BAB 26
Di dalam rumah tradisional Joglo milik Pak Sudirman, suasana pagi terasa hangat dan damai. Struktur atap tinggi dan lebar menciptakan ruang yang luas. Dinding kayu jati halus memancarkan keindahan alami. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma kayu dan kopi yang baru diseduh, menciptakan kenyamanan. Lantai marmer berkilau menambah kesan elegan pada interior, dipenuhi furniture dari kayu jati yang disusun rapi dengan detail ukiran khas.
Nathan duduk di kursi kayu jati yang dihiasi ukiran indah, sementara Pak Sudirman berdiri dekat meja kayu besar, menghadap jendela terbuka lebar. Cahaya matahari pagi masuk lembut, menerangi wajah keduanya. Meski keindahan sekelilingnya menenangkan, Nathan tidak bisa mengabaikan rasa gelisah yang menyelimuti pikirannya.
Pak Sudirman menghela napas sebelum berkata, “Saya rasa Ronny tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan Gunung Brajamusti.”
Nathan mengangguk, merasa berat, “Aku merasakannya, Pak. Aku sangat khawatir ayahku akan mendapatkan celaka karena keinginannya.”
Sebagai kuncen Gunung Brajamusti, Pak Sudirman memiliki banyak cerita, “Gunung ini memiliki sejarah yang dalam. Setiap batu dan pepohonan di sana menyimpan kisah.”
Nathan menyimak penuh perhatian, “Apa itu, Pak?”
“Kutukan Gunung Brajamusti tidak main-main, Tuan … Sekuat apa pun orang itu tidak akan bisa menghindar dari kutukannya. Itu sangat mengerikan,” ucap Pak Sudirman sambil menggelengkan kepala.
Nathan merasa ketakutan menyelimuti hatinya. “Jadi, apa yang bisa terjadi jika Ronny berusaha mengambil alih gunung ini?” tanyanya dengan nada cemas.
“Jika dia nekat, dia akan terjebak dalam kekuatan kelam yang tidak akan pernah dia bisa kendalikan,” jawab Pak Sudirman dengan serius. “Dia mungkin merasa kuat sekarang, tetapi kekuatan itu tidak ada artinya di hadapan kutukan.”
“Aku tidak ingin dia merusak semuanya,” Nathan berbisik. “Gunung ini adalah bagian dari diriku.”
“Persis,” kata Pak Sudirman, “Tuan adalah satu-satunya yang dapat menjaga dan melindungi warisan ini. Hanya keturunan asli Prabu Brajamusti yang bisa melindungi energi gunung ini.”
“Kenapa itu bisa terjadi?” Nathan bertanya, berusaha memahami lebih dalam.
“Karena energi Gunung Brajamusti pada dasarnya adalah energi yang sangat kuat dan gelap,” jelas Pak Sudirman. “Hanya mereka yang memiliki darah Prabu Brajamusti yang bisa meredamnya. Jika orang diluar keturunan Prabu Brajamusti bisa menguasainya, niscaya orang itu akan menjadi sangat jahat dan bisa menghancurkan peradaban.”
Nathan mengingat semua yang telah terjadi. “Jadi, jika Ronny mendapatkan Gunung Brajamusti, dia bisa menjadi sangat berbahaya?”
“Betul sekali. Dia bisa berubah menjadi sosok yang tidak dikenali, bahkan oleh dirinya sendiri,” jawab Pak Sudirman, menekankan setiap kata. “Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi.”
“Sekarang, saya ingin meminta izinmu untuk melakukan semedi, Tuan,” kata Pak Sudirman. “Sebelum kita menuju puncak Gunung Brajamusti, kita harus melakukan sebuah ritual. Energi negatif di sepanjang perjalanan bisa sangat berbahaya. Tanpa persiapan kita mungkin akan mengalami banyak hambatan dan bahkan tidak bisa kembali.”
“Baiklah, Pak. Silakan …” jawab Nathan.
Nathan memperhatikan Pak Sudirman memasuki sebuah kamar. Nathan kemudian menyeruput kopinya yang sudah mulai hangat, merasakan kehangatan cairan itu menyentuh lidahnya. Tiba-tiba, istri Pak Sudirman muncul membawa sepiring singkong rebus. Ia menyimpan sepiring singkong itu di atas meja dengan hati-hati. Setelah itu, istri Pak Sudirman duduk di kursi jati di hadapan Nathan, memberikan senyuman hangat sambil menatapnya.
“Silakan dicoba singkong rebusnya,” kata istri Pak Sudirman dengan ramah. “Kalau Tuan dijamu roti, pasti sudah bosan. Singkong rebus seperti ini jarang ditemukan.”
“Terima kasih, Ibu. Jangan repot-repot,” balas Nathan, merasa malu. “Saya merasa malu telah merepotkan Ibu.”
Istri Pak Sudirman tersenyum. “Saya tidak merasa direpotkan, malah malu hanya bisa menyuguhkan singkong rebus untuk Tuan.”
Nathan membalas senyumnya, lalu mengucapkan terima kasih lagi. Ia mengambil sepotong singkong rebus yang masih panas di hadapannya.
“Tuan … Apakah Tuan sudah menikah?” tanya istri Pak Sudirman sambil tersenyum manis.
“Oh … Saya … Belum, Bu …” jawab Nathan agak tergagap.
“Sebaiknya Tuan segera menikah karena cincin yang Tuan pakai itu bisa merusak,” ujar istri Pak Sudirman.
“Merusak? Merusak bagaimana, Bu?” tanya Natah terlonjak dari duduknya.
“Jadi sejarahnya begini, Tuan … Masyarakat di sekitar Gunung Brajamusti jaman dulu memiliki sejarah yang unik,” kata istri Pak Sudirman. “Mereka memiliki kebiasaan seks bebas, seolah hidup tanpa aturan. Kehidupan mereka mirip dengan ayam yang mengawani siapa saja tanpa ada yang melarang. Jika si jantan ingin kawin, si betina hanya bisa menerima. Prabu Brajamusti melihat tatanan kehidupan ini dan berusaha memperbaikinya. Namun, ternyata perilaku warga tersebut dipengaruhi oleh energi kelam yang dipancarkan oleh Gunung Brajamusti. Untuk mengatasi hal itu, Prabu Brajamusti menyimpan energi kelam tersebut ke dalam cincin yang sekarang Tuan pakai.”
“Terus … Di mana merusaknya?” tanya Nathan ingin tahu sekaligus penasaran.
“Energi itu akan mempengaruhi Tuan,” kata istri Pak Sudirman. “Sedikitnya, Tuan akan terpengaruh oleh energi kelam tersebut. Mungkin Tuan sendiri telah merasakannya, meskipun tidak Tuan sadari. Tuan mungkin akan menyukai seks lebih dari sebelumnya sejak memakai cincin itu. Namun, saya yakin jika Tuan sendiri yang terpengaruh, tidak akan berdampak negatif. Yang saya khawatirkan adalah dampak cincin itu kepada orang lain.”
“Maksud ibu adalah dampak merusak itu terjadi pada orang lain?” tanya Nathan ingin kejelasan.
Istri Pak Sudirman menjelaskan, “Betul, Tuan. Wanita yang berhubungan intim dengan Tuan akan terpengaruh oleh energi kelam itu. Gairah seksualnya bisa menjadi tidak terkendali, meledak-ledak tanpa bisa ditahan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya perilaku hiperseks yang sulit untuk diatasi. Oleh karena itu, saya sarankan agar Tuan menikah. Dengan begitu, Tuan bisa terhindar dari dampak merusak cincin itu pada wanita-wanita yang mungkin saja sudah Tuan dekati.”
“Oh … Begitu ya, Bu …” Nathan terkejut sekaligus lemas saat mendengar informasi itu.
“Hanya dengan istri yang sah, energi kelam itu tidak akan berdampak negatif,” lanjut istri Pak Sudirman. “Dengan menikahi wanita yang Tuan cintai, ikatan itu akan memberikan perlindungan. Energi kelam akan tetap ada, tetapi tidak akan merusak hubungan Tuan. Malah sebaliknya, hubungan yang terjalin dalam pernikahan akan membuat pernikahan Tuan sangat bahagia.”
“Baiklah, Bu … Terima kasih atas informasinya. Saya akan hati-hati membawa cincin ini,” ujar Nathan dengan anggukan kecil.
Istri Pak Sudirman membalas anggukan Nathan lalu bangkit dan berjalan ke belakang lagi. Dalam kesunyian rumah, Nathan merenung tentang wanita-wanita yang pernah ia tiduri semenjak memakai cincin di tangannya ini. Ingatan pemuda itu melayang pada Maya, sosok yang benar-benar tidak bisa menahan birahinya. Perilaku Maya adalah bukti kebenaran penjelasan istri Pak Sudirman. Anggi, wanita lain dalam hidupnya, belum bisa ia ambil kesimpulan. Kebingungan melanda pikirannya, menyisakan pertanyaan tentang pengaruh cincin yang ia kenakan dan dampaknya terhadap hubungan yang ia jalin.
Nathan akhirnya memilih untuk menghalau dulu pikiran itu. Sekarang, fokusnya tertuju pada pertemuannya dengan Ronny. Ketegangan menyelimuti pikirannya. Ia menyadari bahwa pertemuan itu sangat penting untuk memahami niat dan ambisi Ronny terhadap Gunung Brajamusti. Rasa tanggung jawab muncul di dalam dirinya. Ia harus siap menghadapi segala kemungkinan. Nathan merasakan dorongan untuk melindungi warisan leluhurnya, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang yang memiliki harapan terhadap Gunung Brajamusti.
Nathan menghabiskan sisa hari dengan menenangkan diri. Ia berjalan perlahan di sekitar rumah Pak Sudirman, mencoba mengalihkan pikirannya dari berbagai beban yang menumpuk. Setiap langkah terasa lambat, seolah waktu bergerak lebih pelan. Sesekali, ia kembali duduk di beranda, menyeruput teh hangat yang disediakan. Matahari semakin rendah di langit, sementara pikirannya terus mengembara di antara rasa cemas dan tekad untuk menghadapi Ronny.
Nathan kembali ke beranda setelah berjalan-jalan sebentar di sekitar rumah. Saat ia duduk, Pak Sudirman muncul, membawa dua cangkir teh. Mereka duduk bersama, menikmati sore yang semakin larut. Pak Sudirman mulai bercerita tentang perjalanan panjang menjaga Gunung Brajamusti, berbicara tentang masa lalu dan tanggung jawab besar yang kini berada di pundak Nathan. Nathan mendengarkan dengan seksama, meskipun pikirannya masih terbagi antara nasihat Pak Sudirman dan pertemuannya yang akan datang dengan Ronny.
Malam semakin gelap, dan Nathan menyadari bahwa waktu pertemuannya dengan Ronny semakin dekat. Setelah sekian lama mendengarkan cerita Pak Sudirman, Nathan memutuskan bahwa saatnya untuk bersiap. Jam di dinding menunjukkan pukul 21.00. Pak Sudirman bangkit dari tempat duduknya, seolah memahami apa yang ada di pikiran Nathan. “Sudah waktunya, Tuan,” ucapnya dengan nada tenang. Nathan mengangguk pelan, mengambil napas dalam-dalam, lalu berdiri. Bersama Pak Sudirman, ia mulai bersiap untuk pergi menuju pertemuan yang mungkin bisa mengubah segalanya.
Nathan dan Pak Sudirman bersiap meninggalkan rumah. Mereka berdua menaiki motor tua milik Pak Sudirman, suara mesinnya berat namun tetap stabil. Jalanan desa yang sepi mulai mereka lalui, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang redup. Suara gemericik sungai dan gesekan dedaunan menemani perjalanan mereka, menambah suasana hening yang mencekam. Nathan duduk diam di belakang, pikirannya masih tertuju pada pertemuan dengan Ronny dan segala yang telah diceritakan Pak Sudirman tentang Gunung Brajamusti.
Setelah hampir setengah jam berkendara, mereka sampai di sebuah rumah penduduk. Pak Sudirman mematikan mesin motor, lalu memarkirnya di halaman rumah sederhana itu. Nathan mengikuti, turun dari motor. Rumah tersebut milik salah satu warga setempat. Pak Sudirman memberi isyarat agar Nathan mengikuti langkahnya. Rumah ini akan menjadi tempat terakhir mereka sebelum mendaki menuju lereng Gunung Brajamusti.
“Weladalah … Pak Kuncen … Silahkan masuk!” sapa sang pemilik rumah seorang pria berusia sekitar awal 40 tahunan.
“Untunglah kamu ada di rumah, Kasimin …” balas Pak Sudirman pada pemilik rumah.
“Kebetulan aku tak pergi. Aku punya firasat akan ada yang datang,” ujarnya sambil bersalaman dengan Nathan. “Siapa ya?” tanyanya kemudian pada Nathan.
“Saya Nathan, Pak,” jawab Nathan sambil membungkukan badan.
“Aih … Sang pewaris datang ke gubuk saya … Selamat datang Tuan …” ucap Kasimin dengan senang hati.
Nathan dan Pak Sudirman melangkah menuju rumah Kasimin. Di dalam, suasana rumah terasa hangat. Kasimin mempersiapkan mereka dengan beberapa perlengkapan yang mungkin diperlukan dalam perjalanan menuju puncak gunung. Pak Sudirman berbicara singkat dengan Kasimin, sementara Nathan mengamati sekeliling, merasakan ketenangan yang aneh. Mereka bertiga duduk sebentar, berbincang dengan santai sebelum memulai perjalanan mereka yang penuh tantangan. Kasimin mengangguk paham ketika Pak Sudirman menjelaskan rencana. Mereka bertukar beberapa kalimat lagi, lalu bersiap untuk berangkat.
Pak Sudirman membuka tas kecil yang dibawanya, mengeluarkan dua botol air mineral. Ia menyerahkannya kepada Nathan dan Kasimin sambil berkata, “Sebelum kita lanjut, silakan diminum air ini. Saya sudah menyiapkan dan memberinya mantra keselamatan. Perjalanan menuju puncak Gunung Brajamusti tidak bisa dianggap remeh, banyak hal yang tidak terlihat mata. Dengan minum air ini, kita memohon perlindungan agar selamat sampai kita kembali lagi ke tempat ini.”
Nathan dan Kasimin meminum air mineral yang telah diberikan oleh Pak Sudirman. Rasa segar air itu menyegarkan tenggorokan mereka. Nathan merasakan sedikit kehangatan menyebar di seluruh tubuhnya setelah menenggak air tersebut. Kasimin juga terlihat tenang, mengangguk sambil menutup botolnya. Mereka berdua merasakan seolah ada energi positif yang mengalir di antara mereka. Pak Sudirman mengamati mereka dengan penuh perhatian, memastikan bahwa keduanya siap untuk melanjutkan perjalanan.
Jalan setapak yang dikelilingi pepohonan hijau menyajikan pemandangan yang menyejukkan. Suara langkah kaki mereka menggema di antara celah-celah pepohonan. Nathan, yang berjalan di tengah, merasakan semangatnya semakin menguat. Ia tahu bahwa perjalanan ini membawa tanggung jawab besar. Setelah beberapa lama menanjak, mereka tiba di sebuah area yang ramai. Ternyata, sebuah pasar kecil terbentang di depan mereka, dipenuhi oleh kerumunan orang. Suara tawar-menawar dan aroma makanan menguar di udara. Nathan merasa tertarik dan ingin menjelajahi pasar itu. Namun, Pak Sudirman segera menghampiri Nathan dan memberi isyarat agar ia tidak mendekat.
“Jangan dekat, Tuan,” kata Pak Sudirman dengan nada serius. “Semua yang ada di pasar ini adalah dedemit penunggu Gunung Brajamusti. Mereka tidak bisa dipercaya. Jika kita terjerat dalam permainan mereka, bisa berbahaya bagi kita.”
Nathan terdiam, menyadari betapa dalamnya makna nasihat Pak Sudirman. Ia menahan rasa penasarannya dan mengikuti langkah Pak Sudirman dan Kasimin, menjauh dari keramaian pasar. Perjalanan dilanjutkan dengan hati-hati. Di sepanjang jalan, pemandangan semakin menakjubkan, dengan hamparan rerumputan hijau dan batu-batu besar yang berserakan. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, mereka sampai di puncak Gunung Brajamusti. Pemandangan dari ketinggian itu luar biasa. Langit biru yang cerah menyatu dengan panorama alam yang menakjubkan di bawahnya. Nathan merasakan getaran kuat dari tanah di bawah kakinya, seolah gunung itu menyambut kedatangannya.
Tiba-tiba, dari balik pepohonan, berkelebat beberapa tubuh manusia berpakaian serba hitam. Mereka mengelilingi Nathan, Pak Sudirman, dan Kasimin. Topeng hitam menutupi wajah mereka, hanya menyisakan mata yang tajam. Suasana yang sebelumnya tenang kini menjadi tegang, tetapi Nathan tetap tenang, tidak menunjukkan rasa takut. Nathan mengamati sosok-sosok tersebut dengan santai, merasa percaya diri dalam situasi yang mengancam ini. Pak Sudirman berdiri di sampingnya, siap menghadapi kemungkinan terburuk, sementara Kasimin tampak lebih waspada. Para sosok misterius itu seolah menyatu dengan kegelapan, menunjukkan niat yang jelas. Nathan mengangkat alisnya, menilai situasi dengan kepala dingin. Keberanian dan ketenangannya memberi sinyal kepada yang lainnya bahwa ia tidak gentar.
“Siapa kalian?” tanya Nathan sambil menatap sosok berbaju hitam itu satu persatu.
“Anda sudah kami tunggu. Ikuti kami!” kata salah satu dari mereka.
“Aku saja yang akan mengikuti kalian. Biarkan para pengantarku kembali ke lereng,” ucap Nathan tegas.
“Silahkan!” jawab orang tersebut sambil mengangkat tangannya.
“Pak Dirman … Pak Kasimin … Kembalilah!” Perintah Nathan.
“Tapi Tuan?” Pak Sudirman ragu.
“Kembalilah … Biar saya yang akan mengurusnya,” ucap Nathan tegas namun penuh pengharapan.
“Hati-hatilah Tuan …” kata Pak Sudirman lalu mundur dan pergi bersama Kasimin.
“Ikuti kami!” ujar pria bertopang dan berbaju hitam itu.
Nathan berjalan mengikuti mereka, menyusuri jalur sempit. Suara langkah kaki para sosok berbaju hitam itu bergema dalam keheningan hutan. Mereka bergerak cepat, dan Nathan berusaha menjaga jarak namun tetap waspada. Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah kawah besar. Dinding kawah menjulang tinggi, sementara di tengahnya terdapat genangan air berwarna hijau kebiruan yang berkilau di bawah sinar bulan. Aromanya tajam, menciptakan nuansa misterius di sekelilingnya. Nathan mengamati sekelilingnya dengan hati-hati, merasakan sesuatu yang mengalir di udara. Sosok-sosok di sekelilingnya berhenti, dan salah satu dari mereka mengangkat tangannya untuk memberi isyarat agar semua berhenti. Nathan merasa ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini, sebuah kekuatan yang tidak terlihat, tapi sangat nyata.
Orang-orang berbaju hitam yang mengantar Nathan tiba-tiba melesat dan menghilang di balik pepohonan. Nathan tetap berdiri tenang di tempatnya, meski ia meningkatkan kewaspadaan. Dalam keheningan, asap hitam muncul sekitar lima langkah di depannya, membentuk kabut pekat yang menutupi pandangannya. Sesaat kemudian, dari dalam asap, muncul sosok berbaju hitam dengan jubah yang berkibar, seolah ditiup angin tak terlihat. Wajah sosok itu tersenyum, dan Nathan segera mengenali pemilik wajah itu sebagai Ronny, ayahnya, yang kini berdiri di hadapannya dengan aura misterius.
“Selamat datang anakku,” ucap Ronny yang kini suaranya agak menggema.
Nathan menatap ayahnya. “Apa yang kau inginkan, ayah? Kenapa kau membawaku ke sini?” Suaranya tenang, meski hatinya bergetar. Ia tidak ingin terjebak dalam permainan emosional yang bisa membawanya ke jalur yang salah.
Ronny menghela napas dalam-dalam, seolah berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “Aku melakukan semua ini untuk kita. Untuk masa depan kita.” Ia melangkah lebih dekat, tetapi Nathan mundur sedikit, tetap menjaga jarak.
“Kau tahu aku tidak bisa mempercayaimu, ayah …” jawab Nathan tegas. “Apa yang kau inginkan dari Gunung Brajamusti?”
Ronny mengerutkan dahi. “Ini bukan hanya tentang Gunung Brajamusti. Ini tentang kita, Nathan. Kita memiliki warisan yang harus dijaga. Aku hanya ingin memastikan bahwa kita berdua bisa mengendalikan kekuatan ini.”
Nathan menatap Ronny dengan serius. “Kekuatan Gunung Brajamusti bukan untuk dikendalikan. Kekuatan ini untuk kemaslahatan bersama. Itulah yang diperintahkan oleh leluhur kita.” Suaranya tegas, mengalir penuh keyakinan. Ia merasa perlu untuk menegaskan prinsip ini, agar Ronny memahami bahwa kekuatan yang mereka miliki bukanlah alat untuk kepentingan pribadi, melainkan tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan.
Ronny tersenyum lebar, pandangannya tajam. “Nathan, kau harus mengerti. Kekuatan Gunung Brajamusti adalah anugerah kita. Ini adalah hak kita untuk menguasai dunia. Kekuatan ini milik kita dan kita bisa mengatur dunia ini sesuka hati kita.” Ia melangkah lebih dekat, mengulurkan tangan seolah mengajak Nathan untuk bergabung. “Bayangkan jika kita bersatu. Kita bisa membangun kekuatan yang tak tertandingi. Bersama-sama, kita bisa menguasai dunia.” Suaranya dipenuhi semangat, seolah menggambarkan impian besar yang tak terbatas.
Nathan menggelengkan kepala, matanya tajam menatap Ronny. “Kau salah, Ayah. Kekuatan Gunung Brajamusti bukan untuk ditaklukkan atau dimanfaatkan demi kepentingan pribadi. Ini adalah amanah dari leluhur kita. Mereka memberi kita kekuatan ini untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk menguasai dunia atau menyakiti orang lain.” Suara Nathan penuh keyakinan, menegaskan prinsip yang mendalam dalam dirinya. “Jika kau melanggar amanah itu, konsekuensinya sangat berat. Kutukan akan menghantui kita, bukan hanya pada dirimu, tetapi juga pada orang-orang yang kita cintai. Kita tidak bisa bermain-main dengan kekuatan ini. Menggunakan kekuatan ini untuk keegoisan hanya akan membawa kehancuran.” Nathan merasakan tekanan batin yang kuat, berusaha meyakinkan Ronny akan pentingnya menghormati warisan mereka.
Ronny mengerutkan dahi, wajahnya mulai memerah karena kemarahan. “Bodoh! Kau benar-benar bodoh jika kau percaya bahwa kita bisa membiarkan kekuatan ini terlewat begitu saja. Kita memiliki kesempatan untuk mengubah segalanya, untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milik kita. Kenapa kau ingin terikat pada tradisi dan norma yang tidak ada gunanya? Dunia ini tidak peduli pada kebaikan atau kemaslahatan. Yang ada hanyalah kekuatan. Kekuatan adalah segalanya!” Suaranya menggema dengan nada frustrasi, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan ambisi yang menggebu-gebu. “Kau punya kesempatan untuk bersamaku, untuk menguasai segalanya, dan kau memilih untuk berpegang pada ilusi moral? Ini adalah kesempatan kita, Nathan! Jangan sia-siakan!” Ronny berusaha meyakinkan Nathan, berusaha menarik putranya ke dalam pusaran ambisinya.
Nathan menatap Ronny dengan tegas, mengekspresikan rasa kecewa yang mendalam. “Kau masih belum mengerti, ayah. Apa yang kau katakan hanya mencerminkan ketamakanmu. Kekuatan bukanlah untuk dikuasai demi kepentingan pribadi atau ambisi sempit. Jika kau terus mementingkan dirimu sendiri, kau akan terjerat dalam kutukan yang telah lama ada. Tamak akan kekuatan hanya akan mencelakakanmu. Leluhur kita telah memberikan amanah ini untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk dijadikan alat untuk menguasai dunia atau meraih kekayaan. Setiap tindakan ada konsekuensinya. Jika kau terus menolak amanah ini, maka kau bukan hanya mengkhianati dirimu sendiri, tetapi juga mewariskan kehampaan kepada generasi berikutnya.” Suara Nathan semakin tegas, menunjukkan keyakinan dan komitmennya terhadap warisan leluhur.
Ronny menatap Nathan dengan kemarahan yang membara. “Kau benar-benar bodoh jika menganggap bahwa kekuatan ini hanya untuk kebaikan. Gunung Brajamusti adalah anugerah bagi kita, dan kita harus menguasainya! Dengan kekuatan ini, kita bisa mendapatkan apa pun yang kita inginkan. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini.”
Nathan berdiri teguh, menolak untuk terpengaruh oleh ancaman dan godaan yang melanda. “Kau tidak mengerti, ayah. Menguasai Gunung Brajamusti hanya akan mengundang kehancuran. Para leluhur telah memberi kita amanah. Kekuatan ini bukan untuk keserakahanmu. Jika kau terus melangkah di jalur ini, kau akan merusak dirimu sendiri.”
Ronny, yang semakin tersulut emosi, merengutkan dahi. “Kau menghalangi jalanku, Nathan. Bodoh sekali jika kau menolak tawaran ini. Jika kau tidak setuju, maka kau akan merasakan konsekuensinya!”
Nathan merasakan gelombang kemarahan ayahnya, tetapi ia tetap tidak gentar. “Kekuasaan tidak berarti apa-apa jika didapatkan dengan cara yang salah. Ketamakanmu akan mencelakakan bukan hanya dirimu, tetapi juga semua orang yang kau cintai. Jangan biarkan ambisi butamu membawamu pada kehancuran!”
Ronny mengarahkan tatapannya yang tajam kepada Nathan, matanya berkilau dengan amarah yang tak tertahankan. “Kau harus ingat, Nathan. Jika kau tetap menolak untuk mengikuti jalan ini, aku tidak akan segan-segan mengambil apa yang menjadi hakku. Cincin Brajawali yang kau pakai itu, milikku. Kekuatan yang ada padanya seharusnya bersamaku. Kembalikan cincin itu padaku. Jika tidak, kau akan berhadapan dengan konsekuensi yang tidak kau inginkan.”
Nathan menatap Ronny dengan penuh keyakinan, tidak gentar meski dihadapkan pada ancaman. “Cincin Brajawali ini adalah milikku, dan aku tidak akan memberikannya padamu. Kekuatan dan warisan yang ada padanya adalah tanggung jawab yang harus aku jaga. Jika kau berusaha mengambilnya, aku siap mempertahankan cincin ini dengan segala cara, meskipun nyawaku taruhannya. Tidak ada tempat bagi ketamakan dan ambisi pribadimu di sini.” Nathan menguatkan tekadnya, merasakan aliran kekuatan dari cincin yang melingkar di jarinya.
Ronny berdiri tegak, matanya menyala dengan ambisi yang membara. Ia mengerahkan energinya, tubuhnya dikelilingi oleh aura gelap yang berkilau, seolah-olah menantang cahaya di sekelilingnya untuk meredup. Energi itu mengalir dari dalam dirinya, mengalir ke udara, menciptakan getaran yang menggetarkan tanah di bawah kaki Nathan. Nathan berdiri dengan tenang. Ia mengambil napas dalam-dalam, merasakan aliran energi Ronny yang memancar ke sekeliling. Fokusnya terpusat, ia mempersiapkan diri untuk setiap kemungkinan. Kakinya sedikit membengkok, posisi bertahan siap diambil. Ia mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya, siap menerima serangan yang akan datang.
Dengan lincah, Ronny melompat ke udara, meninggalkan tanah sejenak dan menciptakan ruang di antara dirinya dan Nathan. Saat berada di puncak lompatan, ia memutar kakinya dalam gerakan spiral yang cepat. Angin kencang tiba-tiba menerpa Nathan, menciptakan suara menderu yang memenuhi udara. Gerakan kaki Ronny begitu cepat, sehingga tampak seperti bayangan yang bergerak melesat. Energi yang terfokus menghasilkan tekanan angin yang membuat daun-daun di sekitar bergetar hebat. Nathan dengan sigap melompat ke samping, menghindari tendangan yang dilancarkan Ronny. Ia memanfaatkan momen itu untuk menggunakan Ajian Brajamusti (Angin Petir), melesat ke arah Ronny dengan kecepatan luar biasa, berusaha mendekatinya dari sisi yang tidak terduga.
Dengan kecepatan yang tinggi, kedua sosok itu saling mendekat. Saat tubuh Nathan hampir mencapai Ronny, kedua jurus bertemu di tengah udara. Ledakan keras menggema saat Ajian Brajamusti (Angin Petir) milik Nathan bertabrakan dengan Tendangan Guntur Ronny. Gelombang energi menyebar, menciptakan riak udara yang terasa hingga jauh. Debu dan serpihan tanah beterbangan. Kekuatan yang bertabrakan memancarkan cahaya yang menyilaukan. Momen itu mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Akibat benturan dahsyat itu, kedua tubuh terpental dan terlempar jauh hingga menghantam tanah dengan keras. Mereka berusaha bangkit kembali, masing-masing mencoba mengatur napas dan fokus untuk melanjutkan pertarungan yang baru saja mereka mulai.
Ronny mengatur napasnya yang berat, menatap Nathan dengan tatapan penuh tantangan. “Ajian Brajamusti-mu tidak akan cukup untuk mengalahkanku,” katanya dengan suara rendah, namun jelas. “Kau masih terlalu lemah untuk mengendalikan kekuatan sejati yang ada di Gunung Brajamusti. Kekuatan ini adalah milikku, dan aku tidak akan membiarkanmu mengambilnya.”
Nathan menatap Ronny dengan tatapan tajam dan tegas. “Kau salah, Ayah. Ajian Brajamusti adalah kekuatan leluhur yang kuwarisi, dan aku akan menggunakannya untuk melindungi warisan ini, bukan untuk menghancurkannya. Kekuatanmu tidak ada artinya jika hanya berlandaskan ketamakan. Aku tidak akan mundur. Ini adalah pertempuran untuk kebenaran, dan aku akan bertarung sampai akhir demi apa yang benar.”
Ronny, dengan amarah yang memuncak, mengerahkan energinya kembali. Ia bersiap untuk menyerang Nathan dengan teknik ‘Tendangan Guntur’ yang sama, tetapi kali ini dengan kekuatan yang lebih besar. Dengan gerakan cepat, ia melompat ke udara, menciptakan jarak sebelum mendarat. Dalam sekejap, kakinya berputar dengan kecepatan sangat tinggi. Angin puting beliung terbentuk di sekitar kakinya, menghasilkan suara menderu yang semakin keras. Saat kakinya memukul udara, putaran itu menghasilkan semburan angin yang hebat, menerpa tubuh Nathan dengan kekuatan luar biasa.
Nathan memperkuat pertahanannya dengan Ajian Brajamusti (Aura Pelindung), sebuah lapisan energi yang menyerap dampak dari pukulan Ronny. Ketika tendangan Ronny yang kuat menghantam Aura Pelindung Nathan, terjadilah benturan kekuatan yang sangat hebat. Ledakan energi meluncur ke segala arah, menciptakan gelombang kejut yang mengguncang tanah. Meskipun Aura Pelindung berhasil menyerap sebagian besar dampak, Nathan masih merasakan guncangan yang cukup kuat. Tubuhnya terpental ke belakang, terjatuh di tanah dengan keras. Di sisi lain, Ronny juga merasakan efek dari benturan tersebut. Energinya bergetar, dan ia terpaksa mundur beberapa langkah untuk menjaga keseimbangannya.
Ronny kali ini tidak menghentikan serangan. Pria itu ingin segera mengakhiri pertarungan secepatnya. Dengan semangat membara, Ronny mengerahkan semua tenaganya dan kembali melancarkan serangan. Ia memutar kakinya dengan kecepatan maksimal, menciptakan angin kencang yang menggulung dan mengancam tubuh Nathan. Angin yang berputar menciptakan suara mendesing, mengisyaratkan bahwa serangan ini lebih berbahaya daripada sebelumnya. Melihat bahwa Ronny tidak berhenti menyerang, Nathan segera merespons dengan cermat. Ia menggunakan Ajian Brajamusti (Penutup Bayangan), menghilang dari pandangan dalam sekejap. Dalam detik berikutnya, Nathan muncul kembali di belakang Ronny dengan kecepatan yang mengejutkan.
Nathan kemudian meluncurkan serangan pukulan beruntun, menghantam Ronny bertubi-tubi dengan kecepatan yang luar biasa. Namun, Ronny sangat paham dengan teknik-teknik yang digunakan Nathan. Dengan sigap, ia memblokir setiap serangan menggunakan Teknik Penyangga Kekuatan, menciptakan penghalang yang menyerap setiap dampak pukulan. Setelah serangan Nathan mulai melambat, Ronny mengambil kesempatan. Ia mengerahkan teknik Gelombang Energi Gelap, melepaskan gelombang kekuatan yang merusak ke segala arah. Gelombang tersebut menyebar dengan cepat, memaksa Nathan mundur untuk menghindari dampak destruktif yang menyertainya.
Ronny menatap Nathan dengan tajam, mengancam. “Kau sebaiknya menyerah, Nathan. Ilmu yang kau miliki tidak sebanding dengan kekuatanku. Cincin Brajawali itu seharusnya menjadi milikku. Kembalikan cincin itu, dan aku akan membiarkanmu pergi.”
Nathan tetap berdiri tegak, menatap ayahnya tanpa rasa takut. “Aku tidak akan memberikan Cincin Brajawali, meskipun nyawa menjadi taruhannya. Cincin ini adalah warisanku dan bagian dari diriku.”
Ronny mengerutkan alisnya, wajahnya dipenuhi amarah. “Kau membuatku terpaksa melakukan ini, Nathan. Kebodohanmu telah membawaku ke titik ini. Jika kau terus menolak, aku tidak akan punya pilihan lain selain membunuhmu. Cincin itu harus menjadi milikku, dan jika kau menghalangiku, maka kau akan merasakan akibatnya.”
Nathan menatap Ronny dengan penuh tekad. “Kau tidak akan pernah mendapatkan Cincin Brajawali. Ini adalah warisanku, dan aku akan melindunginya dengan segala cara. Jika kau ingin membunuhku, maka percayalah, aku tidak akan mundur.”
Nathan berdiri tegak, tidak gentar menghadapi ancaman Ronny. Dengan Keterhubungan Alam, ia menutup matanya sejenak dan membuka diri terhadap energi di sekelilingnya. Ia merasakan getaran kehidupan dari pepohonan, angin, dan tanah. Energi tersebut mengalir ke dalam dirinya, mengisi setiap sel dengan kekuatan baru. Aura bercahaya mulai menyelimuti tubuhnya, menandakan bahwa ia mempersiapkan diri untuk menghadapi pertarungan yang lebih hebat. Dengan kecepatan kilat, Nathan meluncurkan Teknik Pukulan Brajamusti (Pukulan Dewa). Ia menggerakkan tangan kanannya ke depan, menggabungkan kekuatan fisik dan spiritual yang mengalir dalam dirinya. Serangan itu tampak seolah membawa cahaya dan energi dalam satu kesatuan, menciptakan gelombang yang kuat saat mendekati Ronny. Udara bergetar di sekelilingnya, dan suara menderu terdengar saat pukulan itu meluncur, menerjang Ronny dengan kekuatan yang luar biasa. Pukulan tersebut mengguncang tanah di bawahnya, menciptakan getaran yang menggema di sekeliling arena pertarungan.
Ronny merespons dengan cepat, mengerahkan energinya untuk menciptakan Bola Api Kegelapan. Sebuah bola besar berapi-api terbentuk di tangannya, menyebarkan aura gelap dan panas yang menyengat. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan bola itu ke arah Nathan, mengirimkan gelombang panas yang membakar udara. Nathan tidak tinggal diam. Ia segera menggunakan Ajian Brajamusti (Perisai Energi Cahaya), memfokuskan energi dalam dirinya untuk membentuk perisai yang bersinar. Saat kedua kekuatan bertemu, terjadi benturan yang dahsyat. Ledakan mengguncang area sekitar, menciptakan gelombang kejut yang merobek udara. Asap dan cahaya menyebar, menyelimuti arena pertarungan dengan kepulan debu. Perisai yang bersinar menyebarkan cahaya terang, sementara Bola Api Kegelapan mengeluarkan kilatan menyilaukan. Dalam keriuhan itu, Ronny terpaksa mundur sejenak, terkejut oleh kekuatan yang dikeluarkan Nathan.
Ronny menyerang Nathan dengan kekuatan yang mematikan. Serangan itu cepat dan tepat, menciptakan gelombang tekanan yang mengguncang tanah di sekitar mereka. Ronny dan Nathan menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengerahkan teknik-teknik mereka. Setiap serangan diiringi dengan ledakan yang mengguncang tanah, menciptakan getaran yang meresap ke dalam tanah. Masing-masing berusaha mencari celah untuk menyerang dengan ketepatan tinggi.
Selama pertarungan, tanah dan batu beterbangan akibat tekanan dari serangan yang dilancarkan. Nathan memanfaatkan kecepatan untuk menyerang secara mendalam, memaksa Ronny menggunakan semua teknik bertahannya. Tiap kali Ronny membalas, aura gelap mengelilingi serangannya. Asap dan debu menghalangi pandangan, menciptakan suasana yang semakin tegang.
Pohon-pohon di sekitar hancur terbakar, dengan api menjilat batang dan dahan. Hembusan angin dari teknik mereka menciptakan puting beliung yang melibas segala sesuatu di sekitarnya. Cahaya dari teknik Nathan bersinar terang, berkontribusi pada suasana malam yang seakan menjadi siang. Serangan dan balasan saling menyusul dalam ritme yang cepat.
Ronny dan Nathan tidak memberikan kesempatan untuk beristirahat pada masing-masing pihak. Suara teriakan dan dentuman serangan menciptakan simfoni kekacauan. Lingkungan sekeliling menjadi saksi bisu dari pertarungan yang berlangsung begitu dahsyat. Tekanan energi di sekitar mereka semakin besar, membuat situasi semakin mendesak dan berbahaya.
Pertarungan ini meninggalkan arena dalam kondisi hancur. Tanah berlubang, batu-batu besar terlempar jauh, dan sisa-sisa pohon tergeletak di mana-mana. Api yang berkobar menghanguskan area yang sebelumnya dipenuhi pepohonan. Asap tebal menyelimuti langit malam, menciptakan suasana suram. Debu yang beterbangan menambah kesan kekacauan. Tak terasa pertarungan ini sudah berlangsung selama dua jam, dan tidak ada yang bisa meramalkan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Dalam pertempuran yang sudah berlangsung lebih dari dua jam, Ronny memutuskan untuk menggunakan Teknik Rasa Takut. Dengan konsentrasi tinggi, ia menciptakan ilusi menakutkan yang mengelilingi Nathan. Bayangan-bayangan gelap muncul, membentuk sosok-sosok menakutkan yang bergetar di udara. Suara berisik dan jeritan mengerikan menggema, menciptakan suasana mencekam di sekelilingnya. Nathan merasa terjebak dalam kegelapan, seolah-olah ada tangan-tangan tak terlihat yang ingin meraih dan menjeratnya. Rasa ragu dan ketidakpastian menguasai pikirannya, membuatnya kebingungan dan kehilangan fokus.
Teknik ini benar-benar berhasil melemahkan mental dan fisik Nathan. Tubuhnya menjadi lemah, dan kakinya terasa seperti terikat. Rasa takut menghimpitnya, menghalangi setiap langkah yang ingin diambil. Pada satu titik, Nathan kehilangan kekuatan pertahanannya, terperosok ke dalam ketakutan yang mendalam. Melihat kesempatan itu, Ronny melancarkan serangan akhir dengan Teknik Pukulan Bulan Kegelapan. Ia memusatkan energi pada tinjunya, menghasilkan cahaya gelap yang menderu. Dengan satu pukulan kuat, Ronny menghantam Nathan, membuatnya terpental jauh ke belakang.
Tubuh Nathan jatuh dengan keras ke tanah, menciptakan kawah kecil di tempat ia mendarat. Dampak dari serangan itu sangat kuat, membuat tubuhnya terguncang hebat. Dalam keadaan tak berdaya, Nathan merasakan rasa sakit yang tak tertahankan. Ia muntah darah, darah segar menyembur dari mulutnya. Dengan tubuh yang lemah, Nathan akhirnya pingsan, terkulai di tanah, dikelilingi oleh kehampaan dan kegelapan.
Ronny tertawa keras, suara tawa itu menggema di sekitar arena pertarungan yang kini hancur. Tawa itu mengandung campuran kebanggaan dan kepuasan, seolah-olah ia baru saja mencapai puncak dari ambisinya. Dengan penuh percaya diri, ia melangkah mendekati Nathan yang tergeletak lemah di tanah. Wajahnya dipenuhi senyum kemenangan yang sinis.
“Lihatlah, anakku,” katanya dengan nada meremehkan. “Aku telah membuktikan kekuatanku. Gunung Brajamusti sekarang adalah milikku! Milikku sepenuhnya!” Ia mengulang kata-kata itu berkali-kali, setiap pengulangan menambah bobot pada pernyataannya. “Gunung Brajamusti adalah milikku! Tidak ada yang bisa menghalangiku! Tidak ada yang dapat merebutnya dari tanganku!”
Ronny menatap langit malam, merasakan angin berhembus seolah mendukung klaimnya. “Aku adalah penguasa Gunung Brajamusti, dan tak seorang pun akan meragukannya lagi!” Tawa dan kata-katanya menciptakan aura dominasi, seolah-olah dunia di sekelilingnya bersorak mendengar pernyataan itu.
Tiba-tiba, di hadapan Ronny, muncul lingkaran hitam pekat yang besar. Ronny tahu siapa yang akan datang. Ia mundur beberapa langkah, matanya terpaku pada lubang hitam yang semakin melebar. Dari dalam lingkaran hitam itu, sosok seorang wanita mulai muncul. Ia mengenakan gaun panjang berkilau, dihiasi dengan corak megah yang mencerminkan kekuasaan dan keanggunan, bak permaisuri dari kerajaan yang hilang. Tubuhnya melayang perlahan, seolah-olah gravitas tidak mampu menahannya. Kekuatan yang terpancar darinya membuat udara di sekeliling bergetar, menciptakan aura mistis yang menakutkan.
Ketika kakinya akhirnya menyentuh tanah, wanita itu berdiri tepat di depan tubuh Nathan yang tergeletak tak berdaya. Wajahnya tersembunyi di balik bayang-bayang, namun cahaya lembut yang terpancar dari gaun serta matanya yang tajam membawa kesan penuh kekuatan dan ketegasan. Ronny, yang sebelumnya begitu percaya diri, kini merasakan sedikit ketakutan dan keengganan menyusup ke dalam dirinya.
“Kau sudah berjanji tidak akan ikut campur dengan urusanku,” tegur Ronny pada si wanita yang baru saja datang.
“Aku tidak bisa membiarkan anakku menjadi korban ambisimu,” jawab wanita itu dengan tegas. “Dengan sangat terpaksa, aku harus melanggar janjiku sendiri untuk menyelamatkan anakku.”
Dengan marah, Ronny berteriak, “Nathan adalah bagianku! Kau sudah mendapat bagiannmu, Maya! Jangan campuri urusanku lagi!”
Maya menatap Ronny dengan penuh harap. “Aku minta maaf, Ronny. Aku tidak bisa membiarkan Nathan mati. Aku sangat menyayangi dan mencintainya.”
Ronny memandang Maya dengan tatapan penuh kemarahan. “Aku menyesal pernah mempercayaimu lagi,” ucapnya dengan suara yang menggema. “Seharusnya aku tahu sejak dulu bahwa kau adalah pengkhianat. Kau berkali-kali mengkhianatiku dan bodohnya aku masih mempercayaimu. Kini, aku melihat betapa rendahnya dirimu.”
Maya menatap Ronny dengan serius, nada suaranya penuh determinasi. “Maafkan aku, Ronny. Aku terpaksa harus menyelamatkan Nathan, meskipun aku tahu ini akan menyakitimu,” ucapnya. “Tapi, kita bisa menemukan jalan keluar dari kekacauan ini. Kita tidak perlu mengorbankan anak kita untuk memuaskan ambisi kita. Kamu bisa menguasai kekuatan Gunung Brajamusti tanpa harus menumpahkan darah.”
Ronny menatap tajam ke arah Maya, amarah membara di matanya. “Kau sudah mendapatkan semua yang kau inginkan, Maya, kekuatan, kekayaan, dan kemakmuran. Sekarang, ini adalah giliranku. Aku sudah menunggu 25 tahun untuk kesempatan ini. Jangan halangi aku.” Suaranya tegas, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat, namun di balik matanya tersirat kewaspadaan. Dia telah berjuang terlalu lama untuk mundur sekarang, meski di dalam hatinya, ada sesuatu yang tidak ia ungkapkan.
Maya menatap Ronny dengan penuh ketegasan. “Jika kau bersikeras mengorbankan Nathan, aku tidak akan tinggal diam. Aku akan melawanmu. Aku akan melakukan apa pun untuk melindungi anakku, bahkan jika itu berarti aku harus mengorbankan diriku sendiri.” Saat kata-katanya meluncur dari bibirnya, tubuh Maya mulai diselimuti aura berwarna hitam. Energi gelap berkilauan di sekelilingnya, menandakan bahwa dia siap menghadapi Ronny. Sebenarnya Maya tidak ingin melawan Ronny, tetapi tidak ada pilihan lain. Maya melanjutkan ucapannya dengan penuh ketegasan. “Ronny, kau sudah memisahkan aku dari Alex, dan aku diam. Tapi jika kau berani memisahkan aku dari Nathan, aku tidak akan tinggal diam. Apa pun taruhannya, aku akan mempertahankan Nathan.”
Ronny menatap Maya dengan kemarahan yang menyala. “Kau akan menanggung akibatnya… Kau akan menanggung akibatnya… Kau akan menanggung akibatnya…” Suara Ronny menggaung, penuh dengan ancaman. Sambil mengucapkan kata-kata itu, tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi asap hitam, kemudian melesat ke arah pepohonan, menciptakan bayangan yang menyeramkan di bawah cahaya bulan. Maya menyaksikan kepergian Ronny dengan cemas. Dia tahu bahwa keputusan Ronny untuk pergi tidak akan menghentikan ambisinya. Dia harus bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
Maya kemudian berjongkok di samping tubuh Nathan yang tergeletak lemas. Telapak tangannya menyentuh dada Nathan, berusaha merasakan detak jantung yang semakin lemah. Dari telapak tangannya, asap hitam perlahan keluar, mengalir ke tubuh Nathan. Ia berusaha menyembuhkan luka-luka parah yang diderita Nathan. Setelah sekitar dua puluh menit, Maya berdiri, mengambil napas dalam-dalam. Ia kemudian bertepuk tangan dua kali. Tak lama kemudian, Raka dan beberapa anak buahnya datang menghampiri Maya dan Nathan yang masih pingsan.
Setelah memastikan Nathan masih hidup, tubuh Maya perlahan-lahan terangkat menjauhi tanah. Tanpa suara, tubuhnya melayang menuju lingkaran hitam besar yang masih terbuka, tempat ia pertama kali muncul. Perlahan, tubuhnya masuk ke dalam pusaran kegelapan itu, tertelan sepenuhnya oleh lingkaran tersebut. Sesaat kemudian, lingkaran hitam itu menghilang, lenyap tanpa jejak. Sementara itu, Raka dan anak buahnya bergerak cepat. Mereka mengangkat tubuh Nathan yang masih tak sadarkan diri, lalu segera membawa Nathan turun dari puncak Gunung Brajamusti.
Nathan tersentak bangun, napasnya terasa berat, tubuhnya diliputi rasa sakit. Matanya perlahan terbuka, menyambut cahaya lembut yang mengisi ruangan. Di sekitarnya, bilik bambu sederhana melingkupi tempat itu, memberikan suasana tenang. Kasur tipis menopang tubuhnya yang lemah, dan suara dedaunan dari luar terdengar samar. Nathan menatap sekeliling, perlahan menyadari bahwa ia berada di tempat yang asing, mencoba mengingat kembali peristiwa terakhir yang membuatnya terjatuh pingsan.
Nathan mulai mengingat kembali peristiwa pertarungannya dengan Ronny. Ia kalah, terhantam oleh kekuatan dahsyat yang membuatnya tak berdaya. Kekalahan itu masih terbayang jelas, membuat dadanya terasa sesak. Namun kini, ia bingung. Di mana ia berada? Suasana yang asing membuatnya merasa seolah-olah terlepas dari kenyataan. Dalam kebingungannya, Nathan melihat tangannya. Pandangannya tertuju pada jarinya, di mana Cincin Brajawali masih melingkar erat. Ada sedikit rasa lega yang muncul di hatinya. Cincin itu masih ada, dan Nathan tahu, kekuatan Brajawali belum hilang darinya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Seorang gadis cantik masuk tanpa suara. Saat matanya bertemu pandang dengan Nathan yang baru tersadar, gadis itu tampak terkejut. Matanya membulat seolah tidak menyangka Nathan telah sadar. Tanpa sepatah kata, gadis itu segera berbalik dan keluar dari kamar. Nathan, yang awalnya hendak menyapa, hanya bisa melongo melihat kejadian itu. Setelah beberapa saat, ia berusaha bangkit dari posisinya. Dengan perlahan, Nathan duduk bersila di atas kasur, mencoba menenangkan diri sambil merasakan sakit yang masih menjalar di sekujur tubuhnya.
Nathan melihat pintu kamar kembali terbuka, kali ini muncul dua sosok wanita, gadis muda yang tadi, dan seorang wanita yang lebih tua dan anggun. Sekilas, Nathan bisa melihat kemiripan di antara mereka, seperti kakak dan adik. Wanita yang lebih tua, dengan langkah tenang dan percaya diri, mendekat. Tanpa ragu, ia duduk di sisi tempat tidur, memperhatikan Nathan dengan tatapan lembut namun penuh kewaspadaan.
“Mas tidak apa-apa?” tanya wanita lebih tua dengan nada khawatir.
“Aku tidak apa-apa. Tapi, dimana aku sekarang?” tanya Nathan sambil menatap wajah si wanita.
“Tempat ini namanya Kedaung. Desa di lereng Gunung Brajamusti,” jawabnya masih dengan tatapan waspada.
“Oh …” Nathan tidak ingin memperpanjang obrolan.
Wanita itu melanjutkan, “Aku menemukan Mas tergeletak di teras rumah kami, tadi subuh. Tidak tahu bagaimana bisa sampai di sana. Anak perempuanku yang pertama kali melihatmu.” Ia melirik gadis muda di dekat pintu. “Kami khawatir Mas terluka parah, jadi kami memindahkan Mas ke kamar ini.” Nathan masih terdiam, berusaha mencerna penjelasan itu. Wanita tersebut melanjutkan dengan lembut, “Kami sudah memeriksa, tidak ada luka luar yang parah, tapi Mas tampak sangat lemah.” Matanya kembali memandang Nathan dengan perhatian dan kehati-hatian.
Nathan menatap wanita itu sejenak sebelum berkata, “Terima kasih, Bu, sudah menolong saya. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau tidak ada kalian.”
Wanita itu tersenyum tipis, lalu menjawab, “Sudah kewajiban kami menolong orang yang kesusahan, Mas.” Namun, tatapannya kemudian berubah penasaran. “Tapi, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa bisa sampai tergeletak begitu di depan rumah kami?”
Nathan menghela napas sejenak, berusaha mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. “Seingatku, aku berada di puncak Gunung Brajamusti,” jawab Nathan pelan. “Aku bertarung dengan seseorang… dan aku kalah. Setelah itu, aku pingsan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, hingga tiba-tiba aku ada di sini.”
Si wanita terkejut mendengar penjelasan Nathan. Wajahnya menunjukkan rasa khawatir yang mendalam. “Kenapa Mas bertarung di sana?” tanyanya dengan nada cemas. “Itu tempat yang berbahaya.”
Nathan menjawab, “Cerita ini sangat panjang dan sangat rahasia. Saya berharap Ibu dapat mengerti dan tidak menanyakan lebih lanjut mengenai hal ini.”
“Baiklah,” kata si wanita. “Tapi, bisa kah Mas berjalan sekarang?”
Nathan tersenyum tipis, meski wajahnya masih menunjukkan rasa sakit. “Saya bisa berjalan, tapi badan saya masih terasa sakit-sakit.”
Si wanita membalas senyuman Nathan dengan lembut dan berkata, “Mas perlu mandi dan mengganti baju. Mas sangat kotor.”
Nathan menatap tubuhnya yang kotor dan compang-camping dengan rasa malu. Kotoran menempel di lengan dan wajahnya, sementara pakaiannya, yang penuh sobekan dan bercak debu, membuatnya tampak seperti pengembara yang tersesat. Celananya sudah tidak layak pakai, dengan jahitan yang mengelupas dan robekan di lutut.
“Oh …” Nathan terkejut setelah memperhatikan keadaannya. “Saya memang kayaknya perlu mandi. Tubuh saya kotor begini dan pakaian saya compang-camping.”
“Iya, Mas. Jika Mas bisa berjalan, saya akan mengantar Mas ke pancuran di belakang rumah. Saya juga punya pakaian mendiang suami saya yang mungkin bisa cocok untuk Mas,” kata si wanita sambil tersenyum, berusaha menenangkan Nathan.
“Baiklah … Kalau begitu tolong antar saya ke pancuran. Saya harus membersihkan badan saya,” tegas Nathan.
Nathan perlahan turun dari tempat tidur. Rasa sakit masih terasa di seluruh tubuhnya. Wanita itu membantunya berdiri dan memapahnya keluar dari kamar. Di luar, anak si wanita menyerahkan pakaian bersih kepadanya. Pakaian itu sederhana, tetapi terlihat rapi dan layak pakai. Wanita yang lebih tua itu melanjutkan pemapahan, membimbing Nathan menuju pancuran di belakang rumah.
Di luar, suasana pedesaan menyambut mereka. Matahari bersinar cerah, dan burung-burung berkicau riang. Pepohonan rindang mengelilingi area tersebut, sementara aroma segar dari dedaunan dan tanah basah tercium di udara. Nathan tiba di pancuran yang sederhana. Air dingin mengalir deras dari atas, menciptakan suara yang menenangkan.
Nathan berjongkok dan membiarkan air membasahi tubuhnya. Sensasi dingin membuatnya merasa segar kembali. Setelah selesai mandi, dia mengenakan pakaian bersih yang diberikan anak si wanita. Pakaian itu pas di tubuhnya dan membuatnya merasa lebih nyaman.
Setelah mandi, Nathan keluar dari pancuran dan disambut oleh wanita yang lebih tua. Mereka berdua berjalan kembali ke dalam rumah. Rumah itu sangat sederhana, dengan satu ruangan besar yang berfungsi sebagai ruang tamu dan dapur. Dua kamar tidur terletak di sudut ruangan. Nathan memilih duduk di atas tikar yang terhampar di lantai.
“Apakah jauh jarak dari sini ke kota?” Nathan bertanya dengan nada ingin tahu.
“Jaraknya lumayan jauh. Kalau naik ojek, sekitar satu jam,” jawab si wanita dengan jelas.
“Oh, saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Nathan,” ucap Nathan dengan senyum ramah, menatap kedua wanita itu.
“Oh iya, Mas. Saya Ratna, dan ini anak saya, Ratih,” jawab wanita yang lebih tua dengan hangat.
Nathan tersenyum kembali, lalu melanjutkan, “Kalian berdua terlihat seperti kakak-adik.”
Ratna tersipu, lalu menjawab, “Ah, Mas ini … Ada-ada saja.”
“Suami ibu man?” tanya Nathan.
“Kan tadi saya sudah bilang … Kalau suami saya sudah meninggal dunia …” jawab Ratna menunduk sejenak.
“Oh ya … Saya lupa kali ya …” ucap Nathan sembari mengusap tengkuknya.
“Suami saya meninggal enam bulan yang lalu karena kecelakaan,” Ratna berkata sambil tersenyum kecil, berusaha tegar.
“Oh maaf … Maaf bukan bermaksud saya membuka lagi kesedihan …” ucap Nathan sembari menangkup kedua telapak tangannya.
Suasana terasa akrab, meski topik yang mereka bahas cukup menyedihkan. Ratna menceritakan berbagai kesulitan hidup yang mereka hadapi setelah kepergian suaminya. Dia berbagi tentang tantangan bagaimana mereka berusaha bertahan di tengah keterbatasan. Ratih pun menambahkan pandangannya, mengungkapkan rasa khawatirnya tentang masa depan mereka. Nathan mendengarkan dengan seksama, merasakan empati terhadap perjuangan mereka. Rasa simpati mengalir dalam diri Nathan, tetapi lebih dari itu, ia merasa kagum akan kekuatan yang mereka miliki. Mereka telah menghadapi begitu banyak cobaan, tetapi tetap teguh berdiri, meskipun penuh dengan ketidakpastian. Nathan merasa ada sesuatu yang menggelitik di dalam hatinya, semacam dorongan untuk lebih memahami dan, mungkin, menjadi bagian dari solusi.
“Saya nggak bisa membayangkan betapa sulitnya semua ini buat kalian. Kalian berdua benar-benar kuat. Saya suka sama orang-orang yang kuat seperti kalian. Bagaimana kalau ikut ke Jakarta dan bekerja buat saya,” ungkap Nathan, suaranya penuh ketulusan.
Ratna dan Ratih saling pandang, terkejut dengan tawaran yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Ada rasa ragu di mata Ratna, tetapi juga secercah harapan yang samar.
“Kerja di Jakarta?” tanya Ratna pelan, mencoba mencerna tawaran itu. Ia tak ingin terlalu cepat mengambil keputusan, takut kalau ini hanya angan-angan yang mungkin tak nyata.
Nathan tersenyum lembut. “Iya, di perusahaan saya. Mungkin tidak langsung jadi pekerjaan besar, tapi kalian bisa mulai dari sesuatu yang sederhana. Yang penting, kalian punya tempat untuk memulai lagi. Jakarta memang nggak mudah, tapi dengan kalian berdua yang sudah terbiasa bertahan, saya yakin kalian bisa berkembang di sana.”
Ratih mendengarkan dengan penuh perhatian, ada sinar di matanya, seakan harapan yang selama ini sempat terkubur perlahan mulai menyala lagi. “Tapi… kita tidak punya apa-apa di sana, Mas Nathan,” ujarnya ragu.
Nathan menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Kalian nggak harus punya segalanya untuk memulai. Yang penting, kalian punya semangat. Soal tempat tinggal dan hal-hal lain, nanti bisa saya bantu urus.”
Ratna terdiam, masih bergulat dengan pikiran dan perasaannya. Tawaran ini begitu baik, tapi juga menakutkan. Namun, di sisi lain, ada sesuatu dalam cara Nathan bicara yang membuatnya percaya bahwa pria ini sungguh-sungguh ingin membantu mereka.
“Ini bukan janji kosong, Bu,” Nathan melanjutkan, suaranya lebih lembut. “Saya melihat potensi kalian. Dan saya percaya, kalian layak untuk hidup yang lebih baik.”
Ratna menarik napas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. Ia tersenyum tipis, menunduk sejenak sebelum menatap Nathan dengan penuh rasa terima kasih. “Mas Nathan, saya tidak tahu harus bilang apa. Tawaran ini… benar-benar luar biasa, dan saya sangat menghargainya. Tapi, untuk sekarang, saya rasa saya dan Ratih butuh waktu buat memikirkannya dulu.”
Ratih mengangguk, suaranya bergetar saat ia menambahkan, “Ini semua begitu tiba-tiba, Mas. Kami berdua sangat bersyukur atas perhatian dan kebaikan Mas Nathan, tapi kami perlu waktu untuk bicara di antara kami sendiri, mempertimbangkan semua kemungkinan.”
Ratna menyambung, “Kami tidak mau buru-buru ambil keputusan. Tawaran Mas Nathan sangat berarti, tapi ini bukan hal yang ringan bagi kami. Jakarta… besar dan penuh tantangan, dan ada banyak hal yang harus kami pikirkan.”
Nathan tersenyum pengertian, hatinya tetap hangat meski tahu keputusan itu tak bisa diambil saat itu juga. “Tentu, saya paham. Saya nggak ingin kalian merasa terburu-buru. Ambil waktu yang kalian butuhkan. Kalau kalian siap atau kalau ada pertanyaan, kapan saja, langsung hubungi saya.”
Ratih tersenyum kecil, matanya menyiratkan rasa lega. “Terima kasih sekali lagi, Mas Nathan. Tawaran ini membuat kami merasa ada harapan baru.”
Nathan mengangguk pelan. “Saya cuma ingin membantu. Apa pun keputusan kalian, saya selalu mendukung.”
Dengan suasana yang lebih ringan namun penuh arti, Ratna dan Ratih merasa ada kesempatan yang terbuka di depan, meskipun mereka tahu butuh waktu untuk memutuskan apakah mereka siap mengambil langkah itu.
Nathan melihat ke arah jendela, suara keramaian dari luar menarik perhatiannya. Di jalan depan rumah, tampak banyak orang berkumpul. Rasa penasaran membuatnya tak bisa tinggal diam, meskipun tubuhnya masih terasa lemah dan sakit. Dengan perlahan, ia bangkit dari duduknya dan berjalan perlahan menuju ambang pintu, menahan rasa nyeri di punggungnya. Namun, meski setiap langkahnya terasa berat, ada sesuatu yang membuat hatinya bergelora. Saat Nathan akhirnya tiba di ambang pintu, pandangannya tertuju pada sosok yang dikenalnya. Di antara kerumunan, Raka berdiri tegap, bersama beberapa anak buahnya yang setia. Wajah-wajah mereka penuh tekad, seperti orang-orang yang siap menghadapi sesuatu yang besar. Beberapa warga masyarakat sekitar juga tampak berkumpul, wajah mereka bercampur antara rasa khawatir dan harapan.
“Raka …!” seru Nathan.
“Oh Tuhan… Tuan Muda…!” Teriak Raka dengan wajah penuh kelegaan. Matanya membesar seolah tak percaya, napasnya tersengal seakan baru saja menemukan sesuatu yang hilang begitu lama. Ia berlari mendekat, wajahnya mencerminkan campuran rasa khawatir dan kebahagiaan yang tiba-tiba meletup. “Oh Tuan Muda … Saya mencari-cari Tuan Muda ke mana-mana,” lanjutnya dengan suara berat, masih terengah.
Nathan tersenyum tipis, meski tubuhnya masih terasa lemah. “Aku juga senang kau bisa menemukanku di sini, Raka,” ujarnya dengan nada lega.
Raka mengangguk dan berkata, “Tuan Muda, kita harus segera kembali ke Jakarta. Saya sudah menyiapkan semuanya.”
Nathan membalikkan badan perlahan menghadap Ratna dan Ratih yang sedang berdiri di belakangnya. Dengan suara lembut, ia berkata, “Saya harus kembali ke Jakarta sekarang. Tapi setelah tubuh saya pulih, saya berjanji akan datang ke rumah kalian lagi dan mengajak kalian.” Nathan menatap mereka dengan penuh keyakinan, berharap dapat membawa mereka bersama di masa depan yang lebih baik.
Ratna tersenyum lebar, meskipun ada nada haru di suaranya. “Tentu saja, Mas. Silakan kembali ke Jakarta. Kami akan sangat senang kalau Mas Nathan berniat mengunjungi kami di suatu hari nanti.” Ia menatap Nathan dengan penuh harapan, merasa bersyukur atas perhatian dan niat baiknya. “Kami akan menunggu kedatangan Mas Nathan.”
Nathan berjalan tertatih-tatih menghampiri Raka. Dengan sigap, Raka segera memegang lengan Nathan dan memapahnya agar bisa berjalan lebih stabil. Bersama Raka dan anak buahnya, Nathan menyusuri jalan tanah yang tidak lebih dari dua meter itu. Mereka terus melangkah hingga tiba di pinggir jalan koral, di mana sebuah mobil van hitam menunggu. Raka membukakan pintu mobil dan membantu Nathan masuk ke dalam. Setelah memastikan Nathan sudah nyaman, Raka dan anak buahnya mengikuti dan segera mengambil posisi di dalam mobil. Begitu semua sudah siap, mereka meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Namun, di balik semua yang terlihat, tindakan Raka dan anak buahnya sebenarnya adalah sebuah drama belaka. Raka dan timnya sudah mengetahui segala sesuatu yang menimpa Nathan, bahkan Raka lah yang menyimpan Nathan di teras rumah Ratna dan Ratih. Semua ini dilakukan atas perintah Maya. Raka dan anak buahnya menjalankan misi ini, berpura-pura seolah mereka adalah penyelamat yang sedang membawa Nathan kembali ke Jakarta. Di dalam mobil, Raka melirik Nathan, berusaha menyembunyikan semua yang sebenarnya terjadi di balik wajahnya yang tegas.
Setelah beberapa saat di dalam mobil, Nathan akhirnya meminta Raka untuk mengantarkannya ke rumah Pak Sudirman. “Raka, aku ingin mendatangi rumah Pak Sudirman,” katanya, meskipun suaranya terdengar lemah.
Raka mengangguk, kemudian bertanya kepada beberapa warga di sepanjang jalan tentang alamat Pak Sudirman. Setelah mendapatkan petunjuk yang jelas, mereka melanjutkan perjalanan. Meskipun tubuhnya masih sakit dan lemah, Nathan merasa ada urgensi untuk segera bertemu Pak Sudirman.
Setibanya di rumah Pak Sudirman, Nathan keluar dari mobil dengan perlahan, dipapah oleh Raka. Mereka melangkah menuju pintu, dan Nathan merasakan betapa berat langkahnya. Namun, tekadnya untuk menyampaikan apa yang telah terjadi menguatkan semangatnya.
Begitu pintu dibuka, kuncen Gunung Brajamusti itu terlihat terkejut saat melihat Nathan dalam keadaan terluka. “Tuan Nathan! Apa yang terjadi padamu?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.
Nathan berusaha tersenyum meskipun wajahnya menunjukkan rasa sakit. “Pak Dirman, ada banyak yang harus kita bicarakan.” Pak Sudirman segera mempersilakan Nathan masuk, matanya tidak lepas dari kondisi Nathan yang terlihat sangat memprihatinkan. Keterkejutan di wajah Pak Sudirman semakin dalam saat ia mengamati betapa lelah dan terlukanya Nathan.
Setelah duduk dan berhadapan dengan Pak Sudirman, Nathan mulai menceritakan apa yang terjadi semalam. “Pak, semalam aku bertarung melawan Ronny, dan aku kalah,” katanya dengan nada berat. “Aku teringat ucapan Bapak sebelumnya tentang bagaimana para penunggu dan penjaga Gunung Brajamusti akan membantuku, sehingga aku bisa menjadi orang terkuat di dunia. Tapi kenyataannya, aku justru kalah oleh Ronny.” Nathan menatap Pak Sudirman dengan penuh harapan, lalu melanjutkan, “Apakah para penunggu dan penjaga Gunung Brajamusti benar-benar membantuku? Karena saat aku bertempur dengan Ronny, aku merasa tidak ada satu pun yang membantuku.”
Pak Sudirman menjawab dengan suara lembut, “Tuan, para penunggu dan penjaga Gunung Brajamusti belum bisa membantu Tuan karena Tuan belum genap berusia 25 tahun. Mereka hanya akan turun tangan ketika tembok gaib Gunung Brajamusti dibuka oleh Tuan, dan itu hanya bisa terjadi saat Tuan mencapai usia tersebut.”
Nathan tersenyum sambil berkata, “Berarti kutukan Gunung Brajamusti belum berlaku padaku.”
Dengan gugup, Pak Sudirman berkata, “Maksud Tuan apa?” Wajahnya menunjukkan kebingungan, berusaha memahami maksud Nathan.
Nathan menjawab dengan tenang, “Aku akan memberikan Cincin Brajawali ini kepada Ronny. Aku merasa yakin bahwa aku belum terikat oleh kutukan Gunung Brajamusti.” Ia menatap Pak Sudirman dengan keyakinan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan ini adalah langkah yang benar.
Pak Sudirman mengangguk, lalu berkata, “Pendapat Tuan itu tidak salah, tetapi juga tidak benar sepenuhnya.” Ia melanjutkan dengan hati-hati, “Jika Gunung Brajamusti dimiliki oleh orang yang bukan keturunan Prabu Brajamusti, maka gunung itu akan menjadi sumber malapetaka yang sangat hebat. Ia bisa mengubah peradaban manusia secara drastis, dan bumi di sekitarnya akan kacau balau, baik karena tindakan orang yang menguasainya, maupun karena energi kelam yang dilepaskan oleh Gunung Brajamusti itu sendiri.” Pak Sudirman menatap Nathan dengan serius, lalu menambahkan, “Dan yang bisa mencegah semua itu hanyalah keturunan Prabu Brajamusti. Itulah mengapa Tuan memiliki peran penting. Memberikan Cincin Brajawali kepada Ronny bisa membuka pintu bencana, sesuatu yang mungkin tidak bisa dikendalikan oleh siapa pun kecuali darah Brajamusti.”
Nathan termenung mendengar penjelasan Pak Sudirman. Kata-kata itu menancap dalam benaknya, menimbulkan dilema besar. Di satu sisi, ia merasa lelah dengan beban yang harus ia pikul sebagai pewaris Gunung Brajamusti. Memberikan hak itu kepada Ronny mungkin akan membebaskannya dari tanggung jawab yang berat. Namun, di sisi lain, ancaman bencana besar yang diuraikan Pak Sudirman membuat Nathan ragu. Jika ia melepaskan kepemilikan Gunung Brajamusti kepada Ronny, dunia mungkin akan menghadapi kekacauan yang tak terbayangkan. Nathan terjebak antara keinginan untuk lepas dari tanggung jawab dan kewajiban moralnya sebagai keturunan Prabu Brajamusti.
Nathan menghela napas panjang, lalu berkata pelan, “Pak, saya butuh waktu untuk merenung dan memikirkan langkah selanjutnya. Ini bukan keputusan yang bisa saya ambil dengan terburu-buru.” Matanya terlihat berat, dipenuhi oleh kebimbangan. Setelah hening sejenak, Nathan berdiri perlahan. “Saya pamit dulu, Pak. Saya akan kembali ke Jakarta. Terima kasih atas semua penjelasannya.”
Pak Sudirman mengangguk pelan, memahami kebingungan Nathan. “Baik, Tuan Nathan. Saya harap keputusan yang Tuan ambil nanti adalah yang terbaik.”
Nathan kemudian berpamitan, dan dengan langkah perlahan, ia meninggalkan rumah Pak Sudirman, pikirannya penuh dengan pertimbangan akan masa depan.
Dalam hidup, setiap pilihan membawa beban yang berbeda, terkadang jauh lebih berat daripada yang tampak di permukaan. Tanggung jawab bukanlah sekadar tentang apa yang bisa kita raih, tetapi tentang apa yang harus kita lindungi. Ketika dilema menghampiri, antara keinginan pribadi dan kepentingan yang lebih besar, hati dan pikiran seringkali terjebak dalam kebingungan. Namun, keputusan yang baik tidak selalu datang dari keinginan untuk lari dari beban, melainkan dari keberanian untuk memikulnya. Pada akhirnya, kekuatan sejati bukanlah tentang menjadi yang terkuat, tetapi tentang memilih jalan yang benar meski itu adalah jalan yang paling sulit.
Bersambung
Tambah seru . Oke lh lnjut kak