Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 30 B​

Nathan duduk di kursi hitam yang terbuat dari kulit, di depan meja kerja Maya. Ruangan itu terang benderang berkat lampu-lampu modern yang tergantung di langit-langit. Dindingnya dilapisi dengan cat putih bersih, sementara beberapa lukisan abstrak berwarna gelap menghiasi sudut-sudutnya, menambah kesan elegan namun dingin. Di atas meja kayu jati yang besar dan terawat, terhampar berkas-berkas, laptop, dan beberapa cangkir kopi yang setengah penuh. Aroma parfum mahal yang dikenakan Maya menyelimuti udara, berpadu dengan aroma kopi yang menyengat. Di ujung meja, Maya duduk dengan postur tegak, tangannya tertumpu pada dokumen yang terhampar di depannya. Wajah wanita cantik itu menampakkan ekspresi tenang, tetapi sinar matanya mencerminkan ketajaman.

Maya memandang Nathan dengan ekspresi yang campur aduk antara takjub dan kagum. “Bunda tidak bisa percaya apa yang kamu lakukan, Nathan,” ujarnya, suaranya penuh dengan kekaguman. “Kamu berhasil mengalahkan Jin Penguasa Gunung Brajamusti. Itu adalah pencapaian yang luar biasa, bahkan Bunda pun merasa tidak akan mampu melakukan hal itu. Banyak yang menganggap kekuatan gaib itu hanya legenda. Tetapi, kamu telah membuktikan sebaliknya.”

Nathan menatap Maya dengan penuh rasa hormat. “Semua ini bisa aku lakukan karena bimbingan para leluhur kita, Bunda. Mereka yang memberi kekuatan dan petunjuk untuk menghadapi tantangan ini. Tanpa mereka, aku tidak akan mampu mencapai apa pun.”

Maya mengangguk setuju, wajahnya dipenuhi rasa bangga. “Leluhur kita adalah legenda yang sangat dikenal, Nathan. Kamu beruntung memiliki sosok seperti Prabu Brajamusti dalam garis keturunanmu. Dan kamu semakin beruntung karena diberi kekuatan yang luar biasa oleh leluhurmu.”

Nathan menundukkan kepala sejenak sebelum melanjutkan, “Aku tidak seberuntung itu, Bunda. Terkadang, aku merasa ingin menjadi orang biasa saja. Dengan kekuatan yang diberikan oleh leluhur, aku merasa terbebani dengan tanggung jawab yang harus aku jalankan. Tugas ini bukanlah sesuatu yang mudah.”

Maya mengerutkan kening, tampak bingung. “Tugas apa yang kamu maksud, Nathan? Tanggung jawab apa yang membuatmu merasa terbebani? Bunda tidak mengerti.”

Nathan menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Saat aku diberikan kekuatan oleh Prabu Brajamusti, aku juga menerima perintah untuk melindungi keluargaku … Bapak, Ibu, dan saudara-saudaraku. Tapi aku merasa kebingungan, karena aku tidak tahu siapa mereka. Bagaimana aku bisa melindungi orang-orang yang tidak kukenal?”

Maya terbelalak hebat mendengar pernyataan Nathan. Seolah terkejut, ia langsung mengalihkan pandangannya ke dokumen-dokumen di hadapannya, seolah-olah ingin menghindari percakapan itu. Hening menyelimuti ruangan, dan suasana di antara mereka terasa berubah.

Nathan menatap Maya dengan sedikit ragu. “Aku ingin sekali mengenal orang-orang yang harus aku lindungi, Bunda. Rasanya sangat penting bagiku untuk mengetahui siapa mereka agar aku bisa menjalankan tugas ini dengan baik.”

Maya menarik napas dalam-dalam, seolah mencoba meredakan ketidaknyamanan yang menggelayuti suasana. “Kita akan membahas itu nanti, Nathan,” ujarnya, suaranya terdengar agak tegas namun lembut. Ia kembali menatap dokumen di hadapannya, seolah menemukan lebih banyak hal yang perlu diperhatikan. “Sekarang, mari kita fokus pada hal-hal yang lebih mendesak. Banyak yang harus kita selesaikan.” Meskipun suara Maya tenang, nada yang disampaikannya menunjukkan bahwa ia ingin mengalihkan perhatian dari pertanyaan Nathan.

Nathan mengangguk perlahan. “Baiklah,” ujarnya. “Sebelum aku pergi ke Gunung Brajamusti kemarin, Bunda pernah berkata bahwa ada tugas yang harus aku selesaikan. Tugas apa yang akan Bunda berikan padaku?”

Maya mengangkat kepalanya, menatap Nathan dengan serius. “Bunda ingin mengembalikan Cici dan Sisi ke Jakarta,” katanya dengan tegas. “Tapi ada masalah yang menghalangi Bunda untuk membawa kedua saudaramu itu ke sini.”

“Masalah?” tanya Nathan agak terkejut.

Maya menghela napas sebelum melanjutkan, “Cici dan Sisi sekarang hidup nyaman di Australia bersama pacar-pacar mereka. Mereka berpacaran dengan dua kakak beradik dari keluarga konglomerat di sana. Kehidupan mereka di sana sangat bahagia, dan sudah cukup lama mereka menganggap keluarga konglomerat itu sebagai keluarga mereka sendiri. Mereka bahkan tidak ingin kembali ke Jakarta, dan kini sudah menganggap Bunda sebagai orang tua kedua mereka.”

Nathan menatap ibunya dengan serius, “Lalu, apa rencana Bunda untuk mengembalikan Cici dan Sisi ke sini?”

Maya menatap Nathan dengan tatapan tegas, seolah tidak ada ruang untuk penolakan. “Kamu harus menyingkirkan kedua pacar mereka,” ucapnya dengan suara mantap. “Mereka tidak layak untuk saudara-saudaramu. Cici dan Sisi sudah terjebak dalam kenyamanan palsu. Hanya dengan mengeluarkan penghalang ini, kita bisa membawa mereka kembali ke Jakarta dan menjadikan keluarga kita utuh kembali.”

Nathan mengernyit, merasa tak nyaman dengan kata-kata ibunya. “Maksud menyingkirkan mereka itu bagaimana, Bunda?” tanyanya dengan nada skeptis.

Maya menatap Nathan dengan serius, tanpa ragu. “Menyingkirkan, Nathan. Membunuh atau sejenisnya. Yang penting, kedua orang itu pergi dari kehidupan Cici dan Sisi,” jawabnya tegas. “Mereka adalah penghalang, dan kita tidak bisa membiarkan orang-orang seperti mereka menguasai hidup saudara-saudaramu.”

Nathan pun tersenyum mendengar ucapan Maya. “Bunda, jika kita membunuh mereka, itu hanya akan menambah masalah di kemudian hari,” katanya dengan nada tenang. “Kita harus mencari solusi lain. Ada cara yang lebih baik untuk mengembalikan Cici dan Sisi tanpa harus melibatkan kekerasan. Kita bisa mencari jalan lain yang lebih damai.” Nathan berharap ibunya mau mempertimbangkan pilihan yang lebih bijak daripada sekadar menggunakan cara-cara kekerasan.

“Apakah kamu punya saran?” tanya Maya kemudian.

Nathan menatap Maya dengan serius, berusaha menemukan solusi yang lebih baik. “Bagaimana jika kita mencari tahu kelemahan Cici dan Sisi?” sarannya. “Dari situ, kita bisa menemukan cara untuk membawa mereka kembali ke Jakarta tanpa harus berkonfrontasi dengan pacar-pacar mereka. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita gunakan untuk mempengaruhi keputusan mereka tanpa harus melibatkan kekerasan. Dengan memahami apa yang mereka inginkan atau butuhkan, kita bisa meyakinkan mereka untuk kembali tanpa harus membuat keributan.”

Maya menatap Nathan dengan penuh perhatian, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Lalu, apa yang sebenarnya kamu rencanakan, Nathan?” tanyanya, suaranya terisi rasa ingin tahu. “Bagaimana kita bisa menemukan kelemahan Cici dan Sisi?”

Nathan menutup mata sejenak, menenangkan pikirannya dan memusatkan perhatian. Dengan suara rendah, ia memanggil salah satu Jin Penunggu Gunung Brajamusti, berharap kehadiran makhluk gaib itu dapat membantunya dalam situasi sulit ini. Dalam hitungan detik, udara di sekelilingnya terasa bergetar, dan cahaya lampu di ruang kerja itu berpendar.

Dari sudut ruangan, muncul sosok tinggi menjulang, berbalut jubah gelap yang berkibar seolah ditarik oleh angin yang tak terlihat. Mata jin itu berkilauan seperti dua permata hijau zamrud, memancarkan aura misterius. Maya, yang sebelumnya duduk tenang, kini menatap dengan penuh perhatian. Sebagai seseorang yang berilmu tinggi, Maya bisa merasakan energi kuat yang memancar dari sosok tersebut. Sementara Nathan membuka matanya dan melihat sosok jin itu berdiri di hadapannya, ia merasakan kekuatan dan ketenangan yang dipancarkan dari sosok gaib itu.

Sosok jin itu berdiri tegak, menatap Nathan dengan mata zamrudnya yang berkilau. Suaranya dalam dan bergetar, seperti gemuruh petir yang jauh. “Tuan, saya di sini menunggu perintah dari Anda,” katanya dengan nada yang penuh hormat. “Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu Anda?”

Nathan menatap jin itu dengan serius, lalu bertanya, “Apakah kau bisa pergi ke negeri yang jauh dan melintasi lautan?”

Jin itu mengangguk mantap, suara dalamnya memancarkan keyakinan. “Tuan, saya bisa pergi ke mana saja dalam sekejap. Jarak bukanlah penghalang bagi saya. Hanya beri tahu saya ke mana yang Anda inginkan, dan saya akan segera melaksanakannya.”

Nathan tersenyum, merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya. “Aku ingin kau menyelidiki saudara-saudaraku di Australia,” ujarnya dengan tegas. “Cici dan Sisi. Temukan alasan mengapa mereka tidak ingin meninggalkan Australia. Setelah itu, buat kesimpulan tentang bagaimana caranya agar mereka mau kembali ke sini.”

Jin itu mengangguk, matanya berkilau penuh semangat. “Perintah itu sangat mudah untuk saya lakukan, Tuan. Tetapi, saya ingin melihat wajah mereka terlebih dahulu. Hanya dengan melihat wajah mereka, agar saya dapat merasakan aura mereka untuk menemukan mereka dan menyelidikinya,” jelasnya dengan nada penuh percaya diri.

Maya segera meraih sebuah pas foto yang terletak di atas meja kerjanya. Dengan cepat, ia menatap gambar itu dan kemudian mengulurkannya ke arah jin. “Ini adalah foto Cici dan Sisi,” katanya sambil menunjukkan wajah-wajah saudara Nathan yang tersenyum ceria.

Jin itu mengambil foto tersebut dengan lembut, matanya menyapu wajah-wajah yang ada di dalamnya. Dalam sekejap, ia bisa merasakan aura yang terpancar dari kedua gadis itu, seolah-olah energi mereka mengalir melalui gambar tersebut. Dengan anggukan penuh pengertian, ia mengembalikan foto itu kepada Maya. “Saya sudah melihat wajah mereka. Sekarang saya dapat menemukan mereka dan menyelidiki keinginan mereka untuk tinggal di Australia,” ucap jin itu, suaranya mantap dan penuh keyakinan.

Nathan menatap jin dengan serius, merasakan urgensi situasi. “Segera selidiki saudara-saudaraku itu dan cepat kembali. Aku berharap kamu bisa memberikan informasi yang kami butuhkan,” pintanya, suaranya penuh harapan.

Jin itu mengangguk, wajahnya menunjukkan ketegasan. “Tuan, berikan saya waktu satu jam paling lama. Saya berjanji akan kembali dengan informasi yang Anda perlukan,” jawabnya, nada suaranya meyakinkan.

Dengan itu, jin itu menghilang dalam seberkas cahaya, meninggalkan Nathan dan Maya di ruang kerja Maya. Maya menatap Nathan dengan ekspresi terheran-heran, seolah berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

“Apa yang baru saja kamu lakukan, Nathan?” tanyanya, suaranya bergetar penuh keingintahuan. Nathan dapat merasakan sorot mata Maya yang tajam, menuntut penjelasan lebih lanjut tentang pertemuannya dengan jin tersebut.

Nathan berkata pada Maya dengan percaya diri. “Kini, aku mempunyai ribuan tentara jin di bawah kekuasaanku,” ungkapnya dengan nada tegas. “Ini semua adalah hasil dari menaklukkan Jin Penguasa Gunung Brajamusti. Dengan kekuatan ini, aku bisa melakukan banyak hal.”

Maya terkejut sekaligus kagum mendengar pernyataan Nathan. “Kekuatanmu sekarang sangat menakutkan,” katanya dengan nada yang serius. “Aku harus mengakui, saat ini aku merasa sangat takut padamu.” Ekspresi wajah Maya mencerminkan campuran rasa hormat dan kekhawatiran, menyadari potensi luar biasa yang kini dimiliki oleh putranya.

Nathan tersenyum, berusaha meredakan suasana di antara mereka. “Bunda, tidak perlu takut padaku. Kekuatan ini bukan untuk merusak, tetapi untuk membantu memecahkan masalah yang kita hadapi. Aku ingin menggunakan kemampuan ini untuk membantu orang lain.”

Maya mengangkat alisnya, tampak kurang setuju dengan pandangan Nathan. “Nathan, meskipun aku mengerti niat baikmu, ada kalanya kekuatan ini perlu digunakan untuk merusak. Masalah dengan Ronny, misalnya, tidak bisa diselesaikan hanya dengan baik-baik. Terkadang, ancaman adalah cara yang efektif untuk mengatasi orang-orang yang berpotensi merugikan kita. Kekuatanmu bisa menjadi alat untuk mengancamnya dan memastikan dia tidak mengganggumu lagi.”

Nathan menggelengkan kepala, menolak pendapat Maya. “Aku tidak bisa berbuat keras kepada ayah. Bagaimana pun juga, dia adalah orang yang telah membesarkan aku dan mengajarkan banyak kebaikan. Dia adalah sosok yang penting dalam hidupku,” jelasnya dengan tegas. “Bahkan, aku ingin memberikan Gunung Brajamusti kepadanya sebagai tanda terima kasihku. Aku percaya, dengan cara baik, kita bisa menyelesaikan masalah ini tanpa harus menggunakan kekerasan.”

Maya langsung berkata dengan nada tinggi, “Ronny tidak membesarkanmu dengan sepenuh hati, Nathan! Dia melakukannya karena ada sesuatu yang dia incar darimu. Dia melihat potensi dalam dirimu dan ingin memanfaatkannya untuk kepentingan dirinya sendiri.” Ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpuasan dan rasa skeptis terhadap Ronny. “Kau harus menyadari bahwa tidak semua orang memiliki niat baik, bahkan orang-orang terdekatmu sekali pun.”

Nathan menatap lekat-lekat wajah ibunya, mencari kepastian dalam setiap kata yang keluar dari bibir Maya. “Dari mana Bunda tahu kalau ayahku seperti itu?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kisah yang pernah ia dengar, dan ia ingin menggali lebih jauh tentang sosok Ronny yang telah membesarkannya.

Maya merasakan suasana menjadi tidak nyaman, dan seketika wajahnya berubah. Dia mengalihkan pandangannya, tampak khawatir karena sudah kelepasan bicara. “Nathan, Bunda …” suaranya tercekat, seolah kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Dia seharusnya tidak mengungkapkan pikiran tersebut di hadapan Nathan.

Nathan menatap Maya dengan serius, merasakan beratnya suasana di antara mereka. “Bunda, bisa tolong klarifikasi ucapan Bunda tentang ayah?” tanyanya, suaranya tenang tetapi tegas. “Apa maksudnya ayahku membesarkan aku karena ada niat lain?”

Maya melihat ke arah jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. “Ronny, ayahmu, memang memiliki ambisi besar. Dia selalu menginginkan kekuasaan,” katanya pelan. “Dan Gunung Brajamusti adalah salah satu tujuannya. Ayahmu adalah orang yang sulit untuk ditolak. Dia bisa berbuat banyak untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.”

Nathan menatap Maya dengan penuh rasa ingin tahu, menyusun pertanyaan demi pertanyaan yang terus menggema di benaknya. Pemuda itu sesungguhnya tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ambisi Ronny untuk menguasai Gunung Brajamusti.

“Bunda,” Nathan memulai dengan hati-hati, “apakah ayah benar-benar berniat memanfaatkan aku sejak awal?”

Maya tampak ragu sesaat, tapi akhirnya mengangguk. “Ya.”

Nathan merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rencana jangka panjang ayahnya. Dia menatap lebih dalam ke mata Maya. “Apakah ini ada hubungannya dengan masa lalu kalian berdua?”

Maya terdiam, sebelum akhirnya menjawab lagi dengan suara pelan, “Ya.”

“Bunda,” suara Nathan serak, “apa yang sebenarnya terjadi?”

Maya menatap Nathan dalam-dalam, seolah kata-kata yang akan dia ucapkan begitu berat untuk dibagikan. Dengan suara rendah, ia mulai mengungkapkan masa lalu yang selama ini disimpannya rapat-rapat.

“Nathan, dulu Bunda dan ayahmu berguru pada seorang dukun sakti,” ujarnya perlahan. “Dukun itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, sesuatu yang hanya bisa diwariskan kepada satu orang saja.” Maya terhenti sejenak, mengambil napas panjang seolah ingin memastikan Nathan siap mendengar kelanjutan ceritanya. “Kami berdua sangat menginginkan ilmu itu, tapi hanya satu yang bisa memilikinya.”

Nathan menatap ibunya dengan serius, menyadari bahwa yang akan ia dengar adalah bagian yang paling mendasar dari seluruh rahasia ini.

“Akhirnya,” lanjut Maya dengan nada sedikit bergetar, “kami membuat perjanjian. Bunda bisa mendapatkan ilmu itu, tapi sebagai gantinya… Ayahmu akan memiliki kamu, sepenuhnya.”

Nathan terpaku, menatap ibunya dengan mata penuh keterkejutan. “Jadi, ayah… menginginkan aku sebagai bagian dari perjanjian kalian?”

Maya mengangguk perlahan, tatapannya dipenuhi penyesalan. “Saat itu, Bunda berpikir ini hanya syarat sederhana, Nathan. Bunda tidak pernah menyangka kalau ayahmu akan memisahkan kamu dariku. Bunda… terlalu ambisius waktu itu, terlalu terfokus pada ilmu dan kekuasaan.”

Nathan menahan berbagai emosi yang bergejolak dalam dirinya. “Jadi, Bunda tidak tahu… saat ayah membawaku pergi?” tanyanya perlahan, suaranya nyaris berbisik.

Maya menggeleng pelan, pandangannya tertunduk. “Ya, Nathan. Bunda benar-benar tidak tahu. Bunda bahkan tidak menyangka ayahmu akan bertindak sejauh itu. Saat itu… Bunda berpikir kamu akan tetap di sini bersama Bunda.” Sejenak, Maya terdiam, matanya memandang kosong, kembali ke masa lalu yang penuh ambisi. “Waktu itu, Bunda berpikir ayahmu sangat bodoh… menukar ilmu tertinggi dari guru kami dengan dirimu. Ilmu itu tak ternilai, sementara Bunda anggap menukar itu semua dengan kamu adalah hal sepele.” Maya menarik napas panjang, mengakui kepahitan yang disimpannya. “Tapi setelah Bunda tahu bahwa kamu adalah pewaris Gunung Brajamusti, barulah Bunda sadar… mungkin tindakan ayahmu adalah keputusan yang benar sejak awal.”

Nathan menatap ibunya, keningnya berkerut. “Sejak kapan Bunda tahu kalau aku pewaris Gunung Brajamusti?” tanyanya, suaranya rendah tapi penuh tuntutan.

Maya terdiam sejenak, matanya menerawang seolah kembali ke masa lalu. “Bunda baru mengetahuinya beberapa tahun setelah kamu dibawa pergi oleh ayahmu. Saat itu, guru Bunda memberitahukan bahwa kamu adalah pewaris Gunung Brajamusti,” jelasnya, nadanya dipenuhi penyesalan. “Guru Bunda sudah tahu sejak awal bahwa kamu memiliki ikatan darah dengan gunung itu. Dia merasa bahwa pertukaran ini adalah hal yang adil, dan dia bahkan yang menyuruh ayahmu untuk membawamu pergi.” Maya menundukkan kepalanya, menyadari betapa kelamnya keputusan yang telah diambil oleh mereka.

Nathan menatap Maya dengan ekspresi tak menentu, kebingungan dan rasa sakit bercampur. “Jadi, Bunda membiarkan diriku dibawa pergi oleh ayah tanpa berusaha mencariku?” Suaranya bergetar, mengekspresikan perasaan terkhianati yang mendalam. “Apa Bunda tidak ingin melawan atau mencari tahu di mana aku berada?”

Maya menatap Nathan dengan tatapan tajam, meski di dalamnya tersimpan penyesalan yang mendalam. “Nathan, Bunda minta maaf,” ujarnya dengan suara tegas. “Bunda seharusnya melawan dan mencari kamu. Tetapi saat itu, Bunda terlalu terfokus pada ambisi dan kekuasaan yang ada di depan mata.”

Nathan mencoba memahami pilihan yang telah diambil ibunya, “Bunda, aku tidak mempermasalahkan masa lalu itu,” katanya dengan tenang. “Tapi kenapa Bunda lebih fokus pada ambisi daripada pada aku? Bukankah seharusnya Bunda melindungiku?” Nathan berharap untuk mendapatkan jawaban yang jujur.

Maya menghela napas, tampak berat mengungkapkan isi hatinya. “Karena dendam dan rasa sakit hatiku, Nathan,” jawabnya dengan sedikit ragu. “Rasa sakit yang terus menghantui membuatku buta. Aku terjebak dalam keinginan untuk membalas dendam dan meraih kekuasaan, sehingga aku mengabaikan apa yang sebenarnya lebih penting.” Suaranya mulai melembut, menyadari bahwa jalan yang dipilihnya membawa dampak yang jauh lebih besar dari sekadar ambisi pribadi.

Dengan penuh rasa penasaran Nathan pun bertanya, “Bunda, kepada siapa sebenarnya Bunda menyimpan dendam dan sakit hati itu?”

Maya terdiam, terlihat berjuang dengan pikirannya. Raut wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan, seolah ada sesuatu yang dalam dan kelam yang ingin disembunyikannya. Nathan, merasa dorongan yang kuat untuk mendapatkan jawaban, mendekat dan mengulangi pertanyaannya dengan lembut, “Bunda, siapa yang membuat Bunda merasakan dendam dan sakit hati ini? Tolong katakan padaku.”

Maya mengalihkan pandangannya, mencoba menghindar dari tatapan Nathan yang penuh harap. Nathan tahu bahwa ibunya menyimpan rahasia yang lebih dalam, dan semakin penasaran untuk mengungkapnya.

Nathan mengamati wajah ibunya, melihat bagaimana ekspresi penuh penyesalan tergambar di sana. Kata-kata yang sudah tersimpan dalam benak pemuda itu kini terucap. “Permana,” katanya, seolah mengkonfirmasi sesuatu yang sudah lama ia duga. “Dia yang membuat Bunda sakit hati dan menyimpan dendam.” Nathan melanjutkan, “Aku sudah tahu tentang itu, dan percuma Bunda menyimpan semuanya dariku. Walaupun aku tahu, itu tidak membuatku membenci Bunda. Aku mengerti mengapa Bunda bisa terjebak dalam perasaan itu.”

Maya mendengarkan, tertegun. Dia merasa seolah dunia di sekelilingnya hening, hanya suara Nathan yang mengisi ruang tersebut. Dalam benaknya, bayang-bayang masa lalu berkumpul, mengingatkan pada rahasia kelam yang selama ini dia simpan rapat. Dia merasakan beban berat di dadanya, seolah ada sesuatu yang terus-menerus menekan. Dengan usaha keras, Maya mencoba menahan kekhawatirannya. Dia berjuang untuk tidak membiarkan rasa takut menguasai dirinya. Namun, pikirannya berputar dengan cepat, menggambarkan konsekuensi yang bisa muncul jika Nathan tahu seluruh kebenaran. Dia tidak ingin anaknya terjebak dalam kegelapan yang sama, mengulangi kesalahan yang sama seperti dirinya.

“Mungkin ini saatnya,” pikir Maya, tetapi keraguan terus menggoda. Apakah dia siap untuk mengungkapkan semua yang dia sembunyikan? Apakah Nathan akan bisa menerima kenyataan pahit tentang ayahnya? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelahi dalam pikirannya, dan dia tahu bahwa keputusannya akan menentukan arah hidup mereka berdua.

Maya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya berhadapan dengan kebenaran yang selama ini dia hindari, “Baiklah … Bunda akan menceritakan semuanya padamu.”

“Aku siap mendengarkan, Bunda,” katanya, suara penuh harapan dan ketulusan. “Apapun itu, aku ingin tahu. Aku ingin memahami segalanya.”

Maya memusatkan perhatian pada Nathan dengan ekspresi penuh kepedihan, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan isi hatinya. “Nathan, Bunda sangat sakit hati dan dendam kepada kakekmu,” ujarnya, suaranya bergetar. “Bunda merasa dibuang seperti sampah setelah semua yang kami lalui. Bunda dan kakekmu memiliki hubungan yang khusus. Selama waktu itu, Bunda merasa seperti menemukan seseorang yang memahami dan menerima Bunda. Tapi ketika istri Permana kembali setelah setahun pergi, semuanya berubah. Permana tanpa ragu memilih untuk kembali padanya, dan Bunda ditinggalkan begitu saja.” Ada kesedihan mendalam dalam suaranya, dan meski tak ada air mata yang mengalir, rasa sakit itu jelas terasa. “Bunda merasa dikhianati. Semua yang Bunda berikan dan perjuangkan untuk kakekmu terasa sia-sia. Sejak saat itu, rasa sakit dan dendam terhadap kakekmu terus menghantui Bunda.”

Nathan mengangguk, mengenali rasa sakit yang disampaikan ibunya. “Bunda, aku sudah tahu tentang semua itu,” katanya pelan. “Aku tahu bagaimana hubungan kalian dan bagaimana Permana memperlakukan Bunda. Aku bisa merasakan betapa dalamnya luka itu menggores hati Bunda. Aku tidak bisa membayangkan betapa menyedihkannya saat harus kehilangan orang yang Bunda cintai. Dan aku juga tahu betapa sulitnya melihat kakekku mengabaikan semua itu.”

Maya tersenyum, meskipun senyumnya itu mengandung kepedihan yang mendalam. “Kakekmu memiliki kekuatan yang sangat tinggi, Nathan. Itulah sebabnya, Bunda berusaha keras mempelajari ilmu kanuragan. Bunda berguru kepada dukun sakti di Probolinggo, berharap bisa mendapatkan kekuatan yang cukup untuk menghancurkannya.” Dia melanjutkan, suaranya semakin tegas. “Rasa sakit hati dan dendam Bunda mendorong Bunda untuk melepaskan semua yang Bunda cintai demi mencapai ilmu yang diajarkan guru Bunda. Bunda ingin membalas dendam dan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milik Bunda. Tapi, sekali lagi Bunda tegaskan, saat itu Bunda tidak tahu kalau kamu adalah pewaris Gunung Brajamusti. Bunda berpikir bahwa pertukaran itu tidak akan memisahkan kita.”

Nathan bertanya, “Bagaimana dengan nasib kakekku?”

Maya menghela napas, mengingat kembali masa-masa itu. “Selama sepuluh tahun, Bunda berguru pada dukun sakti di Probolinggo. Bunda merasa sudah siap untuk melawan kakekmu. Tapi guru Bunda berpesan agar Bunda tidak membunuhnya. Dia meminta Bunda untuk membawa kakekmu kepada guru Bunda itu.” Maya melanjutkan, “Saat itu, Bunda mendatangi kakekmu, dan terjadi pertarungan sengit di antara kami. Bunda berhasil mengalahkannya, tetapi …” Maya terdiam sejenak, merasakan kembali penyesalan yang pernah dialaminya. “Bunda terpaksa membunuh istri kakekmu, tetapi Bunda membiarkan kedua anaknya tetap hidup. Akhirnya, Bunda membawa kakekmu ke Probolinggo dan menyerahkannya kepada guru Bunda.”

“Lalu?” tanya Nathan semakin penasaran.

Maya mengangkat pandangannya, melanjutkan ceritanya dengan serius. “Ternyata, di dalam diri kakekmu terdapat aura kejayaan yang luar biasa. Aura itu bisa membuat Bunda makmur dan sejahtera. Namun, untuk bisa mengambilnya, Bunda harus melakukan ritual yang disebut ritual kegelapan.” Nathan mendengarkan dengan saksama, berusaha memahami setiap kata yang keluar dari mulut ibunya. Maya melanjutkan, “Dengan bantuan guru Bunda, aura itu akhirnya dipindahkan ke tubuh Bunda. Sejak saat itu, Bunda merasakan perubahan besar dalam hidup. Seperti kamu lihat, Bunda bisa seperti ini sekarang karena aura kejayaan dari kakekmu.”

Nathan mengernyit, merasa ada yang tidak beres. “Jadi, apa yang terjadi pada kakekku sekarang?” tanyanya, rasa ingin tahunya semakin mendalam.

Maya menghela napas, seolah menyiapkan diri untuk menjelaskan bagian yang paling sulit. “Kakekmu sekarang ada di penjara gaib yang dibuat oleh guru Bunda. Dia sengaja dipenjara sebagai tumbal dari prosesi ritual kegelapan itu. Proses pemindahan aura kejayaan memerlukan tumbal, dan kakekmu lah yang terpilih untuk peran itu.”

Nathan tertegun mendengar penjelasan itu. Pikirannya berputar, mencernakan semua informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi, dia terkurung di suatu tempat?” tanyanya, mencari kepastian.

Maya mengangguk, wajahnya serius. “Kakekmu sekarang ada di penjara gaib ciptaan guru Bunda, yang dijaga oleh siluman paling ganas dan sangat kuat.”

Nathan menatap ibunya dengan tekad yang baru. “Bunda, aku ingin membebaskan kakekku,” katanya tegas. “Berikan aku kesempatan untuk melakukannya.”

Maya menatap Nathan dengan ekspresi cemas. “Ini adalah hal yang paling Bunda takutkan,” katanya dengan suara bergetar. “Menurut ramalan guru Bunda, akan ada keturunan Prabu Brajamusti yang akan membebaskan kakekmu. Dan sekarang, sepertinya hal itu akan terbukti.”

Nathan mengerutkan dahi, merasa berat dengan beban yang baru saja terungkap. “Tapi, Bunda, aku tidak bisa membiarkan kakekku terkurung selamanya di sana.”

“Bunda sangat yakin kamu bisa mengalahkan penjaga penjara gaib itu. Tapi, jika itu terjadi, aura kejayaan akan kembali kepada pemiliknya yang asli dan Bunda akan kehilangan segalanya. Bunda tidak ingin itu terjadi. Aura itu memberikan Bunda kekuatan yang luar biasa.”

“Tapi Bunda …” ucapan Nathan langsung dipotong Maya sambil menggenggam tangannya.

“Nathan, tolong. Bunda mohon, jangan lakukan ini. Ada risiko besar yang bisa menghancurkan segalanya. Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu melakukan hal itu,” kata Maya, suaranya bergetar. “Nathan, jika kamu membebaskan kakekmu, ada kemungkinan aura kejayaan itu akan kembali kepadanya. Kekuatan yang Bunda dapatkan selama ini… itu bisa lenyap begitu saja. Bayangkan, semua yang Bunda perjuangkan selama ini, semua pengorbanan, bisa hilang dalam sekejap.” Maya menatap anaknya dengan mata penuh ketulusan, berusaha menyampaikan betapa seriusnya situasi ini.

Nathan mengerutkan kening, berusaha mencerna kata-kata ibunya. “Tapi, Bunda, dia keluarga kita. Aku tidak bisa membiarkannya terkurung selamanya di sana.”

“Bunda mengerti, tetapi kamu harus memahami konsekuensinya,” Maya melanjutkan, nada suaranya meningkat. “Kehilangan kekuatan ini berarti kehilangan segalanya, status, pengaruh, bahkan hidup yang Bunda jalani saat ini. Bunda tidak ingin kehilangan semuanya hanya untuk membebaskan kakekmu. Risiko yang kamu ambil tidak sebanding dengan kehilangan yang akan kita rasakan. Tolong, Nathan. Pikirkan baik-baik. Ini bukan hanya tentang keluarga; ini tentang masa depan kita,” ungkap Maya dengan nada memelas.

Nathan bangkit dari duduknya lalu berdiri di tengah ruangan, hatinya bergetar oleh perasaan yang bertentangan. Di satu sisi, ada suara lembut ibunya yang penuh permohonan, meminta agar dia tidak melanjutkan niatnya untuk membebaskan kakeknya. Di sisi lain, suara hatinya berteriak, mengingatkan akan ikatan darah yang tidak dapat diabaikan. Bagaimana mungkin dia membiarkan kakeknya terkurung di penjara gaib, hanya untuk menjaga kejayaan ibunya? Setiap kata yang diucapkan Maya, setiap tatapan penuh kecemasan yang dilemparkan kepadanya, membuatnya semakin ragu. Dia tahu bahwa jika dia mengabaikan permohonan ibunya, itu bisa mengubah segalanya, kehilangan kekuatan yang telah dikuasai Maya, dan mungkin juga mengubah jalan hidup mereka selamanya. Namun, membiarkan kakeknya terus terkurung juga berarti dia mengkhianati bagian dari dirinya sendiri, sebuah amanah leluhur yang seharusnya dia jalankan. Dalam pertarungan batin ini, Nathan merasakan beratnya keputusan yang harus diambil, di mana setiap langkah bisa menentukan masa depan mereka semua. Dengan napas yang tertahan, dia merasa terjebak dalam kegelapan, berusaha menemukan cahaya untuk membimbingnya keluar dari dilema yang menyesakkan ini.

Maya memeluk Nathan dari belakang, menempelkan dahinya ke bahu anaknya, merasakan detak jantungnya yang berdebar. “Nathan,” suaranya bergetar, “Bunda mohon, lupakan semua ini. Kakekmu sudah terkurung cukup lama. Kembalilah kepada kehidupan kita seperti biasa. Kita bisa membangun sesuatu yang lebih baik tanpa harus memikirkan kakekmu lagi.”

Dengan pelukan hangatnya, Maya berusaha menyalurkan perasaan takut dan harap yang mendalam. “Bunda tidak ingin kehilangan segala yang telah kita capai. Kehidupan kita, kekuatan yang Bunda miliki, semuanya bisa hilang dalam sekejap jika kamu memaksakan diri untuk menyelamatkannya. Cobalah mengerti, tidak ada yang lebih penting bagi Bunda selain kebahagiaan kita. Kita bisa melupakan kakekmu, hidup damai, dan meraih kejayaan tanpa mengorbankan segalanya.”

Nathan melepaskan pelukan ibunya dengan pelan, merasakan beratnya keputusan yang harus diambilnya. Tanpa sepatah kata pun, dia melangkah menuju pintu, berusaha menahan segala emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. Ketika pintu itu tertutup di belakangnya, Maya merasakan hampa yang mendalam. Maya berdiri di tempatnya, menatap kepergian Nathan dengan perasaan khawatir yang sangat besar. Rasa takut menyelimuti dirinya, mengingatkan akan ramalan gurunya yang tak pernah bisa dia lupakan. “Apa yang akan terjadi jika dia benar-benar membebaskan kakeknya?” batin Maya bertanya, merasakan kepanikan menyusup ke dalam pikirannya. Kini setiap detak jantung terasa semakin berat. Maya tahu bahwa keputusan Nathan untuk membebaskan kakeknya bisa menghancurkan segalanya, bahkan kejayaan yang telah dia peroleh. Dengan napas yang tidak menentu, Maya merasakan bahwa semua usaha dan pengorbanannya bisa sirna hanya dalam sekejap jika Nathan bertindak nekat.

Sementara itu, Nathan melangkah perlahan menuju kamar tidurnya di lantai dua, setiap langkah terasa berat seolah ada beban di pundaknya. Setibanya di kamar, dia segera membaringkan tubuh di atas kasur, membiarkan kelelahan menyelimuti. Tatapan pemuda itu menerawang ke langit-langit rumah, pikiran Nathan berputar antara harapan dan ketakutan, antara cinta untuk kakek dan kesetiaan kepada ibu. Dilema itu menggerogoti hati, menciptakan gelombang emosi sulit diatasi. Suara detakan jantung menjadi pengingat akan pilihan yang harus diambil. Waktu terus merambat, sementara pikiran dan hati Nathan terjebak dalam pertempuran batin yang tak berujung. Setiap menit berlalu tanpa memberi kejelasan, dan meski berbagai kemungkinan menghantui benak pemuda itu, ia tak kunjung menemukan jawaban yang memuaskan untuk dilema yang menghadangnya.

Kamar Nathan dipenuhi cahaya terang dari sinar matahari yang menyinari jendela. Suasana terlihat hangat dan nyaman, tetapi ketenangan itu tiba-tiba terganggu. Angin lembut berhembus masuk, menggoyangkan tirai dengan lembut. Tiba-tiba, cahaya yang sangat cerah muncul di tengah ruangan, membentuk sosok jin yang megah. Sosok jin itu kemudian bersimpuh dan memberi hormat kepada Nathan. Jin yang datang adalah jin yang diperintah Nathan untuk menyelidiki kedua saudarinya.

Nathan bangkit dari kasur. Dia berdiri tegak dan menatap jin di depannya. Dengan nada penuh rasa ingin tahu, Nathan bertanya, “Apa yang kau dapatkan?”

Jin itu menjawab dengan suara yang dalam dan berwibawa. “Saudari-saudari Tuan merasa bebas hidup di perantauan. Mereka tidak terikat oleh aturan-aturan yang dibuat oleh ibu mereka, yang mereka anggap mengekang kebebasan mereka. Kehidupan saudari-saudari Tuan sangat bebas, terutama dalam hal seks. Mereka bertukar pasangan dengan banyak pria dan bahkan menjadi ketua dari kelompok pemuda-pemudi di sana yang sering mengadakan pesta seks. Inilah yang membuat mereka enggan untuk kembali ke rumah ini.”

“Mereka ingin hidup bebas rupanya …” gumam Nathan sambil mengangguk-angguk.

Jin itu menunggu dengan sabar, memandang Nathan dengan tatapan penuh harap. “Tuan, aku siap untuk melaksanakan perintahmu selanjutnya.”

Nathan menggelengkan kepala. “Tidak ada lagi yang aku perlukan. Terima kasih, jin. Kau bisa pergi sekarang.”

Dengan hormat, jin itu membungkuk sebelum menghilang kembali dalam cahaya yang menyilaukan, meninggalkan Nathan sendirian di dalam kamar. Nathan cepat-cepat keluar dari kamarnya, langkah pemuda itu terburu-buru menuju tangga. Sesampainya di lantai satu, Nathan bergegas menuju ruang kerja Maya. Dengan tekad yang menguat, Nathan menepis keraguan dan melangkah lebih cepat, menuju tujuan yang jelas di benaknya. Nathan pun tiba di depan pintu ruang kerja Maya. Tanpa ragu, ia membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Pandangannya langsung tertuju pada ibunya yang sedang duduk di meja kerja, tenggelam dalam berbagai berkas dan catatan.

Dengan cepat, Nathan mengungkapkan, “Bunda, jin yang kita suruh untuk menyelidiki Cici dan Sisi sudah melapor padaku.”

Maya segera mengalihkan perhatiannya dari berkas-berkas di mejanya. “Apa yang jin itu laporkan?” tanyanya, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran.

Nathan duduk di kursi depan meja kerja Maya, menatap ibunya dengan serius. “Ternyata Cici dan Sisi merasa tertekan dengan aturan-aturan yang Bunda buat,” ujarnya, suaranya datar namun tegas. “Mereka merasa dikekang oleh semua yang Bunda tetapkan. Yang mereka inginkan hanyalah kebebasan. Mereka ingin hidup tanpa batasan, dan itu membuat mereka enggan untuk kembali.”

Raut wajahnya berubah, mencerminkan keraguan dan penyesalan. “Kebebasan?” bisiknya, seolah kata itu terjebak di tenggorokannya.

Nathan menghela napas, mencoba menjelaskan dengan lebih tenang. “Sebenarnya, permasalahannya sangat sederhana, Bunda. Mungkin jika Bunda memberi mereka kebebasan yang mereka inginkan, mereka akan merasa lebih baik. Dengan begitu, mereka pasti akan kembali ke rumah ini.”

Maya menggelengkan kepala, tampak bingung dengan pernyataan Nathan. “Bunda tidak pernah mengekang mereka, Nathan. Bunda tidak melakukan apa pun yang membuat mereka merasa tertekan.”

“Bagaimana dengan seks?” tanya Nathan sambil menahan senyum.

Maya terbelalak, terkejut dengan pertanyaan itu. “Apakah mereka itu terkekang oleh masalah itu?” tanyanya, nada suaranya mencerminkan kebingungan. Seketika, Maya mengakui, “Sebenarnya, Bunda memang sangat membatasi mereka dalam hal itu.”

Nathan berdiri dan menatap ibunya dengan tegas. “Cici dan Sisi adalah orang-orang yang menganut seks bebas. Sebaiknya Bunda memberikan kebebasan itu pada mereka.” Tanpa menunggu respon dari Maya, Nathan bergerak hendak keluar dari ruang kerja Maya.

Namun, Maya segera memanggilnya, “Nathan!” Nathan segera berbalik badan. Maya berkata, “Masalah Cici dan Sisi bisa kita abaikan dulu. Bagaimana dengan masalah kakekmu?”

Nathan mengangguk, menyadari bahwa masalah ini juga penting. “Aku sedang memikirkan solusi agar semua masalah ini bisa selesai tanpa ada dampak yang tidak diinginkan,” jawabnya dengan serius.

Maya menatap Nathan dengan penuh harapan. “Bunda berharap kamu bisa menemukan solusinya, tetapi tolong pertimbangkan juga untuk tidak merugikan Bunda,” katanya dengan nada lembut.

“Baiklah … Aku akan memprioritaskan keinginan Bunda,” jawab Nathan sambil tersenyum.

Nathan meninggalkan ruang kerja Maya dengan pikiran yang berputar. Langkahnya terasa lambat saat ia naik ke lantai dua menuju kamar tidur. Setelah sampai, ia menutup pintu kamar. Nathan berdiri sejenak, merenung tentang semua yang baru dibicarakan dengan ibunya. Nathan kemudian memutuskan untuk mandi dan merilekskan pikiran. Ia melangkah menuju kamar mandi, membuka keran air, dan membiarkan air mengalir ke dalam bathtub. Nathan berdiri di depan bathtub yang sudah terisi penuh dengan air hangat. Dengan perlahan, ia mulai membuka pakaian, satu per satu. Setelah melepas kemeja, ia menanggalkan celana dan akhirnya berdiri dalam keadaan telanjang. Pemuda itu lantas melangkah ke dalam bathtub, merasakan air hangat menyelimuti kulitnya. Ia berbaring dalam air, membiarkan ketegangan yang mengikat tubuhnya menghilang. Suara air yang menetes memberikan kenyamanan, sementara pikirannya berusaha mengusir semua yang baru saja terjadi. Dalam sekejap, kehangatan air membuatnya merasa lebih tenang, jauh dari semua masalah yang membebani pikiran.

Sementara itu, Maya di ruang kerjanya sedang merenung dalam-dalam. Maya duduk diam di ruang kerjanya, tatapannya kosong, menatap berkas-berkas yang tersusun rapi di atas meja tanpa benar-benar melihatnya. Pikiran wanita itu tak henti-hentinya berputar pada satu hal, yaitu niat Nathan untuk membebaskan kakeknya. Bayangan tentang masa lalu yang telah lama ia kubur perlahan muncul kembali, membawa kekhawatiran yang tak pernah ia harapkan. Ia tahu bahwa jika kakek Nathan bebas, tidak hanya kejayaannya yang akan hilang, tetapi juga seluruh keseimbangan hidup yang telah ia bangun selama ini. Maya mengepalkan tangan, merasakan ketegangan yang merayap. Ia mengenal keteguhan hati Nathan, dan kali ini, ketakutannya semakin besar. Maya benar-benar ragu apakah ia mampu membujuk Nathan untuk mundur dari keinginannya itu.

Dulu, Maya mungkin bisa menggunakan cara keras untuk menahan keinginan Nathan. Waktu itu, Nathan hanyalah seorang anak yang bisa diarahkan sesuka hatinya. Namun sekarang, keadaan berubah. Nathan bukan lagi bocah yang patuh, ia telah tumbuh menjadi seorang ksatria dengan kekuatan yang bahkan Maya sendiri tak sanggup menandingi. Maya menyadari sepenuhnya bahwa melawan Nathan sekarang sama saja dengan menantang kekuatan yang jauh melampaui dirinya. Keyakinan itu menghantam Maya, dan ia mulai melihat betapa sedikit kuasa yang masih ia miliki untuk menghalangi keputusan anaknya.

“Tapi … Aku harus bisa membujuknya …” pikir Maya sambil bangkit dari duduknya.

Maya bangkit dari kursi kerjanya, ragu sejenak, namun akhirnya memutuskan keluar dari ruangannya. Langkah Maya mantap namun penuh beban, menyusuri lorong-lorong rumah yang tampak sunyi. Menuju lantai dua, pikirannya tak henti bertanya-tanya, meraba-raba kata apa yang harus disampaikannya kepada Nathan. Sesampainya di depan pintu kamar Nathan, Maya berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum memutar gagang pintu dan masuk. Kamar itu tampak kosong; Nathan tidak terlihat di sana. Namun, Maya mendengar suara air dari kamar mandi dalam kamar Nathan.

Maya tersenyum ketika menemukan ide untuk berbicara dengan Nathan. Dengan percaya diri, ia perlahan melepas seluruh pakaiannya hingga telanjang, lalu melangkah masuk ke kamar mandi. Senyum di wajahnya semakin lebar saat melihat tatapan terkejut Nathan yang terdiam melihat kedatangannya. Nathan, yang duduk di dalam bathtub, langsung menegakkan tubuhnya dan memandang Maya yang telanjang dengan penuh makna.

Maya tersenyum tipis, berusaha menggoda saat ia berkata, “Apa aku boleh bergabung denganmu di situ, Nathan?” Ia melangkah mendekat, gerakannya penuh percaya diri, menatapnya dengan penuh menggoda sembari menunggu respons. “Sepertinya bathtub itu cukup luas untuk kita berdua,” lanjut Maya, suaranya lembut dan menggoda, matanya berbinar dengan penuh arti.

“Oh … Silahkan Bunda …” jawab Nathan bersemangat.

Maya tersenyum penuh percaya diri dan setelah menerima isyarat dari Nathan, perlahan melangkah ke dalam bathtub. Dengan lembut, ia duduk di atasnya, memunggungi Nathan, merasakan kehangatan tubuhnya yang menyatu dengan air. Posisi ini membuat Maya merasa kuat dan menggoda, seolah-olah ia adalah pusat perhatian. Maya bisa merasakan penis Nathan yang mulai mengeras di buah pantatnya, dan dengan lembut wanita itu menyandarkan punggungnya ke dada Nathan, menyampaikan pesan bahwa ia siap untuk menjalin kedekatan yang sangat intim.

“Sudah lama Bunda tidak berendam seperti ini,” ucap Maya setengah mendesah.

“Begitu? Aku bisa mengerti kenapa, karena Bunda terlalu sibuk. Ya, ini adalah waktu yang tepat untuk bersantai,” jawab Nathan sambil melingkarkan lengannya di perut Maya. Ia merasakan detak jantung ibunya, lambat namun pasti, Mereka saling mengonfirmasi hasrat yang ada di antara mereka.

Maya menoleh sedikit, memberikan tatapan penuh makna. “Kamu tahu, kadang Bunda merasa hidup ini terlalu cepat berlalu. Ternyata kita butuh lebih banyak waktu seperti ini untuk berhenti sejenak dan menikmati apa yang kita miliki.”

Nathan mengangguk, memahami apa yang dirasakan Maya. “Bunda benar. Hidup ini harus diisi dengan kenangan indah.” Nathan kemudian meraih sabun dan dengan lembut mulai mengoleskannya ke payudara Maya.

“Hmm, itu enak,” Maya menggoda sambil menutup matanya, menikmati setiap sentuhan lembut Nathan. “Kamu benar-benar tahu cara membuat Bunda merasa nyaman.”

“Itu baru permulaan, Bunda. Aku ingin membuat Bunda merasa lebih dari sekadar nyaman,” bisiknya, suaranya dalam dan menggoda, menyiratkan niatnya untuk lebih dari sekedar ini.

“Jadi … Apa yang kamu pikirkan?” tanya Maya dengan suara nakal.

“Biarkan aku menunjukkan padamu,” jawab Nathan sambil menggerakkan tangannya perlahan ke selangkangan Maya.

Nathan perlahan menggerakkan jarinya dengan menggesek jari tengahnya dengan klitoris Maya, memutar jarinya di sana dan menekan pelan. Maya mendesah merasakan betapa nikmatnya kala klitorisnya disentuh. Maya menikmati sentuhan itu, memejamkam mata dan menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Bibirnya membuka mengeluarkan desahan-desahan kala jemari nakal itu menari di sana, sesekali jari tengah Nathan mengusap lubang jalan masuk benda besar miliknya ke sana.

“Nathan … Ooohhh … Berhenti sayang …” Desah Maya sembari memegang tangan Nathan yang nakal lalu mengangkatnya.

“Kenapa?” bisik Nathan menggoda.

“Di sini tempatnya mandi, bukan begituan …” ucap Maya.

“Kalau begitu, kita sudahi mandinya dan kita lanjutkan di tempat tidur …” ajak Nathan.

“Bunda baru saja berendam sayang … Bisakah kamu tahan adikmu ini sebentar saja,” ungkap Maya sembari menekan bokongnya sehingga penis Nathan yang sudah tegang tergencet.

“Hhhmm … Baiklah …” Ucap Nathan menuruti keinginan ibunya.

Nathan dan Maya berdesakan dalam bathtub yang hangat, dikelilingi oleh busa putih yang lembut. Dengan cahaya lampu yang temaram, suasana menjadi semakin intim. Mereka saling berbisik, tawa kecil menghiasi percakapan manis mereka. Maya menatap Nathan dengan senyum lembut, sementara jari-jarinya bermain dengan air, menciptakan riak-riak kecil. Nathan meraih sabun dan mengoleskan busa ke tubuh Maya, menggelitiknya hingga dia terbahak. Ketika Maya membalas dengan menyemprotkan busa ke wajah Nathan, keduanya terlarut dalam kegembiraan dan kehangatan, seolah dunia di luar hanyalah bayangan.

Setelah menikmati momen mandi bersama, Nathan dan Maya melangkah keluar dari bathtub, air menetes lembut dari tubuh mereka. Dengan handuk besar membungkus tubuh masing-masing, mereka saling tersenyum dan berjalan ke luar kamar mandi. Langkah mereka membawa mereka ke tempat tidur, di mana kasur lembut menyambut mereka. Dengan lembut, mereka berbaring berdampingan, merasakan kenyamanan yang menyelimuti mereka. Dalam kehangatan itu, mereka saling berpelukan, tubuh mereka menyatu dengan sempurna. Keduanya tersenyum, membiarkan momen itu mengalir tanpa perlu kata-kata.

Setelah beberapa saat menikmati keheningan, Maya memecah suasana dengan suara lembut, “Nathan, aku sangat mencintaimu.” Kata-katanya mengalir dengan tulus. Maya menatap dalam-dalam mata Nathan, seolah ingin memastikan bahwa perasaannya tersampaikan sepenuhnya. “Jangan pernah meragukan cintaku padamu,” lanjut Maya, suaranya penuh keyakinan.

“Bunda,” kata Nathan lembut, “aku juga sangat mencintai Bunda. Tidak ada satu detik pun dalam hidupku yang aku ragukan perasaan ini.” Ia meraih tangan Maya, menggenggamnya erat. “Cinta Bunda adalah segalanya bagiku. Bersama Bunda, aku merasa lengkap. Kita saling mengisi, dan aku berjanji akan selalu ada untuk Bunda.”

Maya menatap Nathan dengan mata penuh harap, dan dengan lembut ia berkata, “Nathan, Bunda ingin kamu bersumpah akan selalu mencintai dan menjaga hubungan ini. Bunda ingin tahu bahwa kita akan selalu bersama, apapun yang terjadi.” Suaranya bergetar sedikit, tetapi keyakinan dalam tatapannya membuat Nathan merasa beruntung.

Nathan mengangguk dengan serius, “Aku bersumpah, Bunda. Aku akan selalu mencintai Bunda, dalam keadaan apapun. Kita akan melewati segala suka dan duka bersama. Bunda adalah segalanya bagiku, dan aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan Bunda.”

Maya menundukkan kepala sejenak, mengumpulkan keberanian sebelum melanjutkan, “Nathan, Bunda ingin kamu tahu bahwa Bunda sangat percaya padamu. Bunda tidak ingin kamu seperti kakekmu dulu. Dia mengkhianatiku dan menghancurkan hatiku.”

Nathan mengangkat dagu Maya, memandangnya dengan penuh perhatian. “Bunda, aku berjanji, aku tidak akan pernah seperti itu. Bunda adalah orang yang paling berharga bagiku, dan aku tidak akan pernah mengkhianati cintamu.”

Maya menatap Nathan dengan penuh perasaan, lalu dengan lembut ia mendekat dan mencium bibirnya, merasakan hangatnya perasaan yang mengalir di antara mereka. Ciuman itu terasa manis dan membawa semangat yang membara. Nathan membalas ciuman Maya dengan lembut, lalu semakin dalam. Ketika bibir mereka saling mengecap, aliran birahi mulai menghangatkan seluruh tubuh mereka, membuat detak jantung keduanya semakin cepat. Maya menggerakan jari-jarinya ke leher Nathan, sementara tangan Nathan membelai punggungnya, menciptakan getaran yang menggugah. Dalam kehangatan pelukan dan ciuman itu, dunia di sekitar mereka lenyap, meninggalkan hanya gairah yang mengalir deras di antara mereka.

Tangan Nathan pun mulai bergerak, perlahan mengarahkan sentuhannya ke bagian tubuh Maya yang paling intim. Pemuda itu merasakan kehangatan dan kelembutan, menemukan bahwa kewanitaan Maya sudah basah. Nathan kemudian memasukkan jari telunjuk kanannya ke dalam kewanitaan ibunya, disambut teriakan kaget Maya begitu merasakan benda asing memasukinya. Membuat kewanitaannya semakin berkedut-kedut. Nathan menggeram nikmat, merasakan jarinya yang serasa dipijit oleh otot-otot kuat milik ibunya, bagaimana jika miliknya? Nathan semakin tidak sabar, ia pun memasukan jari tengahnya, sehingga dua jari sudah berada di dalam Maya.

“Aaaaahhh … Nathan ….” Pekik Maya keenakan.

Nathan tersenyum, kala ia menemukan apa yang ia cari. Klitoris Maya. Wanita itu membulatkan matanya terkejut, tatkala merasakan klitorisnya disentuh dengan lembut. Apalagi Nathan semakin memainkan klitorisnya yang semakin mengeras, membuatnya semakin tidak tahan. Mati-matian Maya menahan agar tidak mengerluarkan suara aneh. Semua yang dilakukan oleh putranya seakan-akan adalah muslihat untuk mendapatkan dirinya, namun ia sendiri menyukainya. Menyukai sentuhan putranya pada tiap jengkal tubuhnya, pada tiap lekuk tubuhnya.

Nathan tersenyum lagi, ia kembali memasukkan jari manisnya, membuat Maya menggeliat tak karuan. Tubuhnya sudah berkeringat, namun rasa nikmat yang dirasakannya tak kunjung berhenti. Membuat tubuhnya menegang, tatkalah puncak kenikmatan terasa, cairan bening mengalir keluar dari dalam kewanitaannya.

“Hah… hah…” Maya terengah, mencapai klimaks.

Nathan mendekatkan bibirnya pada telinga Maya, “Aku ingin mencicipi Bunda.”

Maya belum sempat mencerna perkataan Nathan. Namun, dirinya begitu terkejut tatkala merasakan lidah putranya melesat masuk ke dalam kewanitaannya, pahanya diremas oleh kedua tangan putranya. Rasanya benar-benar membuatnya melayang. Desahannya keluar tanpa henti, walaupun suaranya terdengar aneh di telinganya sendiri. Sementara Nathan menjilati dengan rakus sisa-sisa cairan yang dikeluarkan Maya. Menikmati rasa cairan cinta Maya yang membuatnya ketagihan seperti narkoba.

Maya merasa tersiksa sekaligus nikmat tatkala klitorisnya dijilat dan dihisap oleh Nathan, membuatnya terbuai oleh setiap gerakan yang dilakukan Nathan di dalamnya.

“Ah… Lidahnya di dalamku …” pikir Maya sembari menikmati tiap gerakan yang dibuat oleh putranya.

Nathan menjauhkan wajahnya, menatap ibunya dengan menggoda sembari menjilat sudut bibirnya. “Bunda manis …”

Pria itu kemudian merangkak lalu melumat bibir Maya, membuat bibir itu semakin ranum, membuat Maya semakin mabuk kepayang. Nathan benar-benar predator. Predator yang memanjakan sang mangsa hingga mabuk kepayang. Kedua tangan Nathan kembali meremas buah dada Maya yang bergerak naik turun seiring nafasnya. Maya kembali mendesah tak karuan. Merasakan putingnya yang dijepit oleh jemari-jemari Nathan, terkadang menariknya. Melipat-gandakan setiap kenikmatan yang dirasakan Maya. Dengan sedikit lebih kasar, Nathan meremas sembari menggerakkan buah dada Maya, dan dengan sengaja melepaskan ciuman mereka untuk mendengar suara yang dikeluarkan oleh ibunya.

Maya tak bisa berhenti mendesah panjang, tangannya dikalungkan pada leher Nathan, sementara matanya terpejam dan terbuka secara berkala. Belum puas bermain-main dengan buah dada Maya, ia menghisap buah dada itu, sementara tangan satunya masih bermain dengan buah dada lainnya, tangan kirinya yang bebas masuk ke dalam kewanitaan Maya lagi. Membuat wanita itu semakin menggeliat keenakan. Tangan mungilnya mendorong kepala Nathan semakin dalam, membiarkan pemuda itu menikmati dirinya.

“Aaahh … Nathan … Aaaaahhh…”

Kembali, cairan bening membasahi jemari Nathan, pemuda itu tersenyum. Kemudian ia membiarkan ibunya mengambil nafas. Nathan menatap Maya yang terpejam, napasnya terengah-engah. Tak lama kemudian, mata Maya perlahan terbuka, dan saat tatapan mereka bertemu, seakan seluruh dunia menghilang di sekitar mereka. Senyum lembut merekah di wajah keduanya, menandakan bahwa mereka berbagi sebuah momen yang tak terlukiskan. Nathan lalu membantu ibunya untuk mengubah posisinya dari terlentang menjadi duduk.

“Bunda tahu apa yang harus bunda lakukan, bukan?” tanya Nathan sambil menyeringai.

Maya hanya menatapnya dengan wajah memerah. Perlahan, tangannya menyentuh kejantanan milik Nathan. Meremasnya pelan, membuat Nathan mendesah nikmat. Maya tahu, sekarang apa yang harus ia lakukan. Perlahan, ia mendekatkan wajahnya pada kejantanan Nathan dan menjilatnya pelan. Membuat Nathan mendesah tak karuan, merasakan pelayanan yang diberikan oleh ibunya. Dengan perlahan, Maya memasukkan benda Nathan ke dalam mulutnya, kemudian menghisapnya dengan perlahan, membuat Nathan menggeram, menahan rasa yang ia rasakan sekarang. Wanita itu pun nampak menikmati kegiatannya saat ini.

Makin lama, hisapan Maya pada Nathan makin kuat, membuat pemuda itu hendak mencapai puncaknya. Namun, sebelum sempat klimaks, Nathan menarik miliknya keluar dari mulut Maya. Membuat Maya cemberut, pasalnya dia ingin merasakan cairan milik Nathan. Nathan pun tersenyum kecil, kemudian mengecup kening ibunya. Pemuda itu menidurkan sang ibu dalam posisi terlentang, sementara Maya masih bingung dengan apa yang akan dilakukan anaknya.

“Bunda gak sabar ‘ya?” goda Nathan pada Maya. Wanita itu hanya bisa cemberut dengan wajah memerah.

Nathan pun memposisikan miliknya tepat di depan lubang kenikmatan Maya. Maya sendiri mengalungkan tangannya pada leher Nathan. Maya sudah sangat ingin dimasuki Nathan, kerinduan itu terpancar jelas dari tatapan matanya yang penuh hasrat. Ia menatap Nathan dengan mendamba. Nathan mengetahui itu, ia menatap ibunya dengan penuh kasih. “Aku masuk sekarang…” ujarnya sambil tersenyum lembut, dibalas oleh anggukan.

Nathan perlahan memasukkan dirinya ke dalam tubuh Maya, merasakan dinding vaginanya yang ketat dan kencang menyambut kedatangannya. Saat kepala penisinya tenggelam sepenuhnya, Maya memejamkan matanya dan mulutnya terbuka sedikit, menandakan reaksi yang dia rasakan. Dengan hati-hati, Nathan mendorong masuk lebih dalam hingga seluruh batangnya terbenam sepenuhnya. Ia merasakan sensasi hangat, ketat dan basah saat ia meluncur masuk. Ia menariknya sedikit, kemudian mendorong lagi, menciptakan ritme perlahan yang membuat keduanya semakin terlibat dalam persenggamaan ini. Setelah beberapa tarikan, Maya membuka matanya dan menatap Nathan, seolah memberikan isyarat bahwa ia sudah mulai terbiasa. Merasa percaya diri, Nathan mempercepat gerakannya, memompa dalam posisi misionaris

“Aaahh … Aaahh … Aaahh …” Maya mendesah nikmat.

Nathan semakin mempercepat gerakannya, merasakan Maya kembali terjebak dalam gelombang orgasme yang begitu kuat dan panjang. Ia menyadari bahwa titik G-spot Maya terletak di bagian bawah dinding vaginanya, namun sulit untuk merangsangnya dalam posisi misionaris. Dengan penuh perhatian, Nathan mengarahkan Maya ke posisi doggy style. Ia menyesuaikan posisinya, menempatkan penisinya tepat di daerah G-spot Maya. Begitu ia melakukannya, Maya mendesah keras, menunjukkan betapa sensitifnya tubuhnya saat itu. Nathan mulai memompa Maya dari belakang, awalnya pelan sebelum meningkatkan kecepatan gerakannya.

Dalam waktu kurang dari lima menit, Nathan merasakan tubuh Maya kembali berkontraksi. Kontraksi kali ini jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya, menandakan kedalaman kenikmatan yang ia rasakan. Nathan merasakan otot-otot vagina Maya meremas penisinya dengan kuat, memberikan sensasi yang benar-benar tiada bandingnya. Ia bisa merasakan cairan hangat dari Maya mengalir keluar, membasahi paha mereka. Tubuh Maya berkontraksi dan menggeliat hebat, seolah-olah terhentak oleh gempa bumi. Orgasme yang dialaminya seakan tak kunjung reda.

Dengan penuh perhatian, Nathan memperlambat gerakannya, membiarkan Maya menikmati setiap detik dari orgasme yang sedang dirasakannya. Pemuda itu kemudian mencabut penisinya dari vagina Maya dan meminta ibunya untuk berbaring terlentang. Sambil tersenyum, Nathan kemudian mengambil posisi duduk pada perut Maya, namun tidak duduk di perutnya, lebih tepatnya berjongkok di atasnya. Dengan cepat, Nathan menjepitkan miliknya di antara dua dada milik Maya. Kaget, itulah yang dirasakan Maya, namun belum sempat protes, Nathan langsung memaju-mundurkan miliknya. Yang kembali membuat Maya mendesah tak karuan. Nathan pun turut mendesah merasakan kenikmatan kala miliknya diapit oleh dua buah dada Maya, rasanya benar-benar nikmat.

Semakin lama, gerakannya semakin cepat. Maya mulai meracau tak karuan. Nathan yang memang sudah tak tahan pun, mencapai klimaksnya. Cairan putih hangat menyembur membasahi tubuh Maya, disusul lenguhan panjang Maya. Wanita itu menjilat cairan yang keluar dari kebanggaan Nathan dengan rakus. Butuh waktu bagi pemuda itu untuk mengatur nafasnya. Ibunya benar-benar nikmat, tak ada yang kurang. Begitu cantik dan sempurna di matanya.

Nathan bergerak turun dari atas tubuh Maya, perlahan melepaskan kontak mereka. Ia duduk berselonjor di samping Maya, merasakan kehangatan tubuhnya yang masih memancar. Nathan masih berusaha mengatur napasnya, merasakan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Ia menatap Maya yang terbaring di sampingnya, wajahnya memancarkan kepuasan dan ketenangan. Sejenak, keduanya terdiam, menikmati suasana tenang setelah gelombang emosi yang kuat.

“Tadi itu sungguh luar biasa, Nathan …” ujar Maya, suaranya lembut dan penuh kehangatan. “Aku merasa seperti terbang.”

Nathan tersenyum, mengatur napasnya yang mulai stabil. “Aku juga merasakannya. Bunda sangat menggairahkan.”

Maya mengangkat kepala sedikit, menyandarkan dagunya di tangan. “Kamu benar-benar tahu cara membuat seseorang merasa istimewa.”

Nathan pun merebahkan diri lalu menghadapkan wajahnya pada Maya, “Bunda memang sangat istimewa.”

Maya memandang Nathan dengan tatapan skeptis, sedikit mengerutkan kening. “Kamu hanya bilang itu karena kamu ingin membesarkan hati Bunda saja,” ujarnya, suaranya terdengar ragu. “Bagaimana mungkin Bunda istimewa? Ada banyak wanita cantik dan lebih muda di luar sana.”

Nathan menggelengkan kepalanya, berusaha meyakinkan Maya. “Tidak, bukan itu. Aku serius, Bunda. Setiap momen bersama Bunda terasa berbeda. Bunda membawa sesuatu yang unik ke dalam hidupku.”

Maya masih tampak tidak yakin. “Sungguh? Bunda hanya merasa seperti perempuan biasa. Kadang-kadang, Bunda merasa tidak pantas mendapat perhatianmu.”

Nathan meraih tangan Maya, menggenggamnya dengan lembut. “Bunda lebih dari sekadar biasa. Bunda memiliki kekuatan dan keanggunan yang membuatku tertarik. Itu bukan sekadar kata-kata.”

“Bunda percaya pada apa yang kamu katakan, Nathan. Bunda harap kamu tidak akan mengkhianati Bunda,” ujar Maya, suaranya mulai bergetar. “Bunda sudah cukup terluka di masa lalu, dan Bunda tidak ingin mengalami hal itu lagi.”

Nathan mengangguk, merasa berat dengan perasaan yang diungkapkan Maya. “Aku mengerti, dan aku tidak akan pernah melakukan itu pada Bunda. Aku berjanji akan selalu jujur dan setia. Bunda tidak perlu khawatir tentang itu.”

“Tapi Bunda perlu bukti, Nathan …” kata Maya pelan sambil memandang wajah Nathan.

“Bukti apa?” tanya Nathan sembari mengerutkan kening.

“Bunda tidak ingin kamu membicarakan kakekmu lagi dan Bunda ingin kamu membuang keinginan untuk membebaskan kakekmu,” Maya menatap tajam mata Nathan.

Dengan santai Nathan menjawab, “Aku berjanji tidak akan membicarakan kakek lagi, dan aku berjanji akan membuang keinginanku untuk membebaskan kakek …”

Mendengar ucapan Nathan, Maya menerkam pemuda itu dengan suka cita. Ia merasa bahagia dan menghapus semua keraguan. Mereka kembali berpelukan dengan hangat dan menyatukan tubuh mereka dengan penuh gairah. Kali ini Maya mengambil inisiatif dan menjadi lebih agresif. Ia mengarahkan Nathan ke posisi yang nyaman. Maya berusaha memberikan kebahagiaan dan kenikmatan, memanjakan Nathan dengan cara baru. Ia mengeksplorasi keinginan mereka dan menciptakan irama baru. Nathan merasakan setiap dorongan dan gerakan Maya, membiarkannya memimpin. Setelah beberapa saat, Maya dan Nathan mulai memperlambat gerakan mereka, menikmati momen tenang setelah mencapai puncak kenikmatan. Mereka saling menatap dengan senyum kebahagiaan, merasakan kehangatan yang masih menyelimuti tubuh mereka.

Bersambung​

1 thought on “CERBUNG – NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *