Nathan, penasaran.

Livia menjawab, “Aku bisa membaca gelagat. Denis mulai tidak disukai Maya. Ada ketegangan antara mereka. Sementara itu, Maya melihat potensi besar dalam dirimu. Kamu adalah anak kandungnya. Dengan semua faktor itu, tak heran kalau kamu yang terpilih.”

Nathan mengangguk, merenungkan kata-kata Livia. “Kamu memang jitu dalam menganalisis situasi. Tapi aku masih merasa ada banyak yang harus kulakukan untuk membuktikan diriku.”

Livia tersenyum. “Jangan khawatir. Kamu sudah menunjukkan kemampuanmu dalam rapat tadi. Semua orang melihat potensi dirimu. Maya juga percaya padamu.”

Nathan merasa lebih percaya diri mendengar itu. “Terima kasih, Livia. Dukunganmu sangat berarti bagiku.”

“Selalu … Sekarang, ayo kita makan siang. Sebagai boss baru, kamu harus traktir aku,” kata Livia, penuh semangat.

Nathan pun menyetujui ajakan Livia untuk makan siang bersama. Mereka meninggalkan ruang kerja Nathan dan berjalan menyusuri koridor yang luas. Setiap langkah mereka terdengar di lantai marmer yang mengkilap. Livia terlihat antusias, menjelaskan berbagai hal tentang perusahaan dan proyek yang sedang berlangsung. Nathan mendengarkan dengan seksama, merasakan kehangatan kebersamaan mereka.

Mereka tiba di lift yang membawa mereka ke lobi. Dalam perjalanan turun, Livia terus berbagi informasi, menambah pengetahuan Nathan tentang lingkungan kerja. Pintu lift terbuka, dan mereka melangkah keluar menuju lobi gedung yang menampilkan desain modern dengan lampu gantung yang megah dan lukisan dinding yang artistik. Nathan dan Livia melanjutkan perjalanan mereka ke luar gedung, menuju mobil mewah yang telah menunggu.

Mobil meluncur dengan mulus melalui jalanan yang ramai, menuju restoran super mewah yang terkenal di Jakarta. Setibanya di restoran, mereka disambut oleh pelayan yang ramah dan diarahkan ke meja yang terletak di area teras dengan pemandangan yang indah. Nathan merasa terkesan dengan suasana dan pelayanan di tempat tersebut. Ia menyadari betapa beruntungnya bisa menikmati makan siang di tempat seperti ini.

Nathan dan Livia menyantap hidangan dengan penuh selera. Mereka berbincang tentang kehidupan sehari-hari dan pengalaman menarik yang mereka alami. Livia menceritakan perjalanan terakhirnya yang mengesankan, sementara Nathan berbagi kisah tentang tantangan baru di posisinya. Keduanya tertawa dan saling menguatkan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.

Tiba-tiba Nathan merasakan ada sesuatu yang aneh saat melihat perubahan ekspresi Livia. Mimik ceria di wajahnya tiba-tiba mengendur. Wajah Livia terlihat tegang, seolah ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Sebelum Nathan sempat menanyakan apa yang terjadi, suara seorang pria menginterupsi pikirannya.

“Hai Livia… Sudah lama kita tidak bertemu. Kamu semakin cantik saja,” kata pria itu dengan nada ramah. Namun, nada tersebut cukup mengusik Nathan.

Nathan menengok ke belakang dan melihat seorang pria tampan mengenakan jas elegan. Senyum percaya diri terpancar di wajahnya. Nathan tidak mengenali pria itu, tetapi melihat reaksi Livia, ia bisa merasakan ketidaknyamanan yang jelas. Wajah Livia tiba-tiba memucat, dan ekspresinya berubah menjadi canggung. Nathan juga menangkap bahwa Livia terlihat sedikit kesal.

“Eh, Ricko!” Livia menjawab dengan suara bergetar, berusaha menahan ketidaknyamanan. “Iya, sudah lama sekali.” Nada suaranya terdengar dingin, berbeda dari biasanya.

Ricko melangkah maju, mendekati meja mereka. Dengan sikap arogan, Ricko duduk di sisi meja dekat Nathan sehingga pandangan Nathan terhalangi. “Maaf mengganggu, tapi aku tidak bisa melewatkan kesempatan untuk menyapa teman lamaku,” ucapnya, dengan nada yang ditujukan untuk Nathan, tetapi Ricko tidak menoleh sedikit pun ke arah Nathan. Hal ini membuat Nathan merasa diabaikan dan kurang dihargai.

“Bagaimana kabarmu, Livia?” Ricko menatap Livia dengan tatapan penuh keakraban, tetapi Nathan merasakan ada sesuatu di balik tatapan itu, sebuah sejarah yang tidak ingin diingat Livia.

Perilaku Ricko semakin menunjukkan kesombongan. Ia seolah-olah merasa memiliki hak untuk hadir di antara mereka, tanpa peduli pada perasaan Livia. Nathan merasa orang ini sudah kurang ajar. Tingkahnya meremehkan, seolah-olah kehadirannya adalah sesuatu yang seharusnya diterima dengan lapang dada. Keduanya tidak terlihat seperti teman yang hangat; Ricko lebih mirip seseorang yang ingin menunjukkan dominasi di hadapan mereka.

Nathan tidak bisa menahan diri untuk tidak menegur Ricko. Dengan nada sindiran, ia berkata, “Sepertinya kamu merasa sangat berkuasa di sini. Apakah ada yang menyuruhmu untuk mengganggu orang lain di tempat ini?”

Ricko menggerakkan badannya dengan sangat arogan. Ia memutar tubuhnya, menghadap Nathan, lalu melipat tangan di depan dada dengan sikap mencolok. Matanya tajam menatap Nathan. “Jangan sekali-kali membuatku marah,” katanya dengan suara rendah tetapi tegas. “Kau tidak tahu akibatnya.”

Nathan tidak gentar. “Akibat? Sepertinya kamu sudah salah alamat. Aku tidak tahu siapa dirimu, tetapi kau jelas tidak mengerti cara menghormati orang lain,” jawab Nathan, berusaha mempertahankan ketenangannya.

Ricko tersenyum sinis. “Jadi, kau mau mengajarkanku tentang sopan santun? Kau benar-benar berani, tapi ingat, ini bukan tempat untuk anak-anak.”

“Anak-anak? Kau bicara seperti itu karena kau merasa lebih tua? Kesombongan tidak membuatmu lebih baik,” Nathan balas dengan nada tajam. Ia merasakan kemarahan dalam dirinya. “Jangan anggap semua orang di sini takut padamu.”

Perdebatan di antara mereka semakin memanas. Suara mereka terdengar lebih keras, menarik perhatian orang-orang di sekeliling. Livia menatap cemas, khawatir melihat situasi ini semakin memburuk.

Akhirnya, Livia tidak tahan melihat ketegangan tersebut. Ia bangkit dan berkata, “Nathan, sudah cukup! Ayo kita pergi dari sini.” Suaranya tegas, tetapi terlihat ada kegelisahan di wajahnya.

Nathan ingin mengikuti Livia, tetapi saat ia beranjak pergi, tangan kirinya tiba-tiba dipegang oleh Ricko. “Urusan kita belum selesai, kawan …” kata Ricko dengan nada menantang, menatap Nathan seolah ingin menantangnya lebih jauh.

Nathan merasa adrenalinnya terpacu. “Kau pikir aku takut padamu? Aku tidak akan mundur hanya karena sikap sok tinggimu!” serunya.

Ricko mengangkat alis, seolah menantang. “Oh, jadi kau ingin bertarung? Sangat berani, aku puji keberaniamu. Tapi sayang, kau salah langkah.”

Nathan melangkah maju, siap untuk berhadapan langsung dengan Ricko. Livia merasa panik melihat situasi ini. “Tidak! Jangan!” serunya, berusaha melerai mereka.

Ricko tetap berdiri dengan sikap arogan. “Tentu saja, mundur saja. Itu pilihan yang lebih baik, atau kau akan menyesal,” tantangnya.

Livia tidak bisa menahan diri lebih lama. Ia melangkah maju, berdiri di tengah mereka. “Ricko, berhenti! Ini sudah berlebihan. Kau tidak berhak memperlakukan dia seperti itu!” suaranya bergetar, tetapi tegas.

