BAB 23
Nathan berdiri di pinggir liang lahat, menatap ke dalam lubang yang gelap. Suasana sunyi menyelimuti pemakaman. Para pelayat berkumpul dengan wajah muram, mengenakan pakaian hitam. Mereka hadir untuk memberi penghormatan terakhir kepada Denis. Maya berdiri di depan peti mati dengan ekspresi dingin. Dia tidak menunjukkan emosi, tetap tegar meskipun orang-orang di sekelilingnya berduka. Peti mati diturunkan ke dalam tanah. Suara desahan pelayat menggema, tetapi Maya tetap tegak, tidak tergoyahkan. Nathan merasakan beban emosional yang berat, tetapi Maya menunjukkan sikap yang kuat. Saat tanah mulai menutupi peti mati, Maya tetap diam, menyadari bahwa kisah yang lebih kelam akan menyusul setelah pemakaman ini.
Acara pemakaman Denis telah selesai. Para pelayat mulai meninggalkan makam dengan langkah lambat. Maya berada di depan, berjalan tegak dan tenang. Pelayat lainnya mengikuti di belakang Maya, membentuk barisan panjang. Nathan masih berdiri di samping makam Denis. Ia menatap liang lahat yang kini tertutup tanah. Dalam pikiran Nathan, kepergian Denis bukan satu-satunya hal yang mengganggu. Keruwetan hidup pemuda itu mulai muncul ke permukaan. Perseteruan antara ibu dan ayahnya kembali terbayang. Hidupnya seperti benang kusut yang sulit diurai.
Setelah semua pelayat pulang, hanya Nathan yang tersisa di pemakaman. Dia berdiri sendirian, merasakan kesunyian yang menyelimuti tempat itu. Angin berbisik lembut, membawa aroma tanah basah. Pikiran Nathan melayang antara kenangan manis dan pahit bersama Denis. Ia merasa kosong, seolah bagian dari dirinya telah hilang bersama kepergian sahabatnya. Kesedihan menggerogoti hatinya, namun dia tetap berdiri tegak, tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan dunia. Dalam keheningan, Nathan merindukan momen-momen bersama Denis yang kini tinggal kenangan. Tiba-tiba, seseorang berdiri di samping Nathan. Orang itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Nathan, terfokus pada perasaannya, tidak memperhatikan kehadirannya. Dia tetap menatap gundukan tanah yang baru ditimbun. Setelah dua menit dalam keheningan, orang itu mulai bersuara. Suaranya memecah kesunyian, menarik perhatian Nathan dari lamunan yang gelap.
“Maya tidak lagi ingin mengembalikan roh Alex. Pengorbanan yang harus ditebus Maya tidak sedikit,” ucapnya dengan nada tenang. “Ritual untuk membangkitkan Alex memerlukan tumbal seratus nyawa manusia. Itulah yang mungkin menyebabkan Maya sekarang merelakan Alex pergi untuk selama-lamanya.”
Nathan terkejut dan segera menengok sambil bertanya, “Siapa Anda?” Dia memperhatikan penampilan orang di sampingnya yang mengenakan setelan jas berwarna hitam.
Orang itu menjawab, “Aku adalah seseorang yang mengetahui sebagian kisah hidupmu dan keluarga besarmu. Aku saksi hidup dari perjalanan hidupmu dan keluargamu.”
“Siapa sebenarnya Anda?” Nathan menanyakan kembali, wajahnya penuh kebingungan.
Orang itu menghela napas, kemudian berkata, “Aku adalah adik tiri dari orang yang selama ini kamu sebut sebagai ayah. Kita memiliki ayah yang sama, Nathan …”
Kali ini, Nathan terperanjat dan bergumam, “Permana…”
Orang itu tersenyum dan membenarkan ucapan Nathan, “Ya, aku adalah anak dari Permana. Sama seperti dirimu.”
Nathan benar-benar sangat terkejut mengetahui bahwa orang yang berdiri di dekatnya adalah saudaranya, satu bapak. Dia menatap wajah orang itu lekat-lekat, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Kedua mata mereka saling bertatap dalam keheningan. Tangan orang itu kemudian menepuk bahu Nathan pelan, menandakan ikatan yang tak terduga di antara mereka. Setelah itu, orang tersebut perlahan berlalu dari hadapan Nathan.
“Mas …!” Nathan memanggil saudaranya.
Orang itu berhenti dan berkata, “Aku ada di luar pemakaman. Aku tunggu kamu di sana.” Setelah itu, ia berjalan kembali.
Nathan tidak ingin tinggal sendirian setelah mendengar pengakuan yang mengejutkan. Dia merasa cemas jika orang itu pergi tanpa menjelaskan lebih lanjut. Dengan cepat, Nathan melangkah mengejar orang yang mengaku sebagai saudaranya. Langkah Nathan cepat, berusaha mendekati sosok yang baru saja muncul dalam hidupnya. Nathan menatap punggung orang itu dengan harapan bisa mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya. Rasa ingin tahu pemuda itu semakin menguatkan tekad untuk tidak membiarkan kesempatan ini berlalu.
“Mas … Kita harus bicara!” ucap Nathan setelah berhasil mengejar kakaknya.
“Memang kita harus bicara. Tetapi tidak di sini,” ucap sang kakak sambil terus melangkah.
Nathan ikut melangkah di samping orang yang mengaku sebagai saudaranya. Dia merasa perlu mengikuti sosok itu tanpa banyak bicara. Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah mobil. Sang kakak membukakan pintu belakang mobil. Nathan masuk ke dalam mobil dengan rasa penasaran yang semakin besar. Begitu duduk, dia dikejutkan oleh sosok lain yang berada di belakang kemudi. Nathan melihat wajah orang tersebut, tetapi belum bisa memahami situasinya. Tak lama setelah itu, sang kakak juga masuk ke dalam mobil di samping orang yang duduk di belakang kemudi. Nathan merasa sangat penasaran, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Dia … Adikku …” ujar sang kakak memubuat mata Nathan terbelalak.
“Hai Nathan … Salam kenal,” ucap orang yang duduk di belakang kemudi.
“I..iya … Ma..maaf … Aku masih terkejut …” jujur Nathan yang rasa ingin tahunya semakin membara.
“Santai saja Nathan … Kenalin namaku Rafael. Panggil saja Rafa,” ucap orang yang duduk di belakang kemudi.
“Namaku Darren,” sahut orang di sebelahnya.
“Ya … Salam kenal untuk kalian berdua,” ucap Nathan masih dengan rasa penasarannya yang membuncah.
“Ayo Rafa!” kata Darren memerintahkan adiknya meninggalkan tempat itu.
Mobil yang dikendarai Rafa mulai bergerak meninggalkan lokasi pemakaman. Sedan itu melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalan-jalan menuju pusat kota. Tidak lama kemudian, mobil memasuki area parkir sebuah kafe. Ketiganya turun dan berjalan menuju pintu kafe. Tempat itu tampak sepi. Tanpa banyak bicara, mereka langsung menuju sudut ruangan dan memilih tempat di pojokan.
Setelah duduk di pojok kafe, Nathan dan kedua saudaranya langsung melihat menu yang diberikan oleh pelayan. Tanpa banyak bicara, mereka masing-masing memilih makanan dan minuman. Nathan memesan sesuatu yang sederhana, sementara Rafa dan Darren memesan hidangan yang tampaknya sudah biasa mereka pesan di tempat ini. Setelah pelayan mencatat pesanan mereka, ketiganya mulai membuka pembicaraan.
“Mas Darren … Mas Rafa … Aku sangat berharap pertemuan yang mengejutkan ini memberi pencerahan padaku. Sejujurnya, aku sedang dilema saat ini. Aku dihadapkan dua pilihan yang sama bertanya. Aku tidak tahu harus membela siapa … Apakah ibuku atau ayahku …” Nathan langsung mengeluarkan keluh kesahnya.
Darren menatap Nathan sebelum berkata, “Ronny bukan ayahmu, Nathan. Ayahmu yang sebenarnya adalah ayah kami. Kita bertiga memiliki ayah yang sama. Kamu adalah adik kami.”
Nathan menghela napas, lalu menjawab, “Ya, aku sudah tahu. Ronny sudah menceritakan hal itu padaku.”
Rafa menatap Nathan sejenak, lalu berkata dengan nada serius, “Ada satu kisah di keluarga kita yang perlu kamu ketahui, Nathan. Mungkin dengan mengetahui ini, kamu bisa mengambil sikap lebih jelas.” Nathan menatap Rafa dengan penuh perhatian. Rafa melanjutkan, “Kisah ini bukan hanya tentang masa lalu keluarga, tapi juga tentang mengapa semua ini terjadi sekarang. Tentang apa yang sebenarnya terjadi antara ibu kita, ayah kita, dan Ronny.”
Nathan menatap Rafa dengan tajam, rasa ingin tahunya semakin memuncak. “Aku benar-benar ingin mendengar kisah itu, Mas. Tolong ceritakan semuanya. Aku perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi di keluarga kita,” jawab Nathan tegas, tanpa ragu.
Darren menatap Nathan dengan sorot mata yang berat, lalu berkata dengan lembut, “Kisah keluarga kita sangat kelam, Nathan. Penuh dengan rasa sakit hati dan dendam yang panjang. Apa yang terjadi di masa lalu membawa banyak luka, dan itu semua masih memengaruhi kita sampai hari ini.”
Rafa mengangguk pelan, memperkuat ucapan Darren. “Apa yang dibilang Mas Darren benar, Nathan. Semua rasa sakit dan dendam itu membentuk siapa kita sekarang. Kamu harus bersiap mendengar kisah ini, karena setelah kamu tahu, mungkin pandanganmu tentang banyak hal akan berubah.”
Nathan menarik napas dalam, lalu menatap kedua kakaknya dengan tegas. “Aku ingin mendengar kisah itu,” katanya. “Tapi aku berharap kalian berdua menceritakannya sejujur-jujurnya. Aku ingin tahu semuanya, tanpa ada yang disembunyikan. Karena, apa pun yang terjadi, aku hanya ingin satu hal, menyelamatkan keluarga kita. Semua dari kita.”
Darren menghela napas, lalu mengawali kisah itu. “Semua berawal dari tambang emas milik Permana, yang dulunya akan diwariskan kepada Ronny. Namun, hal ini mendapat penolakan dari ibu kami, yaitu Ibu Marni. Dia tidak rela tambang itu diberikan kepada Ronny. Sejak saat itu, Ibu Marni selalu memusuhi Ronny dan berusaha mengusirnya dari rumah kami.” Darren melanjutkan, “Aku pribadi merasa kasihan kepada Ronny. Dia terus-menerus mendapat perlakuan sangat buruk dari Ibu Marni. Meskipun ada alasan di balik semua itu, tetap saja tidak adil bagi Ronny. Dia hanya ingin mendapatkan tempat di keluarga ini, tetapi Ibu Marni tidak memberinya kesempatan.”
Nathan mengangguk perlahan, lalu merespon dengan singkat, “Aku tahu, Ibu kalian bersikap buruk terhadapnya.”
Darren melanjutkan penjelasan, “Awalnya, Ronny tidak tahu mengapa Ibu Marni begitu membencinya. Namun, saat Ronny dewasa, ia akhirnya menyadari bahwa sikap Ibu Marni terhadapnya disebabkan oleh tambang emas yang akan diwariskan kepadanya. Mengetahui hal itu, Ronny mulai melakukan perlawanan. Dia melibatkan pihak ketiga, seorang pengacara bernama Alex, untuk membantu memperjuangkan haknya atas tambang tersebut.”
Nathan terperanjat mendengar nama itu. “Alex?” pekiknya dengan nada tak percaya.
“Ya … Pengacara itu adalah Alex yang nantinya akan menjadi suami Maya,” jelas Darren.
Nathan menyadari ada banyak hal yang belum diketahui mengenai keluarganya, dan keinginan untuk memahami kisah ini semakin mendalam. Nathan pun berkata, “Bagaimana kelanjutannya?”
“Perebutan tambang emas itu berlanjut sampai Ronny menikah dengan Maya,” jelas Darren. “Keluarga kami semakin panas karena Maya lebih berani menantang Ibu Marni. Dia sangat mempertahankan hak Ronny sebagai ahli waris tambang emas itu. Perseteruan semakin memanas. Maya dan Ibu Marni sering bertengkar hebat tentang masalah yang sama. Setiap kali mereka bertemu, ketegangan itu kembali muncul.”
Nathan mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan Darren. “Aku pernah mendengar tentang perseteruan itu. Tapi, aku tidak tahu jika semua ini berakar dari perebutan tambang emas itu.”
Darren menatap Nathan dengan serius. “Banyak hal yang tidak aku pahami ketika aku masih kecil. Aku hanya mendengar potongan-potongan cerita dan merasa bingung. Sekarang semuanya sudah terungkap.”
Rafa menambahkan, “Maya tidak hanya melindungi Ronny, tapi dia juga berjuang untuk mendapatkan haknya sendiri. Dia ingin memastikan bahwa Ronny tidak dirugikan oleh Ibu Marni. Dia ingin membuktikan bahwa Ronny layak mendapatkan warisan itu.”
“Baiklah … Bagaimana kelanjutannya?” tanya Nathan setengah mendesah.
Darren menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ceritanya. “Maya ternyata memilih jalannya sendiri. Tanpa sepengetahuan Ronny, dia mulai merayu Permana. Dengan segala godaan yang dia lakukan, akhirnya Permana jatuh ke dalam perangkap Maya.”
Nathan terkejut. “Aku tahu kalau Maya mempunyai hubungan gelap dengan Permana, tetapi aku tidak tahu kalau ada alasan yang mendasari hubungan gelap itu.”
Rafa menimpali, “Hubungan gelap Permana dan Maya ternyata menghasilkan kamu, Nathan. Maya kemudian hamil, dan bayi yang dikandungnya adalah kamu.”
“Ya, itu kenyataannya,” jawab Darren. “Maya berjuang untuk mendapatkan hak Ronny dengan cara yang tidak terduga. Namun, pada saat yang sama, itu juga menciptakan masalah yang lebih besar bagi semua orang.”
“Tidak ada yang pernah memberitahuku tentang hal ini,” Nathan mengungkapkan rasa frustrasinya. “Keluarga kita seperti terjebak dalam siklus yang tidak pernah berakhir. Dan yang aku dengar, Ronny membiarkan hubungan gelap itu karena alasan ingin keadaan yang sudah membaik pada dirinya terus bertahan.”
Darren menghela napas sebelum berkata, “Ronny sebenarnya tahu hubungan gelap itu dan membiarkannya karena kedekatan Maya dan Permana membuat dirinya nyaman terutama terkait masalah hak waris pertambangan emas. Namun, kehamilan Maya sama sekali tidak dapat Ronny terima.”
Nathan terkejut lagi sambil bertanya, “Kenapa?”
“Karena Ronny merasa hancur. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hubungan itu akan mengubah segalanya. Ronny berpikir Maya hanya menginginkan harta dan kekuasaan. Nyatanya, Maya jatuh hati pada Permana dan ingin meninggalkan Ronny. Alasan Maya saat itu adalah Ronny telah mendapatkan apa yang diinginkannya. Sebagai imbalan atas jerih payahnya, Maya meminta Ronny melepasnya untuk bersama Permana,” jelas Darren.
Nathan terdiam sejenak, mencerna penjelasan Darren. Lalu, ia menggelengkan kepala seolah tidak percaya. “Jadi, selama ini Maya mencintai Permana? Semua yang terjadi bukan hanya karena harta dan kekuasaan, melainkan karena perasaan cintanya?” Ucapan Nathan menunjukkan rasa terkejutnya sekaligus mengungkapkan pemahaman baru tentang hubungan rumit di antara mereka.
Rafa menanggapi dengan tenang. “Ya, itu benar, Nathan. Maya memang mencintai Permana. Bukan hanya sekadar harta atau kekuasaan. Hubungan mereka bukanlah hal yang sederhana. Perasaan di antara mereka membuat semuanya menjadi rumit. Ronny merasa sangat hancur ketika mengetahui Maya mencintai Permana.”
“Bagaimana sikap Ronny saat itu?” tanya Nathan sangat penasaran.
Darren menatap Nathan dengan serius, berusaha menjelaskan situasi yang membingungkan. “Ronny sebenarnya ingin menceraikan Maya, Nathan. Dia merasa dikhianati dan sangat terluka ketika mengetahui bahwa Maya hamil oleh ayahnya sendiri. Namun, Permana tidak setuju dengan keputusan Ronny. Dia berusaha mencegah Ronny menceraikan Maya. Ada kabar burung yang mengatakan bahwa Permana tidak benar-benar mencintai Maya. Dia lebih memilih Ibu Marni, dan itu membuat situasi semakin rumit. Jadi, ketika Ronny berusaha untuk menceraikan Maya, Permana berusaha menghalanginya. Dia beranggapan bahwa menjaga Maya dalam pernikahan dengan Ronny akan membantunya tetap dekat dengan Ibu Marni.”
Rafa menyambar, “Ronny bersedia menerima permintaan Permana untuk tidak menceraikan Maya tapi Ronny meminta syarat.”
“Apa syarat yang Ronny minta?” tanya Nathan.
Kali Darren yang menjawab, “Ronny meminta tambang emas milik Permana.”
“Terus?” tanya Nathan sambil memperbaiki posisi duduknya.
Darren melanjutkan dengan serius, “Permana akhirnya menerima syarat yang diajukan Ronny. Dia menyadari bahwa semua masalah ini adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Dia merasa bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi dalam keluarga kami.” Darren menambahkan, “Permana tahu bahwa, bagaimanapun juga, Ronny adalah anaknya, dan dia tidak ingin hubungan mereka semakin memburuk. Menerima permintaan Ronny untuk mendapatkan tambang emas itu adalah cara Permana untuk menebus kesalahannya. Dia berharap dengan cara ini, Ronny bisa merasa dihargai dan mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya.”
Rafa kembali ikut dalam pembicaraan, “Semua kejadian itu tak satu pun yang tahu. Bahwa Permana memberikan tambang emas itu, tak seorang pun yang tahu, hingga semuanya terbongkar ketika emas di tambang itu hilang lenyap tak berbekas.”
“Apa? Apakah yang kalian bicarakan adalah Gunung Brajamusti?” tanya Nathan yang hanya bisa bertanya dalam perbincangan mereka itu.
“Benar … Tambang emas itu berada di Gunung Brajamusti,” jawab Darren sambil menganggukan kepala.
“Jadi emas itu hilang setelah kepemilikan berpindah tangan?” tanya Nathan lagi dan lagi.
“Ya… Ternyata, menurut kuncen Gunung Brajamusti, Ronny bukanlah pewaris yang sah. Sebab, dia sebenarnya adalah anak tiri Permana. Permana menikahi ibu Ronny saat ibu Ronny sudah mengandung anak dari pria lain, yang bukan dari keluarga besar leluhur kita,” jelas Darren.
Nathan semakin terkejut mendengar penjelasan Darren. Ia berusaha mencerna setiap informasi yang baru saja diterimanya. Kebenaran mengenai status Ronny sebagai anak tiri Permana mengubah pandangannya tentang keluarganya. Fakta bahwa Ronny bukanlah pewaris yang sah atas Gunung Brajamusti membuka tabir yang selama ini tersembunyi dalam hidupnya.
“Oke … Oke … Semua ini membuatku terkejut … Aku sampai kehilangan hitungan sudah berapa kali aku terkejut. Sekarang aku mau tanya, apabila memang Ronny tidak mempunyai darah leluhur kita, kenapa Gunung Brajamusti itu tidak menurun pada kalian. Padahal kalian adalah keturunan langsung dari Permana?”
Darren menatap Nathan dan menjelaskan, “Nathan … Ibu kami lah yang menutup pewarisan Gunung Brajamusti kepada kami karena ibu Marni memiliki sifat tamak. Sifat itu membuat para leluhur kami menutup akses Gunung Brajamusti untuk aku dan Rafa. Kami adalah keturunan langsung dari Permana, tetapi karena ambisi Ibu Marni terhadap harta dan kekuasaan, kami tidak bisa mewarisi gunung itu. Berbeda dengan Maya. Dia tidak peduli dengan Gunung Brajamusti dan bahkan memberikannya kepada Ronny sebagai imbalan untuk cinta dan kebersamaannya dengan Permana.”
Nathan merenung sejenak dan berkata, “Sifat tamak Ibu Marni yang menutup pewarisan Gunung Brajamusti. Sementara itu, keikhlasan Maya membuka jalan bagi pewarisan itu kepadaku. Ini semua menunjukkan betapa ambisi dan kasih sayang dapat mempengaruhi takdir seseorang.” Suasana hening sejenak sebelum Nathan melanjutkan ucapannya, “Setahuku, Ibu Maya orangnya sangat tamak dan mengerikan,” ucapnya sambil menatap mata Darren.
“Sifat itu muncul setelah Maya dekat dengan Alex. Dia jadi semakin terjebak dalam ambisi dan kekuasaan. Hubungannya dengan Alex membuatnya berubah menjadi orang yang indivisualistis. Dalam prosesnya, Maya mulai melupakan nilai-nilai moral dan lebih fokus pada kepentingan pribadinya,” jelas Darren sambil tersenyum getir.
“Oke kita kembali ke masalah … Setelah emas di Gunung Brajamusti menghilang dan semuanya terbongkar, bagaimana kisah selanjutnya?” tanya Natah menyambung pembicaraan mereka.
“Setelah Gunung Brajamusti berpindah tangan ke Ronny,” kata Darren, “Emas di gunung itu hilang. Ronny panik, kelimpungan mencari emas yang hilang itu, tapi tidak berhasil. Di sisi lain, Ibu Marni murka dengan meninggalkan rumah membawa aku dan Rafa. Sementara itu, Permana dan Maya tetap tinggal bersama di rumah itu. Beberapa bulan kemudian, Ibu Marni kembali, tapi kali ini dia tidak datang sendirian. Dia membawa aparat hukum. Ternyata, Ibu Marni sudah menyiapkan semuanya untuk menghancurkan Permana. Dia membongkar semua bisnis ilegal Permana. Tidak ada satu pun yang bisa ditutup-tutupi. Segala kejahatan Permana dibuka. Permana terpojok, tidak bisa mengelak.”
Nathan menggelengkan kepala, terkejut dengan pengkhianatan yang terjadi dalam keluarganya. “Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?” tanyanya pelan.
Darren menatap Nathan dengan tatapan yang berat, seolah mengingat kembali masa-masa kelam itu. “Permana tidak berdaya. Ibu Marni dan aparat hukum itu ternyata tidak berniat memenjarakannya. Tapi ada syarat. Mereka tidak akan memproses perkara Permana lebih lanjut jika Permana mengusir Maya dan Ronny dari rumah.”
Nathan terdiam, meresapi setiap kata yang diucapkan Darren. “Permana akhirnya mengusir mereka,” ucap Nathan akhirnya, merasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Ya,” jawab Darren singkat. “Permana, meskipun terpojok, masih punya rasa pada Ibu Marni. Jadi, dia setuju. Dia mengusir Maya yang saat itu sedang hamil sembilan bulan, dan juga Ronny.”
Nathan menghela napas dan berkata, “Aku sebenarnya sudah pernah dengar cerita ini, tapi tidak sedetail apa yang kamu ceritakan. Aku tahu garis besarnya, tapi banyak hal yang baru aku pahami sekarang setelah mendengar langsung darimu.”
Darren menatap Nathan dengan rasa ingin tahu dan bertanya, “Nathan, apa kamu tahu apa yang Maya lakukan setelah diusir oleh Permana?”
Nathan terdiam sejenak, mencoba mengingat kembali peristiwa itu. Lalu, dengan suara pelan ia berkata, “Setelah diusir, Maya menjalin hubungan dengan Alex. Dia melihat Alex sebagai orang yang berani, seseorang yang bisa melindunginya dari semua ancaman. Alex punya kekuatan dan keberanian yang Maya butuhkan waktu itu.”
Darren menggeleng kepala pelan, lalu berkata, “Jawabanmu nggak sepenuhnya salah, tapi juga nggak sepenuhnya benar.”
“Apa yang terjadi?” tanya Nathan penasaran.
Darren menghela napas sejenak sebelum berkata, “Sebenarnya, Alex-lah yang mempersatukan Ronny dan Maya kembali. Karena Alex, mereka akhirnya rujuk. Setelah itu, mereka bertiga punya satu tujuan yang sama yaitu menghancurkan Ibu Marni dan Permana. Maya dan Ronny sakit hati, terutama dengan tindakan Ibu Marni dan Permana. Tapi yang paling parah, Maya punya dendam yang sangat besar terhadap Permana. Dia merasa Permana telah membuang dirinya seperti sampah. Dan itu wajar, Nathan… Maya sangat mencintai Permana. Jadi, saat dia dicampakkan, rasa sakitnya tak tertahankan.”
“Apa yang dilakukan Maya?” tanya Nathan dengan nada sedih.
Darren melanjutkan dengan nada serius, “Maya, Ronny, dan Alex mempelajari ilmu hitam yang sangat berbahaya. Mereka menggali ilmu ini untuk memperkuat rencana mereka menghancurkan Ibu Marni dan Permana. Guru mereka adalah seorang dukun sakti dari Probolinggo, seorang yang dikenal karena kemampuannya dalam menggunakan kekuatan gelap. Dukun ini mengajarkan mereka berbagai mantra dan ritual. Dengan bimbingan dukun tersebut, mereka akhirnya bisa mendapatkan kekuatan yang cukup untuk membalas dendam dan mengubah nasib mereka.”
Nathan tertegun mendengar penjelasan Darren. Dengan nada skeptis, ia berkata, “Jadi, mereka benar-benar mengambil jalan itu? Menggunakan ilmu hitam untuk menghancurkan Ibu Marni dan Permana?”
“Ya … Aku pernah berkunjung ke dukun sakti itu … Dan aku mendapatkan informasi dari beliau yang pasti mengejutkanmu,” Darren tersenyum kecil.
“Apa yang dikatakannya?” tanya Nathan yang terus menerus dibuat penasaran.
Darren menatap Nathan dengan penuh kekaguman dan berkata, “Nathan, engkaulah pewaris tunggal dari kejayaan dan kedigjayaan Prabu Brajamusti. Sang dukun sakti telah meramalkan bahwa kamu akan menjadi sosok yang tak tertandingi di jagat raya ini. Baik bangsa manusia maupun bangsa jin akan takluk di bawah kekuasaanmu. Potensi yang mengalir dalam dirimu adalah warisan agung yang akan membawa nama keluarga Brajamusti kembali ke puncak kejayaan.”
Nathan termenung mendengar ucapan Darren yang terasa sangat berlebihan. Ucapan tersebut mengguncang keyakinan Nathan tentang dirinya. Meskipun Nathan pernah bertemu dengan Prabu Brajamusti, pengalaman itu tidak seheboh yang dikatakan Darren. Momen itu terasa biasa dan tidak dramatis. Nathan merenungkan semua informasi yang baru saja dia terima. Ia merasa bingung dengan harapan besar yang diletakkan pada dirinya. Dalam keheningan, Nathan tetap diam, tidak ingin merespon ucapan Darren. Pikiran-pikiran tentang tanggung jawab dan beban yang mungkin harus dipikul semakin membebani benaknya.
Tak lama, Nathan pun bertanya, “Bagaimana kelanjutan cerita Maya, Ronny, dan Alex?”
“Ketika Maya, Ronny, dan Alex sedang berlatih dengan dukun sakti itu, Ronny mendapatkan informasi yang sangat penting. Dukun yang aku temui itu bilang hanya Ronny yang ia beri tahu informasi itu, tidak dengan Maya dan Alex. Sang dukun menjelaskan bahwa anak Maya adalah pewaris tunggal Prabu Brajamusti. Tentu saja, Ronny penasaran dan langsung bertanya tentang emas yang hilang di Gunung Brajamusti. Dukun itu menjawab bahwa setelah anak Maya mencapai usia 25 tahun, ia akan mampu membuka tembok gaib yang ada di dalam gunung tersebut. Saat itu, emas yang selama ini tersembunyi akan keluar dan tidak akan pernah habis.” Jelasnya.
Nathan langsung memotong, “Sebentar Mas … Jadi informasi kalau aku bisa membuka tembok gaib Gunung Brajamusti itu dari guru Ronny?” tanya Nathan terkejut karena apa yang dia dengar tidak sama dengan apa yang diucapkan Darren.
“Benar … Ronny mendapatkan informasi itu dari beliau,” jawab Darren tegas.
“Tapi kenapa yang lain, maksudku Maya dan Alex tidak diberitahukan hal itu sama si dukun?” tanya Nathan lagi.
“Aku juga mempertanyakan hal yang sama kepada sang dukun sakti itu, dan dia menjawab kalau sang dukun sudah bisa membaca kehidupan Ronny yang akan ditinggalkan oleh Maya dan Alex. Sang dukun merasa kasihan pada Ronny,” jelas Darren masuk akal.
Kali ini Rafa ikut bicara lagi, “Sejak mengetahui kamu adalah pewaris tunggal Prabu Brajamusti, Ronny membawa kaburmu dari Maya dan Alex. Menurutku Ronny memang sangat berambisi memiliki Gunung Brajamusti.”
“Oke …” Nathan menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya, “Jadi Maya dan Alex memang tidak tahu kalau aku adalah pewaris tunggal Prabu Brajamusti?”
“Harusnya tidak … Karena tidak ada yang mengetahuinya selain kami …” jawab Darren.
“Aku merasa sangat bingung dengan semua informasi yang aku terima. Setiap penjelasan yang diberikan membuatku semakin tidak jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi. Antara pewarisan, emas yang hilang, dan hubungan antara Maya, Ronny, dan Alex, semuanya terasa simpang siur dan sulit untuk dipahami. Aku butuh penjelasan yang lebih jelas agar bisa memahami situasi ini dengan baik,” ungkap Nathan setengah mendesah.
“Nathan … Sebaiknya kamu lupakan dulu sejenak tentang Gunung Brajamusti. Ada hal yang lebih penting yang ingin aku sampaikan. Ini adalah inti dari semua cerita yang telah aku bagikan. Aku berharap kamu bisa mendengarkan dengan seksama. Aku benar-benar membutuhkan perhatianmu untuk ini,” kata Darren dengan nada serius bercampur sedih.
“Baiklah … Apa yang ingin disampaikan?” tanya Nathan.
“Setelah menceritakan semua sejarah keluarga ini, aku harus mengingatkanmu tentang rasa sakit dan dendam yang dirasakan Maya terhadap ayah kita, Permana. Saking fokusnya untuk membalas dendam, sepertinya Maya tidak peduli bahwa anaknya dibawa Ronny. Selama lebih dari lima tahun, dia terus mempelajari ilmu kegelapan dari sang dukun. Akhirnya, Maya kembali menghadapi Permana. Aku masih ingat betapa sedihnya ketika mendengar bahwa ibuku dibunuh secara sadis oleh Maya. Dan anehnya, saat itu bangkai Permana tidak pernah ditemukan, seolah-olah menghilang tanpa jejak. Karena itu, aku sangat berharap kamu bisa menanyakan langsung kepada Maya tentang keberadaan ayah kita,” ucap Darren, suaranya penuh harap dan kesedihan. “Aku tahu ini bukan hal yang mudah, tetapi mungkin Maya bisa memberi kita jawaban yang selama ini kita cari. Kita perlu memahami apa yang sebenarnya terjadi dan di mana dia berada. Mungkin dengan begitu, kita bisa menutup babak kelam dalam hidup kita dan menemukan kedamaian.”
Nathan merenung dalam-dalam, mencerna permintaan Darren dengan seksama. Dia merasakan beban yang berat di dadanya. Menghadapi Maya tidaklah mudah, terlebih dalam kondisi seperti saat ini. Nathan menyadari bahwa tindakan Maya selama ini, termasuk mengabaikan anaknya, dipenuhi dengan kepedihan yang mendalam. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Maya, terjebak dalam balutan kegelapan setelah dikhianati. Permintaan Darren untuk menanyakan keberadaan ayah mereka membuat Nathan merasa bingung. Apakah dia benar-benar siap untuk menggali kembali luka lama? Di satu sisi, dia ingin tahu kebenaran tentang Permana dan apa yang terjadi di balik semua itu. Namun, di sisi lain, Nathan khawatir bahwa kebenaran itu mungkin menyakitkan dan bisa mengguncang seluruh kehidupan orang banyak.
Nathan menatap bergantian ke wajah Darren dan Rafa. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berkata, “Aku akan menanyakan tentang ayah kita kepada Maya. Tapi aku rasa aku tidak bisa melakukannya dalam waktu dekat. Saat ini, suasananya sangat berat karena aku dan Maya juga keluarga besar Maya baru saja kehilangan Alex. Kita perlu memberi diri Maya waktu untuk berduka sebelum membongkar luka lama ini.”
Darren mengangguk pelan, menatap penuh rasa syukur. “Terima kasih, Nathan. Kami menghargai keputusanmu. Ini memang saat yang sulit bagi kita semua.”
Rafa menambahkan, “Kami sangat berterima kasih atas pengertianmu.”
“Sama-sama … Tapi aku ingin bertanya lagi satu hal … Kenapa kalian baru sekarang menemuiku? Seandainya kalian menemui sejak lama, mungkin kejadian seperti ini sudah bisa kita selesaikan,” ungkap Nathan penuh keheranan.
Darren menghela napas sebelum menjawab, “Sebenarnya, kami baru tahu bahwa kamu adalah pewaris Prabu Brajamusti sekitar tiga tahun lalu. Sejak saat itu, kami mencarimu. Kami tidak menyangka kamu bisa bertemu dengan Maya. Kami justru tahu tentang keberadaanmu saat mendengar kabar mengenai Alex yang meninggal dunia. Kami mendengar anak buah Maya membicarakan bahwa kamu akan menggantikan posisi Alex. Itu pun terdengar tidak sengaja.”
“Oh …” respon Nathan singkat.
Nathan, Darren, dan Rafa masih membahas banyak hal tentang masa lalu keluarga mereka. Mereka membicarakan hubungan yang rumit antara Permana, Maya, dan Ibu Marni, serta dampak dari semua peristiwa itu terhadap kehidupan mereka sekarang. Pembicaraan terus mengalir tanpa henti, penuh dengan cerita lama yang kembali terungkap. Nathan menyimak, mencoba mencerna semuanya, merasa bahwa masa lalunya, yang tampak begitu jauh, kini kembali menyelimuti hidupnya.
Tiba saatnya mereka berpisah. Darren dan Rafa menawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi Nathan menolak dengan halus. Dia merasa perlu waktu sendiri untuk memikirkan semua yang baru saja terjadi. Setelah mereka bertukar nomor kontak, ketiganya berpisah dengan rasa saling mengerti bahwa mereka akan bertemu lagi suatu saat nanti.
Nathan keluar dari kafe dan melangkah menuju taksi yang sudah menunggu di depan. Setelah masuk ke dalam taksi, ia memberi alamat rumah Maya kepada sopir. Perjalanan terasa singkat di tengah pikirannya yang penuh dengan cerita masa lalu keluarganya. Setibanya di depan rumah Maya, Nathan keluar dari taksi dan langsung berjalan menuju gerbang rumah Maya yang megah. Penjaga-penjaga tampak berjaga ketat, mereka langsung membungkuk hormat ketika Nathan melangkah masuk, memperlihatkan rasa hormat yang tinggi terhadapnya sebagai pemimpin keluarga besar itu. Rumah Maya dipenuhi banyak orang yang hadir bukan hanya untuk berduka, tetapi juga untuk menunjukkan dukungan kepada Nathan sebagai pewaris sah dari dinasti keluarga yang besar.
Saat Nathan memasuki halaman dan melangkah ke dalam rumah, kerumunan orang-orang itu membuka jalan baginya. Setiap orang yang dilalui memandang Nathan dengan penuh harapan dan penghormatan, meski ia tetap merasa berat dengan semua perhatian ini. Nathan tahu bahwa ia adalah sosok penting di antara mereka, tetapi suasana yang penuh tekanan di tengah kematian Alex membuatnya merasa bahwa ini bukan waktunya untuk berbicara panjang lebar.
