Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 31​

Nathan menarik napas dalam-dalam saat memasuki kompleks rumahnya, lega akhirnya bisa sampai di rumah setelah seharian penuh di kantor. Begitu memasuki area rumah, Nathan menurunkan kaca mobil dan melambai ke salah satu satpam yang berjaga di pos depan, menandakan ia sudah pulang. Satpam itu dengan sigap menekan tombol di pos penjagaan, membuat gerbang besi besar terbuka perlahan. Nathan memasuki pelataran depan, tempat lampu taman otomatis menyala dan menerangi jalan setapak yang dipenuhi pepohonan rindang. Garasi otomatisnya berada di samping rumah dan dapat menampung beberapa mobil sekaligus. Nathan mengarahkan mobilnya menuju garasi yang sudah terbuka otomatis, diatur oleh sistem canggih yang terhubung dengan sensor kendaraannya. Lampu di dalam garasi menyala terang, memancarkan cahaya lembut yang menyorot berbagai koleksi mobil mewahnya yang terparkir rapi. Mobil-mobil tersebut, beraneka jenis dan warna, berderet dengan kilauan khasnya, masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Nathan dengan mudah memarkirkan mobilnya di tempat yang telah disiapkan khusus untuknya. Begitu mobil berhenti sempurna, Nathan mematikan mesin, menikmati keheningan sesaat yang tercipta.

Nathan keluar dari mobil, dan salah satu petugas keamanan pribadi yang berada di dekat pintu garasi segera menyapanya, memastikan apakah ada instruksi tambahan malam itu. Nathan hanya menggeleng, memberi tanda bahwa ia ingin beristirahat tanpa gangguan. Sebelum berjalan menuju rumah, Nathan melihat sejenak ke garasi, merasa puas dengan koleksinya yang semakin lengkap. Dengan senyum tipis yang mencerminkan kebanggaannya, Nathan melangkah ke dalam rumah yang sudah terang benderang dan siap menyambutnya.

Nathan memasuki rumahnya yang luas dan mewah. Begitu sampai di ruang tengah, ia melihat Maya sedang duduk di sofa, membaca majalah mode favoritnya. Maya menoleh saat Nathan mendekat. Tanpa banyak bicara, Nathan membungkuk sedikit dan mencium kening ibunya, sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan. Maya menyentuh lengannya dan tersenyum.

“Bagaimana harimu?” tanya Maya, sambil meletakkan majalahnya di meja.

Nathan duduk di sebelah ibunya dan menjawab, “Cukup panjang dan sangat melelahkan.”

Maya mengangguk pelan, lalu bertanya lagi, “Kamu sudah makan?”

“Sudah, Bun,” jawab Nathan. “Barusan makan malam dengan Anggi.”

“Baguslah,” kata Maya sambil tersenyum tipis, lalu menambahkan, “Tapi, Bunda lihat kamu terlalu sering berkencan dengan wanita yang lebih tua. Bahkan ada yang sudah bersuami.” Nathan tersenyum kecut, mengetahui arah pembicaraan ini. “Bunda rasa sudah waktunya kamu mulai serius, Nathan,” lanjut Maya. “Coba cari wanita yang masih muda, single, dan serius sama kamu. Kamu juga harus mulai memikirkan berumah tangga.”

Nathan tersenyum tipis dan menghela napas. “Aku masih ingin bebas dan menikmati masa lajang. Belum kepikiran untuk serius.”

Maya tersenyum kecil sambil mengamati wajah Nathan yang tampak santai. Dalam hati, ia berpikir bahwa sebenarnya, Nathan memang belum perlu mempunyai pasangan hidup. Meski sering mengingatkan putranya untuk mencari pendamping, Maya tahu bahwa ia sendiri masih belum siap jika Nathan benar-benar serius dengan seseorang. Nathan adalah satu-satunya yang selalu ada di sisinya, mengisi hari-harinya dengan perhatian dan kasih sayang. Maya menyadari bahwa ia masih butuh kehadiran Nathan di rumah, setidaknya untuk beberapa waktu lagi.

Maya menatap Nathan sejenak, lalu berkata, “Ngomong-ngomong, kamu punya saran, soal masalahnya Cici dan Sisi?”

Nathan tersenyum tipis sebelum menjawab, “Menurutku, Bunda perlu bicara langsung dengan Cici dan Sisi. Kadang kita semua punya pandangan dan keinginan yang berbeda, dan itu bisa bikin situasi jadi rumit kalau nggak dibicarakan. Coba ajak mereka bicara dari hati ke hati. Mungkin, kalau sama-sama terbuka, solusinya bisa ketemu tanpa ada yang merasa dikorbankan.”

Maya merasa lega mendengar respons Nathan. “Kalau begitu … Bunda ingin kamu ikut dalam pembicaraan itu. Mungkin dengan adanya kamu, mereka akan lebih mudah terbuka dan lebih mau mendengarkan.”

Nathan terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baik, Bunda. Kalau itu bisa membantu, aku akan ikut.”

Maya tersenyum dan berkata, “Bagus. Besok pagi, sebelum kamu pergi ke kantor, kita akan melakukan teleconference dengan Cici dan Sisi. Semoga dengan cara ini, kita bisa menemukan solusi bersama.”

Nathan kemudian bertanya, “Bunda, bagaimana keputusan Bunda terkait keinginan Cici dan Sisi?”

Maya menjawab, “Bunda akan mengabulkan semua permintaan mereka, asal mereka bersedia kembali ke sini.”

Nathan merespons, “Kalau itu keputusan Bunda, aku yakin Cici dan Sisi akan mau tinggal di sini. Mereka pasti akan merasa lebih baik jika Bunda bisa memenuhi keinginan mereka.”

Setelah meminta izin kepada ibunya, Nathan pergi ke kamarnya dengan niat untuk mandi dan mengganti pakaian. Sesampainya di kamar sang pemuda, ia langsung melepas pakaian dan melangkah masuk ke kamar mandi. Suara air yang mengalir membawa rasa segar setelah seharian beraktivitas. Setelah selesai mandi, Nathan berpakaian rapi dan merapikan diri di depan cermin. Saat menatap refleksinya, pikiran Nathan melayang ke kakeknya, yang entah di mana keberadaannya. Ia teringat akan jin penunggu Gunung Brajamusti dan berharap mereka bisa memberikan petunjuk atau bahkan membantu menemukan kakeknya. Dengan harapan dan rasa ingin tahu, Nathan berencana untuk meminta bantuan jin tersebut, berharap dapat menemukan kakeknya dan mengungkap rahasia yang telah lama membayangi keluarganya.

“Jin penunggu Gunung Brajamusti … Datanglah …!” ucap Nathan sambil menatap dirinya di cermin.

Tiba-tiba, udara di dalam kamar menjadi dingin, dan cahaya lampu bergetar seolah merespons panggilan Nathan. Dari sudut ruangan, sebuah kabut halus mulai terbentuk, mengalir dengan lembut dan perlahan membentuk sosok yang tinggi dan bercahaya. Di tengah kabut itu, muncul seorang jin dengan wajah tampan, mengenakan pakaian tradisional yang berkilau, seakan terbuat dari cahaya bintang.

“Aku mendengar panggilanmu, wahai Tuanku. Apa yang kau inginkan dari kekuatan yang aku miliki?” tanya sang jin, suaranya menggema.

“Apakah kau pernah tahu seseorang pewaris Gunung Brajamusti yang bernama Permana?” tanya Nathan sambil menatap sang jin dari pantulan cermin di hadapannya.

Jin itu mengangguk, senyumnya mengembang. “Aku sangat mengenal pewaris Gunung Brajamusti yang bernama Permana,” jawabnya dengan suara yang tenang namun penuh wibawa. “Permana adalah sosok pewaris yang sangat dibenci oleh semua jin penunggu Gunung Brajamusti karena telah melepas tanggung jawabnya sebagai pewaris.”

Nathan mengerutkan dahi, lalu bertanya, “Apa yang akan para jin penunggu Gunung Brajamusti lakukan terhadapku jika aku memutuskan untuk memberikan Gunung Brajamusti kepada orang lain?”

Jin itu tersenyum penuh keyakinan. “Para jin penunggu Gunung Brajamusti tidak akan berani kepada Tuan, karena Tuan adalah pemimpin mereka. Mereka akan selalu taat dan patuh kepada pimpinan mereka.”

Nathan tersenyum lega, lalu bertanya, “Apakah kau mengetahui keberadaan Permana saat ini?”

Jin itu menjawab dengan serius, “Permana saat ini berada di bawah perlindungan raja siluman ular. Ia tidak bisa disentuh oleh para jin penunggu Gunung Brajamusti yang marah padanya. Raja siluman ular itu selalu melindungi Permana dengan ratusan juta pasukannya. Para jin Gunung Brajamusti tidak berdaya menghadapi pasukan siluman ular itu karena jumlahnya yang sangat banyak.”

Nathan terkejut mendengar penjelasan itu. “Apakah para jin penunggu Gunung Brajamusti memang memburu Permana? Dan untuk apa?”

Jin itu menjawab dengan tegas, “Permana dianggap oleh para jin penunggu Gunung Brajamusti sebagai pengkhianat karena telah melepaskan tanggung jawabnya sebagai pewaris Gunung Brajamusti. Sebagai pengkhianat, Permana harus diberi hukuman. Namun, saat ini ia mendapatkan perlindungan dari raja siluman ular, dan para jin Gunung Brajamusti tidak bisa menembus pertahanan siluman ular itu.”

Nathan mengumpulkan keberanian dan berkata, “Bawa aku ke kerajaan siluman ular itu. Aku ingin bertemu dengan Permana.”

Jin itu menatap Nathan dengan serius. “Aku bisa mengantar Tuan sampai perbatasan saja, karena banyak sekali siluman ular yang menjaga di sana. Mereka tidak akan ragu untuk menyerang jika merasa terancam.”

Nathan mengangguk mantap. “Tidak masalah. Bawalah aku ke sana.”

