BAB 29
Pagi hari datang dengan sinar mentari yang cerah. Cahaya hangatnya menyebar ke seluruh penjuru, menyinari ruangan besar yang megah. Di ruang makan, segala sesuatu tampak tak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Perabotan antik berkilauan di bawah cahaya alami, sementara hiasan dinding mahal menggantung rapi, menambah kemewahan tempat itu. Nathan duduk di salah satu kursi makan, menyantap sarapannya dengan tenang. Di hadapannya, Maya menikmati makanan dengan cara yang serupa. Mereka berdua tampak santai, mengobrol ringan tentang hal-hal kecil yang terjadi. Suasana pagi itu terasa tenang dan nyaman, tanpa ada tanda-tanda kesibukan atau hal mendesak. Mereka menikmati hidangan dengan perlahan, mencicipi setiap bagian dengan penuh selera.
Ketika sarapan hampir selesai, Maya meletakkan garpu dan pisau di atas piring. Dia kemudian mengangkat tangannya, memanggil Heni. Tak lama, Heni muncul dan berjalan menghampiri Maya. Wajahnya tetap tenang, melangkah dengan penuh kewibawaan seperti biasanya di rumah besar itu. Heni berdiri di dekat meja makan, tepat di samping kursi Maya, menunggu instruksi dengan sikap tenang dan hormat.
“Heni … Jawab dengan jujur! Apakah kamu masih perawan?” Tanya Maya dengan suaranya tenang tapi tegas, seakan apa yang ditanyakannya adalah hal biasa.
Heni tersentak mendengar pertanyaan Maya, matanya membesar seketika, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya memerah, pipinya tampak merona dalam sekejap, dan ia menundukkan kepala. Tangan Heni yang tadinya tenang kini mulai gemetar halus, menggenggam ujung celemeknya dengan erat. Ia menggigit bibirnya perlahan, mencoba mengendalikan rasa malu yang jelas terlihat di wajahnya. Tubuhnya sedikit mundur, seolah mencari jarak aman, sementara matanya tak berani menatap langsung ke arah Maya.
“Ma..maaf Nyonya besar …Ke..kenapa Nyonya Be..besar bertanya se..seperti itu?” Heni balik bertanya, suaranya gemetar. Tubuhnya sedikit membungkuk, seolah ingin mengecilkan dirinya sendiri.
Tanpa mengubah nada suaranya yang tegas dan penuh wibawa, Maya berkata, “Jawab saja dengan jujur, Heni. Aku tidak ingin diulangi. Kau tahu, aku selalu menghargai kejujuran.” Tatapannya tetap terkunci pada Heni, matanya dingin namun menuntut kepastian.
Nathan memperhatikan situasi itu dengan tenang dari tempatnya duduk. Senyum tipis tersungging di wajahnya, seolah menikmati percakapan yang berlangsung antara Maya dan Heni, meski tak mengucapkan sepatah kata pun. Matanya sesekali melirik ke arah Heni yang gelisah, namun ia memilih untuk tidak terlibat. Nathan tetap fokus pada sisa sarapannya, memotong roti di piring dengan perlahan, seakan tak ingin campur tangan dalam pembicaraan itu.
Heni menelan ludah, rasa takut dan malu semakin membebani dirinya. Tubuhnya semakin gemetar, dan ia menundukkan kepala lebih dalam, tidak sanggup menatap wajah Maya. “Ma..maaf, Nyonya besar… Saya…saya sudah tidak perawan,” ucapnya dengan suara nyaris berbisik, disertai napas yang tertahan.
Maya mengamati Heni dengan seksama, lalu mengangguk pelan, “Aku tidak mempermasalahkan jika kau sudah tidak perawan, Heni,” ujarnya dengan suara lembut, berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. “Jangan khawatir dan jangan grogi seperti itu. Kita semua memiliki kehidupan masing-masing.” Maya melanjutkan, menatap Heni dengan penuh empati. “Yang penting adalah kejujuran. Em … Sekarang, siapa di antara teman-temanmu yang masih perawan?” Dengan nada yang lebih santai, Maya berusaha menciptakan suasana yang lebih nyaman bagi Heni, ingin memastikan bahwa pembicaraan ini tidak menjadi beban bagi pembantunya.
Dengan kelegaan yang jelas terpancar di wajahnya, Heni menjawab, “Sari… dia masih perawan.” Suaranya kini terdengar lebih tenang, meskipun masih ada sedikit getaran di dalamnya.
Dengan nada tegas namun ramah, Maya berkata, “Baiklah, Heni. Panggil Sari untuk menghadapku.”
Heni mengangguk cepat, berusaha menegaskan kembali ketenangan yang mulai muncul di dalam dirinya. Ia segera berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan ruang makan yang megah itu untuk mencari Sari.
Nathan menatap ibunya, Maya, dengan rasa ingin tahu yang jelas terlihat di wajahnya. “Bunda, apa yang akan Bunda lakukan?” tanyanya, suaranya tenang tetapi penuh ketertarikan.
Maya mengerutkan alisnya, terkejut dengan pertanyaan Nathan. Dia memandang anaknya dengan serius dan menjelaskan, “Bunda melakukan ini untuk membantu kamu menyelesaikan ritual darah perawananmu.”
Nathan tersenyum, “Baiklah,” katanya dengan nada mantap.
Sari muncul di ambang pintu ruang makan, langkahnya tergesa-gesa, dan wajahnya menunjukkan tanda kecemasan. Matanya melirik ke arah Maya dan Nathan, terlihat khawatir dengan situasi yang akan dihadapinya. Tangan Sari menggenggam ujung bajunya, menunjukkan betapa gelisahnya dia. “Ma..maaf, Nyonya Be..besar,” ucapnya pelan, suaranya bergetar. Ia berdiri tegak di samping Maya, namun bahunya sedikit membungkuk.
Maya menatap Sari dengan ekspresi tenang, berusaha menenangkan suasana. “Sari, duduklah di samping Nathan,” perintahnya dengan nada lembut tetapi tegas.
Sari mengangguk perlahan, meski tampak sedikit ragu. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati meja makan dan mengambil tempat di samping Nathan. Tubuhnya tampak tegang, dan ia mengatur napasnya sebelum mengalihkan pandangannya ke Nathan, berusaha menunjukkan sikap ramah meskipun kecemasan masih membayangi wajahnya. Nathan pun tersenyum padanya, memberikan sedikit dorongan agar Sari merasa lebih nyaman. Maya memperhatikan keduanya, memastikan suasana tetap kondusif untuk percakapan yang akan datang.
Maya menatap Sari dengan serius, memastikan bahwa semua perhatian terfokus pada pembantu muda itu. “Sari,” katanya, suaranya tegas namun lembut, “apakah kamu masih perawan?”
Sari terdiam sejenak, terkejut oleh pertanyaan langsung tersebut. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang dan kembali menundukkan kepala, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Tangannya yang menggenggam ujung bajunya semakin erat, menandakan ketegangan yang dirasakannya. Namun, Maya menunggu dengan sabar, ingin memastikan Sari merasa didukung dalam menjawab pertanyaan penting ini.
Sari menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang pelan dan sedikit bergetar, “Ya, Nyonya Besar.”
Maya menatap Sari dengan serius, lalu mengucapkan kata-kata yang jelas dan langsung, “Sari, aku ingin meminta sesuatu darimu yang sangat berharga. Aku ingin kamu memberikan keperawananmu kepada Tuan Muda. Jika kamu bersedia, aku berjanji akan memperlakukanmu seperti anakku sendiri.”
Sari terkejut mendengar permintaan itu, tetapi beberapa detik kemudian, rasa bahagia mulai menguasainya. Siapa yang bisa menolak tawaran menjadi anak pengusaha kaya seperti Maya? Kesempatan ini terasa seperti sebuah keberuntungan besar. Selain itu, Sari juga memiliki perasaan yang mendalam terhadap Nathan, yang membuat tawaran itu semakin menarik baginya.
Sari menatap Maya dengan mata berbinar, tetapi pipinya tampak memerah, menunjukkan rasa malu yang mendalam. Setelah mengumpulkan keberanian, dia berkata dengan suara lembut, “Nyonya, saya sangat berterima kasih atas tawaran ini. Saya… saya menerima dengan sepenuh hati.” Sari menundukkan kepala sejenak, berusaha menutupi senyum malu di wajahnya.
Maya tersenyum lebar, wajahnya dipenuhi kebahagiaan. “Oh, Sari! Aku sangat senang mendengar itu!” ucapnya dengan nada ceria. “Keputusanmu membuatku bahagia.” Maya kemudian menatap Nathan dengan senyuman, lalu berkata, “Nathan, bawa Sari ke kamarmu.”
Nathan menggenggam tangan Sari dengan lembut dan mereka melangkah keluar dari ruang makan. Mereka melintasi ruang tengah, berjalan beriringan menuju tangga. Nathan berusaha menjaga suasana tetap nyaman, berusaha memberikan senyum hangat kepada Sari. Namun, ia juga merasakan ketegangan di antara mereka. Setelah menaiki tangga, mereka berjalan di lorong yang sepi. Sari merasakan detak jantungnya semakin cepat, penuh campur aduk antara kegembiraan dan kecemasan saat mereka semakin mendekati kamar Nathan. Akhirnya, mereka tiba di depan pintu kamar. Nathan membuka pintu dan mengundang Sari untuk masuk.
Nathan menutup pintu kamarnya dengan lembut. Suasana di dalam kamar terasa tenang dan intim. Ia merangkul pinggang Sari, mengundang wanita itu untuk mendekat ke tempat tidur yang dihiasi dengan sprei putih bersih. Mereka melangkah perlahan menuju tempat tidur, sambil menikmati kedekatan yang semakin menguatkan perasaan di antara mereka. Ketika sampai di sisi tempat tidur, Nathan dan Sari saling berhadap-hadapan. Nathan memegang pinggul Sari dengan lembut, mencoba memberikan rasa aman. Sari menatap Nathan, merasakan ketulusan dalam pandangannya. Nathan berusaha membuat Sari tenang, memberikan senyum yang hangat. Ia ingin menciptakan suasana nyaman, menghilangkan semua kekhawatiran yang mungkin ada di benak Sari.
Nathan menatap Sari dengan penuh rasa syukur. Ia mengucapkan terima kasih dengan tulus, “Terima kasih, Sari, karena telah bersedia menyerahkan kegadisanmu padaku. Aku menghargai kepercayaan yang kamu berikan.” Nathan berharap Sari merasa dihargai dan nyaman dengan keputusan yang diambil.
Sari tersenyum, merasakan kebahagiaan yang mengalir dalam dirinya. Ia menjawab dengan penuh keikhlasan, “Saya sebenarnya sangat bahagia, Tuan Muda. Saya merasa terpilih di antara banyak gadis lain yang lebih layak.” Namun, masih ada keraguan dalam hatinya. Dengan suara lembut, Sari berkata, “Tapi, bolehkah saya bertanya? Kenapa Tuan Muda melakukan ini semua?”
Nathan menatap Sari dengan serius dan menjelaskan, “Aku harus melakukan ritual darah perawan untuk meningkatkan kekuatanku. Aku perlu menambah kekuatan ilmu kanuraganku agar bisa menghadapi Jin Penguasa Gunung Brajamusti. Aku harus membuat jin itu tunduk padaku.”
Dengan mata berbinar, ia berkata, “Saya merasa senang bisa membantu Tuan Muda dalam mencapai keinginan ini. Jika ritual ini penting bagi Tuan Muda, saya akan melakukan yang terbaik.”
Nathan menatap Sari dengan lembut, bertekad untuk membuat momen ini menjadi sesuatu yang istimewa. Ia ingin pengalaman baru bagi Sari ini menjadi pengalaman yang indah. Nathan berkata dalam hati bahwa ia tidak ingin pengalaman pertama Sari menjadi sesuatu yang buruk. Nathan berusaha menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan, dengan harapan Sari dapat mengingat momen ini dengan rasa bahagia.
Nathan mengamati Sari. Ia melihat keindahan wajah Sari. Dengan hati-hati, Nathan mendekatkan wajahnya. Perlahan, Nathan mencium bibir Sari yang ranum. Sari membalas ciuman itu. Mereka merasakan hasrat di antara mereka. Nafsu birahi mulai membara. Mereka merasakan kedekatan yang mendalam. Ketika bibir mereka saling melumat, birahi itu menjadi semakin kuat. Keduanya terlarut dalam keintiman. Suasana pagi menjadi semakin panas.
Nathan dan Sari terlarut dalam keintiman saat ciuman mereka semakin dalam. Tangan Nathan mulai bergerak lembut ke arah dada Sari. Ia meremas payudara Sari dengan mesra, dan Sari memberikan desahan lembut sebagai respons. Ciuman mereka menjadi semakin liar. Nathan merasakan bahwa Sari sudah terbawa oleh suasana. Setelah puas meremas payudara Sari, tangannya bergerak lebih rendah. Ia mengangkat rok Sari, bersyukur karena rok itu tidak terlalu ketat. Jika tidak, Nathan akan kesulitan menjelajahi lebih dalam. Tangan Nathan melanjutkan perjalanan hingga mencapai paha bagian atas Sari. Akhirnya, ia tiba di pusat segala kenikmatan seksual. Jari tengahnya menelusuri celah yang terbentuk antara dua pangkal paha Sari, melewati celah celana dalamnya. Jari tengah Nathan merasakan kehangatan dan kelembaban khas bagian paling pribadi seorang wanita. Dengan perlahan, ia menyusuri garis cekungan yang terbentuk dari celah vaginanya. Tiba-tiba terasa basah dan licin.
Nathan melepaskan ciuman dan menatap Sari dengan penuh hasrat. “Sari … Bagaimana kalau kita mulai sekarang?” katanya, suara Nathan serak dengan gairah. Sari menatap Nathan, wajahnya memerah. Ia hanya mengangguk perlahan, seolah menyetujui ajakan tersebut.
Keduanya mulai saling membantu melepaskan pakaian masing-masing. Dan tangan-tangan mereka sudah bergerilya kemana-mana. Nathan dan Sari malah saling bercanda dalam ketelanjangan mereka. Nathan mengakui kalau Sari memiliki tubuh yang seksi walau wajah tidak begitu rupawan. Tubuhnya ramping dengan kulit sawo matang. Pinggulnya kecil dengan payudara besar. Kakinya panjang, mulus tanpa bulu sedikit pun. Akhirnya Nathan dan Sari naik ke atas tempat tidur. Nathan mengangkangkan kedua kaki Sari dan duduk antaranya. Nathan dengan seksama menatap vagina perawan milik Sari tersebut, dirinya juga mendapati selaput dara Sari ketika mencoba membuka sedikit celah vaginanya yang membuktikan Sari tidak berbohong kepadanya sama sekali.
“Jangan menatapnya seperti itu… Tuan… malu…!” Sari gugup karena Nathan menatap area genitalnya dengan seksama, sentuhan lembut jari Nathan juga membuat tubuhnya bergetar perlahan.
“Punyamu indah sekali, Sari …” Goda Nathan.
Perlahan Nathan mulai menindih tubuh Sari dengan tangannya bergerak-gerak mengusapi bibir vagina Sari. Sari yang dikejutkan dengan sensasi nikmat yang tiba-tiba diberikan oleh Nathan langsung ke daerah pribadinya secara refleks menyentakkan pinggul dan pantatnya ke atas, sambil memejamkan mata. Nafas Sari yang berbau manis langsung menderu.
“Aahhhh…. Iyaaa….. Enak Tuan…. Ummmh…..”
Nathan terus mengusap-usap vagina Sari yang menjadi semakin becek dengan semua cairan cinta yang dikeluarkan oleh dirinya. Cairan bening yang lengket dengan aroma khas tersebut mengalir membanjiri pahanya dan beberapa jatuh menetes dari celah-celah jari Nathan hingga mengenai ujung kepala penisnya yang sudah berdiri siap menancap di liang kewanitaan Sari yang tepat berada di atasnya. Pinggul dan vagina Sari terus berkedut-kedut mengikuti irama kenikmatan yang diberikan oleh jari-jari Nathan dan pantatnya tak berhenti bergetar dan bergoyang dengan begitu erotis. Tubuh Sari bergetar hebat dan dilingkarkannya kedua tangannya memeluk leher pemuda di atasnya. Wajah Sari begitu dekat dengan wajah Nathan hingga ujung hidung mereka bertemu. Nafas yang keluar dari mulut dan hidung mereka bercampur menjadi satu. Cairan yang mengalir semakin deras dari vagina Sari menjadi bukti otentik akan orgasme kecil yang baru saja dialami oleh dirinya.
Dengan sebuah desahan panjang, perlahan Sari membuka pelupuk matanya yang masih bergetar dalam kenikmatan dan dipandanginya Nathan dengan tatapan penuh cinta. Mata mereka saling bertemu menghubungkan hati dan perasaan di antara Sari dan Nathan. Nathan tersenyum dan dikecupnya bibir Sari dan memberi gadis itu sebuah ciuman yang sangat dalam. Sari yang begitu menikmati ciuman dan permainan tangan Nathan bercampur dengan kenikmatan orgasme kecil yang dialaminya perlahan kembali memejamkan matanya sambil memeluk tubuh Nathan semakin erat.
Nafas Sari terus menderu dan memanas ketika kedua matanya bertatapan langsung dengan mata Nathan. Nathan terus membelai rambut Sari dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya bergerak turun membelai pipi kanan Sari. Sari tersenyum manis menikmati belaian Nathan di wajah dan rambutnya.
“Sari, sekarang ya?” ucap Nathan meminta ijin untuk mengambil keperawanan wanita yang ada dalam kungkungannya.
Sari langsung tersenyum mendengar permintaan Nathan dan menganggukkan kepalanya, “Iya!” Dijawabnya pertanyaan Nathan dengan mantap dan penuh keyakinan. “Tapi … Saya ingin nungging Tuan … Supaya kepala saya terbenam di bantal … Saya malu ka..kalau berteriak,” pinta Sari yang membuat Nathan ingin tertawa geli.
“Baiklah … Menungginglah!” ucap Nathan lembut.
Nathan bergerak menjauh dari tubuh Sari. Sementara itu, Sari segera memutar badannya dan menunggingkan pantatnya yang putih mulus itu kepada Nathan. Perhatian Nathan langsung tertuju pada liang kewanitaan Sari yang telah begitu basah kebanjiran. Sari menolehkan kepalanya ke belakang dan tersenyum manis melihat betapa Nathan begitu menginginkan kewanitaannya.
“Ayo … Tuan …” Sari mendesah seolah menantang Nathan.
Tanpa basa basi lagi, Nathan langsung memegangi pinggul Sari dan memantapkan posisi penisnya tepat mengarah ke liang kewanitaan Sari. Nathan merasakan detak jantungnya semakin cepat saat bersiap untuk menembus kesucian Sari. Sari menarik napas dalam-dalam setelah Nathan memberi aba-aba. Nathan perlahan memasukkan kepala penisnya ke pintu vagina Sari, dan ia merasakan tubuh Sari bergetar. Dengan sekali hentakan, ditancapkannya penis yang telah begitu besar dan keras langsung menembus ke bagian terdalam vagina sang gadis, merobek selaput daranya dan merenggut keperawanan Sari yang telah dijaga oleh dirinya selama ini.
BLEEESSSS …!!
Creett …!!
Sari membenamkan wajahnya ke bantal, teriakannya tertahan, “Eeemmmmhhhh Aaacchhhh…!!!” Ia berusaha menahan suara kesakitannya saat Nathan menerobos pertahanan vaginanya. Lubang vaginanya terasa merenggang, dengan sensasi panas yang menjalar di sekitarnya. Sari merasakan sakit dan perih di vaginanya saat penis besar Nathan berhasil menembus selaput daranya.
Pada saat yang sama, Nathan merasakan sesuatu yang luar biasa mengalir melalui tubuhnya. Sebuah aliran energi gaib tiba-tiba menjalar dari kejantanannya, membakar setiap sel dengan kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Energi itu datang seperti gelombang besar, merambat ke setiap otot dan tulangnya, membuat tubuhnya mengejang hebat. Dengan kepala menengadah ke atas, Nathan berteriak keras, suara itu menggema di seluruh ruangan. Ia tidak mampu menahan besarnya kekuatan yang menguasai dirinya. Napasnya tersengal, dada berdegup liar. Di momen itu, ia merasakan kekuatan baru terlahir dalam dirinya, menambah daya dan vitalitas yang membuat tubuhnya terasa tak terbatas, seolah ia kini memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
Setelah beberapa menit berselang, perlahan-lahan, Nathan merasakan aliran energi gaib yang dahsyat itu mulai mereda. Tubuhnya, yang semula tegang dan mengejang, kini mulai melemas. Getaran hebat yang menguasainya tadi perlahan hilang, meninggalkan sensasi hangat yang mengalir lembut melalui pembuluh darahnya. Napasnya yang semula terengah-engah kembali teratur, meski dadanya masih terasa sesak dengan sisa-sisa kekuatan yang baru saja ia rasakan.
Kepalanya menunduk, pandangannya kembali fokus pada Sari yang menungging di hadapannya. Energi besar yang sempat menguasai dirinya kini berangsur surut, seiring dengan kesadaran bahwa tubuhnya kembali normal. Sensasi luar biasa yang ia alami perlahan menghilang, menyisakan perasaan tenang dan kendali penuh atas dirinya. Nathan kemudian melihat darah segar keluar dari celah vagina Sari, menetes ke kasur di bawah mereka. Tanpa ragu, ia menindih tubuh Sari, lalu mengecup punggung dan pipi gadis itu dengan lembut, berusaha menenangkannya dari rasa sakit yang baru saja dialami.
“Tahan ya sayang …” Nathan kemudian berbisik di telinga Sari.
“Tidak apa-apa, Tuan …” Sari mengangguk menandakan jika ia baik-baik saja.
“Terima kasih … Kamu telah memberikan kesucianmu …” ucap Nathan lalu mencium pipi Sari lagi.
“Iya, Tuan …” jawab Sari sambil menahan rasa sakit dan perih di vaginanya.
“Sebentar lagi rasa sakitmu akan hilang. Apakah kamu ingin berhenti dulu?” tanya Nathan lagi.
“Ti..tidak Tuan … Rasa sakitnya mulai hilang kok,” jawab Sari jujur.
“Baiklah … Sekarang kita nikmati bersama,” kata Nathan dan mulai menggerakan pinggulnya kembali.
Nathan lalu menegakkan tubuhnya dan meletakkan kedua tangannya di pinggul Sari. Dengan gerakan perlahan, ia mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, penuh kehati-hatian. Setiap gerakan terasa lembut, seolah memberi waktu bagi tubuh Sari untuk menyesuaikan diri. Setelah sekian lama, Nathan merasakan perubahan di tubuh Sari. Sari mulai rileks, tubuhnya tak lagi tegang. Rasa sakit yang dirasakan sebelumnya sedikit menghilang, tergantikan oleh sensasi nikmat yang kini mulai mendominasi. Gerakan Nathan tetap terjaga, perlahan, namun lebih teratur, memberi ruang bagi mereka untuk semakin larut dalam kenikmatan yang kian terasa jelas.
Dengan nafas yang terengah-engah, Sari mencengkram sprei kasur yang berwarna putih dengan kedua tangannya sementara pantatnya yang menungging terus menerima hantaman dari selangkangan Nathan dan organ kelamin mereka saling beradu tanpa henti. Darah perawan bercampur cairan cinta Sari mengalir keluar dengan deras dari vagina Sari yang terus disodok-sodok oleh penis Nathan. Nathan menahan pinggul Sari sambil sesekali mengelusi pantat mulus sang gadis yang terus bergetar dan berkedut merasakan kenikmatan yang diberikan olehnya.
Perlahan Nathan memajukan tubuhnya ke depan sambil tetap menyodok vagina Sari. Diihatnya air mata yang keluar mengalir membasahi pipi sang gadis, sementara wajah cantiknya yang diwarnai oleh ekspresi penuh nafsu tenggelam dalam kenikmatan dengan mulut yang menganga mengeluarkan desahan panas penuh hasrat. Sebuah ekspresi yang terlihat begitu kontras di mata Nathan. Nathan yang khawatir melihat keadaan Sari memelankan laju pergerakan pinggulnya, mendorong penisnya keluar-masuk vagina Sari dengan semakin lembut dan perlahan. Didekatkannya bibirnya ke telinga Sari supaya sang gadis bisa mendengar perkataannya dengan jelas. Ketika penisnya telah mencapai tempat terdalam di vagina Sari, tubuh sang gadis kembali mengejang dan kepalanya tersentak ke belakang, semakin dekat dengan wajah Nathan. Di saat itulah Nathan bertanya dengan pelan dan jelas kepada Sari.
“Kamu tidak apa-apa, Sari? Kalau rasanya sakit, apa aku cabut saja sebentar?”
Tangan kiri Nathan masih tetap berada di posisinya untuk menahan pinggul Sari sementara tangan kanannya membelai lembut rambut hitam sang gadis. Sari merasa sangat bahagia mengetahui betapa Nathan begitu perhatian pada dirinya. Meski tubuhnya masih gemetaran digempur oleh perasaan nyeri dan nikmat, dengan gerakan perlahan dan terpatah-patah, Sari menolehkan sedikit kepalanya ke belakang untuk menatap wajah pujaan hatinya tersebut. Dengan senyuman manis yang tersungging di bibirnya. Sari berusaha menjawab pertanyaan Nathan meski nafasnya sendiri masih terengah-engah.
“Tidak usah… Tuan…. Saya sudah mulai…. terbiasa… ” ucap Sari.
Nathan menghentikan gerakan pinggulnya dan menahan penisnya yang berada di bagian terdalam vagina Sari. Dipeluknya tubuh sang gadis dari belakang dan dibelainya rambut serta paras wajahnya yang imut dengan penuh kasi sayang. Sari kembali tersenyum menikmati perasaan cinta yang diberikan oleh Nathan. Otot-otot vaginanya yang ketat dan kencang semakin bersemangat memijati setiap bagian batang kejantanan Nathan yang tertanam di liang cintanya.
Melihat ekspresi wajah Nathan yang terlihat masih begitu khawatir pada dirinya, Sari berusaha menenangkan hati Nathan dengan berkata, “Saya gak apa-apa, Tuan … Tapi kalau bisa … Saya maunya pelan-pelan.”
Nathan mengaggukkan kepalanya lalu mengecup lembut bibir Sari sambil memenuhi permintaan sang gadis, “Baiklah … Aku akan pelan-pelan.”
Kedua tangan Nathan kembali menahan pinggul Sari yang menungging di atas ranjang. Dengan lembut dan perlahan disodokkannya penisnya keluar masuk vagina sang gadis dengan lembut. Ketika selangkangan Nathan bertemu dengan pantat Sari, digesek-gesekkannya selangkangannya sambil mengaduk-aduk penisnya dalam liang vagina Sari. Sari tersenyum bahagia dan begitu menikmati irama baru permainan cinta antara dirinya dengan Nathan. Pinggul dan pantatnya ikut bergerak bergesek-gesekan dengan selangkangan Nathan dan otot-otot di lubang kewanitaannya terus memijati penis Nathan yang dijepit oleh dinding-dinding vaginanya dengan penuh gairah.
Perlahan Nathan mengeluarkan penisnya dari vagina Sari hingga hanya tinggal ujung kepalanya saja yang masih dijepit oleh bibir vaginanya. Lalu dengan lembut didorongkannya kembali penisnya masuk melesak perlahan ke dalam vaginanya sambil menikmati setiap pijatan di sepanjang lubang kewanitaan Sari. Irama permainan cinta Nathan dan Sari yang begitu lembut dan harmonis menjadi sebuah simfoni di atas ranjang.
“Ooohh … Tuan … Enak Tuan …” Sari mulai mendesah keenakan.
“Nikmati sayang …” balas Nathan sambil tersenyum senang karena Sari sudah menikmati persetubuhan ini.
“Tuan … Saya cape begini …” kata Sari setengah mendesah.
“Oh … Kalau begitu kamu berbaring,” perintah Nathan sambil mengeluarkan kejantanannya dari vagina Sari.
Sari, yang semula menungging, mulai bergerak dengan lembut. Dengan sedikit usaha, Sari berbalik dan kini terlentang di atas kasur, wajahnya menghadap ke atas. Dengan gerakan yang anggun, Sari menyambut tindihan tubuh Nathan, siap melanjutkan momen intim mereka. Nathan merasakan getaran gairah semakin menyelimuti dirinya. Dengan perlahan, ia memasukkan kejantanannya ke liang cinta Sari, merasakan kehangatan dan kedalaman yang membuatnya terpesona.
Kali ini Sari terbaring di atas ranjang dengan paha mengangkang memamerkan vaginanya yang sedang disodok-sodok, diaduk-aduk dan dikocok-kocok oleh batang kejantananan Nathan. Tubuh Sari tersentak ke atas dan ke bawah mengikuti gerakan pinggul Nathan dan kedua payudara Sari yang membusung bergoyang-goyang dan berayun kesana-kemari mengikuti gerakan tubuhnya. Irama permainan mereka yang awalnya halus dan lembut perlahan tapi pasti menjadi semakin intens seiring dengan berkobarnya hasrat birahi di dalam diri Nathan dan Sari. Sari mengeluarkan desahan-desahan penuh nafsu dengan nada yang perlahan semakin meninggi dipacu oleh kenikmatan luar biasa yang dirasakan oleh dirinya.
Hanya beberapa menit berselang, Sari dan Nathan kembali mengubah posisi persetubuhan mereka. Kali ini Sari terduduk di atas selangkangan Nathan, memunggungi sang pemuda yang berbaring di atas ranjang dengan kedua tangannya menahan pinggul Sari. Sari menggerakkan pinggulnya yang ditahan oleh tangan Nathan naik dan turun, membuat penis Nathan yang berdiri dengan tegaknya keluar-masuk dan menghantam berbagai bagian dalam vagina Sari, memberinya sensasi kenikmatan yang berbeda dari posisi-posisi sebelumnya. Sari dengan mudah dapat mengatur posisi tubuhnya saat dirinya bergerak naik dan turun di atas tubuh Nathan, sehingga dia dapat merangsang berbagai bagian yang berbeda dalam vaginanya sesuai dengan keinginan hatinya. Hal ini membuat dirinya merasakan kepuasan tersendiri dalam menentukan bagian mana di dalam vaginanya yang ingin diberi rangsangan kenikmatan saat berhubungan intim dengan sang pemuda pujaan hatinya tersebut.
Setelah mereka berdua sudah terbiasa dengan posisi tersebut, Nathan pun mulai menggerakkan pinggulnya berlawanan dengan arah gerakan pinggul Sari. Ketika Sari menaikkan pinggulnya ke atas, Nathan menurunkan pinggulnya hingga menekan ranjang, sehingga penisnya keluar sampai hanya tersisa ujung kepalanya saja yang dijepit oleh bibir vagina Sari. Saat Sari menurunkan pinggulnya ke bawah, Nathan menyodokkan pinggulnya ke atas yang membuat penisnya yang sudah berdiri dengan tegak melesak masuk dan menghantam bagian terdalam vagina Sari, bergesekan dengan berbagai daerah di dalam vaginanya, mulai dari bibir vagina Sari yang menjepit serta menahan penisnya agar tidak keluar dari mulut vaginanya, melewati setiap bagian dinding-dinding vagina Sari yang begitu ketat dan kencang memijat-mijat penis Nathan tanpa henti, hingga akhirnya sampai di bagian terdalam lliang kenikmatan Sari dan membentur pintu rahimnya.
“Aaaakkhhhh…!!! Begini rasanya ya Tuan …!!!”
“Gimana rasanya Sari?”
“Enaakk Tuaaann … Aaaaahhh …!!!”
Sari mengeluarkan teriakan penuh gairah mengagumi betapa nikmatnya bersetubuh dengan lelaki idaman hatinya ini. Dirinya begitu menikmati persetubuhan yang mereka lakukan. Betapa tidak, dengan posisi sekarang ini, Sari tidak hanya dapat merangsang daerah G-Spot yang merupakan titik kenikmatan dirinya, Sari juga dapat dengan mudah merangsang berbagai daerah yang belum disodok oleh ujung penis Nathan sebelumnya, seperti misalnya bagian belakang dinding vaginanya. Hal ini memberikan sensasi baru yang terasa segar menambah nikmatnya permainan cinta mereka.
“Aaahhh….. Aaaaahhhhh!!!! Tuaaaannn…!!!!”
Nafas Sari yang tersengal-sengal tidak menghentikan gerakan pinggulnya naik turun di atas selangkangan Nathan. Malahan mereka berdua semakin bersemangat memacu pinggul mereka dan beradu kelamin dengan intens. Tiba-tiba Nathan menghentakkan pinggulnya dengan keras menyodok bagian terdalam vagina Sari yang membuat kenikmatan yang begitu luar biasa menghantam diri Sari secara tiba-tiba hingga membuat kedua kakinya lemas dan tubuh Sari yang sudah tidak kuat lagi bertahan pun terjungkir ke depan hingga tertungging di atas kasur.
Nathan pun bangkit maju ke depan dan terus menyodok vagina Sari dari belakang dalam posisi doggy-style. Dipegangnya pergelangan tangan kiri Sari dengan tangan kirinya sementara tangan kanan Nathan menahan pinggul Sari. Tubuh Sari tersentak membusur ke atas menerima setiap sodokan keras dari selangkangan Nathan yang menepuk-nepuk pantatnya yang putih dan mulus. Kedua payudara Sari yang membusung berayun-ayun ke atas dan ke bawah seiring dengan hentakan pinggul mereka berdua. Nafas Sari dan Nathan semakin memburu dipacu oleh betapa intensnya persetubuhan mereka berdua.
Nathan memeluk tubuh Sari dari belakang. Wajah Sari yang tertoleh ke belakang kini berada begitu dekat dengan wajahnya. Sangat dekat hingga nafas mereka dapat bercampur dan menyatu. Nathan melingkarkan tangan kirinya ke depan memeluk perut dan pinggul ramping Sari, memantapkan pelukan tubuh mereka berdua. Penis Nathan masih tetap menancap di dalam vagina Sari, berkedut-kedut penuh gairah menikmati setiap pijatan otot-otot dinding vagina sang gadis. Sementara itu, tangan kanan Nathan tak berhenti membelai lembut rambut Sari yang berwarna hitam. Mata mereka saling bertatapan dan bibir Nathan memberikan sebuah kecupan lembut di mulut Sari yang sedikit terbuka.
Tak lama berselang, keduanya mengubah posisinya kembali menjadi missionary. Nathan membaringkan tubuh Sari ke atas ranjang lalu mulai menggenjot penisnya pada vagina Sari. Tubuh Sari yang tertindih di bawah tubuh Nathan menerima setiap genjotan dengan penuh suka cita dan tangannya yang menyilang melingkari bagian belakang leher Nathan memeluk sang lelaki dengan semakin erat. Kedua kaki Sari yang terbuka pun turut memeluk tubuh Nathan dengan menyilangkannya di atas pinggang pria yang sedang meniduri tubuhnya kini dan menekan pantat Nathan ke bawah sehingga mendorong batang kejantanannya semakin dalam menghujam ke dalam liang cinta Sari.
Sari dan Nathan bercumbu dengan penuh nafsu. Gerakan pinggul mereka semakin cepat mendorong dan menarik tongkat kenikmatan Nathan keluar-masuk liang senggama Sari dan ciuman bibir mereka pun juga menjadi semakin liar. Perasaan klimaks dengan cepat naik hingga sampai ke ubun-ubun.
Nathan yang sudah hampir mencapai batasnya dengan segera berseru kepada Sari, “Aku mau keluar …!”
Sari yang juga sudah berada di puncak kenikmatan yang sebentar lagi akan segera tumpah membanjiri dirinya memeluk Nathan dengan semakin erat. Kedua kakinya yang menyilang semakin kencang menekan pantat Nathan. Nafas mereka yang saling memburu menderu menghantam wajah mereka satu sama lain. Di sela-sela nafasnya, Sari masih sempat melengking dengan suara yang menggema mengisi seluruh ruangan.
“Keluarin… Keluarin semuanya… Di dalam Sari!!!”
Nathan yang mendengar permintaan Sari semakin bersemangat memacu pinggulnya semakin cepat dan semakin dalam menghujam vagina Sari yang telah kebanjiran dan menggedor-gedor pintu rahimnya yang terbuka lebar-lebar siap untuk menerima setiap tetes spermanya yang kental dan begitu penuh dengan kenikmatan.
“Iya, semuanya untuk Sari. Aku akan keluarkan semuanya untukmu!”
Saat Nathan terus bergerak, Sari merasakan gelombang kenikmatan yang semakin membara di seluruh tubuhnya. Setiap dorongan Nathan membawa sensasi yang semakin intens, membuatnya semakin terlarut dalam momen tersebut. Nafasnya mulai tidak teratur, dan dengan setiap gerakan, Sari merasakan puncak kenikmatan semakin dekat. Dalam sekejap, gelombang orgasme melanda dirinya, membanjiri setiap saraf dengan rasa yang tak tertandingi. Tubuhnya bergetar hebat, dan suara desahan lembut keluar dari bibirnya, menandakan bahwa ia telah mencapai puncak kenikmatan yang luar biasa.
“Aaaaaaahhh … Keluaaarrrrr Tuaaannn …!!!” pekik Sari menggapai puncak kenikmatannya.
Tak lama, kedua tangan Sari yang terasa lemas karena sudah terlalu lama mengejang tak sanggup lagi memeluk leher Nathan dan jatuh dengan lunglai membentang di kedua sisi tubuhnya. Kedua kaki Sari yang menyilang di atas pantat Nathan pun juga ikut melemas dan melonggar. Nathan yang terbebas dari belitan Sari dengan segera bangkit dan kedua tangannya langsung menahan kedua belah paha Sari yang putih mulus mengangkang terbuka memperlihatkan selangkangannya yang telah basah kebanjiran.
Dengan sebuah hentakan keras, Nathan melesakkan masuk seluruh bagian batang kejantanannya yang telah membesar di ukuran maksimal hingga tertanam dengan sangat dalam di liang vagina Sari yang menyempit dengan kencang meremas penis Nathan sekuat tenaga. Seluruh batang kejantanan Nathan telah tertanam hingga ke ujung dasar liang cinta Sari. Ujung kepala penis Nathan berhasil membobol pintu rahim Sari dan langsung berciuman dengan bibir rahim Sari yang sudah begitu haus ingin meminum susu putih kental Nathan dan memerasnya hingga tetes terakhir.
Setelah merasakan orgasme pertamanya, Sari masih terhanyut dalam gelombang kenikmatan yang tiada henti. Nathan tidak berhenti, terus bergerak dengan ritme yang teratur. Dalam hitungan detik, gelombang baru mulai muncul, merangsang setiap titik sensitif di tubuhnya. Rasa nikmat yang awalnya mulai mereda kembali menggebu, membawa Sari menuju puncak kedua dengan cepat. Dalam sekejap, orgasme keduanya melanda, kali ini lebih kuat dan mengguncang seluruh tubuhnya. Tubuhnya bergetar dengan hebat, desahan yang lebih dalam dan penuh gairah keluar dari bibirnya, menandakan bahwa ia telah sepenuhnya larut dalam persetubuhan ini, tidak mampu menahan lagi rasa nikmat yang menguasai dirinya.
“Aaahhhh….!!!! Haaa…!!! Tuan…. Tuan … Sayaa keluar lagiii … Aaaaacchhh…!!!!”
Dengan sebuah lengkingan panjang di tengah nafas yang memburu, tubuh Sari langsung menggelinjang hebat dan membusur ke atas, membusungkan dada serta perutnya yang mengejang dalam sapuan ombak kenikmatan yang menggempur dirinya. Kepala dan leher Sari tertolak ke belakang, membenamkannya semakin dalam menekan kasur, terbenam dalam gelombang hasrat yang membanjiri dirinya. Wajah Sari menunjukkan ekspresi yang penuh dengan kenikmatan yang dapat dilihat dengan jelas dari kedua matanya yang terpejam dan mulutnya yang menganga terbuka lebar, mengeluarkan lengkingan – lengkingan liar yang penuh akan hasrat birahi yang telah mencapai puncaknya.
“Keluar…!!!! Keluarrr…!!!! Keluar!!!! Aku muncratt…!!!! Aaakkkhhhh!!!! Haaa….!!!! Ahhhhhh~!!!! Enak banget, Tuaaannnn….!!!! Tuaaaann…..!!!!
Sari meracau dengan penuh nafsu setengah tersadar diombang-ambingkan oleh ombak-ombak kenikmatan yang menghantam tubuhnya. Sesekali dipanggil-panggilnya nama sang lelaki pujaan hatinya dengan mata yang terpejam dan tubuh yang terus bergetar penuh kenikmatan. Pada saat yang sama, tubuh Nathan juga digempur oleh kenikmatan luar biasa ikut tumbang menindihi tubuh Sari yang terbaring tak berdaya ditelan oleh gelombang kenikmatan di atas kasur. Penis Nathan yang masih tertanam di dalam liang cinta Sari pun akhirnya terdorong lebih dalam lagi melesak masuk menerjang rahim Sari dan mengirimkan gelombang orgasme yang kembali menggempur tubuh mereka berdua. Erupsi hebat dari penis Nathan yang begitu dahsyat menyerbu menerjang ke dalam rahim dan vagina Sari menyemburkan lahar putih panas yang meluap-luap hingga vagina Sari yang sempit tak sanggup lagi menampung semuanya. Cairan cinta bercampur dengan madu putih Nathan dengan segera muncrat tumpah keluar disemprotkan oleh tekanan otot-otot vagina Sari yang berkontraksi dengan kuat.
Cukup lama Sari dan Nathan bergumul terombang-ambing dalam gelombang puncak kenikmatan yang telah mereka dapatkan bersama-sama. Setelah puas menikmati setiap kontraksi dan kedutan di organ-organ kelamin mereka yang perlahan mereda, penis dan vagina mereka yang saling bergumul dalam kenikmatan yang intim mulai memisahkan diri. Nathan kemudian turun dari atas tubuh Sari, membiarkan dirinya bersandar di sampingnya. Nafas mereka masih terengah-engah, menyisakan kehangatan dan kedekatan yang mendalam antara mereka. Tubuh mereka berdua yang masih lemah lunglai setelah digempur habis-habisan oleh gelombang demi gelombang kenikmatan, saling berpelukan dengan lembut di atas ranjang. Nafas mereka yang tersengal-sengal menyatu dalam sebuah irama yang harmonis.
Beberapa menit kemudian, kondisi mereka mulai normal. Detak jantung yang sebelumnya kencang perlahan-lahan kembali ke ritme yang tenang, dan rasa lelah yang menyelimuti tubuh mereka mulai tergantikan oleh rasa nyaman. Sari tersenyum kecil, merasakan kedamaian, sementara Nathan menatapnya dengan penuh kasih, mengingat momen-momen indah yang baru saja mereka alami.
Nathan menatap Sari dengan penuh kagum. “Kamu sangat menggairahkan,” katanya, suaranya lembut.
Sari menatap Nathan, tersenyum malu. “Terima kasih, Tuan. Sebenarnya, saya sempat takut karena banyak yang bilang persetubuhan pertama itu menyakitkan. Ternyata sakitnya hanya sebentar, dan setelah itu, rasanya justru enak sekali. Saya tidak menyangka bisa merasakan seperti ini.”
Nathan tersenyum nakal, matanya berbinar penuh canda. “Jadi, berarti kamu akan minta terus, ya? Aku harus siap-siap setiap kali bertemu kamu!” katanya sambil terkekeh.
Sari membalas dengan nada bercanda, “Ini semua salah Tuan. Tuan yang memberikan kenikmatan seperti tadi. Tentu saja saya akan minta terus sama Tuan!” Sari tersenyum nakal.
Nathan mengangkat bahu dengan senyum nakal. “Banyak wanita yang minta seperti itu. Tidak mungkin aku memenuhi setiap permintaan mereka setiap hari.” Dia kemudian melanjutkan, “Mungkin kamu juga harus lebih terbuka dengan pria lain yang bisa memberimu kenikmatan seperti tadi. Siapa tahu, mereka mungkin lebih baik dariku.”
Sari menatap Nathan dengan nada heran. “Jadi, memangnya Tuan Muda tidak akan marah kalau aku bermain dengan orang lain?”
Nathan tersenyum santai. “Aku sama sekali tidak marah, bahkan aku senang jika kamu punya banyak teman laki-laki. Setiap orang berhak merasakan kebebasan dalam hubungan mereka. Yang penting adalah kamu merasa nyaman dan bahagia. Hubungan itu seharusnya menyenangkan, bukan terikat oleh aturan yang ketat.”
Sari menunduk dengan malu-malu, lalu perlahan berkata, “Sebenarnya, aku juga ingin punya banyak laki-laki. Rasanya sangat menggairahkan kalau punya banyak laki-laki.”
Nathan mencubit dagu Sari dengan lembut, lalu tersenyum. “Bagus … Gimana kalau kita mengulangi percintaan kita sekali lagi.”
Sari menjawab dengan senyuman manis dan anggukan kepala, menunjukkan bahwa dia setuju dan siap untuk melanjutkan momen intim mereka. Sari merasakan getaran yang luar biasa saat Nathan mendekat, sentuhan lembutnya membangkitkan seluruh indra dalam tubuhnya. Penyatuan tubuh mereka membuat gadis itu merasa seakan melayang di angkasa, terhanyut dalam arus kenikmatan bercinta yang membara. Suara desahan Sari berpadu dengan gemuruh detak jantung Nathan, menciptakan melodi intim yang hanya mereka berdua yang mendengarnya. Setiap momen terasa seperti petualangan baru, membawanya ke puncak kenikmatan yang tidak akan pernah hilang dalam ingatan. Dalam setiap hujaman yang penuh gairah, mereka menembus batas-batas keinginan, hingga pada akhirnya, bersamaan, mereka meraih orgasme yang dahsyat, seakan seluruh dunia lenyap dan hanya ada mereka berdua di dalam keabadian itu.
Setelah momen penuh gairah itu berakhir, Nathan dan Sari saling menatap, penuh dengan perasaan kepuasan dan kehangatan. Sari perlahan bangkit, mengenakan pakaiannya, dan melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Nathan dengan kenangan yang membara di dalam hati. Nathan, merasakan sedikit hampa setelah kepergian Sari, menghela napas dalam-dalam sebelum beranjak menuju kamar mandi. Air mengalir deras, membasuh sisa-sisa panas yang masih melekat di tubuhnya, sementara pikirannya melayang kembali ke momen intim yang baru saja mereka bagi.
Setelah menyelesaikan mandinya, Nathan mengenakan kaos dan celana jeans, merapikan rambutnya di cermin dengan gerakan cekatan. Ia melihat refleksinya dan tersenyum, merasa lebih segar. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia keluar dari kamar, melangkah ringan menuju tangga. Suara langkah kakinya bergema di lorong sepi saat ia menuruni anak tangga. Nathan kemudian menuju ruang kerja ibunya. Ia tahu ibunya sedang sibuk, tetapi ia merasa perlu berbicara dengannya, terutama setelah apa yang terjadi dengan Sari. Dengan lembut, ia mengetuk pintu dan membuka sedikit, melihat ibunya yang tenggelam dalam pekerjaannya. Nathan kemudian masuk ke ruang kerja ibunya sambil mengangguk pelan dan sedikit tersenyum.
Maya, yang mengenali ekspresi putranya, langsung menatapnya dengan tajam. “Bagaimana? Sukses?” tanyanya, suaranya penuh perhatian, tetapi juga diwarnai rasa ingin tahu yang mendalam.
“Ya … Aku sudah mendapatkannya,” jawab Nathan lalu duduk di kursi depan meja kerja Maya.
“Berarti tinggal satu,” ucap Maya, suaranya tenang namun tegas. “Kalau bisa, sebaiknya kamu selesaikan ritual ini hari ini juga. Jangan menunggu lebih lama, Nathan.”
“Aku harus mencari gadis perawan yang suka rela memberikan kesuciannya padaku, dan itu membutuhkan waktu. Aku rasa aku tidak mungkin mendapatkannya secepat itu,” ucap Nathan merasa pesimis.
“Kamu tidak perlu mencarinya. Lawanmu sudah menunggu di kamar bawah dekat mini bar,” kata Maya yang sukses membuat Nathan terkejut.
“Apa???” Mata Nathan mendelik tak percaya.
“Sudah! Jangan bicara lagi! Temui dia!” perintah Maya dengan nada tegas, matanya menyala penuh otoritas.
“Oh … I..iya …” jawab Nathan gugup karena dirinya merasa sangat terkejut dan heran.
Nathan dengan perasaan tidak percaya keluar dari ruangan kerja ibunya, hatinya berdebar-debar dan pikirannya berputar-putar memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Pemuda itu melangkah dengan mantap menuju tempat yang ditunjukkan Maya, melintasi ruang depan yang sepi, dan masuk ke ruang tengah yang tenang. Suasana di sekelilingnya terasa tegang, seakan setiap detak jantungnya bergema dalam keheningan. Langkahnya kini tertuju pada sebuah kamar dekat mini bar, tempat yang terasa asing namun akrab. Tak lama, dia sampai di depan pintu kamar tersebut, menghela napas untuk menenangkan diri. Dengan sedikit ragu, Nathan mengetuk pintu kamar, suaranya memecah kesunyian.
“Masuk!” terdengar sahutan lembut dari dalam kamar, suara yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Tanpa ragu, Nathan membuka pintu tersebut. Begitu pintu terbuka, seketika itu juga jantungnya hampir copot ketika melihat sosok wanita tanpa busana yang berbaring menyamping, menghadap dirinya. Cahaya lembut dari lampu kamar menerangi kulitnya yang halus, menyoroti lekuk tubuh yang sempurna. Kesan ketidakpercayaan dan kekaguman menyelimuti Nathan saat matanya bertemu dengan tatapan wanita itu.
“Ida???” ucap Nathan, suaranya hampir tidak terdengar karena keterkejutannya. Tubuhnya bergetar, seperti tersengat listrik, sementara jantungnya berdegup kencang di dalam dada. Ia tidak bisa mempercayai siapa yang ada di depannya.
“Masuklah, Nathan …” kata Ida dengan senyum mengembang.
Dengan langkah yang masih ragu, Nathan melangkah masuk ke dalam kamar itu. Dia lalu menutup pintu dengan perlahan, suara engsel yang berderit seakan mengukuhkan keputusan yang diambilnya. Nathan berjalan menuju sisi ranjang tempat Ida berbaring, otot-ototnya terasa kaku, tetapi di dalam hatinya ada dorongan yang kuat. Saat ia mendekat, aroma lembut parfum membuatnya merasa tenang. Ida tetap menatap Nathan dengan penuh harapan, matanya bersinar, seolah meminta pengakuan akan ketertarikan yang sama.
“Aku sangat terkejut …” ucap Nathan, suaranya bergetar saat dia mencoba mencerna situasi yang tidak terduga ini.
Ida tersenyum, menggerakkan tangannya untuk meraih tangan Nathan dengan lembut. “Terkadang hal-hal yang tak terduga justru membawa kita ke tempat yang kita butuhkan.” Kata Ida sambil menarik Nathan hingga terduduk di sisi ranjang.
Nathan terdiam sejenak, matanya tak dapat lepas dari sosok telanjang Ida yang berbaring di hadapannya. Tubuhnya terlihat begitu menggiurkan, lekuk-lekuknya yang indah dipantulkan oleh cahaya lembut di kamar. Kulitnya yang halus dan bercahaya seolah memancarkan pesona, dan Nathan merasa sulit untuk menarik napas. Setiap lekuk tubuh Ida, dari bentuk yang menawan hingga kesan feminin yang menggoda, membuat Nathan sangat terpesona. Terutama payudaranya yang besar dan bulat sempurna, menambah keseksian dan keanggunan yang sulit untuk diabaikan. Hanya dengan melihatnya saja, kejantanan Nathan mengeras maksimal. Rasa desir dan ketertarikan yang membara mengalir dalam dirinya, membangkitkan naluri primitif yang tak tertahan. Nathan berusaha untuk tidak tampak terlalu terbawa suasana, tetapi detak jantungnya yang cepat dan birahi yang merambat dari organ intimnya ke seluruh tubuhnya tak dapat ia sembunyikan.
“Lakukanlah, Nathan … Aku sudah menunggu ini sejak lama,” ungkap Ida penuh permohonan.
“Tetapi Ida … Kenapa ….” Ucap Nathan tak tuntas karena rasa terkejutnya masih mendominasi.
Ida bangkit perlahan, lalu duduk di samping Nathan. Wajahnya tampak serius saat dia mengambil tangan Nathan dengan lembut. “Aku sudah lama menunggu kesempatan seperti ini,” kata Ida sambil menatap pemuda itu. “Aku menunggu seseorang yang melakukan ritual darah perawan. Karena hanya dengan memberikan keperawananku kepada pelaku ritual itu, kutukan yang menghantuiku selama ini akan hilang.”
Nathan terperanjat. Matanya membesar saat mendengar kata “kutukan” keluar dari mulut Ida.
Ida mengangguk, seolah sudah tahu reaksi itu akan datang. “Ya, kutukan,” lanjutnya. “Dulu, aku mendapat kutukan dari raja siluman ular. Waktu itu, aku masih gadis. Tanpa sengaja, aku membunuh anak raja siluman itu. Aku kira hanya ular biasa yang masuk ke rumah, jadi aku bunuh. Tapi ternyata, ular itu anak raja siluman ular.”
Nathan diam, tetapi keterkejutannya jelas terlihat di wajahnya. Ida melanjutkan, “Setelah itu, raja siluman ular datang kepadaku dalam mimpi. Dia mengutukku. Setiap kali aku berpacaran atau menikah, pasanganku akan mati. Aku sudah membuktikannya beberapa kali. Semua pacarku mati dengan cara yang mengerikan.”
Ida menarik napas dalam-dalam sebelum menatap Nathan lagi. “Kutukan itu hanya bisa hilang jika aku memberikan kesucianku kepada orang yang sedang melakukan ritual darah perawan. Aku bersyukur akhirnya aku menemukanmu, Nathan.”
Nathan menatap Ida dengan pandangan bingung, lalu bertanya dengan suara pelan, “Jadi… selama ini kamu mempertahankan kesucianmu?”
Ida tersenyum tipis, sedikit sedih, lalu menjawab, “Iya, Nathan. Kalau aku merusak kesucianku, kutukan itu tidak akan pernah berakhir. Aku harus menjaga diriku dengan sabar, meski rasanya berat. Karena aku percaya, suatu saat, aku akan menemukan orang yang bisa menghapus kutukan ini.” Ida menatap Nathan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Dan ternyata… kamu orangnya, Nathan. Aku tahu dari Maya kalau kamu sedang melakukan ritual darah perawan. Kamu adalah harapan yang sudah lama aku tunggu.”
Nathan menatap Ida dengan ragu, lalu bertanya pelan, “Apakah… ibuku tahu tentang kutukan itu?”
Ida mengangguk perlahan, matanya masih terfokus pada Nathan. “Iya, Maya tahu tentang kutukan ini,” jawabnya dengan suara yang penuh kejujuran. “Ibumu yang memberitahuku soal ritual darah perawan yang sedang kamu lakukan. Dia tahu penderitaanku selama ini, Nathan. Maya ingin membantuku, sama seperti aku ingin mengakhiri semua ini.”
Nathan mengerutkan keningnya, merasa terkejut dan bingung. “Jadi… ibu yang memberi tahumu tentang aku?”
Ida mengangguk lagi, kali ini dengan ekspresi penuh rasa syukur. “Iya, Nathan. Ibumu bilang, kamu adalah satu-satunya orang yang bisa membebaskanku. Dia percaya kamu bisa menolongku, dan aku juga percaya itu. Selama ini aku menunggu kesempatan ini, dan kamu membuatku merasa… ada harapan.” Ida menatap Nathan dengan penuh harap, suaranya bergetar saat melanjutkan, “Kamu adalah jawaban dari semua doa dan penantianku.”
Nathan terdiam sejenak, memandang Ida yang duduk di hadapannya dengan tatapan yang penuh campuran emosi. Perlahan, dia berdiri dari tempat duduknya, lalu mulai melucuti pakaiannya satu per satu. “Kalau begitu…” ucap Nathan dengan suara yang tenang, meski sedikit bergetar, “kita selesaikan masalah ini sekarang.”
Ida tersenyum senang, matanya berbinar melihat Nathan yang perlahan melepaskan seluruh pakaiannya. Wanita itu menggeser tubuhnya ke tengah ranjang, tanpa mengalihkan pandangannya dari Nathan. Sesaat kemudian, dia berbaring dengan tenang, menunggu Nathan yang segera naik ke atas ranjang. Saat Nathan mendekat, Ida membuka pahanya, memberikan ruang bagi Nathan untuk memposisikan dirinya di atas tubuhnya. Ketika Nathan mulai menindihnya, wajah mereka kini saling berhadapan, napas mereka terasa beriringan, menandai momen yang akan segera terjadi di antara keduanya.
Saat Nathan menggesekkan kepala kejantanannya di bibir vagina Ida, ia terkejut saat merasakan kelembapan yang sudah ada di sana. Sesaat ia membeku, tatapannya tertuju pada Ida dengan penuh keterkejutan, seolah tak percaya pada sensasi yang tiba-tiba menjalari tubuhnya.
“Kamu sudah basah?” kata Nathan heran.
“Aku minum obat perangsang,” jawab Ida sambil tersenyum manis.
“Baiklah … Kalau begitu aku akan langsung masuk saja,” ucap Nathan menggoda.
“Silahkan, masuki aku, Nathan …” desah Ida seperti sudah tidak sabar.
“Tetapi aku ingin bermain-main dulu sayang …” kata Nathan dan langsung mencium bibir Ida tanpa permisi.
“Hhmmm…mm…” desahan Ida tertahan ketika satu tangan Nathan meremas payudara Ida dan memilin puting Ida sesekali mencubit dan menariknya, dan tangan lain Nathan tengah membuat pola abstrak di sekitar paha Ida. Karena ingin mendengarkan desahan Ida membuat Nathan mulai mengerjai payudara Ida dan bagian vagina Ida yang basah.
“Uugh… Aaahh… Nathan… Aaahh… Ooohh… Aaahh….”
Nathan terus mengerjai kedua payudara Ida dengan tangan yang bermain di vagina yang basah itu mengelusnya membuat Ida menggeliat keenakan. Nathan menaik turunkan usupan tangannya pada vagina Ida yang semakin lama semakin basah. Nathan juga tidak berhenti membuat bercak merah di tubuh Ida, kini bibirnya merambah di perut rata Ida menjilat dan menyesap hingga beberapa berbekas. Ida hanya bisa mendesah nikmat dengan badan menggeliat karena rangsangan Nathan, bahkan Ida mencengkram bantal yang dikenakannya erat ketika orgasme kecilnya datang dengan desahan panjang nama Nathan yang hanya bisa diucapkan di bagian depan saja.
“Kita masuk ke intinya, Ida …” ucap Nathan dengan suara berat karena gairah yang sudah tidak tertahankan.
“Cepat Nathan … Aku … Aku …” jawab Ida ingin Nathan segera memulainya tapi sekaligus ada rasa cemas. Namun tak lama Ida menjerit, “Aaaakkkhh …!!!”
“Ini baru perenggangan sayang,” ucap Nathan ketika melihat Ida kesakitan padahal baru kepala penisnya yang masuk ke vagina Ida. “Kamu sempit dan aku ragu melakukannya,” ucap Nathan dan mengeluarkan penisnya membuat Ida menatap Nathan dengan senyum.
“Lakukan saja, Nathan … Kenapa kamu ragu?” ungkap Ida menantang.
Bagai lampu hijau untuk Nathan yang kini memposisikan kejantanannya di depan lubang Ida yang sudah basah kuyup. Pemuda itu menggesekkan penisnya di kewanitaan Ida, membuat sensasi geli dan merangsang nafsu untuk bercinta. Untuk beberapa saat Nathan masih terus menggesekkan penisnya di area selangkangan Ida, dan sesekali ujung penis Nathan menyentuh klitoris Ida. Wanita itu pun semakin melebarkan selangkangannya.
“Masukin Nathan …” pinta Ida memelas.
“Oke … Tahan ya …” bisik Nathan ketika perlahan memasukkan penisnya.
“Aaagh … Nathan…” desah Ida sambil mengernyit sakit karena milik Nathan yang menyeruak masuk ke vaginanya yang sempit.
“Tahan sayang … Aku bahkan baru memasukkan ujungnya,” ucap Nathan yang membagi konsentrasinya walau fokusnya tetap pada penisnya.
“AAAKHHHH…” Ida menjerit sambil mengeluarkan air mata karena rasa sakit akibat vaginanya ‘dibobol’ penis besar Nathan. Dalam sekali hentakan penis itu masuk menembus selaput dara Ida membuat wanita itu berteriak kesakitan dengan air mata yang keluar bersamaan.
Saat darah perawan itu menyentuh kejantanannya, sebuah getaran aneh merambat di organ intimnya. Matanya terbuka lebar, tubuhnya menegang saat energi gaib mulai menyelubungi dirinya. Dengan satu gerakan kasar, Nathan mengangkat kepalanya ke udara, merasakan kekuatan itu meresap ke dalam setiap serat tubuhnya. Rasa sakit dan gairah bercampur menjadi satu, mendidih di dalam dirinya. Perlahan, kekuatan mistis itu semakin kuat, membakar dari dalam, menggandakan setiap otot dan kekuatan yang ia miliki. Tubuhnya bergetar hebat, seolah diikat oleh kuasa yang jauh lebih besar, dan saat mata Nathan berkilat penuh keagungan dan kegilaan, ia menyadari bahwa kini ia telah menjadi penguasa dari kekuatan gelap yang tak terkalahkan.
Sementara itu, Ida yang sedang terbaring di atas ranjang, tubuhnya merasakan sakit oleh hujaman penis Nathan yang merenggut kegadisannya. Namun, alih-alih merasa hancur, sesuatu dalam dirinya meledak seperti api yang telah lama dipendam, seolah merasakan kehadiran kekuatan yang lebih besar. Tirai di dekat jendela bergerak pelan, meski tak ada angin, dan udara di sekelilingnya berubah, tebal dan penuh energi. Ia mengerang, bukan karena sakit, tetapi karena sebuah kekuatan luar biasa mulai bangkit dari dalam dirinya, seperti kawah gunung berapi yang lama terpendam, meledak keluar dengan gemuruh pelan. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar, dan dalam sekejap, retakan halus terbentuk di sana, seolah ada sesuatu yang ingin keluar dari dunia yang tak kasatmata.
Ida merasakan tubuhnya menggigil, tetapi ini bukan ketakutan, ini adalah kebebasan. Kutukan yang selama ini mengunci setiap hasrat dan potensi dalam dirinya tiba-tiba melepaskan cengkeramannya. Darah yang sebelumnya menyelimuti kesuciannya seolah menjadi kunci yang membuka pintu nasibnya, sesuatu yang tak terlihat membisikan kemenangan. Dengan napas yang teratur, Ida tersenyum, senyum tipis tapi penuh kelegaan. Semua rasa sakit, semua ketakutan yang dulu membayangi dirinya, sirna dalam sekejap. Ia tak peduli bahwa kegadisannya telah hilang. Justru, kehilangan itu adalah awal dari kehidupannya yang baru. Sesuatu dalam dirinya telah bangkit, lebih kuat, lebih merdeka dari sebelumnya. Tangannya mengepal di atas seprai, merasakan denyut kekuatan baru yang kini mengalir di setiap serat tubuhnya. Ida merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Kegelapan yang dulu membayanginya telah sirna, dan yang tersisa hanyalah kebebasan yang begitu indah dan menggairahkan.
Tubuh Nathan masih di atas Ida, napasnya terengah-engah dan peluh membanjiri tubuh mereka berdua. Selama beberapa menit, keduanya terdiam, seolah terjebak dalam dunia yang hanya dipenuhi oleh kekuatan dan sensasi yang mereka rasakan. Mereka tak bergerak, seakan ritual itu telah mengikat tubuh dan jiwa mereka dalam keheningan yang aneh. Nathan terus mengejang, erangan keluar dari mulutnya tanpa henti, seolah-olah tubuhnya tengah dihantam oleh gelombang energi yang tak terlukiskan. Setiap otot di tubuhnya tampak menegang, dan getaran halus merambat dari kulitnya ke tubuh Ida.
Ida, yang pertama kali sadar dari arus sensasi yang mendominasi, menatap ke arah Nathan. Matanya menyipit, mengamati ekspresi pemuda itu yang penuh dengan rasa sakit. Wajah Nathan memucat, otot-otot wajahnya menegang seolah ia tengah menahan sesuatu yang tak tertahankan. Ida bisa merasakan setiap gerakan kecil di tubuh Nathan, seakan kekuatan mistis yang tadi mereka ciptakan dalam ritual itu tak hanya merasuki, tetapi juga menguasai Nathan sepenuhnya.
Ida mulai panik saat melihat Nathan tak kunjung berhenti mengejang. Mata pemuda itu tertutup rapat, wajahnya menampilkan ketegangan yang luar biasa, seolah-olah energi gaib yang menyusup ke dalam dirinya terlalu besar untuk ditampung. Ida mencoba menggerakkan tangannya, tapi tubuh Nathan yang berat membuatnya sulit untuk bergerak. Dan tiba-tiba, tanpa peringatan, tubuh Nathan ambruk, jatuh dengan beratnya ke atas Ida. Napasnya hilang, gerakannya terhenti, dan dalam sekejap, Nathan pingsan, tak sadarkan diri.
Ida terperangah, matanya terbelalak menatap wajah Nathan yang tak lagi menunjukkan tanda kehidupan, selain napasnya yang pelan dan tersengal. Tubuh pemuda itu terasa dingin di atasnya, tak lagi diliputi panas yang luar biasa seperti beberapa menit lalu. Suara napas Ida terdengar menggema di ruangan itu, sementara pikirannya berkecamuk: Apa yang baru saja terjadi? Apakah kekuatan yang mereka bangkitkan dalam ritual itu terlalu kuat untuk Nathan?
Ida mendorong tubuh Nathan yang tak bergerak di atasnya, hingga pemuda itu terguling ke samping, tergeletak di atas kasur. Nafas Nathan pelan, tapi tubuhnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Dengan hati-hati, Ida duduk, napasnya masih tersengal-sengal, dan meski tubuhnya diliputi rasa sakit yang tajam di area organ intimnya, dia segera fokus pada Nathan. Ida menepuk-nepuk pipi Nathan, mencoba membangunkannya.
“Nathan… Nathan, bangun!” bisiknya cemas, tapi tak ada respons. Pemuda itu tetap terbaring diam, wajahnya masih pucat, tubuhnya kaku namun napasnya tetap ada. Dalam kepanikan yang semakin terasa, Ida menyadari tak ada gunanya berlama-lama di sini. Dia harus mencari bantuan.
Dengan hati yang berdebar, Ida turun dari tempat tidur, merasakan rasa nyeri di tubuhnya seolah bekas ritual itu masih meninggalkan jejak yang dalam. Setiap langkah terasa seperti dihantam oleh rasa sakit, namun dia menahan semuanya. Ia berjalan terseok ke lemari di sudut kamar, tangannya gemetar saat membuka pintunya. Di dalam lemari, ia meraih sepasang pakaian yang tergantung. Dengan gerakan cepat dan terburu-buru, ia mengenakan pakaian itu, meski rasa sakit di antara pahanya membuat setiap gerakan terasa menyiksa.
Setelah berpakaian, Ida menghela napas dalam-dalam, lalu merapikan rambut dan dirinya sekedarnya. Dalam pikiran yang kacau, hanya satu nama yang muncul—Maya. Maya adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa menjelaskan apa yang terjadi pada Nathan, dan mungkin, membantu mereka berdua.
Tanpa membuang waktu, Ida meninggalkan kamar, melangkah cepat meski rasa sakit terus mengiringi setiap langkahnya. Koridor yang biasanya terasa panjang kini dilaluinya dengan cepat, tekad kuat membuatnya terus bergerak meski tubuhnya memprotes. Setibanya di depan pintu ruang kerja Maya, tanpa berpikir panjang, Ida langsung membuka pintu dan masuk, tanpa mengetuk lebih dulu.
Ruang kerja itu seketika dipenuhi oleh kehadirannya. Mata Ida liar, nafasnya masih tersengal, namun pandangannya penuh ketegasan. Di hadapannya, Maya tengah duduk di belakang meja besar, tenggelam dalam berkas-berkas dan aura misterius yang selalu menyelimutinya. Dengan napas yang tak menentu, Ida langsung berbicara, mengabaikan formalitas apapun yang biasanya diharapkan.
“Bos… Nathan… dia pingsan. Aku… kita selesai dengan ritualnya, tapi dia tidak bangun,” ujar Ida, suaranya bergetar antara ketakutan dan kekhawatiran.
Maya berdiri mendadak dari kursinya, wajahnya yang biasanya tenang berubah drastis, penuh dengan keterkejutan dan kecemasan. “Apa yang terjadi, Ida?!” tanyanya, suaranya mendesak dan penuh ketegangan.
Ida, masih diliputi kebingungan dan kepanikan, hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu… setelah ritual, dia terus mengejang, lalu tiba-tiba pingsan. Aku coba membangunkannya, tapi… dia tidak bergerak,” jawabnya dengan suara yang bergetar, matanya menunjukkan kekhawatiran yang sama dengan Maya.
Maya tidak menunggu lebih lama. Ia bergerak cepat, melesat keluar dari ruang kerjanya, diikuti Ida yang berusaha mengimbangi langkahnya. Tapi sebelum Ida bisa menyusul lebih jauh, Maya sudah menggunakan ilmu kanuragannya. Tubuhnya melesat ke udara, ringan dan cepat seperti bayangan. Dalam satu helaan napas, ia telah sampai di depan pintu kamar tempat Nathan berada.
Dengan satu gerakan halus, Maya mendorong pintu terbuka dan dalam sekejap sudah berdiri di sisi tempat tidur. Matanya segera tertuju pada tubuh Nathan yang terbaring diam. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat pemuda itu masih tak bergerak, napasnya tersengal pelan. Namun yang membuat Maya terperanjat adalah cahaya samar yang terpancar dari dada sebelah kanan Nathan. Cahaya itu berdenyut pelan, seolah mengikuti irama napas Nathan, tapi semakin lama semakin terang. Namun, bukannya panik atau berpikir bahwa sesuatu telah salah, Maya tahu bahwa ini adalah tanda energi dahsyat yang kini merasuki tubuh Nathan. Cahaya itu bersinar kuat, seperti sebuah kekuatan yang baru saja terbangun, tapi Maya tidak tahu pasti apa yang terjadi. Meski begitu, satu hal yang jelas: Nathan dalam bahaya jika energi itu dibiarkan begitu saja.
Tanpa ragu, Maya segera mengangkat tangannya, melafalkan mantra dengan cepat, memusatkan kekuatan sihir penyembuhnya. Jarinya bergetar tipis saat energi sihirnya mulai mengalir, dan cahaya hijau lembut muncul di telapak tangannya. Ia menekankan tangannya di dada Nathan, tepat di atas cahaya yang berdenyut tersebut, mencoba menenangkan kekuatan yang menggila di dalam tubuh pemuda itu. Perlahan, cahaya hijau dari sihir penyembuhan Maya mulai menyatu dengan cahaya di dada Nathan, membuat kilau yang tadinya terang benderang perlahan meredup
Beberapa saat berlalu, cahaya itu perlahan memudar hingga akhirnya lenyap sepenuhnya dari dada Nathan. Maya menarik tangannya, napas wanita cantik itu teratur meski tubuhnya masih bergetar sedikit akibat kekuatan yang baru saja ia keluarkan. Tiba-tiba, Nathan menggerakkan jemarinya perlahan, kelopak matanya mulai terbuka. Ia menarik napas panjang, terengah sejenak, sebelum akhirnya menatap Maya dengan sorot mata yang kembali jernih. Maya tersenyum tipis, lega, meski dalam benaknya banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Ida, yang tiba di belakang Maya dengan napas tersengal, menatap pemandangan itu dengan terheran-heran. “Bos… Ba..bagaimana?” tanyanya, suaranya kini lebih pelan, penuh rasa takut dan kebingungan.
“Tidak apa-apa … Tuh, dia sudah sadar …” ucap Maya lebih santai.
“Oh …” Ida terkejut sekaligus senang saat melihat Nathan bangkit dari posisi terlentangnya.
“Apakah aku pingsan?” tanya Nathan, kebingungan terlukis di wajahnya.
“Ya,” jawab Maya cepat, “Tapi kamu aman sekarang.”
“Cepatlah berpakaian, Nathan. Aku akan menunggu di ruang kerjaku,” kata Maya tegas, sebelum berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan Nathan untuk segera mengenakan pakaian dan mengikuti perintahnya.
Ida menghampiri Nathan dan duduk di sisi ranjang, memperhatikan pemuda itu dengan penuh perhatian. “Nathan, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanyanya lembut, berharap mendengar bahwa semuanya baik-baik saja.
Nathan tersenyum tipis, meski ada sisa-sisa kekhawatiran di matanya. “Aku tidak apa-apa, Ida. Aku merasa segar,” jawabnya dengan suara yang lebih stabil. Nathan menatap Ida dengan perhatian, lalu balik bertanya, “Bagaimana denganmu, Ida? Apakah kau masih sakit?”
Ida sedikit tersipu, merasa malu ketika menjawab, “Rasa sakitnya masih ada, tapi tinggal sedikit.”
Nathan pun turun dari tempat tidur, mengambil pakaiannya yang tersebar di lantai. “Kita belum menyelesaikan ritual kita.”
Ida terkikik, mengangkat alisnya, “Ritual itu akan diselesaikan setelah rasa sakitku hilang.”
Nathan tersenyum, merasakan kehangatan di dalam hatinya saat ia mengenakan pakaiannya. “Baiklah, kita akan menyelesaikannya secepat mungkin.”
Setelah Nathan berpakaian, pemuda itu dan Ida berjalan berdampingan, saling menggenggam tangan dengan erat menuju ruang kerja Maya. Suasana di antara mereka terasa hangat. Hanya dalam beberapa menit, mereka sampai di depan pintu ruang kerja Maya. Begitu masuk, Nathan duduk di kursi depan meja kerja Maya, sementara Ida berdiri di sampingnya.
Maya menatap Nathan dengan tegas. “Nathan, kamu harus segera menyelesaikan misimu. Pergilah ke Gunung Brajamusti sekarang juga dengan menggunakan helikopter.” Nathan mengangguk, merasa ketegangan dalam pernyataan Maya. “Setelah selesai dengan misi di Gunung Brajamusti, segera kembali ke sini. Ada tugas berat yang akan aku berikan padamu,” tambah Maya.
Nathan langsung melihat jam di dinding ruangan yang menunjukkan pukul 11.45 siang. Dengan cepat, ia berpikir bahwa masih banyak waktu untuk sampai ke Gunung Brajamusti. “Baiklah, aku setuju untuk segera berangkat,” ujarnya kepada Maya.
“Namun, Bunda,” Nathan melanjutkan, “tugas berat apa yang akan Bunda berikan padaku setelah ini?”
Maya menggelengkan kepala, wajahnya serius. “Aku tidak bisa memberitahumu sekarang, Nathan. Aku khawatir itu akan mengganggu misi kamu di Gunung Brajamusti. Aku akan menjelaskan semuanya saat kamu kembali,” jawabnya tegas.
“Baiklah … Kalau begitu akan meluncur sekarang,” kata Nathan sambil bangkit lalu meninggalkan ruang kerja Maya.
Setelah Nathan keluar dari ruangannya, Maya menatap Ida dengan penuh perhatian. “Bagaimana dengan ritualmu, Ida?” tanyanya, berharap mendengar kabar baik.
Ida tersenyum lebar dan memperlihatkan lengan kanannya kepada Maya. “Kutukanku telah hilang,” ujarnya dengan percaya diri. “Tanda ular di kulitku ini sudah lenyap. Ini menandakan bahwa kutukan itu sudah benar-benar hilang.” Lanjut Ida sembari memperlihatkan lengan kirinya kepada Maya.
Maya tersenyum senang mendengar kabar tersebut. “Bagus! Sekarang, saatnya kamu mencari calon suami!”
Ida merasa malu, wajahnya memerah. “Sebenarnya, calon suami yang ideal bagiku adalah Nathan,” ungkapnya pelan. “Bisakah Bos memberikan Nathan kepadaku?”
Namun, Maya langsung menjawab tegas, “Tidak! Kau itu lebih pantas menjadi ibunya!”
Ida pun terkikik, “Aku pamit pergi, banyak tugas yang harus aku selesaikan.”
Maya mengangguk, “Tentu, silakan pergi. Semoga harimu menyenangkan!”
Setelah itu, Ida keluar dari ruangan kerja Maya, merasa ringan karena kutukannya telah hilang. Maya memandang pintu ruangannya yang tertutup. Sejurus kemudian, matanya tertuju pada pas foto di meja kerjanya. Dua anak gadisnya tampak ceria dalam bingkai, senyum mereka seolah memanggilnya. Maya sangat merindukan mereka, sayangnya, kedua anak gadis itu tidak merasakan hal yang sama dengan Maya. Dengan nada pelan, Maya bergumam, “Aku akan membawa kalian kembali ke Jakarta, apa pun yang terjadi.” Keinginan itu terus terpatri dalam benak Maya, menuntunnya untuk melakukan apa pun demi mewujudkan harapan itu.
Bersambung
Lanjut kak..tambah seru aja ceritanya !!!!?