Nathan melangkah masuk ke dalam rumah megah milik Maya, melewati pintu besar yang terbuka lebar. Di ruang depan, ia melihat banyak orang berkumpul, beberapa dari mereka adalah anggota keluarga besar, yang lainnya mungkin sahabat atau kenalan lama. Semuanya seketika menunduk hormat ketika Nathan lewat, menyadari bahwa dialah kini yang memegang kendali. Ia terus berjalan tanpa banyak berkata, rasa duka dan tanggung jawab yang besar menyelimuti pikirannya.
Setelah melewati ruang depan, Nathan tiba di ruang tengah, di mana suasananya terasa lebih tegang. Di sini, ia melihat para pejabat tinggi dan orang-orang penting dari kelompok Maya. Mereka semua mengenalinya sebagai pimpinan baru setelah kematian Alex. Beberapa dari mereka berdiri, membungkuk hormat, menatapnya dengan penuh harapan dan kesetiaan. Setiap tatapan yang ia temui seolah menuntutnya untuk segera mengambil alih peran yang telah diwariskan padanya. Dia menatap satu per satu wajah mereka, tahu betul bahwa dirinya kini memegang kendali penuh atas jaringan yang begitu besar ini. Nathan diam sejenak, merenungi situasi yang begitu kompleks di depan matanya.
Nathan melangkah maju dengan sikap tenang, meskipun perasaannya sedang berkecamuk. Ia baru saja berbicara dengan Darren dan Rafa tentang masa lalu keluarganya, dan kini harus memimpin orang-orang yang sebelumnya tunduk kepada Maya. Mereka menunggu arahan darinya. Tentu saja, tanggung jawab besar ini terasa menekan, tetapi Nathan tahu bahwa saat ini, mereka membutuhkan sosok pemimpin yang tegas. Ia berhenti di tengah ruangan, menatap setiap orang yang hadir di sana. Suasana terasa tegang. Nathan lalu berbicara dengan nada yang tegas dan jelas, menyadari bahwa banyak mata yang tertuju padanya.
“Kita berada dalam masa yang tidak pasti,” ucap Nathan. “Serangan dari luar bisa datang kapan saja, dan musuh-musuh kita lebih kuat dari yang pernah kita duga. Oleh karena itu, aku memerintahkan kalian semua untuk meningkatkan kewaspadaan. Jangan ada satu pun dari kita yang lengah. Siapkan pasukan di setiap titik strategis. Aku ingin laporan dari setiap unit keamanan dalam beberapa jam ke depan.”
Semua yang hadir mendengarkan dengan serius. Nathan kemudian melanjutkan, “Aku juga ingin setiap pejabat tinggi terus memantau situasi di lapangan. Jika ada tanda-tanda ancaman, segera laporkan langsung kepadaku. Kita harus siap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.”
Setelah memberi perintah, Nathan melirik ke sekeliling ruangan, memastikan bahwa semua orang mengerti dan tidak ada kebingungan. Wajah-wajah di sekelilingnya menunjukkan ketegangan, tetapi mereka menerima instruksi itu tanpa protes. Nathan tahu bahwa saat ini, dia harus menunjukkan kepemimpinan yang tegas, meskipun masih banyak hal yang belum dia pahami sepenuhnya tentang keluarganya dan konflik yang sedang dihadapinya. Nathan menyelesaikan perintahnya dan mengakhiri pertemuan tersebut. Semua pejabat tinggi mulai bergerak, mengikuti instruksinya.
Setelah memberi perintah kepada jajaran pejabat tinggi, Nathan memutuskan untuk menemui Maya. Dia berjalan menuju kamar Maya dengan langkah hati-hati, mencoba menenangkan diri. Nathan sampai di depan pintu kamar Maya. Ruangan itu tampak sunyi, hanya suara angin yang terdengar dari luar jendela. Dengan pelan, Nathan mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Merasa perlu berbicara, dia memutar gagang pintu dan masuk.
Di dalam, Maya tampak duduk diam di dekat jendela, memandang kosong ke arah luar. Sinar matahari yang mulai redup menyinari wajahnya yang tampak pucat, tak ada tanda-tanda dari sosok kuat yang selalu Nathan kenal. Nathan berjalan mendekat tanpa suara, merasakan kesedihan yang begitu mendalam menyelimuti ruangan itu. Saat akhirnya berdiri di samping Maya, Nathan diam sejenak. Nathan menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam emosi di dalam dirinya. Ia tahu kata-kata ini harus datang dari hati, tanpa memaksakan apapun.
“Aku turut berduka cita atas kepergian Alex,” Nathan berkata dengan lembut, suaranya bergetar sedikit. “Aku tahu dia adalah sosok yang penting untuk Bunda. Dia sangat berjasa dalam membentuk kehidupan kita yang sekarang.”
Maya masih tidak bergeming. Pandangannya tetap tertuju ke luar jendela, seolah tak peduli pada dunia di sekitarnya. Tapi Nathan tahu, kalimat itu harus dikatakan. Mereka harus mengakui betapa besarnya pengaruh Alex dalam hidup Maya dan keluarga mereka.
“Alex adalah orang yang luar biasa,” lanjut Nathan pelan. “Aku tahu ini bukan saat yang mudah, tapi aku hanya ingin Bunda tahu kalau aku selalu ada di sini untuk Bunda.”
Maya akhirnya menarik napas panjang, seakan terbebani oleh berat dunia yang selama ini dia tanggung. Namun, dia tidak menoleh. Kata-kata Nathan terserap dalam kesunyian kamar, memberikan ruang untuk perasaan kehilangan yang begitu besar.
“Alex…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Dia lebih dari sekadar mitra… lebih dari sekadar orang yang membantuku mencapai puncak.”
Nathan berdiri diam di samping, mendengarkan dengan seksama, membiarkan Maya berbicara tanpa interupsi. Dia tahu bahwa saat ini Maya sedang menghadapi beban kenangan yang begitu berat.
“Ketika aku masih seorang wanita yang hampir tidak punya apa-apa, Alex yang mengulurkan tangan. Dia melihat sesuatu dalam diriku yang orang lain tidak pernah lihat. Keberaniannya… ambisinya… itulah yang mendorongku, membangkitkanku dari dasar jurang. Tanpa dia, aku tidak akan pernah menjadi seperti sekarang.”
Maya membuka matanya, tapi tatapannya tetap kosong, seakan dia sedang melihat kembali masa-masa sulit yang dia lewati bersama Alex. Nathan hanya bisa membayangkan seberapa besar peran pria itu dalam kehidupan Maya. Seorang taipan yang begitu kuat seperti Maya tidak mungkin bisa sampai ke posisinya sekarang tanpa dukungan besar di belakangnya, dan Alex-lah orang yang berperan penting dalam setiap langkah besar yang diambilnya.
“Alex tidak hanya memberikan dukungan materi, dia memberikan kepercayaan. Dia yang membuatku menyadari kekuatan yang ada dalam diriku. Dia membawaku ke lingkaran orang-orang berpengaruh, dia yang mengajari aku cara bermain di dunia yang keras ini. Setiap langkahku, setiap keputusan besar yang kuambil… semua itu, aku lakukan dengan bayangan Alex di belakangku.”
Nathan merasakan keheningan semakin tebal. Maya, yang biasa terlihat begitu tegar dan tak terkalahkan, kini tampak rapuh di hadapannya. Semua pencapaian besar yang mereka miliki bersama tidak bisa menutupi kesedihan dan rasa kehilangan yang dia rasakan sekarang.
“Aku tidak tahu bagaimana melangkah ke depan tanpa dia,” Maya mengakui, suaranya bergetar sedikit. “Bahkan ketika aku merasa sudah kuat, ternyata aku selalu bergantung padanya. Dia adalah penopang yang tak terlihat. Dan sekarang dia sudah tiada.”
Nathan tetap diam, tidak tahu bagaimana memberikan penghiburan yang pantas untuk rasa kehilangan sebesar itu. Dia bisa merasakan bahwa Maya sedang berjuang, bukan hanya melawan kesedihan karena kepergian Alex, tapi juga berusaha memahami bagaimana dia bisa melanjutkan hidup tanpa pria yang telah membangun dan membentuk dunianya.
“Semua yang aku miliki… semua yang kita miliki… tidak akan ada tanpa Alex,” kata Maya pelan, suaranya nyaris pudar.
“Bunda,” Nathan memulai, dengan nada yang lembut namun tegas. “Aku tahu kehilangan Alex adalah pukulan besar. Tidak mudah menerima kepergiannya, aku mengerti itu. Tapi ingatlah, Bunda adalah orang yang membangun semua ini. Bukan hanya karena Alex, tapi karena keteguhan dan kekuatan Bunda sendiri.”
Maya tak merespon, tapi Nathan bisa melihat bahunya sedikit bergerak, seolah merasakan sesuatu dari perkataannya. Nathan melanjutkan, lebih yakin.
“Dulu, saat Bunda belum punya apa-apa, Alex memang membantu Bunda. Tapi yang membuat Bunda bertahan, yang membuat Bunda sampai di puncak seperti sekarang, adalah diri Bunda sendiri. Bunda adalah orang yang tahu bagaimana caranya bangkit, melawan, dan mengambil alih kendali. Bunda yang memutuskan setiap langkah besar dalam hidup Bunda, dan Bunda yang menghadapi semua risiko.”
Maya menghela napas pelan, tetap memandang keluar, tapi Nathan tahu ucapannya mulai menyentuh. Ia mendekat sedikit lagi, mencoba mencapai hati Maya yang tertutup oleh duka.
“Alex memang penting, tapi Bunda tak pernah bergantung sepenuhnya pada siapapun. Bunda selalu punya kekuatan sendiri. Itu yang membuat Bunda menjadi siapa Bunda sekarang, seorang taipan yang disegani, seorang pemimpin yang tak tergoyahkan. Jika Alex ada di sini sekarang, dia pasti ingin melihat Bunda terus melangkah. Dia tak akan ingin Bunda menyerah atau terjebak dalam kesedihan ini.”
Nathan menatap Maya dengan penuh kesungguhan, mencoba menembus dinding emosional yang Maya bangun di sekelilingnya. “Bunda lebih kuat dari apa yang Bunda kira. Dan aku di sini, bersama orang-orangmu, siap untuk mendukung setiap langkah Bunda ke depan. Dunia ini masih membutuhkan Bunda, dan aku tahu Bunda masih punya banyak yang harus Bunda capai.”
Maya akhirnya menoleh perlahan, tatapannya kosong, tapi ada sedikit kilatan di mata yang sebelumnya redup. Dia diam sejenak, seakan mencerna setiap kata Nathan. Nathan tahu ini adalah langkah pertama. Dia tidak bisa memaksa Maya keluar dari kesedihan begitu saja, tapi dia bisa mengingatkan Maya tentang siapa dirinya. Bahwa di balik duka dan kehilangan, Maya tetaplah orang yang kuat, yang pernah menghadapi banyak badai dan selalu berhasil mengatasinya.
Setelah beberapa saat dalam hening, Nathan menyadari bahwa ia telah menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Dia tahu bahwa Maya masih butuh waktu untuk meresapi semua ini, dan tidak ada gunanya memaksanya lebih jauh saat ini.
Dengan pelan, Nathan memegang bahu ibunya. “Aku akan meninggalkan Bunda untuk sementara,” ucapnya lembut. “Bunda tahu di mana mencariku jika butuh sesuatu.”
Maya tidak menjawab, namun anggukan kecilnya memberi isyarat bahwa dia mendengar. Nathan pun berbalik, berjalan menuju pintu kamar, meninggalkan Maya dengan pikirannya sendiri. Ia berharap Maya akan menemukan kekuatan dalam kesunyiannya, seperti yang sering ia lakukan.
Begitu keluar dari kamar Maya, Nathan berjalan menyusuri koridor rumah yang megah itu. Lorong-lorong panjang terasa begitu sunyi meskipun rumah itu masih penuh dengan orang-orang penting yang sibuk dengan urusan masing-masing. Setiap langkahnya terpantul oleh lantai marmer dingin, sementara pikirannya dipenuhi oleh apa yang baru saja ia sampaikan pada Maya.
Dia membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk, melepaskan napas panjang seolah mencoba melepaskan beban yang ia bawa. Setelah menutup pintu kamar, dia berjalan menuju tempat tidur. Namun, alih-alih berbaring, Nathan duduk bersila di atas lantai. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan semua ketegangan yang ia rasakan sepanjang hari itu. Nathan memilih bermeditasi, sebuah cara yang sering ia lakukan untuk menghilangkan kelelahan fisik dan menyelaraskan kembali pikirannya. Napasnya mulai melambat, pikirannya kosong, dan seiring waktu, ia mulai merasa lebih tenang.
Saat Nathan bermeditasi, keheningan yang ia ciptakan mulai meresap ke dalam tubuh dan pikirannya. Waktu berlalu, hampir setengah jam ia tenggelam dalam meditasi itu. Namun, tiba-tiba sesuatu yang asing terasa menarik dirinya. Perlahan tapi pasti, Nathan merasa seperti sedang diangkat dari tubuh fisiknya, ditarik oleh kekuatan tak kasat mata. Semuanya terasa begitu nyata dan kuat, seolah-olah sebuah kekuatan dari dunia lain merenggut dirinya keluar dari realitas yang ia kenal.
Dalam sekejap, Nathan mendapati dirinya berada di sebuah tempat yang sangat berbeda. Dia tidak lagi di kamar yang sunyi, melainkan di sebuah istana megah yang terasa penuh wibawa dan kekuatan. Dinding-dindingnya tinggi dan kokoh, dipenuhi ukiran emas dan hiasan-hiasan dari zaman kuno. Di tengah ruangan yang luas itu, Nathan melihat sosok yang langsung dikenalnya yaitu Prabu Brajamusti. Raja yang tampak agung itu berdiri tegap, memegang sebuah golok panjang di tangannya yang kekar. Golok itu berkilau, memancarkan aura yang sangat kuat.
Di hadapan Prabu Brajamusti, ada seseorang yang sedang bersimpuh di lantai, menundukkan kepala dengan sikap penuh ketundukan dan hormat. Wajah orang itu tidak bisa terlihat dengan jelas, tertutup bayangan yang seolah sengaja menyembunyikan identitasnya.
Nathan ingin bergerak, ingin bertanya, namun tubuhnya terasa kaku. Ia tidak bisa menggerakkan satu jari pun, bahkan sekadar bicara pun tak bisa. Suara tertahan di tenggorokannya, seperti dibungkam oleh kekuatan tak terlihat. Nathan hanya bisa menyaksikan pemandangan di depannya, seolah menjadi penonton dalam sebuah drama besar yang tak terduga. Detak jantungnya mulai berpacu, perasaan terjebak dalam dimensi ini membuatnya gelisah, tetapi dia tak bisa melakukan apa pun. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu, menyaksikan, dan mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Penglihatannya mulai fokus pada sosok Prabu Brajamusti, raja yang gagah perkasa, berdiri kokoh di tengah aula istana megah. Di hadapannya, bersimpuh seorang pria dengan wajah penuh ketakutan. Nathan segera menyadari bahwa pria ini adalah anak tiri Prabu Brajamusti, yang akan dihukum karena kejahatan besar yang dilakukannya. Suasana dalam istana itu mencekam, seolah seluruh ruang menyimpan kesedihan sekaligus ketegangan. Nathan bisa merasakan hawa dingin yang menusuk, menandakan sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
“Anak durhaka!” suara Prabu Brajamusti menggelegar. Matanya tajam menatap anak tirinya dengan kemarahan yang membara. “Kau berani menggunakan tipu muslihat untuk merebut Gunung Brajamusti dari tanganku? Kau kira aku tak tahu rencanamu yang licik?”
Anak tirinya, dengan tubuh gemetar, mencoba membela diri. “Ampuni hamba, Prabu… Hamba hanya… Hamba hanya ingin… Hamba tak berniat…” Kata-katanya terputus-putus, ketakutan merasukinya.
“Tak berniat?” Prabu Brajamusti mendekat dengan langkah berat. Golok panjang di tangannya berkilau, seolah haus darah. “Kau berani mengkhianati darah yang melindungimu! Kau bersekongkol dengan musuh, mengincar gunung yang akan menjadi warisan anak-cucuku. Tak ada ampun bagi pengkhianat!”
Nathan, yang tak bisa bergerak atau berbicara, menyaksikan adegan ini dengan perasaan kacau balau. Meski tubuhnya tak bereaksi, hatinya bergejolak melihat keadilan yang ditegakkan dengan cara yang begitu tegas.
Prabu Brajamusti kembali berbicara, nadanya kini penuh kewibawaan, namun dingin. “Gunung Brajamusti bukanlah milik sembarang orang. Hanya yang berhak dan menjaga nilai-nilai luhur yang akan menjadi penguasanya. Kau… Kau ingin mengambilnya dengan tipu daya? Maka kau harus menanggung akibatnya.”
Anak tirinya menangis, tubuhnya bersujud, berharap belas kasihan. Namun Prabu Brajamusti tidak bergeming. “Kau tak layak hidup setelah mengkhianati keluargamu. Hukumanmu adalah kematian!”
Dengan satu gerakan cepat, golok itu terayun, dan dalam sekejap, kepala anak tirinya terpenggal. Darah mengalir, membasahi lantai istana yang megah. Suara kepala yang jatuh ke lantai membuat suasana semakin mencekam. Nathan menyaksikan semuanya dengan penuh keterkejutan, perutnya terasa mual melihat tindakan itu. Namun, ia menyadari bahwa ini adalah pelajaran yang ingin disampaikan kepadanya, untuk bertindak tegas pada siapa pun yang berani berbuat curang demi menguasai Gunung Brajamusti.
Prabu Brajamusti menoleh, seolah-olah sadar ada yang mengawasi. Meski tak bisa melihat Nathan, suaranya terasa menusuk langsung ke jantung Nathan. “Ketegasan adalah bagian dari kewajiban seorang pemimpin. Jangan biarkan pengkhianat merusak apa yang telah diwariskan. Gunung Brajamusti harus dijaga dari mereka yang tidak layak.”
Nathan terpaku, memahami bahwa pesan ini ditujukan padanya, meskipun ia tak bisa merespons. Ketika suara Prabu Brajamusti menggema dalam benaknya, Nathan merasakan tubuhnya kembali ditarik oleh kekuatan yang sama saat ia pertama kali dibawa ke dunia ini. Semuanya berputar, dan dalam sekejap, ia merasakan pergerakan cepat seperti terbang melewati dimensi. Hanya sesaat setelahnya, Nathan terjatuh kembali ke dalam tubuhnya, merasakan berat tubuhnya terbaring di lantai kamarnya. Ia terbangun dengan napas yang berat, jantungnya berdegup kencang. Kenangan akan apa yang baru saja ia saksikan masih jelas dalam benaknya. Gambar-gambar dalam istana, kemarahan Prabu Brajamusti, dan hukuman yang diberikan kepada anak tirinya terus berputar di pikirannya. Prabu Brajamusti dan hukuman yang dijatuhkan pada anak tirinya, semua itu bukan sekadar peringatan. Itu adalah panggilan untuk bertindak tegas dalam menjaga warisan dan kehormatan Gunung Brajamusti.
Nathan berusaha menata kembali pikirannya. Rasa ngeri dan ketegangan dari peristiwa yang baru saja dilihatnya berangsur-angsur memudar. Namun, pesan Prabu Brajamusti tetap terukir dalam ingatannya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan apa yang telah dia lihat. Keberanian dan ketegasan sang raja dalam menegakkan keadilan seharusnya menjadi panutan bagi dirinya sebagai pewaris Gunung Brajamusti. Nathan kemudian memikirkan tanggung jawab yang kini diembannya. Dia harus memastikan bahwa Gunung Brajamusti tetap aman dari pengkhianatan dan tipu daya. Dia tidak bisa membiarkan sejarah terulang, di mana darah dikhianati oleh anggota keluarga sendiri.
Nathan memikirkan Ronny, pria yang selama ini dianggapnya sebagai ayah. Meskipun bukan ayah kandungnya, Ronny telah mengisi peran penting dalam hidup Nathan. Namun sekarang, Nathan merasa hati dan pikirannya terpecah. Ronny bukan sekadar ayah bagi Nathan, tapi juga seseorang yang telah berusaha merebut Gunung Brajamusti melalui tipu muslihat. Usaha jahat Ronny untuk menguasai gunung yang penuh kekuatan itu bukan sekadar kesalahan kecil. Itu adalah pengkhianatan besar, sebuah dosa yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Nathan tahu dia harus bertindak tegas, seperti Prabu Brajamusti. Tapi, di sisi lain, dia tidak bisa melupakan rasa kasih sayang yang dia miliki untuk Ronny. Nathan akhirnya berdiri dari tempatnya, memandang keluar jendela kamar. Dia tahu satu hal dengan pasti, jika dia membiarkan Ronny terus berjalan di jalur yang salah, Gunung Brajamusti dan segala kekuatannya bisa jatuh ke tangan yang tidak benar. Sejarah keluarganya dan warisan Prabu Brajamusti terancam. Tapi, Nathan juga tidak mau meniru tindakan keras Prabu Brajamusti dengan segera menjatuhkan hukuman tanpa memberi kesempatan.
Dalam hatinya, Nathan membuat keputusan. Dia akan berusaha menyadarkan Ronny terlebih dahulu. Dia ingin berbicara dengannya, mengingatkan tentang nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang seharusnya dijaga. Namun, jika Ronny tetap bersikeras dan tidak mau berubah, Nathan sadar bahwa dia tidak punya pilihan lain selain bertindak tegas. Seperti yang dilakukan Prabu Brajamusti, Nathan harus melindungi warisan keluarganya dari segala ancaman, bahkan jika itu berarti harus menghukum orang yang pernah dia anggap sebagai ayah.
“Jika Ronny menolak kesadaran ini,” pikir Nathan, “aku tidak akan ragu. Aku akan melakukan apa yang harus dilakukan.”
Nathan melihat ke arah jam di dinding. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul enam petang. Tanpa membuang waktu, Nathan berjalan menuju kamar mandi. Air dingin menyegarkan tubuh saat ia membersihkan diri. Setelah selesai, ia mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian yang telah disiapkan. Nathan berdiri di depan cermin, memastikan semua rapi. Setelah merasa cukup puas, ia merapikan rambutnya, memperbaiki kemejanya, dan memeriksa sekali lagi penampilannya. Setelah dirasa siap, Nathan melangkah keluar dari kamar.
Nathan berjalan menuju tangga. Begitu sampai di tepi anak tangga, matanya terbelalak melihat Maya duduk di sofa. Di sekelilingnya, tampak beberapa pejabat tinggi dari perusahaan di bawah naungannya. Mereka berdiri dengan perhatian penuh, mendengarkan pengarahan yang sedang diberikan. Maya terlihat berbeda, tidak lagi tenggelam dalam kesedihan. Wajahnya tegas, penuh fokus saat berbicara. Nathan memperhatikan bagaimana ekspresi itu seolah telah melupakan duka yang baru saja melanda. Dengan langkah tenang, Nathan menuruni anak tangga. Semua mata sempat tertuju padanya, tubuh-tubuh di ruangan itu secara refleks memberi jalan. Nathan berjalan mendekat dan berdiri di sisi sofa yang diduduki, menyaksikan Maya yang masih sibuk memberikan pengarahan.
“Kita tidak bisa terus menunggu,” ucap Maya dengan nada serius. “Kita harus mempercepat proses akuisisi perusahaan-perusahaan kecil yang menjadi pesaing kita. Mereka terlalu lemah untuk bertahan, dan ini adalah kesempatan kita untuk memperkuat dominasi di pasar.”
Seorang pejabat tinggi, Pak Arif, yang duduk di depannya, mengangkat tangan dan berbicara, “Nyonya Besar, ada beberapa perusahaan kecil yang tampaknya akan melawan. Mereka punya dukungan lokal yang kuat. Bagaimana sebaiknya kita menangani mereka?”
Maya menatap Arif dengan tajam, lalu berkata, “Kita mainkan strategi tekanan. Pastikan mereka tidak punya pilihan selain menerima tawaran kita. Jika ada yang masih berani melawan, kita tingkatkan tekanan ekonomi, hukum kalau perlu kekerasan. Jangan beri ruang untuk bernapas.”
Arif mengangguk, tetapi tampak sedikit ragu, “Tapi, Nyonya Besar, beberapa dari perusahaan ini punya relasi baik dengan pemerintah daerah. Itu mungkin menjadi penghalang bagi kita.”
Maya tersenyum dingin, lalu berkata, “Relasi bisa berubah. Gunakan sumber daya kita untuk menekan mereka secara halus. Kirimkan pesan bahwa kita datang dengan kekuatan yang tidak bisa mereka lawan. Ingat, kita tidak di sini untuk bermain cepat dan tepat. Aku ingin akuisisi ini selesai dalam waktu singkat.”
Suasana di ruangan itu penuh dengan diskusi serius. Para pejabat tinggi saling bertukar pandangan dan menyusun strategi berdasarkan arahan tegas dari Maya. Mereka membicarakan detail rencana akuisisi, tekanan yang akan dilakukan, dan bagaimana cara membuat para pesaing kecil tak punya pilihan selain tunduk.
Nathan, yang berdiri di sisi sofa tempat Maya duduk, menyaksikan semuanya dengan penuh perhatian. Perlahan-lahan, dia mulai menyadari bahwa apa yang sedang direncanakan Maya bukan sekadar ekspansi bisnis biasa. Ini adalah strategi untuk melumpuhkan usaha para pesaing, membuat lawan-lawannya menjadi terlalu lemah untuk melawan, hingga akhirnya menyerah di bawah kekuatan Maya yang sekarang.
Dia melihat ke arah Maya yang terus memberikan instruksi dengan ketegasan dan kepercayaan diri yang luar biasa. Maya sudah kembali menjadi singa betina yang berani, kuat, dan tak kenal ampun, seperti yang dulu sering ia lihat dalam dirinya. Sebuah senyum kecil muncul di wajah Nathan. Ia tahu, meski baru saja kehilangan Alex, Maya tetaplah Maya. Sosok yang tak pernah benar-benar lemah, meskipun keadaan seberat apapun menimpanya.
“Kita tidak bisa lagi memberi toleransi pada mereka,” ucap Maya dengan nada dingin, matanya menatap lurus ke arah para pejabat yang berkumpul di depannya. “Musuh-musuh kita harus rontok tanpa ampun dan tanpa belas kasihan. Mereka sudah cukup lama mengambil keuntungan dari kelembutan kita.” Maya berhenti sejenak, memastikan setiap orang benar-benar mendengarkan. “Dalam waktu sesingkat-singkatnya, aku ingin mereka hancur lebur. Tak ada lagi ruang untuk kompromi atau penundaan.”
Kata-kata Maya itu seperti palu yang menghantam keras, mempertegas dominasi yang ingin ia kembalikan. Nathan memperhatikan, tak bisa menahan kekagumannya. Maya, yang baru saja mengalami kehilangan besar, kini berbicara dengan otoritas yang tak bisa dibantah. Dia bukan lagi ibu yang berduka, tapi ratu yang siap untuk kembali merebut tahtanya.
Maya mengakhiri pertemuan dengan memberikan nasehat kepada para anak buahnya. Ia mengingatkan mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh perhitungan dalam setiap langkah yang diambil. Setelah nasehat itu, diskusi pun berakhir. Para anak buah Maya tidak ragu untuk meninggalkan tempat. Satu per satu mereka berjalan menuju pintu keluar.
Begitu pintu tertutup, ruangan itu menjadi sunyi. Hanya tersisa Maya, Nathan, dan Ida di ruang tengah yang luas itu. Nathan mengagumi semangat Maya yang kini memancarkan ketegasan. Ida berdiri di samping Maya, menunjukkan dukungannya tanpa ragu. Nathan memperhatikan wajah Maya, teringat akan perjalanan yang telah dilaluinya. Dari sosok yang berduka, kini ia bertransformasi menjadi pemimpin yang berani dan tegas.
Nathan memandang Maya yang duduk di sofa dengan tatapan penuh kekaguman. “Aku benar-benar kagum padamu, Bunda,” ucapnya. “Melihat Bunda bangkit kembali dari kesedihan ini membuatku sangat bangga.”
Maya tersenyum, menyadari tatapan Nathan. “Nathan, Bunda bisa bangkit lagi karena ucapanmu tadi. Bunda tahu betapa pentingnya untuk terus melangkah maju,” katanya dengan nada tegas.
Nathan merasa hangat mendengar kata-kata Maya. “Aku hanya ingin Bunda tahu kalau Bunda kuat. Tidak ada yang bisa menghentikan Bunda,” balasnya.
Ida, yang duduk di samping Maya, ikut tersenyum. “Kita semua tahu betapa hebatnya dirimu, Boss. Dan kami akan selalu mendukungmu.”
Maya mengangguk, mengingat kembali perjalanan yang telah dilalui. “Terima kasih, kalian. Dukungan kalian membuatku lebih kuat,” ujarnya, merasa bersyukur. Tiba-tiba Maya menatap Ida dan berkata, “Bagaimana penyelidikanmu?”
Ida menatap Nathan dengan ekspresi meminta pertimbangan. Matanya berbicara, seolah meminta izin untuk mengungkapkan hasil penyelidikannya. Nathan menangkap maksud tersebut. Dengan tegas, Nathan menganggukkan kepala. Persetujuannya memberikan sinyal bahwa Ida dapat melanjutkan penjelasannya.
“Setelah melakukan penyelidikan, aku menemukan bahwa penyerang Denis adalah Ronny dan salah satu anak buahnya. Bahkan, Ronny mengancam akan melanjutkan teror ini jika Nathan tidak segera diserahkan kepadanya,” jelas Ida.
“Ronny. Aku sudah memperkirakannya. Dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkannya,” ujar Maya dengan ekspresi tegas, matanya menyipit, dan tangannya terkepal di atas paha.
“Dia menginginkan Gunung Brajamusti,” ungkap Ida dengan suara tegas.
Maya terkejut mendengar pernyataan itu, tetapi dia berusaha tetap tenang. Dia menoleh ke arah Nathan, menarik napas dalam-dalam, dan mengatur posisi duduknya lalu berkata, “Kamu menyembunyikan sesuatu padaku, Nathan?” tanya Maya dengan suara tenang, meskipun sorot matanya tajam.
Nathan menatap Maya dengan serius dan menjawab, “Tidak, Bunda … Aku tidak menyembunyikan apa pun darimu. Aku hanya mencoba memahami situasi ini dan berusaha menyelesaikannya sebaik mungkin.”
“Tambang emas itu …” lirih Maya sambil menghadapkan wajahnya kembali kepada Ida. “Apa yang kau ketahui tentang gunung itu, Ida?” tanya Maya, suaranya mendadak dingin.
Ida mengamati Maya dengan ekspresi serius, “Gunung Brajamusti adalah warisan leluhur Nathan yang menyimpan kekayaan luar biasa. Emas gaib yang terkandung di dalamnya akan muncul jika pewaris yang sah ditemukan. Nathan adalah pewaris yang sah itu. Ketika Nathan mencapai usia 25 tahun, dia akan dapat membuka tabir gaib yang menyelimuti gunung ini. Saat itu, emas yang ada di perut gunung akan kembali muncul.”
Maya menggelengkan kepala, lalu berkata, “Ronny memang selalu terobsesi dengan tambang emas milik ayahku. Dia tidak pernah bisa melepaskan harapannya untuk menguasai tambang emas itu.”
Ida menyampaikan, “Aku ingin mendengar pendapatmu, Boss, tentang langkah selanjutnya. Aku jujur saja merasa sungkan untuk mengambil tindakan keras terhadap Ronny, mengingat dia adalah ayah Nathan. Apa yang sebaiknya kita lakukan?”
“Aku akan menyerahkan masalah ini kepada Nathan … Biar dia yang mengurusnya. Aku tidak mau ikut campur dengan masalah mereka. Dan masalah tambang emas itu aku tidak peduli,” ucap Maya dengan tegas, sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela, seolah-olah ingin menjauhkan pikirannya dari masalah itu.
“Bunda tidak peduli? Benarkah Bunda tidak peduli?” Nathan terkejut mendengar ucapan Maya. Ia mengira Maya akan tertarik dan ingin memiliki gunung emas itu.
“Bunda memang tidak peduli, Nathan. Bunda tidak ingin terlibat dalam masalah ini. Bunda minta, segera selesaikan masalah ini sendiri. Bunda tidak mau ada korban lagi di pihak kita,” tegas Maya.
Nathan terkejut mendengar pernyataan Maya yang tidak peduli dengan Gunung Brajamusti. Dalam benaknya, dia selalu menganggap bahwa Maya akan tertarik untuk menguasai warisan berharga itu. Namun, sikap Maya yang tampak acuh dan menjauhkan diri dari masalah tersebut membuatnya bingung. Seakan-akan, Maya tidak ingin terlibat dalam kekayaan dan segala hal yang berhubungan dengan Gunung Brajamusti. Nathan benar-benar tidak bisa memahami mengapa ibunya bersikap demikian.
“Baiklah … Aku akan menyelesaikan masalah ini sendiri secepatnya,” ungkap Nathan yang masih diliputi kebingungan. “Ida … Besok kamu hubungi pihak Ronny. Bilang padanya aku akan menemui Ronny sendiri,” lanjut Nathan dengan percaya diri.
“Baik, Boss!” jawab Ida tegas.
Ida kemudian mengatur langkahnya menuju pintu keluar. Dia merasakan ketegangan di antara Maya dan Nathan. Sebelum meninggalkan ruangan, Ida sempat melirik ke arah keduanya, memastikan mereka baik-baik saja. Ida menutup pintu dengan lembut, meninggalkan dua orang yang kini harus menghadapi realitas tanpa kehadirannya. Sementara itu, Nathan dan Maya masih terdiam, terbenam dalam pikiran masing-masing.
“Bunda …” Akhirnya Nathan memutus keheningan. “Sebenarnya apa yang terjadi di keluarga kita?” Nathan melanjutkan, berharap pertanyaannya bisa membuka jalan bagi penjelasan yang selama ini dia cari.
Maya terdiam seribu bahasa. Dia enggan menceritakan masa kelamnya dahulu. Ingatan akan kejadian yang menyakitkan itu kembali membanjiri pikirannya. Setiap detik terasa menyiksa, setiap kenangan membawa luka yang dalam. Selain luka, dia juga penuh dosa. Kesalahan masa lalu menghantuinya, menyisakan rasa bersalah yang tak kunjung sirna. Nathan melihat ekspresi ibunya. Dia bisa merasakan beban yang dipikul Maya. Kebimbangan tampak jelas di wajahnya. Nathan merasa ada sesuatu yang penting yang perlu diungkapkan, tetapi Maya tampaknya tidak siap. Keheningan menyelimuti mereka, memberi ruang bagi pikiran dan perasaan yang tidak terucap.
Maya berdiri dan meninggalkan Nathan sendiri. Langkahnya tegas, tetapi ada sesuatu dalam gerakannya. Nathan hanya bisa memperhatikan punggung Maya yang perlahan menjauh. Dia melihat ibunya menaiki anak tangga, langkahnya menuju lantai dua, menghilang di lorong menuju kamarnya. Nathan merasa berat di dada. Rasa ingin tahunya tentang silsilah keluarganya terpendam dalam-dalam. Dia menyadari, mungkin ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan hal tersebut. Keputusan Maya untuk menjauh menandakan ada sesuatu yang ingin dia sembunyikan. Nathan menghela napas, berusaha menenangkan pikiran. Dia tahu bahwa setiap orang memiliki rahasia dan luka yang tersimpan, dan kadang-kadang, waktu adalah obat terbaiknya.
Bersambung
Luar biasa….TPI lanjut lgi kak !!!!