Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 22

Nathan berdiri kaku di ruangan kerjanya, terkejut mendengar laporan dari anak buahnya. Denis terluka parah dan kritis di rumah sakit. Berita itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. Pikiran Nathan berputar. Ia tidak dapat membayangkan Denis terbaring lemah, terasing dari dunia, dalam keadaan tidak berdaya. Ketidakpastian menyelimutinya. Siapa yang melakukan ini? Nathan merasakan gelombang kemarahan dan kekhawatiran bersatu dalam dirinya. Ia merasa perlu segera mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas serangan ini.

Nathan tidak membuang waktu. Setelah menerima kabar buruk tentang Denis, ia segera memutuskan untuk pergi ke Kota Cirebon. Dengan langkah cepat, ia keluar dari kantornya dan menuju ke helipad pribadi. Helicopter sudah menunggu, siap membawanya ke tempat yang dituju. Sesaat setelah lepas landas, pemandangan kota mulai mengecil di bawahnya. Ketenangan udara kontras dengan hiruk-pikuk pikiran Nathan. Ia menatap ke luar jendela, berusaha menenangkan diri. Berbagai skenario tentang apa yang mungkin terjadi pada Denis terlintas dalam benaknya.

Setibanya di Kota Cirebon, helikopter mendarat di atap rumah sakit. Nathan langsung keluar, tidak peduli dengan keamanan atau protokol. Tujuannya hanya satu: menjenguk Denis. Ia bergegas menuju pintu masuk rumah sakit, hatinya berdebar kencang. Ketika melangkah ke dalam gedung, suasana dingin dan steril menyambutnya. Suara mesin medis dan percakapan dokter terdengar di sekitarnya.

Nathan berlari menuju ruang perawatan, melewati koridor yang dihiasi lampu neon dingin. Nathan membuka pintu ruang perawatan dan langsung melihat Denis terbaring lemah di ranjang. Di sampingnya, Maya sudah ada, duduk dengan wajah tegang. Melihat ibunya di sana membuat perasaannya campur aduk. Dia merasa khawatir melihat Denis, tetapi kehadiran Maya juga membuatnya merasa tidak nyaman. Nathan berusaha menenangkan diri, tetapi saat tatapan mereka bertemu, rasa cemas dan bingung semakin menguasainya. Nathan kemudian mendekat ke tepi ranjang dan berdiri di samping Maya, merasa sulit untuk berbicara.

Maya menatap tubuh Denis yang tak berdaya, wajahnya serius dan matanya penuh kecemasan. “Denis terluka sangat parah. Bagian dalam tubuhnya rusak parah.”

Nathan merasakan jantungnya berdegup kencang. “Apa maksud Bunda? Apakah dia bisa diselamatkan?”

Maya menggelengkan kepala. “Tidak ada harapan. Dokter bilang dia tinggal menunggu waktu saja.”

Kata-kata itu menghantam Nathan seperti tamparan. Ia mengerutkan kening, berusaha mencerna informasi yang baru saja didengarnya. “Jadi, tidak ada yang bisa kita lakukan?”

Maya menundukkan kepala, suaranya pelan. “Kita sudah mencoba segalanya. Sekarang, yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu.”

Nathan merasa hancur. Dia tidak siap kehilangan Denis. “Ini tidak bisa terjadi,” bisiknya, tetapi perasaannya menguap dalam keheningan ruangan. “Bunda, tolong lakukan sesuatu. Aku percaya Bunda bisa mengusahakan agar Denis tetap hidup.”

Maya tetap menatap Denis, suaranya lembut namun tegas. “Terkadang hidup tidak memberi kita pilihan. Ada kalanya kita harus menerima kenyataan.”

Nathan merasa marah. “Tapi, Bunda … Bunda bisa melakukannya! Bunda punya kemampuan itu! Jangan menyerah pada keadaan!”

Maya menghela napas panjang, hatinya penuh beban. “Nathan, menggunakan kemampuanku untuk memindahkan roh bukanlah hal yang sepele. Itu bisa mengubah segalanya dan ada konsekuensi yang harus kita hadapi.”

Nathan tidak terima dengan alasan itu. “Tapi … Dia tidak seharusnya pergi seperti ini. Bunda harus melakukan sesuatu!”

Maya menutup matanya sejenak, berusaha menahan air mata yang mulai mengalir. “Aku ingin menyelamatkannya, tetapi kadang, kita harus menghadapi kenyataan pahit. Mengorbankan satu jiwa untuk menyelamatkan yang lain bukanlah keputusan yang mudah.”

Nathan merasa kesal dengan perubahan ekstrem pada Maya. Sifatnya yang dulu gelap seolah lenyap tanpa jejak. Maya yang dulu mengerikan kini tampil tenang dan lembut, seolah tidak memiliki sisi gelap yang pernah ada. Perubahan itu membuat Nathan bingung. Dia merindukan kekuatan dan keberanian yang pernah dimiliki Maya. Nathan mulai menyesali keputusan yang diambilnya untuk membebaskan sukma Maya dari penjara siluman serigala. Dia merasa bahwa tindakan itu justru membawa masalah baru.

Nathan merasa frustrasi, suaranya agak meninggi, “Bunda … Bunda harus melakukan sesuatu! Denis tidak seharusnya berakhir seperti ini. Dia membutuhkan Bunda. Bunda bisa menyelamatkannya!”

Maya menggelengkan kepala, suaranya lembut namun tegas. “Aku tidak bisa. Ada hal yang lebih besar daripada sekadar menyelamatkan satu orang. Kadang, kita harus membiarkan hal-hal berjalan sesuai takdir.”

Nathan menunduk sambil merasakan frustrasi. Dia tidak dapat memahami keputusan Maya yang tegas. Kesedihan dan kemarahan bercampur dalam pikirannya. Akhirnya, Nathan mundur perlahan lalu keluar dari ruang perawatan. Saat berada di luar, dia dihadang oleh Ida. Wanita itu langsung menarik tangan Nathan. Tanpa menjelaskan apa pun, Ida membawa Nathan ke taman di tengah rumah sakit.

Nathan dan Ida duduk berhadapan di sebuah gazebo di tengah taman rumah sakit. Mata Ida tajam mengarah ke Nathan, penuh dengan pengamatan yang mendalam. Dia terus menatap tanpa henti, seolah mencoba menangkap sesuatu yang tidak terucap. Tidak ada ekspresi lembut atau kompromi di wajahnya, hanya kecurigaan dan tekanan yang semakin terasa. Setiap gerakan Nathan seolah sedang dipantau, dan tidak ada ruang untuk menghindar dari tatapan itu. Nathan merasa aneh dengan sikap Ida. Tidak biasanya wanita itu menunjukkan ketegangan semacam ini. Ida yang dia kenal selalu tegas, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda.

“Apa yang kamu sembunyikan, Nathan? Aku tahu ada yang tidak beres!” Suaranya tegas, tanpa ragu.

Nathan terdiam sejenak, mencoba memahami arah pertanyaan itu. Wajahnya tampak bingung, seolah baru saja disudutkan tanpa penjelasan. “Maksudmu apa, Ida?” Nathan akhirnya bertanya, tatapannya penuh kebingungan. “Kenapa kamu menanyakan hal seperti itu padaku?”

Ida menarik napas panjang, matanya tak lepas dari Nathan. “Penyerang Denis menyebut namamu,” katanya dengan nada yang penuh tekanan. “Mereka mengatakan kalau kamu yang mereka inginkan. Mereka ingin kami menyerahkan kamu kepada mereka.”

Nathan tersentak, ekspresinya berubah dari kebingungan menjadi keterkejutan. “Apa? Mereka menyebut namaku?” Nathan mengerutkan kening, merasa semakin heran dengan situasi yang tiba-tiba berubah ini. “Siapa kelompok itu? Kenapa mereka mengincar aku?”

Ida menggeleng pelan. “Mereka tidak meninggalkan petunjuk soal identitas. Tapi satu hal yang pasti, mereka sangat menginginkanmu,” kata Ida dengan serius. “Sekarang aku ingin tahu, apa yang sebenarnya kamu sembunyikan, Nathan?”

Nathan segera mengelak. “Aku tidak menyembunyikan apa-apa!” katanya dengan nada yang agak terguncang. “Aku tidak mengerti kenapa mereka menginginkan aku. Aku bahkan tidak pernah mendengar tentang mereka sebelumnya.”

Ida menatap Nathan dengan sorot mata tajam, seakan tidak percaya. “Bohong!” bentaknya. “Aku tahu kamu punya sesuatu yang sangat berharga. Jangan pura-pura bodoh, Nathan.”

Nathan menggeleng dengan kuat, masih bersikeras. “Aku tidak punya apa-apa,” katanya dengan suara yang lebih tegas, mencoba meyakinkan Ida. “Satu-satunya yang kumiliki adalah harta ibuku. Itu saja.”

“Kamu tidak bisa terus berbohong, Nathan,” kata Ida sambil menyilangkan tangan di depan dada. Suaranya terdengar tegas, seolah memberi peringatan. “Semua petunjuk mengarah padamu. Mereka menyerang Denis, dan sekarang mereka ingin kamu diserahkan. Kenapa?”

Nathan menghela napas, frustrasi. “Aku sudah bilang, aku tidak tahu siapa mereka dan kenapa mereka menginginkan aku,” jawabnya dengan nada datar, meski ada sedikit getaran dalam suaranya. “Aku bahkan tidak tahu apa yang mereka inginkan dariku.”

“Berhenti mengelak!” bentak Ida. Dia berdiri dari kursinya dan mendekat ke arah Nathan. “Kau pikir aku tidak tahu apa-apa? Mereka menyebut namamu, Nathan. Ini bukan kebetulan. Ada sesuatu yang besar, dan kau tahu apa itu. Kenapa kau masih menyembunyikannya?” ucap Ida penuh amarah.

Nathan mengangkat tangannya, menutup wajahnya sejenak untuk menenangkan diri. “Aku sudah bilang, Ida, aku tidak menyembunyikan apa-apa!” katanya, berusaha tetap tenang, tapi matanya menunjukkan kepanikan yang mulai muncul. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang mereka inginkan.”

Ida mendengus, lalu tiba-tiba membuka tasnya. Dari dalam tas itu, ia mengeluarkan sebuah dokumen tua yang terbungkus rapi. Ida meletakkannya di depan Nathan dengan tegas, membuat Nathan terkejut.

“Ini,” kata Ida dengan suara dingin. “Dokumen ini menjelaskan semuanya.”

Nathan memandang dokumen itu dengan bingung. “Apa ini?” tanyanya.

“Ini adalah bukti kepemilikan Gunung Brajamusti,” jawab Ida dengan nada yang lebih rendah tapi masih penuh tekanan. “Aku mendapatkannya dari sumber tepercaya yang terhubung dengan masa lalu keluargamu. Kau adalah pewaris sah gunung itu, Nathan. Ini tertulis di sini, jelas. Nama keluargamu tertera sebagai pemilik, dan kau satu-satunya pewaris yang sah.”

Nathan membisu, matanya tertuju pada dokumen itu. Jantungnya berdegup lebih kencang. “Ini tidak mungkin…” gumamnya pelan.

“Ronny, ayahmu, terlibat dalam ini,” lanjut Ida tanpa menunggu respons. “Sumberku mengatakan bahwa Ronny tahu tentang warisan ini, dan itulah kenapa dia menculikmu saat kau kecil. Kau yang memegang hak atas gunung itu, Nathan.”

Nathan menelan ludah, tatapannya beralih dari dokumen itu ke wajah Ida yang menatapnya tanpa henti. “Ini… ini tidak mungkin,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

Ida mendekat, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Kau mengenali simbol-simbol itu, kan, Nathan? Ini bukan kebetulan. Kau sudah tahu tentang ini, bahkan mungkin sejak kecil.”

Nathan menggelengkan kepala, berusaha menyangkal. “Aku memang pernah melihatnya… tapi aku tidak tahu apa artinya. Ayahku… Ronny, dia pernah bicara tentang Gunung Brajamusti, tapi dia tidak pernah menjelaskan dengan jelas.”

“Jadi kau tahu,” potong Ida dengan cepat. “Kau tahu lebih dari yang kau akui. Kau tidak bisa lari dari ini, Nathan.”

Nathan menghela napas panjang, pandangannya kembali tertuju pada dokumen itu. “Aku tidak pernah benar-benar mengerti,” katanya pelan. “Ronny selalu bilang bahwa gunung itu milik keluarga kami, warisan leluhur. Tapi dia tidak pernah bilang soal ini, soal dokumen, atau… apapun tentang kepemilikan yang sah. Aku hanya mengira itu cerita lama, legenda.”

Ida mengangguk pelan, tetapi ia tidak melonggarkan tekanannya. “Dan sekarang kau tahu bahwa ini bukan sekadar legenda. Semua yang tertulis di sini menunjukkan bahwa kau adalah pewaris sah Gunung Brajamusti. Itu sebabnya kelompok yang menyerang Denis mencari dirimu.”

Nathan menatap Ida, bingung. “Mereka mencariku? Untuk apa? Aku tidak punya apa-apa yang mereka inginkan!”

Ida mendesah, sedikit jengkel. “Mereka tahu tentang warisan itu, Nathan. Mereka tahu hanya kau yang bisa mengakses Gunung Brajamusti. Bukan soal harta benda yang kau miliki sekarang, tapi soal apa yang akan kau miliki.” Ida memandang Nathan lebih dalam, sorot matanya semakin tajam. “Kau akan segera berusia 25 tahun, Nathan. Menurut informasi yang kudapat, saat itulah kemampuanmu untuk mengakses kekuatan di gunung itu akan aktif.”

Nathan menelan ludah, berusaha menyembunyikan kepanikan yang mulai menyelimuti pikirannya. “Kekuatan? Maksudmu?” Suaranya serak, seolah menahan beban yang semakin besar.

Ida mengangguk pelan. “Ya, itulah yang mereka incar. Emas gaib di dalam Gunung Brajamusti, dan hanya kau yang bisa mengaksesnya.”

Nathan mengalihkan pandangan, berusaha berlagak tenang. “Aku… aku tidak tahu tentang emas itu. Kenapa mereka harus mencari aku? Seharusnya mereka bisa menemukan cara lain untuk mendapatkan apa yang mereka mau,” jawabnya dengan nada ragu, berusaha meyakinkan Ida.

Ida mencuri pandang ke arah Nathan, tidak percaya dengan jawaban yang didengarnya. “Kau tidak bisa terus bersembunyi, Nathan. Ini bukan saatnya untuk berpura-pura. Ini tentang hidup dan mati. Mereka akan terus mencari sampai mereka menemukanmu dan akan banyak korban yang akan berjatuhan.”

Nathan menggelengkan kepala, menatap dokumen di hadapannya dengan rasa bingung dan cemas. “Aku tidak tahu, Ida. Aku tidak tahu apa-apa tentang semua ini.”

“Berhenti berbohong!” Ida tidak bisa menahan kemarahannya. “Semua bukti ada di depanmu. Jika kau tidak memberi tahu yang sebenarnya, konsekuensinya akan mengerikan, bukan hanya untukmu tetapi juga untuk orang-orang terdekatmu.”

“Aku tidak tahu apa-apa, Ida,” ujarnya, suara Nathan mulai bergetar. “Ini semua terlalu aneh untukku. Aku tidak mengenal simbol-simbol ini, dan aku tidak tahu tentang emas gaib.”

Ida melangkah lebih dekat, mempersempit jarak di antara mereka. “Nathan, semua ini bukan kebetulan. Sudah berapa kali kau mendengar nama Gunung Brajamusti? Berapa kali Ronny menyebutnya? Ini adalah bagian dari dirimu, dan sekarang kamu berusaha menutupinya. Kenapa?”

Nathan menggelengkan kepala, tetapi dalam hatinya, dia mulai merasa ragu. “Aku tidak ingin terlibat dalam semua ini,” katanya dengan nada putus asa. “Aku hanya ingin menjalani hidupku seperti orang biasa.”

Ida menyilangkan tangan, menatapnya dengan skeptis. “Tapi kamu tahu bahwa itu tidak mungkin, bukan? Mereka akan terus mencarimu. Kamu memiliki warisan yang sangat berharga, dan orang-orang berbahaya ingin menguasainya.”

Nathan merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Apa yang harus kulakukan? Aku tidak ingin terlibat dengan mereka!” teriaknya, frustrasi. “Aku tidak tahu tentang warisan atau apa pun yang kau bicarakan!”

Ida tidak membiarkan Nathan pergi begitu saja. “Jangan berbohong lagi, Nathan,” katanya dengan tegas. “Kamu tahu siapa dirimu sebenarnya, kan? Kamu adalah pewaris satu-satunya dari Gunung Brajamusti. Jadi berhenti mengelak. Apa yang kau sembunyikan dari kami selama ini?”

Nathan tertegun, matanya membulat. “Aku… aku tidak tahu,” jawabnya, suara nyaris berbisik. “Mungkin aku pernah mendengarnya dari Ronny, tapi aku selalu berpikir itu hanya mitos.”

Ida memandang Nathan dalam-dalam, mencari tanda-tanda kebohongan. “Ini bukan saatnya untuk bersembunyi di balik mitos. Kehidupanmu dan kehidupan orang-orang di dekatmu ada dalam bahaya. Jika kamu tidak mau mengaku, mereka akan menemukanmu dengan cara lain. Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu dan orang-orang terdekatmu jika kamu terus menghindar.”

Nathan menatap mata Ida, merasa terjepit oleh kata-katanya. Kenangan akan percakapan Ronny dan cerita-cerita masa kecilnya mulai kembali. Ia ingin mengingkarinya, tetapi satu hal terlintas dalam pikirannya, semua yang selama ini ia abaikan atau tidak pahami tentang dirinya dan keluarganya kini mulai masuk akal.

“Jadi, kau tahu lebih dari yang kau akui, kan?” tanya Ida, suaranya kini lebih tenang, tetapi penuh tekanan. “Jika kamu memiliki informasi, ini saatnya untuk berbagi. Hidupmu dan orang-orang terdekatmu tergantung padanya.”

Nathan menghela napas dalam-dalam. “Aku… mungkin ada beberapa hal yang belum kukatakan,” ujarnya pelan, mulai goyah di hadapan tekanan Ida. “Tapi aku tidak tahu pasti…”

“Katakan, Nathan … Tidak usah kau sembunyikan lagi,” tegas Ida sambil menatap Nathan tajam.

“Aku… memang benar,” Nathan mengangguk perlahan, suaranya serak. “Aku adalah pewaris Gunung Brajamusti. Ronny pernah memberitahuku tentang kekuatan emas gaib itu. Tapi aku tidak sepenuhnya memahami apa yang terlibat.”

Ida menatapnya tajam, seolah mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Nathan. “Akhirnya kamu mengaku, Nathan. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa kau tidak memberi tahu kami lebih awal?”

Nathan merasakan ketegangan di antara mereka. “Aku takut,” katanya pelan. “Ronny selalu berkata bahwa kekuatan itu bisa sangat berbahaya. Dia tidak ingin aku terlibat. Aku hanya ingin hidup normal.”

Ida menggelengkan kepala. “Hidup normal? Tidak ada yang normal tentang hidupmu sekarang. Mereka yang menyerang Denis mencari kekuatan itu, dan mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Kamu tidak bisa lari dari takdirmu.”

Nathan merasakan ketakutan menyelip di dalam dirinya. “Aku tidak ingin jadi bagian dari semua ini. Aku hanya seorang pria biasa yang terjebak dalam warisan yang tidak pernah kucari,” ucapnya dengan nada putus asa.

“Dan itu yang membuatmu menjadi target,” Ida menekankan. “Ketidakpastian ini tidak akan membawa siapa pun ke mana-mana. Kamu harus siap menghadapi kenyataan bahwa kekuatan itu adalah bagian dari dirimu. Jika tidak, orang-orang ini akan terus memburumu.”

Nathan merapatkan bibirnya, berusaha mencerna semua informasi yang baru saja dia ungkapkan. “Aku tidak tahu bagaimana cara mengendalikan semua ini,” katanya, suaranya bergetar.

“Kita harus segera merencanakan langkah-langkah berikutnya,” kata Ida, suaranya kini lebih tegas. “Kita tidak punya banyak waktu. Kamu harus mempersiapkan dirimu untuk apa yang akan datang. Keberanianmu untuk mengakui ini adalah langkah pertama.”

“Baiklah … Sekarang apa langkah selanjutnya yang kamu rencanakan?” tanya Nathan.

“Ada satu masalah lagi yang harus kamu ketahui,” kata Ida, suaranya serius. Ia memandang Nathan lekat-lekat, memastikan dia siap mendengar apa yang akan diungkapkan. “Seseorang yang sangat berbahaya terlibat dalam semua ini. Dia bekerja sebagai mata-mata untuk kelompok yang menyerang Denis.”

Nathan mengerutkan kening, “Mata-mata?”

“Orang ini berilmu sangat tinggi,” jelas Ida. “Beberapa anak buahku sudah mencoba menghadangnya, tapi tak satu pun dari mereka yang berhasil.”

Nathan menatap Ida dengan serius, berusaha memproses informasi itu. “Seberapa kuat dia?” tanyanya dengan nada datar, namun jelas dia mulai tertarik dengan masalah ini.

Ida menjawab, suaranya berat. “Dia tidak hanya kuat secara fisik, tapi juga memiliki kecerdikan yang sulit diprediksi. Anak buahku tak bisa mengalahkannya, bahkan untuk sekadar menangkapnya pun tidak bisa.”

Nathan menghela napas dalam-dalam. “Dan kamu ingin aku menanganinya?”

Ida mengangguk, tatapannya penuh harapan dan tekanan. “Kau adalah satu-satunya yang bisa melakukannya, Nathan. Orang ini bernama Sumarno. Aku yakin kalau kita bisa menaklukkan dia, kita akan menemukan banyak informasi berharga tentang kelompok yang menyerang Denis.” Ida lalu menarik sebuah foto dari dalam tasnya, menyerahkannya kepada Nathan. “Ini dia orangnya.”

Nathan mengambil foto itu dan melihatnya dengan seksama. Sumarno, wajahnya terlihat keras dan penuh rahasia. “Dia tidak terlihat seperti seseorang yang mudah didekati,” gumam Nathan.

“Itulah sebabnya aku mempercayakan ini padamu,” kata Ida. “Kau memiliki kemampuan yang tidak dimiliki orang lain. Anak buahku telah gagal, tapi aku yakin kau bisa mengalahkannya.”

Nathan menyimpan foto itu ke sakunya, menatap Ida dengan tegas. “Apa motivasi Sumarno? Apa yang membuatnya bekerja untuk mereka?”

Ida menggeleng pelan. “Itu yang belum kami pahami sepenuhnya. Tapi yang jelas, dia tahu sesuatu. Jika kita bisa membuatnya berbicara, kita mungkin bisa membuka jalan untuk menyingkap siapa sebenarnya kelompok yang menyerang Denis dan juga kelompok yang menginginkan dirimu.”

Nathan menatap langit malam sejenak, merenungkan situasi yang dihadapinya. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan mencari Sumarno. Jika dia tahu sesuatu tentang kelompok itu, aku akan pastikan dia mengungkap semuanya.”

“Terima kasih, Nathan,” kata Ida, suaranya penuh keyakinan. “Kita tidak bisa bergerak maju tanpa informasi ini. Hati-hati, Sumarno bukan lawan yang bisa diremehkan.”

Nathan memimpin beberapa anak buah Ida untuk segera mencari sosok Sumarno. Mereka bergerak cepat, tak membuang waktu, menyusun rencana berdasarkan informasi yang diperoleh. Anak buah Ida, yang sudah lama terlatih sebagai intelijen, mengumpulkan data penting. Melalui pengamatan dan jaringan mereka, posisi Sumarno berhasil terlacak. Sumarno berada di Jakarta, di sebuah lokasi yang cukup strategis dan ramai.

Nathan dan para anak buahnya berangkat menuju Jakarta. Mereka menggunakan helikopter yang sama, yang membawa Nathan ke Cirebon. Kurang lebih satu jam kemudian, mereka tiba di Jakarta. Helikopter mendarat di atap kantor perusahaan Nathan. Tanpa menunda, Nathan dan timnya bersiap untuk bergerak menuju lokasi di mana Sumarno terakhir kali terlihat.

Nathan bergerak cepat menuju restoran yang menurut informasi Sumarno sedang menghadiri jamuan makan malam. Restoran tersebut terletak di kawasan elit Jakarta. Nathan tiba dalam waktu setengah jam. Setelah memastikan keadaan aman, dia dibawa ke dalam sebuah van hitam yang terparkir di area restoran. Di dalam van hitam itu, Nathan mendapatkan informasi yang cukup mengejutkan.

“Tuan Muda, kami mendapatkan informasi bahwa Sumarno sedang makan malam dengan Handoko saat ini,” jelas salah satu anak buah Nathan yang sejak tadi memantau Sumarno. “Kita harus menunggu mereka selesai,” lanjutnya.

Nathan menatap tajam ke arah sang anak buah, “Kenapa kita tidak bisa menangkap Sumarno sekarang? Dia berada di sana, kita harus segera bertindak.”

Sang anak buah menggelengkan kepala. “Tuan Muda, ada risiko besar jika kita bergerak sekarang. Handoko berada di sana. Jika kita mencoba menangkap Sumarno, kita bisa mengacaukan semuanya.”

“Risiko?” Nathan membalas dengan nada skeptis. “Jika kita menunggu, dia bisa kabur dari pintu belakang. Kita tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja.”

“Memang benar,” Sandi mengakui. “Tapi Handoko adalah pemain besar. Kami sudah belajar untuk menghindari konfrontasi langsung dengannya. Dia bisa mempersulit situasi kita, Tuan Muda.”

Nathan tetap berpikir. Dia tidak suka menunggu, tetapi dia juga tidak ingin mengambil keputusan yang ceroboh. Namun, tekadnya menguat. “Aku akan mendatangi Sumarno sekarang juga. Kalian jaga dan amati dia. Jika dia mencoba kabur, laporkan kepadaku segera.”

Nathan berjalan dengan tenang menuju ruang VVIP restoran. Ia sudah tahu bahwa Sumarno sedang duduk bersama Handoko di dalam ruangan itu. Ketika mendekati pintu, dua pria bertubuh kekar yang tampak waspada segera menghadangnya. Salah satu dari mereka menatap Nathan tajam sebelum berbicara dengan nada tegas, “Ruangan ini hanya untuk tamu khusus. Anda tidak bisa masuk.”

Nathan melirik cepat ke sekeliling. Ada lebih dari sekadar dua pria yang menghalangi jalannya. Ia melihat lebih dari selusin anak buah Handoko tersebar di restoran, memperhatikan setiap gerakannya dengan tatapan penuh kewaspadaan. Seketika Nathan menyadari bahwa jika dia memaksa masuk, ini akan menjadi kekacauan besar di tempat umum. Nathan memilih untuk mundur. Bukan karena takut, tetapi karena dia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menantang kekuatan Handoko. Menyadari situasi yang tidak menguntungkan, Nathan memilih untuk tidak melakukan konfrontasi.

Dia tersenyum tipis kepada para penjaga dan mengangguk, memberi kesan bahwa dia hanyalah pengunjung yang tersesat. “Maaf, saya salah jalan,” ucap Nathan dengan tenang sebelum berbalik.

Para anak buah Handoko tidak menyangka bahwa orang yang mereka hadang adalah Nathan, pewaris Gunung Brajamusti. Mereka menganggapnya sebagai orang biasa yang salah masuk ke area eksklusif. Dengan santai, mereka tidak lagi mempedulikannya saat dia pergi.

Setelah keluar dari restoran, Nathan berjalan cepat menuju van hitam yang diparkir di kejauhan. Di dalam van, suasana serius menyelimuti mereka. Nathan dan anak buahnya mulai menyusun strategi baru. Mengetahui bahwa terlalu berbahaya mendekati Sumarno di dalam restoran, Nathan memutuskan untuk menghadang Sumarno di perjalanan pulang menuju hotelnya.

Nathan menatap satu per satu anak buahnya. “Kita tidak bisa kehilangan kesempatan ini. Menyebarlah di sekitar restoran, terutama di jalanan yang akan dilalui Sumarno. Pastikan tidak ada yang terlewat,” instruksinya tegas. Para anak buahnya mengangguk, siap melaksanakan perintahnya.

Sekitar satu jam kemudian, Sumarno akhirnya keluar dari restoran, bersiap untuk menuju hotelnya. Nathan dan anak buahnya sudah bersiap di dalam van hitam, mengamati setiap gerak Sumarno. Jalanan sepi, memberikan kesempatan yang tepat bagi mereka. Mobil Sumarno melaju dengan kecepatan sedang. Nathan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap. Saat mobil Sumarno mendekati tikungan yang sepi, Nathan menempatkan van hitamnya tepat di jalur mobil Sumarno. Mobil Sumarno tiba-tiba berhenti, remnya berdecit, menimbulkan suara keras di malam yang sunyi. Nathan keluar dari van dengan cepat, melangkah mantap ke arah Sumarno yang baru saja keluar dari mobilnya.

Sumarno tampak terkejut melihat Nathan mendekatinya. “Siapa anda?” tanyanya, raut wajahnya menunjukkan kebingungan.

Nathan mengabaikan pertanyaan itu. “Kita perlu bicara. Ini mendesak,” tekan Nathan, bersikap tegas.

Sumarno menyilangkan tangan di depan dada. “Apa yang terjadi? Kenapa aku harus berbicara dengan anda?” tanyanya, tetap waspada dan bersiap untuk mengambil langkah mundur.

Nathan merasa penting untuk mendapatkan informasi. “Aku memerlukan informasi darimu,” jawab Nathan, berusaha menekankan urgensi situasi.

Sumarno menggelengkan kepala, berusaha menghindar. “Aku tidak tahu apa-apa. Jangan campuri urusanku,” jelasnya, matanya memindai keadaan sekeliling.

Nathan tidak memberi kesempatan untuk mundur. Dia maju selangkah, bertekad untuk membujuk Sumarno. “Ikut aku sekarang. Kamu adalah satu-satunya yang bisa membantu.”

Saat Nathan berusaha mendekati Sumarno, tiba-tiba Sumarno menarik diri, bersiap untuk melawan. “Anda tidak bisa memaksaku,” ujarnya dengan nada tegas.

Saat Nathan melangkah maju untuk mendekati Sumarno, pria itu tiba-tiba bergerak cepat, melepaskan serangan yang membuat Nathan terkejut.

“Jangan sekali pun coba dekati aku!” teriak Sumarno sambil mengayunkan tangannya dengan cepat.

“Syyyaattttt…. Haahh!” Kaki Sumarno meluncur dengan cepat, menendang ke arah Nathan. Dengan refleks yang terlatih, Nathan segera mengelak ke samping. Namun, serangan itu tidak berhenti di situ. Pukulan tangan Sumarno sudah menyusul, menyambar ke arah dada Nathan.

Nathan mengangkat lengan kirinya untuk menangkis serangan tersebut. Ia mengerahkan tenaga dalamnya, berusaha untuk menguji sampai di mana kekuatan lawan. “Satu serangan ini akan menentukan,” pikir Nathan, merasakan tekanan tenaga dari pukulan Sumarno.

“Duukkk….!” Dua lengan bertemu dalam bentrokan yang memekakkan telinga. Sumarno terhuyung ke belakang, terpaksa menstabilkan diri, sementara Nathan hanya memindahkan langkah sedikit, tetap berdiri kokoh.

Dari pertemuan tenaga tadi, Sumarno menyadari bahwa Nathan yang menjadi lawannya ternyata memiliki tenaga yang sangat kuat. Keterkejutan dan rasa ingin tahunya semakin besar. “Menarik,” gumam Sumarno dalam hati, segera menerjang lagi dengan semangat yang membara.

Sekarang, Sumarno mengerahkan seluruh tenaganya pada pukulan tangan kanannya yang mengarah langsung ke kepala Nathan. Melihat serangan yang mendekat, Nathan tidak tinggal diam. Dia maklum akan datangnya serangan itu, dan dengan percaya diri, dia pun mengerahkan Aji Brajamusti, menyambut pukulan tersebut dengan tangan terbuka.

“Wuuutttt…. Desss…!!” Tangan terbuka Nathan bertemu dengan kepalan Sumarno di udara. Akibatnya, tubuh Sumarno terguncang hingga gemetaran, terhuyung-huyung ke belakang, sementara Nathan hanya melangkah dua kali mundur, stabil di posisinya. Sepasang mata Sumarno terbelalak, wajahnya berubah agak pucat. Dia yakin bahwa pukulannya barusan telah mengandung tenaga sepenuhnya, namun pemuda itu mampu menangkisnya, bahkan membuatnya terhuyung!

“Keparat!!” Maki Sumarno dengan nada marah. Kini, dia bertekad untuk menyerang lagi dengan kecepatan yang mengagumkan. Dalam pikirannya, dia ingin memanfaatkan kecepatan gerakannya untuk memperoleh kemenangan. Namun, Nathan, dengan ketenangan yang luar biasa, dapat mengimbanginya dengan gerakan secepat burung walet.

Raihan tangan Sumarno untuk mencengkeram hanya dapat memegang angin. Setiap pukulan yang dilancarkan meleset, karena Nathan selalu berhasil menangkis atau menghindar dengan presisi.

Nathan bergerak dengan hati-hati, menyadari bahwa lawannya ini cukup berbahaya. Dia lebih dulu memancing Sumarno agar menghujankan serangan bertubi-tubi. Setiap serangan yang dilakukan dengan tenaga penuh hanya mengenai udara, sementara Nathan lebih banyak menghindar dan mengelak. Dengan cara ini, dia dapat memeras tenaga lawannya. Setiap pukulan yang tidak mengenai sasaran hanya akan menghamburkan tenaga dan mengakibatkan kelelahan.

Benar saja, perhitungan Nathan terbukti tepat. Setelah bertanding selama seperempat jam tanpa henti, Sumarno mulai memburu napasnya. Keringat telah membasahi muka dan lehernya, tanda bahwa tenaganya semakin menipis. Makin bernafsu dia, semakin banyak tenaga yang terbuang sia-sia.

Nathan tidak berniat mencelakai atau membunuh orang ini, karena dia memerlukan informasi darinya. Dengan sabar, Nathan menanti saat ketika Sumarno, yang telah kelelahan, menjadi lengah. Dan ketika momen itu tiba, tiba-tiba kaki Nathan meluncur cepat, menendang ke arah lutut kanan lawan. Tendangan itu tidak keras, namun karena tepat mengenai sambungan lutut, Sumarno tak dapat menghindar. Dia jatuh berlutut dengan sebelah kakinya, seolah-olah menakluk!

“Menyerahlah, Sumarno…! Aku tidak ingin kau terluka…” ucap Nathan, yang sukses membuat mata Sumarno terbelalak. Dia tidak menyangka bahwa pemuda yang menjadi lawannya itu mengetahui namanya. Rasa terkejutnya sejenak membuat Sumarno ragu, namun ia segera menguatkan dirinya untuk bangkit berdiri.

Dengan napas terengah-engah, Sumarno meninggikan suaranya. “Aku masih belum kalah!” Dia meloloskan sehelai sabuk rantai baja dari pinggangnya, siap untuk melawan. “Keluarkan senjatamu dan mari kita bertanding mempergunakan senjata!” tantang Sumarno, berusaha menutupi rasa malunya setelah jatuh berlutut.

“Begitukah kehendakmu, Sumarno? Baiklah, aku hanya menuruti kehendakmu!” Nathan menjawab tegas, lalu melepaskan ikat pinggangnya. Dia memegang ujung ikat pinggang itu sambil menghadapi lawannya, bersiap untuk pertempuran yang lebih sengit.

Sumarno membelalakkan matanya, melihat bahwa dia yang bersenjata rantai baja yang amat keras dan kuat itu akan dihadapi dengan ikat pinggang biasa. “Itukah senjatamu?” tanya Sumarno dengan nada ragu.

Nathan memutar kain ikat pinggangnya dengan percaya diri. “Inilah senjataku.”

“Masa bodoh, engkau yang memilih sendiri. Sekali ini akan pecah dadamu, hancur kepalamu!” kata Sumarno dengan nada penuh percaya diri, sebelum mulai menyerang. Rantai baja itu menyambar dengan cepat, mengeluarkan suara berciutan saking cepat dan kuatnya.

Nathan tetap mempergunakan ilmunya, Ajian Brajamusti. Dia berlompatan dan mengelak, menyelinap di antara sambaran sinar rantai baja yang meluncur cepat. Sumarno, yang sebelumnya sudah kehabisan tenaga setelah berulang kali menyerang dengan tangan kosong, kini harus menghadapi tantangan baru dengan senjata berat di tangannya. Napas Sumarno mulai ngos-ngosan, dan gerakan rantainya makin mengendur, terlihat jelas bahwa ia mulai kelelahan.

Nathan, yang mengamati situasi dengan saksama, tahu bahwa saatnya untuk mengambil tindakan. Dengan semangat yang membara, sekali ia membentak, ikat pinggangnya menyambar dengan cepat. Ujung ikat pinggang itu menghantam leher bawah telinga Sumarno.

“Daaahhh!” Sumarno mengeluarkan suara kesakitan saat tubuhnya yang tinggi dan kurus itu terkulai roboh, pingsan seketika.

Nathan berdiri di samping tubuh Sumarno yang terkulai tak berdaya. Dengan hati-hati, anak buah Nathan mengikat tangan dan kaki Sumarno menggunakan tambang plastik yang dibawa. Mereka memastikan ikatan tersebut cukup kuat untuk mencegah Sumarno yang terbangun tiba-tiba melarikan diri. Setelah itu, Nathan dan anak buahnya mengangkat tubuh Sumarno dan membawanya ke van hitam yang terparkir tidak jauh dari situ.

Anak buah Nathan duduk di kursi pengemudi dan menghidupkan mesin van. Nathan terus memantau keadaan Sumarno, merasa lega karena berhasil menangkapnya. Ia tahu bahwa informasi yang bisa didapat dari Sumarno sangat berharga dan tidak ingin menyia-nyiakannya. Perjalanan menuju rumah Maya terasa lebih cepat. Sesampainya di rumah Maya, anak buah Nathan memarkirkan van di garasi. Dengan hati-hati, anak buah Nathan mengangkat Sumarno dan membawanya ke dalam rumah. Mereka meletakkan tubuh Sumarno di atas sofa dan memastikan ikatan di tubuhnya tetap kuat.

Sumarno perlahan membuka matanya. Kepalanya terasa berat dan tubuhnya terikat di sofa. Ketika sadar sepenuhnya, ia melihat seorang pria yang tidak dikenalnya berdiri di dekatnya. Dengan cepat, kemarahan menguasai dirinya.

“Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan di sini?” bentak Sumarno, berusaha melepaskan ikatan di pergelangan tangannya. Suaranya menggelegar, mencerminkan kemarahan yang membara.

Nathan menatap Sumarno dengan tenang. “Aku tidak akan melepaskanmu. Kau memiliki informasi yang aku butuhkan,” jawabnya, nada suaranya tegas.

“Menggunakan cara seperti ini? Kau pikir aku akan berbicara?!” Sumarno berteriak, wajahnya memerah karena marah. “Kau mengira aku seorang pengecut?”

Nathan mendekat, suaranya rendah namun berisi. “Dengar sini, Sumarno. Ini bukan tentang perasaanmu. Ini tentang keselamatan banyak orang. Jika kau terus bersikap keras kepala, aku tidak segan-segan untuk menggunakan cara yang lebih kejam.”

“Mengancamku? Kau tidak tahu siapa diriku!” Sumarno mencemooh, tetapi ada nada cemas di dalam suaranya. “Kau berurusan dengan orang yang salah!”

“Kau salah besar,” Nathan menjawab dengan suara dingin. “Aku tahu persis siapa yang aku hadapi, dan aku tidak takut dengan namamu dan kelompokmu. Tetapi aku tidak akan membuang-buang waktu untuk berbicara. Kau bisa memilih untuk bekerja sama atau menghadapi konsekuensi dari sikapmu.”

“Dan jika aku tidak mau? Apa yang akan kau lakukan? Memukuliku?” Sumarno menantang, meski keraguan mulai merayap di pikirannya.

Nathan bersikap tegas. “Jika itu yang kau pilih, maka aku akan melakukannya. Percayalah, aku tidak di sini untuk main-main.”

Nathan masih berdiri di depan Sumarno, menunggu reaksi dari lawannya yang terikat di sofa. Dalam keheningan yang mencekam, fokus Nathan terpecah ketika suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. Pintu ruangan terbuka dengan suara berderit. Ida melangkah masuk, mengenakan pakaian yang simpel. Wanita itu langsung memusatkan perhatian pada Sumarno, yang terikat di sofa. Dengan sikap tenang, Ida menghampiri Sumarno dan memeriksa ikatan yang menahannya. Ida kemudian melirik Nathan dan mengangguk, menandakan bahwa ia siap untuk memulai interogasi.

Ida melangkah maju dengan percaya diri, menatap Sumarno yang terikat di sofa. Ia mendekat, lalu dengan lembut memijat bahu Sumarno. Sentuhan halus itu membangkitkan rasa nyaman yang tidak terduga, mengalir dari ujung jari Ida hingga ke dalam diri Sumarno. “Tenanglah,” ucap Ida pelan, suaranya bagaikan aliran air yang menenangkan. Dalam sekejap, mata Sumarno mulai terpejam. Ida melanjutkan pijatan, semakin dalam dan perlahan, menciptakan ritme yang membuat Sumarno merasa seolah terlelap. Kekuatan pijatan itu membawa Sumarno ke dalam kondisi trance. Ida melihat wajah Sumarno yang semakin relaks, seolah semua beban hilang. “Kamu merasa sangat tenang,” katanya, semakin meyakinkan, “kamu tidak perlu khawatir.” Dalam hitungan detik, Sumarno terhipnotis sepenuhnya.

Ida menatap Sumarno dengan penuh konsentrasi. Suaranya lembut dan tegas ketika dia berkata, “Katakanlah yang sebenarnya, Sumarno. Apakah kamu akan berkata jujur?”

Sumarno, dalam keadaan terhipnotis, mengangguk pelan. “Ya,” jawabnya dengan suara pelan dan tenang.

“Siapa yang memimpin kelompok yang menyerang Denis?” tanya Ida, mengawasi setiap gerak tubuh Sumarno dengan seksama.

“Ronny,” jawab Sumarno tanpa ragu, suaranya datar, menunjukkan ketidakmampuan untuk berbohong dalam keadaan seperti ini.

Setelah mendengar jawaban Sumarno, Ida langsung menoleh ke arah Nathan. Nathan terperanjat hebat. Suara jawaban Sumarno bergaung dalam pikirannya. Informasi itu membawa dampak besar. Keterkaitan Ronny dengan penyerangan Denis mengejutkannya. Nathan merasa tekanan di dadanya semakin berat. Dia mengerutkan kening. Pikiran-pikirannya berlarian. Semua yang dia ketahui seakan terurai. Namun Nathan memilih untuk diam. Dia memberi keleluasaan kepada Ida untuk melanjutkan interogasinya. Nathan fokus pada Ida, berharap ia dapat menggali lebih dalam dari Sumarno. Setiap pertanyaan bisa membuka fakta baru. Nathan merasa penting untuk tidak mengintervensi. Dia percaya pada kemampuan Ida dalam menggali informasi.

Ida menatap Sumarno dengan tajam. Ia melanjutkan pertanyaannya, “Apa hubungan kelompok itu dengan Ronny?”

Sumarno menjawab dengan suara pelan dan monoton, “Ronny adalah pemimpin kami.”

Ida kemudian bertanya, “Sejauh mana Anda mengetahui latar belakang kehidupan Ronny?”

Sumarno menjawab dengan nada datar, “Ronny adalah mantan suami Maya, musuh besarnya.”

Nathan merasa jantungnya berdegup kencang setelah mendengar jawaban Sumarno. Informasi tentang Ronny yang merupakan mantan suami Maya menghantamnya seperti petir di siang bolong. Semua potongan teka-teki yang selama ini berserakan dalam pikirannya seakan tiba-tiba tersusun rapi. Dia tidak pernah menyangka hubungan itu ada, dan kini ia melihat keterkaitan yang jelas antara Ronny, Maya, dan penyerangan terhadap Denis. Pikiran Nathan dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan. Kesadaran bahwa musuh terbesar ibunya juga memiliki ikatan darah dengannya membuat Nathan merasa sangat gelisah.

“Apa motivasi mereka untuk menyakiti Denis?” tanya Ida kemudian.

“Untuk membuat Maya bereaksi dan mengirim Nathan menyelidiki penyerangan itu,” Sumarno menjawab dengan suara tenang. “Mereka sudah siap menangkap Nathan hidup-hidup.” Kalimat itu menggantung di udara, menambah ketegangan di ruangan.

“Kenapa Ronny memerlukan Nathan hidup-hidup?” Ida terus bertanya.

“Karena Nathan adalah kunci untuk membuka Gunung Brajamusti,” jawab Sumarno lagi. “Ronny ingin memilikinya.” Suasana ruangan menjadi semakin tegang, membuat semua orang terdiam.

Ida, dengan suaranya yang tegas namun terukur, memulai interogasinya. “Siapa saja anggota kelompok Ronny?” tanyanya, mencoba menggali informasi yang mungkin bisa menghubungkan kelompok itu dengan serangan terhadap Denis.

Sumarno, dengan nada datar dan tanpa emosi, menjawab, “Mereka adalah ksatria-ksatria terpilih… orang-orang dengan ilmu kanuragan yang sangat tinggi.” Sejenak dia terdiam, lalu melanjutkan, “Mereka kuat… terlatih dalam berbagai jurus, tidak ada yang bisa menandingi mereka di medan pertempuran.”

Nathan menatap Ida, ekspresinya penuh dengan pertanyaan. Apa benar ayahnya memimpin kelompok sekuat itu? Ida tak terganggu oleh respons Sumarno yang ganjil dan segera melanjutkan interogasinya. Sementara itu, Ida menarik napas sejenak, menatap tajam ke arah Sumarno yang masih duduk kaku di sofa, tubuhnya tak bergeming di bawah pengaruh hipnotis.

“Apa yang menjadikan Ronny bisa menjadi pemimpin para ksatria itu?” tanya Ida, nadanya dingin dan penuh perhitungan.

Mata Sumarno tetap kosong, bibirnya perlahan bergerak, “Ronny… dia memiliki ilmu kanuragan yang sangat kuat. Lebih kuat dari siapa pun di antara mereka.” Suaranya tetap datar, tapi kalimat yang keluar membuat Nathan semakin resah.

“Ilmu kanuragan?” gumam Nathan dalam hati. Itu menjelaskan bagaimana ayahnya bisa mengumpulkan orang-orang dengan kekuatan besar. Namun, ada sesuatu yang masih mengganggunya, sesuatu yang belum sepenuhnya dipahami.

Sumarno melanjutkan, “Dengan ilmu itu… Ronny bisa menyatukan para ksatria. Mereka menghormati dia… takut padanya. Ronny bukan sekadar pemimpin… dia adalah sumber kekuatan mereka.”

Nathan mencengkeram kedua tangannya dengan erat, mengingat kembali masa-masa ketika dia hanya mengenal Ronny sebagai ayahnya, bukan sebagai sosok pemimpin misterius ini. Banyak hal yang ia tidak ketahui tentang pria itu, banyak yang tersembunyi di bawah permukaan. Ia merasa bahwa rahasia keluarganya jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.

“Apa rencana khusus mereka?” Ida menekan.

Sumarno menjawab, suaranya tetap monoton. “Mereka ingin menghancurkan Maya… mereka akan mengambil alih semua perusahaannya. Ini… pembalasan. Mereka sudah merencanakannya sejak lama. Setelah Maya jatuh, kekuasaan akan mereka genggam.”

Nathan menggertakkan giginya. Meskipun dia tahu ibunya bukan orang baik, mendengar rencana besar ini membuatnya merasa marah dan gelisah. Ia tak bisa membiarkan ibunya dijatuhkan begitu saja, meskipun Maya penuh dosa di masa lalu.

“Siapa pengusaha yang bekerja sama dengan kelompok Ronny?” Ida melanjutkan pertanyaan dengan nada lebih tajam.

Sumarno menarik napas dalam sebelum berbicara lagi, “Hampir semua pengusaha menjadi teman kelompok Ronny… Mereka semua diam-diam mendukung. Tapi yang paling mendukung… adalah kelompok Handoko.”

Mata Nathan membulat. Handoko? Nama itu tidak asing, seorang pengusaha besar yang sangat berpengaruh. Jika benar Handoko mendukung Ronny, kekuatan yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang dia bayangkan.

Ida mengangguk, tidak menunjukkan tanda-tanda terkejut. “Dimana Ronny bisa ditemukan sekarang?” tanyanya dengan lebih menekan, mendekatkan wajahnya ke arah Sumarno.

Sumarno, tanpa ragu, menjawab dengan suara yang masih datar, “Ronny… dia ada di Kepulauan Seribu. Di sebuah pulau yang dimiliki oleh keluarga Handoko.”

Nathan merasa shock mendengar penjelasan Sumarno. Semua yang baru didengarnya terasa di luar nalar. Selama ini, ia selalu melihat ayahnya sebagai pria biasa yang bersikap baik dan penuh kebijaksanaan. Nathan tidak pernah menyangka bahwa Ronny menyimpan ambisi sebesar ini. Fakta bahwa Ronny memimpin sekelompok ksatria dengan kekuatan kanuragan, sesuatu yang jauh dari kehidupan normal yang Nathan kenal, benar-benar menghancurkan pandangan awalnya tentang ayahnya. Di balik sosok yang selama ini ia hormati, ternyata ada ambisi mengerikan yang tersembunyi.

Setelah mendengar cukup banyak informasi tentang Ronny, Nathan merasa kepalanya penuh. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan ruangan interogasi. Ia menuju ruang tengah, di mana sebuah bar mini terletak di sudut. Tanpa berpikir panjang, Nathan meraih sebuah botol wine. Ia menuangkan beberapa teguk ke dalam gelas dan meminumnya. Ia berharap rasa hangat alkohol bisa membantu mengusir keterkejutan dan kegelisahannya. Namun, pikirannya masih berkecamuk. Semua ini begitu tiba-tiba dan membingungkan. Ia butuh waktu untuk memproses semuanya.

Tak lama setelah itu, Ida masuk ke ruang tengah. Wanita itu bergerak tenang, seperti biasa, dengan ekspresi tak terganggu. Ia berjalan ke arah bar, mengambil gelas, dan membuat minumannya sendiri tanpa banyak bicara. Ida lalu duduk di sebelah Nathan, di kursi tinggi yang berada di depan bar. Keduanya duduk dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Nathan menghela napas dalam-dalam, akhirnya memecah keheningan. “Aku masih tidak bisa percaya semua ini. Bagaimana mungkin ayahku memiliki rencana seperti itu? Aku mengenalnya… setidaknya, aku pikir aku mengenalnya. Dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda seperti itu,” suaranya terdengar gemetar, penuh keraguan.

Ida menatap Nathan sejenak, wajahnya tenang namun serius. “Nathan, aku mengerti ini berat. Tapi apa yang kita dengar dari Sumarno adalah kenyataan. Tidak ada yang bisa disangkal lagi. Ayahmu punya kekuatan besar, dan ambisinya jauh lebih besar dari yang pernah kau bayangkan.”

Nathan menggeleng, meneguk wine-nya lagi, seakan berharap alkohol bisa membuat semuanya masuk akal. “Tidak. Itu tidak mungkin. Ronny adalah orang yang baik. Dia selalu mendidikku dengan bijaksana, selalu memberiku nasihat yang baik. Jika dia punya kekuatan sebesar itu, kenapa dia tidak pernah menunjukkannya padaku?”

Ida menaruh gelasnya di meja, menatap Nathan dengan tegas. “Mungkin dia memang tidak ingin kamu tahu, Nathan. Bisa saja selama ini dia menyembunyikan jati diri yang sebenarnya darimu. Kamu sendiri yang bilang, kamu selalu melihatnya sebagai ayah yang biasa. Tapi kenyataannya, dia punya rencana besar, dan kamu bagian dari rencana itu.”

Nathan menatap Ida, matanya penuh kebingungan dan kemarahan yang terpendam. “Rencana? Rencana apa? Menghancurkan Maya? Mengambil alih perusahaan-perusahaannya? Itu gila! Ayahku bukan tipe orang yang akan melakukan hal seperti itu. Dia selalu bilang padaku bahwa kekuasaan dan uang bukan segalanya.”

Ida menarik napas pelan, mencoba menenangkan suasana. “Aku tahu ini sulit diterima. Tapi, Nathan, orang bisa berubah. Mungkin Ronny punya alasan lain yang selama ini tidak kamu ketahui. Mungkin ada sesuatu yang lebih dalam. Kita belum tahu semuanya.”

Nathan menunduk, menggenggam gelasnya erat. “Aku hanya ingin percaya bahwa ayahku bukan orang seperti itu… Aku ingin percaya bahwa dia tetap orang yang kukenal. Tapi sekarang… aku tidak tahu lagi.”

Ida menatap Nathan dengan penuh simpati, tapi juga ketegasan. “Nathan, kamu harus siap menghadapi kenyataan. Ini bukan hanya soal perasaanmu tentang Ronny. Ini soal apa yang akan terjadi selanjutnya. Kita harus tahu pasti apa yang sedang dia rencanakan.”

Dengan suara yang pelan, setengah mendesah, ia akhirnya bertanya, “Kamu apakan Sumarno setelah ini semua?”

“Sumarno sudah dibawa ke rumah tahanan milik Maya di luar kota. Anak buahku baru saja membawanya pergi,” jawabnya dengan tegas, suaranya tidak menunjukkan keraguan sedikit pun.

“Tahanan di luar kota?” Ia memutar gelasnya di atas meja, tampak berpikir. “Berapa lama dia akan ditahan di sana?”

Ida menatap Nathan sejenak sebelum menjawab. “Itu tergantung pada Maya. Dia yang menentukan nasib Sumarno. Tapi untuk sekarang, dia akan tetap di sana sampai kita mendapatkan semua informasi yang kita butuhkan. Tempat itu aman, dan tidak ada yang tahu lokasinya kecuali orang-orang kepercayaan Maya.”

Nathan masih melanjutkan percakapannya dengan Ida. Topik pembicaraan mereka berputar pada pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiran Nathan tentang Ronny, ambisinya, dan kemungkinan besar bahaya yang akan datang. Ida menjelaskan beberapa hal, tapi Nathan tidak mendapatkan jawaban yang bisa memuaskannya. Semua penjelasan yang disampaikan masih meninggalkan ruang untuk keraguan. Setelah beberapa menit berlalu, Ida akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Ida mengakhiri percakapan mereka. Tanpa menoleh kembali, ia berjalan keluar ruangan, meninggalkan Nathan sendirian di bar mini, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Nathan duduk diam sejenak, mencoba mencerna percakapan yang baru saja terjadi. Setelah merasa cukup tenang, ia memutuskan untuk naik ke kamar tidurnya. Nathan berjalan dengan langkah mantap, meski pikirannya masih diliputi kebingungan. Begitu sampai di kamarnya, ia langsung menuju kamar mandi. Di sana, ia membuka keran, membasuh wajahnya dengan air dingin. Air itu membawa sedikit kesegaran, meski tidak sepenuhnya bisa menghilangkan rasa penat yang menggantung di kepalanya. Setelah membersihkan diri, Nathan mengganti pakaian yang sudah dikenakannya seharian. Ia memilih pakaian yang lebih nyaman, berharap bisa merasa lebih tenang setelah semua yang terjadi.

Setelah selesai merapikan diri, Nathan meninggalkan kamarnya. Ia berjalan menyusuri koridor yang sepi menuju pintu depan rumah. Begitu sampai di halaman, suasana di luar terasa berbeda, sedikit sejuk dan hening. Nathan melangkah dengan tenang menuju kantor keamanan yang terletak di sudut halaman rumah. Ia berniat menemui Raka, kepala keamanan yang selalu dapat dipercaya dalam menjaga rumah.

“Ada keperluan apakah Tuan Muda ke sini?” tanya Raka saat Nathan sampai di kantor keamanan rumah.

“Aku ingin menjaga di sini. Situasi agak genting,” ucap Nathan sambil duduk di sebuah kursi di teras kantor keamanan.

“Lebih baik Tuan Muda di dalam saja. Di sini sudah banyak yang menjaga. Percayakan pada kami,” tegas Raka.

Nathan berdiri di depan kantor keamanan rumah, tersenyum kecil sambil memperhatikan keadaan sekitarnya. Suasana tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa penjaga terlihat sedang berbincang dengan serius, sementara kendaraan-kendaraan mewah mulai berdatangan satu per satu. Meski rumah besar Maya selalu ramai dengan aktivitas, malam ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang tidak bisa Nathan abaikan begitu saja. Ia mengamati wajah-wajah di sekelilingnya, mencoba mencari tanda-tanda apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik kesibukan ini.

Semakin malam, semakin banyak orang berkumpul di halaman rumah. Beberapa orang penting terlihat berdiri di sudut-sudut, berbicara dalam bisikan. Kepala keamanan perusahaan yang biasanya jarang terlihat di rumah itu, malam ini hadir juga, berdiri dengan sikap waspada di antara kerumunan. Nathan menyadari bahwa kedatangan mereka bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang sedang berlangsung di balik layar, sesuatu yang mungkin lebih besar dari sekadar masalah bisnis biasa.

Tak lama berselang, suasana berubah drastis ketika kabar buruk datang dengan tiba-tiba. Seorang anak buah Maya yang tergesa-gesa memasuki area itu, memberitahu semua orang bahwa Denis telah meninggal dunia di rumah sakit. Keheningan langsung menyelimuti seluruh tempat. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang bergerak. Hanya keheningan yang terasa begitu mencekam.

Dalam hening malam, Nathan terdiam di tengah kesibukan yang mengelilinginya. Kabar kematian Denis mengguncang ketenangan yang ia cari. Pikiran tentang ayah dan ibunya melingkupi kepalanya seperti awan gelap. Ia mengenang Ronny, sosok yang selama ini ia anggap baik dan bijaksana. Kini, semua gambaran itu pudar ketika ia mendengar bahwa ayahnya memimpin sekelompok ksatria dengan ambisi yang menakutkan. Dalam benaknya, terbayang bagaimana Ronny, dalam ketidakpastian dan kekuatan, bisa berusaha menghancurkan ibu yang juga dicintainya.

Di sisi lain, Maya, ibunya, yang selama ini kuat dan berkuasa, kini menunjukkan sisi yang berbeda. Nathan merasa terperangkap di antara dua kekuatan yang saling bertentangan. Seperti dua api yang membakar habis, keduanya siap menghancurkan apa pun yang berada di antara mereka. Rasa sayang dan ketulusan yang Nathan miliki terhadap mereka perlahan terkikis oleh rasa takut akan konsekuensi dari pertikaian ini.

Gundah melanda hatinya. Siapa yang benar? Siapa yang salah? Mungkin tidak ada jawaban yang sederhana. Nathan merasakan gelombang emosi bergejolak di dalam dirinya, antara cinta dan kesedihan. Ia menginginkan perdamaian di antara mereka. Namun, tampaknya semua harapan itu menjauh. Dalam pertarungan antara ayah dan ibunya, ia mendapati dirinya terjebak di antara dua kekuatan yang saling menghancurkan, tanpa pilihan untuk melindungi salah satu dari mereka. Setiap keputusan yang diambilnya hanya akan menambah penderitaan, memisahkan dirinya dari kasih sayang yang selama ini ia inginkan. Ia merasa seperti bidak catur dalam permainan yang tidak ia pilih, digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak bisa ia kendalikan. Dengan rasa cemas, ia bertanya-tanya tentang masa depannya. Siapa yang akan ia dukung ketika kedua orang tuanya berperang? Ketika semua yang ia percayai kini menjadi abu, Nathan berdiri di tepi jurang pilihan.

Bersambung​

1 thought on “CERBUNG – NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *