Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 27​

Nathan terbaring lemah di tempat tidurnya, tubuhnya terasa sakit di setiap sendi dan otot setelah pertarungan hebat yang baru saja dilaluinya. Wajahnya pucat, napasnya berat, dan setiap gerakan tampak menyakitkan. Maya berdiri di samping ranjang, mengamati putranya dengan wajah yang tenang namun penuh kecemasan yang terselubung. Di sudut kamar, Ida, anak buah Maya yang selalu setia, memperhatikan situasi dengan sikap waspada. Dokter Arman, dokter pribadi keluarga, memeriksa Nathan dengan teliti. Ia menekan beberapa bagian tubuh Nathan, memeriksa detak jantungnya, serta memeriksa tekanan darahnya. Hasilnya jelas, Nathan mengalami kelelahan fisik yang parah, dan ada tanda-tanda trauma akibat luka dalam yang cukup serius.

Setelah selesai memeriksa, Dokter Arman berdiri dan memberikan beberapa instruksi kepada Maya terkait obat-obatan yang perlu diberikan dan pentingnya istirahat total untuk Nathan. “Tuan Muda butuh waktu untuk pulih. Jangan khawatir, kondisi Tuan Muda akan segera membaik,” ujar dokter itu sambil membereskan peralatannya.

“Terima kasih, Dok. Saya percayakan Nathan kepada Anda,” ucapnya dengan suara datar namun penuh wibawa. “Saya harap dia segera pulih seperti yang Anda katakan.” Maya kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke Nathan.

Setelah selesai membereskan peralatannya, Dokter Arman keluar dari kamar Nathan, diantar oleh Ida yang berjalan dengan langkah tenang di belakangnya. Pintu kamar perlahan menutup, meninggalkan keheningan di dalam ruangan itu. Maya tetap tinggal, duduk di tepi tempat tidur Nathan. Matanya yang tajam kini melunak sedikit saat ia memandangi wajah putranya yang tertidur lemah. Perlahan, Maya meraih tangan Nathan, menggenggamnya erat dan lembut, seolah mencoba mentransfer kekuatan dan keteguhan hati yang selalu menjadi ciri khas dirinya. Sesaat, meski wajahnya tetap tanpa ekspresi berlebihan, ada rasa sayang dan kekhawatiran yang jelas tergambar dari gerakan kecil tangannya yang membelai punggung tangan Nathan.

Di balik kesunyian kamar ini, pikiran Maya berputar, menelisik jauh ke dalam dirinya sendiri. “Apa yang terjadi padaku?” pikirnya, merasa asing dengan perasaan yang kini menguasai hatinya. “Dulu… dulu aku tak peduli.” Ingatannya melayang ke masa saat Nathan masih bayi, saat Ronny membawanya pergi. “Waktu itu… aku bahkan tak merasakan apa-apa ketika dia hilang. Tidak ada rasa kehilangan, tidak ada rasa bersalah.” Ia menghela napas panjang. “Aku sibuk dengan hidupku, mengejar kekuasaan, uang, dan semua yang penting bagiku.”

Tapi sekarang, melihat Nathan terbaring tak berdaya, ada sesuatu yang berubah. Ada perasaan yang tumbuh di dalam dirinya, perasaan yang dulu tak pernah ia izinkan untuk muncul. “Aku mencintainya… lebih dari apapun.” kata hatinya, hampir tak percaya. Kekuasaan dan ambisi yang dulu menguasai hidupnya kini terasa jauh, tak berarti dibandingkan dengan apa yang ia rasakan sekarang. “Nathan… bukan lagi sekadar bayang masa laluku yang tak kuinginkan. Dia… dia adalah segalanya bagiku.”

Maya membungkukkan tubuhnya dan mencium kening Nathan dengan lembut. Nathan terlelap dalam tidurnya, tenang tanpa terpengaruh oleh kehadiran Maya. Dalam mimpinya, Nathan menjelajahi sebuah alam yang dipenuhi kabut tebal. Dia berdiri di tengah kabut putih yang menyelimuti segala sesuatu di sekitarnya. Kebingungan melanda dirinya karena hanya kabut yang terlihat.

Kabut di sekeliling Nathan berkurang, tetapi masih menyelimuti sekitarnya. Penglihatannya mulai membaik. Nathan terkejut saat menyadari dirinya berada di sebuah ruangan yang dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Bunga-bunga itu memberikan sentuhan cerah dan memikat. Di tengah ruangan, terdapat ranjang yang ditutupi kelambu putih. Nathan menajamkan pandangannya dan melihat siluet seseorang di atas ranjang. Kabut tipis dan kelambu menghalangi pandangannya. Nathan tidak bisa melihat dengan jelas siapa sosok itu.

“Kemarilah! Aku menunggumu,” suara lembut seorang wanita memanggilnya dari balik kelambu.

Rasa terkejut memenuhi diri Nathan. Meskipun demikian, ia melangkah maju dengan keyakinan, mendekati ranjang. Saat ia berdiri di sisi ranjang, pandangannya semakin jelas. Di balik kelambu, ia melihat sosok seorang wanita. Dalam sorot samar, wanita itu tampak berparas cantik dan telanjang bulat. Kulitnya bersinar lembut, memberikan kesan hangat di bawah cahaya yang lembut. Payudaranya montok dan kencang, sementara pinggulnya berlekuk indah, menciptakan siluet yang menawan. Tubuhnya yang telanjang memancarkan pesona dan daya tarik yang tak tertahankan. Daya tarik wanita itu begitu kuat, menimbulkan rasa ingin tahu dan hasrat yang mendalam di hati Nathan.

“Naiklah!” wanita itu memanggil, suaranya menggoda dan penuh penantian.

Perkataan wanita itu menggema dalam benak Nathan. Suaranya adalah undangan yang sulit ditolak. Rasa ingin tahu Nathan semakin membara, dan dengan sedikit rasa ragu mengangkat kelambu di hadapannya. Ketika kelambu tersingkap, sosok wanita itu tampak jelas, cantik dan anggun. Kecantikan wanita itu sungguh memukau Nathan. Pemuda itu tertegun sejenak, merasa terpesona oleh aura yang terpancar dari wanita itu. Daya tariknya begitu kuat, membuat Nathan tidak dapat mengalihkan pandangan.

Nathan perlahan naik ke ranjang, jantungnya berdegup kencang. Wanita itu tersenyum, dan sinar yang lembut menerangi wajahnya. Keduanya saling bertatapan. Nathan merasakan koneksi yang kuat, seolah mereka telah ditakdirkan untuk bertemu. Dalam sekejap, Nathan sudah mendapati dirinya menindih tubuh wanita itu dalam keadaan telanjang bulat. Ia merasakan kelembutan dan kehangatan tubuh wanita itu di bawahnya. Nathan tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Bingung menyelimuti pikirannya. Namun, rasa terpesona oleh keindahan dan kehangatan wanita itu mengalahkan segala keraguan.

“Masukkan kejantananmu ke dalam tubuhku …” ucapnya lebih terdengar sebagai perintah.

Nathan merasa seolah ada kekuatan misterius yang menguasai dirinya. Suara wanita itu menggema dalam pikirannya, menembus batas kehendak dirinya. Meskipun kesadaran pemuda itu utuh, tubuhnya bergerak seolah tanpa kontrol. Ia tahu apa yang terjadi, tetapi rasanya seperti beroperasi di luar dirinya sendiri. Perintah itu menjadi magnet yang menarik, dan Nathan merasakan daya tarik yang tak bisa dihindari.

Perlahan kejantanan Nathan tenggelam dalam kewanitaannya. Penis Nathan terus bergerak maju. Dan vagina itu terus menghisap masuk bak rahang ular piton yang menelan mangsanya dan tak mungkin melepaskannya. Nathan merasakan jepitan kuat ketika miliknya menerobos masuk lubang nikmat si wanita. Ia merasakan batang kejantanannya seperti dihisap. Ia merasakan betapa cengkeraman dinding vagina itu membuahkan nikmat syahwat yang tak terhingga. Saraf-saraf peka yang menebar di seluruh permukaan dinding itu melakukan interaktif dan menjemput nikmat dengan remasan-remasannya.

“Kalahkan aku Putra Brajamusti. Jika kau bisa mengalahkanku maka kekuatanku akan menjadi milikmu,” ucap si wanita yang sukses membuat mata Nathan terbelalak. Namun sekali lagi Nathan hanya bisa melakukan apa yang wanita itu perintah tanpa bisa menolaknya.

Kemaluan Nathan yang kini sudah tenggelam sepenuhnya diam tanpa gerak dalam kepadatan ruang vagina si wanita misterius. Ujung penisnya merasakan dinding batas. Itulah dinding rahim. Batang itu dengan sesak menembusi lorong penuh nikmat milik si wanita cantik. Tak ada celah kosong sejak gerbang hingga mentok ke dinding rahimnya. Sesak itu terjadi karena ada dua arah penyebabnya, yaitu batang kemaluan Nathan yang sangat besar dan dinding vagina si wanita yang mencengkeram, menyempit dan menjepit. Tetapi anehnya tak ada satu pun yang merasa dirugikan. Nathan dan si wanita justru menemukan nikmat dari apa yang kini sedang berlangsung itu.

Nathan yang sadar tidak boleh kalah mulai pelan menarik kejantanannya. Hanya setengah lalu kembali mendorong hingga mentok ke dinding rahim. Kemudian diulanginya route itu berkali-kali. Setiap kali Nathan menambah kecepatan. Dan pada setiap tusukan maupun tarikan desah dan rintih si wanita menyertai dengan penuh iba derita nikmat. Dan saat penis Nathan mulai memompa dengan ritmis dan tempo yang semakin sering, kedua makhluk itu saling memperdengarkan desahan dan nafas-nafasnya yang memburu.

Kelamin keduanya bertarung berebut dominasi yang membuat suara basah makin nyaring terdengar. Mereka ingin saling mengalahkan, memaksa yang lain tunduk dalam setiap desakan dan gerakan yang semakin liar, seolah tak ada akhir dari hasrat yang membakar di antara mereka. Nafas mereka memburu, berpadu dengan keringat yang mulai mengalir di antara belitan tubuh. Kejantanan dan kewanitaan mereka saling menguji, seperti dua kekuatan purba yang tak ingin menyerah, mencari keseimbangan di tengah pergulatan gairah yang semakin menggairahkan.

Dalam setiap pertempuran pasti ada yang menang dan juga ada yang kalah, namun di antara kejantanan dan kewanitaan mereka, kemenangan bukan soal siapa yang menguasai, melainkan siapa yang lebih dulu tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang mereka ciptakan bersama. Saat Nathan merasakan desakan yang tak bisa dibendung, mengalir kuat melalui saraf-saraf di tubuhnya, dia menengadahkan wajah, memusatkan seluruh diri untuk menyambut ledakan gairah yang mendekat. Keintiman di antara mereka terasa semakin mendalam, dengan vagina si wanita misterius yang memeluknya erat, memberikan kenikmatan yang seolah tak berujung. Wanita itu pun berada di ambang sensasi serupa, merasakan bagaimana penis Nathan menjelajahi ruang sempit tubuhnya, setiap gerakan memberikan gelombang kenikmatan yang mencengkeram seluruh sarafnya, menciptakan sensasi erotik yang sulit dijabarkan.

Sensasi itu terus membangun, setiap dorongan semakin dalam membawa si wanita misterius mendekati puncak yang tak terelakkan. Napasnya terputus-putus, tubuhnya gemetar di bawah himpitan gairah yang menggelegak. Dinding-dinding vaginanya mencengkeram lebih erat, gelombang kenikmatan yang tak tertahankan mulai menyapu seluruh tubuhnya. Pada satu dorongan terakhir, ledakan orgasme menerjangnya dengan dahsyat, punggungnya melengkung, dan desahan panjang meluncur dari bibirnya. Tubuhnya menyerah pada ledakan itu, setiap serat sarafnya bergetar di bawah kekuatan klimaks yang meluluhlantakkan dirinya.

Nathan merasakan setiap denyut yang menyelimuti dirinya, dan saat tubuh wanita itu bergetar dalam ledakan gairah, dia tahu gilirannya tiba. Tekanan yang menumpuk di dalam dirinya tak lagi bisa ditahan. Dia membiarkan dirinya terseret dalam arus keinginan yang tak terbendung. Spermanya memuncak, meledak dengan kekuatan yang menggema melalui tubuhnya, mengirimkan gelombang euforia yang tak terlukiskan. Tubuhnya pun tegang, matanya terpejam erat, menikmati sensasi klimaks yang menyapu dirinya, bersatu dengan tubuh wanita itu dalam satu irama, dalam keheningan yang diwarnai oleh sisa-sisa gemetar gairah mereka.

Sesaat setelah mencapai klimaks, Nathan merasa ada sesuatu yang aneh. Tubuhnya seolah tersedot oleh energi yang tak terlihat. Tiba-tiba, ia merasa melayang, seperti ditarik ke dalam lorong yang berputar. Pemandangan di sekitarnya berubah menjadi kabur, dan dia tidak lagi berada di atas ranjang bersama si wanita misterius. Nathan merasakan dirinya terombang-ambing di antara cahaya yang datang dari segala arah. Suara angin menderu di telinganya, dan tubuhnya terus berputar. Di tengah kebingungan itu, dia mendengar suara wanita misterius itu. Suaranya terdengar jelas, seakan berbicara langsung ke dalam pikirannya.

“Kini kau memiliki kekuatan, Nathan. Kau kebal terhadap serangan ilmu sihir. Kutukan dan mantera tidak bisa menyentuhmu lagi. Kau telah terpilih.”

Nathan merasa tubuhnya semakin terseret ke dalam lorong, hingga tiba-tiba semuanya menghilang. Dia terbangun dengan cepat, napasnya tersengal-sengal. Dia kembali di kamar, berbaring di tempat tidur, dan cahaya lampu pijar menerangi ruangan. Tubuhnya penuh keringat, dan dia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Nathan kemudian duduk di tepi tempat tidur, mengingat kata-kata wanita itu. Apakah yang dialaminya hanya mimpi? Atau ada sesuatu yang benar-benar terjadi padanya? Kebingungan melanda pikirannya. Dia meraba tubuhnya, memastikan semuanya terasa normal, tetapi ada sesuatu yang tidak biasa. Perasaan aneh itu masih menghantuinya, dan dia tidak bisa menghilangkan suara wanita misterius itu dari pikirannya. Apakah dia benar-benar kebal terhadap ilmu sihir?

Nathan merasa semakin heran. Tubuhnya yang tadinya pegal dan sakit karena pertarungan di puncak Gunung Brajamusti kini terasa sangat sehat. Dia bangkit dari tempat tidur dan menggerakkan lengan serta kakinya, merasakan kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya. Setiap gerakan terasa ringan, seolah-olah semua rasa sakitnya telah sirna dalam sekejap. Dia melangkah ke cermin dan memandang bayangannya. Tidak ada tanda-tanda kelelahan di wajahnya. Justru, ia tampak segar dan bugar, seolah baru saja terbangun dari tidur yang sangat dalam. Rasa aneh itu kini semakin kuat, dan dia bertanya-tanya apa yang telah terjadi padanya selama peristiwa misterius itu. Bagaimana mungkin dia merasa begitu sehat? Nathan menatap cermin, mencoba mencari jawaban. Apakah semua ini ada hubungannya dengan wanita misterius itu? Mungkin ini adalah bagian dari kekuatan yang dijanjikannya. Semakin banyak pertanyaan muncul di benaknya, dan kebingungan yang awalnya ada mulai berganti dengan rasa penasaran yang mendalam.

Nathan memutuskan untuk mandi, berharap air segar dapat menenangkan pikirannya. Setelah merasa bersih dan segar, dia keluar dari kamar mandi, membungkus tubuhnya dengan handuk. Dia mengenakan pakaian bersih dan merapikan rambutnya di depan cermin. Dengan semangat baru, Nathan keluar dari kamarnya. Dia merasa bersyukur karena tiba-tiba sehat, semua rasa sakitnya lenyap. Dia mengingat wanita misterius itu dan berterima kasih dalam hati, meski tidak sempat mengenalnya.

Nathan turun dari lantai atas. Beberapa pegawai di rumah menatapnya dengan kebingungan. Mereka tidak menyangka melihat Nathan yang tampak lebih segar. Nathan tidak menghiraukan pandangan mereka dan terus berjalan langsung menuju ruang kerja Maya. Tanpa ragu, ia melangkah dengan pasti. Sesampainya di depan pintu, Nathan mengetuk keras. Ia berdiri diam, menunggu balasan. Suara Maya terdengar dari dalam, mempersilakan masuk. Nathan membuka pintu dan masuk ke ruangan. Maya yang duduk di balik meja langsung terkejut melihat kehadirannya. Nathan tersenyum tipis melihat reaksi Maya. Ia berjalan mendekati meja, lalu menarik kursi di depannya. Tanpa berkata apa-apa, ia duduk dan menatap ibunya.

Maya menatap Nathan tajam sebelum akhirnya berbicara. “Kamu terlihat sehat sekali. Apa yang terjadi? Bagaimana keadaanmu sekarang?” Nada suaranya terdengar datar, namun penuh rasa ingin tahu, seolah mencari jawaban di balik perubahan Nathan yang tiba-tiba.

Nathan menatap Maya sejenak sebelum tersenyum tipis. “Aku juga tidak tahu pasti,” jawabnya pelan, tapi terdengar jelas. “Tadi aku bermimpi… ada seseorang di dalam mimpiku. Dia memberiku kesembuhan, begitu saja. Dan saat aku bangun, aku merasa sehat, seperti semua rasa sakit itu hilang.” Mata Nathan tetap tenang.

“Mimpi?” lirih Maya sambil menatap heran pada Nathan.

Nathan mengangguk. “Ya, mimpinya terasa aneh… seperti lebih dari sekadar mimpi biasa. Rasanya begitu nyata.” Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Aku pikir, aku butuh berbicara dengan seseorang yang bisa menafsirkan mimpi ini. Bunda, apakah Bunda tahu siapa yang bisa membantuku?” Pandangannya tetap pada Maya, berharap ada jawaban.

Maya menatap Nathan lebih tajam, rasa penasaran di matanya semakin jelas. “Mimpi seperti apa yang kamu alami?” tanyanya dengan nada lebih serius.

Nathan terdiam sejenak, lalu akhirnya menjawab, “Aku… bertemu seorang wanita dalam mimpiku. Aku tidak mengenalnya, tapi kami… bersetubuh. Setelah itu, dia berkata kalau aku sekarang kebal terhadap kutukan dan sihir.” Nathan menatap ibunya, mencoba mencari reaksi di wajah Maya.

Maya mendengarkan dengan seksama, meskipun raut wajahnya tetap tenang. “Mimpi memang bisa jadi sekadar bunga tidur,” ucapnya pelan. “Tapi terkadang, mimpi juga bisa menjadi wangsit, pertanda yang diterima seseorang.” Maya menatap Nathan lebih lama sebelum melanjutkan, “Tak ada salahnya jika kamu ingin mencari tahu artinya.” Setelah berpikir sejenak, Maya memberi saran. “Kamu bisa menemui seseorang yang aku kenal. Namanya Fu Heng. Dia seorang tabib dan ahli ramal, tinggal di Pecinan. Mungkin dia bisa menafsirkan mimpimu.”

Nathan mengangguk sambil berkata, “Terima kasih, Bunda,” katanya singkat. Setelah itu, ia berdiri dari kursi dan melangkah pergi, meninggalkan ruangan dengan pikiran penuh tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Nathan keluar dari rumah utama dan bergerak menuju mobil sedan hitam. Ia masuk ke dalam kendaraan. Mesin mobil menyala dan suara deru mesin mengisi ruang kabin. Nathan mengemudikan mobil menuju Pecinan. Jalanan kota padat. Kendaraan bergerak cepat di depan dan di belakangnya. Pikiran Nathan terisi oleh mimpinya yang aneh dan kekuatan yang mungkin ada di dalam dirinya. Sekitar satu jam perjalanan, Nathan tiba di Pecinan. Ia memasuki area Pecinan yang ramai. Lampion berwarna-warni tergantung di sepanjang jalan. Aroma rempah-rempah dan masakan khas memenuhi udara. Suasana magis mengelilingi daerah itu. Setelah bertanya pada beberapa orang, Nathan sampai di depan kediaman Fu Heng. Bangunan memiliki arsitektur tradisional Tiongkok yang megah. Nathan memarkir mobil di tepi jalan dan keluar dari kendaraan. Ia mengatur napas sejenak. Kemudian, Nathan mengetuk pintu kayu berwarna merah dan menunggu. Pintu terbuka perlahan. Seorang pria paruh baya dengan jenggot putih menyambutnya.

Nathan menatap pria paruh baya di depannya. Dengan ragu, ia mengucapkan, “Apakah saya sedang berhadapan dengan Tuan Tabib Fu Heng?”

“Iya, benar,” kata pria paruh baya itu. Ia memandang Nathan dengan rasa ingin tahu. “Siapa Anda ya?” tanyanya kemudian.

“Perkenalkan, saya Nathan,” kata Nathan dengan percaya diri. “Saya adalah anak dari Maya.”

Fu Heng mengernyitkan dahi, tampak bingung. “Maya? Apakah itu nama konglomerat yang tinggal di Selatan Jakarta?” tanyanya, mencoba mengaitkan informasi yang baru saja didengarnya.

Nathan mengangguk. “Ya, benar. Dia ibu saya.”

Fu Heng tersenyum, suasana hatinya berubah seketika. “Ah, tentu. Silakan masuk, Tuan Nathan. Saya senang bertemu dengan Anda.” Ia mempersilakan Nathan melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Nathan melangkah masuk ke dalam rumah. Aroma herbal dan kemenyan menyambutnya. Ruangan itu dipenuhi lukisan kuno yang indah dan botol ramuan yang tertata rapi di atas rak. Nathan merasakan energi yang kuat dan misterius mengalir di dalam ruangan ini. Fu Heng mengundang Nathan untuk duduk di kursi kayu yang terletak di sisi ruangan sebelah timur. Keduanya kini duduk berhadap-hadapan, bersiap untuk memulai percakapan.

Nathan memandang Fu Heng dengan serius. “Saya datang ke sini untuk menafsirkan mimpi yang terasa aneh. Ibu saya menyarankan agar saya datang ke sini. Dia percaya bahwa Bapak adalah ahli meramal yang bisa membantu mengungkap makna mimpi saya.”

Fu Heng mengangguk, menunjukkan ketertarikan. “Saya akan melakukan yang terbaik. Apa mimpi Tuan Nathan?” tanyanya dengan nada ramah.

Nathan menghela napas sebelum menjelaskan, “Dalam mimpi itu, saya bersetubuh dengan seorang wanita yang tidak saya kenal. Dia memberi tahu saya bahwa jika saya bisa mengalahkannya, kekuatan dirinya akan menjadi milik saya. Setelah berhasil mengalahkannya, dia berkata bahwa saya kini memiliki kekuatan. Saya kebal terhadap serangan ilmu sihir. Kutukan dan mantera tidak bisa menyentuh saya lagi. Dia juga mengatakan bahwa saya telah terpilih.”

Fu Heng mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami setiap detail yang disampaikan Nathan. Tiba-tiba, Fu Heng berdiri dan berjalan menuju sebuah lemari yang tidak jauh dari posisinya. Ia mengambil sebuah tasbih berukuran besar dan membawanya kembali ke tempat duduknya semula. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Fu Heng menggerakkan tasbih tersebut dengan gerakan melingkar horizontal. Matanya terpejam, dan bibirnya bergerak-gerak pelan. Setelah sekitar tiga menit, Fu Heng menghentikan gerakannya dan membuka mata.

Fu Heng menatap Nathan dengan serius. “Mimpi Tuan Nathan adalah nyata. Apa yang terjadi dalam mimpi itu merupakan kejadian sesungguhnya. Kekuatan yang Tuan dapatkan bukan sekadar imajinasi. Ini menunjukkan bahwa Tuan telah memiliki kemampuan yang luar biasa.” Nathan merasa terkejut dengan penjelasan Fu Heng. Ia berusaha memahami arti dari semua ini. Fu Heng melanjutkan, “Arti dari Tuan Nathan yang terpilih adalah bahwa kekuatan yang Tuan miliki sekarang berasal dari leluhur Tuan. Kekuatan ini tidak pernah diturunkan kepada siapa pun sebelumnya.”

Nathan menatap Fu Heng dengan rasa ingin tahu yang mendalam. “Pak, apakah Bapak bisa mengetahui siapa yang memberikan kekuatan ini kepada saya?”

Fu Heng mengangguk perlahan. “Saya dapat merasakan energi dari kekuatan itu, tetapi untuk mengetahui sumber pastinya, saya perlu melakukan beberapa pengamatan lebih lanjut.”

Nathan mengangguk, menunjukkan ketertarikannya. “Silakan, Pak. Lakukan pengamatan lebih lanjut untuk mengetahui siapa leluhur saya yang memberikan kekuatan ini.” Ia menatap Fu Heng dengan penuh harap. “Saya ingin tahu asal-usul kekuatan ini.”

Fu Heng mengangguk dan kembali memutar tasbih besar di tangannya. Gerakan itu lambat dan penuh konsentrasi. Bibirnya bergerak pelan, mengucapkan mantra yang hanya dia dengar. Fu Heng menutup matanya, terfokus pada setiap kata yang diucapkan. Ritual itu berlangsung lebih lama dari sebelumnya, sekitar lima menit. Nathan memperhatikan dengan seksama. Ruangan terasa tenang saat Fu Heng mendalami proses tersebut. Setelah beberapa saat, Fu Heng membuka mata dan menatap Nathan dengan sorot yang serius.

Fu Heng memandang Nathan serius. “Yang memberikan kekuatan yang Tuan miliki adalah Permaisuri Prabu Brajamusti. Nama beliau adalah Ratu Arunika. Beliau merasa perlu memberikan kekuatannya kepada Tuan agar bisa menyelesaikan masalah yang Tuan hadapi dengan segera. Ratu Arunika menjamin bahwa Tuan tidak akan mendapatkan kutukan apapun. Kekuatannya akan melindungi Tuan dari segala macam kutukan yang tengah mengancam Tuan. Selain itu, Tuan sekarang kebal terhadap serangan sihir apa pun. Tidak ada mantera, kutukan, atau kekuatan gaib yang bisa menyentuh Tuan. Itu yang beliau katakan pada saya.”

Nathan tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. “Apa lagi yang Ratu Arunika katakan? Apakah ada pesan khusus untukku?”

Fu Heng menatap Nathan dengan serius. “Ratu Arunika menyampaikan pesan penting. Jika Tuan ingin bertemu lagi dengan beliau, Tuan harus bertapa di makamnya selama semalaman, mulai pukul 18.00 sore hingga pukul 06.00 pagi. Di sana, Ratu Arunika akan mendatangi Tuan. Ini adalah cara untuk mendapatkan bimbingan langsung darinya.”

Nathan merasa terkejut mendengar pesan tersebut. Dia tidak menyangka harus melalui proses ini untuk memahami lebih jauh mengenai kekuatan yang baru saja didapatkan. Namun, tekadnya semakin kuat untuk menjalani tantangan ini. Pertemuan dengan Ratu Arunika terasa sangat penting. Nathan percaya bahwa Ratu Arunika memiliki jawaban atas banyak pertanyaannya.

Nathan merasa cukup dengan penjelasan yang diberikan Fu Heng. Dia meminta izin untuk pergi. Sebelum melangkah keluar, Nathan memberikan sejumlah uang sebagai bentuk penghargaan kepada Fu Heng. Fu Heng menerima uang tersebut dengan senang hati, menyatakan rasa terima kasihnya atas perhatian Nathan. Nathan meninggalkan kediaman Fu Heng dengan langkah mantap. Suasana di luar ruangan terasa berbeda. Dia merasa lebih ringan dan penuh harapan. Jalanan di sekitar Pecinan tampak ramai, tetapi pikirannya tetap fokus pada tujuan selanjutnya. Nathan kembali ke mobilnya, siap melanjutkan perjalanan pulang.

Nathan masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan segera melaju di tengah keramaian Pecinan. Lampu-lampu jalan dan hiruk-pikuk kendaraan menyatu dalam pandangan. Tak lama berselang, mobilnya tiba di jalan raya. Lalu lintas padat, kendaraan bergerak perlahan di depan dan samping. Mobil Nathan melaju dengan kecepatan sedang. Setiap tikungan yang dilewati seakan membawanya semakin dekat dengan tujuan hidup. Pikiran Nathan terus berputar, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Meski jalanan ramai, fokusnya tetap pada apa yang baru saja dia pelajari. Dia terus memacu mobil melewati jalan-jalan kota. Pandangannya lurus, seolah perjalanan ini adalah bagian kecil dari rencana yang lebih besar. Akhirnya, Nathan tiba di rumah. Ia memasukkan mobil ke dalam garasi dan mematikan mesin.

Nathan masuk ke rumah, berjalan langsung menuju ruang kerja Maya. Ia mengetuk pintu, lalu mendengar izin dari dalam. Tanpa menunda, Nathan membuka pintu dan melangkah masuk. Ia segera duduk di kursi di depan meja kerja Maya. Maya pun menatap Nathan dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu, menunggu penjelasannya.

Nathan berkata, “Aku harus pergi ke lereng Gunung Brajamusti untuk menemui sosok wanita dari mimpiku. Menurut ramalan Fu Heng, aku harus bertemu dengannya agar mendapatkan penjelasan yang aku butuhkan.”

Maya menatap Nathan dengan khawatir. “Tempat itu berbahaya. Aku yakin Ronny dan kawan-kawannya masih berada di sekitar sana. Mereka bisa saja mengincarmu.”

Nathan menanggapi kekhawatiran Maya dengan serius. “Aku paham risiko di sana. Aku akan membawa beberapa anak buah untuk menjaga diriku,” ujarnya. Nathan ingin memastikan bahwa langkahnya tidak hanya berani, tetapi juga bijaksana.

Maya mengangguk dan menyetujui keputusan Nathan. “Itu langkah yang tepat,” ujarnya dengan nada tegas. “Sebaiknya kamu membawa lebih banyak pengawal. Lereng Gunung Brajamusti bisa sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang bisa terjadi di sana. Lebih baik siap daripada menghadapi masalah di tengah jalan. Bawalah orang-orang yang dapat diandalkan.”

Nathan menatap Maya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Bunda, atas dukungannya,” ucapnya dengan tulus.

“Kapan kamu berencana pergi ke lereng Gunung Brajamusti?” tanya Maya.

“Besok pagi,” jawab Nathan tanpa ragu.

Segera siapkan perjalananmu,” ucap Maya singkat namun tegas.

Nathan bangkit dari kursinya setelah berbicara dengan Maya. Tanpa banyak kata, dia menganggukkan kepala sebagai tanda pamit dan meninggalkan ruang kerja itu. Pikirannya kini fokus pada persiapan perjalanan menuju lereng Gunung Brajamusti. Dia tahu, waktu yang tersisa tidak banyak. Setelah keluar dari ruangan Maya, Nathan segera menemui Raka, salah satu orang kepercayaannya. Di halaman belakang, Raka tengah memeriksa peralatan yang biasa digunakan untuk menjaga keamanan rumah. Nathan menghampirinya dengan langkah cepat.

“Kita harus bersiap,” kata Nathan dengan nada serius. “Besok pagi, kita berangkat ke lereng Gunung Brajamusti.”

Raka mengangkat kepalanya, menatap Nathan dengan penuh perhatian. “Berapa banyak orang yang harus kita siapkan?” tanyanya.

Nathan berpikir sejenak. “Maya menyarankan agar kita membawa pengawal tambahan. Pilih orang-orang terbaik, mereka harus siap untuk segala kemungkinan di sana.”

Raka mengangguk, tanpa banyak pertanyaan. “Saya akan atur semuanya. Malam ini juga, semua peralatan dan persiapan akan kita siapkan.”

Nathan merasa lega. Dia tahu Raka bisa diandalkan untuk tugas ini. Setelah itu, Nathan melangkah masuk ke dalam rumah, kali ini melewati ruang dapur. Saat ia memasuki dapur, suasana langsung menjadi chaos. Heni, Tuti, Sari, dan Rina berteriak-teriak seperti melihat artis idola. Mereka berlarian menghampiri Nathan dan memanggil namanya. Keempat wanita itu bersaing untuk mendekati Nathan. Mereka memeluk tubuh pemuda itu satu per satu. Nathan merasa kelabakan menghadapi sambutan mereka yang genit. Ia berusaha melayani setiap pelukan yang datang. Tangan Nathan merangkul setiap tubuh wanita yang mengelilinginya

“Kalian ini kenapa?” tanya Nathan heran dengan sambutan luar biasa mereka.

Heni langsung menjawab, “Tuan Muda, kami sangat khawatir! Kami mendengar Tuan Muda cidera parah dan sakit parah. Kami tidak tahu bagaimana keadaan Tuan Muda sebenarnya.”

Tuti berkata, “Kami khawatir. Tuan Muda tidak boleh sakit.”

Sari menimpali, “Kami akan membantu apapun yang Tuan Muda butuhkan.”

Rina menambahkan, “Kami tidak ingin Tuan Muda pergi jauh tanpa kami.”

Nathan berkata lembut kepada keempat wanita itu, “Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir.” Ia mencoba menenangkan mereka dengan senyuman. “Kembali saja bekerja. Semua akan baik-baik saja.”

Heni, Tuti, Sari, dan Rina saling bertukar pandang, masih terlihat cemas tetapi mencoba mengikuti perintah Nathan. Dengan langkah ragu, mereka beranjak kembali ke tugas masing-masing di dapur. Namun tiba-tiba, Nathan dan keempat pembantu rumah tangga terkejut saat melihat Maya berdiri di ambang pintu ruang dapur. Maya terlihat tenang, tetapi ekspresinya menunjukkan ketidaksetujuan. Tangan Maya bersidekap sambil menggelengkan kepala. Keempat pembantu rumah tangga itu menjadi panik, wajah mereka memucat. Nathan, menyadari situasi yang tegang, segera menghampiri Maya. Ia mengambil pinggang ibunya dan mengajaknya menjauh dari dapur.

“Bunda tidak suka kalau kamu menggoda gadis-gadis itu!” suara Maya tegas, sementara Nathan memeluk pinggangnya dengan lembut saat mereka berjalan menjauh dari dapur.

Nathan menjawab dengan santai, “Aku tidak menggoda mereka. Mereka hanya senang melihat aku sehat kembali.”

Maya mengingatkan Nathan, “Jangan terlalu akrab dengan mereka. Kamu harus menjaga wibawa sebagai anakku.”

Nathan menjawab, “Iya,” lalu mencium pipi ibunya.

Saat Nathan hendak mengajak Maya menuju sofa, Maya menghentikan langkahnya. “Nathan, ada sesuatu yang ingin Bunda tunjukkan padamu,” kata Maya.

Nathan mengangguk dan merasa penasaran. “Apa itu, Bun?” tanyanya.

Maya tersenyum, lalu mengajak Nathan menuju kamarnya. “Ikuti Bunda,” ujarnya lembut.

Nathan pun setuju dan mengikuti Maya ke kamarnya. Mereka menaiki tangga dan menuju pintu kamar. Setibanya di dalam kamar Maya, Nathan menutup pintu dengan hati-hati. Ia melihat Maya mencari sesuatu di dalam lemari. Maya mengambil sebuah kotak dari dalam lemari. Dengan lembut, ia membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah kalung yang indah. Kalung itu bersinar dengan cantik di bawah cahaya. Maya kemudian memberikan kalung tersebut kepada Nathan.

Maya menatap Nathan dengan serius. “Pakailah kalung ini di lehermu,” katanya. “Kalung ini akan memberitahu Bunda jika kamu dalam bahaya.”

Nathan mengangguk dan menerima kalung itu lalu memakainya. Ia berjalan ke arah cermin, memperhatikan bayangannya. Kalung tersebut pas menggantung di lehernya, terlihat indah dan memancarkan kesan elegan.

Setelah melihatnya dengan saksama, Nathan berbalik dan berkata, “Terima kasih, Bunda. Kalung ini tidak akan lepas lagi dari leherku.”

Maya tersenyum tipis, matanya berbinar nakal. “Tidak ada yang gratis di zaman sekarang ini, Nak,” ujarnya sambil menggoda.

Nathan tersenyum balik, mendekati Maya dengan santai. “Bunda tentu nggak minta bayaran uang, kan?” katanya sambil melingkarkan lengannya di pinggul Maya. Dengan nada nakal, dia menambahkan, “Jadi, apa yang Bunda mau buat bayar kalung ini?” Tangan Nathan perlahan bergerak ke arah buah pantat Maya dan dengan lembut meremasnya.

Maya melingkarkan lengannya di leher Nathan, menatap mata pemuda itu dengan penuh harap. “Kamu tahu apa yang Bunda inginkan, Nathan…”

“Katakan! Apa yang Bunda inginkan?” canda Nathan sambil tersenyum.

Ekspresi Maya langsung berubah. Tangan wanita itu dengan cepat meluncur ke bawah dan menggenggam sesuatu yang ada di selangkangan Nathan. Wajah Maya terlihat penuh rasa kesal, sementara matanya berkilau dengan keinginan yang terpendam. Nathan tertegun sejenak, terkejut oleh tindakan ibunya itu, namun segera merespons dengan naluri yang sama. Nathan segera merapatkan tubuhnya hingga genggaman Maya terlepas, lalu dengan sekali hentakan, tubuh ibunya sudah berada dalam gendongannya (bridal style). Dengan hati-hati, Nathan membawa Maya menuju tempat tidur, setiap gerakan terasa lembut, dan suasana di sekitar mereka dipenuhi dengan gairah. Ketika mereka tiba di kasur, Nathan perlahan membaringkan tubuh Maya di atasnya. Dalam sekejap, suasana di antara mereka menjadi semakin intim. Wajah Maya terlihat bersemangat, dan tidak sabar menanti adegan utama di antara mereka.

Suasana di dalam kamar terasa semakin panas, dipenuhi dengan keinginan yang tak terucapkan. Nathan dan Maya saling menatap, seolah berbagi rahasia yang hanya mereka berdua yang mengerti. Dengan cepat Maya bangkit lalu menggenggam kerah baju Nathan, menariknya sedikit lebih dekat.

“Aku sudah sangat horny, Nathan!” ucap Maya, suaranya penuh birahi.

Nathan tersenyum, matanya menyala dengan hasrat yang tak tertahan. Detak jantungnya berpacu cepat, dipicu oleh nafsu yang menggelora di dalam dirinya. Maya membalas senyumnya dengan penuh percaya diri, kemudian dengan gairah yang membara, ia mulai melepaskan kancing baju Nathan satu per satu. Setiap kancing yang terlepas seolah membuka gerbang bagi keinginan syahwati Maya yang begitu menggelora. Nathan, tak mau kalah, perlahan menarik gaun Maya ke bawah bahunya, merasakan kelembutan kain yang meluncur dengan anggun. Sehelai demi sehelai, gaun itu terlepas, mengungkapkan kulitnya yang halus dan menggoda. Maya merasakan gejolak hasrat yang membara, dorongan yang tak bisa ditahan. Ia menggigit bibirnya, merasakan birahinya yang menyala di dalam diri.

Saat tubuh mereka akhirnya telanjang bulat, keduanya saling bergumul di atas kasur yang empuk, gelombang birahi menyelimuti mereka, menghapus semua batasan yang ada. Setiap sentuhan seolah menciptakan percikan listrik yang membangkitkan hasrat di antara mereka. Maya merasakan detak jantung Nathan yang cepat, seolah berirama dengan gelora dalam dirinya. Nathan menarik Maya lebih dekat, memeluknya dalam pelukan yang penuh gairah. Bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang dalam, setiap tarikan napas dipenuhi dengan keinginan yang membara. Birahi mereka cepat menyebar, mengalir dari organ intim mereka hingga ke seluruh tubuh.

“Masukan kontolmu, sayang … Punya Bunda sudah gatal sekali,” ucap Maya mendesah, tubuhnya tak kuasa menahan lebih lama.

“Biar aku garuk memek Bunda sama punyaku,” ucap Natan setelah melepas ciumannya di payudara Maya.

Dipegangnya pinggang Maya dan dengan kedua tangannya, Nathan mulai bergerak menyusuri dan membelai setiap bagian paha Maya yang putih dan mulus sambil membuka selangkangan sang ibu lebar-lebar ke samping. Maya menerima setiap belaian cinta dan kasih sayang dari Nathan yang membuat tubuhnya merasa rileks dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kenikmatan cinta. Tubuh Maya yang begitu indah dan mulus dengan lekuk-lekuk yang menawan terbaring dengan kedua tangan dan kaki yang terentang ke samping bagaikan busur yang membentang di atas ranjang. Nathan menatap tubuh indah ibunya yang bagaikan sebuah masterpiece ciptaan Tuhan dan perlahan diangkatnya pinggul Maya dan dipaskannya posisi batang kejantanannya yang sudah siap beraksi tepat di hadapan lubang kewanitaannya yang tersingkap oleh selangkangannya yang terbuka lebar mengangkang di hadapan Nathan.

Dengan sekali hentakan, Nathan menancapkan penisnya langsung hingga ujungnya melesak ke bagian terdalam vagina Maya. Tanpa basa-basi lagi, langsung saja dipompanya liang kenikmatan Maya dengan penuh nafsu sehingga batang kejantanan pemuda itu berpacu dengan cepat keluar-masuk lubang kewanitaan ibunya. Maya yang menerima hantaman penis Nathan yang cepat, kuat dan penuh gairah bergesek-gesekan dengan setiap bagian sensual di dalam liang cintanya sambil menyodok-nyodok pintu rahimnya yang terbuka lebar-lebar tak ayal kemudian menggelinjangkan tubuhnya yang mengangkang di hadapan Nathan sambil berteriak penuh kenikmatan.

“Oooohh Nathaaannn … Enaakk sayaaannggg … Aaaahhhh ….!” Maya mendesis-desis dengan tubuh menggeliat-geliat. Payudaranya yang besar dan kenyal terguncang-guncnag kesana-kemari mengikuti setiap gerakan tubuh mulusnya. Tangannya mencengkeram erat pada seprai sementara kepalanya bergoyang-goyang liar merasakan kenikmatan yang mendera tubuhnya.

Nathan yang tanggap pada reaksi Maya jadi makin bersemangat. Gerakan pantatnya yang menyodok-nyodok menjadi makin kuat dan temponya pun jadi makin cepat. Nathan bahkan membuat gerakan memutar membuat penisnya seperti mengaduk-aduk liang vagina Maya. Untuk lebih membangkitkan gairah Maya, Nathan kadang-kadang menghentikan gerakannya selama beberapa saat sambil menekan penisnya dalam-dalam di liang vagina ibunya itu. Hal itu membuat respon Maya menjadi makin ganas. Tubuh mulus wanita cantik itu bergetar keras menahan desakan sensasi yang makin menggila, sampai tak sadar, Maya menggerakkan sendiri pantatnya maju mundur.

“Ooohh…… Ooohh…… Aaahhkk……. Aaahhh……. Aaahhss… Aahhhss…” Maya mendesis-desis sambil menggigit bibirnya sementara tubuhnya melengkung ke atas membuat payudara besar dan bulatnya kian membusung.

Nathan tidak tahan lagi untuk meremas-remas sepasang payudara mulus itu. Tangan kekar Nathan mencengkeram sepasang payudara mulus itu dengan kuat seolah seperti mencengkeram tanah liat empuk. Gabungan antara genjotan penis Nathan pada vagina Maya dan remasan tangan Nathan pada payudaranya membuat birahi wanita cantik itu makin tidak terbendung.

“Aaahh … Sayang … Aaahh … Aaahh … Aaahh …”

Suara serak yang keluar dari mulut Maya terdengar sangat seksi dan menggoda hal ini membuat Nathan menjadi lebih bersemangat untuk menggagahinya. Ia kemudian memegang pinggang Maya dengan kuat, mendorong penisnya lebih dalam dan lebih kasar. Tubuh Maya terus melengkung seperti busur saat penis tebal kaku itu menusuknya sangat dalam. Ujung penis Nathan terus menubruk titik kenikmatan milik ibunya membuat ibunya tidak pernah berhenti mendesah.

Permainan ranjang mereka terus berlangsung. Bunyi derit kasur menghiasi ruangan itu sejak satu jam yang lalu. Maya sudah dua kali orgasme dan Nathan masih betah memaju-mundurkan pinggulnya di area kewanitaan ibunya. Nathan dan Maya terengah dalam tempo yang sama. Kedua tubuh telanjang mereka berkeringat. Kini, Maya berbaring di bawah tubuh Nathan dengan bantal yang menyangga bokongnya. Lubang ketatnya digiling oleh kejantanan Nathan yang besar dan panjang dengan tikaman penuh gairah. Kedua orang itu mengadu pinggul satu sama lain, menggesek dinding satu sama lain. Cipratan air mani semakin tumbuh dari kedalaman vagina sang ibu. Tubuh Maya sangat berkeringat dan payudaranya terasa nyeri oleh ereksi.

Maya meremas kain di bantalnya kuat-kuat, karena saat ini Nathan tengah menggempur isi vaginanya tanpa ampun. Wanita itu dapat merasakan daging tumpul sebesar lengannya itu terus-menerus menggusur dindingnya hingga ke pangkal paling dalam. Kenikmatan itu dirasakan sangat tak tertandingi. Payudaranya yang kencang terbanting-banting hebat. Menunjukkan betapa kuatnya tenaga Nathan yang dikerahkan untuk menghujam saluran senggamanya. Otot pinggul Nathan terus mendorong seluruh kejantanan ke dalam rahim ibunya. Menekannya dengan sangat kuat. Penis Nathan terus bergesek kuat di dalam vagina Maya. Bila dilihat dari belakang, maka nampak pinggul Nathan maju-mundur dengan keras menuju arah di antara kedua kaki yang menggantung di pundaknya. Kaki Maya nampak terhentak-hentak tiap kali Nathan menghujamkan diri sepenuhnya, hingga membentur dinding di dalam vagina ibunya.

“Aaaahh … Aaaahh … Aaaahh … Aaaahh …” Maya benar-benar merasakan kenikmatan hujaman Nathan yang tiada henti. Tiba-tiba, tangan Maya memukul-mukul dada Nathan sambil menjerit, “Bundaaaa … Maaauuu kelluuaaarrr …!!!”

Nathan semakin mempercepat tempo permainannya. Kepala Maya seakan-akan meledak saat gelombang listrik mengejutkan seluruh tubuhnya. “A-a-angh … Sayang … Aaaaangghhh … ” Kantung kemihnya serasa akan pecah. Paha Maya mengetat. Vaginanya memijat kuat-kuat. Punggungnya melekuk dan dadanya membusung ke udara.

Nathan merasakan cairan Maya kembali keluar membasahi alat tempurnya. Memberikannya semakin banyak pelumas untuk melaju semakin cepat. Maya meremas kasur di atas kepalanya. Gerakan Nathan yang menggila membuat orgasmenya seakan tidak surut-surut sama sekali, malahan semakin kuat. Pinggul Nathan kian cepat, meski Maya sedang mengalami orgasme sekarang. Ia sama sekali tidak menurunkan kecepatannya. Pinggul kokoh itu kian melesak maju mundur dengan kekuatan penuh menuju dua paha Maya yang terbuka. Ia dapat mendengar bunyi tamparan daging basah berkali-kali dari pukulan yang mereka hasilkan. Tiba-tiba Nathan memajukan tubuhnya hingga membuat pinggul Maya mundur ke belakang, lalu ia mendorong kuat-kuat dan diam sesaat, merasakan kedutan vagina yang memeras kejantanannya. Nathan menarik tubuhnya perlahan dan benda raksasa itu langsung menjulang setelah berhasil keluar sepenuhnya.

” … Sayang, angh … Aaaaaagghhh …”

SEEERRRR …

SEEERRRR …

SEEERRRR …

Tubuh Maya terlonjak dan bergetar hebat. Maya mencapai puncaknya bahkan dia squirt di depan Nathan. Vagina seksi Maya menyemprotkan air mani berkali-kali. Nathan memandangi dengan terpana saat dua daging labia itu berkali-kali membuka dan menutup memuntahkan semburan deras.

Nathan lantas memperhatikan Maya yang terbaring lelah. Matanya tampak berat dan kelopaknya masih tertutup. Tubuhnya lunglai, terkulai di atas ranjang. Nathan bergerak dengan perlahan, menggeser bantal di bawah tubuh Maya yang telanjang. Dia membuang bantal itu, lalu mendekatkan tubuhnya. Nathan menopang berat badannya di atas sikunya, menindih tubuh Maya tanpa memberi tekanan yang berlebihan. Perlahan, Nathan menurunkan wajahnya dan mencium kening Maya. Ciumannya berlangsung cukup lama, seolah ingin menenangkan wanita yang kehabisan tenaga di bawahnya. Tak lama berselang, Maya membuka matanya sambil tersenyum.

“Bagaimana? Nikmat?” tanya Nathan nyaris berbisik.

Sarada mengangguk lelah.

“Mau lagi?” tanya Nathan kemudian sambil menempelkan ujung hidungnya ke ujung hidung ibunya.

“Bunda mau lagi,” jawab Maya seraya memeluk tubuh Nathan dan menariknya agar merapat ketat.

“Seks itu indah dan menyenangkan. Setiap orang membutuhkannya untuk merasakan kesenangan, kepuasan, dan kebahagiaan,” ucap Nathan sambil menatap Maya dengan penuh keyakinan.

“Aku tahu itu. Tapi, apa maksudmu berkata seperti itu?” tanya Maya dengan suara pelan.

“Banyak orang di rumah besar ini yang tidak terpenuhi kebutuhan seks mereka, Bunda. Mereka mungkin tidak berani bicara soal itu, tapi aku yakin Bunda bisa merasakannya juga. Cobalah pikirkan hal itu,” ujar Nathan dengan nada serius, matanya mengunci tatapan Maya, seolah ingin memastikan bahwa pesan yang disampaikannya benar-benar dipahami.

“Sebenarnya, kamu mau bicara apa, sayang? Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?” tanya Maya dengan nada ragu, alisnya sedikit terangkat. Tatapannya tajam, mencoba mencari makna di balik kata-kata Nathan.

“Aku ingin membuka seluas-luasnya kesempatan bagi para pegawai di rumah ini untuk menikmati seks. Rumah ini bisa jadi surga seks untuk semua yang ada di dalamnya,” jawab Nathan tanpa ragu, nadanya tegas.

Maya menggelengkan kepala dan berkata, “Itu tidak mungkin, Nathan. Jika semua orang diizinkan, suasana di rumah ini akan kacau balau. Tidak ada keteraturan, dan para pegawai akan berbuat seenaknya sendiri, mengikuti keinginan mereka tanpa mematuhi peraturan yang ada. Bunda khawatir banyak orang asing yang akan masuk ke sini, dan itu akan membuat situasi semakin tidak terkendali.” Suaranya penuh keprihatinan, menunjukkan betapa pentingnya baginya menjaga stabilitas dan keamanan di lingkungan tempat mereka tinggal.

Nathan menanggapi kekhawatiran Maya dengan tegas, “Aku mengerti apa yang Bunda maksud. Untuk menjaga keteraturan, kita bisa membuat peraturan yang jelas. Misalnya, hanya pegawai tertentu yang diizinkan, dan semua interaksi harus dilakukan dengan kesepakatan. Kita bisa menetapkan waktu dan tempat yang khusus untuk itu, sehingga tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari di rumah ini. Dengan begitu, kita bisa tetap menjaga suasana yang nyaman dan aman.”

Maya menghela napas sebelum menjawab, “Bunda ingin percaya pada ide itu, Nathan, tapi Bunda masih merasa ragu. Membuat peraturan saja tidak menjamin semuanya akan berjalan lancar. Banyak hal bisa jadi tidak terduga. Bagaimana jika ada yang melanggar peraturan? Atau jika suasana di rumah ini menjadi terlalu bebas? Bunda khawatir itu bisa menimbulkan masalah yang lebih besar.”

Nathan menanggapi kekhawatiran Maya dengan nada meyakinkan, “Aku paham kekhawatiran Bunda, dan itu wajar. Untuk mencegah masalah, kita bisa mengatur sistem yang jelas dan transparan. Misalnya, setiap pegawai yang ingin berpartisipasi harus mendaftar dan setuju pada peraturan yang kita buat. Kita bisa juga menunjuk beberapa orang untuk mengawasi dan memastikan semuanya berjalan sesuai aturan. Selain itu, kita harus menetapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggar peraturan. Misalnya, ada hukuman kurungan atau bahkan pemecatan bagi pelanggar. Dengan cara ini, kita bisa menjaga suasana yang aman dan nyaman di rumah ini. Semua orang akan tahu batasan yang ada, dan kita bisa menghindari potensi masalah.”

Maya mengangguk perlahan, meskipun masih ada keraguan di matanya. “Bunda akan memikirkan ide itu. Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan cepat. Bunda perlu waktu untuk mempertimbangkan semua aspek dan bagaimana dampaknya terhadap kita dan pegawai lainnya. Jika kita memang memutuskan untuk melakukannya, kita harus memastikan semuanya terencana dengan baik agar berjalan tertib dan tidak menimbulkan masalah.”

Nathan tersenyum dan berkata, “Terima kasih, Bunda, karena mau menerima ideku dan mempertimbangkannya.” Kemudian Nathan mencium bibir ibunya. “Apakah mau dilanjut atau kita sudahi?” tanya Nathan kemudian.

“Bunda belum puas … Kita lanjut!” jawab Maya sambil melebarkan pahanya.

“Baiklah …” sambut Nathan sambil tersenyum.

Payudara Maya yang keras masih nampak menggoda di mata Nathan. Pemuda itu langsung meremas kedua bukit itu dengan penuh konsentrasi. Labia kecil saluran senggama Maya masih merekah, terbuka, basah, dengan liang yang menetes-netes, membuat Nathan kembali menjebloskan dirinya ke lubang penuh nikmat itu sekali lagi, memompanya tanpa ampun, hingga Maya kembali mendesah-desah. Nathan masih segar bugar. Staminanya masih tinggi dan balok dagingnya masih ereksi. Ia terus menjebol lipatan ketat itu untuk membuat Maya merasa terhipnotis oleh stimulasi yang dibuatnya.

Suhu tubuh mereka naik lagi di atas rata-rata. Berbalut keringat dan air mani yang tidak hanya menyelaputi seluruh tubuh mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki, namun juga merembesi setiap sentimeter permukaan kusut seprei. Ruangan itu beraroma pandan, hasil aroma kedua tubuh mereka yang menguar ke udara.

Nathan dan Maya kembali terhanyut dalam gelombang hasrat yang tak terbendung. Tubuh mereka saling menyatu, bergerak dengan ritme yang semakin intens. Maya menggeliat di bawah Nathan, merasakan kenikmatan yang datang bertubi-tubi, mengguyurnya hingga berkali-kali mencapai puncak. Nafas mereka semakin berat, tubuh mereka diliputi oleh kelelahan yang manis. Setelah beberapa saat, ketika napas mulai teratur dan tubuh mereka lemas, mereka saling berpandangan dan sepakat untuk menghentikan pertempuran cinta mereka. Keduanya terbaring dalam keheningan, menikmati kedamaian yang datang setelah badai kenikmatan berlalu.


Dua buah van hitam melaju pelan di jalan pedesaan yang rusak dan berlubang, roda-rodanya sesekali memantul karena permukaan jalan yang tidak rata. Nathan telah sampai di lereng Gunung Brajamusti, ditemani oleh 14 pengawal yang dipimpin oleh Raka. Setelah beberapa kali bertanya kepada penduduk sekitar, mereka akhirnya menemukan lokasi makam Ratu Arunika. Makam itu terletak di tengah sebuah dusun yang sepi, dengan rumah-rumah jarang dan jauh dari hiruk-pikuk. Suasana di sana membawa sensasi aneh, membuat siapa pun yang mendekat merasakan kegelisahan tanpa alasan yang pasti, seakan tempat itu menyimpan rahasia yang tidak ingin diungkap.

Waktu sudah beranjak petang, langit perlahan berubah menjadi kelabu pekat, dan sinar matahari yang tersisa hanya menyisakan bayangan samar di balik perbukitan. Udara mulai dingin, dan suasana di sekitar makam Ratu Arunika semakin terasa sunyi, seolah seluruh alam ikut berdiam diri. Nathan duduk bersila di depan makam tua yang tampak lusuh dimakan waktu, wajahnya tenang, meskipun udara malam semakin menusuk. Tanpa membuang waktu, dia mulai bermeditasi, memusatkan pikirannya pada energi yang mengelilingi tempat keramat itu.

Sementara itu, Raka dan anak buahnya mulai sibuk mendirikan tenda-tenda di sekitar area makam. Mereka bekerja dalam keheningan, saling memberi isyarat tanpa banyak bicara. Beberapa tenda sudah berdiri, tempat mereka akan beristirahat malam ini. Sebagian anak buah Raka berjaga di sekitar area, mengawasi setiap sudut dengan waspada. Mata mereka tajam, menyapu seluruh area yang perlahan mulai diselimuti kegelapan.

Nathan terus bermeditasi di depan makam Ratu Arunika, tubuhnya tetap dalam posisi yang sama meski waktu terus berlalu. Malam semakin larut, dan suhu udara semakin dingin, tapi Nathan tidak goyah. Dia telah mempersiapkan diri untuk ini, bukan hanya fisik, tapi juga mental. Beberapa jam telah berlalu, namun pikirannya tetap terpusat, jiwanya menyelam lebih dalam ke dalam kesunyian yang mengelilinginya. Niat Nathan begitu kuat, hampir tak tergoyahkan. Di dalam hatinya, tekad untuk bertemu dengan Ratu Arunika membara. Dia percaya bahwa makam ini tidak hanya sekadar tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga gerbang menuju kekuatan tersembunyi yang selama ini ia cari. Bagi Nathan, pertemuan dengan sang ratu bukan sekadar keinginan, itu adalah tujuan yang harus dicapainya, bagaimanapun caranya.

Nathan tetap dalam keadaan bermeditasi, matanya terpejam rapat. Namun, saat energi di sekelilingnya mulai bergetar, dia merasakan perubahan yang kuat. Kabut tipis menyelimuti ruang di sekitarnya, dan seiring dengan itu, dia mulai melihat kilauan samar di balik kelamnya kegelapan. Dalam batinnya, dia merasakan sesuatu yang kuat mendekat. Ketika sosok dengan aura kuat itu muncul dari balik kabut, Nathan perlahan membuka matanya. Dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia melihat Ratu Arunika berdiri di depannya, dikelilingi cahaya lembut yang tampak seolah berasal dari dalam dirinya. Wujudnya samar, terbungkus jubah kabut kelabu yang melambai-lambai, tetapi sorot matanya yang tajam memancarkan kekuatan yang tak terbantahkan. Suasana di sekitar mereka dipenuhi dengan cahaya yang berpendar, membuat dunia di sekeliling Nathan tampak berkilau. Ratu Arunika berdiri dengan anggun, seakan dia adalah penguasa dari alam gaib ini.

Ratu Arunika menatap Nathan dengan mata penuh kebijaksanaan dan berkata, “Nathan, Gunung Brajamusti adalah takdirmu yang harus kau jaga. Keindahan dan kekayaan yang ada di sini bukanlah tanpa masalah. Di balik semua itu, tersembunyi keburukan dan kejahatan yang dapat menciptakan bencana jika tidak ditangani dengan baik.”

Nathan memandang Ratu Arunika dengan tatapan serius, suaranya penuh penekanan ketika ia berkata, “Seandainya saya memiliki pilihan, saya tidak ingin menjadi pewaris Gunung Brajamusti. Mengapa saya yang terpilih untuk menanggung beban ini? Sebagai orang yang diwarisi, hidup saya tak pernah tenang, selalu ada ancaman dari mereka yang ingin merebut sesuatu yang bukan milik mereka.” Dia menghela napas dalam-dalam, mengungkapkan semua perasaannya yang terpendam. “Saya tidak pernah meminta semua ini. Setiap tanggung jawab dan ancaman yang menyertai warisan ini terasa sangat berat. Mengapa saya harus menanggung semua risiko ini, sementara banyak orang di luar sana mungkin lebih layak untuk tugas ini?” Suaranya bergetar, mencerminkan kebingungan dan ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya.

Ratu Arunika mengamati Nathan dengan tatapan penuh pengertian. “Nathan, kau dipilih karena dalam dirimu tidak ada ketamakan. Kekuatan yang kau miliki datang dari ketulusan hatimu, bukan dari keinginan untuk menguasai atau mengeksploitasi kekayaan yang ada. Dalam banyak jiwa, ketamakan akan menghancurkan segala yang baik, tetapi kau menunjukkan bahwa kau berhak untuk menjaga apa yang benar dan berharga. Gunung Brajamusti tidak hanya membutuhkan seorang pewaris, tetapi juga seorang pelindung yang bijaksana. Dalam dirimu, aku melihat potensi untuk membawa keseimbangan, untuk menjadikan tempat ini sebagai sumber kebaikan, bukan keburukan. Tanggung jawab ini memang berat, tetapi kau memiliki kemampuan untuk menghadapinya, asalkan kau tetap setia pada prinsip-prinsipmu.”

Nathan memandang Ratu Arunika dengan ekspresi penuh ketidakpuasan. “Tapi, Ratu… Karena saya yang terpilih sebagai pewaris, saya harus berhadapan dengan ayah saya sendiri, yang ingin menguasai Gunung Brajamusti. Bagaimana saya bisa menjalani tanggung jawab ini ketika ancaman terbesar datang dari keluarga saya sendiri? Saya merasa terjebak antara kewajiban dan ketakutan. Semua ini terasa begitu membebani, dan saya tidak tahu bagaimana melawan seseorang yang seharusnya melindungi saya.”

Ratu Arunika menatap Nathan dengan serius. “Nathan, aku tahu siapa yang kau panggil sebagai ayah. Dia bukanlah ayahmu yang sesungguhnya. Dia adalah musuh yang harus kau musnahkan. Kekuatan dan ambisi yang dia miliki bukanlah untuk melindungi Gunung Brajamusti, tetapi untuk menghancurkannya. Dia telah terjerat dalam kegelapan yang akan menghancurkan segalanya jika tidak dihentikan.”

Nathan memandang Ratu Arunika dengan ketegasan yang mendalam. “Saya tahu bahwa orang itu bukan ayah saya yang sebenarnya. Namun, dia lah yang mengurus dan membesarkan saya sejak bayi. Dia memberikan semua yang saya butuhkan dan mengajarkan saya cara menjalani hidup. Meskipun saya menyadari ada kegelapan dalam dirinya, sulit bagi saya untuk melupakan semua yang telah dilakukannya untuk saya. Bagaimana saya bisa menganggapnya sebagai musuh ketika dia telah menjadi sosok yang selalu ada dalam hidup saya?”

Ratu Arunika berbicara kepada Nathan dengan nada tegas. “Nathan, orang yang kau anggap sebagai ayahmu adalah musuhmu. Dia membesarkanmu hanya untuk mencapai tujuannya menguasai Gunung Brajamusti. Ketahuilah, semua yang dia lakukan hanyalah untuk kepentingannya sendiri. Nathan terdiam, kata-kata Ratu Arunika mengguncang keyakinannya. Ratu Arunika melanjutkan, “Setelah kau bisa membuka tabir gaib Gunung Brajamusti, dia akan menyerap jiwa dan rohmu. Saat itu, dialah yang akan menjadi penguasa Gunung Brajamusti.”

Nathan merasa bingung dan terpukul oleh pernyataan Ratu Arunika. “Tidak mungkin! Dia telah mengurus dan menjaga saya sejak kecil. Kasih sayangnya adalah kenyataan, dan semua yang dia lakukan selama ini tidak mungkin semata-mata untuk kepentingan pribadi. Saya tidak bisa percaya dia akan melakukan hal seperti itu!”

Ratu Arunika melanjutkan, “Aku tidak bisa memaksamu untuk percaya padaku, Nathan. Keyakinanmu adalah milikmu, dan aku menghormatinya. Tapi, aku ingin kau percaya dengan apa yang aku katakan karena waktumu sangat sempit. Musuhmu itu akan selalu mengejarmu. Nyawamu dalam bahaya. Jika kau ragu mungkin akan terlambat. Ingatlah, apa yang kau hadapi bukanlah hal sepele. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.”

“Mereka?” tanya Nathan lagi-lagi terkejut.

Ratu Arunika menjawab dengan tegas, “Ya, musuhmu sesungguhnya banyak. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesaktian tingkat tinggi, dan semua ini dipimpin oleh orang yang kau anggap ayahmu. Mereka mengincar saat kau lengah, terutama ketika kamu luput dari pengawasan ibumu. Orang-orang ini berambisi untuk menguasai Gunung Brajamusti dan semua yang ada di dalamnya. Mereka akan melakukan apa pun untuk mencapai tujuan mereka. Hanya dengan memahami ancaman ini, kau bisa bersiap untuk melindungi dirimu dan warisan yang telah kau terima.”

“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Nathan, suaranya tegas namun penuh rasa cemas.

Ratu Arunika menjelaskan, “Kau harus mengalahkan jin penguasa Gunung Brajamusti secepat mungkin. Jin ini adalah pemimpin tertinggi para penjaga dan penunggu Gunung Brajamusti. Jika kau berhasil mengalahkannya, posisi dan kekuatanmu di hadapan para penjaga dan penunggu akan semakin kuat, terutama jika kau masih memegang Cincin Brajawali. Namun, jika cincin itu terlepas dari tanganmu dan jatuh ke orang lain, para penjaga dan penunggu akan tetap menghormati dan tunduk kepadamu karena kau adalah orang yang telah mengalahkan pimpinan mereka. Orang yang memiliki Cincin Brajawali tanpa mengalahkan jin penguasa tidak akan memiliki kekuasaan untuk memerintah para penjaga dan penunggu. Mereka hanya akan tunduk kepada orang yang mengalahkan pimpinan mereka.”

“Sebegitu pentingkah memiliki kekuasaan terhadap para penjaga dan penunggu Gunung Brajamusti?” tanyanya, suaranya mencerminkan keraguan dan keingintahuan.

Ratu Arunika menjawab, “Para penjaga dan penunggu Gunung Brajamusti berjumlah ribuan jin yang memiliki kesaktian tinggi. Orang yang menguasai jin-jin ini akan memiliki kekuatan yang bisa menghancurkan dunia. Inilah yang sebenarnya diinginkan banyak orang, bukan hanya kekayaan yang terkandung di dalam Gunung Brajamusti. Kekuasaan atas mereka berarti kemampuan untuk mengendalikan kekuatan gaib yang luar biasa. Jika kau mampu menguasai mereka, bukan hanya hidupmu yang akan selamat, tetapi juga kesejahteraan seluruh wilayah ini akan terjamin.”

Nathan mulai menyadari kedalaman ambisi Ronny. Keinginannya untuk menguasai Gunung Brajamusti bukan hanya soal tambang emas yang tersimpan di dalamnya. Sadar akan realitas ini, Nathan memahami bahwa emas hanyalah sebagian kecil dari keistimewaan yang dimiliki gunung tersebut. Gunung Brajamusti adalah pusat kekuatan gaib yang sangat berharga, penuh dengan rahasia dan potensi luar biasa. Para penjaga dan penunggu yang mendiaminya adalah sumber energi yang bisa mengubah takdir seseorang.

“Ronny ingin mendapatkan kendali atas kekuatan ini,” pikir Nathan. Dia mengerti bahwa ambisi Ronny bukan sekadar untuk memperkaya diri, tetapi untuk mencapai kekuasaan yang bisa menghancurkan dunia. Kekuatan yang terdapat di Gunung Brajamusti jauh lebih berbahaya dan menarik bagi orang-orang yang ingin menggunakan kekuatan gaib demi kepentingan pribadi.

Nathan mengungkapkan tekadnya dengan semangat, “Saya sangat ingin mengalahkan jin penguasa Gunung Brajamusti.” Namun, saat pernyataan itu keluar, keraguan mulai mengisi benaknya. “Tetapi, saya sadar akan keterbatasan kemampuan saya. Saya tidak yakin bisa mengalahkannya.”

Ratu Arunika menanggapi tekad Nathan, “Aku bisa membantumu melipatgandakan kekuatan Ajian Brajamusti yang kau kuasai hingga 100 kali lipat. Namun, ada syarat yang harus kau harus penuhi.”

Nathan mengernyit, penasaran. “Apa syarat yang harus saya penuhi?” tanyanya.

Ratu Arunika berkata, “Kau harus menelan bunga komala ini.” Dia mengulurkan bunga berwarna cerah kepada Nathan. “Setelah itu, kau harus mendapatkan tiga darah perawan. Hanya dengan cara ini, kekuatan Ajian Brajamusti yang kau miliki bisa dilipatgandakan.”

Nathan merasa ragu mendengar syarat yang diajukan Ratu Arunika. Syarat itu terdengar aneh dan memberatkan baginya. Namun, tekadnya untuk melindungi Gunung Brajamusti mengalahkan keraguannya. Dia tahu, untuk mencapai tujuannya, terkadang harus melewati jalan yang tidak biasa. Dengan napas dalam, Nathan mengambil bunga komala yang diberikan Ratu Arunika. Aroma harum yang memikat dari bunga itu mulai menenangkan pikirannya. Dengan hati-hati, dia menggigit kelopak bunga yang lembut, merasakan rasa manis yang mengalir di lidahnya. Setelah menelan bunga itu, Nathan menatap Ratu Arunika dengan harapan dan keberanian yang baru.

Ratu Arunika melanjutkan, “Segera dapatkan tiga darah perawan itu. Setelah itu, kau harus kembali ke tempat ini.” Suaranya tegas namun lembut, memberi Nathan rasa percaya diri. “Aku akan membawamu menemui jin penguasa Gunung Brajamusti. Kau akan menantangnya dalam duel yang menentukan.”

“Baik …” jawab Nathan pelan.

Ratu Arunika melayang mundur dengan anggun, tubuhnya dikelilingi cahaya lembut yang berkilauan. Gerakannya halus, seperti tertarik oleh kekuatan gaib yang tak terlihat. Dalam sekejap, dia menjauh dari Nathan, suara lembutnya masih terngiang di telinga Nathan. “Ingatlah, perjalananmu baru saja dimulai.”

Ketika Ratu Arunika semakin menjauh, cahaya yang mengelilinginya semakin terang, hingga akhirnya menyilaukan mata. Dalam sekejap, ia menghilang, meninggalkan Nathan dalam hening yang menyelimuti.

Sejurus kemudian sekeliling Nathan mulai bergetar, dunia gaib yang dikhayalkan perlahan memudar, dan dia merasa seolah-olah ditarik kembali ke dunia nyata. Hembusan angin lembut menyambutnya, dan suara gemerisik dedaunan terdengar seperti melodi. Ketika dia membuka matanya, Nathan menemukan dirinya kembali di makam Ratu Arunika. Udara malam menyambut dirinya dengan lembut, aroma tanah basah dan dedaunan segar menyatu dalam kesunyian malam.

Dengan perlahan, Nathan menjejakkan kakinya di atas tanah, merasakan setiap butir tanah yang menyatu dengan tekad barunya. Dia berdiri di depan makam Ratu Arunika, tatapan penuh harap menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang berkilauan. Dalam hati, Nathan merasakan beban misi yang harus dia emban, namun di saat yang sama, semangatnya menggelora. Dia tahu bahwa perjalanan ini adalah tantangan yang harus dia hadapi, dan setiap detik yang berlalu semakin menguatkan keinginannya untuk meraih kekuatan yang dijanjikan.

“Sekarang, aku harus bergegas,” bisiknya kepada diri sendiri.

Nathan kemudian mengajak anak buahnya untuk segera bergegas. Mereka tidak bisa berlama-lama di sana. Semua anggota tim segera merespons. Mereka bergerak cepat, membongkar tenda dan merapikan peralatan yang sebelumnya disiapkan. Setiap orang mengambil tugas masing-masing. Dengan keahlian dan ketangkasan, mereka menyelesaikan pekerjaan dengan efisien. Tidak sampai setengah jam, semua barang sudah terorganisir. Mereka melakukan pemeriksaan terakhir, memastikan tidak ada yang tertinggal di tempat tersebut. Setelah semua barang dimasukkan ke dalam mobil, dua van hitam melaju pelan meninggalkan makam Ratu Arunika.

Bersambung​

1 thought on “CERBUNG – NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *