BAB 28
Dua buah van hitam melaju pelan di jalan pedesaan yang sunyi, di tengah subuh menjelang pagi. Jam di dashboard menunjukkan pukul 5:30 pagi, saat langit di ufuk timur mulai sedikit memerah, namun sinar matahari belum cukup kuat untuk menerangi jalan. Udara pagi terasa dingin dan basah, embun masih menempel di daun-daun dan rerumputan liar di pinggir jalan. Kondisi jalan buruk, penuh lubang dan batu yang tersebar tidak beraturan, memaksa kedua van itu berguncang setiap kali roda-rodanya menghantam permukaan yang tidak rata.
Van yang ditumpangi Nathan berhenti di tepi jalan. Nathan keluar tanpa ragu, lalu melangkah masuk ke jalan kecil di samping. Jalan itu dipenuhi semak-semak dan pepohonan lebat di kedua sisinya. Suara langkah Nathan terdengar jelas, mengisi keheningan yang masih menyelimuti pagi. Beberapa menit berlalu, Nathan sampai di depan sebuah rumah sederhana. Suasana di sekitar rumah itu sunyi, hanya terdengar gesekan sapu dengan tanah. Di halaman, seorang gadis sedang menyapu. Pandangannya langsung tertuju pada Nathan yang tiba-tiba datang. Wajahnya sempat menunjukkan keterkejutan, namun dengan cepat ia tersenyum sambil tetap memegang sapu.
“Ratih … Apakah ibumu ada?” tanya Nathan setelah berada di depan sang gadis.
“Ada Tuan … Mari saya antar …” ucap Ratih lembut.
Ratih mempersilakan Nathan masuk tanpa berbicara lebih banyak. Ia berjalan mendahului, membuka pintu dan memberi isyarat agar Nathan masuk. Nathan mengikuti dan segera duduk di lantai yang beralaskan tikar. Baru saja ia duduk, Ratna muncul dari balik pintu. Ia membawa segelas kopi panas di tangannya. Wajah Ratna tampak tenang, seolah sudah mengetahui kedatangan Nathan. Ratna menyambut Nathan dengan anggukan ringan, memberi kesan bahwa ia sudah menunggu. Nathan membalas anggukan itu tanpa bicara. Mereka kini duduk berhadapan, dengan Ratih ikut duduk bersama di antara mereka.
“Saya tidak akan lama-lama di sini, Bu… Saya hanya akan memberikan ini buat Ibu,” ucap Nathan sembari mengeluarkan sebuah amplop panjang berwarna coklat. Nathan menyerahkan amplop itu kepada Ratna dengan kedua tangannya. “Di dalamnya ada uang sebagai tanda terima kasih atas pertolongan yang Ibu berikan saat saya terluka beberapa hari lalu,” lanjut Nathan dengan suara rendah.
Ratna menerima amplop itu sambil berkata, “Sebenarnya saya tidak mengharapkan balasan apapun dengan pertolongan yang saya berikan.” Ia menatap Nathan dengan serius. “Saya menolong karena merasa wajib menolong Mas Nathan saat itu. Saya tidak bisa membiarkan Mas Nathan yang terluka pada saat itu.”
“Terima kasih sekali lagi atas pertolongan Ibu dan Ratih,” ucap Nathan. “Saya pamit untuk pergi.”
Namun, Ratna menahan Nathan, “Tunggu sebentar, Mas. Tinggallah beberapa menit lagi. Saya sudah membuatkan kopi untuk Mas Nathan. Silakan, diminum dulu.” Nathan melihat ke arah Ratna dan tersenyum, merasa hangat dengan tawaran tersebut.
Nathan yang merasa tidak enak hati akhirnya memilih untuk tinggal beberapa menit lagi. Ia mengambil gelas berisi kopi di depannya dan menyeruputnya perlahan.
Ratna mengawali ucapan seriusnya, “Mas… beberapa hari yang lalu, Mas Nathan mengatakan kepada kami bahwa Mas Nathan akan memberi kami pekerjaan jika kami mau ikut ke Jakarta.” Ia menatap Nathan dengan penuh harapan dan melanjutkan, “Kami sudah memutuskan. Ratih akan ikut Mas Nathan ke Jakarta dengan harapan kehidupannya bisa lebih baik.”
“Hanya Ratih?” tanya Nathan sambil menengok kepada Ratih. Nathan kemudian mengalihkan pandangannya kembali kepada Ratna, “Kenapa tidak sekalian saja dengan Ibu?”
Ratna menjawab, “Saya tidak bisa meninggalkan desa ini. Desa ini adalah tempat kelahiran saya yang sangat saya cintai.”
Nathan tersenyum kepada Ratih dan berkata, “Baiklah, Ratih. Segera persiapkan dirimu. Ambil barang-barang yang perlu dibawa. Kita harus berangkat sebelum matahari terlalu tinggi.”
“Baik, Mas …” jawab Ratih sembari bangkit dan berjalan ke kamarnya.
Tiba-tiba Ratna bertanya kepada Nathan, “Maaf Mas … Sebenarnya ada keperluan apa Mas Nathan datang ke desa ini lagi? Apakah memang dikhususkan untuk menjemput kami?”
Nathan menjawab sambil tersenyum, “Aku baru saja mengunjungi makam Ratu Arunika. Pulangnya, aku memang sengaja lewat ke tempat ini.”
Mendengar itu, Ratna langsung terkejut. Wajahnya berubah, matanya menatap Nathan dengan penuh rasa penasaran. “Ada maksud apa Mas Nathan mengunjungi makam Ratu Arunika?” tanya Ratna, suaranya mengandung ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan.
Nathan menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Ceritanya sangat panjang, Bu,” ucapnya dengan nada tenang. “Tidak mungkin aku bisa membuka semuanya di sini. Banyak hal yang tidak mungkin aku ceritakan sekarang.”
Ratna menatap Nathan dengan ragu, kemudian bertanya, “Tuan, apakah semua ini berkaitan dengan Gunung Brajamusti?”
Nathan agak terkejut mendengar pertanyaan itu, namun ia menjawab singkat, “Ya.”
Dengan gugup, Ratna melanjutkan, “Apakah Mas adalah pewaris Gunung Brajamusti?”
Kali ini Nathan yang benar-benar terkejut. Ia menatap Ratna penuh tanda tanya, lalu bertanya, “Darimana Ibu tahu tentang hal itu?”
Ratna menjawab dengan suara pelan, “Saya beberapa kali bermimpi kedatangan pewaris Gunung Brajamusti. Tapi dalam mimpi itu, saya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena wajahnya hitam.”
Nathan menggelengkan kepala sambil berkata, “Sebenarnya, aku tidak menghendaki menjadi pewaris Gunung Brajamusti. Aku merasa terbebani dengan masalah-masalah berat yang menyertai warisan itu.” Ia menghela napas sejenak sebelum melanjutkan, “Kunjunganku ke makam Ratu Arunika adalah untuk meminta bantuan Ratu agar bisa menyelesaikan masalahku.”
Tiba-tiba, Ratna bersujud di depan Nathan. “Maafkan saya, Tuan Agung,” ucapnya dengan suara gemetar. “Saya sudah tidak sopan, saya tidak tahu Tuan adalah pewaris Gunung Brajamusti. Maafkan kelancangan saya.”
Nathan terkejut melihat Ratna bersikap demikian, seolah menganggapnya raja. Ia segera bergerak mendekati Ratna, mengangkat tubuhnya agar tidak bersujud. “Ibu, jangan bertingkah seperti itu,” ucapnya dengan nada lembut namun tegas. “Saya malah tidak suka Ibu bersikap seperti ini. Tolong duduk seperti semula.”
Ratna mengikuti perintah Nathan, lalu duduk kembali dengan melipat kakinya di depan Nathan. “Maafkan saya, Tuan Agung, atas ketidaktahuan saya,” ucapnya sekali lagi dengan nada penuh penyesalan.
“Ibu, tolong berhenti memanggil saya Tuan Agung. Saya bukan raja, dan saya tidak suka diperlakukan seperti itu. Saya hanya ingin kita berbicara seperti biasa. Kenapa Ibu tiba-tiba berperilaku seperti ini? Seolah-olah saya adalah raja Ibu.” Tanya Nathan kemudian.
Ratna menunduk sejenak sebelum menjawab, “Tuan… Penduduk di sekitar Gunung Brajamusti, sejak zaman leluhur, selalu menganggap bahwa pemilik gunung itu adalah raja kami. Itu sudah menjadi tradisi turun-temurun. Kami percaya bahwa pewaris Gunung Brajamusti adalah pemimpin yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Semua orang di desa ini, dan desa-desa sekitar, akan menganggap hal yang sama.” Ratna menatap Nathan dengan penuh penghormatan. “Itulah sebabnya saya bertindak seperti ini. Saya tidak bisa mengabaikan tradisi itu, Tuan. Begitu kami tahu siapa pewarisnya, dia otomatis menjadi raja di mata kami.”
Tak lama, Ratih muncul dari kamarnya. Gadis itu berjalan jongkok perlahan, berhenti di belakang tubuh Ratna. Ratih tampak ragu, pandangannya tertunduk, seolah segan bertemu pandang dengan Nathan. Nathan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Ratih. Ia merasa tidak perlu ada kekakuan di antara mereka, tapi situasinya tetap terasa aneh. Kini suasananya menjadi canggung. Ratih tidak berani menatap Nathan. Sementara itu, Nathan merasa bingung menghadapi sikap ibu dan anak yang tiba-tiba berubah seperti itu, menciptakan jarak di antara mereka yang sebelumnya tidak ada.
“Saya tidak ingin dianggap seperti raja oleh siapa pun,” ucap Nathan tiba-tiba, nadanya serius. “Saya hanya ingin menjadi orang biasa, bergaul seperti orang normal, tanpa rasa canggung.”
Ratna mendekat, wajahnya tenang namun penuh keyakinan. “Tuan, takdir Tuan sudah digariskan oleh leluhur kita. Masyarakat Gunung Brajamusti mengagungkan Prabu Brajamusti dan keturunannya. Tuan tidak akan bisa menghindari takdir itu.” Nathan menarik napas panjang, tidak mengatakan apa-apa. Obrolan terhenti sejenak. Ratna melanjutkan, “Jadi, Tuan, sebenarnya ada apa Tuan mengunjungi makam Ratu Arunika?”
Nathan menoleh ke arahnya, matanya sedikit menyipit. “Saya meminta pertolongan Ratu Arunika untuk menyelesaikan masalahku.”
Ratna mengangguk pelan, seolah-olah menduga jawabannya. “Lalu, apa yang disarankan Ratu Arunika kepada Tuan?”
Nathan terdiam. Ia memalingkan wajahnya. “Saya tidak bisa mengatakan hal itu. Rasanya kurang pantas untuk diutarakan.”
Ratna menatapnya tajam, tak mau menyerah. “Tuan jangan ragu. Katakan saja. Jika saya bisa membantu, saya akan melakukannya.”
Nathan duduk dengan gelisah, pikirannya berputar. Ia menunduk dan menggelengkan kepala. “Saya… tidak sanggup mengatakannya, Bu. Itu… sangat tidak pantas.”
Ratna menatapnya penuh perhatian, mencoba memahami kegelisahan di wajah Nathan. “Seberapa tidak pantasnya, Tuan?” tanyanya, lembut namun tegas. “Sebaiknya Tuan mengatakannya saja. Saya sangat ingin membantu. Berikanlah saya kesempatan untuk melakukannya.” Nathan diam, tetap menghindari tatapan Ratna. “Tolong, Tuan,” lanjut Ratna. “Membantu Tuan adalah kehormatan bagi saya.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Tekanan dalam percakapan itu semakin berat. Nathan merasa gundah. Paksaan Ratna membuatnya tertekan. Hatinya kacau. Rasa malu menguasai dirinya. Nathan tidak sanggup mengungkapkan hal yang dipikirkannya.
“Tuan …” ucap Ratna pelan, menanti jawaban Nathan.
Nathan menarik napas dalam. “Saya diperintahkan untuk mengalahkan Jin Penguasa Gunung Brajamusti,” ucapnya dengan nada berat. “Tapi… saya sadar, saya tidak akan bisa mengalahkannya.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Ratna menatap Nathan dengan tajam, menunggu kelanjutannya. “Lalu, bagaimana kelanjutannya, Tuan?” tanyanya pelan, namun tegas.
Nathan menunduk, tangannya bergetar halus. “Ratu Arunika… bisa melipatgandakan kekuatan saya,” ucap Nathan perlahan, “tapi… hanya jika saya bisa mendapatkan… tiga darah perawan.” Suaranya melemah, keraguan jelas terlihat di wajahnya, seolah ia malu mengucapkannya.
Suasana hening setelah kata-kata Nathan. Ratna terdiam sesaat sebelum berbicara, suaranya terdengar tegas. “Saya bisa membantu Tuan, asalkan Tuan mau berjanji satu hal kepada saya.”
Nathan merasa bingung, “Apa yang harus saya janjikan, Bu? Janji tentang apa?”
Ratna berbicara dengan serius. “Tuan, jika Tuan sudah menjadi penguasa Gunung Brajamusti, saya mohon, bersumpahlah untuk membuka Gerbang Nakaratmak.”
Nathan mengerutkan dahi. “Mengapa saya harus melakukan itu?”
Ratna menjelaskan, “Gerbang Nakaratmak menahan energi yang seharusnya bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Hanya dengan membukanya, Tuan bisa mengubah kehidupan mereka.”
Nathan merasa aneh. “Mengapa energi itu ditutup jika bisa membawa kemaslahatan bagi warga sekitar Gunung Brajamusti?”
Ratih yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. “Tuan, selain membawa kemaslahatan, energi itu juga memiliki dampak negatif.”
Nathan mengangkat alisnya. “Apa dampak negatifnya?”
Ratih menjelaskan, “Dampaknya adalah terkikisnya moral dan etika warga. Energi yang berlebihan bisa membuat mereka terjebak dalam godaan dan mengabaikan nilai-nilai kehidupan.”
Nathan menarik napas dan menyimpulkan, “Jika dampak negatifnya lebih besar daripada kemaslahatan, maka menutup energi itu adalah keputusan yang tepat.”
Kini Ratna menjawab, “Tuan, kemiskinan juga membawa mereka ke dalam kehidupan yang tidak bermoral. Tidak ada bedanya dengan ditutupnya Gerbang Nakaratmak. Banyak sekali kejahatan yang dilakukan warga sekitar Gunung Brajamusti akibat kesulitan ekonomi.”
Nathan mengangguk dan berkata, “Jika alasan ibu hanya sekadar kesulitan ekonomi, saya berjanji akan berusaha memperbaiki kesejahteraan warga sekitar Gunung Brajamusti jika saya telah menjadi penguasa di sini.”
Ratna menggelengkan kepala, tampak ragu. “Tuan, penguasa-penguasa Gunung Brajamusti sebelumnya sudah berusaha mensejahterakan kehidupan warga di sekitar Gunung Brajamusti, tetapi tidak pernah membuat warga hidup senang dan sejahtera. Warga memerlukan energi yang dikurung di Gerbang Nakaratmak untuk menjadikan mereka makmur dan sejahtera.” Dengan tegas, Ratna tetap meminta, “Saya ingin Tuan bersumpah untuk membuka Gerbang Nakaratmak setelah saya menolong Tuan.”
Otak Nathan mulai berputar sangat kencang. Pemikirannya terfokus pada tawaran dan permintaan Ratna. Ratna menawarkan tiga gadis perawan sebagai syarat bagi Nathan untuk mengalahkan Jin Penguasa Gunung Brajamusti. Nathan berpikir tentang kesulitan menemukan tiga gadis perawan yang rela mengorbankan kesuciannya. Jelas tawaran ini tidak bisa ia abaikan begitu saja. Namun, tawaran itu juga disertai syarat membuka Gerbang Nakaratmak. Tindakan ini berpotensi menyebabkan terkikisnya etika dan moral warga sekitar Gunung Brajamusti. Dalam kebisingan pikirannya, Nathan merasakan ketegangan. Merenung dalam keheningan, ia berusaha menimbang segala kemungkinan. Naumin bila membuka Gerbang Nakaratmak dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga, mungkin tawaran dan permintaan Ratna patut diterimanya. Akhirnya, keberanian muncul dalam dirinya. Ia bertekad untuk mengambil langkah yang berani, meskipun risiko menyertainya.
“Saya berjanji, jika saya menjadi penguasa Gunung Brajamusti, saya akan membuka Gerbang Nakaratmak,” ucap Nathan. Suaranya mantap, menunjukkan keyakinan yang dalam. “Membuka gerbang itu akan memberi warga kesempatan untuk hidup lebih baik. Saya paham ada risiko yang menyertainya, tetapi saya akan membukanya. Warga sudah cukup menderita, dan mereka pantas mendapatkan kehidupan yang sejahtera,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Terima kasih Tuan … Saya sangat menghargai keputusan Tuan … Tetapi, maaf sebelumnya. Bolehkah saya tahu nama ayah Tuan Nathan. Maksud saya untuk meyakinkan diri saya bahwa Tuan adalah benar-benar calon penguasa Gunung Brajamusti,” tanya Ratna dengan nada hati-hati, seolah ingin memastikan sesuatu yang penting.
“Nama ayah saya adalah Permana …” jawab Nathan tanpa ragu.
Ratna mengangguk perlahan sambil tersenyum, merasa lega dengan keputusan Nathan. “Terima kasih, Tuan. Saya percaya, Tuan adalah calon penguasa Gunung Brajamusti. Dan saya berharap Tuan akan menjadi penguasa yang diharapkan. Saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu Tuan mencapai tujuan ini. Kalau begitu, ijinkan saya untuk mencari tiga gadis perawan untuk memenuhi syarat ini.”
Tiba-tiba Ratih berkata, “Biarkan aku menjadi yang pertama, Bu …”
Ratna menoleh ke arah putrinya lalu berkata, “Apakah kamu benar-benar menginginkannya?”
“Demi kemakmuran masyarakat kita, Bu … Biarkan aku menjadi gadis yang pertama untuk Tuan Nathan,” suara Ratih penuh keyakinan.
Ratna menghela napas, mencoba memahami keputusan putrinya. “Kamu harus memikirkan semua konsekuensinya,” Ratna mengingatkan.
“Aku sudah memikirkannya, Bu. Aku siap mengorbankan diriku. Lagi pula …” Ratih menjawab sambil menunduk dan mengulum senyumnya.
“Lagi pula apa?” tanya Ratna terheran-heran melihat sikap Ratih.
“Tuan Nathan kan tampan …” suara Ratih pelan nyaris tak terdengar.
Ratna pun tersenyum mendengar pengakuan putrinya itu dan berkata, “Kalau begitu … Ajak Tuanmu ke kamarmu,” ucap Ratna sambil berdiri lalu pergi ke arah belakang rumahnya.
Nathan memfokuskan perhatian pada wajah Ratih. Wajahnya terlihat cantik dan imut, menggambarkan sifat manis yang dimiliki. Tubuh Ratih tampak langsing, dengan tinggi kurang dari 155 cm. Dada yang kecil dan agak rata membuatnya serasi dengan postur tubuhnya yang mungil. Ratih yang diperhatikan Nathan hanya menunduk sambil tersenyum kecil, senyumnya menunjukkan rasa senang sekaligus menambah kesan manis pada dirinya. Keceriaan dan ketulusan dalam senyum Ratih membuat Nathan tertegun.
“Kamu benar-benar ingin melakukannya? Tanya Nathan pada Ratih ingin kepastian.
Ratih menatap Nathan dengan penuh keyakinan. “Saya sangat yakin dengan keputusan ini.” Suaranya tegas, tanpa ragu.
“Baiklah … Tapi aku ingin mengabarkan anak buahku dulu …” ujar Nathan lalu berdiri dan meninggalkan rumah Ratih tanpa menunggu jawaban dari gadis itu.
Nathan melangkah keluar dengan cepat, meninggalkan jalan kecil di depan rumah Ratih. Ia menuju jalan desa, tempat Raka dan anak buahnya telah menunggu. Di sana, tanpa basa-basi, Nathan berdiri di hadapan Raka. Dengan nada tegas, ia memerintahkan Raka dan pasukannya untuk berjaga di sekitar kampung. Raka segera merespons perintah itu tanpa bertanya, langsung mengarahkan anak buahnya untuk menyebar ke berbagai penjuru. Setelah memastikan perintahnya dipatuhi, Nathan segera kembali menuju rumah Ratih.
Nathan melangkah masuk ke rumah Ratih, suasana di dalam tampak sepi. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Ratih di ruang depan. Ia memanggil nama Ratih, berharap mendapat jawaban. Hening sejenak, kemudian terdengar suara Ratih dari dalam sebuah kamar. Nathan menghela napas sebelum memutuskan untuk menutup pintu rumah dengan hati-hati. Setelah itu, ia melangkah perlahan menuju kamar Ratih, mengikuti arah suara tadi.
Nathan melangkah masuk ke ruangan kecil, suasana di dalamnya terasa sunyi. Ratih terbaring di atas tempat tidur, tubuhnya tertutup selimut kain. Ekspresinya tetap tenang, tampak tegar tanpa rasa cemas. Ada keteguhan yang jelas di wajahnya. Nathan mendekat, berhenti di tepi tempat tidur. Tanpa bicara, ia duduk di sisi tubuh Ratih.
“Ratih … Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi rasanya aku sedang mendapatkan anugerah bukan masalah. Jika kamu akan mundur, kini saatnya kamu mundur. Aku tidak ingin kamu menyesal,” ucap Nathan sangat lembut.
“Lakukan saja Tuan … Percayalah, aku sama sekali tidak menyesal,” jawab Ratih teguh dengan pendiriannya.
“Baiklah …” respon Nathan sambil tersenyum sambil mencubit hidung gadis itu.
Dengan paras wajah Ratih yang begitu cantik dipadu dengan bentuk hidungnya yang mancung itu semakin menambah manis wajah sang gadis yang mungil tersebut secara proporsional. Ratih hanya tersenyum sambil tertawa kecil saja ketika ujung hidungnya dicubit lembut oleh Nathan. Sensasi hangat bercampur geli yang dirasakan oleh sang gadis tak hanya menggelitik tubuhnya namun juga jiwanya. Dengan pipinya yang memerah halus, Ratih mencoba menahan gejolak yang merambat di hatinya. Matanya bersinar bak bintang di langit malam, menatap lembut ke arah Nathan yang duduk di depannya.
“Selalu seperti ini ya, Tuan,” Ratih berbisik pelan, suaranya lembut bagaikan angin sepoi-sepoi yang menyelinap di antara dedaunan. Nathan hanya tersenyum, seolah memberi jawaban tanpa kata-kata.
Nathan dengan lembut membelai rambut Ratih, sementara tangan kirinya mulai bergerak perlahan, seakan tak ingin hanya diam. Dengan gerakan halus, tangan Nathan menyusup masuk ke dalam selimut, menuju bagian dadanya. Sebuah senyum tersungging di wajah Nathan saat ia menyadari bahwa Ratih tak lagi mengenakan pakaian. Meskipun sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi, Ratih tidak memberikan perlawanan. Ia hanya terdiam, membiarkan sentuhan lelaki itu, seolah menerima kehadiran tangan Nathan yang nakal di balik selimut yang membungkus tubuhnya.
Akhirnya tangan Nathan pun sampai di tujuannya dan menyentuh buah dada ukuran mini milik Ratih yang pas dapat ditutup dengan sempurna oleh telapak tangannya. Nathan perlahan memijat dan meremas dengan lembut kedua gundukan kecil yang terasa begitu kenyal dan elastis di dalam genggaman telapak tangan kirinya sambil menatap mata Ratih yang juga sedang melihat ke wajah Nathan.
“Aku berjanji akan memberimu pengalaman yang tidak akan pernah akan kamu lupakan,” ucap Nathan sambil tersenyum.
Ratih hanya menganggukan kepalanya perlahan dan membalas pernyataan Nathan dengan sebuah senyuman manis di wajahnya, pertanda bahwa sang gadis setuju-setuju saja dengan apapun yang akan dilakukan oleh pemuda tampan itu. Nathan pun pelan-pelan menarik kedua tangannya dari kepala dan dada Ratih sembari dengan perlahan mulai menyingkap selimut yang sedari tadi telah menutupi tubuh bugil milik Ratih. Setelah selimut yang membungkus tubuh telanjangnya tersingkap, memamerkan segala keindahan yang tersembunyi di baliknya, Nathan pun kembali mengelus bagian dada sang gadis, sambil menaruh kepala Ratih dengan lembut di atas pangkuannya.
Tak lama berselang, nafas Ratih memanas diburu oleh nafsu tatkala dirinya menikmati setiap belaian lembut di kepalanya dan pijatan serta remasan-remasan halus di payudaranya. Pentil merah muda milik sang gadis mulai mengeras di kedua puncak bukit di dadanya yang berwarna putih seperti susu. Pemandangan indah ini tak ayal membuat rudal balistik milik Nathan ikut menegang dan mengeras dengan panas sambil berkedut-kedut berontak di dalam celananya. Misil Nathan yang telah menegang dan mulai terisi dengan muatan panas itu tak pelak lagi mengenai kepala sang gadis yang berada di atas pangkuan paha Nathan ketika si adik kecil dengan nakal memberontak berusaha keluar dari celana pemuda itu. Nafsu Nathan dan Ratih perlahan tumbuh semakin besar hingga kedua insan itu tak sanggup lagi membendung hasrat nafsu yang membara berkobar-kobar di dalam hati mereka berdua.
“Ratih sayang… Berbaring lah di bantal ini…” kata Nathan kepada Ratih sambil mengambil bantal yang tadinya terhempas ke sisi lain tempat tidur dan mulai mengatur posisi bantal tersebut agar cukup tinggi tetapi tetap nyaman untuk menjadi tempat berbaring bagi kepala Ratih.
Ratih kembali menatap Nathan tanpa sepatah kata pun sambil mengangkat kepalanya dari pangkuan Nathan, membuat pemuda itu kembali bebas bergerak dan mulai bergerak turun dari tempat tidur lalu berdiri di atas lantai. Ratih mengikuti segala keinginan dan permintaan Nathan, dengan patuh, dirinya membaringkan tubuh bugilnya yang kini tak tertutup selimut dan menaruh kepalanya di atas bantal yang telah disusun oleh Nathan. Ada kemilau harap-harap cemas yang terlihat membara di mata sang gadis saat dirinya sedang menatap sang lelaki yang kini berdiri di hadapan dirinya.
Setelah gadis itu berbaring menghadap ke atas, Nathan perlahan melepaskan seluruh pakaiannya, menunjukkan tubuhnya yang sepenuhnya terbuka di hadapan Ratih. Ratih terbelalak, memandang kejantanan Nathan yang telah keras dan tegang. Nathan kemudian mendekati gadis itu dan mulai merangkak di atas kasur, menindihi tubuhnya yang lembut dari atas.
Dengan sebuah tatapan penuh kasih, Nathan mengecup lembut bibir mungil Ratih dan perlahan kepalanya bergerak turun menyusuri dagu sang gadis, lalu lebih turun lagi menciumi dan mengecup leher sang gadis yang terasa hangat dengan kulit lembut mulus yang berwarna putih. Nathan mengecup dan menghisapi sekujur leher Ratih dan setiap lekak-lekuk di leher sang gadis hingga kulitnya yang berwarna putih susu perlahan berubah warna menjadi merah muda. Desahan nakal dan erangan penuh nikmat yang keluar dari bibir mungil Ratih menghembuskan nafasnya yang panas penuh dengan nafsu membuat Nathan semakin bersemangat dan dengan bertubi-tubi semakin manjadi-jadi menciumi setiap jengkal kulit di leher dan dada Ratih.
Hingga akhirnya sampai lah Nathan di kedua buah bukit kecil yang terbentang di atas dada Ratih. Dengan penuh semangat, Nathan segera saja melumat kedua buah dada sang gadis yang telah bebas terbuka sedari tadi sambil naik dan turun dengan gerakan yang sangat erotis menggoda mata seiring dengan nafas nafsu Ratih yang sedang terengah-engah di tengah desahan dan erangan yang terdengar begitu nakal dan kontras dengan wajah polos nan manis milik si gadis. Kuluman Nathan mengarah pada kedua buah puting susu Ratih dan Nathan dengan nakal menghisap kedua butir mutiara merah muda itu sambil sesekali menjilati area di sekitar buah dada sang gadis.
Ratih hanya sanggup mengeluarkan erangan dan desahan-desahan kecil sambil menutup kedua pelupuk matanya. Rasa malu karena tubul bugilnya sedang dipermainkan oleh pemuda tampan yang baru dikenalnya itu bercampur dengan rasa geli-geli nikmat yang diberikan oleh Nathan dengan permainan lidah di sekitar dadanya yang masih berukuran mini tersebut. Dengan perlahan kedua puting Ratih yang telah basah oleh ciuman, jilatan dan hisapan Nathan pun semakin mengeras dan menonjol, karena menerima rangsangan nakal dari permainan panas lidah Nathan.
Dengan perlahan, Nathan membawa wajahnya mendekat dengan wajah manis nan cantik Ratih hingga napas mereka bisa kembali bertemu. Dengan gerakan yang lembut, Nathan merangkul tubuh telanjang Ratih yang terbaring di atas ranjang. Ratih yang merasakan hangatnya pelukan penuh kasih Nathan perlahan membuka kedua pelupuk matanya dan memandangi kedua mata sang pemuda tampan pewaris Gunung Brajamusti itu. Ia tidak percaya akan mendapat perlakuan tersebut dari pewaris Gunung Brajamusti dan merasakan kebanggaan tersendiri. Ratih kemudian melingkarkan kedua tangan mungilnya ke leher sang pemuda tampan, memantapkan rangkulan mereka berdua sembari kembali menutup matanya dan menyodorkan bibirnya yang terlihat manis mengkilap itu.
Nathan pun dengan penuh suka cita, menciumi bibir Ratih, ciuman mesra yang begitu manis penuh dengan kasih pada awalnya, sebelum dengan perlahan, lidah Nathan masuk menyusup ke dalam rongga mulut Ratih yang begitu hangat, sempit dan basah. Dengan penuh nafsu, diajaknya lidah Ratih untuk turut serta dalam tarian nakal lidah Nathan, yang perlahan-lahan gerakannya menjadi semakin intens dan panas, seolah ingin mengacak-acak seisi mulut kecil milik sang gadis. Ratih memeluk Nathan semakin erat dan menuruti segala perlakuan yang diberikan oleh Nathan kepada dirinya. Kesadaran Ratih semakin memudar tatkala setiap hembusan nafasnya dihisap dan disedot oleh Nathan. Dada kecil milik Ratih terasa semakin sesak dan mulutnya yang mungil dilahap habis-habisan oleh Nathan, membuat Ratih kehilangan segala kemampuan berpikirnya dan jiwanya tenggelam dalam gelombang birahi dan hasrat yang membara.
Setelah puas membuat Ratih menjadi setengah pingsan tak berdaya karena hasrat dan nafsunya, baru lah Nathan melepaskan ciuman maut dan pelukannya dari tubuh Ratih yang kini terbaring lemas di atas ranjangnya dengan nafas yang terputus-putus dan tatapan mata yang nanar memandangi langit-langit kamarnya. Nathan menatap pemandangan indah hasil karyanya ini sambil perlahan menciumi sekujur tubuh sang gadis. Mulai dari mulut, lalu turun hingga ke lehernya yang hangat, kemudian turun lagi menciumi kedua buah dada Ratih yang masih naik turun dengan tidak teratur. Dengan perlahan, Nathan bergerak menciumi tubuh Ratih semakin ke bawah, dihisapnya pusar sang gadis yang terlihat sebagai cekungan indah yang begitu bersih di tengah perutnya yang putih mulus itu. Sensasi geli bercampur hangat yang dirasakan oleh Ratih membuatnya tertawa kecil sambil sesekali mendesah terengah-engah karena nafasnya yang masih tidak stabil.
Akhirnya setelah puas berpetualang menjelajahi setiap wilayah di dada dan perut Ratih, kini Nathan pun bergerak semakin turun hingga akhirnya dia sampai di selangkangan Ratih yang basah dan becek tersebut. Dengan perlahan, Nathan membuka kedua kaki Ratih yang lemas ke samping. Dengan tanpa perlawanan, Ratih kini telah dibuat mengangkang di atas ranjang oleh Nathan, kedua belah pahanya yang putih dan mulus itu masing-masing sudah dipegangi oleh tangan-tangan jahil Nathan. Dengan kedua belah pahanya yang terbuka, Ratih yang kini tanpa pertahanan sedikit pun hanya bisa pasrah saja ketika dirinya merasakan bahwa bibir Nathan dengan perlahan telah mengarah semakin dekat menuju ke tengah-tengah selangkangannya.
Ratih yang masih terbaring lemas di atas ranjang dengan susah payah mendongakkan kepalanya ke arah Nathan. Ketika dilihat oleh Ratih bahwa kini bibir Nathan hanya berjarak satu senti saja dengan bibir vaginanya, maka dengan penuh rasa gugup Ratih mulai membuka mulutnya dan mengeluarkan kata-kata yang terpatah-patah karena otaknya yang tak sanggup untuk berfungsi dengan maksimal.
“Tuan… Tuan… Itu mau diapain … Uhhmmm… Jangan … jangan… Tuan…” Kata Ratih dengan terbata-bata sambil sedikit bernada manja.
Nathan menghentikan pergerakannya dan kini memandangi Ratih yang sedang merengek dengan manja padanya sambil mengkerutkan bibirnya yang mungil dan manis itu. Nathan hanya menyunggingkan senyum kepada Ratih dan mulai berkata-kata untuk berusaha menenangkan hati Ratih.
“Aku cuma mau buat kamu merasa nikmat, santai aja ya… Kamu cukup menikmati semua yang akan aku berikan padamu…” kata Nathan sambil setengah merayu dan mencoba untuk meyakinkan Ratih.
Ratih hanya terdiam saja mendengarkan rayuan manis Nathan, sementara Nathan yang menganggap hal tersebut sebagai pertanda bahwa Ratih telah setuju itu pun mulai menjulurkan lidahnya dengan perlahan untuk meraih bagian tengah selangkangan Ratih. Kembang perawannyanya yang masih menguncup tampak merona dengan warna merah muda yang begitu menggoda.
Dengan jari-jemarinya, Nathan perlahan memijat lembut kedua belah bibir yang berada di tengah-tengah selangkangan Ratih. Kedua gerbang yang terlihat begitu rapat tersebut perlahan mulai menjadi lembut dan rileks, melonggar karena kenikmatan yang diberikan oleh pijatan lembut jari-jemari Nathan. Dengan perlahan, Nathan pun menggunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya untuk memisahkan kedua belah bibir yang sedari tadi masih menutup dengan rapat untuk menyembunyikan sebuah lubang kecil yang hanya muat untuk dimasuki oleh satu jari kelingkingnya saja.
Nafas panas Nathan yang berhembus masuk ke dalam liang cinta Ratih yang telah tersingkap dengan selebar-lebarnya tersebut membuat seluruh tubuh Ratih kian memanas dan bergetar penuh antisipasi pada apa yang akan selanjutnnya dilakukan oleh pemuda tampan itu. Lidah Nathan yang awalnya hanya menjilati kelopak bibir vagina Ratih dengan perlahan kini masuk sedikit demi sedikit ke dalam lubang hangat nan basah dan lembab yang tersembunyi di baliknya. Dengan penuh hasrat, Nathan menjilati dengan lembut mulut vagina perawan Ratih yang tak ayal membuat tubuh telanjang yang masih terbaring lemas di atas ranjang semakin memanas dan mengejang ngangkang di atas kasur sambil bergetar-getar dengan penuh kenikmatan.
“Ahhhh… Ahhh… Huuuff… Tuan… Dirimu ngapain… hhhuuuu huuu huufff… Jangan… jangaaannn… Ahhhh… Ahhh… Huuuff… hhhuuuu huuu….” kata Ratih dengan terbata-bata akibat nafasnya yang putus -putus sambil menahan sensasi kenikmatan yang diberikan oleh lidah panas Nathan di liang cintanya yang hangat, sempit, basah dan lembab itu.
Nathan terus menjilati seisi lubang perawan milik Ratih sambil sesekali membawa lidahnya keluar dan menghisap-hisap klitoris Ratih yang sudah keluar dari persembunyiannya bagaikan mutiara merah muda kecil di tengah lembah keindahan.
“Aaaahhhhhh… Eeennnaaak… Ini enaak sekali, Tuan…Aahhh… Sa..saya tak pernah tahu kalau yang seperti ini rasanya begitu nikmat begini… Tuan…. Oohhhh…” Kata Ratih yang mengerang semakin menjadi-jadi sambil menikmati setiap permainan lidah Nathan di dalam liang cintanya.
Tangannya Ratih yang tadinya masih begitu lunglai terkulai di samping tubuhnya kini memegangi kepala Nathan dan ditekan-tekannya ke bawah hingga bibir Nathan terus menempel tak bisa lepas dari selakangan Ratih. Lubang cinta Ratih yang begitu sempit itu pun dengan penuh suka cita berkedut-kedut penuh nikmat menjepit lidah Nathan yang memberontak dengan liar berusaha mengacak-acak seisi liang perawannya.
“Uuhhhh… Yeaaahh… Terus… Terusss… Ahh… Enak Tuan… Ohh… Uhh aaggrrhh.. Uhh… ahhh aahhh aaahhhh….!” Erangan dan desahan panas Ratih pun menjadi semakin menjadi-jadi, nadanya terdengar semakin nakal seiring dengan berjalannya nafsu.
Bibir mungil Ratih terbuka lebar, mengeluarkan kata-kata yang penuh dengan nafsu, yang terlihat kontras dengan wajah manis dan polos miliknya. Tubuh bugil Ratih, tanpa sehelai benang pun yang menutupi, semakin membangkitkan semangat Nathan untuk mempermainkan lidahnya di dalam lubang perawan Ratih. Kini, mulutnya sepenuhnya melahap kembang cinta Ratih, dengan kedua belah kelopak bibir kewanitaannya berciuman dengan intens. Lidah panas Nathan menari-nari di dalam lubang perawan Ratih, yang menjepitnya dengan segenap otot-otot di sepanjang dinding liang cintanya.
Tubuh Ratih semakin panas bergetar dihantam oleh gelombang demi gelombang kenikmatan. Pinggul ramping sang gadis pun turut serta bergejolak dengan hebat naik dan turun mengikuti intensitas permainan lidah Nathan di dalam lubang perawannya. Selama lebih dari delapan menit Ratih merasakan sensasi luar biasa tersebut hingga pada akhirnya tubuh mungilnya mengejang dengan hebat dan matanya yang bundar terbuka lebar sambil membelalak.
“AAAARRGGGHHHH… AAAAAAAGGGGG… AAAAAAAGGGGGHHHH… UHH…” orgasme yang luar biasa membuat bibir mungilnya membuka selebar mungkin mengeluarkan teriakan lirih yang keluar dari mulutnya yang telah hampir kehabisan nafas.
Ratih terbaring lemas berkedut-kedut di atas ranjang. Sementara Nathan melepaskan mulutnya yang sedari tadi telah dengan puas melahap seluruh bagian lubang perawan Ratih dari luar dan dalam. Cairan bening keputih-putihan yang keluar dari lubang perawan milik Ratih kemudian diambil oleh Nathan dan dipakainya untuk melumasi kejantanan dirinya yang telah berdiri dengan tegak penuh nafsu melihat pemandangan indah di hadapan dirinya kini. Nathan memegangi kedua belah paha putih nan mulus milik Ratih dan membuka kedua kaki sang gadis lebar-lebar hingga lembah perawan yang berada di tengah-tengah selangkangannya terpamerkan tanpa ada yang bisa disembunyikan sedikit pun.
Tatapan panas yang diberikan oleh Nathan di area pribadinya membuat tubuh Ratih ikut memanas dibakar nafsu. Ditatapnya sang pemuda tampan yang sedang memelototi selangkangannya yang terbuka lebar mengangkang memamerkan segala keindahan yang biasanya disembunyikan dari dunia. Nathan yang merasakan tatapan Ratih pun menoleh ke arah wajahnya dan dilihatnya gadis itu kini sedang memberinya tatapan basah dan malu-malu.
Nathan tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke wajah Ratih. Dikecupnya lembut bibir Ratih yang membuat pikiran Ratih terasa semakin ringan melayang sembari mengeluarkan rayuan manis dari mulut gombalnya. Sementara itu, satu tangan Nathan dengan lembut mengelus-elus kepala si gadis dan sebelah tangannya lagi dengan nakal mengusap-usap area pribadi milik Ratih yang masih perawan belum pernah dimasuki oleh lelaki mana pun seumur hidupnya.
“Ratih sayang…. Aku masukin ya…” Bisik Nathan di telinga Ratih, dengan nada lembut nan menggoda yang membuat otak Ratih serasa meleleh mendengarnya.
“Ahh…. Akan sakit ya Tuan…”
Ratih yang membayangkan akan seperti apa rasanya kalau rudal milik Nathan yang besar dan panjang itu masuk ke dalam lubangnya yang cuma sebesar jari kelingking merasa takut dan cemas.
“Tenang saja, aku akan pelan-pelan… Rilekskan dirimu, sayang… jangan tegang…”
Nathan kembali mengecup bibir Ratih dan kembali menyusuri seluruh tubuhnya dengan mulutnya, memberikan ciuman lembut dari mulut ke leher, lalu ke dada dan turun ke perut, hingga berakhir ke selangkangan Ratih. Nathan bangkit dan meraih tangan kiri Ratih dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya memegangi organ kelaminnya sendiri yang telah dilumasi oleh cairan cinta Ratih. Dengan perlahan, Nathan mendekatkan rudalnya menuju lubang perawan milik Ratih dan mulai menekan-nekan bibir vaginanya, seolah sedang mengetuk-ngetuk pintu ingin permisi untuk masuk ke dalam. Ratih menggigit bibir bagian bawahnya sambil menatap Nathan dan menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Sedikit demi sedikit, tombak keperkasaan milik Nathan maju dengan perlahan berusaha menembus tebalnya pertahanan yang dimiliki oleh dinding vagina sang perawan yang begitu sempit dan rapat.
“Aauuuu.. Pelan-pelan Tuan… uuhh,.. uhuk… uhhuk….” erang Ratih dengan lirih menahan sakit dan perih yang dirasakan oleh dirinya.
Rasa perih bagaikan ditusuk sembilu itu membuat lubang perawannya secara refleks mengeluarkan cairan bening seperti mata yang menangis mengeluarkan air mata saat sedang perih. Nathan dengan penuh perhatian pun menghentikan laju tusukan tombaknya dan membiarkan cairan yang keluar merembes dari dinding vagina sang perawan untuk melumasi lagi setiap bagian dari tombak yang telah tertanam di dalam liang cinta sang gadis secara alami. Setelah Nathan merasa tombaknya sudah cukup basah dan Ratih pun telah terbiasa menerima bagian ujung tombaknya di dalam lubang perawannya, maka sambil menelan air liur Nathan melanjutkan kembali usahanya untuk menembus dinding keperawanan Ratih.
Dengan perlahan tapi pasti dia tekan maju tombaknya secara perlahan-lahan, menembus setiap resistensi yang ada di dalam lubang yang terasa begitu sempit, kencang, basah dan lembab serta belum terjamah oleh siapa pun ini. Hingga akhirnya, ujung tombak Nathan pun membentur sebuah membran tipis yang hanya ada sekali seumur hidup. Tahu lah Nathan, bahwa ini adalah apa yang disebut sebagai selaput dara.
Ditatapnya Ratih yang juga sedang menatap mata Nathan dengan pelupuk mata yang basah berlinang air mata. Ada ekspresi penuh harapan bercampur kecemasan di mata indah milik Ratih. Akhirnya, dengan penuh semangat, Nathan pun menyodokkan tombaknya ke dalam lubang perawan milik Ratih dalam sekali hentakan. Dengan sangat efektif, tembok sakral yang menandakan kesucian Ratih pun telah hancur tertembus tombak perkasa milik Nathan.
“Aaaahhhhhh… Aduhhh Tuan, saaaakkiitt…” jeritan perih Ratih menggema memenuhi seisi ruangan saat kejantanan milik Nathan ambles masuk ke lubang cintanya, menembus selaput dara tanda keperawanannya, dan merenggut kesucian tubuhnya.
Nathan menggerakan tombak miliknya maju mundur perlahan-lahan mencari posisi yang enak sambil memeluk tubuh mungil Ratih erat-erat. Ratih menggigit pundak Nathan sambil memeluk punggung pemuda itu kuat-kuat sebagai pelampiasan untuk mengurangi rasa sakit bercampur perih yang dirasakan oleh dirinya yang baru saja kehilangan keperawanan. Nathan merasakan sesuatu yang begitu hangat di sekitar batang penisnya. Dengan refleks, dilihatnya ke bawah dan dilihatnya penis yang sedang menancap dalam-dalam di lubang cinta Ratih kini telah basah berlumuran cairan merah.
Tiba-tiba, Nathan merasakan sesuatu yang tidak biasa mengalir melalui tubuhnya, seolah sebuah energi gaib menyusup ke dalam dirinya, mengisi setiap sel dan urat nadi. Rasanya seperti aliran arus listrik yang hangat, memicu sensasi luar biasa yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Cahaya lembut berpendar di sekelilingnya, menciptakan aura mistis yang membuat jiwanya bergetar. Dia merasa seakan-akan ada kekuatan yang lebih besar mengendalikan dirinya, menariknya ke arah yang tak bisa ia pahami. Dalam keheningan, Nathan tertegun, seolah terhubung dengan alam semesta dan segala misterinya, di mana batas antara realitas dan magis mengabur.
“Apakah ini yang dimaksud Ratu Arunika?” gumam Nathan dalam hati.
Lamunan Nathan buyar ketika mendengar erangan Ratih di bawahnya, “Ahhhhh… Huumm… Tuan… Uhh ooohhh…” Ratih mendesah penuh kepedihan sambil tak henti-hentinya menggigit pundak Nathan.
“Maafkan aku, sayang …” lirih Nathan.
Kedua tangan mungil Ratih yang mencengkeram kuat-kuat punggung Nathan pun juga ikut membenamkan kukunya ke dalam kulit di punggung Nathan. Nathan balas dengan mengelus lembut kepala Ratih sambil mengusap-usap punggung mulus Ratih dengan sensasi lekukan yang membuat kejantanan yang kini sedang tertancap di dalam liang cinta Ratih semakin keras dan membesar. Diciuminya bibir Ratih dan Nathan dengan penuh nafsu pun melahap seisi mulut Ratih, menelan segala desahan dan erangan dari si gadis dan membenamkan dirinya dalam sensasi nikmat yang begitu memabukkan.
Nathan terus memberikan stimulus terhadap Ratih dengan ciuman dan belaian agar rasa sakit dan perih yang dideritanya hilang. Dengan perlahan, rasa sakit dan perih yang dirasakan oleh Ratih pun kini telah sirna, digantikan oleh nikmatnya goyangan penis Nathan di dalam liang cintanya yang sempit. Sedikit demi sedikit, penis tersebut bergerak semakin cepat maju mundur menusuk dan menggesek-gesek setiap bagian di dalam lubang kenikmatan Ratih, mengirimkan sensasi nikmat yang tak tertahankan yang mengguyur kedua insan yang sedang bergumul di atas ranjang tersebut.
“Uuhhh… Ahahh… Ah… ah… ahhnn….” erangan nakal dan desahan panas tak henti-hentinya keluar dari bibir Ratih mengikuti irama tusukan penis Nathan di dalam lubang cintanya yang masih bersimbah darah perawan.
Nathan begitu menikmati sensasi nikmat dari kejantanannya yang bergesekan dengan lubang sempit nan basah dan lembab. Segenap otot-otot yang menempel di sepanjang dinding vagina Ratih dengan penuh semangat tanpa istirahat terus-menerus memijiti instrumen kenikmatan milik Nathan yang telah menancap menembus begitu dalam hingga ke ujungnya. Ratih mengerang dan mendesah sambil tubuhnya berkontraksi dengan hebat di tengah-tengah semburan air hangat yang muncul secara berkala setiap kali instrumen kenikmatan milik Nathan membentur titik-titik kenikmatan di area paling pribadi milik Ratih.
Cairan kental hangat berwarna bening perlahan mulai tercampur dengan rembesan darah perawan Ratih akibat penetrasi Nathan. Campuran ini melumasi gerakan penis Nathan, memudahkan pergerakannya untuk bergumul dengan otot-otot di sepanjang dinding vagina Ratih. Dengan ketat, dinding tersebut menjepit dan meremas penis Nathan, memberikan sensasi nikmat yang luar biasa kepada Ratih, yang kini semakin sensitif di area pribadinya.
Ratih mengalami orgasme ringan setiap kali ujung penis Nathan membentur bagian terdalam di lubang cintanya, yang membuat seluruh tubuhnya mengejang serta berkedut hebat dan dinding vaginanya mengencang dengan begitu luar biasa hingga menjepit dan meremas penis Nathan yang sedang menyetubuhinya itu. Vagina Ratih menggenggam erat penis Nathan yang terperangkap di dalamnya dengan begitu rapat, seolah tidak ingin melepaskannya bahkan walau hanya untuk sekejap mata saja.
Selama hampir 15 menit, Nathan menikmati setiap kedutan, pijatan, remasan, dan kontraksi dari segenap otot-otot liat nan kuat yang berada di sepanjang dinding vagina Ratih yang dengan begitu penuh nafsu menjebak setiap bagian dari penis yang terperangkap dalam jeratan basahnya dari ujung hingga ke pangkal. Nathan dengan semakin bersemangat memacu penisnya untuk melaju semakin kencang, maju dan mundur secara mantap mengacak-acak seluruh isi lubang cinta Ratih yang baru saja kehilangan keperawannnya itu sembari kedua tangannya membawa tubuh Ratih untuk masuk ke dalam rangkulannya.
Kedua insan yang bergumul dengan penuh gairah di atas ranjang mulai saling berpelukan, pelukan yang semakin erat bagaikan dua ular python yang sedang berkelahi demi supremasi. Sesekali, Nathan melumat bibir mungil Ratih, yang terus-menerus mengeluarkan desahan panas dan erangan basah, mengungkapkan hasrat yang membara akibat kenikmatan luar biasa yang mengacak-acak tubuh, pikiran, dan jiwanya. Kedua tangan Nathan sigap meremas-remas dada Ratih yang masih mengkal, semakin membuat si gadis terbenam dalam lembah kenikmatan nafsu duniawi.
“Aaahh … Aaahh … Tuan … Enak sekali Tuan …” desah Ratih.
Ratih semakin mengencangkan otot-otot vaginanya, menjepit penis Nathan dengan erat, memberikan sensasi kenikmatan luar biasa. Setiap pijatan, kedutan, dan remasan di setiap bagian organ kelamin mereka yang telah menyatu dari pangkal ke ujung menciptakan gelombang hasrat. Mata mereka saling bertatapan, dipenuhi nafsu satu sama lain. Tak lama, bibir mereka berpagutan, seolah berebut mencuri hembusan napas hasrat dari mulut pasangan. Tangan mereka dengan liar saling meraba sekujur tubuh, tidak ada area yang terlewat. Setiap tempat dalam jangkauan tangan mereka pun menjadi sasaran eksplorasi dan eksploitasi penuh hasrat.
“Ahh, Nikmat nya… enak sekali Tuan… Aa.. ak.. aku mau kel.. kelluuu.. aarr lagi.. Ahhhhhh…” desahan panjang Ratih bercampur dengan kata-kata sayang keluar dari mulut manisnya mengiringi orgasme luar biasa yang dirasakan oleh Ratih tatkala ujung penis Nathan telah membentur bagian terdalam di lubang vaginanya dan dengan paksa menghantam dengan kuat dinding rahim Ratih.
Tubuh Ratih bergetar dengan hebat ketika dirinya merasakan sensasi kenikmatan luar biasa yang dirasakan oleh rahim dan vaginanya yang telah menjadi begitu sensitif dihantam dengan sepenuh tenaga oleh penis Nathan yang perkasa. Tubuhnya mengejang dan menegang hingga dadanya membusung ke atas sementara kedua tagan mungilnya mencengkram kuat-kuat punggung dan ke leher Nathan. Kedua mata Ratih yang seindah permata itu pun ikut tergulir ke atas membuat ekspresi nikmat yang begitu luar biasa.
Nathan yang juga sudah berada di ujung puncak kenikmatan itu pun juga dengan semakin gencar penuh semangat terus menggencot vagina Ratih hingga seluruh tubuh bugil Ratih ikut berguncang mengikuti irama hantaman penisnya. Dengan ganas dan penuh kerakusan Nathan pun tak lupa untuk melumat bibir mungil nan manis milik Ratih yang sudah tak berdaya tanpa kuasa untuk menahan apa pun yang akan diberikan olehnya. Nafas mereka berdua yang sudah begitu panas terengah-engah terbakar hasrat nafsu telah tercampur dengan sempurna menciptakan suasana penuh gairah di sekeliling mereka.
Dengan penuh tenaga, Nathan menyentakan seluruh penisnya sekuat mungkin hingga setiap bagian batang penisnya ambles masuk menghujam bagian terdalam lubang cinta Ratih hingga membentur dinding rahimnya seolah ingin menjebol tembok harta karun yang paling berharga di tubuh Ratih itu.
“Aaaaa…. Aaaakhhhh…. Aadddduuhh.. Uuuuhhhh uhhhh….” desah Ratih menahan rasa sakit bercampur kenikmatan yang begitu luar biasa tiada taranya.
“Tahan sayang, ahh… Sedikit lagi…” kata Nathan sambil memeluk tubuh bugil Ratih dan memberikan french kiss yang sangat dalam dan basah ke bibir mungilnya sembari terus mengenjot tubuh sintalnya dengan kuat.
“Aaahhh… Aku… Aku uuu… Udah gak kuat lagi… Tuan… Aahhh… Aaaaakkhh AAAkkkkkhhhh…” jawab Ratih sambil mengerang penuh nafsu dan setengah berteriak menggigit bibirku dengan lembut penuh nikmat.
“Ahha… Aaahh… Tahan ya, tahan sayang… Oohh… Uuhhh…!” Nathan memagut bibir Ratih sambil terus menghantam segenap tubuh mungil Ratih dari dalam.
Hingga akhirnya, dengan satu sentakan kuat dari penisnya yang membentur bagian terdalam dari area paling pribadi milik Ratih, Nathan dan Ratih pun seketika menjerit menahan nikmat yang begitu luar biasa yang mengguyur segenap tubuh mereka berdua yang saling berpelukan dengan erat di atas ranjang yang telah ternodai oleh darah perawan Ratih beserta cairan cinta dan keringat yang bersimbah dari tubuh kedua insan tersebut.
“Aaahhhhhhh…”
CROOOTT…
CROOOTT…
CROOOTT…
Desahan panjang Nathan dan Ratih saling menggema bersahut-sahutan tatkala mereka berdua mengalami klimaks yang luar biasa secara bersamaan. Banyak sekali jumlah sperma yang berhasil dimuntahkan oleh Nathan langsung ke dalam rahim Ratih. Gelombang orgasme mengguncang tubuh mereka, memunculkan sensasi yang tiada tara. Saat kenikmatan itu akhirnya mereda, nafas mereka berangsur tenang, bergantian mengisi ruang yang dipenuhi rasa kepuasan.
Nathan dan Ratih pun terkulai lemas saling berpelukan di atas ranjang setelah gelombang dahsyat yang telah menenggelamkan tubuh dan jiwa mereka berlalu. Ratih yang merasakan cairan hangat dan kental yang telah masuk dan merembes menembus masuk ke dalam bagian terdalam dari area paling pribadinya memeluk Nathan semakin erat dan mendekapkan dirinya semakin dalam di pelukan Nathan.
Ratih meneteskan air mata kebahagiaan yang mengalir keluar dari kedua matanya sambil memeluk erat Nathan di tengah keringat yang mengucur deras membasahi tubuh bugil mereka berdua yang saling menempel satu sama lain di atas kasur yang kini telah ikut basah kuyup.
“Terima kasih, sayang… Aku berhutang budi padamu…” kata Nathan sambil mencium lembut pipi dan kening Ratih.
“Iya Tuan… Tidak perlu memikirkan hutang budi…. Saya harus jujur, tadi itu sangat nikmat walaupun awalnya agak sakit dan perih…. Tapi habis itu rasanya nikmaattt sekaalliii…..” balas Ratih sambil memejamkan matanya, menikmati tetes-tetes terakhir setiap kenikmatan yang tersisa sambil semakin mendekap Nathan erat-erat.
“Kamu tidak menyesal kesucianmu hilang?” tanya Nathan.
Dengan suara lembut, Ratih menjawab, “Tidak, saya tidak menyesal. Saya tahu ini adalah langkah besar untuk kami. Saya percaya padamu, Tuan. Kesucian saya adalah tanda kepercayaan dan pengabdian untuk membuka Gerbang Nakaratmak bagi masyarakat di sekitar Gunung Brajamusti. Saya ingin Tuan memenuhi janji Tuan untuk memberikan kami harapan baru. Ini adalah pengorbanan kecil saya demi masa depan yang lebih baik.”
Nathan menatap Ratih dengan penuh kekaguman, merasakan ketulusan dan keberanian dalam kata-katanya. “Kamu adalah wanita yang luar biasa. Aku berjanji akan menepati janjiku dan tidak akan menyia-nyiakan kepercayaanmu,” ucapnya, seraya menggenggam tangan Ratih dengan penuh kasih.
Keduanya akhirnya memutuskan untuk menyudahi pergumulan birahi. Mereka turun dari ranjang bersama-sama dan mengenakan pakaian mereka. Ratih merasakan ketidaknyamanan saat menggerakkan tubuhnya. Saat mereka keluar dari kamar, Ratih berbisik kepada Nathan bahwa miliknya terasa sakit lagi. Nathan mendengar bisikan itu dengan perhatian. Ia menjawab pelan bahwa rasa sakitnya akan hilang sendiri seiring waktu.
Mereka duduk berdua sambil mengobrol santai di dapur. Ratih menyiapkan kopi pahit untuk Nathan, aroma kopi memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat di antara mereka. Tak terasa kini keduanya semakin dekat, tidak merasa canggung untuk saling berpelukan dan mencium. Nathan merasakan kenyamanan yang mendalam saat bersama Ratih. Dan, di dalam hatinya, ada perasaan aneh yang muncul. Ia merasa bahwa hubungan ini lebih dari sekadar ketertarikan fisik. Namun Nathan memilih untuk tidak terburu-buru mengartikan rasa itu.
“Ratih …” ucap Nathan dengan nada yang mulai serius, “Apabila aku menjadikan kamu istriku, tetapi aku berniat mempunyai istri lain selain dirimu, apakah kamu akan menerima?” tanya Nathan kemudian.
Ratih menatap Nathan dengan penuh keyakinan. Ia tersenyum lembut dan menjawab, “Saya tidak keberatan, Tuan. Jika Tuan menganggap saya sebagai istri, maka saya juga menganggap Tuan sebagai raja. Seorang raja memiliki hak untuk memiliki banyak istri. Selama saya tetap mendapatkan tempat di hati Tuan dan Tuan mampu memberikan kebahagiaan, saya akan menerima keputusan Tuan. Saya akan mendukung Tuan sepenuhnya.”
“Apakah semua gadis di desa ini akan mempunyai pandangan yang sama denganmu?” tanya Nathan, menatap Ratih dengan penuh rasa ingin tahu.
Ratih tersenyum penuh keyakinan. “Saya yakin semua orang di desa ini akan memiliki pandangan yang sama, Tuan. Kami dibesarkan dengan nilai-nilai yang menghormati keputusan pemimpin kami. Jika seorang raja mencintai dan memberikan kebahagiaan kepada semua istrinya, masyarakat pasti akan mendukung keputusan itu. Kami memahami arti dari cinta dan pengabdian. Selama Tuan mampu memenuhi tanggung jawab dan menjaga hubungan baik dengan semua istri, tidak ada alasan bagi kami untuk menolak.”
Nathan mengangkat alisnya, mempertanyakan hal yang lebih dalam. “Bagaimana jika aku tidak berlaku adil kepada istri-istriku? Apa yang akan terjadi?”
Ratih mengangguk pelan, wajahnya tetap tenang. “Itu tidak menjadi masalah, Tuan, asalkan ketidakadilan itu tidak menimbulkan perpecahan di antara kami. Jika ada yang terasa tidak adil, saya akan bicara langsung kepada Tuan. Saya akan berusaha mengingatkan Tuan agar berlaku adil. Komunikasi adalah kunci. Kami semua ingin merasa dihargai dan dicintai, dan saya percaya dengan saling berbicara, kita bisa menghindari kesalahpahaman.”
Nathan tersenyum, nada bercandanya mulai terdengar. “Nah, sepertinya kamu adalah kandidat kuat untuk menjadi istriku, Ratih. Dengan pemikiran dan sikap yang kamu miliki, rasanya aku tidak perlu mencari jauh-jauh lagi. Sepertinya, aku telah menemukan seseorang yang bisa kuandalkan.”
Ratih tertawa kecil, matanya berbinar. “Oh, Tuan, saya sudah tidak sabar untuk menjadi salah satu istri Tuan. Mungkin saya harus mempersiapkan diri untuk mengalahkan semua kandidat lain. Saya akan berusaha sebaik mungkin agar Tuan tidak bisa menolak saya!”
Nathan tertawa mendengar ucapan Ratih. Dengan penuh kasih, ia menghampiri Ratih, memeluknya erat. Ciuman lembut Nathan menyentuh bibir Ratih, dan Ratih membalas pelukan serta ciuman itu dengan hangat. Keduanya terlarut dalam momen indah, menikmati kebersamaan yang semakin dekat. Tiba-tiba, suara deheman memecah kehangatan suasana, menghentikan aktivitas mereka. Nathan dan Ratih menoleh, terkejut. Di ambang pintu dapur, Ratna sudah berdiri dengan senyuman ceria di wajahnya, menyaksikan kedekatan mereka.
“Oh …” Nathan bergumam sembari melepaskan pelukannya.
“Sepertinya kalian sudah melakukan ritualnya?” goda Ratna dengan nada penuh canda.
Nathan dan Ratih saling bertukar pandang, keduanya merasa sedikit malu namun juga tersenyum. Nathan pun berkata, “Ya, kami baru saja selesai.”
“Hi hi hi … Bagaimana rasanya sayang?” goda Ratna kepada Ratih dengan mengangkat alisnya berkali-kali.
“Ihk … Ibu …” lirih Ratih sambil mengulum senyumnya dengan pipi yang tiba-tiba merona.
“Ya sudah lupakan. Sekarang saatnya Tuan melakukan ritual yang kedua. Di sebelah Timur ada seorang gadis yang bersedia, tetapi orangtuanya ingin bertemu dulu dengan Tuan,” ucap Ratna sambil menatap Nathan.
Nathan tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, saya bersedia bertemu dengan orangtuanya. Saya ingin segera menyelesaikan ritual darah perawan ini sesegera mungkin.”
“Kalau begitu, kita sekarang ke tempat mereka,” ajak Ratna begitu bersemangat.
Nathan mengangguk tanda setuju. Ratna melangkah keluar rumah dan berjalan mendahului Nathan. Beberapa saat kemudian. mereka menelusuri jalan setapak yang agak berbatu, beriringan menuju rumah yang cukup jauh. Ratna kemudian melontarkan candaan mengenai pengalaman Nathan. Ia bertanya tentang rasanya memerawani wanita. Nathan menjawab dengan santai. Ia mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara memerawani wanita dan menyetubuhi wanita yang tidak perawan. Satu-satunya perbedaan terletak pada ketatnya rongga yang menjepit. Ratna bercanda lebih lanjut dengan keyakinan bahwa Nathan pasti sering berhubungan seks dengan banyak perempuan. Nathan hanya tersenyum mendengar ucapan Ratna.
Dan waktu berlalu, sekitar 15 menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah sederhana. Rumah itu terlihat seperti gubuk kecil yang terbuat dari bahan bambu dan beratap daun kelapa. Nathan dan Ratna memasuki rumah gubuk itu. Di tengah ruangan yang kecil, terdapat alas tikar yang terhampar. Nathan dan Ratna duduk berhadapan dengan suami-istri paruh baya. Pasangan tersebut duduk tenang dengan wajah berseri. Di belakang mereka, seorang gadis manis duduk dengan ragu. Gadis itu mengenakan baju sederhana. Rambutnya diikat rapi. Wajahnya menunduk, namun sesekali melirik ke arah Nathan.
Ratna memulai percakapan tanpa menunggu lama, “Pak Yanto, Bu Wanti, saya perkenalkan, ini Tuan Nathan. Calon penguasa Gunung Brajamusti. Beliau akan melanjutkan warisan besar dari para pendahulunya.”
Yanto dan Wanti, yang duduk di hadapan Nathan, langsung membungkukkan tubuh mereka dengan hormat. Kedua telapak tangan mereka menangkup di dada, lalu Yanto berkata, “Kami merasa terhormat bisa bertemu dengan Tuan Nathan. Nama saya Yanto, dan ini istri saya, Wanti.”
Wanti menambahkan sambil menoleh ke belakang, “Ini anak kami, Sumi.”
Nathan memandang gadis manis itu, yang duduk tenang di belakang orang tuanya. Sumi hanya tersenyum kecil dengan pandangan penuh rasa malu. Nathan kemudian bertanya dengan nada halus, “Berapa usia kamu, Sumi?”
Sumi sedikit ragu sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Saya 14 tahun, Tuan.”
Mendengar itu, Nathan terkejut. Ia menghela napas sejenak dan menggelengkan kepala perlahan, lalu berkata dengan tegas, “Maaf, saya tidak bisa menerima Sumi. Usianya masih sangat muda. Saya tidak ingin merusak masa depannya. Dia masih punya banyak hal untuk dipelajari dan dijalani.”
Ratna, yang duduk di samping Nathan, langsung menanggapi, “Tuan, di daerah ini, gadis seusia Sumi sudah banyak yang menikah. Mereka dianggap sudah dewasa dan siap membangun keluarga. Ini bukan hal yang aneh.”
Namun Nathan tetap menolak dengan suara mantap. “Saya mengerti, tapi bagi saya, Sumi masih terlalu kecil. Saya tidak bisa mengambil kesuciannya, karena dia masih di bawah umur. Itu tidak adil untuknya, dan saya tidak bisa melakukannya.”
“Tuan Nathan, Sumi tidak keberatan jika Tuan ingin mengambil kesuciannya. Kami sudah berdiskusi, dan selama Tuan bersedia menikahinya, kami tidak melihat masalah. Ini adalah kehormatan besar bagi kami. Sumi pun sudah siap menerima apapun keputusan Tuan,” jelas Yanto.
Dengan nada tegas namun penuh hormat, Nathan berkata, “Saya menghargai keinginan Bapak dan keluarga. Tapi, saya tetap tidak bisa menerima. Usia Sumi masih terlalu muda. Meskipun Bapak dan Sumi tidak keberatan, saya tidak bisa mengambil keputusan ini. Saya tidak ingin merusak masa depannya. Dia masih punya banyak hal untuk dijalani, dan saya tidak ingin menjadi penghalang bagi masa depannya.” Nathan menggeleng perlahan. “Maaf, saya tidak bisa melakukan ini.”
Tiba-tiba, Wanti yang sejak tadi diam, ikut angkat bicara dengan nada memohon. “Tuan, kami sangat ingin mengubah nasib keluarga kami. Menikahkan Sumi dengan Tuan adalah harapan besar kami agar kehidupan kami bisa menjadi lebih baik. Kami sudah lama hidup dalam kekurangan, dan ini satu-satunya kesempatan bagi Sumi untuk mendapatkan masa depan yang lebih cerah.” Wanti menatap Nathan dengan mata yang berkaca-kaca, penuh harap. “Tuan, tolong, jangan menarik keinginan Tuan. Kami memohon, berikan kesempatan ini kepada Sumi dan kami sekeluarga. Ini adalah pilihan yang sudah kami pertimbangkan dengan matang.”
Nathan mendengarkan dengan seksama permohonan Wanti. Ia menghela napas panjang, lalu dengan suara tenang namun tegas, ia berkata, “Saya mengerti keinginan Ibu dan keluarga. Tapi, keputusan saya tetap sama. Sumi masih terlalu kecil. Saya tidak bisa menerima ini, meskipun Ibu berharap hal itu akan mengubah nasib keluarga. Bagi saya, itu bukan jalan yang tepat.” Nathan kemudian melanjutkan, “Namun, saya tidak akan pergi begitu saja. Saya berjanji akan memberikan sejumlah uang kepada Ibu, sebagai modal usaha. Uang itu bisa Ibu gunakan untuk memulai usaha kecil agar kehidupan keluarga Ibu bisa menjadi lebih sejahtera. Ini adalah cara yang lebih baik untuk membantu kalian tanpa harus mengorbankan masa depan Sumi.”
Nathan duduk beberapa saat lagi bersama keluarga Yanto. Ia berbicara dengan tenang, memberikan pandangan positif kepada mereka. Ia menyampaikan pentingnya semangat untuk terus bertahan meskipun hidup terasa sulit. Nathan menekankan agar mereka tetap berusaha menjalani hari-hari dengan tekad kuat, karena kehidupan selalu menawarkan kesempatan baru. Ia kembali berjanji akan membantu mereka keluar dari kesulitan yang dihadapi, meyakinkan Yanto dan Wanti bahwa bantuan itu akan datang tanpa syarat apapun.
Setelah perbincangan selesai, Nathan dan Ratna berdiri, bersiap untuk pergi. Mereka melangkah keluar dari rumah gubuk itu. Udara pagi yang hangat menyambut saat mereka berjalan meninggalkan halaman. Nathan dan Ratna melanjutkan perjalanan menuju rumah Ratna tanpa berkata-kata untuk beberapa saat, hanya suara langkah kaki mereka terdengar. Di tengah perjalanan, akhirnya mereka mulai berbincang. Nathan membicarakan soal tanggung jawab yang dirasakannya sebagai calon penguasa Gunung Brajamusti. Ratna mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menanggapi dengan pendapatnya. Percakapan mereka mengalir tenang, hingga akhirnya mereka tiba di rumah Ratna.
Nathan menatap Ratna dan Ratih dengan wajah serius. “Saya harus segera kembali ke Jakarta. Ada banyak hal yang harus diselesaikan, termasuk ritual yang belum selesai,” katanya dengan nada tegas.
Ratna mencoba menahan Nathan. “Tuan, kenapa tidak selesaikan saja ritual itu di desa ini? Di sini banyak gadis yang ingin membantu Tuan. Mereka semua mencari kesempatan untuk mengubah hidup mereka. Tuan tidak perlu pergi jauh-jauh ke Jakarta.”
Nathan menggeleng pelan. “Tidak bisa, Bu … Tinggal terlalu lama di desa ini akan sangat berbahaya. Bukan hanya untuk saya, tapi juga bagi siapa pun yang terlibat. Saya tidak bisa mengambil risiko itu.”
Suasana sempat hening, lalu tiba-tiba Ratih bersuara, mencoba meyakinkan Nathan. “Tuan, tetaplah di sini. Selesaikan ritualnya di desa ini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua akan baik-baik saja.”
Nathan menoleh ke arah Ratih, mendekatinya dengan tenang. “Ratih, bukankah kamu sudah berjanji ingin ikut denganku ke Jakarta? Kita bisa pergi sekarang. Semua sudah siap. Aku butuh kamu di sana.”
Ratih terlihat ragu sejenak. “Tuan, saya… saya berubah pikiran. Saya tidak bisa meninggalkan ibu di sini. Saya tidak tega meninggalkannya sendirian di sini. Dia butuh saya.”
Nathan terdiam sesaat. Dia memahami situasi itu. “Ya sudah … Kalau begitu, aku tidak akan memaksa.” Nathan merogoh dompetnya, lalu mengeluarkan kartu ATM dan menyerahkannya kepada Ratih. “Ini. Gunakan kartu ini. Ini untuk kamu dan ibu. Jangan ragu untuk memakainya.”
Ratih terkejut, tapi menerima kartu itu dengan penuh syukur. “Terima kasih, Tuan. Terima kasih banyak untuk kebaikan Tuan. Saya tidak tahu harus berkata apa.”
Nathan tersenyum tipis. “Jaga dirimu dan ibu baik-baik.” Ia kemudian menatap Ratna dan Ratih dengan penuh pengertian sebelum berpamitan. “Aku harus pergi sekarang. Jaga diri kalian. Aku pasti akan kembali lagi ke sini.”
Nathan berjalan cepat menyusuri jalan setapak, meninggalkan rumah Ratna dan Ratih di belakangnya. Raka sudah menunggu di ujung jalan desa, berdiri di samping mobil dengan sikap siap. Nathan menghampiri dan langsung memerintahkan Raka untuk segera mengumpulkan semua anak buah yang masih tersebar di sekitar desa. Raka tidak membuang waktu. Ia bergerak cepat, menghubungi anak buah yang berada di berbagai titik di lereng Gunung Brajamusti. Beberapa menit kemudian, satu per satu mereka kembali ke posisi awal. Mobil-mobil van yang telah disiapkan segera diisi oleh seluruh anak buahnya. Nathan tidak berbicara lagi. Ia masuk ke salah satu mobil, memberi isyarat kepada Raka dan anak buah lainnya untuk bersiap. Mesin mobil dihidupkan serentak. Dalam hitungan detik, konvoi kendaraan itu bergerak menuruni lereng gunung, melaju kencang menuju Jakarta.
Malam belum begitu larut, jam di dinding menunjukkan pukul 21.00. Suasana kamar terasa tenang, dengan cahaya lembut dari lampu yang menerangi ruangan. Maya dan Nathan telanjang bulat, tubuh mereka terbuka dalam kehangatan malam. Maya berbaring nyaman dengan kepala menyandar di dada Nathan, sementara Nathan tidur terlentang. Tubuhnya rileks, kedua lengan disilangkan di belakang kepala, menopang kepalanya dengan santai. Jemari lentik Maya perlahan bergerak, menyentuh dada bidang Nathan. Ia mempermainkan kulitnya yang ditumbuhi bulu halus, menciptakan sensasi lembut di setiap sentuhan. Nathan tidak bereaksi, hanya membiarkan Maya menikmati momen itu dengan tenang.
“Jika kamu bisa menyelesaikan ritual darah perawan, aku percaya kamu akan menjadi orang yang tak tertandingi,” ujar Maya. Suaranya lembut namun tegas, mengekspresikan keyakinan yang mendalam. “Kekuatan dan kehebatan yang akan kamu dapatkan dari ritual itu akan membawamu ke puncak segala sesuatu yang kamu inginkan. Banyak orang akan menghormati dan mengagumimu. Kamu akan memiliki kemampuan untuk mengubah hidupmu dan kehidupan orang-orang di sekitarmu.” Lanjut Maya.
Nathan mendengarkan dengan seksama, tetapi ia merasa perlu meluruskan pemikiran ibunya. “Bunda,” katanya, “Semua ini bukan tentang kekaguman dan penghargaan orang lain kepada diriku. Ini semua dilakukan untuk mencegah Ronny menguasai Gunung Brajamusti sepenuhnya. Aku tidak ingin kekuatan Gunung Brajamusti itu dikuasai sepenuhnya oleh Ronny. Jika itu terjadi, akan menimbulkan bencana bagi banyak orang.”
Maya menggeser tubuhnya, kini ia menindih tubuh Nathan, wajah mereka berhadap-hadapan. Dengan senyuman menggoda, ia berkata, “Bagaimana rasanya memerawani vagina perawan?”
Nathan tersenyum, merasa sedikit canggung dengan pernyataan itu. “Itu bukan hanya tentang aku, Bunda. Ini tentang kekuatan dan tanggung jawab.”
Maya tertawa kecil, “Tapi ini juga tentang pengalaman yang tidak akan terlupakan, kan?”
Nathan merasakan momen itu, suasana intim di antara mereka semakin kuat. “Mungkin. Tapi apa yang lebih penting adalah apa yang akan terjadi setelah ritual ini,” balasnya, matanya tidak lepas dari tatapan Maya yang penuh semangat.
Masih dengan nada menggoda, Maya berkata, “Berarti kamu masih harus memerawani dua gadis lagi, ya? Sudah ada korbannya, kah? Atau masih mencari?” Maya mengangkat alisnya, memberikan senyuman nakal yang membuat suasana semakin mesum.
Nathan menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Belum ada. Aku masih harus menemukan yang tepat.”
“Ah, jadi kamu belum menemukan gadis yang layak?” Maya bertanya dengan nada bercanda, menatap Nathan dengan penuh penasaran.
“Sepertinya begitu,” jawab Nathan sambil mengedipkan mata. “Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan terburu-buru dalam memilih. Aku masih punya waktu.”
Maya tertawa kecil, menikmati momen ringan di antara mereka. “Kalau begitu, pastikan gadis itu seistimewa Bunda, ya.”
Nathan bertanya sambil mengarahkan tangannya ke buat pantat ibunya, “Apa punya saran?”
Maya menatap Nathan dengan senyum menggoda. “Kamu terlihat seperti kebingungan mencari perawan,” katanya santai. “Di rumah ini saja ada begitu banyak gadis perawan yang bisa kamu jadikan partner untuk ritual itu. Kamu tinggal tunjuk saja, mereka pasti akan mau.”
Nathan menghela napas. “Aku tidak ingin mereka terpaksa, Bunda. Mereka harus benar-benar sukarela. Ritual ini tidak bisa dilakukan dengan paksaan. Aku tidak mau ada yang merasa dipaksa hanya demi kekuatanku.”
Maya terkikik, wajahnya menunjukkan rasa geli. “Jika kamu berprinsip seperti itu, kamu akan lama sekali menemukan perawan, Nathan. Kamu harus berani sedikit memaksa. Gadis-gadis itu mungkin butuh sedikit dorongan.”
Nathan menatap Maya sejenak, merasa tidak nyaman dengan saran itu. “Aku tidak bisa memaksakan kehendakku kepada mereka, Bunda. Kalau mereka memang tidak mau, itu pilihan mereka.”
Maya mengangkat bahu, masih dengan senyuman di wajahnya. “Ya, tapi ingat, Nathan. Waktu terus berjalan. Kamu tidak punya banyak pilihan.”
Nathan terdiam sejenak, merenungkan ucapan ibunya. Dia tahu Maya benar. Waktu tidak berpihak padanya. Dia harus segera menyelesaikan ritual darah perawan, atau semua rencananya akan gagal. Akhirnya, dengan suara tenang namun penuh keputusan, Nathan berkata, “Bunda, apakah Bunda bisa membantuku? Aku butuh bantuan Bunda untuk meminta gadis-gadis di rumah ini menjadi partner dalam ritual itu.”
Maya mengusap wajah Nathan dengan lembut, senyumnya tidak pernah hilang. “Tentu saja Bunda akan membantumu, Nathan,” katanya penuh keyakinan. “Kamu tidak perlu khawatir. Mereka pasti akan setuju.”
Nathan merasa lega mendengar jawaban ibunya. Rasa syukur terlintas di wajahnya. “Terima kasih, Bunda. Aku senang sekali Bunda mau membantuku. Aku benar-benar butuh dukungan Bunda.”
Maya tersenyum lebih lebar, kali ini dengan nada menggoda. “Besok kita bisa mulai ritual darah perawannya,” katanya dengan tatapan penuh arti. “Tapi malam ini, bagaimana kalau kamu memulai dengan memerawani aku dulu?”
Nathan tertawa kecil, dan dengan nada ringan menjawab, “Dengan senang hati.”
Malam yang terasa begitu panjang diisi dengan saling berbagi kehangatan. Maya dan Nathan tenggelam dalam arus birahi, tak ada yang tersisa selain hasrat yang terus menyala. Sentuhan mereka lembut pada awalnya, setiap sentuhan sarat dengan kemesraan dan keintiman yang tak terburu-buru. Bibir saling mencari, mengecap rasa yang begitu dirindukan. Namun seiring berjalannya waktu, kehangatan yang lembut itu perlahan berubah menjadi api yang berkobar. Gerakan mereka semakin liar, semakin menuntut. Nafas terengah-engah, desahan dan erangan memenuhi udara, membaur dengan detak jantung yang berpacu cepat. Di dalam persetubuhan itu, mereka masing-masing menggali dalam-dalam kenikmatan yang mereka dambakan. Tubuh mereka bergerak serempak dalam irama yang seolah dipandu oleh naluri purba, mengisi malam dengan gairah yang tak kenal henti. Hingga akhirnya, lelah mulai merayap. Nafas yang tadi berat kini mulai melambat, tubuh mereka mulai tenang. Dalam kelelahan yang manis, mereka saling berbaring, tertidur sangat lelap, puas setelah malam yang penuh dengan kenikmatan birahi, terbuai dalam pelukan satu sama lain.
Bersambung
Oke lnjut lgi kak !!!!