Nathan menatap Livia, terkejut dengan keberaniannya. “Livia, biarkan aku saja yang menghadapinya.”

“Tidak! Lebih baik kita pergi,” Livia menjawab dengan nada marah. Ia menarik tangan Nathan dengan kuat, berusaha membawanya pergi dari situasi yang semakin memanas.

Ricko, merasa terhina, berteriak, “PENGECUT …! HEI KONTOL UNYIL …! Kau tidak malu setelah semua yang telah kau katakan!”

Mendengar teriakan itu, Nathan terbakar oleh amarah. Ia ingin mendatangi Ricko, tetapi Livia menariknya sangat kuat. “Nathan, jangan!” teriaknya. Namun, Nathan sudah terlalu terbakar oleh emosinya.

Livia gagal menahan Nathan saat dia mulai bergerak. Dalam sekejap, cengkeraman Livia terlepas, dan Nathan melangkah cepat menuju Ricko. Namun, sebelum Nathan bisa mendekat, Livia berlari mengikutinya, berusaha meraih tangannya lagi.

“Tolooong, Nathan! Ayo kita pergi!” Livia berusaha sekuat tenaga untuk menariknya menjauh. Nathan tetap melangkah cepat, tidak mengindahkan permohonan Livia.

Akhirnya, dengan satu gerakan cepat, Nathan melepaskan diri dari pegangan Livia dan berlari ke arah Ricko. Ia melompat dan mengayunkan kakinya dalam sebuah tendangan yang terarah langsung ke tubuh Ricko. Tubuh Nathan seakan melayang saat ia mencoba melakukan serangan itu.

Namun, Ricko dengan mudah menghindar. Ia menggeser tubuhnya ke samping, sehingga tendangan Nathan meleset dan menghantam udara kosong. Gerakan Ricko sangat cepat dan terampil. Ia tersenyum sinis, menunjukkan bahwa ia tidak merasa terancam. “Apakah hanya itu yang kau punya?” tanyanya dengan nada meremehkan.

Nathan merasa amarahnya semakin memuncak. Ia tidak ingin menyerah. “Ini baru awal,” teriaknya, berusaha mempersiapkan serangan berikutnya. Sementara itu, Livia berdiri di kejauhan, cemas melihat dua laki-laki yang saling berhadapan.

Ricko mengamati sekeliling dengan senyuman sinis. “Kau tahu … Tempat ini terlalu kecil untuk kita berdua. Mari kita cari tempat yang lebih luas,” katanya dengan nada santai.

Nathan menatap Ricko dengan tajam. “Kau pikir aku akan mengikuti semua permainanmu?”

Ricko mengangkat bahu. “Aku hanya tidak ingin mengacaukan restoran ini. Mungkin kita bisa pergi ke taman dekat sini. Tempat itu lebih cocok untuk pertunjukan kita,” ujarnya dengan nada mengejek.

Livia, yang masih merasa cemas, mencoba melerai. “Kalian tidak perlu melakukan ini. Ini tidak akan menyelesaikan masalah!” suaranya penuh keprihatinan.

Namun, Nathan tetap menatap Ricko. “Aku tidak peduli di mana kita bertarung. Jika kamu mau, kita bisa mulai sekarang juga,” tantangnya.

Ricko tertawa kecil. “Baiklah, jika itu yang kau mau. Ayo kita pergi, tapi ingat, ini bukan permainan.”

Nathan mengangguk, dan keduanya bersiap untuk pergi. Livia merasa tidak nyaman. Ia berusaha menahan Nathan dengan kedua tangannya. “Nathan, tolong jangan lakukan ini. Ini tidak akan menyelesaikan masalah,” katanya, tetapi Nathan tetap melangkah maju.

Akhirnya, Nathan dan Ricko memilih tempat di sebuah taman di samping restoran. Taman itu cukup luas, dengan rumput hijau dan pepohonan yang rimbun. Mereka berdiri di tengah taman, siap untuk berhadapan.

Beberapa orang yang tertarik dengan situasi itu mulai berkumpul, menonton dari tempat yang agak jauh. Mereka terlihat antusias, beberapa bahkan mengeluarkan ponsel untuk merekam.

Livia yang tak berdaya hanya bisa menghela napas. Ia geleng-geleng kepala, merasa putus asa. Seharusnya ia bisa mencegah pertarungan ini, tetapi apa daya ia tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan Nathan.

Suasana hening sesaat. Nathan dan Ricko berdiri berhadap-hadapan, saling mengintai kelemahan masing-masing. Kedua laki-laki itu tidak bergerak, hanya menunggu momen yang tepat untuk menyerang. Tiba-tiba, dengan bentakan keras, Ricko membuka serangan. Tubuhnya meluncur deras ke arah Nathan. Nathan benar-benar terkejut saat merasakan dahsyatnya serangan pria itu. Tangan Ricko mengeluarkan asap hitam, memberikan aura mengerikan di sekelilingnya. Dengan sifatnya yang mengaduk-aduk, Nathan merasakan serangan tersebut sangatlah berbahaya. Uap hitam yang keluar dari telapak tangan Ricko membuatnya tidak jelas melihat posisi lawan berada di mana. Nathan berusaha mengalihkan pandangan, tetapi kabut hitam itu mengganggu konsentrasinya.

Untunglah, saat itu Nathan tidak panik. Dengan tenang, pemuda itu melentikkan tubuhnya ke atas sambil mengeluarkan ajian brajamusti dengan level terendah. Ia mengarahkan pukulannya ke bawah, mengancam kepala Ricko. Serangan itu sangat cepat dan langsung. Ricko merasakan angin serangan yang panas mengarah ke kepalanya. Dengan gesit, ia meluncur ke depan dan berguling menjauhi serangan Nathan. Dalam gerakan yang sama, ia melepaskan sebuah pukulan ke lambung Nathan. Namun, Nathan segera melepaskan pukulannya dan memapaki pukulan Ricko. Keduanya berseru kaget saat serangan itu bertemu.

“Blaaarrrr…” Suara beradunya pukulan menggema di udara. Getaran dari benturan itu terasa di tanah, membuat beberapa penonton yang menonton dari jauh terperanjat.

Ricko terhuyung-huyung, lalu terduduk di tanah. Nathan juga tergontai-gontai, berusaha untuk berdiri tegak setelah benturan yang kuat itu. Mereka saling memandang dengan napas yang berat, merasakan dampak dari serangan masing-masing. Ricko secepatnya bangkit dan bersiaga. Ia tidak mau memberikan kesempatan pada Nathan untuk mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Kedua laki-laki itu kembali bersiap, menunggu momen untuk melanjutkan pertarungan.

Ricko menatap Nathan dengan tatapan penuh kebencian. “Ternyata kau berilmu juga … Tapi aku tidak akan kalah, aku tidak pernah kalah!” serunya. Ia melangkah maju, siap untuk menyerang lagi.

Nathan tidak gentar. Ia berdiri tegak, mengatur napasnya. “Jangan banyak bicara. Mari kita selesaikan ini!” jawabnya dengan tegas.

Dengan cepat, Ricko mengayunkan tangannya untuk menyerang. Pukulan itu terarah ke wajah Nathan. Namun, Nathan bersiap dan menghindar. Ia melakukan serangan balik dengan tendangan ke arah kaki Ricko, berusaha menjatuhkannya.

Ricko, meskipun terkejut, cepat mengangkat kakinya. Ia melompat ke belakang untuk menghindar dari serangan itu. “Kau tidak akan membuatku jatuh secepat itu!” teriaknya, merespons dengan serangan bertubi-tubi.

Nathan berusaha menahan setiap serangan. Ricko menyerang dengan semakin ganas. Melihat itu, Nathan mendengus dingin dan memperhebat gerak tubuhnya, terutama tangannya. Tak lama keadaan berbalik. Nathan menyerang secara bergelombang tanpa memberi kesempatan pada Ricko untuk membalas. Telapak tangan Nathan laksana kesiuran mata pedang yang terus mengintai kelemahan lawan. Setiap serangan membawa kekuatan yang membuat Ricko merasa terjepit. Ia merasakan sebuah kekuatan yang tidak nampak seakan mengunci setiap gerakannya. Hal ini membuatnya sulit bergerak ke sana kemari, seolah ada sesuatu yang membatasi ruang geraknya.

Sungguh patut dipuji kegagahan Ricko. Walaupun sudah terjepit, semangatnya masih menyala-nyala. Ia tetap berusaha meladeni setiap serangan Nathan. Sudah beberapa kali kepalanya hampir menjadi sasaran telapak tangan Nathan yang dilapisi ajian brajamusti. Ricko berjuang mati-matian. Ia menggerakkan tangan menangkis setiap serangan Nathan. Setiap kali telapak tangan mereka bertemu, rasa sakit menyengat tangannya. Rasanya seperti patah-patah, tetapi Ricko tidak punya pilihan lain. Ia harus bertahan. Serangan demi serangan datang tanpa henti. Dengan napas yang berat, ia terus beradu tenaga, meskipun otot-ototnya terasa kaku. Ketidaknyamanan ini tidak menyurutkan semangatnya. Ricko tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Dalam pikiran Ricko, hanya ada satu jalan yang harus ditempuh. Ia harus melawan, meski harus membayar dengan rasa sakit.

Para penonton berkumpul di sekitar taman, menyaksikan pertarungan dengan hati berdebar. Beberapa dari mereka berbisik satu sama lain, merundingkan siapa yang akan menang. Di antara kerumunan, Livia berdiri terpaku. Wajahnya pucat dan matanya penuh kecemasan. Ia tidak bisa memalingkan pandangan dari Nathan dan Ricko. Setiap pukulan dan serangan membuat jantungnya berdegup kencang. Ia merasa tidak berdaya. Dalam hati, ia berharap pertarungan ini segera berakhir tanpa ada yang terluka.

Tanpa terasa, waktu berlalu selama setengah jam. Dua lelaki itu masih saling adu kesaktian. Duel ini sangat luar biasa, dengan tubuh mereka bergerak ke sana kemari dengan cepat. Serangan demi serangan dilancarkan tanpa henti. Namun, perlahan namun pasti, Nathan mulai unggul. Ricko terlihat kepayahan. Gerakannya melambat, dan ia tampak lelah. Tenaga murninya terkuras akibat menyambut serangan lawan. Hal ini jelas berpengaruh pada kecepatan geraknya. Nathan tetap tenang dan fokus. Ia merasa kelelahan kecil, berkat teknik dan kecepatan serangan yang ia gunakan. Dengan setiap serangan yang dilancarkan Ricko, Nathan semakin mudah membaca langkahnya.

Setelah mengamati keadaan lawan, Nathan melesatkan tubuhnya ke depan Ricko yang sudah bersiap untuk memapaki serangan. Dengan gerakan cepat, Nathan menggeser tubuhnya ke samping. Dalam sekejap, kedua telapak tangan Nathan bersilangan, membentuk gunting raksasa yang siap menjepit leher lawan. Melihat itu, Ricko berseru tegang, menarik kepalanya ke belakang untuk menghindari serangan. Namun, gerakan susulan dari kaki Nathan tidak dapat ia hindari. Kaki Nathan menghantam dada Ricko dengan telak. Ricko muntah darah dan teriak ngeri saat tubuhnya terpental beberapa meter.

Ricko terjatuh tertelungkup di tanah, tak sadarkan diri. Darah mengalir dari mulut, hidung, dan telinganya. Tubuhnya tidak bergerak, dan napasnya tampak tidak beraturan. Penonton terdiam, terkejut melihat keadaan Ricko. Beberapa orang melangkah maju, tetapi takut untuk mendekat. Nathan berdiri tegak, masih merasakan dampak dari pertarungan itu. Ia menatap lawan yang terjatuh, merasakan campuran emosi antara kemenangan dan keprihatinan.

Nathan berdiri tegak, menatap tubuh Ricko yang tergeletak di tanah. Tubuh Ricko terlihat tak berdaya setelah duel yang baru saja terjadi. Nathan merasakan kepuasan yang mengalir dalam dirinya. Angin semilir menyentuh kulitnya, seolah memberi sambutan pada kemenangan yang baru saja ia raih. Pandangannya tidak beralih dari Ricko, menikmati momen ketika musuhnya jatuh tak berdaya di hadapannya.

Tiba-tiba, dari arah belakang, sebuah tangan menarik lengan Nathan dengan kuat. Nathan tersentak, lalu menoleh. Livia berdiri di belakangnya dengan wajah tegang. Sejak tadi, Livia memang sudah menonton pertempuran itu dari kejauhan dengan perasaan tidak tenang.

“Ayo, kita pergi dari sini. Sekarang juga,” ucap Livia dengan nada mendesak, suaranya terdengar penuh kekhawatiran. Tanpa banyak bertanya, Nathan mengikuti tarikan Livia yang semakin kuat.

Mereka berjalan cepat menuju mobil yang terparkir di halaman restoran. Dalam diam, Nathan membuka pintu pengemudi dan segera duduk di belakang kemudi. Livia masuk ke kursi penumpang dengan ekspresi yang tidak menyenangkan. Nathan mulai menjalankan mobil dengan santai, roda berputar perlahan meninggalkan tempat itu. Namun, ketenangan di dalam mobil segera terganggu.

Livia menoleh ke arah Nathan dengan wajah penuh emosi. “Kamu gila, ya? Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?” suaranya meninggi, penuh amarah. Nathan tetap fokus mengemudi, tapi ia bisa merasakan ketegangan dari Livia yang duduk di sampingnya.

“Kenapa? Tenang saja. Aku hanya melawan seseorang yang memulai masalah lebih dulu,” jawab Nathan dengan nada datar, sambil sedikit mengangkat bahu. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Livia menggelengkan kepala, meskipun tatapannya tetap tajam. “Kamu tidak mengerti. Ricko bukan orang sembarangan, dia sangat berbahaya. Bahkan Denis selalu menghindari Ricko. Denis, yang biasanya tidak takut kepada siapa pun!”

Nathan mengernyitkan dahi, merasa bingung dengan apa yang baru saja didengarnya. “Denis? Dia takut pada Ricko? Sejak kapan Denis takut pada orang lain? Selama ini dia selalu merasa hebat dan bertindak seolah-olah memiliki kekuasaan. Tapi takut pada Ricko?”

“Ya, karena Ricko bukan orang biasa,” jawab Livia dengan suara yang lebih tenang, meskipun tetap serius. “Ricko adalah putra mahkota Tuan Handoko. Tuan Handoko adalah salah satu taipan paling berpengaruh di negara ini. Pengaruhnya sama besar dengan Maya, tapi mereka bermusuhan. Ricko akan menjadi penerusnya, jadi kamu bisa bayangkan risiko yang akan muncul jika kamu membuat masalah dengannya.”

Nathan menarik napas panjang, tapi sikapnya tetap tenang. “Jadi, dia anak seorang musuh besar Maya? Itu tidak mengubah apa-apa. Aku tidak takut pada siapa pun, Livia.”

Livia tampak semakin frustrasi. “Kamu tidak mengerti, Nathan! Maya sangat enggan berurusan dengan Tuan Handoko dan keluarganya. Mereka sudah lama bermusuhan, dan kamu baru saja memperburuk keadaan. Maya bisa marah besar kalau tahu kamu terlibat masalah dengan Ricko.”

Nathan melirik Livia sebentar sebelum kembali fokus ke jalan. “Kenapa Maya harus marah? Aku hanya membela diri dari seseorang yang memulai lebih dulu. Apa salahnya?”

Livia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. “Karena Maya ingin menjaga jarak dari Tuan Handoko. Mereka punya sejarah buruk, dan sekarang kamu malah terlibat dengan putra mahkotanya. Maya tidak akan senang kalau kamu membuat masalah ini makin rumit.”

Nathan tetap diam, tapi wajahnya memperlihatkan bahwa ia belum sepenuhnya memahami beratnya situasi yang sedang terjadi. Nathan mengemudikan mobil dengan tenang, meski ketegangan dari Livia di sampingnya terasa jelas. Ia tahu Livia tidak setuju dengan apa yang baru saja terjadi, namun Nathan tetap merasa santai. Livia akhirnya membuka suara, matanya penuh kekhawatiran.

“Kamu tidak bisa memisahkan masalah pribadi dengan pekerjaan dalam hal ini, Nathan,” ucap Livia dengan tegas.

Nathan menggelengkan kepala sambil tetap memandang ke depan. “Itu omong kosong, Liv. Masalah pribadi tidak seharusnya dihubung-hubungkan dengan urusan pekerjaan. Apalagi ini hanya duel kecil. Ricko memulai duluan, dan aku hanya merespon.”

Livia menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh dengan serius. “Kalau ini bukan antara Maya dan Tuan Handoko, mungkin ucapanmu ada benarnya. Tapi ini sudah menyangkut mereka. Kamu nggak paham, Nathan. Masalah sekecil apapun antara kita dan Ricko, cepat atau lambat akan menyeret konflik besar antara Maya dan Tuan Handoko.”

Nathan melirik Livia dengan bingung. “Sebesar apa sih masalah antara Maya dan Tuan Handoko? Sampai segitunya mereka saling bermusuhan?” tanyanya, setengah penasaran.

Livia menatap Nathan sejenak, sebelum menjelaskan dengan nada lebih serius. “Dulu, mereka pernah bekerja sama dalam sebuah proyek besar. Nilainya triliunan. Proyek itu seharusnya membuat mereka berdua semakin kaya, dan membuka banyak peluang. Tapi… keduanya terlalu serakah.”

Nathan tetap fokus mengemudi, namun ia mendengarkan dengan seksama. “Serakah gimana?” tanyanya singkat.

Livia menghela napas sebelum melanjutkan. “Maya mencoba mencuri investor Handoko. Dia memanipulasi laporan keuangan, mencoba menempatkan dirinya sebagai pihak yang paling untung dalam proyek itu. Tapi Handoko tidak tinggal diam. Dia membayar mitra bisnis Maya untuk memberinya informasi rahasia. Bahkan dia berusaha menyabotase operasional proyek Maya. Pada akhirnya, pengkhianatan mereka terbongkar, dan proyek itu hancur.”

Nathan mengangkat alis, tapi tetap tenang. “Dan mereka berdua rugi besar?”

“Ya,” jawab Livia. “Keduanya mengalami kerugian besar. Proyek yang seharusnya menguntungkan berakhir kacau. Sejak saat itu, mereka saling menyalahkan, dan perseteruan mereka makin dalam. Kamu tahu sendiri, Nathan. Maya bukan tipe orang yang bisa memaafkan dengan mudah, begitu juga Handoko.”

Nathan hanya mengangguk pelan. “Jadi semua ini berakar dari keserakahan?”

Livia mengangguk. “Benar. Mereka berdua sama-sama ingin menguasai proyek itu sendirian. Dan akibatnya, sekarang mereka saling membenci. Setiap gesekan kecil bisa jadi alasan untuk memperparah situasi.”

Nathan tersenyum tipis. “Baiklah, kalau memang begitu, kita lihat saja nanti apa yang terjadi. Aku tidak takut. Kalau pun situasi ini akan berkembang, aku akan siap menghadapinya.”

Livia mendesah, merasa Nathan masih meremehkan situasinya. “Kamu terlalu santai, Nathan. Tapi aku berharap kamu siap dengan konsekuensinya.”

Nathan menatap Livia sejenak, sebelum kembali fokus pada jalan. “Aku selalu siap, Liv. Apapun yang terjadi, aku akan hadapi. Kita lihat saja bagaimana ini berkembang.”

Nathan dan Livia tidak berbicara lagi setelah percakapan tadi. Suasana di dalam mobil terasa hening. Nathan tetap fokus pada jalanan, sedangkan Livia sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka tiba di depan gedung perusahaan Nathan tanpa sepatah kata tambahan. Livia melihat ke arah gedung itu sejenak, lalu menghela napas sebelum akhirnya memutuskan untuk turun.

“Aku balik ke kantor dulu,” kata Livia singkat sambil menutup pintu mobil.

Nathan hanya mengangguk, lalu melihat Livia berjalan menuju mobilnya. Tanpa berlama-lama, Nathan masuk ke basement gedung kantornya sendiri dan memarkir mobil di sana. Ia bergerak cepat menuju ruang kerja yang terletak di lantai atas. Begitu tiba, ia langsung membuka berkas-berkas yang sudah menumpuk di meja. Beberapa laporan penjualan menunggu untuk ditandatangani, sementara email-email dari mitra bisnis terus masuk ke layar komputer.

Nathan mencoba membaca setiap dokumen dengan hati-hati. Angka-angka dan analisis pasar tampak rumit baginya, begitu pula strategi penjualan yang terasa asing. Ia belum terbiasa mengambil keputusan besar, jadi beberapa kali ia harus berhenti sejenak untuk memikirkan langkah yang tepat. Laporan keuangan membuatnya ragu, sementara pergerakan investasi sulit dipahaminya sepenuhnya. Ketika ia mencoba menyusun rencana untuk pertemuan dengan klien minggu depan, beberapa kali ia membuka catatan untuk memastikan tidak ada yang terlewat. Telepon di kantornya beberapa kali berdering, membawa masalah yang membuat Nathan sedikit kewalahan.

Waktu berlalu tanpa terasa. Nathan hanya menyadari betapa sibuknya hari itu ketika langit di luar jendela mulai memerah, menandakan sore telah tiba. Dengan satu tarikan napas panjang, ia merapikan berkas terakhir yang dikerjakan. Setelah memastikan tidak ada lagi yang mendesak, Nathan mematikan komputernya dan bersiap untuk pulang.

Tanpa berpikir panjang lagi, Nathan memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, lalu melangkah keluar dari ruang kerja dan berjalan menuju lift. Setelah pintu lift terbuka, ia masuk dan menekan tombol untuk menuju basement. Saat lift berhenti, Nathan keluar dan berjalan melewati deretan mobil hingga menemukan mobilnya yang terparkir di pojok. Ia membuka pintu mobil, masuk, lalu menyalakan mesin. Tanpa berlama-lama, ia melaju keluar dari basement, meninggalkan gedung dan mengarahkan mobilnya menuju rumah. Pemuda itu mengemudi menuju rumah tanpa banyak berpikir, hanya fokus pada perjalanan di depan.

Sesampainya di rumah, Nathan memarkir mobil di garasi, turun, dan memasuki rumah. Ia berjalan melewati ruang tengah yang sepi, menaiki tangga menuju lantai atas. Saat mencapai lantai atas, Nathan langsung menuju kamarnya. Ia membuka pintu, masuk, dan menutup pintu di belakangnya. Sesaat setelah itu, ia meletakkan tas di kursi dan akhirnya merebahkan tubuh di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran kosong. Rasa lelah mulai menguasai tubuhnya, kelopak matanya perlahan menutup, dan tanpa disadari, Nathan pun tertidur.

Nathan terbangun oleh suara ketukan di pintu. Matanya masih terasa berat, tapi ia mendengar suara kepala rumah tangga memanggil dari balik pintu. “Tuan Muda, Nyonya Besar dan Tuan Besar sudah menunggu di ruang makan.”

Nathan duduk di tepi tempat tidur, mengumpulkan kesadaran. “Baik, saya segera turun,” jawab Nathan dengan suara pelan namun tegas. Ia berjalan menuju kamar mandi, menyalakan keran, dan membasuh wajah dengan air dingin. Setelah itu, ia mengambil pakaian bersih dari lemari, lalu mengganti pakaian seadanya. Ia tidak ingin membuat ibunya menunggu lama.

Setelah selesai, Nathan melangkah keluar dari kamarnya. Ia berjalan menyusuri koridor, menuruni tangga menuju ruang makan. Di ujung lorong, Nathan melihat pintu ruang makan terbuka lebar, suara-suara dari dalam sudah mulai terdengar samar. Nathan melangkah ke ruang makan dan melihat Maya duduk di ujung meja, sementara Denis duduk di sampingnya. Keduanya tampak serius, seperti tengah membicarakan sesuatu yang penting. Nathan mendekat, mengambil kursi yang sudah disiapkan untuknya.

Maya tersenyum tipis saat melihat Nathan. “Akhirnya kamu datang juga. Tapi kami sudah selesai makan.”

Nathan duduk, mengangkat sendok dan mencicipi masakannya. “Maaf, tadi aku tertidur.”

Denis menyeringai kecil. “Tidur nyenyak rupanya. Sementara kita menunggu lama.”

Nathan melirik Denis sejenak, memilih untuk tidak menanggapi. Ia beralih ke Maya. “Ada yang ingin dibicarakan?”

Maya menatapnya serius. “Kita perlu membahas tentang Ricko. Ini tidak bisa dianggap sepele.”

Nathan mengangkat alis. “Apa yang perlu dibicarakan? Sudah selesai.”

Denis menyela, “Selesai? Kamu tidak sadar apa yang kamu lakukan, Nathan. Ricko bukan orang sembarangan.”

Nathan menatap Denis tajam. “Aku tahu siapa Ricko. Tapi aku tidak peduli.”

Maya menghela napas panjang, suaranya lebih tenang. “Nathan, kamu harus memikirkan dampak tindakanmu. Ricko punya koneksi kuat. Kita sedang dalam posisi yang rapuh dengan pihak-pihak tertentu.”

Nathan tetap tenang. “Kalau dia merasa terhina, biar saja dia datang padaku.”

Maya tampak frustrasi. “Ini bukan hanya masalah harga diri. Ini bisa berdampak besar pada kita semua. Jangan anggap enteng.”

Denis menambahkan, “Ricko adalah putra Tuan Handoko, dan dia tidak akan membiarkan ini begitu saja.”

Nathan menatap Denis, lalu kembali ke Maya. “Kalau begitu, kita hadapi bersama.”

Maya berkata, “Nathan, aku ingin kamu mengkonsolidasi semua pegawai keamanan. Kita perlu mengantisipasi kemungkinan tindakan balasan dari pihak Ricko.”

Nathan mengangguk, mendengarkan dengan seksama. Tetapi pemuda itu kemudian bertanya, “Mengapa kamu berpikir mereka akan melakukan hal itu?”

Maya melanjutkan, “Keluarga besar Ricko terkenal tidak segan-segan dalam mengambil tindakan. Aku prediksi mereka akan melakukan perhitungan setelah kejadian itu.”

Nathan mengernyit, “Jadi, kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk?”

“Betul,” jawab Maya tegas. “Pastikan semua akses ke rumah dan perusahaan diperketat. Jangan anggap remeh, Nathan.”

Nathan mengangguk mantap. “Baik. Aku akan segera menghubungi tim keamanan.”

Denis ikut menambahkan, “Jangan lupakan komunikasi dengan pihak berwenang. Kita harus menunjukkan bahwa kita siap menghadapi segala situasi.”

Nathan menjawab, “Aku mengerti. Aku akan mengatur semuanya.”

Maya tersenyum sedikit, merasa puas. “Bagus. Aku ingin kamu bergerak cepat. Kita tidak bisa membiarkan mereka merasa berkuasa.”

Maya dan Denis meninggalkan ruang makan. Maya melangkah dengan tegas, sementara Denis mengikuti di belakangnya. Suasana di ruang makan terasa lebih sunyi setelah mereka pergi. Nathan mendengar langkah kaki mereka menjauh, hingga hanya tersisa suara detakan jam di dinding. Ia melanjutkan makan malamnya, menyantap hidangan yang tersisa dengan tenang. Ia menyesap setiap rasa, menikmati keheningan di sekelilingnya.

Ia merenungkan semua yang baru saja dibicarakan. Pikiran tentang dunia bisnis yang sedang digelutinya terlintas di benaknya. Ternyata, dunia ini tidak sesederhana yang ia baca dalam buku. Banyak aspek yang tidak tertulis, banyak dinamika yang tidak terduga. Meski begitu, Nathan merasa yakin semuanya akan bisa ia hadapi. Ia tahu dengan tekad dan usaha, ia dapat menjalani semua tantangan yang ada di depan.

Tak lama berselang, Heni muncul di ambang pintu. Ia membungkuk hormat pada Nathan, tampak ragu-ragu. Nathan langsung teringat akan pembicaraan mereka tempo hari tentang situasi di perusahaan. Heni menghampiri Nathan dan berdiri di dekatnya, terlihat ingin berbicara. Nathan melihat Heni seperti ragu-ragu untuk memulai percakapan.

Nathan pun mendahului Heni, “Aku tahu apa yang ingin kamu bicarakan. Tentang ritual Sanghyang Jiva, kan?”

Heni mengangguk, tampak lega karena Nathan sudah tahu, “Ritual itu hanya satu minggu lagi. Saya ingin memastikan apakah Tuan Muda ingin terlibat. Jika tidak pun tidak apa-apa.” Suaranya tenang, tetapi ada kekhawatiran yang tersirat di balik kata-katanya.

Nathan berpikir sejenak. “Aku akan menjawab pertanyaanmu itu besok malam,” ujarnya. Ia ingin mempertimbangkan semuanya dengan lebih matang.

Heni melanjutkan, “Mungkin lebih baik Tuan Muda tidak usah terlibat. Tuan Muda sudah mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Nyonya Besar. Terlalu banyak risiko jika Tuan Muda ikut campur dalam ritual itu.”

Nathan merespons, “Aku belum bisa memutuskan. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Tunggu saja sampai besok malam.” Ia merasa ada banyak hal yang perlu ia pertimbangkan sebelum mengambil keputusan penting ini.

Heni menarik napas panjang, merasa lega meski tetap khawatir. “Baiklah,” katanya, sambil mundur selangkah untuk memberikan jalan bagi Nathan. Nathan berdiri, menyisakan piring kosong di depannya. Ia merapikan letak kursinya dan menatap Heni sejenak sebelum melangkah maju.

Dengan langkah tenang, Nathan menuju pintu keluar ruang makan. Suasana di sekelilingnya kembali sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar jelas. Heni mengamati Nathan dengan cermat, berharap ia membuat keputusan yang tepat. Nathan merasakan perhatian Heni, tetapi ia tetap fokus pada langkahnya. Pemuda itu melangkah keluar dari ruang makan, melupakan sejenak semua yang telah dibicarakan.

Nathan melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga. Ia yakin Maya dan Denis berada di sana. Nathan ingin mencoba mendekatkan diri dengan Denis. Harapannya, hubungan mereka bisa lebih akrab dan kecanggungan yang terasa dapat hilang. Bagaimanapun, mereka kini hidup di satu atap. Nathan merasa perlu untuk menciptakan suasana yang lebih bersahabat di antara mereka.

Sesampainya di ruang keluarga, Nathan terkejut saat mengetahui Denis tidak ada di sana. Hanya Maya yang tampak duduk di sofa panjang, terfokus pada berita yang tayang di televisi. Nathan menghampiri Maya. Ia duduk di sebelahnya, berusaha menghadirkan suasana lebih santai.

“Berita apa itu?” tanyanya sambil mencoba tersenyum.

Maya tidak mengalihkan pandangannya ke layar, “Berita tentang perseteruan bisnis. Kamu seharusnya lebih memperhatikan ini, Nathan.”

Nathan menatap layar televisi. Berita yang ditayangkan membahas dugaan skandal dalam perusahaan ritel besar. Seorang pembawa berita melaporkan, “Perusahaan Alpha Retail dilaporkan terlibat dalam manipulasi harga dan penggelapan dana. Investigasi telah dibuka oleh pihak berwenang setelah sejumlah mantan karyawan mengajukan keluhan. Sementara itu, CEO perusahaan, Bapak Arya, menolak semua tuduhan dan mengklaim bahwa ini adalah serangan dari pesaing.”

“Ternyata dunia bisnis sangat mengerikan,” ujar Nathan setelah berita yang disaksikannya selesai.

“Kamu tidak bisa membiarkan ketakutan ini menguasaimu. Dunia bisnis adalah tempat yang keras,” ujar Maya dengan tegas.

Nathan menatap Maya, “Tapi, aku tidak ingin terjebak dalam skandal seperti itu.”

Maya menggelengkan kepala, “Ketidakpastian adalah bagian dari permainan. Kamu harus tegas. Jika perlu, berbuat keras pada pesaing. Mereka tidak akan ragu untuk menjatuhkanmu jika kamu lemah.”

Nathan merasakan berat nasihat Maya, “Tapi bagaimana jika aku kehilangan semuanya? Jika aku salah mengambil langkah?”

“Semua orang pernah merasa takut. Yang terpenting adalah bagaimana kamu menghadapi ketakutan itu. Kuatlah, Nathan. Percayalah pada dirimu sendiri,” jawab Maya, menatapnya dalam-dalam.

Nathan mendengarkan, merenungkan kata-kata Maya, “Baiklah, aku akan mencoba,” ujarnya pelan.

Maya tersenyum, “Itu yang aku ingin dengar. Ingat, jika kamu ingin bertahan, kamu harus berani. Jangan pernah ragu untuk mengambil langkah.” Dan Maya kemudian melanjutkan ucapannya, “Oh ya … Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”

Nathan menatap Maya, lalu menghela napas sejenak sebelum mulai menceritakan pekerjaannya hari ini. “Aku banyak belajar hari ini. Beberapa dokumen analisis pasar yang kubaca ternyata lebih rumit dari yang kukira, tapi aku mencoba memahaminya.”

Maya mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya mengikuti setiap gerak Nathan yang berbicara. “Kamu cepat beradaptasi, Nathan. Bahkan di awal karirmu, kamu sudah bisa menghadapi tantangan yang tidak mudah,” ucap Maya sambil tersenyum tipis, matanya menunjukkan kekaguman yang tulus.

Nathan mengangguk pelan, masih menceritakan tantangan-tantangan kecil yang ia hadapi dalam menjalankan tugasnya. Sesekali, Maya mengomentari dengan nada lembut, memberikan masukan seperti seorang mentor, namun dengan rasa bangga yang terlihat jelas. Tangan Maya bergerak menyentuh bahu Nathan secara natural, memberikan sentuhan yang menguatkan, meski tidak diucapkan secara langsung.

“Mungkin aku masih perlu belajar,” Nathan berkata dengan suara tenang, “Tapi aku bisa merasakan bahwa suatu hari, aku akan memahami semua ini dengan baik.” Ia menoleh pada Maya, sedikit ragu sebelum menambahkan, “Menurutmu?”

Maya mengangguk, matanya tetap terfokus pada wajah Nathan. “Kamu lebih dari sekadar berpotensi. Aku percaya, suatu hari nanti, kamu akan menjadi pengusaha yang hebat, jauh melebihi apa yang aku miliki sekarang.” Ucapan Maya tegas, namun dengan kehangatan yang hanya bisa dimiliki oleh seorang ibu.

Percakapan berlanjut dengan lebih santai, Maya membiarkan Nathan berbicara tentang kesulitannya, dan setiap kali ia berhenti, Maya hanya tersenyum, memberinya pandangan penuh dukungan. Tanpa sadar, keduanya semakin dekat di sofa.

Maya sedikit membenarkan duduknya, mendekatkan tubuhnya ke arah Nathan. “Kamu sudah melakukan lebih dari cukup hari ini. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.” Tangan Maya perlahan menyentuh lengan Nathan, dan Nathan pun balas menyentuh tangan Maya.

Perlahan, Nathan merengkuh tubuh Maya. Kedua tangannya melingkar di perut Maya. Ia duduk dengan tenang, merasakan kehangatan dari wanita itu. Maya tersenyum tanpa berkata apa-apa, lalu mengangkat tangannya dan menyentuh tangan Nathan yang melingkar di perutnya. Setelah itu, Maya menyandarkan punggungnya ke dada Nathan, membiarkan dirinya berada dalam dekapan Nathan.

“Oh ya … Denis kemana?” tanya Nathan.

“Denis sedang bertemu dengan Tonbes, kepala keamanan perusahaan,” jawab Maya.

Nathan mengerutkan dahi. “Tonbes? Bukannya Raka yang mengurus keamanan?”

Maya tersenyum kecil, menyadari kebingungan Nathan. “Raka hanya bertanggung jawab untuk keamanan di rumah ini. Dia mengatur para penjaga dan memastikan semuanya di sini aman. Sedangkan Tonbes… dia berbeda. Dia yang menangani seluruh urusan keamanan perusahaan, dari pengawasan proyek hingga perlindungan aset.”

Nathan mengangguk, meskipun masih sedikit bingung. “Lalu kenapa Denis yang kamu suruh bertemu dengan Tonbes? Bukankah itu bagian dari tugas?”

Maya menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Aku hanya merasa kasihan pada Denis. Dia selalu terlihat seperti tidak punya arah yang jelas, jadi aku memberinya sedikit tanggung jawab untuk membuatnya merasa dibutuhkan.”

Nathan terdiam, mencerna apa yang baru saja dikatakan Maya. “Jadi, ini hanya untuk membantunya merasa lebih baik?”

“Ya, Denis butuh sesuatu yang membuatnya merasa berarti. Dan aku tahu kamu bisa mengerti hal itu, Nathan,” ucap Maya sembari membalikan tubuh, dan kini mereka saling berhadapan.

Nathan menatap Maya, lalu mengangguk pelan, mencoba memahami perasaan Maya terhadap Denis. Perlahan Nathan mendekatkan wajahnya ke wajah Maya, kedua bibir mereka saling menempel. Nathan memagut mesra bibir Maya, mencium bibir itu penuh kelembutan. Maya seakan terhipnotis oleh tatapan Nathan, dan ketika pria itu mencium bibirnya, ia pun diam saja. Maya tak memungkirinya, ciuman Nathan terasa begitu memabukannya. Dan ia pun menerima ciuman itu. Bibir keduanya kemudian saling memagut, dan melumat penuh gairah.

” Aaahhh…” satu desahan lolos dari bibir Maya, membuat Nathan semakin liar mencumbu Maya.

Cumbuan Nathan perlahan-lahan turun ke leher Maya. Nathan menjilat dan menyesap leher mulus wanita cantik itu dengan lembut, merasakan keharuman kulitnya yang memikat. Setiap sentuhan lidahnya seolah membawa Maya lebih dalam ke dalam lautan nikmat. Sesekali, Nathan menggigitnya dengan ringan, memberikan sedikit rasa geli yang membuat Maya tergetar.

” Aaahhh… Sayang…” nikmat Maya, merasakan sesuatu yang membuatnya geli serta menggelitik area lehernya. Maya meremas kuat rambut Nathan, memberi akses Nathan untuk melakukan sesuatu yang lebih kepadanya. “Aaahh … Sayang … Jangan di sini …” pinta Maya mendesah-desah.

Tiba-tiba, dengan sekali sentakan, Maya sudah berada dalam gendongan Nathan. Posisi bridal style membuat wanita itu merasa terkejut, namun Maya tidak melawan. “Kamu siap?” tanya Nathan sambil tersenyum.

Maya mengangguk dan langsung melingkarkan kedua lengannya di leher Nathan. Nathan membawa Maya menuju tangga. Suara kaki pemuda itu menggema di lorong yang sepi. Maya hanya bisa menatap Nathan, menikmati momen tersebut. Akhirnya Nathan berhasil mencapai kamarnya dan setelah membuka pintu kamar. Nathan berjalan menuju tempat tidur, mencium Maya dengan lembut sebelum merebahkannya di atas kasur. Ia menatap Maya, seolah melihat harta paling berharga di dunia ini. Dengan gerakan lembut, Nathan mulai melucuti pakaian Maya, dimulai dari lengan bajunya yang meluncur perlahan ke lantai. Pemuda itu kemudian melepas celana panjang dan celana dalam Maya dengan penuh perhatian, memperhatikan setiap inci tubuhnya yang tampak sempurna dalam cahaya lembut kamar. Maya terbaring telanjang di atas tempat tidur, kulitnya bersinar, menampilkan keindahan yang mengundang. Nathan mengagumi pemandangan di depannya.

Maya tersenyum melebar ketika Nathan melepas semua kain yang menempel di tubuhnya. Nathan menatap Maya dengan tatapan penuh hasrat. Nathan mendekat, menelusuri garis tubuh Maya dengan ujung jarinya. Maya merespons dengan menutup mata, menikmati setiap sentuhan, merasakan getaran nikmat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Didorong oleh gejolak birahinya yang menggelora, Maya membuka pahanya lebar-lebar, memberikan ruang bagi Nathan untuk menindihnya dengan leluasa. Dalam posisi itu, mereka saling melengkapi satu sama lain, membangkitkan gairah yang menggelora di antara mereka. Perlahan, Nathan merasakan penisnya memasuki vagina Maya, dan sensasi hangat, basah, dan licin itu membuatnya terpesona. Desakan birahi semakin menyergap, dan Nathan mulai memacu gerakannya lebih cepat, sementara Maya hanya bisa mendesah dengan mata terpejam, tangan wanita itu mengusap-usap kepala pemuda yang sedang menggagahinya.

Nathan merasakan tubuh Maya semakin menggelinjang dan bertambah liar, seolah semua ketegangan yang terakumulasi siap untuk dilepaskan. Tak lama kemudian, Maya memeluknya dengan sangat ketat, mengeluarkan pekikan panjang yang menggema di ruangan. “Aaaahhkk … Sayang …!!!” teriaknya, dan saat itu juga, ledakan orgasme menyerang Maya, membuat Nathan merasakan cairan hangat yang menyiram penisnya di dalam lorong cinta Maya.

Kali ini, Nathan memperlambat gerakannya. Ia merasakan kehangatan vagina Maya yang masih menggenggamnya. Pemuda itu menatap wajah Maya yang kemerahan, matanya tertutup, menandakan rasa puas dan nyaman yang mengalir di antara mereka. Dengan lembut, Nathan membungkuk dan mencium hidung Maya, lalu beralih ke bibirnya.

Maya merasakan sentuhan lembut itu. Perlahan, ia membuka matanya, dan senyumnya merekah.

Maya mengusap lembut wajah Nathan dengan telapak tangannya. “Nathan,” katanya dengan nada menggoda, “kamu sangat perkasa. Aku bangga memilikimu.”

Nathan tersenyum, merasakan aliran gairah yang membara di antara mereka. “Kamu sangat menggairahkan.”

Maya mengerling nakal, “Sungguh? Apa yang membuatku begitu menggairahkan bagimu?”

“Semua yang ada pada dirimu menggairahkanku. Itu semua membuatku ingin lebih,” balas Nathan dengan penuh percaya diri.

Maya mendekat, berbisik, “Aku suka saat kamu menunjukkan sisi dominan. Rasanya seperti aku sepenuhnya milikmu.”

“Dan aku ingin kamu tahu, aku berusaha keras untuk menyenangkanmu,” kata Nathan, menatap matanya dengan intens.

Maya menggigit bibirnya, merasa terangsang. “Kau tahu, ada saat-saat aku membayangkan hal-hal yang lebih liar antara kita.”

Nathan mengangguk, merasakan ketegangan yang meningkat. “Seperti apa? Aku ingin tahu pikiranmu.”

“Nanti aku akan ceritakan … Sekarang lanjutkan pekerjaanmu …” ucap Maya masih dengan senyumannya.

“Kamu siap?” tanya Nathan.

“Ya … Lakukanlah …” desah Maya.

Nathan masih bergerak perlahan, berusaha membangkitkan birahi Maya sekali lagi. Tak lama kemudian, ia merasakan gairahnya kembali mencair. Maya tetap bersikeras tidak ingin mengganti posisinya, ingin tetap berada di bawah. Dengan semangat yang membara, Nathan mulai mempercepat gerakannya, merasakan penisnya keluar masuk dalam vagina Maya yang semakin licin dan hangat.

Desahan demi desahan mengiringi deru napas mereka yang berirama. Gelombang birahi menyala di dalam tubuh mereka, semakin kuat seiring dengan intensitas gerakan Nathan. Ia melihat Maya terhanyut kembali dalam gelombang gairah yang menggebu-gebu. Suara desahan dan pekikan kenikmatan kembali mengalir dari bibir Maya, menambah panasnya suasana yang sudah membara di antara mereka.

Saat Nathan menggenjot Maya dengan penuh gairah, pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah kepala yang terlihat sedikit nongol di pintu yang setengah terbuka. Ia terkejut saat menyadari pemilik kepala itu adalah Denis. Denis pun menyadari keberadaannya yang ketahuan. Dengan cepat, ia menarik kepalanya dan bersembunyi di balik pintu. Nathan merasa aneh dengan tingkah Denis. Sebelum Denis menarik kepalanya, Nathan melihat ada secercah ekspresi di wajah Denis yang seakan menunjukkan bahwa ia menikmati momen intim dirinya dengan Maya. Pikiran itu membuat Nathan merasa heran. Sambil memperlambat gerakan genjotannya terhadap Maya, Nathan berusaha mencerna situasi ini. Ia menyadari bahwa tingkah Denis mungkin tidak hanya sekadar kebetulan. Ada sesuatu dalam cara Denis berperilaku yang membuat Nathan curiga akan ketertarikan Denis terhadap menyaksikan persetubuhannya dengan Maya.

Nathan menunduk, membisikkan sesuatu ke telinga Maya, “Denis menonton kita.”

“Biarkan dia menonton, sayang … Aaaahhh … yang keraaasss,” selain meminta keras Maya pun bersuara keras.

Dengan pikiran yang bingung dan heran terhadap sikap Denis, Nathan kembali fokus pada Maya. Meski perasaannya tak menentu, ia merasa dorongan gairah semakin menguasainya. Nathan menumbuk vagina Maya dengan keras dan cepat. Maya merasakan perubahan dalam intensitas gerakan Nathan. Tubuhnya bergetar, dan ia seolah kehilangan kesadarannya. Suaranya mulai melengking, mengerang dengan kekuatan yang cukup kuat, menggema di seluruh ruangan. Desahan demi desahan keluar dari bibirnya, menciptakan irama yang semakin menggugah gairah Nathan. Lagi-lagi, Maya tak mampu menahan gelombang birahinya, cairan kenikmatannya kembali keluar dan keluar berkali-kali dan akhirnya menetes deras ke kasur di bawahnya.

Nathan merasakan keinginan untuk menikmati kenikmatan yang dirasakan Maya, tetapi ia belum sampai pada puncaknya. Setelah beberapa saat, ia mengangkat kedua kaki Maya ke pundaknya dan bersiap melancarkan serangannya kembali. Ia kembali membelah vaginanya, menghujam dengan mantap. Wajah Maya yang begitu sensual di bawahnya menciptakan ilusi birahi yang membuat Nathan merasa seolah-olah berada di nirwana.

Semakin cepat Nathan bergerak, semakin keras rintihan Maya terdengar. Tiba-tiba, Pemuda itu merasakan denyutan luar biasa yang meremas-remas alat kelaminnya. Semburan hangat dari dalam vagina Maya membungkus seluruh batang dan kepala penisnya. Tanpa bisa ditahan, denyutan nikmat itu merambat cepat, membuat Nathan tak kuasa menahan, ‘croot … croot … croot …’ spermanya menyembur, membasahi rahim Maya.

Nathan terdiam sejenak, merasakan sisa-sisa orgasme yang masih mengalir di dalam tubuhnya. Ia mencabut penisnya yang masih setengah mengeras. Setelah itu, ia berbaring di samping Maya yang masih menutup mata, saling berhadapan. Mereka saling membelai, diiringi dengan kecupan mesra di bibir. Maya membuka matanya. Pandangannya menatap Nathan dengan lembut. Tanpa ragu, ia segera memeluk Nathan sangat erat. Kakinya menumpuk di atas tubuh Nathan.

“Dua hari ini aku mendapatkan seks terbaik yang pernah aku rasakan. Kamu memang terbaik, Nathan …” ungkap Maya lalu mencium bibir Nathan sekilas.

Nathan tersenyum, matanya berbinar. “Kamu benar-benar membuatku tersanjung, Maya. Aku hanya melakukan apa yang menurutku terbaik untuk kita berdua,” jawab Nathan sambil mengusap rambut Maya dengan lembut.

Maya menggigit bibirnya, menahan tawa. “Apa kamu selalu begitu percaya diri? Seolah-olah kamu tahu setiap sudut keinginan tubuhku,” katanya sambil menatap Nathan dengan penuh rasa ingin tahu.

Nathan tertawa kecil, “Mungkin. Tapi aku juga belajar dari pengalaman, dan dari kamu. Setiap gerakanmu, setiap suara yang kamu buat, itu semua petunjuk untukku.”

Maya mengernyitkan dahi, “Petunjuk? Kamu bisa membaca semuanya hanya dari itu?”

“Ya,” jawab Nathan, “Kamu tidak tahu betapa senangnya aku ketika melihat kamu menikmati semuanya. Itu membuatku merasa… puas, dan bangga.”

Maya menyandarkan kepalanya di bahu Nathan. “Rasa puas itu seperti magis. Aku tidak pernah merasa sekuat ini sebelumnya. Semua yang kita lakukan, itu membuatku merasa hidup.”

“Dan aku ingin melakukannya lagi, lebih banyak, lebih dalam,” kata Nathan sambil merangkul Maya.

Maya tersenyum, “Sampai aku tidak bisa bergerak?”

“Persis. Dan kalau perlu, kita bisa melakukannya sepanjang malam,” jawab Nathan sambil menggoda.

“Panjang malam?” Maya mengangkat alis, “Tentu saja, tetapi aku butuh stamina yang cukup. Kamu harus berjanji untuk tidak membuatku kelelahan.”

“Janji,” jawab Nathan dengan serius, “Aku tidak ingin kamu merasa lelah. Semua yang kita lakukan harus menyenangkan.”

“Oh ya … Tadi kamu mengatakan kalau Denis menonton kita?” tanya Maya dengan melebarkan kelopak matanya.

“Iya … Aku melihat dia menyaksikan kita saat bersetubuh,” jawab Natan.

“Jangan-jangan … Dia punya kelainan ya?” ucap Maya ragu.

“Aku juga berpikir begitu. Aku bahkan ingin mengetesnya,” kata Nathan.

“Ngetes? Maksudmu?” tanya Maya tak mengerti.

“Besok atau kapan pun, bagaimana kalau kita bermesraan atau bahkan bercinta di depannya,” jawab Nathan. Tentu saja Maya sangat terkejut.

“Maksudmu, benar-benar di depan Denis?” Maya melirik Nathan, mencoba mencerna rencana tersebut.

“Ya, kenapa tidak? Kita bisa tahu reaksi dia. Jika dia memang punya kelainan, kita bisa melihatnya langsung,” Nathan menjelaskan, terlihat bersemangat dengan idenya.

“Hmm … aku tidak tahu. Apa tidak berlebihan, Nathan?” tanya Maya, sedikit merasa cemas.

“Ayolah, Maya! Ini hanya untuk menguji dan mengeksplorasi. Lagipula, kita tidak akan melakukan hal-hal yang tidak nyaman untuknya. Kita hanya akan bersikap alami,” kata Nathan meyakinkan.

“Baiklah, tapi kita harus berhati-hati. Aku tidak ingin membuatnya merasa tertekan,” Maya akhirnya setuju, meskipun rasa tidak yakin masih tersisa di hatinya.

“Aku janji … Kita akan hati-hati …” ucap Nathan sembari menindih Maya lagi.

“Ihk …. Apa ini?” tanya nanya genit.

“Kita akan melakukannya sepanjang malam, itukan kesepakatan kita tadi,” canda Nathan.

“Aku tidak merasa bersepakat,” Maya berkilah tetapi dia melebarkan pahanya untuk Nathan.

“Kamu orangnya suka ngeles, Maya … Ini terima hukumanmu …” kata Nathan sambil melesakkan penisnya ke dalam vagina Maya.

“Oooohhh ….” Maya melenguh saat diterobos penis Nathan.

Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Maya dan Nathan. Setiap gerakan dan sentuhan Nathan membawa Maya ke puncak kenikmatan berkali-kali, membuatnya terengah-engah dalam euforia. Nathan dapat melihat bagaimana wajah Maya bersinar penuh kenikmatan. Semakin lama, permainan mereka semakin menggairahkan dan penuh gairah. Setiap suara yang keluar dari bibir Maya adalah tanda kepuasan yang mendalam, sebuah ungkapan dari kenikmatan yang tak terelakkan. Dalam momen-momen tersebut, desahan Nathan juga tidak kalah menggairahkan. Mereka saling bertukar desahan dan erangan, seolah-olah kata-kata tidak lagi diperlukan. Kedua tubuh mereka bergerak seirama, mengikuti gelombang gairah yang mengalir di antara mereka.


Pagi itu, Maya duduk di ruang kerjanya yang sepi, dikelilingi tumpukan berkas dan dokumen. Dia sudah berkutat dengan pekerjaannya sejak pagi, menelaah laporan-laporan yang masuk. Maya menyusun laporan-laporan itu dengan teliti, memisahkan mana yang perlu segera ditindaklanjuti. Maya tersenyum-senyum saat membaca laporan yang dibuat Nathan. Laporan itu sangat terperinci dan mudah dipahami. Setiap detail dijelaskan dengan jelas, tanpa ada kebingungan. Maya merasa kagum sekaligus aneh. Dia bertanya-tanya dari mana Nathan belajar semua hal ini. Laporan-laporan sebelumnya tidak pernah sejelas dan seprofesional ini.

Tiba-tiba, pintu ruang kerjanya diketuk. Sebelum Maya sempat mengizinkan masuk, pintu terbuka. Ida, kepala intel yang selalu penuh energi, langsung melangkah masuk dan duduk di kursi depan meja kerja Maya.

Ida menatap Maya dengan serius, “Boss, timku dihubungi oleh kelompok yang menyandera Ronny. Mereka ingin melakukan pertukaran sandera.”

Maya terkejut, “Pertukaran? Dengan siapa?”

“Kelompok itu meminta Nathan sebagai pertukarannya,” jawab Ida.

“Nathan …??? Kenapa mereka meminta Nathan?” Maya bertanya, heran.

Ida mengangguk, “Berarti Nathan memiliki sesuatu yang mereka inginkan. Sesuatu yang besar.”

Maya mengerutkan dahi, berpikir sejenak. “Nathan itu memang misterius. Dia tampak tiba-tiba menjadi sosok yang kuat dan berpengetahuan luas. Laporan-laporannya juga sangat profesional. Apakah kelompok itu mengincar Nathan karena kemampuannya yang luar biasa?”

Ida menggelengkan kepala. “Kelompok itu pasti mengincar sesuatu dari Nathan. Bukan karena bakat atau talenta. Orang-orang sekarang kurang membutuhkan hal seperti itu.”

“Apa yang berharga yang dimiliki Nathan?” tanya Maya.

“Aku belum tahu, tapi aku akan mencari tahu,” jawab Ida.

“Bagus. Aku mendukung langkahmu. Lalu, apa yang akan kamu lakukan dengan masalah Ronny ini?” Maya melanjutkan pertanyaannya.

Ida berpikir sejenak. “Aku akan mengulur waktu sampai mendapatkan jawaban apa yang dimiliki Nathan sehingga dia begitu berharga. Posisi kita unggul. Menurutku, kelompok penyandera itu tolol. Mereka memberi tahu kita nilai tukar antara Ronny dan Nathan. Nathan jauh lebih berharga daripada Ronny. Jika pun Ronny mati, bagi kita tidak ada ruginya.”

Maya tersenyum, “Lakukan apa yang harus kamu lakukan, Ida.”

Ida mengangguk, “Aku minta izin untuk keluar ruangan.”

“Silakan. Segera laporkan jika ada perkembangan,” kata Maya.

“Siap Boss …”

Ida berdiri dan keluar ruangan, meninggalkan Maya. Maya merenung. Pikirannya terpusat pada Nathan. Ada sesuatu yang tidak biasa dari Nathan, dan sekarang Maya menyadarinya. Nathan adalah orang yang berbeda. Kejutan demi kejutan datang darinya. Kemampuan tarung yang tiba-tiba melonjak. Profesionalitas kerja yang tiba-tiba baik dan mengalahkan pegawai lain. Nathan mampu melihat celah di mana orang lain sering kali terlewat. Maya tahu bahwa kemampuan semacam itu tidak datang begitu saja. Ada sesuatu yang besar di balik sosok Nathan.

Namun, kini Maya melihat Nathan bukan dari kemampuan atau kecerdasan yang membuatnya bernilai. Kelompok penyandera ingin menukarnya dengan Ronny. Hal ini membuat Maya bertanya-tanya, apa sebenarnya yang ada pada Nathan? Apakah hanya kemampuan analitisnya yang membuatnya begitu berharga? Atau ada sesuatu yang lain, sesuatu yang bahkan Nathan sendiri mungkin tidak sadari?

Maya merasa situasi ini lebih besar dari yang tampak di permukaan. Nathan bukan sekadar anak ajaib, tapi dia pasti memiliki sesuatu yang sangat diinginkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan. Maya tahu dia harus mencari tahu lebih banyak tentang Nathan, sebelum semuanya terlambat.

Bersambung​

1 thought on “CERBUNG – NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *