BAB 25
Nathan duduk di kursi kerjanya dengan punggung tegak. Meja kerjanya teratur, dihiasi beberapa dokumen penting dan komputer yang menyala. Layar menampilkan grafik dan angka yang harus diperhatikan. Ia memulai hari dengan mengecek email dan menyusun prioritas tugas. Setiap pesan diperhatikan secara saksama, diurutkan berdasarkan urgensinya. Ia kemudian melanjutkan ke laporan keuangan yang harus diselesaikan. Dengan konsentrasi penuh, Nathan menganalisis data dan mencocokkan informasi yang diperlukan. Suasana ruangan tenang, hanya terdengar suara ketikan di keyboard dan bunyi notifikasi yang sesekali muncul. Setelah menyelesaikan semua tugasnya, Nathan mengakhiri sesi kerjanya dan bersiap untuk waktu istirahat siang.
Nathan melihat jam yang tergantung di dinding. Waktu menunjukkan saat yang tepat untuk istirahat siang. Ia bangkit dari kursinya, merasakan lelah setelah berjam-jam bekerja. Nathan berjalan ke pintu ruangannya. Ia membuka pintu dan langsung melihat Anggi di mejanya, sibuk dengan berkas-berkas yang terhampar. Wanita itu langsung berdiri saat melihat Nathan. Nathan kemudian mendekati Anggi dan berdiri di depan meja kerjanya.
“Anggi, sudah saatnya kita beristirahat. Bagaimana, sudah siap untuk makan siang bersamaku?” tanya Nathan dengan nada ramah.
Anggi mengangguk, “Saya sangat siap, Tuan Muda. Saya sudah menunggu waktu ini sejak pagi,” jawabnya dengan semangat.
Nathan merasa senang mendengar jawaban Anggi. “Baiklah, ayo kita pergi!”
Nathan dan Anggi berjalan menuju lift. Mereka saling berbagi senyuman setelah menyelesaikan pekerjaan pagi. Suasana kantor terasa tenang, dan suara sepatu mereka memecah keheningan. Setiba di depan lift, Nathan menekan tombol panggil. Lampu indikator menyala, menandakan lift sedang dalam perjalanan. Pintu lift terbuka, dan Nathan mempersilakan Anggi masuk lebih dulu sebelum ia menyusul. Setelah pintu lift tertutup, mereka berdiri bersebelahan. Nathan memperhatikan angka-angka di panel yang menunjukkan tujuan ke lantai dasar. Lift meluncur turun, dan Anggi tampak tidak sabar untuk menikmati waktu istirahat.
Saat pintu lift terbuka, mereka melangkah keluar. Lobi kantor luas dipenuhi karyawan yang sedang beraktivitas. Nathan dan Anggi bergerak menuju tempat parkir pimpinan perusahaan. Mereka melintasi jalur familiar bagi Nathan. Di ujung parkir, mereka menemukan mobil Nathan terparkir rapi. Mobil berwarna hitam dengan desain elegan. Nathan membuka pintu dan mempersilakan Anggi masuk terlebih dahulu sebelum ia masuk. Setelah mereka duduk di dalam mobil, Nathan menyalakan mesin. Suara mesin halus mengisi kabin. Mobil melaju keluar dari parkir dengan kecepatan stabil.
Nathan membuka pembicaraan dengan suara santai. “Anggi, gimana rasanya bekerja denganku? Apakah aku ini pantas jadi atasanmu?”
Anggi tersenyum lebar. “Kamu sangat pantas jadi atasanku. Aku senang banget jadi bawahanmu.”
Nathan mengangguk. “Syukurlah. Aku kadang merasa khawatir, apakah aku sudah cukup baik dalam memimpin.”
“Jujur saja, kamu sangat baik dalam memimpin. Kamu selalu mendengarkan dan memberi ruang untuk pendapatku,” jawab Anggi, terlihat antusias.
“Kalau begitu, berarti aku nggak terlalu buruk,” kata Nathan sambil tersenyum.
“Pastinya! Dan kamu selalu memberi dorongan saat aku butuh,” Anggi menambahkan. “Rasanya seperti punya sahabat di kantor.”
Nathan tertawa. “Itu yang aku harapkan. Kerja itu harusnya menyenangkan, kan?”
“Setuju! Dan kamu selalu bisa membuat suasana jadi lebih ringan,” jawab Anggi.
Nathan dan Anggi melanjutkan obrolan di dalam mobil. Tawa dan senyuman mengisi ruang kabin. Obrolan mengalir tanpa beban, menciptakan suasana hangat di antara mereka dan membuat perjalanan menuju tempat makan siang terasa menyenangkan.
Mobil Nathan memasuki area hotel kelas dunia yang dimiliki olehnya. Bangunan megah dan elegan itu berdiri kokoh, menunjukkan keanggunan dalam setiap detailnya. Nathan memarkirkan mobil di depan lobby. Begitu mereka turun, seorang tukang parkir hotel segera menghampiri dan mengambil alih kendaraan Nathan untuk dipindahkan ke tempat parkir khusus pemilik hotel. Nathan menggandeng tangan Anggi dengan lembut, berjalan memasuki hotel.
Begitu mereka melangkah masuk, suasana hotel langsung berubah. Para karyawan hotel terlihat sibuk dan sedikit panik dengan kedatangan Nathan. Mereka bergegas memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Manajer hotel, yang terkejut melihat Nathan, segera mendekat dan mengajukan pertanyaan mengenai keperluannya. Nathan meminta manajer untuk menyiapkan sebuah kamar hotel untuk makan siang bersama asistennya.
Dengan cepat, sang manajer mengangguk dan bergerak menuju area persiapan, menginstruksikan timnya agar memenuhi permintaan Nathan. Tak perlu menunggu lama, manajer kembali dengan wajah ceria dan memberitahukan Nathan bahwa kamar yang dipesan sudah siap. Dengan didampingi sang manajer, Nathan dan Anggi melangkah menuju presidential suite yang telah disiapkan sebagai tempat mereka makan siang.
Nathan dan Anggi melangkah ke dalam kamar hotel yang sangat mewah. Pemandangan di sekelilingnya mengagumkan, dengan perabotan yang terbuat dari bahan berkualitas tinggi dan dekorasi yang elegan. Cahaya lembut dari lampu menciptakan suasana hangat di dalam ruangan. Sebuah meja besar telah disiapkan di tengah kamar, dilengkapi dengan set peralatan makan yang rapi.
Setelah duduk, Nathan dan Anggi memulai acara makan siang. Pelayan hotel membawa hidangan yang telah disiapkan dengan sempurna. Setiap sajian terlihat menggugah selera, mulai dari hidangan pembuka hingga makanan utama. Nathan dan Anggi menikmati setiap suapan dengan penuh rasa syukur. Mereka berbincang tentang berbagai hal, berbagi cerita sambil menikmati waktu yang berkualitas.
Selama makan siang, Nathan merasa semakin dekat dengan Anggi. Suasana menjadi semakin akrab saat mereka tertawa dan saling bertukar pandangan. Waktu berlalu tanpa terasa. Setelah selesai, pelayan mengangkat sisa hidangan dan menyajikan hidangan penutup yang manis. Nathan dan Anggi merasa puas, bukan hanya dengan makanan yang lezat tetapi juga dengan kebersamaan yang menyenangkan.
Setelah menikmati makan siang, suasana di dalam kamar hotel terasa santai. Nathan duduk bersandar di kursi sambil tersenyum. Dengan nada bercanda, ia menatap Anggi dan berkata, “Anggi, aku baru sadar, sepertinya hidangan utama makan siang ini belum sempat aku cicipi.”
Anggi mengangkat alisnya, pura-pura tidak mengerti. Ia berkata, “Bukankah tadi hidangan utama sudah habis?”
Nathan menggelengkan kepala sambil tetap tersenyum. Ia berkata dengan nada serius, “Nggak, Anggi. Hidangan utama itu belum aku makan. Sekarang, aku benar-benar ingin mencobanya.”
Anggi tersipu malu. Ia bertanya dengan nada penasaran, “Apa hidangan utama yang kamu maksud?”
Nathan menatap Anggi dengan tatapan menggoda. Ia menjawab singkat, “Dirimu.”
Wajah Anggi memerah dan jantungnya berdebar kencang, “Kamu serius?” tanyanya dengan suara bergetar. “Maksudmu, hidangan utama itu… aku?”
Nathan mengangguk, senyumnya semakin lebar, “Ya, aku serius. Aku ingin sekali mencicipi hidangan utamaku.”
Anggi merasakan getaran di dalam hatinya. Ia menundukkan kepala, berusaha menenangkan diri, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya lagi. “Kalau itu yang kamu mau, aku… aku bersedia,” katanya pelan, mengangguk perlahan.
Nathan memperhatikan Anggi dengan serius. “Anggi, aku ingin kamu jujur. Apakah kamu benar-benar ingin dijadikan hidanganku?” tanyanya lembut. Ia menekankan bahwa ini bukanlah paksaan. “Kalau kamu tidak bersedia, aku tidak keberatan. Aku hanya ingin tidak ada paksaan yang kamu rasakan.” Nathan ingin Anggi merasa nyaman dan bebas untuk mengungkapkan keinginannya.
Anggi tersipu malu, hatinya bergetar mendengar pertanyaan Nathan. “Sebenarnya, aku sangat ingin menjadi hidangan utamamu,” katanya, suaranya lembut namun penuh ketegangan. “Tapi… apa aku pantas menjadi hidangan utama kamu?” Anggi bertanya, sedikit ragu. Dia menundukkan kepala, berusaha mencari keberanian. “Aku merasa sudah terlalu tua untuk dijadikan hidangan utamamu,” lanjutnya, matanya tidak berani bertemu tatapan Nathan.
Nathan mendekat, “Usia bukanlah halangan, Anggi. Kamu adalah wanita yang cantik dan menarik. Sekarang aku sangat ingin memakanmu.” Kata Nathan sambil mengambil tangan Anggi dan menarik wanita itu.
Nathan membawa Anggi memasuki president suite di hotel, lalu mereka berhadap-hadapan di sisi ranjang, saling menatap dengan intensitas yang meningkat. Kini mereka saling berhadapan saling menatap, sebelum akhirnya Anggi tersenyum. Saat melihat senyumnya, gairah tak bisa lagi ditahan oleh Nathan. Dengan lembut, Nathan mendekatkan wajahnya, dan tanpa ragu, dia mencium bibir Anggi. Anggi mendesah kecil saat tangan Nathan perlahan turun ke pantatnya. Dengan penuh keinginan, Nathan meremas dan menarik tubuh Anggi lebih dekat, membiarkan suasana antara mereka semakin membara.
Nathan dan Anggi saling menyentuh lembut dalam ciuman yang penuh gairah, ciuman yang dipenuhi birahi. Mereka bertahan sejenak, merasakan ciuman yang membuat mereka sulit bernapas dan bergerak. Perlahan, mereka mulai menggoyangkan kepala, melumat bibir satu sama lain dengan penuh hasrat. Nathan merasakan payudara Anggi yang cukup besar menempel di dadanya, tubuh mereka saling menekan. Payudara Anggi semakin mendekat, sementara bagian bawah mereka juga saling bersentuhan. Ketika panas ciuman mereka meningkat, Anggi mengeluarkan jeritan tertahan, dan bibir mereka saling menyatu, terlarut dalam gelora hasrat yang membara.
Mulut Nathan dan Anggi semakin erat bersatu. Tangan Nathan bergerak naik turun di punggung Anggi dengan lembut. Beberapa saat kemudian, tanpa melepaskan ciuman mereka, Nathan perlahan membuka blouse Anggi. Dia menarik tangan Anggi ke bawah, menggeser blouse itu dari bahunya, dan membiarkannya jatuh ke lantai. Anggi yang tidak mengenakan bra segera memeluk leher Nathan lagi saat Nathan menarik tubuhnya lebih dekat. Nathan bisa merasakan puting Anggi yang mengeras menempel di dadanya.
Masih sambil berciuman, Nathan mengarahkan tangannya ke pinggul Anggi dan meremas pantatnya dengan lembut. Dia memutar tangannya ke depan dan perlahan membuka resleting celana Anggi. Dengan sedikit usaha, celana katun itu pun terlepas. Kini, seorang wanita cantik hampir telanjang berdiri di depannya. Nathan segera meletakkan lengannya di bawah paha Anggi dan mengangkat tubuhnya ke pelukannya. Dia bergerak menuju ranjang dan dengan lembut membaringkan Anggi di atasnya. Anggi tampak sangat kusut; kedua matanya sayu, sementara mulutnya merah dan basah.
Anggi menatap Nathan dengan penuh kerinduan. “Setubuhi aku, Nathan…” ujarnya sambil bergeser ke tengah tempat tidur. Nathan mengulurkan tangan dan merangkak ke arahnya, menyambar lengan atas Anggi, lalu menariknya dengan berlutut di atas ranjang. Saat mereka bertemu di tengah tempat tidur, keduanya berlutut, dan Nathan mulai mendekat lagi. Dia memeluk Anggi dan menatap matanya yang menggoda.
“Nathan… Susah lama aku… mmmppphhhh…!” Anggi tidak sempat menyelesaikan ucapannya saat Nathan memotongnya dengan sebuah ciuman, tepat ketika mulut Anggi terbuka. Anggi masuk dalam pelukan Nathan sesaat sebelum dia mulai mengerang lemah, kembali menyambut ciuman Nathan dengan penuh gairah.
Perlahan-lahan, lengan Anggi merayapi dada dan bahu Nathan saat ciuman mereka berlanjut dengan semakin hangat dan kian panas. Mereka merasa seolah melayang, kehilangan kendali dalam gairah yang menggebu. Suara erangan samar terdengar dari keduanya, mulut mereka saling menyatu, berputar satu sama lain. Bagian bawah tubuh mereka saling melekat, dan Nathan merasakan birahinya mulai mendidih dalam kegilaan.
Nathan melirik ke bawah dan merasakan penismu bergerak-gerak dengan denyutan keras. Dia memperhatikan betis Anggi yang tampak bagaikan padi membunting, pahanya montok namun lembut, dan pinggul seksinya yang masih terbalut celana dalam sutra berwarna putih. Tak sanggup menahan diri, Nathan langsung menjelajahi paha Anggi dan meremas pinggulnya yang menggoda. Pinggul mereka pun mulai bergerak perlahan, menyesuaikan dengan irama dan kecepatan ciuman mereka. Tangan Nathan naik-turun di pinggul dan pantat Anggi, mencengkeram bulatan kembar yang masih terbalut celana dalam sutra itu.
Nathan bergerak mundur sedikit, sehingga dua payudara Anggi yang selama ini tersembunyi kini tampak jelas di depannya, seolah mengundangnya untuk segera menyentuhnya. Payudara itu berwarna putih, tidak terlalu besar tetapi tetap kencang dan kenyal, dengan lingkar areola coklat kemerahan dan puting berwarna merah muda yang begitu indah. Dengan cepat, Nathan menangkap bagian bawah payudara Anggi dan perlahan-lahan bergeser ke atas, membelai setiap bagian buah dada itu hingga jari-jarinya mencapai putingnya. Dia memilin masing-masing puting secara lembut secara bergantian.
Anggi mengerang, “EEEHHMMMMM!” dan semakin mendorong payudaranya ke tangan Nathan. Masing-masing buah dada itu bergerak setiap kali jarinya memilin puting Anggi, seolah berusaha memuaskan rasa haus yang tertahan selama ini. Nathan menghentikan ciumannya dan menundukkan kepala ke buah dada sebelah kiri, menangkap puting dan areola dalam mulutnya, mulai membasahi dan merangsang puting Anggi dengan lidahnya. Anggi mengeluarkan erangan lain, sambil menyambar kepala Nathan dengan kedua tangannya, jari-jarinya bergerak lembut di rambutnya.
Nathan melepaskan kemeja dan pakaian dalamnya, dan mereka saling bertatapan sejenak dalam keadaan telanjang dari pinggul ke atas. Nathan menyelipkan tangannya di pinggul Anggi, sementara Anggi melingkarkan kedua tangannya di leher Nathan. Mulut mereka kembali bertemu dalam ciuman yang semakin menggelora. Sentuhan payudara Anggi yang tenggelam dalam dadanya membuat birahi Nathan semakin menggila, dan pikirannya hanya terfokus pada satu keinginan, menyetubuhi Anggi secepatnya.
Nathan menggerakkan tangannya ke punggung Anggi, menyelinap melewati karet celana dalamnya dan menurunkannya hingga ke bawah pantatnya. Dia mengelus-elus pantat Anggi yang membulat sebelum menarik celana dalam sutra itu ke lututnya. Tangan Nathan kembali naik ke paha dan pinggul Anggi, berlama-lama bermain di pantatnya sebelum akhirnya berhenti di pinggangnya. Nathan memeluk Anggi dan mereka berbaring di tempat tidur, merasakan payudara Anggi tenggelam di bawah dadanya, sementara kakinya mengangkangi tubuh Anggi. Nathan melepaskan celana dan celana dalamnya yang masih mengganggu, akhirnya membebaskan penisnya yang sudah lama tersiksa. Dia juga melepas celana dalam sutra mahal milik Anggi yang masih terjuntai di lututnya.
Sentuhan penis Nathan di paha Anggi yang selembut sutra memercikkan sentakan birahi yang semakin meluap, dan erangan nafsunya keluar tanpa terkendali. Lengannya kembali melingkar di pinggang Anggi, dan ia berkonsentrasi penuh pada ciuman mereka, merasakan tubuh telanjang mereka saling merangsang satu sama lain. Perasaan itu terus berlanjut hingga mencapai puncak birahi mereka.
Nathan melepaskan ciumannya dan sedikit menggeser tubuhnya ke arah bawah. Kini, di depannya terekspos dua buah gunung kembar berwarna putih, dengan urat-urat hijau yang terlihat jelas. Dia tidak langsung mengeksplorasi, tetapi mulai merangsang puting Anggi dengan hembusan napas hangat dari hidungnya. Hembusan napas itu membuat puting Anggi semakin mengeras. Kemudian, Nathan mencium pelan-pelan buah dada Anggi yang berukuran 36B, memulai dari bagian bawah dan terus melingkar sehingga hampir semua bagian payudaranya mendapat sentuhan lembut darinya. Belum puas menggodanya, lidah Nathan kemudian mulai menari-nari di atas buah dada Anggi. Akhirnya, dengan perlahan, Anggi mulai mendesah halus, merespons setiap sentuhan yang diberikan Nathan.
“Ooohh… Sssshhh…” Anggi mengerang, mendesah, dan meremas kuat rambut Nathan. Seakan semua keinginannya yang terpendam selama ini terpicu dan berontak, meminta untuk segera dipuaskan.
Melihat Anggi mendesah, Nathan menggigit kecil putingnya sambil lidahnya menyapu-nyapu. Tangan Nathan mulai bermain di lutut Anggi, dengan lembut menggerayangi lututnya sebelum perlahan naik dan mengelus pahanya. Nathan memperhatikan tubuh Anggi yang merinding menahan nikmat, dan dengan lembut serta pelan, tangannya mulai mendaki hingga berada di atas selangkangannya. Dengan hati-hati, Nathan mengusap pangkal paha Anggi, dan hal ini menimbulkan sensasi serta kenikmatan luar biasa baginya, membuat tubuh Anggi sesekali menggelinjang. Nathan dapat melihat bahwa Anggi sudah tak dapat lagi menyembunyikan kenikmatan yang dialaminya. Dengan lembut, Nathan menyentuh klitoris Anggi dan memutar-mutar jarinya, membuat Anggi semakin mengerang dalam kenikmatan.
Akhirnya, pertahanan Anggi jebol, dan cairan kental mulai keluar dari vaginanya. Saat Nathan semakin mengintensifkan serangan, Anggi menjulurkan tangannya ke arah selangkangannya. Di sana, jemarinya membelai batang penis Nathan yang mulai mengeras. Jarinya terus membelai naik turun sepanjang batang tersebut, yang secara perlahan semakin panjang, besar, dan keras. Anggi terkejut saat menyadari ukuran kejantanan Nathan yang besar dan panjang, membuatnya terpesona sekaligus takjub.
Nathan berpikir bahwa sekarang adalah saatnya untuk menjalani ritual yang sesungguhnya. Ia mulai menggeser bagian bawah tubuhnya ke paha Anggi, hingga penisnya sampai di pangkal paha Anggi yang telah merentang. Kini, organ intim Nathan berada di depan sarangnya yang berbulu rapi. Ia mulai menggerakkan penisnya, memberikan isyarat untuk memulai persetubuhan, dan menyebabkan birahi mereka semakin mendidih. Keduanya merintih saat lengan mereka saling mendekap tubuh satu sama lain, merasakan gelora hasrat yang semakin tak tertahankan.
Nathan mulai mengarahkan penisnya yang keras dan besar mencari lubang nikmat Anggi. Batang keras Nathan tidak sulit menemukan apa yang dicari, dan akhirnya kepala rudal Nathan menemukan sasarannya. Rudal jelajahi itu segera meluncur dan secara perlahan-lahan bibir vagina Anggi terkuak oleh kepala rudal pemuda itu. Anggi langsung merasakan aliran rasa yang memancar dari dalam dirinya. Anggi tenggelam dalam lautan birahi, merasakan gelombang gairah yang membuatnya terbang tinggi, melampaui batasan yang pernah ada.
“Ooooohhhhh …!” Anggi mendesah saat dirinya menerima kedatangan penis besar dan berurat milik Nathan.
Penis Nathan masuk ke vagina Anggi secara perlahan. Desahan Anggi semakin menggema. Sedikit demi sedikit penis Nathan tenggelam di kedalaman lubang cinta Anggi yang basah dan hangat. Tak butuh waktu lama, seluruh batang penisnya masuk sempurna ke dalam liang kewanitaan Anggi. Wajah Anggi terangkat ke atas dengan ekspresi yang renyah saat liang vaginanya terasa sesak diisi oleh batang gemuk Nathan yang panjang. Sementara itu, Nathan merasa terjepit dan sesak, tetapi pada saat yang sama, dia merasakan nikmat yang luar biasa. Seluruh bagian sensitif dalam liang itu berdenyut.
“Gila, Nathan! Ini luar gilaaa… Aaaahhh! Kontolnya… terasa sangat penuh dan panas! Rasanya nikmat banget! Oooohhh… Memekku… Aaahhh… Kau membuatku aaaahhhh…!!! Ini nikmatnya sekali …!!!” Anggi menjerit nikmat dalam hatinya.
Cairan pelumas mengalir dari dinding-dinding liang Anggi, dan Nathan merasakan denyutan yang membuat pemuda itu ingin membiarkan kemaluannya terbenam agak lama, menikmati kenikmatan dari denyutan tersebut. Setelah merasakan kepuasan itu, Nathan mulai menariknya keluar perlahan sebelum mendorongnya kembali. Dia mengulangi gerakan ini, perlahan-lahan mempercepat ritmenya seiring waktu. Tak lama. keduanya menemukan ritme yang sempurna, seolah setiap gesekan kelamin mereka mengalir seperti aliran sungai, memberi dan menerima kenikmatan yang tak berujung.
“Oohh… Aaaahh… Aaaahh… Nathan… Aaahhh…” Anggi mulai mengerang lirih, suaranya penuh dengan rasa nikmat yang tak tertahankan. Setiap gerakan Nathan membuatnya semakin terbakar oleh gairah, tubuhnya bergetar, dan nafsu yang mendalam membangkitkan keinginan yang semakin kuat untuk merasakan lebih banyak.
Nathan semakin menghujamkan penisnya dengan cepat, setiap dorongannya yang kuat dan buas membuat gelombang kenikmatan mengalir ke tubuhnya. Nathan bisa merasakan dinding vagina Anggi terus berdenyut-denyut, menciptakan kombinasi antara gerakan kontraksi dan gerakan maju mundur yang seakan mengurut-urut batang kemaluannya. Ini adalah kenikmatan yang sulit diungkapkan, dan seiring gerakannya semakin liar dan ganas, wajah Nathan mulai menegang, sementara keringat mengalir deras dari dahinya. Nathan terus bergerak, mencari kenikmatan yang lebih dalam. Anggi mengangkat pinggulnya setiap kali, menyambut masuknya penis Nathan. Setiap kali penis pemuda itu tenggelam, vagina Anggi menjepit dan melepas, memberikan sensasi berdenyut yang tiada henti. Gerakan ini berulang, menciptakan ritme yang menggoda bagi keduanya.
Nathan terus menarik dan mendorong penisnya, membuat Anggi merasakan kegelian yang amat sangat di lubang vaginanya. Gerakan kocokan Nathan benar-benar membuat seluruh lorong vaginanya terasa geli. Setiap genjotan semakin kuat dan bertenaga, terkadang diselingi dengan gerakan memutar yang membuat vaginanya terasa diobok-obok. Anggi merasakan betapa luar biasanya batang Nathan, dan kenikmatan yang dia rasakan jauh melebihi pengalaman seks bersama suaminya. Sungguh, dia tak kuasa menyangkal. Kenikmatan yang dialaminya sekarang ini benar-benar dahsyat, belum pernah sebelumnya dia merasakan sesuatu seperti ini.
“Aaahhh… Aku gak percaya, dia bisa membuatku merasa seperti ini! Kontolnya… Begitu dalam dan nikmat! Oooohhh… Ini seperti aku terbang! Ini terlalu nikmat… Aku tidak ingin ini berakhir! Aaakkkhhh… Ini sungguh luar biasa!!!” Anggi mengira ini semua hanyalah mimpi, merasakan kenikmatan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Nathan menarik pelan lalu mendorong kembali, gerakannya berulang dengan frekuensi yang semakin cepat. Anggi secara refleks mengimbangi setiap dorongan. Pantatnya terasa pintar; saat Nathan menarik penisnya, pantatnya pun menarik sedikit sambil bergerak. Ketika Nathan kembali menusukkan, pantat Anggi cepat menjemputnya dengan goyangan yang lembut. Gerakan itu berlanjut, semakin cepat, semakin mendalam, hingga dia merasakan getaran yang mendebarkan. Payudaranya bergoncang, rambutnya terburai, dan keringat mereka mengalir bebas di tubuh masing-masing. Guncangan yang cepat itu membuat ranjang kokoh berderak, seolah mengikuti ritme mereka. Gelombang demi gelombang nikmat mengalir, menyeret Anggi dalam perasaan hampir tak sadarkan diri, terjebak dalam kenikmatan yang semakin membesar.
“Ahhh… Nathan, ini gila! Aku ketagihan! Kontolmu yang besar dan keras ini benar-benar membuatku merasa luar biasa! Ooohhh… Setiap doronganmu membuatku ingin lebih, aku tidak bisa berhenti! Ini terlalu nikmat! Aaaahhh… Rasanya seperti aku tak ingin ini berakhir! Aku ingin merasakannya lagi dan lagi! Ini sangat nikmat!” Anggi tidak bisa menyembunyikan keinginannya yang terus membara, terjebak dalam hasrat yang meluap-luap, merasa seperti ia telah menemukan sesuatu yang tak tergantikan dalam hidupnya.
“Oooohhh… Dewa yang agung… Ini… ini terlalu… Nikmat…!!! Aku tidak bisa percaya ini terjadi padaku!!! Ooohh… Entot aku… Entot aku Nathan … Yang keras…!!! Lebih keras Nathan…!!! Nikmat sekali …!!! Aku ingin lebih! Jangan berhenti! Jangan berhenti Nathan…!!! Ini sangat nikmat! Oooohhh….!!!”
Posisi nikmat ini berlangsung selama bermenit-menit. Tanpa terasa, pergumulan birahi ini sudah berlangsung lebih dari satu jam. Suasana erotis terasa sangat indah dan mencolok, dengan erangan dan desahan yang saling bersahutan antara Anggi dan Nathan. Anggi melihat tubuh kekar Nathan yang berkilauan karena keringatnya, membuatnya terlihat jauh lebih seksi. Keringat Nathan mengalir dari lehernya, menuruni dada bidangnya, dan akhirnya membentuk aliran di tonjolan otot perutnya. Sodokan penis Nathan semakin kencang memasuki vaginanya, sementara tangan-tangan Nathan merambahi payudaranya. Akhirnya, Anggi merasakan gelombang nikmat menjalar ke seluruh tubuhnya, hingga ia tak mampu menahan sensasi itu. Gelombang nikmat menerpa sekujur tubuhnya, membuatnya terkejang-kejang dalam kenikmatan yang tak tertahankan.
Tiba-tiba, Anggi mengangkat pinggulnya sedikit dan melakukan gerakan memutar saat Nathan melanjutkan gerakan menusuknya. Gerakan pinggul Anggi yang tiba-tiba menimbulkan efek kenikmatan yang luar biasa bagi Nathan, membuatnya menggigit bibir untuk menahan rasa nikmat yang mengalir. Batang kemaluannya bertambah besar dan keras, sementara ayunan pinggulnya semakin dipercepat, meskipun tetap terasa lembut.
Ketika Nathan mulai memompa batangnya masuk dan keluar dengan entakan pendek, dia merasakan getaran nikmat di penisnya yang dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh. Pada saat yang sama, bagian dalam selangkangan Anggi terus berdenyut-denyut di sekitar penisnya. Nathan tahu bahwa Anggi pun segera mencapai puncak persetubuhan ini dalam waktu dekat. Semua ini disertai oleh rintihan Anggi yang semakin sering, bagaikan gelombang raksasa yang siap menghempaskan mereka berdua.
Penis Nathan terpaku, dan tubuhnya membeku saat merasakan aliran maninya meletup di ujung penis dalam orgasme. Sensasi itu terasa mulai dari tumit, bergerak ke segala arah, dan akhirnya keluar dengan deras. Pada saat yang bersamaan, Anggi menegang, merapatkan pinggulnya ke pinggul Nathan. Saluran vaginanya menjepit batangnya, menerbangkan dirinya dalam orgasme yang sama nikmatnya dengan yang dialami Nathan.
“Oooohhhh… Nathhaaannn…” Anggi berteriak menyebut nama Nathan. Ketika gelombang demi gelombang kenikmatan menggulung, mereka saling mencengkeram, mulut mereka terbuka lebar, mengekspresikan kedalaman perasaan yang tak terungkapkan.
“Aaaaccchhh…!!!!!” Nathan berteriak saat dia menyemprotkan maninya di dinding-dinding vagina Anggi yang mengisap liar batangnya, bagaikan minuman yang melepaskan dahaga birahi Anggi. Sensasi itu terus berlanjut, seolah-olah Nathan mengalami orgasme selama berjam-jam, hingga tetes terakhir keluar dari penisnya. Mereka terus merengkuh erat satu sama lain, merasakan luapan perasaan yang tak terlukiskan.
Ketika keintiman itu mereda, Nathan dan Anggi mencoba kembali bernapas teratur, perlahan kembali ke kesadaran setelah klimaks yang melelahkan. Nathan melihat mata Anggi tertutup rapat, mulutnya terbuka, terengah-engah. Dengan perlahan, Nathan berguling ke samping dan memejamkan mata sejenak untuk beristirahat dan memulihkan kekuatan. Ketika napas mereka mulai teratur, suasana di kamar itu perlahan berubah menjadi tenang, hanya diiringi suara hembusan napas mereka yang masih tersisa. Nathan melirik ke arah Anggi yang tetap terbaring di tempatnya, dengan mata yang kini terbuka sedikit, seperti sedang menikmati momen keheningan itu. Wajah Anggi masih memerah, bekas-bekas keintiman yang baru saja mereka alami masih tampak jelas. Tanpa tergesa-gesa, Nathan kemudian bergeser sedikit, mengubah posisi tubuhnya hingga mereka berbaring berhadapan. Mata mereka saling bertemu dalam keheningan, tidak ada kata yang terucap.
“Anggi, kamu… luar biasa menggairahkan,” ucap Nathan memecahkan kesunyian dengan nada lembut namun dalam. Kalimat itu keluar begitu saja, tanpa rencana, tapi sangat jujur.
Anggi tersenyum malu-malu, pipinya memerah sedikit mendengar kata-kata Nathan. Dia mendekatkan tubuhnya, masih terasa hangat, dan menyandarkan kepalanya di lengan Nathan. “Kamu juga, Nathan… Kamu buat aku ngerasa luar biasa,” balasnya dengan suara pelan.
Senyum Nathan tipis, namun matanya mencerminkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kepuasan seks. “Anggi, kamu… luar biasa kuat,” ucap Nathan tiba-tiba.
“Kuat? Maksudmu apa?” tanya Anggi, suaranya lembut namun penasaran.
Nathan tertawa kecil, tapi ekspresinya tetap serius. “Biasanya… wanita yang tidur denganku pasti sudah orgasme berkali-kali dengan durasi selama tadi,” ungkap Nathan perlahan, tidak ada niat untuk sombong, hanya jujur pada pengalamannya. “Tapi kamu… cuma sekali.”
Anggi tersenyum, sedikit malu namun tetap tenang. “Aku memang tipe yang lama untuk bisa orgasme,” jawabnya jujur, mengusap dada Nathan dengan lembut. “Tapi kamu harus tahu, Nathan… dari semua pria, cuma kamu yang bisa membuatku orgasme.”
Nathan tertegun mendengar pengakuan itu. Dia mengerutkan alisnya, rasa penasaran muncul di benaknya. “Serius? Kamu punya… kelainan atau semacamnya?” tanyanya sambil mengarahkan tubuhnya sedikit, menatap Anggi dengan rasa ingin tahu yang lebih dalam.
Anggi tersenyum kecil, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan keluar. Dia menarik napas sebelum menjawab. “Iya, aku didiagnosis punya kondisi yang namanya orgasmic latency atau delayed orgasm,” jelasnya. “Artinya aku bisa mencapai orgasme, tapi butuh waktu yang jauh lebih lama daripada kebanyakan wanita, bahkan dengan rangsangan yang cukup.”
Nathan mengangguk pelan, mencoba mencerna penjelasan Anggi. “Jadi… itu yang terjadi tadi?” tanyanya, kini lebih memahami situasi.
Sambil tertawa kecil, Anggi mengangguk. “Iya, tapi sekarang aku sudah punya obatnya,” ujarnya dengan nada bercanda. Tangan Anggi bergerak, menyentuh kejantanan Nathan dengan lembut. “Kamu.”
Nathan tertawa, merasa suasana berubah sedikit lebih ringan. “Kalau begitu,” katanya dengan senyum lebar, “kamu harus tinggal bersamaku supaya bisa sering dapat ‘obat’ itu.”
Anggi tersenyum, tapi ada sedikit rasa sedih yang terlintas di matanya. Dia menunduk sebentar, sebelum kemudian mengangkat pandangannya lagi ke arah Nathan. “Aku sebenarnya ingin, Nathan… tapi aku nggak bisa ninggalin keluargaku,” ucapnya dengan nada lebih serius. Lalu, dengan sedikit malu-malu, Anggi menambahkan, “Mungkin kamu yang bisa datang ke rumahku… untuk ‘mengobatiku’.”
Nathan mengangkat alisnya, terkejut sekaligus penasaran dengan perkataan Anggi. “Dan… bagaimana dengan suamimu?” tanyanya, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik permintaan itu.
Anggi tertawa kecil, seolah pertanyaan itu sudah dia antisipasi. “Suamiku? Dia akan sangat menerima kamu, Nathan,” jawabnya santai. “Dia bahkan pernah bilang, kalau ada pria yang bisa membuatku orgasme, dia akan mengizinkan pria itu tidur di ranjang kami dan bercinta denganku.”
Nathan terbelalak, jelas terkejut dengan jawaban itu. “Kamu serius?” tanyanya, matanya membesar, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Anggi mengangguk sambil tersenyum tipis. “Kalau nggak percaya, datang aja ke rumahku. Buktikan sendiri.”
Nathan tertawa, perasaan tak percaya masih bercampur dengan rasa ingin tahu. “Oke, kita lihat nanti,” ucapnya sambil mengusap rambut Anggi sekali lagi. “Sekarang, kita balik ke kantor. Aku masih ada kerjaan yang harus diselesaikan.”
Mereka pun bangkit dari tempat tidur, meninggalkan kenikmatan sorgawi mereka untuk kembali ke kehidupan nyata.
Nathan dan Anggi bangun dari tempat tidur, kemudian menuju kamar mandi. Keduanya membersihkan diri di bawah pancuran air hangat, saling tersenyum dan sesekali berbincang tentang pengalaman mereka tadi. Setelah mandi, mereka segera mengenakan pakaian yang sempat mereka lepaskan sebelumnya. Nathan mengenakan kemeja dan celana panjang dengan rapi, sementara Anggi merapikan rambutnya dan memakai pakaian kantor yang elegan. Sambil berdandan, mereka saling melontarkan candaan ringan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab. Setelah merasa cukup rapi, keduanya meninggalkan kamar hotel. Mereka berjalan menuju lift, berbicara tentang rencana kerja di kantor, lalu memasuki kabin besi itu. Lift bergerak turun ke lantai lobby. Ketika pintu lift terbuka, mobil Nathan sudah menunggu di depan hotel. Nathan melangkah ke pintu penumpang, membuka pintu untuk Anggi, lalu mereka berdua masuk ke dalam mobil. Tanpa banyak bicara, namun suasana tetap hangat, Nathan menginjak pedal gas, mengarahkan mobil ke jalan utama. Perjalanan selama setengah jam berlangsung tenang, dengan obrolan sesekali mengisi kekosongan. Setelah sampai di kantor, mereka segera kembali ke rutinitas kerja, meninggalkan semua momen intim mereka di balik kamar hotel tadi.
Nathan duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi tumpukan dokumen tender proyek infrastruktur yang krusial bagi seluruh perusahaan Maya. Setiap lembar kertas memuat rincian penting yang harus dipahami dan dikelola dengan baik. Konsentrasi Nathan terganggu ketika pintu ruang kerjanya diketuk. Anggi masuk dengan sikap profesional. Ia memberitahukan bahwa David ingin menemui Nathan. Nathan mengangguk, meminta Anggi untuk mempersilakan David masuk. Anggi kembali ke luar ruangan, dan tidak lama kemudian, David melangkah masuk dengan wajah serius. Nathan memperhatikan ekspresi David, menyadari bahwa ada hal penting yang perlu dibahas. Ia mempersilakan David duduk di kursi yang berada di depan mejanya.
Nathan memandang David dengan serius. ” Apa informasi yang ingin kamu sampaikan?” suaranya tenang dan tegas.
David menarik napas sejenak sebelum menjawab. “Tuan Muda, ada desas-desus yang beredar di kalangan pemangku kepentingan proyek pembangunan jalan tol. Ricko, anak Handoko, sedang berusaha merusak reputasi Tuan Muda. Ia menyebarkan informasi tidak benar mengenai kemampuan Tuan Muda dalam mengelola proyek ini. Ia mengatakan bahwa Tuan Muda tidak mampu menyelesaikan proyek tepat waktu dan sering membuat keputusan yang merugikan.”
Nathan mendengarkan dengan seksama. Wajahnya menunjukkan ketidakpuasan mendengar kabar buruk ini. David melanjutkan, “Ricko juga berusaha memengaruhi kontraktor dan pemasok untuk menarik diri dari proyek ini, dengan mengatakan bahwa perusahaan kita tidak stabil dan tidak bisa diandalkan.”
Nathan mengernyit, rasa ingin tahunya muncul. “Dari mana kamu mendapatkan informasi ini?” tanyanya dengan nada serius. Ia ingin memastikan bahwa kabar yang diterimanya memiliki dasar yang jelas.
David mengangguk, tampak siap memberikan penjelasan. “Sumbernya adalah beberapa anggota tim proyek yang mendengar langsung dari para kontraktor. Mereka mengeluhkan komentar negatif dari Ricko yang telah menyebar di kalangan pemangku kepentingan.”
Nathan mengingat kembali interaksi terakhirnya dengan para kontraktor. Ia tidak menyangka bahwa Ricko akan mengambil langkah seperti itu. “Apakah ada bukti konkret mengenai pernyataan Ricko?” tanyanya lagi, berusaha untuk mendapatkan gambaran lebih jelas.
David menjawab, “Kami sedang berusaha mengumpulkan bukti dari kontraktor dan pihak lain yang terlibat. Ini akan membantu kita menghadapi Ricko dan membela reputasi perusahaan.”
Nathan menatap David dengan tegas. “David, aku butuh bukti konkret tentang apa yang dilakukan Ricko. Ini tidak bisa dibiarkan. Segera cari tahu dan kumpulkan semua informasi yang bisa mendukung tuduhan ini.”
David mengangguk. “Baik, Tuan Muda. Saya akan mencari bukti secepatnya. Kami akan mendengarkan semua kontraktor dan anggota tim yang mungkin mengetahui lebih banyak tentang situasi ini.”
“Pastikan semua informasi yang didapat jelas dan dapat dipertanggungjawabkan,” Nathan menekankan. “Ini penting agar kita bisa mengambil tindakan yang tepat.”
“Saya mengerti, Tuan Muda. Saya akan mulai bekerja sekarang juga,” jawab David dengan semangat.
Nathan menambahkan, “Cepatlah! Jangan buang-buang waktu! Setiap detik berharga dalam situasi seperti ini.”
David berdiri dan bersiap meninggalkan ruangan. “Saya akan segera kembali dengan informasi yang Tuan Muda butuhkan.”
Nathan merenungkan kekesalannya terhadap Ricko. Ricko tidak hanya menyebarkan desas-desus yang merugikan reputasi perusahaan, tetapi juga berusaha memengaruhi kontraktor dan pemasok untuk menarik diri dari proyek penting ini. Nathan kembali fokus pada pekerjaannya. Ia berusaha mengalihkan perhatian dari kekesalan terhadap Ricko. Dengan penuh konsentrasi, ia membuka dokumen yang terletak di meja. Nathan mulai menganalisis data dan menyusun rencana aksi untuk mengatasi masalah yang ada. Ia menandai poin-poin penting dan membuat catatan untuk langkah selanjutnya. Suasana di ruang kerja mulai tenang saat Nathan tenggelam dalam tugasnya. Pikiran tentang Ricko perlahan memudar, digantikan oleh rasa tanggung jawab terhadap proyek yang harus diselesaikan.
Waktu berlalu cepat. Nathan menyadari bahwa saatnya menyudahi pekerjaan. Ia menatap layar komputer sejenak sebelum mulai membereskan meja kerja. Semua dokumen yang berserakan di atas meja diatur rapi. Beberapa catatan penting dimasukkan ke dalam map. Nathan berdiri dari kursi dan merasakan lelah setelah seharian bekerja. Ia melangkah keluar dari ruangan kerja. Begitu keluar, ia melihat Anggi yang juga sudah bersiap pulang. Anggi pun tersenyum dan mengangguk.
“Kamu mau pulang sendiri atau dianter?” tanya Nathan dengan nada bercanda.
Anggi berjalan di samping Nathan dan berkata, “Maunya sih dianter,” ucapnya sedikit manja.
“Ya sudah, aku anter sampai lobby saja ya …” canda Nathan sambil tersenyum.
“Ihk … Itu sih bukan nganter tapi nemenin!” respon Anggi sambil cemberut.
“He he he … Lain kali saja aku anter kamu. Hari ini banyak sekali urusan di rumah,” kata Nathan santai.
“Oke … Tapi jangan bosan kalau aku tagih terus ya,” ucap Anggi sambil tersenyum.
Nathan tertawa mendengar ucapan Anggi. Mereka kemudian berjalan menuju lift yang terbuka dan segera masuk ke dalam. Perjalanan singkat itu membawa mereka sampai di lobi. Setelah menjejakkan kaki di lantai parkir, mereka saling berpisah. Nathan melangkah cepat menuju mobilnya. Begitu tiba, ia segera masuk dan menyalakan mesin. Mobil Nathan bergerak keluar dari gedung perusahaan. Perjalanan melalui jalanan kota yang macet tidak mengganggunya. Ia duduk tenang di balik kemudi, menikmati pemandangan lampu-lampu jalan dan hiruk pikuk di sekitarnya. Tak lama, Nathan tiba di rumah. Ia memarkirkan mobil di garasi tanpa kesulitan, lalu keluar dari kendaraan.
Nathan masuk ke rumah melalui pintu utama dan melintasi ruang depan menuju ruang tengah. Ia tidak menemukan Maya di kedua ruangan tersebut, jadi ia langsung menuju kamarnya di lantai dua. Sesampainya di kamar, Nathan membuka pakaian dan menyimpan di keranjang untuk pakaian kotor sebelum mandi. Setelah mandi, ia berpakaian dan merapikan diri, lalu turun ke lantai satu. Di ruang tengah, Nathan menghidupkan televisi berukuran 65 inci dan menonton berita-berita nasional.
Setelah beberapa saat, Nathan mendengar langkah kaki menuruni tangga. Ia tahu siapa yang mendekatinya tanpa harus melihat. Wangi parfum yang tercium di hidungnya memberikan petunjuk jelas tentang kedatangan Maya. Tak lama, Maya duduk di sebelah Nathan, tetapi pemuda itu sengaja tidak menghiraukan kedatangan ibunya. Nathan berpura-pura fokus pada tayangan di televisi, mengabaikan keberadaan Maya di sampingnya.
Keheningan antara Nathan dan Maya pecah ketika Maya bertanya, “Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”
Nathan tidak mengalihkan pandangan dari televisi. “Biasa saja. Tidak ada yang istimewa,” jawabnya singkat.
Maya melanjutkan, “Besok adalah hari di mana kamu akan bertemu ayahmu di Gunung Brajamusti.”
Nathan mengangguk perlahan. “Aku ingat hal itu.”
Maya merasakan sikap dingin Nathan saat ini. Dia ingat dengan jelas peristiwa pagi tadi, ketika emosinya memuncak dan dia memarahi Nathan tanpa memikirkan akibatnya. Kini, tatapan Nathan terfokus pada layar televisi, seolah mengabaikan keberadaannya. Maya merasa kesal dan bersalah sekaligus. Dia ingin memperbaiki suasana, tetapi kata-kata terasa sulit untuk diucapkan.
“Aku minta maaf atas sikapku tadi pagi. Aku tidak seharusnya marah seperti itu. Tapi tolong, jangan bicarakan lagi masalah itu.” Maya mengucapkannya dengan nada lembut, berusaha meredakan ketegangan di antara mereka dan berharap Nathan bisa memahaminya.
Nathan merespon dengan tenang, “Untuk saat ini, aku tidak akan membicarakan hal itu lagi. Tapi, Bunda harus berusaha mempersiapkan diri untuk membuka masalah itu di lain waktu. Aku perlu tahu sejarah keluarga kita dengan benar. Ini penting bagiku karena aku mempunyai tanggung jawab untuk menyelamatkan seluruh anggota keluarga kita.”
Maya mengalihkan perhatian dari percakapan serius itu dan menawarkan, “Bagaimana kalau kita makan malam sekarang? Aku sudah menyiapkan beberapa hidangan untukmu.” Senyumnya muncul kembali, berusaha mencairkan suasana.
Nathan terkejut sambil berkata, “Menyiapkan? Maksudnya?” Raut wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan.
Maya tersenyum, merasa senang melihat reaksi Nathan. Dia menjelaskan, “Ya, aku sudah membuat beberapa hidangan untuk kita.”
Nathan ingin menegaskan dengan bertanya, “Apakah bunda yang memasak untuk makan malam ini?” Rasa ingin tahunya memuncak. Dia tidak percaya bahwa ibunya akan meluangkan waktu untuk menyiapkan hidangan makan malam.
Maya tersenyum dan menjawab, “Iya, Bunda yang memasak untuk makan malam ini. Bunda sengaja menyiapkan semuanya untukmu. Selama ini, Bunda merasa belum pernah memasakkan makanan untukmu.”
Nathan merasa antusias mendengar kabar tersebut. Ia berkata dengan penuh semangat, “Aku sudah tidak sabar merasakan masakan bunda.”
Nathan berdiri lalu melangkah menuju ruang makan. Ketika Nathan melewati ibunya, lengan Maya melingkari lengan Nathan dengan mesra. Kehangatan tubuh Maya terasa di lengan Nathan saat dia dipeluk. Nathan menyadari bahwa ibunya tidak memakai bra. Kekenyalan buah dada ibunya terasa sekali di lengan Nathan. Mereka berdua melanjutkan langkah dengan obrolan singkat. Akhirnya, mereka tiba di ruang makan, bersiap untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan.
“Makanan ini terlihat luar biasa,” kata Nathan saat melihat hidangan yang disajikan di meja makan.
Maya tersenyum dan berkata, “Bunda berharap kamu suka. Bunda memasak semua ini untukmu.”
Nathan mengamati hidangan di meja dengan kagum dan berkata, “Makanan ini sangat menggiurkan. Aku tidak sabar untuk mencicipinya.”
Nathan duduk di salah satu kursi. Lagi-lagi, Nathan terbelalak saat melihat Maya yang senang hati mengambilkan makanan untuknya. Dalam pikirannya, ini adalah keajaiban dunia, momen langka yang membuatnya sulit percaya. Tindakan Maya ini menunjukkan perhatian luar biasa. Nathan tidak menyangka bahwa ibunya akan meluangkan waktu untuk menyajikan makanan langsung untuknya.
Nathan melihat ibunya dengan tatapan bingung dan bertanya, “Bunda, ada apa sebenarnya?”
Maya tersenyum santai dan menjawab, “Aku hanya ingin berbakti padamu, Nathan.”
Nathan terkejut dan bertanya, “Seharusnya aku yang berbakti pada Bunda, bukan sebaliknya. Kenapa ini terbalik?”
Maya hanya tersenyum tipis, lalu berkata, “Jangan terlalu banyak bertanya. Nikmati saja makananmu.” Setelah itu, dia meletakkan piring berisi makanan di depan Nathan.
Nathan menduga bahwa keajaiban ini mungkin adalah cara ibunya meminta maaf. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan mulai menyantap makanannya. Sambil makan, dia memperhatikan ibunya dengan saksama, mencoba memahami keanehan sikap yang ditunjukkan Maya.
Maya memahami apa yang berkecamuk di benak Nathan. Dengan senyum lembut, dia mulai mengajak Nathan berbicara tentang hal-hal sederhana, mencoba mencairkan suasana. Nathan menanggapi obrolan itu, meski dalam hatinya masih terselip ketidakpercayaan dan keterkejutan atas perubahan sikap ibunya. Percakapan terus mengalir, namun rasa heran tidak kunjung hilang dari pikiran Nathan. Setelah beberapa saat, makan malam pun selesai. Mereka berdua sepakat untuk pindah ke ruang tengah. Di ruang tengah, Nathan duduk di sofa panjang, ibunya menyandarkan diri di sampingnya, lengan Maya melingkari lengan Nathan dengan erat.
Nathan menatap ibunya dengan bingung, lalu bertanya, “Ada apa, Bunda? Kok Bunda jadi beda malam ini? Ini di luar kebiasaan Bunda.”
Maya tersenyum lembut dan menjawab, “Memangnya Bunda nggak boleh bersikap seperti ini sama kamu?”
Nathan menggeleng pelan dan berkata, “Tidak ada yang melarang Bunda bersikap seperti ini. Tapi kalau ini cara Bunda meminta maaf, rasanya agak berlebihan.”
Maya terkikik dan menjawab, “Salah jika mengira ini adalah cara Bunda meminta maaf.”
Nathan merasa bingung dan bertanya, “Lalu apa maksudnya?”
Maya mendekatkan wajahnya ke arah Nathan, nadanya lembut dan menggoda. “Kita sudah merasakan sesuatu yang indah bersama malam kemarin. Apa kamu tidak merindukannya lagi?”
Nathan terkejut, matanya melebar sejenak, sebelum akhirnya ia tertawa setelah tahu maksud ibunya, “He he he … Jadi, Bunda ingin mengulanginya lagi? Bunda ingin aku gagahi lagi?”
Maya menatap Nathan dengan pandangan yang ragu-ragu, “Iya, Bunda mau mengulanginya lagi. Bunda ingin merasakan lagi enaknya malam kemarin.”
Nathan menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Ah, Bunda. Hari ini aku sudah merasa lelah. Energi aku sudah habis, jadi aku perlu istirahat,” ucap Nathan berpura-pura lelah.
Maya mengalihkan tatapannya, lalu dengan nada tegas dan mata terbuka lebar ia berkata, “Nathan, kamu tahu apa yang bunda mau. Jangan sekali-kali menolak keinginan bunda. Malam ini, kita akan mengulangnya. Itu sudah final.”
“Ha ha ha …” Nathan tertawa lalu berkata, “Aku suka ketika Bunda bersikap tegas dan galak seperti ini. Seksi banget … Tapi kalau Bunda berubah jadi manja seperti tadi, jujur saja aku kurang berminat.”
Maya menatap Nathan dengan tegas dan berkata, “Sekarang, gendong aku ke kamarku.” Meski nada suaranya terdengar penuh perintah, senyum di bibirnya tak bisa disembunyikan.
“Baik Tuan Putri …” ucap Nathan sambil tersenyum.
Nathan mengangkat Maya dengan hati-hati, memposisikan tubuhnya dalam gaya pengantin. Dia memastikan tangan Maya menyentuh bahunya. Gerakan ini lembut dan terukur. Nathan melangkah pelan menuju tangga, mengangkat Maya sambil menaiki anak tangga satu per satu. Setelah sampai di lantai dua, Nathan berjalan ke arah kamar. Dia membuka pintu kamar dengan satu tangan dan melangkah masuk. Setelah berada di dalam, Nathan menurunkan Maya dengan lembut ke atas kasur yang empuk. Kasur menyambut tubuh Maya dengan lembut. Nathan merapikan posisi Maya agar nyaman.
“Buka cepat pakaianmu!” kata Maya tegas dan galak tetapi Nathan tahu itu hanya drama semata.
“Baik Tuan Putri …” jawab Nathan.
Nathan berdiri di sisi tempat tidur. Dia mulai melepaskan kaos polo yang dikenakannya, menariknya ke atas hingga terlepas dari tubuh. Setelah itu, dia membuka ikat pinggang dan menurunkan celana hingga terlepas dari pinggangnya. Nathan membiarkan semua pakaiannya tergeletak di lantai.
“Oh Dewa … Ini yang aku rindukan …” ucap Maya sambil menggeser tubuhnya lalu duduk di sisi tempat tidur menghadapkan wajahnya di depan kejantanan Nathan yang setengah tertidur.
“Suruh bangun dulu, Bunda …” kata Nathan sambil menyodorkan penisnya ke wajah Maya.
“Aku pastikan dia akan segera bangun,” respon Maya lalu menggenggam kejantanan Nathan dengan kedua telapak tangannya.
Nathan merasa jantungnya berdebar ketika Maya mulai bermain dengan penisnya. Tangan Maya dengan cekatan memegang kejantanan Nathan, dan tanpa ragu, ia langsung mengemut kepala penisnya dengan kuat. Bibir Maya menjepit dengan erat, sementara lidahnya dengan lincah bergerak, memainkan setiap sudut kepala penis tersebut. Sedotan yang dikeluarkan Maya sangat kuat, membuat kaki Nathan gemetar menahan kenikmatan yang menyeruak. Sambil memegang kedua pahanya, Maya bergerilya dengan penis Nathan di dalam mulutnya, menggerakkan mulutnya maju mundur dengan hisapan yang menggoda, seolah-olah dia sedang mengocok kejantanan Nathan. Lidah Maya menjelajahi setiap bagian kepala dan leher kejantanan itu, menciptakan sensasi yang mengguncang tubuh Nathan. Dalam waktu kurang dari satu menit, Nathan merasakan penisnya mengeras dan tegang, sementara syaraf-syaraf di sekelilingnya bereaksi setiap kali Maya bergerak, menciptakan gelombang kenikmatan yang sulit untuk ditahan.
“Cukup Bunda …” ujar Nathan dan Maya pun berhenti lalu mengangkat wajahnya, tatapan mereka bertemu dengan penuh gairah.
Maya tersenyum, mengangkat tangan dan menarik Nathan lebih dekat, membisikkan, “Ayo ke sini.” Nathan mengangguk, lalu membungkuk sedikit untuk menciumnya. Bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut yang segera meningkat menjadi lebih berapi-api. Maya merangkul leher Nathan, sementara tangan Nathan menyentuh pipi Maya dengan lembut.
Setelah beberapa saat, Nathan menarik diri sejenak untuk melihat Maya. Dengan penuh perhatian, ia mulai melepaskan blouse yang dikenakan Maya, satu per satu tombolnya dilepas. Saat blouse itu terlepas, ia melihat payudara Maya yang bulat dan kencang. Maya menatap Nathan, merasakan gairah yang semakin meningkat. Nathan kini yang berjongkok di hadapan Maya. Perlahan tangan pemuda itu merayap menuju buah dadanya yang bulat menggantung. Tekstur payudara Maya yang begitu kenyal dan kencang membuat birahi Nathan bergerilya tak karuan.
Nathan kemudian menurunkan tangan ke pinggang Maya dan mulai melepaskan roknya. Dengan lembut, ia menarik rok itu ke bawah, memperlihatkan celana dalam yang menempel di kulitnya. Mata Nathan membola saat melihat bagian depan celana dalamnya. Ada bercak basah di sana.
“Bunda…” ucap Nathan sambil menatap wajah ibunya dengan senyuman nakal.
Maya menangkup wajah Nathan gemas, “Aku tidak bisa melupakan kontolmu, sayang.”
“He he he … Berarti aku gak usah merangsangnya. Langsung tusuk aja ya …” canda Nathan.
“Ayo cepat lakukan! Bunda gak sabar,” ucap Maya sambil menggeser tubuhnya ke tengah ranjang.
Nathan tersenyum melihat ibunya seperti sange berat. Pemuda itu naik ke atas ranjang sambil melihat ibunya melepaskan celana dalam yang ia kenakan. Pelan, Nathan memposisikan tubuhnya di atas tubuh ibunya yang terlentang. Lalu Nathan menurunkan tubuhnya untuk menindih Maya. Keduanya berciuman penuh gairah saat ini tangan Nathan sudah menjelajahi tubuh Maya yang terlentang di bawah kekuasaannya.
Tiba-tiba Maya melepaskan ciuman, “Cepat Nathan! Masukan kontolmu!”
“Sabar Bunda … Aku gak kemana-mana …” lirih Nathan menggoda.
“Aku sudah gak sabar!” respon Maya sembari menggoyangkan pinggulnya.
Sambil tersenyum Nathan mengangkat pinggulnya ke atas sementara batang penisnya mencari-cari belahan sempit di selangkangan Maya. Setelah kepala kejantanannya menemukan belahan lubang nikmat itu, tanpa membuang waktu Nathan segera menurunkan pinggulnya secara perlahan ke bawah.
“Oooooohhhh …” Maya langsung mendesah dengan kelopak mata terbuka lebar.
Bukan main nikmat yang dirasakan Maya saat penis besar Nathan menelusup vaginanya. Perut Maya mengejang lalu mengempes seketika. Inchi demi inchi penis Nathan semakin terasa masuk, penuh semakin sesak. Sampai rasanya berkali-kali Maya tercekat usaha menegak liurnya masuk. Lusuh kepalanya yang terlentang, rasanya badannya seperti terbelah dua namun rasanya tiada tara. Semakin tengah, semakin masuk, semakin besar paksa lubang Maya untuk terbuka. Maya tak habis pikir ternyata lubang sekecil itu bisa meraup lapar benda sebesar milik Nathan.
“Ngh, angh, Nathan… Ooohh…”
Nathan mulai bergerak naik turun, sampai akhirnya dia mempercepat gerakannya dan mulailah Maya menjerit-jerit kecil dengan liarnya. Kaki Maya bergetar saat tongkat gemuk itu memijat dinding rahimnya dengan gesekan pelan. Ia merasakan daging berwujud panjang dan keras milik Nathan terseret keluar-masuk ke dalam liang tubuhnya dengan cepat dan menumbuhkan sensasi ingin kencing yang teramat kuat. Benda tumpul itu berkali-kali menumbuk satu titik di dalam tubuhnya yang teramat dalam. Maya merasakan dinding-dinding rahimnya penuh dengan air, dan gesekan itu memberikan stimulus hangat ke perutnya, memberikan sinyal untuk terus menambah air. Penis Nathan terus keluar masuk membelah lipatan bengkak yang basah. Maya merasa kenikmatan ini jauh lebih hebat dari sebelumnya.
Tubuh Maya yang putih mulus ditindih dan dikocok-kocok oleh Nathan yang perkasa, sementara kedua tangan Maya yang putih memeluk punggung Nathan. Payudaranya bergerak berputar-putar akibat kocokan Nathan. Akhirnya Nathan merasa gemas juga untuk meremas-remasnya. Maya jadi meracau tak karuan ia sudah lupa segalanya. Sungguh ia menikmati penis Nathan yang mengocok vaginanya, dan Maya semakin basah dengan cairan gairahnya.
Napas Maya semakin cepat, dan syaraf-syaraf yang peka pada kulitnya bergetar saat vagina basahnya bertubi-tubi mendapat hujaman penis besar Nathan. Tubuh Maya benar-benar di luar kendali karena nikmat yang menggulungnya. Pandangan Maya sedikit mengabur saat ia melalui berbagai macam gempuran yang diserahkan oleh Nathan. Tubuh wanita itu dibanjiri oleh keringat dan wajahnya merah padam. Tangan Maya memeluk erat tubuh Nathan dan kedua pahanya yang menggantung di pinggang Nathan mengalami getaran tak menentu. Gerakan-gesekan yang ditimbulkan terus menciptakan sensasi ingin kencing yang teramat kuat.
Benda tumpul itu berkali-kali menumbuk satu titik di dalam tubuhnya yang teramat dalam. Kedua tangan Nathan meremat kedua paha Maya untuk membukanya lebar-lebar. Pinggul Nathan konstan menusuk-nusukan kejantanannya ke dalam jepitan kelamin Maya yang membuka dan dilumuri cairan kewanitaan.
Nathan mengurangi kecepatan sengaja menggenjot dalam tempo pelan untuk melihat apakah Maya masih sanggup. “Apa yang Bunda rasakan sekarang?”
“Ngh… hngh… geli… Enak… Mau pipis, ooohhh … “
Nathan tersenyum penuh kemenangan. Pemuda itu merasa sudah menaklukkan singa betina di dunia nyata, dan kini di dunia kenikmatan Maya berubah menjadi kucing manja yang tak memiliki kekuatan apa-apa. Nathan kembali menggenjot vagina ibunya dengan lebih cepat. Gontokan demi gontokan mendera kencang saluran kemih milik ibunya itu, mendesak G spot-nya untuk terus bereaksi. Maya tidak mampu lagi mencerna apa yang terjadi di dalam tubuhnya. Yang ia rasakan hanyalah kenikmatan geli yang menyerang saluran kencingnya, rasa panas yang mengubur kepalanya, hentakan detak jantung yang meledak di dadanya, juga sengatan kejang yang menstimulasi seluruh jengkal tubuhnya.
Nathan memberikan servis hubungan kelamin terbaik pada tubuh ibunya itu. Maya mengalungkan kedua tangannya di leher Nathan. Belum pernah tubuhnya merasakan gelora seksual tinggi seperti ini. Maya pun membuka peluang lebar-lebar pada Nathan untuk membuatnya orgasme berkali-kali.
Tanpa perlawanan, Maya menikmati seluruh sesi gempuran panas itu di sekujur tubuhnya. Matanya terpejam. Gelombang getar terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Menyengat dahsyat hingga ke ujung-ujung jari kaki. Membawa dinding vaginanya terus tenggelam ke dalam gemuruh surgawi. Kedua tangan Maya memeluk erat-erat punggung anaknya yang tengah menggempur tubuhnya yang tak bisa melawan.
Melihat Maya yang semakin terhipnotis oleh kenikmatan yang ia berikan, Nathan semakin buas memberi dorongan kuat dan melumasi dinding kewanitaan yang tengah terangsang itu dengan goyangan intens. Kedua tangan Maya kini meremas punggungnya kuat-kuat. Nathan tahu puncak ibunya semakin dekat sehingga ia semakin mengatur posisi terdalam. Dan penis Nathan semakin garang mengaduk kemaluan Maya. Lelehan lendir hangat makin menyebar di seluruh dinding-dindingnya. Geram kepuasan Maya diredam desahan panjang. Tubuh seksi itu tersentak dalam nikmat.
Bunyi hentakan kelamin di ruangan itu semakin keras dan melaju semakin cepat. Kedua pinggul itu saling menghujam satu sama lain dalam tempo mematikan. Menampar tubuh satu sama lain dalam balutan seks cepat dan liar.
Semakin cepat …
Semakin cepat …
Sangat cepat …
Mata Maya memutih. Bola matanya berputar ke belakang. Tubuhnya bergetar kuat. Rahangnya menganga setengah. “Aaaacchhh …”
Maya mendongakkan kepalanya. Punggung wanita seksi itu melengkung sempurna. Jari-jari kakinya menekuk kebas. Tempat tidurnya mulai tenggelam. Dan lubang wanita basahnya mengepal. Nathan mempercepat kecepatannya. Batangnya yang besar dan tebal membuat mulut vagina ibunya mulai mengalirkan cairan berkali-kali. Maya menangis saat kegembiraan terus datang menyerang tubuhnya.
Sang wanita cantik dan seksi itu serasa kehilangan akal, “Aku akan…. Aaahh…!”
Nathan menghentak penisnya hingga tertanam dalam sepenuhnya. Wajah Maya kian bersemu merah. Maya memejamkan mata kuat-kuat. Maya menyebut nama anaknya dalam kenikmatan. Tangannya kini memeluk leher anaknya kuat-kuat dengan berangasan.
Tak berapa lama, Maya merasakan sesuatu yang memaksa keluar dari tubuhnya. Tubuh Maya mengejang seperti tersengat listrik ratusan volt. Pinggul dan pahanya menggelinjang dalam sengatan spektakuler yang tak terkira. Bibir kewanitaannya mencaplok beberapa jengkal ke udara, terdorong kuat-kuat, dan mengeluarkan semburan kencang cairan hasratnya. Bukan kencing, bukan air liur, melainkan sesuatu yang sangat hangat, sedikit kental, dan mendorong keluar dengan sangat deras. Maya memekik keras mengeluarkan segala rasa nikmat yang tidak bisa ia tampung dalam rubuhnya, disusul air mata kenikmatan. Tangannya sekarang meremas kuat-kuat sprei dengan sangat kuat sesaat menghantarkan cairan itu keluar dari tubuhnya.
“Aaaaacccchhh … Keluaaaarrr …!!!” Erangan setengah desahan itu meluncur sensual, seirama dengan keluarnya cairan kenikmatan dari lubang panasnya.
Perut Maya terbanting berulang kali ke udara. Rembesan demi rembesan air kewanitaan mulai berhamburan deras ke luar tanpa henti. Gempuran yang amat cepat menerjang tubuh seksi itu dalam terjangan penetrasi liar yang menggetarkan seisi tubuhnya. Maya mulai merasakan dorongan kencing yang amat sangat deras dan kuat. Bergerilya ingin menerjang keluar dari dalam kemaluannya. Wajah Maya merah padam. Nathan menatap liar dengan nafsu yang berkabut usai menggetarkan seluruh tubuh ibunya dengan seks yang sesungguhnya.
Ternyata Nathan tidak berhenti hanya dengan yang pertama. Pemuda itu mendorong pinggulnya lagi dan mempercepat laju penetrasi kejantanannya. Maya menaikkan pinggulnya dan mempertemukan kejantanan anaknya secara tepat dengan titik kenikmatannya menuju ke orgasme kedua.
Plak …
Plak …
Plak …
Wajah Maya sangat memerah. Seluruh dada, tangan, perut, dan sekujur tubuhnya memerah oleh hawa panas. Tangannya berselimut keringat, begitu pula dengan buah dadanya yang sedang ia remas. Payudara itu begitu keras, begitu terangsang dan ereksi dengan sebegitu dahsyatnya. Lehernya terangkat, rembesan keringat mengalir menuruni leher, bahkan hingga ke dada sampai ke perutnya.
Punggungnya melengkung dan berkontraksi. Lengannya yang terbuka terlihat mengejang dan mengencang. Wajahnya sangat berair, bahkan seluruh tubuhnya penuh selimut keringat. Dan kini tubuhnya terhentak-hentak keras. Pinggul Maya bergetar hebat seperti ledakan kembang api.
“Nathaaannn … Aaaaaccchhh …”
Plok …
Plok …
Plok …
Dengan tidak sabaran dan deru napas yang memburu penuh nafsu, Nathan semakin mendorong kejantanannya kuat-kuat, menerobos pertahanan lunak sang ibu. Nathan mendengus oleh bara semangat. Nathan ingin memberikan seks terbaik pada ibunya. Nathan sangat peka terhadap kebutuhan Maya, memperhatikan setiap isyarat tubuh dan suara yang ia keluarkan, sehingga ia bisa merespons dengan cara yang tepat untuk memaksimalkan kenikmatan seks yang dirasakan Maya.
Vagina Maya mengunci kejantanan Nathan rapat-rapat dalam tubuhnya. Kelamin mereka terus bertemu tanpa berpikir. Kedua mata nafsu mereka mengunci satu sama lain sementara pinggul mereka terus menyodorkan satu sama lain tanpa istirahat. Maya tidak dapat melihat apapun kecuali mata indah anaknya, yang kejantanannya sedang menyelami vaginanya dengan intim, sementara nafas mereka bergema untuk menghembuskan udara panas ke wajah yang memerah satu sama lain.
“Aaahh … Aaahh … Aaahh …”
Tempat tidur menyaksikan dan merasakan bagaimana mereka tidak bisa berhenti bercumbu. Dan itu bukan hanya ritmis, tetapi seperti melodi keras, kulit yang saling menampar dengan cepat.
“Aku merasakannya … Aku merasakannya lagi … Aaahh … Aku… apa yang terjadi? Ini… ini gila. Bagaimana mungkin bisa seenak ini? Aaahh … Apa yang Nathan perbuat padaku … Ooohh aakkuuu … Oooh dewa …” Itulah kalimat yang diucapkan Maya dalam hati betapa dirinya merasakan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang belum pernah ia rasakan.
“Buunddaaaa … Keluaaaaarrrrrr ….!!!” Akhirnya Maya mencicit sambil menahan tangis kenikmatan.
Wanita itu memeluk tubuh kekar anak kandungnya dengan erat sambil mencoba mengencangkan perutnya untuk mendorong keluar apa pun yang terasa penuh di dalam tubuhnya. Otot-otot di sekitar panggulnya menegang dan kemudian berkontraksi secara ritmis, seolah-olah berdenyut dengan gelombang kenikmatan yang memuncak. Napasnya menjadi cepat dan terputus-putus, sementara punggungnya sedikit melengkung, tubuhnya bergetar seiring sensasi yang menyebar dari vaginanya ke seluruh bagian tubuhnya.
Nathan memeluk tubuh wanita seksi itu dengan kedua tangannya yang kekar, menguncinya di dalam tubuhnya, sementara daya dorong semakin cepat seperti mesin bor.
“Aaahh … Aaahh … Aaahh …” erang Nathan.
Nathan memandang terpana ke arah wajah ibunya yang berekspresi nikmat. Wajah Maya memerah, bibirnya sedikit terbuka, mengeluarkan desahan yang penuh gairah, dan matanya tertutup sebagian, seakan terhanyut dalam lautan kenikmatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Wajah Maya benar-benar memancarkan ekstasi yang luar biasa, seolah tubuhnya tidak lagi bisa menahan gelombang kenikmatan yang datang bertubi-tubi. Nathan tidak bisa mengalihkan pandangannya, terpesona oleh bagaimana orgasme hebat itu melanda tubuh ibunya.
“Buka lagi paha Bunda. Lebih luas lagi,” bisik Nathan di telinga ibunya.
Maya menurut. Gerbang kemaluannya kini benar-benar terbuka lebar. Anaknya mendorong lebih dalam hingga tubuh mendorong kasur mereka hingga tenggelam. Tak lama berselang, Nathan mulai merasakan tanda-tanda klimaksnya mendekat. Sensasi itu semakin kuat di saat ia bergerak di dalam tubuh Maya, setiap gerakan semakin intens. Kocokannya bertambah cepat, dan penisnya mulai berkedut, memberikan isyarat tak terbantahkan bahwa klimaksnya semakin dekat. Nafasnya memburu, irama tubuhnya semakin cepat dan tak tertahankan. Dalam sekejap, ia mencapai puncak kenikmatannya, spermanya pun menyembur hangat, memenuhi lorong vagina Maya. “Aaahhhkkk…” erangannya tertahan, tubuhnya menegang sejenak, menikmati ledakan sensasi yang tak terelakkan itu.
Setelah mencapai puncak klimaksnya, gerakan Nathan tiba-tiba berhenti, seolah seluruh tubuhnya membeku sesaat. Penisnya tenggelam sangat dalam di dalam vagina Maya, berdenyut-denyut kuat saat sisa-sisa ejakulasinya mengalir keluar. Napasnya masih terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat, sementara tubuhnya terasa tegang dalam keheningan itu. Nathan memejamkan mata, meresapi setiap detik saat klimaksnya mereda perlahan. Kedutan di kejantanannya perlahan berkurang, dan ketegangan yang sebelumnya menyelimuti seluruh tubuhnya mulai mengendur. Nathan tetap diam sejenak, membiarkan tubuhnya tenang setelah ledakan kenikmatan yang begitu mendalam.
Nathan memandang wajah ibunya yang terpejam, melihat bagaimana dia masih tenggelam dalam sisa-sisa orgasmenya. Napas Maya terengah, dadanya naik-turun perlahan, sementara bibirnya terbuka sedikit, seolah masih merasakan gelombang kenikmatan terakhir yang menyapu tubuhnya. Wajah Maya terlihat begitu tenang namun penuh dengan kepuasan, membuat Nathan terpaku sejenak, terpesona oleh keindahan ekspresi yang terpancar dari dirinya. Nathan tidak ingin mengganggu momen itu, membiarkan Maya menikmati detik-detik terakhir dari ekstasinya. Perlahan, Nathan menarik dirinya dengan hati-hati, kemudian berbaring di samping Maya.
Sekitar lima menit berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas Nathan dan Maya yang perlahan kembali normal. Keduanya berbaring berdampingan, tubuh mereka masih terasa hangat dari sisa-sisa kenikmatan yang baru saja mereka alami. Maya tetap terpejam, tetapi pikirannya mulai dipenuhi oleh kebingungan. Keheningan itu akhirnya pecah ketika Maya menghela napas panjang, lalu dengan suara pelan namun terdengar jelas, ia bertanya.
“Apa yang kamu lakukan pada Bunda, Nathan?”
Nathan menengok ke arah Maya, sedikit terkejut oleh pertanyaan itu. Ia menatap wajahnya yang masih sedikit memerah, lalu dengan dahi mengernyit ia balik bertanya, “Apa maksud Bunda? Aku tidak mengerti, Bunda.”
Maya membuka matanya perlahan, lalu memandang Nathan dengan ekspresi bingung. “Bunda… apa yang Bunda rasakan tadi…,” ucapnya pelan, mencoba mencari kata yang tepat. “Itu di luar akal sehat Bunda, Nathan … Rasanya begitu… luar biasa. Nikmatnya… Bunda bahkan nggak bisa menggambarkan dengan kata-kata. Bunda nggak pernah merasa seperti itu sebelumnya. Tidak ada kata yang bisa menjelaskan apa yang barusan terjadi.”
Nathan terdiam sejenak, merenungkan kata-kata ibunya. Ia lalu tersenyum tipis, merasa puas melihat ibunya begitu menikmati momen yang baru saja mereka bagi. “Aku… aku cuma ingin membahagiakan Bunda,” jawabnya lembut. “Aku hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk Bunda. Seks terbaik yang bisa aku berikan.”
Maya masih menatap Nathan, tetapi kebingungannya belum hilang. “Tapi ini… ini lebih dari sekadar itu, Nathan. Apa ada yang berbeda? Apa kamu melakukan sesuatu? Bunda merasa seperti ada yang aneh…” ucapnya, suaranya setengah ragu namun penuh keingintahuan.
Nathan tetap menatap Maya dengan lembut, lalu menggelengkan kepalanya. “Aku nggak melakukan apa-apa, Bunda. Aku hanya ingin membahagiakan Bunda. Itu saja,” jawabnya lagi, suaranya terdengar tulus.
Maya memejamkan matanya sejenak, mencoba meredakan kebingungannya, sebelum akhirnya melanjutkan dengan suara yang lembut namun penuh ketegasan, “Setelah malam kemarin, Bunda terus teringat pada apa yang terjadi antara kita. Rasanya seperti ada sesuatu yang terbangun dalam diri Bunda, Nathan. Bunda nggak bisa mengalihkan pikiran darinya.”
Nathan menatapnya dengan penuh perhatian, merasa khawatir sekaligus penasaran dengan perasaan yang dialami Maya. “Apakah Bunda merasa tidak nyaman?”
Maya menggigit bibirnya, lalu melanjutkan, “Bukan, bukan itu. Justru sebaliknya. Semakin Bunda memikirkan itu, semakin Bunda merasa ingin melakukannya lagi. Malam ini, rasanya Bunda tidak bisa menghalau rasa ingin itu. Seperti… Bunda kecanduan seks bersamamu.”
Nathan terkejut mendengar kata “kecanduan” yang keluar dari bibir Maya. Dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi, “Kecanduan? Apa Bunda serius?”
Maya mengangguk, matanya bersinar dengan semangat yang tidak bisa dia sembunyikan. “Ya, Bunda sangat serius. Setiap kali Bunda memikirkan kamu, Bunda merasakan getaran yang sama, dan itu membuat Bunda ingin lebih. Rasanya seperti ada dorongan kuat yang tak bisa Bunda cegah.”
“Kalau itu yang Bunda rasakan, aku ingin Bunda tahu kalau aku juga merasakannya,” respon Nathan.
Maya tersenyum lalu berkata, “Ya, sekarang aku ingin merasakan semua itu lagi, bersamamu.”
“Dengan senang hati Bunda …” jawab Nathan sembari bergerak dan menaiki tubuh Maya yang sudah siap menyambut Nathan di atas tubuhnya.
Maya dan Nathan melanjutkan permainan cinta mereka, menembus batas kenikmatan yang tak terbayangkan. Nathan mengguyur Maya dengan gelombang kenikmatan tiada habisnya, memanjakan setiap indra yang membuatnya bergetar. Setiap sentuhan, ciuman, dan tusukan dari Nathan menciptakan aliran sensasi yang mengalir lembut dan penuh gairah di seluruh tubuhnya. Maya merasakan seolah-olah setiap titik sensitifnya terbakar oleh api hasrat yang membara. Nathan tahu persis di mana dan kapan harus memberikan tekanan, mempercepat ritme, dan kemudian memperlambatnya, membuat Maya terombang-ambing antara ketegangan dan pelepasan yang luar biasa. Mereka berdua larut dalam dunia mereka sendiri. Maya merasa seperti terbang, menjelajahi puncak-puncak ekstasi yang tak terduga, setiap ledakan kenikmatan membawa dirinya lebih dekat pada batas yang belum pernah ia capai sebelumnya. Di saat-saat itu, hanya ada kebahagiaan dan kepuasan yang memenuhi ruang di antara mereka, menciptakan momen-momen magis yang akan terukir dalam ingatan mereka selamanya.
Nathan membuka sabuk pengamannya setelah pesawat mendarat, lalu melangkah turun, kemudian segera menuju pintu keluar terminal bandara. Ia mengikuti arus penumpang lainnya, mendengarkan suara obrolan dan pengumuman yang bergema di dalam ruangan. Setibanya di area taksi, Nathan melihat papan petunjuk yang mengarahkan ke tempat yang ingin dia tuju. Dengan cepat, ia memanggil salah satu taksi yang sudah menunggu dan membuka pintu belakang. Setelah masuk, Nathan memberikan alamat tujuannya kepada sopir dengan jelas, dan tak lama kemudian, taksi melaju membawa Nathan memasuki suasana Yogyakarta yang mulai terbangun.
Jalanan Yogyakarta terlihat ramai, kendaraan bermotor saling berdesakan di bawah sinar matahari pagi yang cerah. Nathan menikmati pemandangan sekitar, melihat aktivitas warga yang mulai bergegas menjalani hari mereka. Selama perjalanan, sopir taksi menjelaskan tentang beberapa tempat menarik yang dilewati, mulai dari pasar tradisional hingga bangunan bersejarah. Setelah melewati keramaian kota, perjalanan berlanjut ke daerah pinggiran yang lebih tenang. Mobil melaju melalui jalanan berkelok-kelok, dikelilingi pemandangan hijau sawah yang menghijau dan deretan pohon yang rimbun. Suasana menjadi semakin damai, jauh dari hiruk-pikuk kota. Dalam dua jam perjalanan, Nathan merasakan ketenangan dan keindahan alam Yogyakarta yang mempesona. Akhirnya, taksi berhenti di daerah Gendangsari, sebuah daerah yang terlihat asri dan menawan.
Nathan melanjutkan perjalanannya menggunakan ojek. Ia mencari tukang ojek di area dekat jalan. Nathan segera menemukan seorang tukang ojek yang bersedia mengantarkannya karena mengenal baik sosok yang ingin ditemui Nathan yaitu Pak Sudirman. Setelah naik ke motor, tukang ojek tersebut langsung melajukan kendaraan ke arah kediaman Pak Sudirman. Perjalanan berlangsung lancar dan cepat. Sekitar setengah jam kemudian, mereka tiba di tujuan. Nathan membayar ongkos ojek dan turun dari motor. Setelah itu, ia berjalan menuju rumah Pak Sudirman yang tampak sepi.
Nathan mengetuk pintu jati setelah tiba di depan rumah Pak Sudirman. Ia mengetuk beberapa kali dengan harapan ada yang menjawab. Suara ketukan bergema di area sepi itu. Setelah menunggu beberapa saat, pintu akhirnya terbuka. Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu, menatap Nathan dengan tatapan waspada.
“Apakah ini benar rumah Pak Sudirman?” tanya Nathan seramah mungkin.
Wanita itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Benar, ini adalah rumah Pak Sudirman.” Ia kemudian melanjutkan dengan ragu, “Anda siapa ya?”
Nathan tersenyum dan menjawab, “Saya Nathan dari Jakarta.”
Wanita itu terperanjat mendengar nama Nathan. “Oh, Tuan Nathan! Silakan masuk … Silahkan masuk …!” ujarnya dengan cepat.
Nathan melangkah masuk ke dalam rumah tradisional milik Pak Sudirman. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu jati yang kokoh dan memberikan kesan nyaman. Lantai marmer di ruangan itu tampak indah dan bersih. Nathan dipersilahkan duduk di kursi tamu yang juga terbuat dari kayu jati yang sangat serasi dengan interior rumah. Wanita paruh baya itu, yang merupakan istri Pak Sudirman, berpamitan sejenak untuk memanggil suaminya. Tak lama kemudian, Pak Sudirman masuk dengan raut terkejut. Ia melihat Nathan duduk di ruang tamu. Terkejutnya terlihat jelas di wajahnya. Pak Sudirman tidak menyangka ada tamu di rumahnya, terutama Nathan yang datang dari jauh.
Nathan berdiri lalu menyalami Pak Sudirman. “Saya minta maaf kalau kedatangan saya mengganggu ketenangan Pak Dirman,” katanya.
Pak Sudirman menjawab, “Saya tidak merasa terganggu. Hanya saja, saya terkejut. Ada kepentingan apa Tuan Nathan jauh-jauh datang ke rumah saya?”
Nathan duduk berhadapan dengan Pak Sudirman. “Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Pak Dirman terkait Gunung Brajamusti.”
Mendengar itu, Pak Sudirman tambah terkejut. “Saya berharap apa yang akan dibicarakan adalah hal-hal yang baik tentang Gunung Brajamusti.”
Nathan menggelengkan kepala. “Sebenarnya, apa yang akan saya bicarakan adalah kebalikan dari apa yang diharapkan Pak Dirman.”
Pak Sudirman memperbaiki posisi duduknya. “Sebenarnya ada apa?”
Nathan menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. “Saya rasa akan terlalu panjang jika saya menceritakan semuanya dari awal. Saya langsung pada intinya saja,” katanya. “Saya datang ke sini karena saya akan menemui ayah saya di puncak Gunung Brajamusti.”
Pak Sudirman menatap Nathan dengan penuh perhatian. “Ayah Tuan? Apa maksudnya?”
Nathan melanjutkan, “Saya memperkirakan bahwa ayah saya ingin meminta saya untuk menyerahkan Gunung Brajamusti kepada dia.”
“Menyerahkan? Menyerahkan pada ayah Tuan? Itu sangat tidak mungkin …” ucap Pak Sudirman, terlihat semakin kebingungan.
Nathan mengangguk pelan. “Saya tahu itu terdengar tidak masuk akal, Pak Dirman. Tapi ayah saya sepertinya sangat menginginkan Gunung Brajamusti. Dia yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan saya merasa kasihan padanya.”
Pak Sudirman mengerutkan dahi. “Kasihan???”
“Saya mengerti,” jawab Nathan. “Tapi saya merasa bahwa menyerahkan gunung itu padanya mungkin bisa memperbaiki hubungan kami. Saya tidak ingin terus-menerus berada dalam pertikaian.”
Pak Sudirman menggelengkan kepala, menatap Nathan dengan serius. “Sangat mustahil seorang ayah meminta Pak Sudirman menggelengkan kepala, menatap Nathan dengan tegas. “Pewarisan Gunung Brajamusti selalu runut dari generasi ke generasi. Tidak mungkin langsung kepada anak. Ayah Tuan seharusnya salah satu pewaris sebelum Tuan. Jadi, tidak mungkin pewarisannya diloncati.”
Pak Sudirman melanjutkan penjelasannya. “Satu-satunya kemungkinan beralihnya pewarisan Gunung Brajamusti adalah antara adik dan kakak. Jika ada yang meminta hak tersebut, itu hanya bisa terjadi di antara mereka. Misalnya, jika kakak tidak dapat mengelola atau tidak ingin melanjutkan, adik dapat mengambil alih. Tetapi itu pun harus melalui proses yang sesuai.”
Nathan merenung, merasakan kebingungan di dalam hatinya. Ia mempertimbangkan apakah perlu menceritakan latar belakang keluarganya kepada Pak Sudirman. Rasa malu menyelimuti dirinya saat ia mengingat masa kecilnya yang penuh dengan kekacauan. Namun, semakin ia berpikir, semakin jelas bagi Nathan bahwa kejujuran adalah langkah yang tepat. Akhirnya, Nathan memutuskan untuk menceritakan segalanya kepada Pak Sudirman. Ia percaya bahwa dengan menjelaskan situasinya, permasalahan ini akan semakin jernih.
“Tuan Pak Dirman,” ucap Nathan, “Saya ingin berbagi sedikit tentang latar belakang kehidupan saya. Saya rasa ini penting agar kita bisa memahami situasi yang terjadi.”
Pak Sudirman menatap Nathan dengan penuh perhatian. “Silakan, Tuan Nathan. Saya mendengarkan.”
“Sejak kecil, hidup saya tidaklah mudah. Saya diculik oleh ayah saya sendiri, Ronny, saat saya masih bayi. Dia merasa tidak tahan lagi dengan ibu saya, Maya,” kata Nathan dengan suara yang tenang.
“Diculik?” balas Pak Sudirman, terkejut dengan pengakuan Nathan.
“Ya, saya dibesarkan oleh Ronny. Dia menganggap saya sebagai anaknya, dan saya pun memanggilnya ayah. Tapi di dalam hati, saya tahu bahwa ayah asli saya adalah Permana, hasil hubungan gelap antara ibu saya dan Permana,” jelas Nathan, wajahnya menunjukkan kerumitan perasaannya.
Pak Sudirman mengangguk. “Jadi, Ronny bukanlah ayah kandung Tuan, tetapi dia yang membesarkan Tuan.”
“Ya,” Nathan mengangguk. “Sekarang saya merasa dilema. Ayah saya sangat menginginkan gunung itu, dan saya merasa kasihan pada Ronny yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang. Namun, di sisi lain, saya juga ingin menghormati sejarah dan tradisi yang ada.” Nathan melanjutkan penjelasannya. “Saya bersedia memberikan Gunung Brajamusti kepada ayah saya, Ronny. Saya rasa itu akan membuatnya bahagia.”
Pak Sudirman menggelengkan kepala. “Mustahil. Ronny bukanlah pewaris Gunung Brajamusti. Meskipun Tuan bersedia menyerahkan gunung itu, tidak ada jalan bagi Ronny untuk memilikinya.”
“Kenapa bisa begitu?” tanya Nathan, bingung dengan pernyataan tersebut.
“Karena pewarisan gunung ini hanya untuk anak cucu Prabu Brajamusti. Berdasarkan cerita Tuan saya bisa menyimpulkan kalau Ronny bukanlah keturunan Prabu Brajamusti. Ronny sama sekali tidak memiliki hak atas gunung itu. Jadi, bahkan jika Tuan ingin memberikan gunung tersebut, itu tidak akan mengubah statusnya.”
Nathan merasa tertegun. “Jadi, saya tidak bisa membantu ayah saya dengan cara itu?”
“Benar,” jawab Pak Sudirman. “Pewarisan gunung ini sangat ketat. Hanya mereka yang terdaftar sebagai pewaris yang memiliki hak atasnya.”
Nathan menatap Pak Sudirman dengan tegas. “Tapi saya akan menyerahkan kepemilikan Gunung Brajamusti kepada ayah saya, Ronny.”
Pak Sudirman langsung meluruskan pandangannya. “Tuan … Tuan harus ingat tentang kutukan Gunung Brajamusti. Jika Tuan bersikeras memberikan gunung itu kepada Ronny, Tuan akan mengalami konsekuensi yang sangat serius. Pertama, Tuan akan selalu hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Segala yang Tuan usahakan tidak akan pernah membuahkan hasil.”
Nathan terdiam, merenungkan kemungkinan tersebut.
“Yang kedua,” Pak Sudirman melanjutkan, “kehidupan Tuan akan selalu diwarnai oleh perpecahan keluarga. Hubungan Tuan dengan orang-orang terdekat akan terus mengalami konflik dan permusuhan. Dan ketiga, Tuan akan diserang oleh para penunggu dan penjaga Gunung Brajamusti. Mereka akan murka karena Tuan melepas tanggung jawab sebagai pewaris Gunung Brajamusti, dan mereka akan terus mengincar Tuan sampai Tuan meninggal dunia.”
Nathan menggigit bibirnya, merasakan berat keputusan yang harus diambil.
Pak Sudirman menghela napas sebelum melanjutkan. “Tuan, saya ingin memberi contoh. Ayah asli Tuan sendiri, Permana, adalah sosok yang pernah melepaskan tanggung jawabnya sebagai pewaris Gunung Brajamusti. Nasibnya hingga kini tidak diketahui. Ia memilih untuk meninggalkan warisan itu dan mengabaikan tanggung jawabnya. Akibatnya, ia diserang oleh para penunggu dan penjaga gunung, dan sampai saat ini, tidak ada yang tahu di mana keberadaannya. Ini adalah pelajaran berharga, Tuan. Tanggung jawab ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh.”
Mendengar penjelasan Pak Sudirman tersebut, Nathan terperanjat hebat. Ternyata ada satu puzzle yang ia temukan atas misteri ayah aslinya. Selama ini, Nathan hanya tahu sedikit tentang Permana. Kenyataan bahwa ayahnya telah melepaskan tanggung jawab sebagai pewaris Gunung Brajamusti dan menghadapi konsekuensi yang mengerikan itu memberikan pemahaman baru baginya. Dalam benaknya, ia mulai merangkai kembali potongan-potongan informasi yang telah didengarnya selama ini. Rasa ingin tahunya semakin membara, dan Nathan mulai menyadari bahwa tindakan dan pilihan orang-orang terdekatnya memiliki dampak yang besar pada kehidupannya.
“Jadi …? Ayah saya, Permana, diserang oleh penjaga dan penunggu Gunung Brajamusti?” pekik Nathan tak percaya. Suaranya bergetar, mencerminkan campuran antara ketidakpercayaan dan kekhawatiran yang mendalam.
“Betul, Tuan,” jawab Pak Sudirman tegas. “Permana telah melepaskan tanggung jawabnya, dan itu adalah keputusan yang sangat berbahaya. Ia tidak hanya mengabaikan haknya, tetapi juga mengabaikan perlindungan yang diberikan oleh Gunung Brajamusti. Akibatnya, dia harus menghadapi konsekuensi dari keputusan itu.”
Nathan merasakan getaran di dalam dirinya. Rasa takut menyelusup ke dalam pikirannya. Selama ini, ia merasa terhubung dengan ayahnya, namun kini ia dihadapkan pada kenyataan bahwa keputusan ayahnya bisa berujung pada malapetaka.
“Apakah Bapak tahu apa yang terjadi padanya setelah itu?” tanya Nathan, suaranya bergetar.
“Sayangnya, tidak ada yang tahu. Ia menghilang begitu saja, dan hingga kini nasibnya masih menjadi misteri,” jawab Pak Sudirman dengan nada prihatin. “Namun, yang pasti, para penjaga dan penunggu tidak akan membiarkan siapapun yang melepaskan tanggung jawab mereka pergi begitu saja.”
Nathan merenungkan cerita Pak Sudirman, menghubungkan penjelasan tentang ayahnya dengan sikap ibunya yang selalu marah ketika topik tentang Permana muncul. Ia teringat bagaimana Maya, ibunya, sering kali menutup pembicaraan dengan nada dingin dan penuh amarah setiap kali namanya disebut. Seolah ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin disembunyikan. Ketidakjelasan ini semakin membingungkannya. Dua fakta penting yang baru ia ketahui, nasib Permana dan kemarahan ibunya, tampaknya saling bertentangan. Nathan tidak menemukan jawaban yang memuaskan malah, pikirannya semakin kusut.
“Jika Tuan sudah sah menjadi pewaris Gunung Brajamusti,” ujar Pak Sudirman, “Tuan akan memiliki akses untuk mencari informasi tentang ayah Tuan. Tuan bisa memerintahkan para penunggu dan penjaga Gunung Brajamusti untuk membantu Tuan mengetahui keberadaan beliau.”
Nathan mendengarkan dengan seksama, mempertimbangkan kemungkinan itu, “Jadi saya harus mempertahankan cincin ini?” tanya Nathan sembari mempermainkan Cincin Brajawali di jari manisnya.
“Mutlak … Cincin itu harus Tuan pertahankan dengan taruhan nyawa sekali pun,” jawab Pak Sudirman serius. Sejurus kemudian, Pak Sudirman melanjutkan ucapannya, “Cincin itu bukan saja tanda kepemilikan Tuan atas Gunung Brajamusti, tetapi juga berfungsi sebagai sumber kekuatan. Cincin Brajawali menyerap energi dari gunung ini dan mengalirkannya kepada pemiliknya, memengaruhi kehidupan Tuan dalam segala aspek. Dari daya tarik fisik hingga keberanian, atau kekuatan. Energi tersebut akan memberikan kekuatan yang lebih, membantu Tuan menghadapi berbagai tantangan yang ada di depan. Namun, Tuan harus berhati-hati. Kekuatan ini juga dapat mempengaruhi keadaan di sekitar Tuan. Keberhasilan dan kegagalan, bahkan hubungan dengan orang lain, bisa terpengaruh oleh energi yang Tuan bawa. Gunakanlah kekuatan ini dengan bijaksana dan selalu ingat, setiap tindakan ada konsekuensinya.”
Nathan mengangguk pelan, merenungkan setiap kata yang diucapkan Pak Sudirman. “Saya mengerti, Pak. Dengan cincin ini, saya tidak hanya mendapatkan kekuatan, tetapi juga tanggung jawab. Saya akan berusaha menggunakan kekuatan ini dengan bijaksana dan tidak menyalahgunakannya.”
“Bagaimana rencana Tuan untuk menemui ayah Tuan, Ronny, di puncak Gunung Brajamusti?” tanya Pak Sudirman dengan penuh perhatian.
Nathan menjawab, “Saya tetap akan menemui ayah. Saya ingin memberikan pengertian kepadanya. Harapan saya, setelah berbicara, ayah bisa menyadari semuanya. Saya tidak ingin pertemuan ini berkaitan dengan keinginannya untuk menguasai Gunung Brajamusti. Saya berharap bisa menjelaskan kepada ayah tentang tanggung jawab yang harus dia emban sebagai bagian dari keluarga.”
Pak Sudirman mengangguk pelan, menyimak dengan seksama. “Semoga apa yang Tuan harapkan menjadi kenyataan. Pertemuan ini bisa menjadi titik balik, baik bagi Tuan maupun bagi ayah Tuan. Namun, ingatlah untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan,” kata Pak Sudirman dengan nada serius.
Bersambung
Wuih …lanjut kak!!!???