Jin itu mengulurkan tangannya, dan cahaya cerah menyelimuti Nathan, mengangkatnya dari kenyataan seolah ia melayang di antara dimensi. Dalam sekejap, dia terjerumus ke dalam alam gaib yang menakjubkan. Di hadapannya terbentang hutan mistis dengan pepohonan raksasa yang bercahaya seolah terbuat dari kristal, setiap cabangnya bergetar lembut dalam hembusan angin magis.

Nathan merasakan getaran di sekelilingnya, menandakan bahwa mereka sudah berada di perbatasan kerajaan siluman ular. Di hadapan Nathan, terbentang hutan belantara yang penuh misteri, dengan pepohonan rimbun menjulang tinggi menutupi langit. Dari balik pepohonan, sosok-sosok siluman ular muncul dengan postur setengah manusia, setengah ular. Mereka memiliki tubuh yang ramping dan berotot, ditutupi oleh sisik berkilau yang memantulkan cahaya. Mata mereka bersinar kuning tajam, dan lidah panjang mereka menjulur keluar-masuk seperti ular asli, menandakan insting predator yang kejam.

Beberapa di antara mereka memiliki wajah manusia yang tampan dan anggun, namun dengan fitur reptil yang mencolok, seperti garis-garis hijau dan hitam di kulit mereka yang membuat mereka terlihat lebih menakutkan. Suara mendesis keluar dari tenggorokan mereka, memberi kesan bahwa mereka adalah makhluk yang berbahaya dan misterius.

“Aku hanya bisa membawa Tuan sampai di sini,” kata jin itu, suaranya menggema dan bergetar dalam suasana mencekam. “Ingat, Tuan, mereka tidak akan ragu untuk menyerang jika mereka merasa terancam.”

Nathan mengangguk, hatinya berdebar kencang, dan sebelum dia sempat mengucapkan kata-kata lain, sang jin menghilang dalam semburat cahaya, meninggalkan Nathan sendirian di hadapan kerajaan siluman ular. Dengan keberanian yang mengalir dalam darahnya, Nathan melangkah maju, siap menghadapi apa pun yang menantinya di sana.

Nathan baru saja maju beberapa langkah ketika tiba-tiba puluhan panah cahaya melesat keluar dari kegelapan, berputar dan meluncur ke arahnya dengan kecepatan luar biasa. Seketika, nalurinya merespons. Nathan mengangkat tangannya, memanggil sinar pelindung yang berpendar kuat, membentuk tameng transparan di sekeliling tubuhnya. Detik berikutnya, panah-panah cahaya itu menghantam pelindungnya satu per satu, menimbulkan ledakan cahaya kecil tiap kali mereka luruh di permukaannya.

Nathan menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri dari serangan mendadak tadi, lalu dengan suara lantang yang menggema di tengah hutan gaib itu, ia berseru, “Aku datang dengan damai! Tidak ada niat untuk menyerang atau menantang kalian!”

Suara Nathan bergema di antara pepohonan raksasa, dan seketika suasana hening, seolah para makhluk yang bersembunyi tengah mempertimbangkan kata-katanya. Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya bayangan-bayangan di antara pepohonan mulai bergerak pelan, membentuk barisan makhluk setengah manusia dengan sisik berkilau di kulit mereka, mata kuning mereka menyala tajam memandang Nathan. Salah satu dari mereka maju, tubuhnya tegap dengan tatapan penuh selidik.

“Kedamaian bukan alasanmu datang ke wilayah kami, manusia,” kata sosok itu dengan suara mendesis rendah.

Nathan tetap tenang dan menjawab dengan nada tegas, “Aku hanya ingin bicara dengan Permana. Aku datang ke sini untuk mencarinya, dan tidak lebih dari itu.”

Siluman ular yang maju tadi mendesis pelan, menatap Nathan dengan sorot mata tajam penuh curiga. “Apa kepentinganmu bertemu dengan Permana, manusia?” tanyanya, suaranya rendah dan menyeramkan, seperti bisikan yang diseret angin dingin di antara pepohonan.

Nathan menatap sosok itu tanpa gentar. “Aku adalah cucunya. Aku datang untuk bertanya tentang keluargaku. Ada hal-hal yang hanya bisa dijawab oleh Permana.”

Siluman ular yang mendengar pengakuan Nathan tampak terkejut, namun hanya sesaat, sebelum kembali ke ketenangannya yang angkuh. Dia memberi isyarat dengan anggukan kepala, mengarahkan Nathan untuk mengikuti jalur setapak sempit di tengah hutan belantara itu. Siluman ular yang memandu Nathan akhirnya membawanya ke depan sebuah gerbang besar yang dihiasi patung ular bersisik emas, bersinar di bawah remang cahaya. Gerbang itu terbuka perlahan, mengungkapkan pemandangan sebuah kota yang megah, tampak seperti kota Romawi yang berdiri kokoh dengan pilar-pilar marmer, lorong-lorong yang luas, dan bangunan menjulang penuh kemewahan. Di tengah kota itu berdiri sebuah istana besar, dikelilingi taman yang dihiasi air mancur berukir patung ular bermahkota, airnya memantulkan cahaya mistis yang menambah nuansa angker dan megah.

Nathan melangkah maju, menyusuri lorong besar menuju aula utama istana. Dinding aula dipenuhi hiasan permata dan ukiran yang menggambarkan sejarah siluman ular. Ketika Nathan tiba di ujung aula, di sana, duduk di atas takhta raksasa berhias batu permata, adalah Raja Siluman Ular. Raja itu berwujud sosok setengah manusia dengan sisik berkilau yang menutupi sebagian kulitnya. Lidahnya yang bercabang sesekali menjulur cepat seperti ular, menunjukkan keangkeran yang luar biasa.

Raja Siluman Ular mengamati Nathan dengan tatapan tajam. Aura kekuasaannya terasa berat, membuat ruangan itu hening. Para siluman ular yang mengawal Nathan berdiri berjaga di sekitar, menunggu perintah sang raja.

Setelah beberapa saat, raja berbicara dengan suara rendah namun tegas, “Manusia, kau telah memasuki wilayah kami. Apa alasanmu datang ke sini?”

Nathan, yang berusaha mengendalikan debaran jantungnya, memberi hormat dan berkata, “Yang Mulia, saya datang dengan maksud yang tulus. Nama saya Nathan, dan saya adalah cucu dari Permana. Saya ingin bertemu dengan beliau, karena banyak misteri dalam sejarah keluarga kami yang perlu saya ketahui.”

“Kau akan dipertemukan dengannya. Ia berada di bawah perlindunganku sebagai tamu kehormatan,” ucap sang raja, suaranya bergetar dalam ruang besar itu.

Dengan satu gerakan tangan, sang raja memberi isyarat kepada para pengawalnya. Tak lama kemudian, dari balik tirai tebal di sisi aula, tampaklah seorang lelaki tampan dan gagah, berjalan perlahan mendekati Nathan. Lelaki itu memperhatikan Nathan dengan penuh rasa heran, seakan mencoba memahami sosok asing di hadapannya. Saat lelaki tampan itu mendekat, Nathan merasakan jantungnya berdegup kencang. Mereka saling berhadapan, dan Nathan melihat kedalaman pengalaman serta kebijaksanaan di wajah kakeknya. Permana juga memperhatikan Nathan, merasa ada sesuatu yang familiar, namun tidak dapat mengidentifikasi dengan jelas.

Permana akhirnya memecah keheningan, suaranya dalam dan tegas, “Siapa anak muda di hadapanku ini?”

Nathan menelan ludah, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. “Saya putra dari Maya dan Ronny. Nama saya Nathan.”

Mendengar nama Nathan, Permana terbelalak. “Benarkah? Apakah kau putra Maya?”

Nathan mengangguk, “Ya, saya memang putra Maya.”

Tiba-tiba, tanpa ragu, Permana melangkah maju dan memeluk Nathan erat-erat. Tangan lelaki itu mengelilingi punggung cucunya dengan penuh kerinduan, seolah ingin menghapus jarak waktu yang telah memisahkan mereka. Nathan terkejut sejenak, namun segera membalas pelukan itu dengan penuh kasih. Ada air mata yang mengalir di pipi Permana, menandakan kerinduan yang mendalam terhadap keluarganya. Dalam momen itu, semua pertanyaan yang membebani Nathan seolah lenyap, digantikan oleh perasaan terhubung dengan sosok yang selama ini hanya ada dalam cerita. Mereka berdiri dalam pelukan yang penuh emosi, dua generasi yang akhirnya bertemu setelah sekian lama, berbagi rasa yang tak terucapkan dan kenangan yang terlupakan.

Setelah beberapa saat, Permana mengurai pelukannya, namun tangannya tetap berada di kedua bahu Nathan, seolah untuk memastikan bahwa cucunya benar-benar ada di depannya. Dengan tatapan penuh harapan, Permana berkata, “Aku sudah lama menantikan kedatanganmu, Nathan. Menurut wangsit yang kuterima dari leluhur kita, akan datang seorang pewaris Gunung Brajamusti untuk menemuiku.”

Nathan merasakan beratnya kata-kata itu. “Apakah kau yakin itu aku?” tanyanya, mencari kepastian di mata kakeknya.

Permana mengangguk. “Kau adalah bagian dari takdir kita, dan aku percaya bahwa kedatanganmu bukanlah kebetulan.”

Permana menoleh kepada Raja Siluman Ular, penuh rasa hormat. “Yang Mulia, izinkan aku membawa Nathan ke tempatku.”

Raja Siluman Ular hanya memberi isyarat dengan tangannya, sebuah tanda persetujuan yang sederhana namun bermakna. Mata sang raja tetap tajam, mengawasi pergerakan mereka dengan penuh kewaspadaan.

Permana merasa lega dan segera menoleh kembali kepada Nathan, “Mari, kita pergi. Masih banyak yang perlu kau ketahui.”

Permana dan Nathan meninggalkan aula kerajaan, langkah mereka menggema di koridor yang megah. Dinding berornamen dan lampu-lampu kristal memancarkan cahaya lembut. Permana memimpin jalan, wajahnya penuh ketegasan dan kebanggaan. Akhirnya, mereka tiba di ruang yang luas dan indah. Langit-langitnya tinggi, dihiasi mural indah. Perabotan kayu yang elegan dan permadani mewah menghiasi setiap sudut, menambah nuansa kemewahan. Nathan terpesona oleh keindahan ruangan ini. Permana mengarahkan Nathan untuk duduk di kursi empuk di dekat jendela besar yang memberikan pemandangan luar biasa.

Permana memandang Nathan dengan rasa bangga. “Kau berhasil sampai ke tempat ini dengan selamat, Nathan. Ini bukanlah tempat yang sembarangan. Banyak makhluk yang berusaha masuk, tetapi hanya sedikit yang mampu melakukannya.” Ia menghentikan sejenak, memberi kesempatan pada kata-katanya untuk menyerap. “Aku percaya, kau memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.”

Nathan merasakan denyut jantungnya berdetak kencang mendengar pujian itu. Ia menatap wajah kakeknya, melihat keyakinan dan harapan yang terpancar dari matanya. “Tapi, aku belum merasakan kekuatan itu,” jawab Nathan dengan nada ragu. “Aku masih mencari siapa diriku sebenarnya.”

Permana tersenyum lebar. “Kekuatan tidak selalu terletak pada apa yang bisa kau lihat atau kau lakukan. Terkadang, kekuatan berasal dari dalam diri, dari tekad dan keberanianmu untuk mencari kebenaran.”

Nathan menatap Permana dengan penuh keraguan. “Sebenarnya, siapa diriku?” tanyanya, suaranya menggema lembut di dalam ruangan yang megah itu.

Permana mengerutkan kening, terkejut mendengar pertanyaan tersebut. “Kenapa kau menanyakan hal itu? Bukankah kau adalah putra Maya dan Ronny?” jawabnya dengan nada penuh keheranan.

Nathan menggelengkan kepala, cemas meliputinya. “Apakah kakek tidak tahu kalau Ronny mandul?”

Keterkejutan terlihat jelas di wajah Permana. Ia menatap Nathan dengan tatapan tajam, berusaha mencerna informasi yang baru saja didengarnya. “Aku tidak tahu kalau Ronny mandul,” ujarnya dengan suara bergetar. “Darimana informasi itu kau dapatkan?”

Nathan menegakkan punggungnya, mencoba terlihat lebih percaya diri. “Aku mendengar langsung dari Ronny sendiri. Dia yang mengatakan itu padaku,” jawab Nathan, nada suaranya mantap namun tetap menyimpan keraguan.

Permana terkejut hebat, napasnya terhenti sejenak. Ia duduk kaku, tangan kanan meraih meja untuk menahan tubuhnya. “Jadi…” gumamnya pelan, suara itu nyaris tidak terdengar. Kata-kata itu menyiratkan sebuah kesimpulan yang sebenarnya sudah ada dalam pikirannya, tetapi ia tidak kuasa mengucapkannya. Wajahnya berkerut, mencerminkan pertarungan batin yang terjadi di dalam dirinya. Dalam sekejap, kilasan berbagai kenangan dan kemungkinan melintas di pikirannya. Pandangannya menurun, seolah tidak ingin menatap realitas yang menyakitkan.

Nathan menatap Permana dengan mata yang penuh emosi. “Jadi, hasil hubungan gelap kakek dengan ibuku adalah diriku,” ujarnya perlahan, setiap kata yang diucapkannya seolah berat dan penuh makna. “Dengan kata lain… sebenarnya … Kau adalah ayahku.”

Pernyataan itu menantang realitas yang telah lama tersembunyi. Nathan merasakan detak jantungnya berdengung di telinga, menunggu reaksi dari Permana. Sementara itu, wajah Permana tampak memucat, mulutnya sedikit terbuka, seolah kata-kata Nathan menghantamnya seperti petir di siang bolong. Ia menatap Nathan dengan tatapan kosong, berusaha memahami kenyataan yang baru saja terungkap. Tangan kanannya gemetar, sementara tangan kirinya meraih tepi kursi, seolah ingin menahan dirinya agar tidak terjatuh.

Permana terdiam, napasnya memburu, wajahnya menunjukkan kebingungan dan ketakutan mendalam. “Tidak mungkin!” serunya, suaranya bergetar, seolah kata-kata itu sulit diterima oleh akalnya.

Nathan menghela napas, berusaha menenangkan suasana. “Ayah, tidak perlu terkejut. Masa lalu ini belum diketahui Maya,” katanya pelan, berusaha menjelaskan. “Aku hanya ingin tahu kabar ayah. Sejujurnya, aku mengira ayah dipenjara, dan aku merasa perlu menyelamatkan ayah. Itu adalah tugas yang diwasiatkan Prabu Brajamusti kepadaku.”

Dia menatap Permana dalam-dalam, mencoba menyampaikan ketulusan niatnya. “Tapi setelah melihat keadaan ayah di sini, rasanya tugas itu sudah selesai. Ayah tampak baik-baik saja. Tidak ada yang perlu aku khawatirkan.”

Nathan terdiam sejenak, berharap kata-katanya dapat memberikan sedikit ketenangan bagi Permana di tengah situasi yang membingungkan ini.

“Tidak… aku benar-benar terkejut mendengar kenyataan ini,” kata Permana, suaranya bergetar. Dia memandang Nathan dengan mata yang lebar, seolah berusaha mencerna semua informasi yang baru saja disampaikan. “Selama ini aku mengira Maya hanya mengandung anak Ronny. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa kau adalah anakku.” Permana mengusap wajahnya dengan tangan, terlihat bingung dan gelisah. “Ya, aku mengakui bahwa aku memiliki hubungan gelap dengan Maya di masa lalu. Itu adalah bagian dari hidupku yang kuharap bisa kubawa pergi, tetapi sekarang… semuanya terungkap.” Dia berhenti sejenak, menatap Nathan dengan penuh kerinduan dan penyesalan. “Kau adalah bagian dari diriku yang telah lama hilang. Dan aku tidak pernah tahu.”

“Biarkan masa lalu ini kita simpan hanya untuk kita berdua,” kata Nathan, suaranya tenang meski ada kerinduan dalam nadanya. “Tapi, aku ingin tahu, apakah Ayah berniat untuk kembali ke dunia manusia? Jika Ayah ingin kembali, aku siap membantu.”

Permana menggelengkan kepala, ekspresinya menunjukkan penolakan. “Tidak, Nathan. Kehidupanku di sini jauh lebih tenang,” jawabnya dengan suara berat. “Kembali ke dunia manusia berarti menghadapi banyak masalah. Aku telah mengkhianati amanat leluhurku, dan ada konsekuensi yang harus kutanggung.”

Nathan memandang ayahnya dengan serius. “Aku mendengar bahwa para jin penunggu Gunung Brajamusti memburumu. Selain itu, Ayah juga mendapatkan kutukan dari Gunung Brajamusti. Ayah tahu konsekuensi atas tindakan melepas tanggung jawab terhadap Gunung Brajamusti, tetapi kenapa Ayah tetap melakukannya? Kenapa menyerahkan Gunung Brajamusti kepada Ronny?”

Permana menarik napas dalam-dalam, wajahnya menunjukkan kerumitan perasaan. “Aku terpaksa menyerahkan Gunung Brajamusti karena Ronny dan kawan-kawannya mengancam akan membunuh Maya,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan. “Saat itu, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus menyelamatkan Maya, bahkan jika itu berarti mengorbankan tanggung jawabku sebagai pewaris.”

Nathan terkejut hebat hingga tubuhnya bergetar. “Apakah Maya saat itu tahu kalau jiwanya terancam?” tanyanya, suaranya bergetar.

Permana mengangguk, sambil menjelaskan, “Ya, Maya tahu. Ketika aku menyerahkan cincin ini,” ujarnya sambil menunjuk cincin di jari Nathan, “Maya sedang ditodong pistol oleh Ronny. Dalam keadaan terpaksa, aku menyerahkan Cincin Brajawali itu kepada Ronny.”

Amarah Nathan tiba-tiba muncul setelah mendengar pengakuan ayahnya. “Jadi, Ronny memang sudah sangat ingin menguasai Gunung Brajamusti sejak awal dengan cara yang salah!” teriaknya.

Permana menghela napas, “Ronny memang sangat ambisius. Dia bukan hanya ingin menguasai emas yang terkandung di gunung itu, tetapi lebih kepada kekuatan tersembunyi yang ada di sana. Kekuatan Gunung Brajamusti memang sangat luar biasa. Seseorang yang menguasainya akan menguasai dunia.”

Nathan terkejut mendengar penjelasan itu. “Tapi bukankah Ayah bisa menggunakan para jin penunggu Gunung Brajamusti untuk mengalahkan Ronny dan kawan-kawannya?” tanyanya, nada suaranya mengandung keheranan.

Permana menggelengkan kepala, ekspresi wajahnya menunjukkan penyesalan. “Tidak, Nathan. Aku tidak bisa menggunakan kekuatanku. Ronny telah menyihirku dan membuatku kehilangan semua kemampuan yang kumiliki. Dia menyihirku dengan mantra pengikat kekuatan. Mantra itu menghilangkan semua kemampuanku untuk memanggil dan mengendalikan para jin penunggu Gunung Brajamusti. Seakan-akan, aku bukan lagi penguasa di sana,” jelasnya. “Dengan cara itu, Ronny bisa mengancam keselamatan Maya, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa,” tambahnya, suara penuh kepedihan.

Nathan tertegun mendengar penjelasan ayahnya. “Jadi, Ronny memastikan bahwa Ayah tidak bisa melawan?” tanyanya, suaranya bergetar penuh emosi.

“Ya,” jawab Permana, mengangguk perlahan. “Ronny adalah ahli sihir. Dia telah mempelajari sihir sejak kecil, lebih dari yang bisa kubayangkan. Aku tidak menyangka sihirnya itu akan menyerang diriku sendiri.” Permana menatap Nathan dengan tatapan penuh penyesalan, seolah ingin menggambarkan betapa tragisnya situasi yang dihadapi mereka.

Kekecewaan menggelayuti hati Nathan saat ia merenungkan kenyataan yang baru saja terungkap. Sosok Ronny, yang selama ini dianggapnya sebagai ayah, ternyata menyimpan kegelapan di dalam dirinya. Betapa sulitnya menerima kenyataan bahwa orang yang diharapkan bisa melindungi keluarganya justru menjadi ancaman yang nyata. Keinginan Nathan untuk menyerahkan Gunung Brajamusti kepada Ronny, yang semula dianggapnya sebagai langkah bijak, kini sirna begitu saja, tergantikan oleh kemarahan yang membara. Dalam benaknya, Ronny bukan lagi sebagai figur yang dikenalnya, melainkan musuh utamanya.

Nathan tiba-tiba ingat kata-kata ibunya yang pernah mengungkapkan bahwa Permana dipenjara karena ritual yang dilakukannya. Dengan nada penuh penasaran, Nathan bertanya, “Ibu pernah berkata kalau ibu mengambil aura kejayaan milikmu melalui sebuah ritual, dan Ayah dipenjaranya. Bagaimana Ayah bisa lepas dari penjara itu dan sekarang hidup di sini?”

Permana menghela napas, mengenang masa-masa sulitnya. “Aku bisa bebas dari penjara itu berkat putri raja siluman ular,” katanya. “Dia yang menolongku, dan kini dia adalah istriku.” Wajah Permana terlihat lembut saat menyebutkan sosok wanita itu, tetapi kesedihan meliputi suaranya saat ia menambahkan, “Sayang sekali, istriku sedang pergi, jadi kau tidak bisa bertemu dengannya.”

Nathan mengangguk, memahami bahwa ayahnya telah membangun kehidupan baru di sini. “Ternyata Ayah sudah mempunyai kehidupan yang tenang di sini,” ucapnya.

“Ya,” jawab Permana dengan senyum hangat. “Kehidupanku di sini sangat menyenangkan dan bahagia. Jauh dari masalah dan hidup damai.”

Nathan merasakan beratnya keputusan untuk mengakhiri pembicaraan ini. “Aku harus kembali ke dunia manusia,” ujarnya dengan nada tegas. “Aku berjanji akan berkunjung lagi ke sini.”

“Tunggu sebentar,” kata Permana, suaranya penuh urgensi. “Ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu sebelum kau pergi.”

Permana bangkit dari duduknya dan melangkah menuju sebuah ruangan yang terletak di sudut ruangannya, meninggalkan Nathan sejenak dalam keheningan. Nathan menunggu, perasaan yang kompleks berkecamuk di dalam hatinya. Beberapa detik terasa seperti selamanya saat dia merenungkan semua yang baru saja terungkap. Ketika Permana akhirnya kembali, Nathan melihat sosok ayahnya itu dengan wajah yang penuh harapan, memegang sesuatu yang tampak berharga di tangannya.

Permana membuka telapak tangannya, memperlihatkan sebuah kalung berlian yang berkilau. “Ini adalah tanda bagi pemakainya sebagai warga dari siluman ular. Jika kau berkunjung lagi ke sini, kau tidak akan dihadang. Bahkan, kau akan diantar oleh penjaga perbatasan,” jelasnya. “Negara siluman ini sangat ketat bagi pendatang, bahkan sering dianggap musuh.”

Nathan menerima kalung itu, lalu memakainya sambil berkata, “Terima kasih, Ayah.”

Permana kemudian menyerahkan sebuah baju kepada Nathan. “Ini adalah baju kesayangan Maya. Jika kau memberikan baju ini padanya, aku yakin dia akan segera tahu bahwa kau telah bertemu denganku. Jangan bertanya mengapa, biar Maya sendiri yang menjelaskan.”

Nathan menerima baju itu dari tangan ayahnya dengan penuh rasa ingin tahu. Nathan pun berpamitan sekali lagi untuk kembali ke dunia manusia. Permana mengantarnya melintasi lorong-lorong megah istana. Saat mereka sampai di suatu tempat yang dipenuhi cahaya lembut, Nathan melihat portal bercahaya yang bergetar, menandakan jalur menuju dunia yang ia kenal. Permana menatap Nathan dengan penuh kasih sayang, seolah ingin mengingat setiap detail putranya sebelum perpisahan. Nathan merasakan perhatian ayahnya, tetapi juga kehadiran kesedihan yang menyelimuti mereka berdua. Dia melangkah menuju portal, memalingkan wajahnya sejenak untuk memberi salam terakhir pada ayahnya.

Begitu memasuki portal, Nathan merasakan hembusan angin yang kuat, dan seketika dunia di sekelilingnya mulai berputar. Suara gemuruh dan cahaya menyilaukan menyambutnya, seakan semesta mengucapkan selamat tinggal. Dalam hitungan detik, Nathan terlempar kembali ke kamarnya, terbangun dengan jantung berdebar kencang. Dia terbaring di tempat tidurnya, terengah-engah. Sekarang, di dalam kamarnya, ia merenungkan semua yang telah terjadi.

Nathan segera turun dari tempat tidur dan berjalan ke lemarinya untuk menyimpan baju kesayangan Maya yang diberikan ayahnya. Setelah itu, ia keluar dari kamar dan melihat dari atas lantai dua, ternyata Maya sudah tidak berada di ruang tengah. Nathan melanjutkan perjalanannya menuju kamar Maya. Sesampainya di sana, Nathan membuka pintu dan mendapati Maya sedang berbaring di tempat tidurnya, asyik membaca majalah mode kesukaannya. Senyum Maya merekah saat melihat kedatangan Nathan. Dengan lembut, Nathan masuk ke dalam kamar, menutup pintu di belakangnya, dan menghampiri Maya. Ia naik ke tempat tidur dan berbaring di sampingnya.

Maya menoleh, matanya penuh rasa ingin tahu. “Dari mana saja kamu?”

Nathan menjawab sambil tersenyum, “Aku tadi mencari udara segar di belakang.”

Maya meletakkan majalahnya di meja kecil di samping tempat tidur, lalu berbaring di samping Nathan dengan posisi menghadap wajah Nathan. Perlahan, Maya mencium bibir Nathan, kemudian berkata, “Aku baru saja selesai video call dengan Cici dan Sisi.”

Nathan tersenyum. “Bagaimana hasilnya?”

Maya menjawab, “Cici dan Sisi akan datang ke sini dan ingin sekali bertemu denganmu.”

Nathan bertanya, “Bagaimana bisa Bunda mempengaruhi mereka secepat itu?”

Maya menjawab, “Aku janji akan memberi mereka kebebasan sepenuhnya, termasuk soal seks.”

Nathan menatap Maya dengan cermat, lalu bertanya, “Apa keputusan itu sudah Bunda pikirkan matang-matang? Ini akan membawa perubahan besar di keluarga ini.”

Maya mengulurkan tangannya, membelai wajah Nathan dengan lembut, dan berkata, “Aku sudah mempertimbangkannya, Nathan. Bunda tidak keberatan Cici dan Sisi memilih paham mereka, selama mereka di sini bersama Bunda.”

Nathan tertawa kecil, lalu berkata dengan nada bercanda, “Jadi, aku akan punya dua wanita lagi, ya?”

Maya langsung mencubit pinggang Nathan dengan gemas. “Apa kamu tidak cukup dengan yang kamu miliki sekarang?” katanya, menatap Nathan dengan tatapan main-main. “Sudah banyak lubang yang kamu gali, sekarang masih ingin menggali lubang adik sendiri.”

“Aku pastikan, mereka tidak akan pernah mau kembali lagi ke Australia, selama Bunda mengizinkan aku untuk menggali lubang mereka,” ucap Nathan agak mendesah.

Maya tersenyum tipis, tatapannya penuh keyakinan, “Oh, jadi itu yang kamu inginkan? Ihk… Dasar anak nakal …”

“Dan sekarang … Aku ingin menggali lubang ibunya dulu …” kata Nathan sembari menarik baju tidur sutra Maya ke atas hingga bagian bawah tubuhnya terbuka.

“Aw!!! Awas ya…?!!” Maya memekik saat tangan jahil Nathan menyentuh pangkal pahanya.

Nathan mulai mengusik ibunya, tangan pemuda itu dengan terampil meraih ujung baju tidur Maya, mencoba mengangkatnya sedikit demi sedikit sambil bercanda, membuat ibunya tertawa geli sambil berusaha menahannya. Maya pun membalas; dengan gerakan lembut, ia menarik kerah baju tidur Nathan, mencoba melepaskannya. Mereka saling tertawa sambil berusaha saling melepaskan pakaian satu sama lain dengan gerakan yang sensual. Tangan mereka terus bergerak, saling membalas, hingga pakaian mereka terlepas semua dan jatuh ke samping tempat tidur.

Nathan dan Maya terus bergulat di atas tempat tidur dengan penuh tawa, gerakan mereka lebih seperti permainan daripada perlawanan. Setiap kali Nathan mencoba menahan Maya, ia selalu berhasil meloloskan diri dengan cekatan, membuat mereka sama-sama tertawa semakin keras. Sesekali Maya berhasil memutar posisi mereka, membuat Nathan terjebak di bawahnya hanya untuk beberapa detik, sebelum akhirnya ia lagi-lagi ditarik ke dalam pelukan Nathan yang tidak mau kalah. Tawa mereka memenuhi ruangan, hingga akhirnya Nathan berhasil memegang kedua tangan Maya dan, dengan lembut, menindih tubuhnya. Maya tertawa sambil terengah, menatap mata Nathan yang penuh kehangatan. Ada jeda di antara mereka, napas yang terengah menyatu, hingga tawa mereka mereda dalam keheningan yang hangat. Mereka terdiam sejenak, menikmati momen kecil itu, dengan senyum yang masih tersisa di wajah masing-masing.

“Aku akan menggali lubang Bunda sampai Bunda pingsan,” kata Nathan sambil menahan tawa, wajahnya berpura-pura serius namun matanya berkilat jenaka.

“Awas kalau berani!” balas Maya, pura-pura mengerucutkan bibir dan menatap Nathan dengan tatapan menggoda.

“Bunda jangan berani-berani menolak. Ini perintah! Sekarang aku yang berkuasa di sini,” Nathan menatap mata Maya sambil mengangkat sebelah alisnya, mencoba menahan senyum.

Maya pura-pura menahan diri dengan mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Oh ya? Berkuasa, katamu?” ujarnya dengan nada menantang, matanya berkilat nakal. “Kita lihat siapa yang sebenarnya lebih kuat di sini!”

Ia mengangkat dagunya sedikit, menahan senyum, lalu berkata lagi, “Jangan kira aku bakal menyerah begitu saja, Tuan Penguasa. Kamu belum tahu kekuatan rahasiaku!”

Nathan tertawa kecil sambil menatap Maya dengan tatapan penuh tantangan. “Oh, kekuatan rahasia, ya? Sayang sekali, itu nggak akan cukup untuk menghalangi misiku malam ini,” katanya dengan nada menggoda, mendekatkan wajahnya pada Maya. Ia menambahkan sambil menyeringai, “Sebesar apa pun kekuatanmu, aku tetap akan menggali lubangmu sampai kamu menyerah! Ini tugas yang sudah aku niatkan, dan nggak ada kekuatan di dunia yang bisa mengalihkan tekadku malam ini.”

Maya tersenyum tipis, matanya menatap Nathan dengan penuh tantangan dan kilauan nakal. “Oh, begitu ya?” ujarnya dengan nada manis namun penuh godaan. “Kita lihat saja siapa yang bakal menyerah duluan malam ini.” Maya mendekatkan wajahnya ke Nathan, suaranya berubah menjadi bisikan lembut. “Siapa tahu justru kamu yang kehabisan tenaga duluan, Tuan Penggali …” katanya sambil menyentuh dagu Nathan dengan ujung jarinya.

Nathan tersenyum penuh percaya diri, mendekatkan wajahnya sambil menatap Maya dengan tatapan intens. “Kalau begitu, bersiaplah,” katanya dengan nada menggoda, suaranya rendah namun mantap. “Karena penggalian akan segera dimulai, dan aku nggak akan berhenti sampai misi ini tuntas.” Dengan gerakan perlahan, Nathan mengarahkan kejantanannya yang keras ke lubang nikmat milik ibunya yang sudah basah dan hangat. Nathan pun menahan tawa kecil sambil berkata lagi, “Siap-siap aja. Bunda mungkin nggak akan tahu seberapa dalam aku akan menggali.”

“Ya … Aku siap …” respon Maya mendesah sembari semakin melebarkan pahanya.

Nathan memeluk tubuh Maya dengan erat sehingga wanita itu tidak bisa leluasa menggerakkan tubuhnya. Saat itu juga Nathan menekan pinggulnya dengan agak kuat sehingga penis besarnya langsung masuk ke liang vagina hangat itu. Nathan mengernyitkan keningnya saat kepala penisnya memasuki liang vagina Maya yang sempit. Nathan mengakui kalau jepitan vagina Maya sangat ketat. Pemuda itu langsung menghentakkan pinggulnya ke depan sehingga penis itu masuk sepenuhnya, seketika itu juga Maya mengerang tertahan sambil menyembunyikan wajahnya di bahu Nathan, keringat mulai membasahi tubuhnya.

Nathan lalu menggerak-gerakkan pinggulnya agar dapat keluar masuk dalam lubang vagina Maya yang rapat dan kenyal, sementara Maya sendiri mendesah-desah keenakan merasakan penis Nathan yang maju mundur. Sensasi nikmat yang menjalar di tubuhnya membuat punggung Maya membusur dan matanya terpejam. Bokong wanita itu kembang kempis dan gerakan yang dihasilkan oleh hujaman penis Nathan yang besar dan panjang di dalam lubang peranakannya itu membuat rasa nikmat yang ia rasakan kian membesar.

“Aahhhh … Aaahhh … Lubang Bunda enak sekali … hhh… hhh …” Nathan menumbuk vagina ibunya dengan keras sehingga Maya terlonjak-lonjak dan kepalanya terantuk kepala ranjang.

“Ahhhh sayang… Aaahh … Aaahh hhh …” Maya mendesah-desah kenikmatan.

Satu tangan Nathan mencengkram satu payudara Maya. Mengaduk tonjolan kenyal itu dengan remasan sensual. Mengirim stimulasi rangsangan kepada tubuh ibunya yang tengah dilanda bara gairah. Tubuh mereka semakin menyatu dalam hawa seksualitas. Kejantanan Nathan yang besar pun berhasil menyentuh-nyentuh klitorisnya yang membengkak. Rasa panas dan sulur rasa geli bercampur nikmat, menggerayangi seluruh tubuh Maya yang mulai memekik penuh rasa nikmat.

“Aaakkhh … Aaakkhh … Aaakkhh …” pekik Maya keluar begitu saja sambil memejamkan mata sebagai respon dari rasa nikmat yang dideritanya. Kenikmatan yang dirasakan Maya mengirim sensasi stimulus berlebih ke otak.

Bibir kemaluannya semakin basah. Suara-suara decak kenikmatan mulai menggema. Kejantanan besar dan panjang Nathan mengguncang-guncang seisi saluran senggamanya dengan gerakan keluar-masuk yang brutal. Suara kecipak air semakin terdengar. Bunyi kocokan terdengar semakin kuat. Maya memejamkan mata kuat-kuat dan mengetatkan pinggul dengan tubuh yang menggigil. Perutnya terlonjak. Mulutnya terbuka. Maya dengan kelabakan merasakan apa yang terjadi di antara kedua pahanya yang bergetar.

Maya lalu membuka matanya dengan napas terengah-engah, tidak mendengarkan apapun selain suara deru napasnya. Dengan napas terputus-putus, Maya memandangi mata anaknya dengan nanar. Menyadari tubuhnya yang diterpa badai kenikmatan yang bertubi-tubi. Namun, Nathan tidak peduli, ia terus mengocok seisi kelamin milik ibunya lagi dengan lebih kuat. Kenikmatan berlipat ganda sungguh menguasai tubuh Maya. Kejantanan besar itu dengan lihai memberi penetrasi kocokan nikmat.

CLOK …

CLOK …

CLOK …

Penis Nathan semakin cepat. Bunyi kocokannya terdengar semakin nyaring. Tubuh Maya semakin menggelinjang. Klitoris wanita itu terus bergetar karena rangsangan dan menerima kenikmatan secara susul-menyusul. Nathan kembali meningkatkan tempo goyangannya, dan gerakan penisnya semakin lancar karena vagina Maya sudah semakin basah. Penis Nathan semakin beringas mengaduk-aduk, sementara alis pemuda itu berkerut menahan nikmat. Nathan sendiri melenguh-lenguh keenakan penisnya merasakan jepitan vagina yang tak pernah mengendur.

Kedua kaki Maya memeluk pinggul Nathan, membuat pemuda itu tidak bisa kemana-mana. Nathan sendiri seolah tak peduli dengan hal tersebut, terus dan terus menggerakan pinggulnya, menghujamkan kejantanannya semakin cepat dan lebih dalam. Maya menggigit bibirnya, kuku-kukunya mencengkram bahu punggung Nathan karena nyaris tak kuat membendung serangan kenikmatan itu. Mau rasanya ia meleleh melebur bersama pemuda ini selamanya.

“Aaaaahhh … Sa..yang… Lebih kencang …!!!” pinta Maya pada Nathan. Semakin kencang kocokan semakin kencang Maya mengerang. Dadanya membusung ke depan dengan kepala menengadah merasakan aliran kenikmatan yang merasuki tubuhnya.

“Aaahh … Aaahh … Nat..than … Aaahh …” Desah Maya sejadi-jadinya.

Tanpa perlawanan, Maya menikmati seluruh sesi gempuran panas itu di sekujur tubuhnya. Matanya kembali terpejam. Gelombang getar terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Menyengat dahsyat hingga ke ujung-ujung syaraf. Membawa dinding vaginanya terus tenggelam ke dalam gemuruh kenikmatan. Kedua tangannya memegang erat-erat kedua bahu Nathan yang tengah menggempur tubuhnya. Melihat Maya yang semakin terbuai oleh kenikmatan yang ia berikan, Nathan semakin buas memberi dorongan kuat dan melumasi dinding vagina yang tengah terangsang itu dengan goyangan brutal.

“Aaahh … Uuuhh … Aaahh … Te..terus …!” Maya meracau tak karuan sambil menggerakan pinggulnya mengimbangi permainan Natan.

Kedua tangan Maya kini memeluk tubuh Nathan dan jemarinya meremas punggung pemuda itu kuat-kuat. Nathan tahu puncak kenikmatan Maya semakin dekat sehingga ia semakin mengatur posisi terdalam. Kejantanan Nathan langsung bekerja semakin giat, mengaduk kemaluan Maya yang sudah terbuka lebar. Lelehan lendir hangat menyebar di seluruh dinding-dindingnya. Maya yang merasakan tubuhnya kian terbanting-banting keras, berusaha mendorong tubuhnya untuk kian menjepit kejantanan itu agar masuk semakin dalam, menggesek panas isi kemaluannya. Geram nikmat Maya akhirnya diredam desahan panjang. Tubuh seksi itu tersentak dalam orgasme yang sedang menerjang tubuhnya.

“Aaaaaaaahhhhh …!!!” Sebuah desahan panjang keluar dari mulut Maya, tubuhnya mengejang seperti tersengat listrik.

Maya pun melepaskan cairan kewanitaannya dan berteriak sangat puas menikmati orgasme yang tiada tara nikmatnya. Pada saat yang sama Nathan merasakan vagina itu seperti mencengkram kuat batangnya, dan pinggul ibunya terangkat 10 derajat dari tempat tidur. Mata Maya terpejam nikmat. Dadanya membusung gagah, tertahan oleh sesak libido yang membuncah.

Pinggul Maya bergetar hebat seperti dielektrisitas oleh listrik statis dari dalam tubuhnya yang terangsang nikmat. Matanya berputar ke belakang dengan urat-urat leher yang mengeras. Bibir kemaluannya terasa semakin melebar oleh aksi dorongan dari kejantanan milik pemuda itu. Dirasakannya euforia kenikmatan terus mendobrak dinding-dinding kemaluannya seperti kembang api yang tidak pernah padam. Mengirim sensasi ketagihan berkepanjangan ke otaknya.

Penetrasi itu terus berlangsung bahkan hingga dua puluh menit penuh. Nathan mencengkram paha ibunya untuk terus membuka. Wajah Maya sudah sangat memerah oleh hawa gairah dari nafsu membara. Bibirnya yang basah terbuka mencari udara dalam sesak. Tangannya tak mampu lagi menjangkau pinggul Nathan yang tidak berhenti mengoyak dinding kemaluannya. Pemuda itu mendorong terus pinggulnya dan mempercepat laju penetrasi. Maya menaikkan pinggulnya dan mempertemukan kejantanan Nathan secara tepat dengan titik kenikmatannya, menuju ke orgasme kedua.

Plak …

Plak …

Plak …

Wajah Maya sangat memerah. Seluruh dada, tangan, perut, dan sekujur tubuhnya memerah oleh hawa panas. Tangan wanita seksi itu berselimut keringat, begitu pula dengan buah dadanya yang sedang ia remas sendiri. Buah dada itu begitu keras. Begitu terangsang dan ereksi dengan sebegitu dahsyatnya. Lehernya terangkat. Rembesan keringat mengalir menuruni leher, bahkan hingga ke dada sampai ke perutnya. Tak lama berselang, punggungnya kembali melengkung dan berkontraksi. Pinggul Maya bergetar hebat seperti ledakan kembang api.

“Naaaa… Thaaaan… Ooooohhh…!!!”

Plok …

Plok …

Plok …

Nathan semakin mendorong kejantanannya kuat-kuat, menerobos pertahanan lunak sang ibu. Nathan mendengus oleh bara semangat yang menggelora. Tubuh mereka terus bertemu tanpa berpikir. Kedua mata nafsu mereka mengunci satu sama lain sementara pinggul mereka terus menyodorkan satu sama lain tanpa istirahat, sementara nafas mereka bergema untuk menghembuskan udara panas ke wajah yang memerah satu sama lain.

“Aaahh … Aaahh … Aaahh … Bunda … Ngghh akuhh mau keluarhh aahhh…” Maya memainkan dinding vaginanya membuat Nathan menggeram saking nikmatnya.

“Keluarkan sayang ngghh…” Nathan merendahkan kepalanya dan menghisap kasar puting susu Maya. Semakin mempercepat in-out di lubang nikmat Maya dan mengorek kasar vagina Maya. Membuat air mata Maya mengalir semakin deras karena kenikmatan yang sangat berlebihan ini.

“AAAAAKKKHHH …!!!” Maya orgasme untuk kedua kalinya. Tubuh wanita itu kejang-kejang tak terkendali. Kukunya menghunjam ke tangan Nathan yang semakin kencang memegangi pinggul Maya. Bibir Maya gemetar. Mataknya terpejam rapat.

Sementara itu, Nathan hanya tersenyum dan belum berniat menghentikan hujaman-hujamannya. Ia lanjut menghentakkan pinggulnya, menerjang vagina Maya sampai membuat wanita itu kembali mendesah kenikmatan. Desahan mereka berdua semakin kencang. Kemudian Nathan membalikkan tubuh Maya membelakanginya sehingga kini mereka sama-sama berbaring dengan punggung Maya yang menyentuh dada bidang Nathan. Akibat perlakuan Nathan yang tiba-tiba itu Maya merasa sangat keenakan karena di saat memutar-balikkan tubuhnya, secara tidak sengaja penis Nathan memutar di vaginanya.

Nathan memeluk pinggang Maya dan menciumi punggung ibunya yang putih mulus. Maya menggeliat sedikit dan gairahnya memuncak kembali saat tangan Nathan yang agak kasar meremas-remas kedua payudaranya dari belakang. Tangan Nathan kemudian turun ke bawah dan kembali mengoyak klitorisnya yang kali ini membuat dia merasa sangat keenakan.

“Aaahh… Nikmat sayang …” rintih Maya tertahan, saat Nathan mulai kembali mendorong-dorong penisnya yang besar merasuki vagina Maya.

Maya merintih tertahan sambil menggigit bibirnya saat Nathan sudah mulai menggerak-gerakkan pinggulnya dengan irama tetap dan teratur. Perlahan tapi pasti Maya mulai mengimbangi gerakan tubuh Nathan yang semakin lama semakin liar dan tidak terkendali. Beberapa kali pula Maya memekik dengan tubuh terguncang akibat sodokan Nathan dan kini tubuh wanita seksi itu menggetar bagai tersengat oleh kenikmatan klimaks ribuan volt, sementara di belakang sana Nathan masih menyodok vaginanya dengan liar. Seketika tubuh Maya langsung lemas.

Merasakan denyutan hebat vagina Maya di dalam sana membuat Nathan hilang kontrol dan tidak mampu menahan permainan tusuk menusuk mereka lagi. Nathan menusuk dengan keras sehingga tubuh Maya terdorong ke depan. Kepala Nathan mendongak merasakan kenikmatan tiada tara sedangkan tangannya menahan pinggang Maya dan menekan ke belakang agar penisnya semakin dalam di vagina Maya.

“Aaaaaaaaahhhhhh …!!!”

Sperma memuncrat di dalam sana, mengenai bagian terdalam dari rahim Maya, kemudian meluber dari sela-sela penis Nathan yang menyumbat vagina ketat tersebut. Nathan pun akhirnya melemas. Dia memeluk tubuh Maya dengan lembut dan membiarkan kepala Maya bersandar di dadanya. Nathan dan Maya terbaring diam, tubuh mereka masih saling bersandar dalam keheningan yang hangat dan tenang. Di kamar itu, hanya terdengar napas keduanya yang perlahan mulai mereda, berpadu dengan desiran angin malam yang masuk dari jendela yang setengah terbuka. Sisa-sisa aroma parfum Maya masih terasa samar di udara, bercampur dengan wangi segar dari sprei bersih yang kini sedikit kusut. Mereka tak berkata apa-apa, namun pandangan mata yang saling bertemu di antara senyuman kecil keduanya sudah mengatakan segalanya. Nathan menyelipkan rambut yang jatuh di wajah Maya, dan Maya hanya tersenyum lembut, memejamkan mata sejenak sambil menikmati kehangatan yang masih tertinggal di antara mereka.

Nathan menatap Maya dengan lembut, mengusap wajahnya sebelum berbisik, “Bunda itu … Sempurna …”

Maya tersenyum, merasakan hangatnya pujian Nathan, lalu menjawab dengan nada bercanda, “Oh ya? Apa yang paling kamu suka dari Bunda?”

Nathan tertawa kecil, menariknya sedikit lebih dekat. “Sulit memilih, semuanya istimewa.” Nathan menatap Maya dengan penuh penghayatan, senyumnya lebar saat ia menggoda, “Tapi, kalau harus jujur, aku paling suka dengan lubang Bunda.”

Maya terkejut sejenak sebelum tertawa, “Oh, jadi itu alasan kamu suka menggalinya? Sebagai seorang petualang, ya?”

Nathan tertawa, menanggapi candaan itu, “Tentu saja! Setiap kali aku masuk ke dalamnya, rasanya seperti menemukan harta karun yang tak ternilai.”

Maya membalas dengan senyuman, “Baiklah, petualang, semoga kamu tidak tersesat di dalam lubang Bunda.”

Tiba-tiba, dering ponsel Maya yang tergeletak di meja kecil samping tempat tidur memecah keheningan. Dengan sedikit enggan, Maya bergerak untuk mengambil alat komunikasinya itu. Dia melihat layar ponselnya, yang menunjukkan identitas penelepon yaitu Cici, anak sulungnya. Dengan senyum yang manis, Maya berbaring lagi di samping Nathan, lalu menyalakan video call.

“Hai, gadisku!” sapa Maya dengan suara ceria, sambil menatap layar ponselnya.

Cici di layar terkejut sejenak, matanya membesar saat melihat ibunya yang tidak mengenakan pakaian, dan dia menutup mulutnya dengan tangan. “Oh My God?!” serunya dengan nada terkejut, wajahnya memerah. Maya tertawa kecil merasa geli, sementara Nathan hanya tersenyum lebar, menikmati momen lucu ini.

“Kenapa sayang?” tanya Maya, berusaha menahan tawa.

Cici tampak tergagap, ekspresi terkejutnya belum hilang sepenuhnya. “Apa yang Ibu lakukan… dan itu… itu…” ucapannya terhenti, tak sanggup melanjutkan karena terlalu terkejut, wajahnya semakin merah saat mencoba mencerna apa yang dilihatnya.

Maya pun merespon dengan santai sambil tersenyum, “Benar, ini adalah kakakmu,” katanya sambil mengarahkan layar ponselnya ke wajah Nathan. Nathan pun melambaikan tangannya, menambah kesan santai dalam situasi canggung itu.

“Oh My God… Kalian… Kalian…” Cici tergagap, ekspresinya antara terkejut dan tak percaya. “Aku… aku gak percaya!” ujarnya, masih menatap layar dengan mata membelalak dan pipi yang memerah. Maya dan Nathan saling berpandangan dan tersenyum geli, menikmati reaksi Cici yang spontan.

Maya tersenyum lembut dan bertanya, “Ngomong-ngomong, kenapa kamu belum tidur, Sayang? Di sana pasti sudah larut malam, kan?”

Cici, masih dengan ekspresi terkejut, menghela napas sambil mencoba bicara. “Aku… aku gak bisa tidur, Mom. Rasanya… sepi banget di sini,” katanya terbata-bata. “Jadi aku pikir… ya udah, aku telepon Mommy aja. Tapi ternyata… ternyata…” Cici terdiam lagi, menatap layar dengan mata membesar, belum sepenuhnya percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya.

Maya tersenyum tipis, masih mencoba menenangkan Cici yang terkejut. “Iya, Mommy baru saja selesai bercinta dengan Nathan,” ucapnya santai. “Bukankah kamu sendiri yang sering bilang kalau Mommy perlu lebih bebas, menjalani hidup lebih… ya, free?”

Cici menggigit bibir, masih terkejut namun akhirnya tersenyum kecil sambil mengangguk. “Iya juga sih, Mom… Aku cuma nggak nyangka kayak gini,” katanya sambil tertawa kecil, perlahan mulai memahami dan menerima situasi tersebut.

Maya mengangguk, lalu dengan nada penuh pengertian berkata, “Di sini pun ada kehidupan yang kamu inginkan, sayang. Jika kamu mau, kamu bisa tinggal bersama Mommy dan menjalani hidup yang lebih bebas. Mommy tidak akan membatasi keinginanmu lagi. Kamu bisa membuat hidupmu lebih bahagia di sini. Pulanglah, Nak… Mommy ingin kamu dan adikmu tinggal bersama Mommy di sini.”

Cici memikirkan sejenak, lalu bertanya, “Tapi, bagaimana dengan kuliahku, Mom?”

Maya menjawab dengan penuh keyakinan, “Tenang saja, Sayang. Kamu dan Sisi bisa melanjutkan kuliah di sini. Banyak universitas yang bagus dan program yang sesuai dengan jurusan kalian.”

Cici mengangguk, tampak lebih tenang, lalu berkata, “Baiklah, Mom. Tapi aku harus bicara banyak dulu dengan Mommy tentang masalah kuliahku. Oleh karena itu, aku akan segera terbang ke Jakarta besok siang.” Cici melanjutkan, “Aku sudah mendapatkan tiket penerbangan ke Jakarta, dan aku akan pulang bersama Sisi.”

Maya tersenyum, merasa bangga dengan keputusan putrinya. “Bagus, Nak! Mommy tidak sabar menunggu kalian di sini.”

Cici menatap Maya dan berkata, “Mom… Aku ingin bicara sama Nathan. Tolong berikan ponselnya sama dia!”

Maya mengangguk, “Tentu, Sayang …” Maya pun lalu menyerahkan ponselnya kepada Nathan. ”Adikmu ingin bicara,” ujar Maya sambil tersenyum.

Nathan menerima ponsel itu dan berkata, “Ya, Cici … Mau bicara apa?”

“Bagaimana bisa kau meniduri ibuku, eh ibu kita?” tanya Cici dengan nada curiga dan sedikit kesal.

Nathan tersenyum santai, “Cici, ini semua tentang kebebasan seks! Kami menikmati seks ini satu sama lain. Jadi, ya, kami bersenang-senang!”

Cici menggelengkan kepala sambil tertawa. “Kau benar-benar telah meracuni ibuku, Nathan! Tapi jujur saja, itu sangat baik baginya. Aku senang melihat perubahan dalam dirinya. Dia terlihat lebih bahagia dan tidak melulu bingung dengan pekerjaannya saja.”

Nathan mengangguk, lalu menjawab, “Tapi ingat, Ci … Ibumu sekarang masih sibuk dengan pekerjaannya. Dia hanya mau bercinta denganku, belum mau dengan orang lain.”

Baru saja dia selesai berbicara, tiba-tiba Maya mencubit perut Nathan dengan lembut. “Hush, kamu! Tidak usah ngomongin aku sembarangan!” kata Maya sambil tertawa.

Cici pun tertawa lalu berkata kepada Nathan, “Kau tahu, Nathan, kenapa tidak kau latih ibuku untuk bisa bercinta dengan orang lain? Kalau dia mau terbuka, aku yakin puluhan laki-laki akan mengantri untuk menidurinya!”

Nathan tertawa dan menjawab, “He he he … Itu tugasmu dan Sisi, bukan tugasku. Aku menyerahkan sepenuhnya kepada kalian berdua. Kalau kalian mau membantu ibumu, aku dukung!”

Maya tersenyum dan berkata kepada Cici, “Aku ingin melanjutkan bercintaku dengan Nathan, jadi tolong datang secepatnya ke Jakarta, ya?”

Cici mengangguk, wajahnya bersinar penuh kegembiraan. “Aku sangat senang melihat perubahanmu, Mom! Selamat bersenang-senang!” Dengan itu, video call pun selesai, meninggalkan keduanya dengan senyuman di wajah.

Maya tersenyum sambil meletakkan ponselnya di atas meja kecil di samping tempat tidur. Dengan gerakan ceria, wanita itu duduk mengangkangi Nathan, membuat organ intim mereka bersentuhan erat. Maya menumpukan tangannya di dada Nathan, sementara payudara indahnya terlihat menggantung di depan mata Nathan, menjadi pemandangan yang memikat perhatiannya.

Maya tersenyum jahil, mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke wajah Nathan. Sambil mengangkat dagu Nathan dengan ujung jarinya, ia berkata dengan nada menggoda, “Hei, anak nakal, lihat ke sini!” Mata Maya berkilat mesum, penuh tantangan.

Nathan tersenyum sambil menarik napas dalam, matanya menatap Maya dengan intens. Dengan suara rendah namun penuh gairah, ia berbisik, “Sekarang bukan waktunya untuk ngobrol, Bunda… ini saatnya kita bertarung birahi lagi.” Nathan meraih pinggang Maya dengan mantap, menariknya lebih dekat.

Maya menatap Nathan dengan tatapan serius, meskipun senyum kecil masih menghiasi wajahnya. “Tunggu, dengarkan dulu kata-kataku,” ucapnya lembut namun tegas.

Nathan terdiam, mengangguk perlahan, memberi isyarat bahwa ia siap mendengarkan.

Maya menarik napas dalam, lalu berkata, “Aku kadang berpikir… ingin merasakan bagaimana rasanya bersama pria lain selain dirimu.” Ia berhenti sejenak, tampak ragu, lalu melanjutkan, “Tapi aku takut. Aku ini pimpinan di bisnis kita. Kalau sampai aku melakukan itu, apalagi terbuka soal ini, aku takut harga diriku jatuh.”

Nathan menatap Maya dengan penuh pengertian, lalu tersenyum menenangkan. “Bunda,” katanya lembut, “Bunda bisa terbuka tanpa harus mengorbankan harga diri. Kejujuran justru bisa membuat Bunda lebih kuat, bukan sebaliknya.” Nathan menatap mata Maya dalam-dalam dan melanjutkan, “Bunda adalah pemimpin yang dihormati, dan kalau Bunda berani jujur soal apa yang Bunda rasakan, justru itu yang akan membuat orang semakin menghargai Bunda. Bunda tidak harus menutup diri atau takut kehilangan respek orang lain.”

Maya mengerutkan kening, sedikit bingung dengan apa yang baru saja dikatakan Nathan. “Jujur? Apa maksudmu, Nathan?” tanyanya, nada suaranya menunjukkan ketidakyakinan.

Nathan tersenyum kecil, lalu manangkup wajah ibunya. “Maksudku, terbuka tentang apa yang Bunda inginkan, tanpa takut dinilai. Semua orang tahu siapa diri Bunda, pimpinan yang dihormati, orang yang sudah mencapai banyak hal. Kalau Bunda jujur tentang keinginan Bunda, itu tidak berarti Bunda lemah atau kurang berharga.”

Maya menghela napas, terlihat masih merenung dengan perkataan Nathan. “Baiklah, tapi… Bunda butuh saranmu,” ujarnya, menatap Nathan dengan penuh harap. “Apa yang harus Bunda lakukan?”

Nathan mengangguk, mencoba membantu Maya mencari solusi. “Bunda, mungkin Bunda bisa mempertimbangkan untuk mengangkat asisten pribadi lagi, seperti yang pernah Bunda lakukan dulu. Tapi jangan hanya satu, kalau bisa lebih dari dua,” sarannya dengan penuh keyakinan.

Maya tampak sangat senang mendengar saran Nathan. “Itu ide yang brilian, Nathan!” ujarnya dengan semangat. “Bunda benar-benar suka dengan pemikiranmu ini. Bunda akan segera mulai melakukan penyeleksian untuk mencari orang-orang yang layak menjadi asisten pribadiku.”

“Minimal seperti aku ya Bunda …” ucap Nathan sambil mengangkat pinggulnya hingga penisnya hampir saja menusuk lubang nikmat Maya, namun sayangnya meleset.

“Bunda rasa, tidak ada yang bisa menandingimu, Nathan … Dalam segala hal,” kata Maya lalu bangkit duduk tegak. “Kita akan mulai lagi …” desah Maya sembari mengangkat pinggulnya lalu mengarahkan tangannya memegang rudal Nathan yang sudah siap menjelajah lagi.

Maya kemudian menanamkan kejantanan Nathan ke dalam liangnya. Ia keenakan, namun ditahan agar tidak mengerang. Di sini, ia yang menjadi penyerang. Kejantanan Nathan memenuhi tubuh bagian bawahnya. Terasa agak sesak. Ukuran kejantanan Nathan melebarkan liang kewanitaannya. Tangan Maya bertumpu pada dada Nathan. Kemudian menaik-turunkan bokongnya, agar kejantanan Nathan keluar masuk di liang peranakannya. Ia mengocok kejantanan itu dengan ritme yang tetap, tidak cepat namun tidak lambat pula. Maya menggerakkan pinggulnya agak cepat dan sesekali memutar, agar kejantanan Nathan terpelintir. Sesekali, Maya mengeratkan otot kewanitaannya, meremas kejantanan Nathan yang memenuhi dirinya itu. Gerakan naik-turun Maya membuatnya kenikmatan sendiri. Apalagi kejantanan Nathan terus menusuk-nusuk titik liangnya yang terdalam. Mau tidak mau wanita itu mulai kenikmatan juga.

“Aaaahh … Aaaahh … Aaaahh …” desah Maya sambil tersenyum pada Nathan.

Nathan yang sejak tadi hanya menonton kini mulai meremasi payudaranya ibunya yang indah dengan kedua tangannya. Payudaranya begitu menggembung dan padat namun berkulit lembut. Dengan lembut Nathan mencubit putingnya yang kenyal dan memuntirnya perlahan. Maya menutup matanya sedikit, dengan senyum lembut yang menunjukkan kepuasan dan kenikmatan. Alisnya rileks dan wajahnya tampak damai. Senyum kecil dan natural menambah kesan bahwa dia sedang merasakan momen yang menyenangkan dan menggairahkan.

Maya terus bergerak yang semakin lama gerakannya semakin cepat. Dalam posisi itu, Maya tampak merasakan rangsangan yang luar biasa, seolah-olah dia dapat dengan mudah mencapai G-spotnya. Nathan memutuskan untuk membantu Maya mempercepat prosesnya. Dengan hati-hati, ia menarik dan menekan pinggulnya ke bawah saat pinggul Maya terangkat. Ketika pinggul Maya turun, Nathan segera mendorong ke atas. Suara desahan Maya terus terdengar, tak terhentikan. Dia benar-benar mengalami rangsangan ganda, dengan penis Nathan yang besar berhasil menggesek klitorisnya dan memberikan tekanan mantap pada daerah G-spotnya secara bersamaan.

Nathan mendengar desahan Maya, “Ooohh… Nathan…” dan menatap wajah manisnya. Pemida itu bisa melihat bagaimana Maya merasakan getaran-getaran ekstasi yang hebat.

Bunyi ‘plak-plak’ terdengar nyaring setiap kali selangkangan Nathan dan Maya bertemu. Penis Nathan tertarik keluar hingga ke ujungnya, kemudian segera melesat masuk dengan cepat. Persetubuhan mereka berlangsung lama, setiap gerakan penuh ritme dan keselarasan. Maya merasakan gelombang kenikmatan yang terus meningkat, hingga akhirnya, dengan desahan yang lembut, dia mencapai puncak kepuasan. Ekspresi di wajahnya mencerminkan kebahagiaan dan kelegaan, seolah-olah semua rasa lelah dan ketegangan lenyap seketika. Tubuh Maya yang lelah ambruk ke atas tubuh Nathan, mencari kenyamanan dan kehangatan. Nathan mengelus rambut Maya dengan lembut, merasakan detak jantungnya yang perlahan mulai stabil.

“Aku kalah terus …” desah Maya sambil mengangkat wajahnya.

Nathan tersenyum dan berkata, “Emang seharusnya wanita yang harus selalu kalah. Kalau wanita yang menang tidak akan ada kenikmatan.”

Maya tersenyum, matanya berkilau penuh rasa ingin tahu. “Mungkin aku harus berusaha lebih keras agar bisa menang,” katanya sambil menggoda Nathan.

Nathan mengangkat alisnya dengan skeptis. “Oh, benar? Aku penasaran bagaimana caramu melakukannya,” balasnya dengan nada penuh tantangan.

“Siapa bilang aku tidak bisa?” Maya menjawab sambil mengedipkan mata.

Nathan bangkit tanpa mengucapkan sepatah kata pun, berbalik posisi, dan melihat Maya yang terkejut, terjengkang dan terlentang di atas tempat tidur. Dalam keadaan tersebut, vagina Maya yang basah tampak jelas di hadapannya. Dengan cepat, Nathan menindih tubuh Maya, lalu memasukkan kejantanannya ke dalam lubang nikmatnya. Dalam satu hentakan, batang kejantanan Nathan masuk, mengisi penuh setiap jengkal liang kewanitaan Maya.

Tubuh Maya yang terbaring mengangkang di atas ranjang langsung menggelinjang hebat. Otot-otot vaginanya yang ketat dan kencang terasa mencekik penis Nathan dengan kuat. Buah dadanya yang besar semakin membusung ke atas karena dorongan punggungnya yang melengkung. Kepala Maya tertolak ke belakang, terbenam semakin dalam ke dalam kasur, sementara selangkangannya tidak bisa berhenti bergetar. Setiap kedutan di otot-otot dinding vaginanya yang hangat dan basah memijati penis Nathan dengan penuh suka cita.

Nathan dengan cepat menggerakkan penisnya keluar hingga hampir ke ujung, lalu masuk kembali ke dalam liang kewanitaan Maya. Vagina Maya yang lapar tak henti-hentinya berkedut, memijat-mijat penis pemuda itu sepanjang perjalanannya hingga menghantam ke bagian terdalam lubang kenikmatannya. Nathan terus menghantamkan penisnya keluar masuk, merangsang berbagai titik di dalam vagina ibunya. Suara becek selangkangan mereka yang saling beradu menjadi musik indah yang mengiringi permainan mereka, diselingi oleh erangan penuh nikmat yang keluar dari bibir Maya.

“Aaaarrrrrghhhh…. Terus… Sayang, terus….. Yah di situ….”

Perlahan, Nathan mendekatkan wajahnya ke wajah Maya, dan Maya pun melingkarkan tangannya ke lehernya. Dengan tangan kanannya, Nathan mengelus rambut dan kepala Maya, sementara tangan kirinya merayapi daerah punggungnya. Mereka berpagutan dan berciuman dengan penuh gairah. Pinggul mereka tidak berhenti bergerak, seolah keduanya telah menemukan irama dansa yang sempurna, saling memuaskan satu sama lain dalam gerakan pinggul yang selaras.

Setelah puas berciuman, Maya melepaskan tangannya yang melingkari leher Nathan dan merentangkan kedua tangannya ke samping, meremas sprei kasur dalam genggaman tangannya. Mulutnya meracau tanpa henti, sambil menutup matanya dan tenggelam dalam kenikmatan. Sementara Nathan terus memacu penisnya keluar masuk, ia menjilati dan menghisap kedua puting susu Maya secara bergantian, kanan-kiri. Tangan Nathan, yang tadinya berada di punggung Maya, kini memijat dan meremas kedua buah payudaranya.

Irama permainan mereka semakin menggila. Klimaks keduanya sudah semakin dekat. Nathan merasakan kontraksi otot vagina Maya semakin hebat, sementara sesuatu yang panas mulai memberontak ingin menyembur keluar dari penisnya. Ia menyergap tubuh Maya dan memeluknya erat.

“Aku keluar Bunda ….” Geram Nathan tanpa menghentikan hujamannya.

“Bunda juga … Sebentar lagi …” balas Maya terengah-engah sambil kembali memeluk Nathan.

Spuurrrttt …

Crottt …

Crottt …

Crootttt …

Dengan satu hentakan terakhir, Nathan dan Maya mengalami klimaks secara bersamaan. Tubuh mereka yang saling berpelukan mengejang dan bergetar dalam harmoni hasrat. Tidak ada teriakan, tidak ada raungan penuh nafsu; mereka tak sanggup bersuara lagi dalam napas yang penuh gairah. Nathan menggenggam kepala dan punggung Maya dengan kedua tangannya, sementara tangan Maya terkulai tanpa daya. Otot-otot dinding vaginanya yang ketat, kencang, hangat, dan basah dengan rakus memeras habis sperma dari kejantanan Nathan yang mengisi penuh lubang kenikmatannya hingga tumpah merembes keluar. Mata Maya yang setengah terbuka dan mulutnya yang megap-megap mencari napas membuat Nathan tidak tahan untuk menciuminya kembali. Segera, mereka kembali saling berciuman, menikmati sisa-sisa puncak kenikmatan yang masih terasa.

Nathan melepaskan ciumannya dan berguling ke samping tubuh Maya. Mereka berbaring bersebelahan, masing-masing berusaha menormalkan keadaan setelah seks yang panas di antara mereka. Nathan mengambil napas dalam-dalam, merasakan detak jantungnya yang masih berdebar kencang, sementara Maya mengatur pernapasannya, matanya yang semula berkilau kini mulai kembali tenang. Keduanya saling menatap, mencoba meresapi momen yang baru saja mereka alami. Perlahan, Nathan mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Maya. Maya pun membalas dengan senyuman lembut, perlahan-lahan merangkul Nathan, merasakan kenikmatan yang masih tersisa di antara mereka.

Setelah beberapa saat Nathan berbisik di telinga ibunya, “Aku sudah sering kali menyirami rahim Bunda … Apakah bibitku akan tumbuh, Bunda?”

Maya mengurai pelukannya sambil menatap Nathan dan berkata, “Kamu takut?”

“Tidak sama sekali … Aku hanya ingin tahu saja …” jawab Nathan agak tergagap.

Maya mencubit hidung Nathan, “Aku sudah steril. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Semua yang kamu lakukan selama ini tidak akan menghasilkan anak. Yang perlu kamu pikirkan adalah gadis-gadis yang kamu perawani saat kamu melakukan ritual darah perawan.”

Nathan menatap Maya dengan serius. “Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahi mereka jika mereka hamil. Aku tidak bisa membiarkan mereka menghadapi semua ini sendirian.”

Maya memeluk Nathan lagi. Mereka pun terdiam, menikmati momen kebersamaan tanpa kata. Perlahan, keduanya tertidur, saling berbagi kehangatan dalam pelukan, meninggalkan semua kekhawatiran di luar sana.

Bersambung​

1 thought on “CERBUNG – NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *