Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 33

Nathan dan Sisi masih larut dalam tawa, berguling-guling di atas tempat tidur yang sudah sedikit berantakan akibat ulah mereka. Nathan sesekali menggelitik pinggang Sisi, membuat gadis itu tertawa sambil berusaha menangkis tangan Nathan yang usil.

“Hentikan, nanti aku kehabisan napas!” seru Sisi di antara tawanya yang tak tertahan, namun tatapan matanya masih penuh dengan kebahagiaan. Nathan tersenyum lebar, merasa puas melihat Sisi tertawa lepas.

Setelah beberapa saat, Nathan menarik napas dan meraih tangan Sisi, mengajaknya untuk duduk. “Oke, nona manis, bagaimana kalau kita lanjut bercanda di kamar mandi?” ucap Nathan sambil mengangkat alisnya, nada suaranya menggoda.

Sisi menyipitkan mata, pura-pura curiga. “Mandi atau ….?” tanyanya sambil menyelidik. Nathan hanya tertawa kecil, lalu bangkit sambil menarik Sisi.

“Apapun yang nanti akan terjadi, sebaiknya kita ke kamar mandi dulu …” kata Nathan sambil melirik genit. Mereka pun bergegas menuju kamar mandi, membawa tawa yang tak kunjung reda.

Nathan dengan lembut membersihkan tubuh Sisi di bawah pancuran yang mengalir hangat, keintiman di antara mereka semakin terasa di setiap sentuhan. Tak lama, saat gairah mereka kembali menyala, Nathan memasukkan penisnya yang masih keras ke dalam vagina Sisi, tubuh mereka menyatu di bawah derasnya air. Nathan mengangkat kaki kiri Sisi dengan tangan kanannya, menopangnya sambil menyandarkan tubuh Sisi pada dinding kamar mandi. Nathan menggerakkan pinggulnya perlahan namun mantap, menciptakan ritme yang selaras dengan napas mereka. Sementara itu, Sisi membalasnya dengan kecupan dan belaian lembut pada leher Nathan, menambah kehangatan di antara mereka dalam pelukan yang semakin erat di bawah pancuran air yang mengalir deras.

Tanpa sengaja, Sisi menemukan titik sensitif pada leher bagian kiri Nathan. “Iya… Di situ… Terus…” gumamnya, sementara Sisi memfokuskan sentuhannya pada titik tersebut. Nathan tak pernah menduga betapa sensitifnya tempat itu; aliran-aliran sensasi seolah-olah mengalir ke seluruh tubuhnya, meningkatkan sensasi yang luar biasa pada penisnya. Ia terus mendesah sambil sedikit mempercepat gerakan penisnya, kadang-kadang mendorongnya lebih dalam dan mempertahankan posisinya sambil menggoyangkan pinggangnya dengan gerakan melingkar. Sisi mendesah penuh kenikmatan dan menghentikan sejenak tarian lidahnya, dan Nathan pun melanjutkan proses bercintanya. Sisi merangkul tubuh Nathan dengan erat, desahannya semakin cepat dan kuat.

“Kak… Aaakkkhhhh….!”

Di bawah pancuran shower yang hangat, Sisi kembali mencapai orgasme hebat untuk kesekian kalinya pada hari itu. Tubuhnya yang indah dan sintal bergetar kuat. Otot-otot dinding vaginanya meremas batang penis Nathan dengan intensitas luar biasa, membawa Nathan ke puncak kenikmatan yang sulit dibayangkan. Ia berusaha menahan perasaannya selama mungkin, setidaknya hingga gelombang orgasme Sisi mereda.

Setelah sensasi tersebut perlahan surut, Nathan menarik keluar penisnya. Dengan tanggap, Sisi berlutut di hadapannya, menyambutnya dengan mulutnya. Hanya separuh penis Nathan yang masuk, sementara lidah Sisi bergerak lincah, menari pada permukaannya, menciptakan sensasi yang tak terlukiskan. Nathan memegang kepala Sisi dengan kedua tangannya, lalu perlahan mendorong masuk hingga seluruh penisnya tertelan. Sisi hampir tersedak, tetapi dengan cepat menyesuaikan kerongkongannya. Nathan mengulangi gerakan itu, menarik dan memasukkannya kembali, sementara lidah Sisi terus menari tanpa henti, memberikan tarian erotis yang menggoda pada penisnya.

Rangsangan ini benar-benar membuat penis Nathan mencapai orgasme yang kuat dan menggetarkan. Ketika ia terus menarik dan mendorong, sebagian spermanya mengalir keluar dari sudut mulut Sisi. Tetesan sperma di bibirnya justru membuat Sisi terlihat semakin cantik dan menggairahkan. Sisi terus menjilat dan menelan setiap sisa dari penis Nathan hingga bersih.

“Suka ya?” tanya Nathan dengan lembut.

Tanpa melepaskan kulumannya, Sisi tersenyum dan mengangguk. Bagi Nathan, Sisi benar-benar luar biasa; gadis cantik ini tidak hanya memberikan layanan penuh kasih, tetapi juga menikmati setiap momennya. Sisi perlahan berdiri, sembari menatap Nathan dengan senyuman lembut di wajahnya. Ia menyapu sisa sperma dari wajahnya, lalu mengusap lengan Nathan, seolah berterima kasih tanpa kata. Nathan membalas tatapannya, lalu keduanya tertawa kecil, menikmati keintiman dan kenyamanan yang tercipta di antara mereka.

Nathan meraih sabun dan mulai mengusap bahu dan punggung Sisi dengan lembut, membiarkan busa-busa halus terbentuk di kulitnya. Sisi pun membalas dengan menumpahkan sampo di tangan, menggosokkannya perlahan ke rambut Nathan. Mereka berbagi sentuhan dan senyuman, setiap gerakan terasa hangat dan penuh perhatian. Saat air shower membilas sisa sabun dan sampo dari tubuh mereka, Nathan dan Sisi saling bertukar tatapan penuh arti, tanpa perlu kata-kata. Setelah memastikan keduanya benar-benar bersih, mereka mematikan shower dan melangkah keluar dengan handuk yang melilit di tubuh mereka, mengakhiri momen kebersamaan di bawah pancuran.

Nathan dan Sisi mulai mengenakan pakaian, sesekali saling melempar pandang dan tersenyum kecil. Sisi mengambil bra yang tergeletak di meja kecil samping tempat tidur dan mengenakannya dengan cepat, lalu melanjutkan dengan celana dalamnya. Setelah itu, ia mengenakan blus yang simpel dan rok yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Sementara itu, Nathan mengenakan kaus dan celana jeansnya. Setelah Sisi selesai berpakaian, ia mengeringkan rambutnya dan mulai berdandan di depan cermin. Nathan memperhatikan sambil menyisir rambut.

Di tengah mereka bersiap, Nathan membuka percakapan. “Kamu tahu ke mana Maya dan Cici pergi tadi?” tanyanya, penasaran.

Sisi berhenti sejenak, mengingat-ingat. “Aku nggak tahu, mereka sudah pergi waktu aku kembali dari kolam renang tadi. Udah cukup lama juga ya,” jawabnya sambil mengoleskan lipstik.

Nathan mengangguk. “Kalau begitu, aku akan mencari mereka sekarang.”

Nathan langsung keluar dari kamar, meninggalkan Sisi yang masih berdandan. Ia mulai berkeliling rumahnya yang luas, menyusuri lorong-lorong yang sepi dan memeriksa beberapa ruangan. Namun, meski sudah memeriksa sebagian besar area rumah, Nathan tak menemukan tanda-tanda keberadaan Maya atau Cici. Dengan alis sedikit mengernyit, ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruang tengah.

Saat tiba di ruang tengah, Nathan melihat Sisi sudah duduk santai di sofa, menonton televisi. Begitu ia duduk di sebelahnya, Sisi langsung menyenderkan tubuhnya, lalu merebahkan kepala di atas paha Nathan. Pemuda itu tersenyum tipis dan mengusap rambut Sisi dengan lembut, sementara pandangannya sesekali tertuju ke layar televisi.

Nathan menghela napas, lalu berkata, “Aku nggak menemukan Bunda dan Cici di mana-mana. Sepertinya mereka memang belum pulang.”

Sisi menatapnya sebentar, lalu tersenyum santai. “Tenang aja, Kak. Mereka sebentar lagi juga pasti balik. Mungkin cuma lagi jalan-jalan atau mampir ke suatu tempat.”

Nathan mengangguk pelan, berusaha meredakan rasa penasarannya. “Iya, mungkin kamu benar. Aku aja yang terlalu mikirin.”

Sisi tertawa kecil sambil menepuk pahanya. “Nah, gitu dong. Santai aja.”

Nathan dan Sisi duduk bersantai, terhanyut dalam obrolan ringan tentang kehidupan Sisi. Sisi menceritakan kisah-kisah seru, berbagi cerita tentang teman-temannya dan pengalaman-pengalaman uniknya sebagai mahasiswi. Nathan mendengarkan dengan penuh minat, sesekali tertawa kecil, terutama saat Sisi menceritakan kekonyolan teman-temannya yang membuat suasana kuliah terasa lebih hidup.

Tiba-tiba, di tengah perbincangan, pintu ruang tengah terbuka perlahan, menampakkan Maya masuk menggandeng tangan Cici. Cici tampak ceria dengan balutan baju cantik dan sepatu berkilauan, tampak sangat bersemangat membawa dua bungkus sate. Aroma khas sate menggoda memenuhi ruangan, membangkitkan rasa lapar dan kegembiraan mereka.

Cici tersenyum lebar sambil menunjukkan bungkus sate yang ia bawa. “Sisi, lihat! Aku bawa sate kesukaan kita. Sudah lama sekali kita tidak menikmati makanan ini.”

Mata Sisi berbinar, memandang bungkus sate itu dengan antusias. “Akhirnya! Aku benar-benar merindukan sate,” katanya sambil berdiri dari sofa. “Ayo, kita nikmati di ruang makan saja, Kak.”

Cici dan Sisi melangkah menuju ruang makan, tawa kecil mereka masih terdengar samar-samar di ruangan. Maya, yang sejak tadi mengamati mereka, duduk di sebelah Nathan, tersenyum tipis saat melihat kedua anak gadisnya menghilang di balik pintu ruang makan. Setelah suasana sedikit hening, Maya menggeser duduknya mendekati Nathan, hingga keduanya berhimpitan. Nathan menoleh, sedikit terkejut namun segera menangkap pandangan lembut ibunya yang penuh perhatian.

Maya menatap Nathan dengan sorot mata harap. “Bagaimana hasilnya?” tanya Maya, suaranya lembut.

Nathan mengangguk pelan, memberi senyuman tipis. “Semua berjalan lancar. Sepertinya Sisi sudah mulai melupakan pacarnya,” katanya dengan nada lega. “Mungkin tinggal sedikit membujuk, supaya dia betah tinggal di sini.”

Mendengar jawaban Nathan, Maya tersenyum puas. “Bagus!!! Kalau begitu, misi selanjutnya adalah Cici.”

Nathan menghela napas, mengendurkan bahu sambil tersenyum kecil. “Aku baru saja memberikan service untuk Sisi, Bunda … Tenagaku lumayan terkuras, butuh waktu untuk pulih.”

Maya tersenyum, lalu mengambil botol plastik kecil dari tasnya dan menyerahkannya pada Nathan. “Kalau begitu, minum ini. Cairan ini bisa memulihkan gairah dan staminamu. Kamu akan kembali bertenaga.”

Nathan menerima botol plastik kecil itu dari tangan Maya, menatapnya dengan sedikit bingung. “Apa ini?” tanyanya.

Maya tersenyum tipis. “Cairan di dalam botol itu ramuan herbal khusus. Bisa memulihkan stamina dan gairah laki-laki,” jelasnya, nada suaranya rendah. “Harganya juga tidak murah, lho.”

Nathan memperhatikan botol kecil di tangannya, memutar-mutar sejenak sambil memandang ibunya. “Dari mana Bunda mendapatkan benda ini?”

Maya menatap Nathan sejenak sebelum menjawab, “Aku membelinya dari seorang tabib yang sudah lama jadi langganan. Cairan ini dulu sering diminum oleh mendiang Alex.”

Nathan memandangi botol itu dengan alis sedikit terangkat. “Apakah ini aman?” tanyanya, masih ragu.

Maya tersenyum lembut. “Sangat aman. Bahkan, cairan ini bisa membuat tubuhmu semakin sehat,” jawabnya dengan yakin. Sambil tersenyum nakal, ia menambahkan, “Kalau kamu minum ini, Bunda yakin kamu bisa bertahan sampai besok pagi tanpa rasa lelah.”

Nathan membuka tutup botol plastik kecil itu, memeriksa cairan di dalamnya sejenak sebelum meneguknya. Rasa herbal yang kuat langsung memenuhi mulut, mengalir melalui tenggorokan dan menyebarkan sensasi hangat ke seluruh tubuh. Ketika cairan itu mencapai perut, kehangatan semakin terasa, memberi efek rileks yang berpadu dengan energi baru di setiap ototnya. Sensasi segar itu membuat tubuhnya terasa lebih ringan, seakan beban fisik yang tadi membebaninya mendadak lenyap.

Nathan menatap ibunya dengan ragu, lalu bertanya, “Apakah cairan yang aku minum ini sejenis obat perangsang?”

Maya menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Bukan. Cairan itu lebih bersifat herbal dan alami. Dirancang untuk memulihkan stamina dan memberikan energi, bukan untuk memfokuskan pada efek seksual.”

Nathan mengangguk, meski masih merasa sedikit cemas. “Jadi, aku tidak perlu khawatir tentang rangsangan seksual yang tidak bisa aku kontrol?”

“Kamu tidak perlu khawatir. Cairan ini tidak akan menimbulkan efek yang mengganggu. Tujuannya hanya untuk membantumu merasa lebih bertenaga dan segar. Ini bukan obat perangsang, jadi aman untukmu,” jawab Maya lalu mengambil botol kecil itu dari tangan Nathan lalu memasukannya kembali ke dalam tas. Maya kemudian bangkit sambil berkata, “Bunda sangat mengandalkanmu, Nathan … Bunda tunggu hasilnya.”

Maya bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju tangga yang mengarah ke kamar di lantai dua. Sebelum menghilang dari pandangan, Maya menoleh sejenak dan memberikan senyuman yang penuh arti kepada Nathan. Setelah Maya pergi, Nathan masih duduk di sofa, mengamati ruangan yang seakan lebih hidup dari sebelumnya. Ia merasakan setiap bagian tubuhnya yang kini terasa sangat bugar dan berenergi. Efek dari cairan herbal itu memang luar biasa; kehangatan yang menyebar di dalam dirinya membawa rasa segar dan ringan, semua lelah dan pegal di tubuhnya hilang tanpa jejak.

Nathan mengambil remote televisi dari meja, jarinya bergerak cepat menekan tombol, berpindah dari satu saluran ke saluran lain. Namun, setiap acara yang muncul di layar seolah menolak untuk menarik perhatiannya. Dengan rasa frustasi, ia mematikan televisi dan bangkit dari duduknya, berencana melangkah ke ruang makan. Namun, saat ia hendak melangkah, seberkas cahaya melesat di atas kepalanya, membuatnya terkejut. Firasat buruk segera menyergap, Nathan merasakan aura negatif yang dikeluarkan oleh cahaya tersebut. Cahaya itu bergerak cepat, mengarah ke kamar Maya.

Instinctnya terpanggil, Nathan melesat tanpa ragu, langkahnya seakan lebih cepat dari waktu. Dalam hitungan detik, ia telah sampai di depan kamar Maya dan langsung menerobos masuk tanpa izin. Pandangannya berkeliling, mencermati setiap sudut ruangan yang terasa mencekam. Di tengah suasana yang mencekam itu, ia melihat bola asap hitam melayang-layang di langit-langit kamar, bergerak tak beraturan seperti makhluk yang terperangkap antara dua dunia.

Nathan berdiri tegak di tengah ruangan, matanya terfokus pada bola asap hitam di langit-langit kamar Maya. Ia merapal mantra penangkal ilmu sihir yang diberikan Ratu Arunika padanya dan memusatkan energi dari benda itu. Nathan mengangkat tangan dan cahaya putih muncul dan mengelilingi tubuhnya. Cahaya putih berkilau di tubuh Nathan dan berkumpul di telapak tangannya. Ia melempar cahaya putih ciptaannya ke arah bola asap hitam. Dalam sekejap, cahaya putih itu menelan bola asap hitam dan menghisap kegelapan. Bola asap hancur menjadi serpihan kecil yang menghilang. Nathan tertegun, menyaksikan kejadian ini dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. Dalam pikirannya, muncul kesadaran bahwa seseorang telah mengirim sihir jahat untuk mencelakai ibunya.

“Siapa yang berani melakukan ini?” tanya Nathan pada diri sendiri. Pikirannya berputar, berusaha menemukan jawaban. “Siapa yang mengirim sihir ini?” Rasa ingin tahunya bergulir.

“Bunda …” Nathan memanggil ibunya yang berada di kamar mandi. Suara gemercik air dari dalam kamar mandi menandakan keberadaan ibunya di sana.

“Ya … Nathan …” sahut Maya terdengar samar di balik suara air yang mengalir. “Ada apa, sayang?” tanya Maya kemudian.

“Masih lamakah?” tanya Nathan.

“Ada apa sayang?” Maya kembali menanyakan hal yang sama namun kali ini dengan nada khawatir.

“Aku hanya ingin tahu kapan Bunda selesai,” jawab Nathan pelan.

Suara gemericik air pun lenyap, dan pintu kamar mandi terbuka. Maya keluar dari kamar mandi dengan bath robe berwarna merah muda. Wanita itu menghampiri Nathan dan menatapnya dengan heran. Raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran dan kekhawatiran, mencerminkan instingnya yang tajam terhadap sesuatu yang tidak beres.

“Ada apa?” tanya Maya, nada suaranya menunjukkan keingintahuan.

Nathan menghela napas keras sambil meraba-raba kata-kata yang sulit diucapkan. Ia merasa berat untuk menjelaskan apa yang terjadi, tetapi perasaan mendesak dalam hatinya membuatnya sadar bahwa ibunya perlu tahu. “Tadi, aku baru saja memusnahkan sihir jahat. Ada seseorang yang berusaha mencelakai Bunda dengan sihir.”

“Kok bisa? Rumah ini sebenarnya sudah dijaga. Rumah ini tidak bisa ditembus sihir,” jelas Maya kebingungan. “Kalau sihir jahat bisa masuk, berarti ada kekuatan yang jauh lebih besar di luar sana,” lanjutnya.

Nathan, merasakan urgensi situasi, segera mengusulkan, “Mungkin kita perlu memeriksa pagar sihir di rumah ini. Jelas bahwa pagar yang ada tidak mampu menahan sihir yang datang tadi.”

Maya mengangguk setuju, “Kamu benar. Aku akan memanggil orang yang memasang pagar gaib ini. Dia mungkin bisa memberi tahu kita apa yang terjadi.”

Dengan cepat, Maya mengambil ponselnya untuk menghubungi ahli sihir tersebut. Nathan membiarkan ibunya melanjutkan panggilan. Dia sebenarnya mampu membuat pagar sihir untuk melindungi rumah, tetapi kali ini ia merasa lebih baik menyerahkan urusan ini kepada ahlinya. Ia berharap si ahli sihir kepercayaan ibunya mengetahui siapa yang mengirim sihir itu. Setelah beberapa saat, Nathan keluar dari kamar ibunya dan berjalan menuruni tangga menuju lantai satu. Setibanya di ruang tengah, ia melihat kedua adiknya sedang duduk di sofa, terlibat dalam obrolan ringan.

Nathan duduk di antara kedua adiknya, lalu tanpa sepatah kata pun, dia meraih tangan mereka. Dalam diam, Nathan memusatkan seluruh kekuatan, merapal mantra perlindungan. Cahaya lembut berpendar di sekeliling mereka, membentuk lapisan pelindung yang perlahan-lahan menguat. Kedua adiknya memandang Nathan dengan tatapan bingung, bertanya-tanya apa yang terjadi, tetapi Nathan tidak menjelaskan. Dia terus memusatkan perhatian, memastikan pagar sihir menyelimuti mereka sepenuhnya.

“Ada apa kak?” tanya sisi setelah Nathan melepaskan tangan mereka.

“Tidak ada apa-apa,” jelas Nathan berusaha menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.

Cici memandang kakaknya dengan tatapan penuh selidik. “Ada yang nggak beres, kan? Kamu nggak biasanya begini. Jangan coba-coba sembunyikan dari kita.”

“Sudahlah, santai saja,” kata Nathan dengan nada menenangkan. “Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalian lanjut ngobrol aja, aku cuma ingin memastikan kalian aman, itu saja.”

“Jangan bohong, Kak,” desak Sisi, tatapannya tajam. “Kalau nggak ada apa-apa, Kakak nggak mungkin tiba-tiba begini. Ceritakan yang sebenarnya. Kita berhak tahu.”

Nathan hanya tersenyum, lalu bangkit. Tanpa suara, ia melangkah ke ruang belakang dan segera tiba di dapur. Heni dan Sari menyambutnya dengan senyuman hangat, tidak menyadari maksud kedatangannya. Nathan mendekati mereka, menggenggam tangan keduanya dan mulai merapal mantra perlindungan. Cahaya halus mengalir dari tangannya, membentuk lapisan energi di sekeliling Heni dan Sari. Kedua gadis itu memandangnya, terkejut dan bertanya-tanya, tetapi Nathan tetap tenang, memastikan mantra berjalan sempurna. Energi perlindungan pun menyelimuti mereka.

“Ada apa Tuan?” tanya Heni setelah Nathan melepaskan tangan mereka.

“Rumah ini ada yang mengirim sihir jahat. Cukup berbahaya,” jelas Nathan dengan tenang. “Tadi aku memberikan perlindungan agar kalian aman.” Ia memandang Heni sejenak, memastikan pesannya jelas. “Sekarang, panggil Tuti dan Rina. Aku perlu memastikan mereka juga terlindungi.”

Dengan wajah terkejut, Heni segera bergegas meninggalkan dapur untuk memanggil Tuti dan Rina. Suasana di ruangan itu berubah hening, menyisakan Nathan yang bersiap dengan tenang, memperhatikan setiap sudut seolah mencari tanda-tanda bahaya.

Sari menatap Nathan bingung. “Maaf, Tuan, sihir apa yang Tuan maksud? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Nathan menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Aku sendiri belum tahu pasti jenis sihirnya, Sari. Tapi yang jelas, sihir itu cukup berbahaya. Aku hanya ingin memastikan kalian semua aman.”

Tak lama kemudian, Heni kembali bersama Rina dan Tuti. Mereka datang dengan wajah cemas, mencari tahu apa yang terjadi. Nathan segera menghampiri mereka, menggenggam tangan Rina dan Tuti satu per satu. Ia merapal mantra perlindungan dengan penuh konsentrasi, memancarkan cahaya lembut yang mengelilingi mereka. Perlindungan itu membentuk lapisan energi yang melindungi dari segala ancaman. Rina dan Tuti memandang Nathan dengan rasa syukur, sementara Heni berdiri di samping, masih berusaha memahami situasi yang terjadi.

“Ada apa Tuan?” tanya Heni lagi.

Nathan mengangguk, berusaha menenangkan mereka. “Rumah ini baru saja diserang oleh sihir yang jahat. Aku hanya ingin memastikan kalian semua yang ada di ruangan ini aman,” jelas Nathan dengan tegas.

Tiba-tiba, Tuti melangkah maju dan memeluk Nathan dengan erat. “Saya akan selalu aman bila Tuan ada di dekat saya,” katanya dengan tulus.

Heni menatap Tuti dengan cemas. “Tuti, jangan begitu! Nanti kita akan kena marah kalau Nyonya Besar melihatmu seperti ini,” ucapnya, berusaha mengingatkan agar situasi tetap terkendali.

Tuti melepaskan pelukannya dan menatap Nathan dengan lembut. “Aku hanya rindu sama Tuan,” ujarnya dengan suara kecil.

Nathan membelai pipi Tuti dengan lembut dan tersenyum. “Nanti kita semua akan kumpul bersama, Tuti. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Nathan pun melanjutkan ucapannya, “Tolong botol air mineral,” perintah Nathan sambil memegang bahu Tuti.

Tuti segera berbalik dan melangkah cepat menuju kulkas. Dengan cekatan, ia membuka pintu kulkas, mengambil sebotol air mineral yang dingin, dan menutupnya kembali. Tanpa ragu, Tuti kembali mendekat dan menyerahkan botol air itu kepada Nathan, tatapannya penuh perhatian dan siap membantu. Nathan menerima botol itu dengan anggukan singkat, bersiap melanjutkan langkah berikutnya untuk melindungi orang-orang di rumah dari ancaman yang baru saja menyusup.

Nathan memejamkan mata, merasakan energi sihir dalam dirinya bergetar dan berkumpul di telapak tangannya. Dengan konsentrasi penuh, ia mulai merapal mantra perlindungan, suaranya hampir seperti bisikan. Perlahan, energi sihir itu memancar dari tangannya, membentuk cahaya lembut yang meresap ke dalam botol air mineral yang ia genggam. Cahaya itu berputar perlahan di dalam botol, memenuhi setiap tetes air dengan kekuatan pelindung. Setelah memastikan mantranya berhasil, Nathan membuka matanya dan menyerahkan botol itu kepada Tuti.

Nathan menatap Tuti dengan serius. “Tuti, tuangkan air mineral ini ke ember besar berisi air matang. Campur rata airnya,” katanya tegas. “Lalu, bagikan air ini kepada seluruh pegawai di rumah ini. Setiap orang harus meminumnya, supaya mereka terlindungi.”

Tuti segera bergerak bersama Heni, Sari, dan Rina untuk menyiapkan air matang seperti yang diperintahkan. Mereka bekerja dengan cepat, memastikan ember besar diisi dengan air yang akan segera dibagikan. Sementara itu, Nathan meninggalkan dapur dan berjalan menuju ruang tengah. Setibanya di sana, pandangannya tertuju pada sosok Maya yang sedang berbicara dengan seorang kakek tua berpenampilan sederhana namun karismatik, memegang tongkat kokoh di tangannya. Aura bijaksana terpancar dari pria tua itu, membawa ketenangan sekaligus kekuatan. Tanpa ragu, Nathan melangkah mendekati mereka.

Nathan mendekat, memperhatikan raut wajah kakek itu yang tampak serius. “Pagar sihir di rumah ini memang kuat,” ujar sang kakek sambil menggenggam tongkatnya lebih erat, “namun kekuatan sihir yang datang dari arah utara sangat luar biasa besar. Itulah yang memungkinkan sihir jahat itu bisa menembus perlindungan yang sudah ada.”

Maya menatap sang kakek dengan cemas. “Apakah Pak Sugih tahu siapa yang mengirim sihir itu?”

“Maaf, saya tidak bisa mengetahui siapa yang mengirim sihir itu,” jawab Pak Sugih, wajahnya tetap serius. “Namun, saya hanya bisa merasakan arah datangnya sihir tersebut, yaitu dari sebelah utara. Itu semua yang saya ketahui saat ini.”

“Siapa yang menghancurkan sihir kiriman itu?” tanya Pak Sugih, menatap Maya dengan rasa ingin tahu.

Maya menunjuk Nathan. “Dia,” jawabnya sambil tersenyum.

Pak Sugih langsung menoleh ke arah Nathan, dan seketika itu juga ekspresinya berubah drastis. Alisnya terangkat tinggi, matanya membulat, dan mulutnya sedikit ternganga, menunjukkan kekaguman yang mendalam. “Anak ini mempunyai energi sihir yang sangat kuat,” ujarnya, terpesona. Pak Sugih menatap Nathan dengan serius dan bertanya, “Siapa yang mengajari kamu sihir sehebat ini, nak?”

Nathan tersenyum tipis, matanya berbinar tenang. “Saya tidak pernah belajar ilmu sihir,” katanya dengan santai, “leluhur saya yang memberikannya begitu saja kepada saya.”

Pak Sugih masih melongo, tampak belum sepenuhnya percaya dengan apa yang didengarnya. Setelah beberapa saat, ia menggelengkan kepala seakan tersadar, lalu bertanya dengan hati-hati, “Kalau boleh tahu, siapa nama leluhurmu yang memberikan ilmu itu?”

“Ratu Arunika,” jawab Nathan mantap.

Pak Sugih menahan napas sejenak, pandangannya berubah semakin penuh rasa hormat dan takjub mendalam, seakan nama itu membawa pengaruh besar bagi dirinya.

“Ratu Arunika adalah penyihir yang sangat kuat di zamannya,” kata Pak Sugih dengan nada kagum. “Ilmu sihirnya luar biasa, dan banyak ajarannya yang masih bertahan hingga sekarang, dipelajari oleh para ahli sihir di berbagai penjuru dunia. Kamu sangat beruntung mempunyai leluhur seperti Ratu Arunika, Nak.”

“Kenapa kamu tidak pernah membicarakan hal ini padaku, Nathan?” ucap Maya, nada suaranya terdengar sedikit kecewa. “Hal sebesar ini… seharusnya Bunda tahu sejak awal.”

“Bunda, sebenarnya ilmu ini baru saja aku miliki,” jelas Nathan perlahan. “Aku sendiri belum sepenuhnya menguasainya, dan masih mencoba memahami cara menggunakannya dengan benar.”

Pak Sugih tersenyum sambil menatap Nathan dengan kagum. “Nak, kamu tidak perlu mempelajarinya seperti ilmu biasa,” ujarnya. “Kamu sudah otomatis menguasai sihir itu. Sihir ini akan bergerak dan bekerja sesuai kehendakmu, memang sudah menyatu dengan dirimu.”

Nathan mengernyitkan dahi, kemudian berkata, “Oh, begitukah?”

Pak Sugih menatap Maya dengan penuh keyakinan. “Sekarang di rumah ini sudah ada ahli sihir yang sangat kuat. Nyonya Besar bisa mengandalkan anak ini untuk menjaga rumah dari sihir. Saya yakin anak ini mampu mengatasi serangan sihir sebesar apapun.”

Maya tersenyum penuh rasa syukur dan berkata, “Terima kasih, Pak Sugih. Bapak sudah membantu kami dengan informasi yang sangat berharga. Sekarang, Bapak bisa pulang.”

Pak Sugih bergerak meninggalkan ruangan, diiringi oleh seorang security yang mengawal di sampingnya. Keduanya melangkah dengan tenang, suara langkah kaki mereka menyatu dengan heningnya ruang tengah. Setelah mereka menghilang di balik pintu, Maya langsung menatap Nathan dengan tajam.

“Nathan, bisakah kamu membuat pagar sihir yang lebih kuat dari yang dibuat Pak Sugih? Bunda tidak ingin ada sihir lagi yang masuk ke rumah ini,” pinta Maya tetapi terdengar seperti perintah.

Nathan mengangguk dan menjawab, “Aku bisa membuat pagar sihir untuk melapis yang sudah ada.”

Maya memberi instruksi dengan nada tegas, “Segera buat pagar sihir itu sekarang juga, Nathan. Kita tidak bisa menunda lagi.”

“Baiklah …” jawab Nathan.

Nathan berjalan menuju sofa panjang dan duduk bersila di atasnya, memfokuskan pikirannya. Ia mengumpulkan energi sihir yang ada dalam dirinya. Energi biru terang mulai berkumpul di telapak tangannya, membentuk lingkaran kecil di udara. Lingkaran itu bergetar, memancarkan cahaya yang semakin terang, menandakan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan setiap tarikan napas, Nathan semakin menguatkan sihir yang akan ia ciptakan. Cahaya di tangannya semakin membesar, melingkari tubuhnya, memberikan rasa perlindungan. Dengan setiap gerakan tangan, lingkaran cahaya itu mengembang, meliputi seluruh ruangan. Pagar gaib yang ia ciptakan mulai terwujud, membentuk lapisan energi yang tak kasat mata. Nathan merasakan aliran sihir, seperti arus yang mengalir dengan lembut tetapi kuat. Pagar itu mengelilingi seluruh rumah, memastikan tidak ada sihir jahat yang dapat menembus perlindungan ini. Saat mantra mencapai puncaknya, cahaya di sekelilingnya berpendar dalam warna yang cerah, mengisi ruangan dengan rasa aman. Nathan membuka matanya, melihat hasil karyanya dengan puas.

“Selesai …” ucap Nathan sambil tersenyum.

Maya duduk di samping Nathan, lalu bertanya, “Siapa yang mengirim sihir jahat ini ke rumah kita?”

Nathan menggeleng. “Aku tidak tahu. Sihir ini berasal dari seseorang yang kuat.”

Maya menatap Nathan dengan penuh keyakinan. “Nathan, Bunda yakin kamu tahu siapa yang mengirim sihir jahat ini. Jangan sembunyikan sesuatu sama Bunda.”

Nathan menatap mata ibunya dan berkata, “Bunda juga pasti tahu siapa yang mengirim sihir tadi.”

Maya menahan amarahnya dan berkata, “Ayahmu tidak ahli dalam ilmu kanuragan, tetapi Bunda sangat takut oleh kekuatan sihirnya. Berikan Bunda perlindungan sihir, Nathan.” Kemudian, dengan tegas ia melanjutkan, “Bunda akan menemui ayahmu dan memusnahkan dia.”

Berbagai kenangan pahit terlintas di benak Nathan yang selalu menyertai kehadiran Ronny. Ia tahu bahwa pria itu sumber semua masalah yang mengganggu keluarganya. Nathan merasakan dorongan untuk mengakhiri semua ini demi kebahagiaan ibunya dan adik-adiknya. Ia menyadari tidak ada jalan lain selain menghadapi Ronny dan menghentikan segala tindakan yang menimbulkan ketidaktenangan dalam hidup mereka.

Nathan menegaskan, “Aku yang akan menghadapi Ronny. Ini semua adalah tanggung jawabku.”

Maya menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak, Nathan. Bunda melarangmu menghadapi Ronny. Bunda tahu kamu masih memiliki rasa belas kasihan padanya, dan itulah yang selama ini menghantuimu. Kamu tidak akan pernah tega untuk memusnahkannya. Serahkan masalah ini sama Bunda. Tapi, Bunda perlu perlindungan dari sihirnya, jadi tolong, lindungi Bunda dari sihirnya.”

Nathan mengangguk, menyadari kebenaran dalam kata-kata ibunya. Rasa belas kasihan itu memang menghantuinya, membuatnya ragu untuk mengambil langkah tegas terhadap Ronny. Ia tidak ingin menyakiti orang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, meskipun ia tahu bahwa Ronny adalah ancaman bagi keluarganya.

“Baiklah … Aku akan memberi Bunda perlindungan dari sihir Ronny …” ucap Nathan setengah mendesah.

“Kalau begitu … Berikanlah sekarang!” pinta Maya sungguh-sungguh.

Nathan pun menahan senyumnya sambil berkata, “Aku akan memberinya tapi tidak di sini.”

“Maksudmu?!” tanya Maya keheranan.

Nathan merangkul bahu Maya, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Maya dan berbisik, “Penangkal sihir itu adalah air kehidupan yang harus dimasukkan ke dalam tubuh Bunda.”

Maya menggeser tubuhnya, menatap Nathan, dan berkata, “Maksudmu sperma?”

“Iya … Itu maksudnya,” jawab Nathan kini tersenyum.

Maya bangkit dan menarik tangan Nathan, mengajaknya naik ke tangga. Keduanya berjalan perlahan, melewati ruangan yang sepi. Sesampainya di depan kamar Maya, Nathan menutup pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang mengganggu mereka. Dengan napas yang dalam, Maya melepas pakaiannya, mempersiapkan diri untuk melakukan ritual yang akan mereka lakukan. Nathan melihat tubuh Maya dengan penuh kekaguman. Bentuknya yang anggun dan postur tubuhnya yang sempurna membuatnya terpesona. Kulitnya yang halus terlihat bersinar di bawah cahaya lampu kamar, menampilkan bentuk tubuh yang seimbang. Payudaranya yang proporsional dan pinggulnya yang ramping menambah daya tariknya.

Nathan merasa kagum melihat keanggunan dan keindahan yang terpancar dari sosok di depannya. Nathan mendekati Maya dan memeluknya dari belakang. Bibirnya menyentuh leher Maya yang wangi, menghirup aroma yang menenangkan. Tangan Nathan melingkari perut Maya yang halus, merasakan kelembutan kulitnya di antara jari-jarinya. Maya terdiam sejenak, merasakan sentuhan lembut Nathan yang penuh kasih sayang.

“Mmmmhhh…” Maya bergumam pelan, merasakan sentuhan Nathan yang membuatnya terangsang. Setiap desahan lembut di lehernya menimbulkan hasrat birahi yang mengalir ke seluruh tubuhnya.

Setelah merasakan sentuhan Nathan, Maya berbalik dan menatapnya dengan mata penuh hasrat. Nathan mengulurkan tangan, meraih wajah Maya dengan lembut, lalu menempelkan bibir mereka, saling berciuman mesra. Ciuman itu mengalir, memberi sensasi yang menyelubungi keduanya. Dengan rasa terikat yang semakin dalam, mereka mulai saling meraba, telapak tangan bergerak di atas kulit lembut, merasakan hasrat yang membara di antara mereka. Perlahan, Maya melepas pakaian Nathan satu per satu, tanpa ragu. Setiap lapisan kain yang jatuh mengungkapkan kulitnya yang hangat. Ketika pakaian terakhir pemuda itu terlepas, birahi di antara mereka semakin kuat. Tatapan mereka saling mengekspresikan keinginan untuk saling mengisi.

Nathan dan Maya kemudian melangkah ke tempat tidur dalam keadaan telanjang bulat. Mereka langsung bergumul dalam ketelanjangan yang berbalut birahi. Sesekali Nathan di atas sesekali di bawah disertai gerakan erotis pinggulnya, Maya tidak tinggal diam ia melakukan juga yang sama. Kemaluan mereka saling beradu, menggesek, dan menekan-nekan. Tubuh mereka kini semakin melekat erat, bibir mereka sudah berpagutan mesra. Mereka berguling-gulingan penuh luapan birahi di atas ranjang itu. Tangan Nathan terus meremasi lekuk tubuh bugil Maya yang indah, mempermainkan payudara yang montok dan mengelus bibir vagina Maya. Sedangkan Maya terus meremasi batang penis besar dan tegak serta mengelus buah pelir yang mengantung itu.

Setelah merasa puas, Nathan menghentikan aktivitasnya di atas tubuh ibunya sambil berkata, “Aku akan melakukannya sekarang.”

Maya hanya mengangguk lalu Nathan pun merapal mantra perlindungan. Suara Nathan mengalun lembut namun penuh kekuatan, aura sihir perlindungan berkumpul di sekujur tubuhnya. Cahaya biru lembut mulai menyelimuti Nathan, menandakan bahwa ritual yang mereka lakukan akan segera dimulai.

Nathan membuka mata sambil berkata, “Kita akan memulainya.”

“Lakukanlah sayang …” balas Maya yang tubuhnya sudah ingin merasakan kejantanan Nathan.

Perlahan-lahan, Nathan memasukkan penisnya yang besar ke dalam vagina Maya. Ia mendorong dengan kuat, membuat mata Maya terbelalak saat merasakan nikmatnya penetrasi yang dalam. Sementara itu, Nathan merasakan betapa ketat dan lembutnya dinding vagina Maya yang seolah meremas penisnya. Maya merasakan lubangnya dipenuhi oleh penetrasi yang besar itu. Setelah beberapa saat terdiam, Nathan mulai bergerak, maju-mundur di dalam vagina Maya. Ia menarik dan menekan penisnya, menerobos masuk lebih dalam, membuat Maya semakin bergetar dan mengerang penuh kenikmatan.

“Aagghhh…uuggssshhh…oooghhh…” terdengar erangan Maya saat Nathan mengenjot dengan penuh nafsu.

Sambil menggerakkan pinggulnya dengan kuat, Nathan juga meremas kedua payudara Maya yang montok dan memutar-putar kedua putingnya. Maya sangat menikmati persetubuhan ini, selalu mendambakan penis Nathan yang besar dan panjang, yang dapat membawanya terbang dalam kenikmatan. Setiap kali Nathan menekan pantatnya ke bawah, Maya menyambutnya dengan mengangkat pantatnya dan menggoyangkannya. Ketika Maya memutar pinggulnya, Nathan merintih merasakan kenikmatan yang luar biasa.

“Aaaahh … Aaaahh … Aaaahh …”

“Oooohh … Aaaaarrgghhh …”

Desahan dan erangan mereka berpadu, menciptakan irama yang menyatu, seolah menggambarkan kedalaman kenikmatan yang mereka rasakan dalam setiap detik yang berlalu. Deru napas mereka yang leluasa dikeluarkan tanpa khawatir ada yang mendengar, membebaskan mereka untuk sepenuhnya meresapi setiap momen syahwat dan birahi yang menggelora. Seiring waktu berlalu, intensitas setiap gerakan semakin meningkat, membuat mereka tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang tak kunjung reda, seakan waktu berhenti hanya untuk mereka.

Kenikmatan yang Maya tunggu-tunggu akhirnya menjalar dari vaginanya hingga merangsang sekujur tubuhnya. Kaki Maya melingkar di pinggang Nathan dan merasakan daging keras itu keluar masuk dan menggesek dinding rahimnya dengan kuat. Maya bahkan sempat merapatkan pahanya kuat-kuat karena tidak sanggup merasakan sensasi yang merebak, namun reaksi tersebut malah menambah reaksi hangat yang nikmat di jepitan itu.

“Aaaahh … Bunda mau keluaaarrr …” desah Maya sambil merasakan puncaknya yang hampir tiba.

Nathan mengabaikan erangan tertahan Maya. Pantat Maya semakin mengencang ke udara dan kulit vaginanya terasa semakin mempersempit erat. Semakin panas. Hingga tak berapa lama, lipatan vagina itu menyemprotkan derasnya air hangat dari dalam perutnya, membasuhi penis Nathan seketika.

“Aaaaaccchhh ….!!!” Orgasme Maya terasa sangat cepat datangnya. Tubuh wanita itu mengejang, Maya merintih menikmati setiap kedutan akibat gelombang orgasme pada vaginanya.

Nathan tidak mengendurkan serangannya. Pemuda itu tetap bermain di liang surgawi Maya meski tahu ibunya baru saja orgasme. Nathan malah menciumnya, panas dan bergairah, sementara sodokannya tetap dan konstan. Suara bunyi becek makin keras terdengar karena liang yang Nathan gali kini semakin dibanjiri lendir kental yang membuatnya sangat licin. Nathan memacu kocokannya seperti piston mobil dengan silindernya pada putaran di atas 2000 rpm, kenikmatan yang menyelimuti tubuh maya tak berhenti sehingga erangannya semakin menjadi-jadi.

“Ooohh … Enak sayang … Terus … Aaahh … teruusssss …” Maya sudah tak peduli suaranya terdengar sampai keluar kamar.

Sambil terus menggerakkan pinggulnya, Nathan mencium Maya dengan penuh gairah. Setiap tusukan penisnya seperti menyulut panas di tubuh Maya, membuat birahi wanita itu kembali menggeliat keras. Maya berusaha menggoyangkan pinggulnya untuk menambah kenikmatan, meski terasa agak sulit karena ukuran kejantanan Nathan yang besar mengisi penuh di dalam dirinya, menghambat setiap gerakannya. Namun, semakin Maya memaksakan gerakannya, semakin kuat kenikmatan yang ia rasakan, hingga goyangan pinggulnya menjadi semakin cepat dan tak beraturan. Dalam suasana tersebut, pandangan Maya tertuju pada wajah Nathan yang tampak menegang, dengan peluh yang mengalir di wajah tampannya, menunjukkan betapa ia pun larut dalam kenikmatan. Sementara itu, tangan Nathan meremas-remas payudara Maya dengan liar, jari-jarinya memainkan putingnya, seolah ingin memberikan kepuasan sepenuhnya.

Maya hampir mencapai orgasme lagi ketika ia berusaha menghentikan gerakannya untuk mengendalikan diri. Namun, tampaknya Nathan tidak berniat untuk berhenti. Begitu Maya melambatkan gerakannya, Nathan justru menggoyangkan tubuhnya, menggerakkan pinggulnya dengan mantap, membuat tubuh Maya tetap berguncang dalam ritme yang ia ciptakan. Penisnya terus keluar-masuk, memenuhi setiap relung di dalam diri Maya, hingga akhirnya Maya tidak dapat menahan diri lagi dan mencapai orgasme untuk kedua kalinya.

“Aaaaaaccchhh…!!! Nathaaannn….!!!” Pekik Maya. Tubuhnya menegang sesaat, punggungnya melengkung, seolah-olah seluruh tubuhnya merespons gelombang kenikmatan yang memenuhi dirinya. Setiap otot tampak mengencang, dan kakinya mencengkeram erat, memberikan tekanan di sekeliling tubuh Nathan.

Sekali lagi, Nathan tidak menghentikan hujaman penisnya di dalam vagina Maya yang semakin licin. Gerakannya kini semakin lancar, bagaikan melaju di jalan tanpa hambatan. Entah apa yang terjadi, tetapi Maya kembali merasakan gairah yang membara, meskipun baru saja mencapai puncak kenikmatan. Ia mulai merespons setiap hujaman Nathan, mengimbangi gerakannya dengan menggoyangkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan, bahkan maju-mundur untuk menyelaraskan tubuhnya dengan ritme Nathan. Tak lama kemudian, Maya merasakan cengkeraman tangan Nathan di pinggulnya semakin menguat. Tubuh Nathan menegang, dan ia merasakan kejantanan Nathan membesar di dalam dirinya, diiringi denyutan kuat dan semburan panas yang menandai puncak kenikmatan Nathan.

“Aaaaaaccchhh!!!” Nathan mengerang saat mencapai puncak kenikmatannya. Spermanya mengalir deras, memenuhi setiap sudut lorong cinta Maya.

Saat Nathan mencapai puncak kenikmatannya, tubuh Maya serasa dihantam oleh gelombang kuat yang menggetarkan setiap sarafnya. Bersamaan, keduanya terhanyut dalam orgasme yang begitu dalam hingga tubuh Maya langsung terkulai lemas di atas kasur. Di saat yang sama, Maya merasakan sesuatu yang berbeda mengalir dari tubuh Nathan, bukan hanya kenikmatan, tetapi semacam energi kuat yang menyatu ke dalam dirinya. Ya, Nathan telah memberikan sihir perlindungan yang kini menyelimuti tubuh Maya, membuatnya kebal dari segala bentuk sihir yang akan mengancamnya.

Keduanya terdiam beberapa saat, membiarkan keheningan memenuhi ruangan, sementara detak jantung mereka perlahan kembali normal. Nathan akhirnya mencabut kejantanannya yang masih keras dari dalam vagina Maya, sebuah tindakan yang membuat Maya merasakan sensasi kosong seiring dengan keluarnya tubuh Nathan. Pemuda itu kemudian berbaring di samping Maya, tubuh mereka berdekatan, berbagi kehangatan pasca kenikmatan. Mereka masih mengatur napas, merasakan nikmat yang perlahan-lahan menghilang, membiarkan momen ini berlanjut dalam keheningan yang nyaman.

Beberapa saat berselang, Maya bergerak dan memeluk Nathan. Ia menatapnya dan berkata, “Bunda merasakan energi yang kamu berikan. Energi itu sangat terasa di tubuh Bunda.”

Nathan menatapnya dengan serius dan berkata, “Sekarang Bunda kebal terhadap kekuatan sihir apa pun. Aku yakin Bunda bisa mengalahkan Ronny tanpa kesulitan.”

Setelah mendengar pernyataan Nathan, Maya berkata, “Tapi, bagaimana perasaanmu jika Bunda harus membunuh orang yang kamu sayangi?”

Nathan terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. Wajahnya berubah serius, dan ia menjawab, “Aku akan merasa hancur. Tapi jika itu yang diperlukan untuk melindungi kiat semua atau orang-orang yang kita cintai, aku tahu itu adalah keputusan yang sulit tetapi mungkin harus diambil.”

Maya berujar dengan tegas, “Bunda butuh dukunganmu. Jika memusnahkan Ronny adalah satu-satunya cara untuk mencapai kedamaian bagi kita, maka Bunda tidak akan ragu untuk melakukannya.”

Maya mendekatkan bibirnya ke bibir Nathan, dan mereka berciuman kembali, membiarkan hasrat mereka berkembang. Namun, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Maya dan Nathan terkejut, napas mereka terhenti sejenak. Keterkejutan mereka semakin menjadi-jadi ketika sosok yang muncul di ambang pintu adalah Cici. Dengan senyum, Cici melangkah masuk ke dalam kamar, diikuti oleh Sisi. Wajahnya terlihat tenang, tanpa sedikit pun rasa bersalah.

Maya menatap mereka dan bertanya dengan rasa tidak enak, “Apa yang kalian lakukan di sini?”

Cici tersenyum lebar dan menjawab, “Aku hanya ingin bergabung dengan kalian. Sepertinya seru sekali di sini!” Ia melangkah lebih dekat, tidak menunjukkan rasa canggung. Sisi mengikuti di belakangnya, dengan ekspresi yang sama, seolah-olah ini adalah hal yang biasa.

Maya menatap Cici dan berkata, “Cici, ini bukan waktu yang tepat. Kami sedang berdua, dan Mommy merasa agak keberatan jika kamu ikut serta.” Sambil berbicara, Maya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan tubuh Nathan yang telanjang.

Cici yang tampak sangat cuek melangkah ke atas tempat tidur dan berkata dengan nada ceria, “Mommy tidak perlu canggung. Bukankah akan sangat menyenangkan jika kita melakukannya bersama-sama? Santai saja dan nikmati saja bersama-sama.”

Maya mengerutkan kening dan berkata, “Cici, Mommy benar-benar tidak nyaman dengan ini. Ini bukan cara yang biasa kami lakukan.”

Sisi ikut melangkah naik ke atas tempat tidur dan berkata, “Mommy harus membiasakan diri dengan hal baru ini. Bercinta beramai-ramai punya rasa tersendiri, dan aku yakin Mommy akan menikmatinya.”

“Wow!” Cici memekik kegirangan saat ia menyingkap selimut dari tubuh Nathan. Pandangan Cici tertuju pada kejantanan Nathan yang berdiri kokoh di hadapannya. Ia kemudian menggenggam penis Nathan yang besar dan panjang itu. Cici menatap Nathan dengan mata berbinar dan berkata, “Wow, Nathan! Kamu memang luar biasa. Aku tidak menyangka kamu punya ayam seperti ini!”

“Ayam? Itu bukan ayam,” ucap Nathan sambil tersenyum.

“Hi hi hi … Kakak harus mencobanya. Rasanya sungguh menakjubkan. Dia keras sekali kerasa banget deh,” canda Sisi pada kakaknya.

“Hi hi hi … Kakak harus mencobanya. Rasanya sungguh menakjubkan. Dia sangat keras, benar-benar terasa sekali,” canda Sisi kepada kakaknya.

Maya menatap Cici dan Sisi dengan tegas, “Cici, Sisi, cukup! Kalian harus berhenti dan keluar dari kamar ini sekarang juga!”

Nathan menggerakkan lengannya dan meletakkannya di belakang leher Maya sambil berkata, “Harap tenang, Bunda, dan jangan panik. Kita harus membiasakan diri dengan hal seperti ini. Bercinta bersama-sama seperti ini akan menjadi pengalaman yang berharga. Aku ingin Bunda menerima dan menikmatinya.”

Sebelum Maya sempat berkomentar, Nathan segera menyambar bibirnya. Meskipun Maya awalnya menolak, paksaan lembut Nathan membuatnya menyerah. Akhirnya, Maya mulai membalas ciuman Nathan, merasakan kecanggungan dirinya perlahan menghilang. Pada saat yang sama, Nathan merasakan jilatan di kejantanannya yang membuat pemuda itu terkejut. Ia bahkan merasakan dua benda lunak dan hangat menyelimuti dirinya. Nathan melirik sejenak ke bawah, ingin tahu apa yang terjadi. Ternyata, Cici dan Sisi saling berebut untuk menghisap kejantanannya.

Nathan melepaskan ciumannya dari Maya dan tersenyum padanya. Maya cemberut karena masih tidak setuju dengan apa yang sedang terjadi. Nathan pun mempermainkan bibir Maya dan berkata, “Jangan cemberut seperti itu, cantik Bunda hilang. Coba lihat saja apa yang mereka lakukan.”

Maya pun menoleh ke bawah dan melihat kedua gadis itu asyik menghisap kejantanan Nathan secara bergantian. Entah mengapa, Maya merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya, bukan marah atau jijik, melainkan sensasi yang merangsang bulu-bulu di sekujur tubuhnya dan membuatnya merinding. Gairahnya seakan terbangkit melihat pemandangan itu.

Maya berbisik lembut kepada Nathan, “Kenapa tidak mulai saja dengan Cici? Bunda ingin melihatnya.”

Nathan tersenyum dan mengalihkan pandangannya kepada Cici. Ia menggapai bahu Cici yang sedang bersimpuh di selangkangannya. Cici pun bergerak mendekatkan wajahnya ke Nathan, lalu menoleh ke arah ibunya sambil berkata, “Aku wanita terakhir yang akan merasakan ayam ini, Mommy … Aku ingin menikmatinya sepuasnya.”

Maya melihat Cici dan berkata, “Kamu tidak akan sanggup menghabiskan semuanya sendirian. Mommy yakin kamu akan menyerah dalam waktu yang singkat.”

Cici menatap ibunya dengan penuh semangat dan berkata, “Benarkah? Aku menjadi tidak sabar untuk membuktikannya.” Ia tersenyum lebar, seolah tantangan itu membangkitkan semangatnya. “Mommy akan melihat betapa aku bisa mengatasi semua ini sendirian. Siapa tahu, mungkin aku akan membuat Nathan kewalahan!”

“Kalau begitu, lakukanlah cepat! Bunda ingin tahu,” ucap Maya menantang.

Kini, perhatian Cici terfokus pada Nathan yang berbaring di bawahnya. Gadis itu menyesuaikan posisinya dengan mengangkangi tubuh Nathan, menyelaraskan area intim mereka hingga kedua alat kelamin bersentuhan. Ternyata, Cici tidak mengenakan celana dalam, sehingga vagina telanjangnya langsung menyentuh penis Nathan. Tiba-tiba, Nathan merasakan kejantanannya digenggam oleh tangan lembut yang perlahan mengarahkan kepala penisnya ke lubang vagina Cici. Saat Nathan menunduk, ia menyadari bahwa tangan itu milik Sisi, yang membantunya mengarahkan rudalnya ke sasaran dengan tepat.

Cici perlahan menurunkan tubuhnya, membuat Nathan merasakan setiap inci dari penisnya menyatu dengan Cici. Tanpa kesulitan, seluruh kejantanannya masuk seluruhnya ke dalam vagina Cici yang sudah basah. Nathan merasakan setiap gerakan yang terjalin di dalam vagina Cici, dengan dinding vaginanya yang ketat menjepit dan memijat, memberikan sensasi yang luar biasa. Vagina Cici pun terasa penuh, menyesuaikan dengan ukuran penis Nathan yang besar.

“Oooohhh, besar sekali… enak sekali…” Cici mengeluarkan suara penuh nikmat. Tanpa menunggu lebih lama, ia mulai menggenjot tubuh Nathan dengan perlahan. Kedua tangannya diletakkan di dada Nathan, sementara pinggulnya bergerak pelan, menyetubuhi kakaknya.

“Wow! Seksi sekali! Sini Mommy, coba lihat ini!” pekik Sisi pada Maya.

Maya yang penasaran segera bergerak bangkit dan mengarahkan wajahnya ke bagian bawah tubuh Nathan dan Cici yang sedang bersatu. Matanya terbuka lebar saat melihat penis besar Nathan yang meregangkan vagina Cici dengan lebar. Ia memperhatikan bagaimana saat penis Nathan keluar, otot-otot bagian luar vagina Cici tampak ikut bergerak seiring dengan tarikan. Begitu batang penis Nathan kembali masuk, otot-otot vaginanya seperti tenggelam mengikuti gerakan penetrasi yang begitu erotis. Maya menyaksikan semua itu dari jarak dekat, seolah-olah berada dalam adegan film dewasa yang menampilkan close-up, namun jauh lebih menggugah karena ia bisa merasakan aroma yang menebar dari vagina Cici, sebuah aroma yang sangat erotis baginya.

“Aaaaahhhh…. Oooohhh… Asik nih… Aaaahhh …” racau Cici.

Cici mempercepat gerakannya, dan erangannya semakin terdengar erotis. Nathan merasakan himpitan vagina Cici pada penisnya semakin cepat dan bertenaga, tubuh Cici menghentak-hentak, sementara rambutnya berkibar. Nathan mengerang lembut, menikmati setiap goyangan dan jepitan dari liang vagina Cici yang tampak sangat terawat, bersih, dan bibir vaginanya yang berwarna pink.

Cici semakin bersemangat, mempercepat ritme gerakannya seiring berjalannya waktu, mengaduk-aduk perasaan Nathan yang tengah menikmati sensasi yang semakin mendalam. Dalam setiap detik yang berlalu, Nathan merasakan setiap goyangan Cici, tubuhnya bergetar mengikuti irama, sementara napas Cici semakin berat dan terengah-engah. Suara erangan yang semakin mendalam keluar dari bibir Cici, menandakan bahwa ia semakin dekat dengan puncak kenikmatan yang telah ditunggu-tunggu. Gerakan Cici semakin liar, pinggulnya berputar dan menekan lebih dalam, membuatnya merasakan desiran gairah yang terus membara saat penis Nathan menyusuri vagina Cici yang semakin basah. Setiap penetrasi mengirimkan gelombang kenikmatan melalui tubuh mereka.

Maya, yang menyaksikan dari dekat, merasakan rangsangan di tubuhnya dan ikut terbawa suasana, meresapi momen yang sangat intim ini. Tubuhnya terasa hangat, dan denyut jantungnya semakin cepat, seolah-olah bergetar mengikuti irama yang ditampilkan di depannya. Ia merasakan sensasi aneh di perutnya, sebuah campuran antara rasa ingin dan gairah yang menggoda. Semakin lama ia menatap, semakin jelas pula dia merasakan getaran lembut di antara pahanya dan kesadaran akan payudaranya yang mulai membesar. Dengan lembut, Maya menggeser tangan ke arah payudara, merasakan putingnya mengeras, seolah-olah menanggapi rangsangan yang terjadi di hadapannya. Ia pun tidak bisa menahan diri untuk mengigit bibirnya, matanya tak berkedip saat menyaksikan setiap gerakan, merasakan aliran energi sensual yang mengisi ruangan dan membawanya semakin dekat pada batas antara rasa ingin dan kenyataan.

Di sampingnya, Sisi juga menyaksikan dan tidak dapat menahan diri untuk berkomentar, “Betapa seksi apa yang kita lihat ini!”

Mendengar itu, Maya menanggapi dengan nada terkejut, “Mommy tidak menyangka bahwa apa yang Mommy lihat ini begitu menggairahkan.”

Cici terus bergoyang di atas tubuh Nathan sambil menggigit bibirnya, menahan desah, hingga akhirnya gadis itu mendesah keras saat gelombang kenikmatan mulai mengalir melalui tubuhnya. Tak lama kemudian, tubuh Cici bergetar hebat, tanda bahwa ia hampir mencapai klimaks, dengan matanya terpejam dan kepalanya terlempar ke belakang. Nathan menyaksikan semua itu dengan rasa takjub, merasakan keindahan dari momen tersebut meskipun ia masih jauh dari puncaknya.

Dengan satu hentakan terakhir, Cici akhirnya mencapai puncak kenikmatannya, mengeluarkan suara erangan yang menggema, “Aaaaaaccchhh … I’m Commmiinnggg …!” Suara itu menyatu dengan getaran tubuhnya.

Nathan merasakan perubahan pada Cici, yang bergetar hebat dan mengerang dalam kelegaan, merasakan setiap gerakan penisnya yang terhubung dengan vagina Cici. Hal ini membuatnya semakin terangsang, tetapi ia berusaha menahan diri agar tidak ikut klimaks.

Cici ambruk di atas tubuh Nathan, merasakan gelombang orgasme yang menghantam dirinya dengan kuat, membuat seluruh tubuhnya bergetar. Dalam keadaan lelah namun puas, Cici memejamkan mata, membiarkan sensasi itu mengalir melalui setiap serat tubuhnya. Perlahan, gelombang kenikmatan yang menggebu itu mulai mereda, meninggalkan rasa hangat yang menenangkan. Nathan mengusap punggung Cici dengan lembut, merasakan betapa vaginanya masih bergetar di atas penisnya.

Saat itu, Maya yang menyaksikan tidak bisa menahan diri untuk bersuara. “Cici … Kamu tak akan pernah menang melawan Nathan!” serunya dengan nada menggoda.

Sisi yang berada di samping Maya menambahkan dengan tawa, “Betul! Katanya mau mengalahkan Kak Nathan, eh malah KO duluan!”

Maya pun tertawa geli dan berkata, “Iya … Kamu terlalu percaya diri! Seharusnya kamu tahu betapa kuatnya dia!”

Cici menatap mereka dengan mata penuh semangat. “Aku belum kalah! Aku tidak akan menyerah!” ujarnya tegas, meskipun napasnya masih tersengal-sengal.

Sisi menggelengkan kepala tanda protes, “Tapi sekarang giliranku! Kakak istirahat dulu!”

Cici cemberut sambil turun dari tubuh Nathan, merasa belum puas meski sudah mencapai klimaks. Sisi pun hendak menaiki Nathan, tetapi Nathan menahannya dan berkata, “Tunggu dulu, Sisi! Aku ingin melakukan denganmu dalam gaya doggy.” Sisi tersenyum lebar mendengar permintaan itu.

Sisi beringsut dan menungging, menampakkan kedua belahan pantatnya yang mulus dan bulat sempurna. Nathan bergerak perlahan, mengambil posisi di belakang Sisi. Maya, yang mengamati situasi tersebut, segera menangkap kejantanan Nathan dan membantu mengarahkan kepala penisnya ke lubang vagina Sisi yang merah merekah. Dengan hati-hati, Nathan mulai menekan kepala penisnya, membelah bibir kemaluan Sisi. Saat kepala penis Nathan memberikan tekanan, bibir kemaluan Sisi tertekan masuk dan mulai terbuka. Karena Sisi sudah basah, kepala penis Nathan dengan mudah terbenam ke dalam lubang kewanitaan Sisi.

Ukuran penis Nathan yang besar membuat klitoris Sisi terdorong masuk ke dalam dan terjepit oleh batang penisnya yang berurat menonjol. Sensasi ini menimbulkan perasaan geli sekaligus nikmat yang amat sangat pada diri Sisi. Badannya menggeliat, dan tanpa disadari, dari mulutnya terdengar suara panjang, “Ooohh…” yang mengikuti setiap tekanan penis Nathan pada kemaluannya.

Nathan mulai menggerakkan penisnya keluar masuk vagina Sisi dengan perlahan. Setelah merasakan pergerakan yang semakin lancar, ia mempercepat gerakannya, menghujamkan penisnya ke dalam lorong cinta Sisi yang semakin basah. Dengan pinggulnya yang berotot, Nathan terus maju mundur dengan kekuatan penuh, menekan kedua paha Sisi yang terbuka, menciptakan bunyi tamparan daging basah yang terdengar berulang kali.

“Aaaahh … Aaaahh … Aaaahh …” desahan Sisi mulai terdengar keras.

Sisi mendesah setengah berteriak saat Nathan terus menghujami inti kewanitaannya dengan kejantanannya yang luar biasa perkasa. Ia sangat menyukai sentuhan Nathan, yang benar-benar luar biasa dalam memuaskan hasrat seks yang membara di dalam dirinya. Nathan pun menggeram sambil menghentakkan panggulnya lebih dalam ke vagina Sisi, memejamkan matanya dengan penuh konsentrasi. Sesekali, tangannya turun untuk meraih payudara sintal milik Sisi, meremasnya bersamaan dengan hentakan-hentakan yang cukup keras. Ia merasa sangat terangsang mendengar teriakan nikmat yang keluar dari bibir manis Sisi.

Nathan semakin mempercepat tempo permainannya. Sisi merasakan kepalanya seakan akan meledak saat gelombang listrik mengalir mengejutkan seluruh tubuhnya. “A-aku akan… ahh…” pikirnya, merasakan kantung kemihnya seolah akan pecah.

Tiba-tiba, Maya segera mengocok klitoris Sisi saat gadis itu mendekati orgasme. Nathan pun langsung memajukan tubuhnya, membuat pinggul Sisi semakin terdorong. Kaki Sisi mengejang kuat-kuat, sementara ia mencengkeram seprei di atas kepalanya sekuat tenaga, hingga buku-buku jarinya memutih.

“Mo..Mommy!”

Gerakan mereka kian cepat. Nathan sama sekali tidak menurunkan kecepatannya. Nathan dan Maya mengabaikan jeritan Sisi yang terdesah. Maya merasakan tangannya sangat basah, namun Nathan tetap mempertahankan kecepatannya. Maya dapat melihat pinggul Sisi yang ikut terseret maju-mundur saat kejantanan Nathan tertancap mantap di sana. Gerakan Nathan memang benar-benar hebat.

“Jangan berhenti, Bunda …” pinta Nathan pada Maya.

Menyadari bahwa mereka berdua bersama-sama sedang berusaha membuat Sisi orgasme, Nathan mengatur posisi pinggulnya agar mampu mendorong lebih dalam. Maya mengabaikan jeritan Sisi yang meminta berhenti, karena tubuhnya tidak berbohong. Payudaranya sekeras batu, pelumasnya semakin licin, dan vaginanya berdenyut-denyut cepat.

Maya semakin menggoyangkan klitoris Sisi tanpa jeda. Kedua tangan Nathan berada di pinggul Sisi untuk mempertahankan ritme. Sisi berusaha mendorong dadanya ke udara dan meminta berhenti. Maya mengombinasikan kecepatan jarinya dengan hujaman Nathan di vagina Sisi. Penis besar itu terlihat tidak sabar ingin membuat Sisi orgasme.

Maya memijat salah satu puncak payudara Sisi yang membengkak. “Ereksimu sangat keras … Apa ini nikmat, Sayang?” ucap Maya menggoda.

Merasakan seluruh tubuhnya dijamah oleh dua orang, membuat Sisi gemetar di luar kendali, “I..ini … thh-terlalu … nikmat … “

“Keluarkan sekarang, Sayang ….” Mendengar suara bisikan Maya di sebelah telinganya membuat perut Sisi mengejang.

Kepala Sisi terguncang ke belakang dan wajahnya memerah. Dadanya semakin sesak. Payudaranya menegang sekeras kepalan tangan. Payudaranya yang ereksi terus dipijat oleh tangan Maya, sementara klitorisnya digosok dengan sangat laju. Penis Nathan semakin terbanting-banting laju menggiling dinding vaginanya.

“Oouuuhhh… Auuhhhh… Akkuuu keluaarrr…” Erang Sisi.

Nathan memperhatikan tubuh Sisi yang mengejang, sementara lubang kemaluannya berkontraksi dengan cepat, memberikan pijatan hebat pada batang penisinya yang masih tertanam di dalam. Tangan Sisi meremas sprei dengan sangat erat, dan ia mengangkat pantatnya setinggi mungkin, sehingga batang penis Nathan bisa menancap secara maksimal. Dengan penuh perhatian, Nathan memperlambat gerakannya, ingin memberikan kenikmatan lebih kepada Sisi yang sedang merasakan orgasme. Akhirnya, Nathan menarik kejantanan dari dalam tubuh Sisi. Setelah itu, tubuh Sisi ambruk tertelungkup di atas kasur.

“Bunda … Aku ingin keluar di vagina Bunda … Kemarilah!” pinta Nathan sambil meraih pinggang Maya.

Maya pun tersenyum lalu memposisikan tubuhnya dengan menungging, menampakkan lekuk indah punggungnya yang ramping. Dengan kepala sedikit menunduk dan rambutnya tergerai, ia menciptakan suasana intim yang menggoda. Dalam posisi tersebut, punggungnya yang ramping dan pantatnya yang bervolume seolah saling melengkapi. Dengan gerakan perlahan, Nathan kemudian bergerak ke belakang tubuh Maya. Pemuda itu mengarahkan penisnya ke depan pintu masuk surga milik Maya. Nathan lalu memasukkan penisnya ke dalam lubang surgawi wanita itu. Maya langsung mendesah saat ia merasakan kehadiran Nathan di dalam tubuhnya.

“Aaaaaaahhh ….!”

Nathan memeluk tubuh ibunya dari belakang dan menahan pinggulnya. Ia lakukan itu agar tubuh seksi di bawahnya ini tidak terdorong jauh tiap kali ia melakukan penetrasi. Dorongan Nathan sangat kuat, sehingga satu hujaman saja bisa membuat tubuh Maya terdorong beberapa inci ke depan.

Cici, yang sejak tadi hanya menonton, kini bergerak mendekati Nathan dan memeluk tubuh pemuda tampan itu. Tangannya meraih wajah Nathan dan mencium bibirnya dengan penuh hasrat. Nathan membalas ciuman Cici dengan panas. Lidah mereka saling dorong, menjelajahi satu sama lain dalam kehangatan yang membara. Tangan kiri Nathan melingkari pinggang Cici, sementara tangan kanannya tetap di pinggang Maya.

Maya pun mulai ‘bernyanyi’ dengan suara erangannya yang merangsang saat Nathan mulai menggerakan penisnya di dalam vagina Maya. Desahan Maya semakin keras saat setelah gerakan maju mundur pinggul Nathan dipercepat. Maya membenamkan wajahnya di kasur karena terlalu menikmati di saat vaginanya diobrak-abrik oleh penis perkasa Nathan. Seakan tahu apa yang dirasakan ibunya, Nathan malah semakin gencar memaju-mundurkan penisnya di vagina Maya membuat Maya tambah blingsatan.

Tanpa ada kelelahan Nathan terus memaju-mundurkan pinggulnya dengan cepat, sementara bibirnya memberi kenikmatan pada tubuh Cici. Bibir Nathan kini lebih sering ‘menyusu’ di payudara Cici yang besar. Sementara tangan kirinya kini menstimulasi vagina Cici. Nathan memasukkan kedua jarinya ke dalam lipatan bibir kelamin Cici dan menggasak bagian dalam itu dengan kuat. Nathan mengabaikan erangan tertahan Cici. Pantat Cici semakin mengencang ke udara dan kulit vaginanya terasa semakin sensitif. Hingga tak berapa lama, lipatan vagina itu kembali menyemprotkan cairan hangat, membasahi tangan Nathan.

“Aaaahhhhh ….!” Orgasme kedua Cici terasa sangat cepat datangnya. Cici pun akhirnya tergeletak terlentang di atas kasur sambil meresapi sisa-sisa orgasmenya.

Tiba-tiba Nathan menghentakkan pinggulnya karena merasakan sesuatu akan keluar dari penisnya bersamaan dengan orgasme Maya dan langsung menanamkan penisnya sangat dalam di vagina Maya membuat Maya menekuk badannya seperti akan melayang dan merasa hangat di dalam perutnya karena cairan sperma Nathan disemprotkan di dalam vaginanya.

“Hah! Hah! Hah!” deru nafas Maya setelah merasa dirinya benar-benar mencapai orgasme dan secara bersamaan dengan klimaknya Nathan. Kemudian Nathan mencabut dengan perlahan penisnya dari vagina Maya sehingga spermanya meluber keluar dari dalam vagina Maya.

Nathan terduduk berselonjor di atas kasur, menatap langit-langit dengan napas yang mulai teratur kembali. Di kedua sisinya, tubuh Maya dan Cici tergeletak kelelahan, napas mereka masih tersengal, wajah-wajah mereka terlihat damai dalam nikmat yang menyerang. Sisi perlahan menduduki paha Nathan, menatapnya dengan tatapan penuh kehangatan. Kedua lengannya terangkat, melingkar lembut di leher Nathan, membuat jarak di antara mereka semakin dekat. Nathan bisa merasakan napas Sisi yang hangat, sementara senyum tipis muncul di wajahnya.

“Kakak benar-benar luar biasa,” kata Sisi sambil tersenyum kagum. “Aku nggak nyangka kakak bisa membuat tiga perempuan sekaligus tak berdaya seperti ini.”

Nathan tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Ah, kamu melebih-lebihkan, Sisi,” katanya dengan nada merendah. “Aku cuma beruntung punya kalian yang luar biasa.”

“Wow, Kak…! Ini benar-benar menakjubkan,” kata Sisi sambil terkekeh kecil, “Sepertinya ayam kakak nggak kenal lelah, tetap saja tegak.” Tangan Sisi terulur lalu menggenggam penis Nathan yang tetap keras.

“Apakah kamu mau lagi?” Tanya Nathan menggoda.

“Tidak kak … Aku sudah ngantuk,” jawab Sisi masih saja mempermainkan kejantanan Nathan.

“Aku yang mau lagi …” sambut Cici sembari bangkit dari posisinya.

“Kalian main di kamar kalian, sana! Mommy juga sudah ngantuk,” ucap Maya sambil menelentangkan tubuhnya.

Akhirnya, Cici dan Nathan melangkah pelan keluar dari kamar Maya, mencoba untuk tidak membuat suara yang bisa mengganggu ketenangan malam. Nathan, yang hanya berbalut selimut tipis di tubuhnya, sesekali melirik sekitar dengan senyum malu-malu, sementara Cici menahan tawa kecil melihat ekspresinya. Mereka saling bertukar senyum sebelum berjalan menyusuri lorong rumah yang remang-remang, menuju kamar Cici yang berada di ujung koridor. Saat tiba di depan pintu, Cici membuka pintunya dengan lembut dan memberi isyarat pada Nathan untuk masuk, sementara ia memastikan bahwa tak ada seorang pun yang mungkin memperhatikan keberadaan mereka. Dan mereka melanjutkan acara seks dengan beronde-ronde juga berbagai gaya hingga kamar itu penuh dengan suara desahan dan geraman juga penuh bau sperma yang berceceran dimana-mana.


Maya terbangun dari tidurnya, matanya perlahan terbuka menyesuaikan diri dengan remang cahaya kamar. Wanita itu bangkit perlahan, menurunkan kedua kakinya ke lantai yang terasa dingin. Ia berjalan menuju kamar mandi, membiarkan air hangat mengalir, menyegarkan tubuh dan pikirannya yang masih sedikit lelah. Setelah selesai mandi, Maya mengenakan pakaian anggun berwarna lembut dengan potongan yang elegan, membuatnya tampak berwibawa dan mempesona, bagaikan seorang permaisuri yang baru saja bersiap menghadapi hari. Sebelum melangkah keluar kamar, pandangannya tertuju pada jam di dinding. Jarum jam menunjukkan pukul 03.00 subuh, waktu yang sunyi dan tenang.

Maya keluar kamar, tubuhnya melesat bak Rajawali, menukik anggun menuju lantai satu. Gerakannya luwes, cepat, seolah angin membantunya melayang, tiba di halaman belakang. Maya melaju menuju gerbang besar setelah melewati kolam renang dan taman bunga, penjaga langsung membuka gerbang penuh hormat. Maya melesat masuk, secepat bayangan, tiba di pintu gedung ketiga. Satu sentuhan membuat pintu terbuka, membiarkannya masuk, atmosfer misterius memenuhi ruangan.

Maya melangkah masuk, tatapannya tajam menyapu gedung ritual ketiga. Sampai di ujung ruangan, ia mengeluarkan benda kecil dari saku gaunnya. Di tangannya kini tergenggam sebatang kemenyan sebesar ibu jari. Tanpa ragu, Maya melemparkan kemenyan itu tepat ke lingkaran di dinding. Seketika, lingkaran tersebut berpendar, mengembang menjadi pintu mistis yang berkilau, siap membuka jalan bagi siapa pun yang berani melangkah. Maya melangkah masuk tanpa gentar. Dalam sekejap, tubuhnya melesat melalui portal itu dan muncul di tengah area asing, dikelilingi pepohonan raksasa yang menjulang, ranting-rantingnya menyelimuti udara dengan bayangan yang lebat.

“Ronny… Aku datang…!” seru Maya, suaranya menggema di antara pepohonan besar yang berderet seperti penjaga kuno.

Hembusan angin membawa gema suaranya menembus lebatnya hutan, berputar seolah membangunkan sesuatu yang tertidur lama. Daun-daun bergoyang perlahan, seakan merespons panggilannya. Perlahan, kabut asap mulai muncul dari celah-celah pepohonan, membentuk gumpalan-gumpalan yang semakin tebal, berputar membentuk pusaran tepat di hadapan Maya. Kabut itu berpilin, bergerak hidup, seolah memiliki kesadaran sendiri, lalu mulai mengumpal pada satu titik. Maya menatap tanpa berkedip, menyaksikan kabut itu mengeras, berubah warna, membentuk siluet yang semakin jelas. Dalam detik-detik yang terasa hening dan menegangkan, kabut itu perlahan menampakkan wujud seorang pria, berdiri tegap dengan tatapan tajam. Dari bayang-bayang kabut yang memudar, Ronny muncul, sosoknya utuh, dengan mata yang menyala seperti bara di tengah kegelapan. Seulas senyum samar menghiasi bibirnya, senyum yang dipenuhi rahasia.

Ronny menatap Maya, sorot matanya penuh harap, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Aku harap kedatanganmu kali ini membawa kabar gembira, Maya,” ucapnya, nada suaranya lembut namun sarat makna, menggali jawaban yang lama ia nanti.

Maya berdiri di depan Ronny. “Kedatanganku kali ini untuk mengubah sejarah yang sudah kita jalani,” katanya dengan suara tegas.

Ronny mengangguk perlahan. “Aku sudah menunggu lama untuk menguasai Gunung Brajamusti,” katanya mantap. “Terlalu banyak yang sudah kukorbankan. Tidak mungkin aku mundur sekarang.” Ia menarik napas dalam. “Aku akan mendapatkan Gunung Brajamusti, meski harus bertaruh nyawa.”

Maya menggeleng pelan. “Ronny, sebaiknya kau tinggalkan keinginan itu,” katanya dengan nada tegas. “Kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Nathan telah menguasai segalanya, dan tak ada yang bisa merebut Gunung Brajamusti darinya sekarang.” Maya berhenti sejenak, memberi peringatan dengan suaranya yang dingin. “Nathan bukan lagi seperti dulu. Kini dia memimpin dan mengendalikan para jin penunggu Gunung Brajamusti. Jadi, percuma saja jika kau bersikeras. Apa yang kau inginkan sudah sepenuhnya ada dalam genggaman Nathan.”

“TIDAK MUNGKIN!” seru Ronny dengan suara penuh amarah. “Aku tidak akan percaya pada pengkhianat sepertimu, Maya!” lanjutnya tajam. Ronny menuduh, “Kau hanya ingin menguasai kekuatan Gunung Brajamusti untuk dirimu sendiri.” Telunjuknya terarah ke Maya. “Kau adalah orang yang haus akan kekuasaan dan kekayaan! Aku tidak akan tertipu olehmu lagi, Maya.”

Maya pun tersenyum, “Ronny, sebaiknya kau berhenti menginginkan kekuatan Gunung Brajamusti,” katanya lembut. “Saat ini, itu sudah sangat mustahil untukmu. Nathan adalah sosok yang tidak mungkin kau kalahkan.” Ia melanjutkan, menatap Ronny dengan penuh perhatian, “Aku tahu ini sulit untuk diterima, tetapi kadang kita harus melepaskan ambisi demi kebaikan diri sendiri. Berhentilah sebelum semuanya terlambat.”

Ronny menyentakkan kepala, menolak perkataan Maya. “Tidak, Maya! Aku tidak akan mundur,” tegasnya, suara dipenuhi semangat. “Kau mungkin berpikir Nathan tak tergoyahkan, tetapi aku tidak akan menyerah begitu saja.” Ia melanjutkan, “Ingatlah perjanjian kita! Kita sepakat untuk saling berjuang demi apa yang kita inginkan. Kekuatan Gunung Brajamusti adalah hakku, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk anakmu, mengambilnya dariku.”

Maya mengangguk, tetapi suaranya tetap tegas. “Aku tidak pernah lupa kesepakatan kita, Ronny. Aku ingin kesepakatan itu terjadi, tetapi keadaan kini sangat berbeda.” Ia melanjutkan, nada suaranya melunak. “Waktu telah membelokkan segalanya. Percayalah, Nathan tidak akan membiarkan Gunung Brajamusti beralih ke tanganmu. Dia bukan lagi sosok yang kau kenal; dia lebih kuat dari kita berdua sekarang. Berhentilah berpikir bahwa ini masih bisa dimenangkan.”

Ronny mengangkat suaranya, tegas dan penuh skeptisisme. “Kau pikir aku akan percaya padamu lagi? Tidak, Maya! Ini semua hanya akal busukmu,” katanya. “Kau selalu memiliki cara untuk memanipulasi orang lain demi keuntunganmu sendiri. Bagaimana aku bisa yakin ini bukan trik lainnya untuk menjatuhkanku?” Ia melanjutkan dengan penuh semangat, “Setiap kali kita berhadapan, kau selalu mencari jalan untuk mengelabuhi aku. Sekali lagi, aku tidak akan terjebak dalam permainanmu.”

Maya tersenyum, tetapi senyum itu terbalut rasa penyesalan. “Aku memang telah banyak menyakitimu, Ronny,” ucapnya, suaranya bergetar. “Aku mengakui semua kesalahanku dan aku benar-benar minta maaf. Banyak keputusan yang kuambil hanya untuk kepentinganku sendiri, dan aku tahu itu menyakiti perasaanmu.” Ia melanjutkan, menekankan setiap kata dengan ketulusan, “Karena dirikulah semua kemelut ini terjadi. Aku tidak ingin kita terus terjebak dalam permusuhan ini. Aku ingin memperbaiki semuanya, Ronny. Mari kita temukan jalan keluar dari semua ini bersama-sama. Kita tidak perlu hidup dalam kebencian; kita bisa menciptakan kedamaian di antara kita. Aku berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki keadaan.”

Ronny menggeleng dengan tegas, suaranya penuh keraguan. “Tidak, Maya. Aku tidak bisa mempercayai ucapanmu. Sudah cukup banyak luka yang kau berikan padaku,” katanya, nada penuh kekecewaan. “Setiap kali kau berbicara tentang memperbaiki keadaan, itu selalu diikuti dengan sebuah pengkhianatan. Bagaimana aku bisa yakin kali ini berbeda? Kau selalu menemukan cara untuk menjatuhkanku.” Ia menambahkan dengan tajam, “Kau hanya ingin menenangkan hati nuranimu setelah semua yang kau lakukan. Tidak, aku tidak akan terjebak dalam janjimu yang kosong.”

Maya mengangkat dagunya, berusaha meyakinkan Ronny dengan penuh ketulusan. “Dengar, Ronny. Aku akan memberikan ilmu kanuragan yang diturunkan oleh guru kita. Ajian Sabda Sejagat yang sekarang ada padaku, akan aku berikan padamu. Bukankah itu yang kau inginkan sejak dulu?” Suaranya tegas, namun ada kerinduan dalam nada tersebut. “Selain itu, aku juga akan mengembalikan Aura Kejayaan yang pernah kuambil dari ayahmu. Aku mengerti betapa pentingnya semua ini bagimu.” Maya melanjutkan, menatap dalam-dalam, “Semua ini akan aku berikan dengan ikhlas, bukan untuk kepentinganku, tetapi demi kita berdua. Aku ingin memperbaiki hubungan kita dan hidup damai, tanpa lagi ada kebencian di antara kita. Berilah aku kesempatan, Ronny, untuk membuktikan bahwa aku serius dalam niatku.”

Ronny terdiam sejenak, kata-kata Maya berputar di pikirannya seperti badai. Terkejut dengan tawaran yang tidak pernah dia duga sebelumnya, hatinya bergejolak antara keinginan untuk percaya dan rasa curiga yang mendalam. Di satu sisi, ilusi masa lalu mulai menggodanya, menggugah harapan yang telah lama terkubur. Namun, di sisi lain, ingatan akan pengkhianatan dan rasa sakit yang ditimbulkan oleh Maya membuatnya ragu. “Apakah semua ini benar-benar tulus?” pikirnya, berjuang melawan kekecewaan yang sudah mengakar. Perasaan bingung dan harapan saling tarik menarik, menjadikannya bimbang untuk mengambil langkah selanjutnya.​

1 thought on “CERBUNG – NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *