Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 6​

Bandul jam bergerak harmonik, seperti pendulum takdir yang bolak-balik mengukur jarak antara ingatan dan lupa. Jam itu terus berputar, mengatur perjalanan waktu, sementara Nathan merasa telah membentuk hubungan unik dengannya. Meskipun banyak yang menyangkal bahwa waktu tidak bisa diulang, bagi Nathan, waktu kini seolah berulang. Kenyataannya, waktu telah bersikap baik padanya dengan cara yang luar biasa. Waktu telah mempertemukannya kembali dengan Maya di tempat ini, membawa mereka pada hubungan yang tak lagi wajar, melampaui batas-batas yang seharusnya ada.

Walaupun Nathan pecinta wanita, namun perasaannya terhadap Maya jauh lebih mendalam. Cintanya pada Maya adalah pengorbanan tanpa kata, sebuah janji untuk selalu ada. Cintanya begitu sempurna, jauh melampaui hubungan biasa.

Cinta Nathan yang begitu besar kepada Maya membuatnya ingin membuktikan bahwa dia adalah satu-satunya yang layak memiliki Maya. Salah satu hal yang mengganggu hatinya adalah kedekatan Maya dengan Denis. Nathan bertekad untuk mengalahkan Denis, yang selama ini menjadi pesaing utamanya. Nathan mengamati hubungan antara Maya dan Denis secara diam-diam. Dia melihat bahwa Maya memperlakukan Denis dengan sangat istimewa. Perasaan tidak rela tumbuh dalam diri Nathan, mendorongnya untuk berjuang agar bisa menjadi orang yang paling layak di mata Maya.

Nathan mulai mempelajari Ajian Brajamusti dengan penuh keyakinan. Berdasarkan petunjuk dalam buku yang dia baca, langkah pertama adalah melatih konsentrasi melalui meditasi. Di dalam kamarnya, Nathan melakukan meditasi dengan teknik bingkai, yaitu mempertahankan postur diam selama sesi meditasi. Dalam waktu enam jam, Nathan duduk tegak dalam posisi yang ditentukan, berusaha keras untuk tidak bergerak. Ia fokus pada pernapasan dan berusaha menenangkan pikirannya, meskipun rasa tidak nyaman muncul di sepanjang sesi. Walau baru sebentar, Nathan mulai merasakan perubahan kecil dalam konsentrasi dan ketenangan. Perasaan itu memberikan keyakinan bahwa latihan ini membawa hasil, dan dia merasa lebih siap untuk melanjutkan latihannya.

Setelah menyudahi latihan meditasi, Nathan mandi dan berdandan dengan rapi. Ketika merasa sudah siap, dia keluar dari kamarnya. Nathan terkejut saat melihat Maya baru saja keluar dari kamarnya. Penampilan wanita itu menunjukkan bahwa dia akan bepergian jauh. Koper besar yang dibawa oleh pembantu rumah tangga di belakang Maya semakin menguatkan keyakinan Nathan kalau Maya akan pergi dalam waktu yang lama. Nathan berdiri di ambang tangga, menunggu Maya dengan penuh perhatian. Beberapa saat kemudian, Maya tiba di dekatnya. Nathan memandang Maya dengan rasa penasaran.

“Mau pergi kemana?” tanya Nathan.

“Aku akan ke Australia, nengok Cici dan Sisi,” jawab Maya sambil tersenyum.

“Oh … Kok gak ngajak aku?” Nada Nathan memang terdengar bercanda, padahal di hati pemuda itu berharap Maya mengajaknya.

“Maafkan aku, Nathan … Aku pergi dengan Denis, karena sekalian ada urusan bisnis yang harus aku dan Denis kerjakan,” jawab Maya sambil mencium pipi Nathan lalu berlalu begitu saja.

Nathan berdiri di ambang tangga dengan dada terasa sesak saat mendengar nama Denis. Ia menatap punggung Maya dengan perasaan sedih dan kecewa. Dalam hati, Nathan bertanya-tanya apakah Maya benar-benar peduli dengan perasaannya. Setelah Maya menghilang dari pandangan, Nathan kembali ke kamarnya dan merenung. Dalam keheningan, tekadnya semakin menguat. Ia bertekad untuk membuktikan kepada Maya bahwa dialah yang lebih layak dibandingkan Denis.

Renungan Nathan terhenti saat ponsel pintarnya berdering. Ia segera mengeluarkan alat komunikasi itu dari saku celananya dan melihat layar ponsel. Ternyata, yang menelepon adalah ayahnya. Nathan langsung teringat bahwa tenggat waktu yang diberikan ayahnya untuk tinggal di rumah Maya sudah terlewati. Dengan rasa malas, Nathan menerima panggilan ayahnya.

“Ya, halloo …” Nathan memulai pembicaraan yang ia sudah tahu arahnya.

“Apakah kamu tidak ingin pulang?” suara Ronny langsung meninggi tanda kesal.

“Aku … Aku …” Nathan bingung.

“Cepatlah pulang … Hari ini juga!!!” suara bentakan Ronny terdengar jelas sampai-sampai memekakan telinga.

Belum sempat Nathan bersuara, sambungan telepon terputus. Ia terkejut oleh kemarahan ayahnya, yang tidak pernah menunjukkan emosi seperti itu sebelumnya. Setelah mempertimbangkan situasi, Nathan mulai mengemas barang-barangnya ke dalam koper. Ia merasa Maya telah mengecewakannya dan berpikir akan lebih baik jika menghibur diri dengan kembali ke Pontianak.

Setelah siap, Nathan segera menuju garasi dan meminta supir untuk mengantarkannya ke bandara. Tak ada yang sulit bagi Nathan memerintah siapa saja yang ada di rumah itu, tak lama Nathan sudah berada di dalam mobil yang mengantarnya ke bandara. Setibanya di bandara, Nathan segera menuju konter tiket. Di sana, ia membeli tiket pesawat untuk penerbangan menuju Pontianak. Setelah membeli tiket, Nathan melakukan check-in di konter yang sesuai, menyerahkan barang bawaannya untuk diproses, dan menerima boarding pass. Kemudian, Nathan melewati proses keamanan dengan cepat, melalui pemeriksaan x-ray dan pemindaian tubuh. Ia menuju ruang tunggu, menunggu panggilan untuk penerbangannya. Saat waktu boarding tiba, Nathan mengikuti petunjuk menuju gate dan naik ke pesawat setelah dipanggil.

Pesawat pun mengudara, membawa Nathan menuju Pontianak. Di tengah perjalanan, hatinya dilanda kekalutan. Ia terus berpikir tentang kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi. Bagaimana jika Maya melupakannya? Bagaimana jika Maya berhenti menyayanginya? Pikiran-pikiran ini membuat hati Nathan terasa berat dan tidak tenang. Rasa khawatir dan ketidakpastian mengganggu pikirannya. Ia membayangkan berbagai skenario negatif yang mungkin bisa terjadi, yang membuat emosinya semakin kacau. Merasa kelelahan dan tidak mampu menenangkan pikirannya, Nathan akhirnya memilih untuk memejamkan mata. Tidak lama setelah itu, ia tertidur dengan cepat, mencoba melarikan diri dari kekalutan yang mengganggu pikirannya.

Nathan terbangun saat mendengar pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat. Ia membuka matanya dan merapikan tempat duduknya. Sekitar lima menit kemudian, pesawat yang ditumpanginya mendarat dengan mulus di bandara Pontianak. Setelah pesawat berhenti di gerbang, Nathan berdiri dan mengambil barang bawaannya dari kompartemen atas. Ia keluar dari pesawat bersama penumpang lainnya, berjalan menuju ruang kedatangan. Sesampainya di terminal, Nathan mengambil bagasinya dan melanjutkan perjalanan menuju area parkir.

Di area parkir, Nathan mencari taksi atau kendaraan umum untuk mencapai bengkel ayahnya. Setelah menemukan taksi, ia memberikan alamat bengkel kepada sopir. Perjalanan menuju bengkel memakan waktu kurang lebih 30 menit. Setibanya di bengkel, Nathan turun dari taksi dan melihat bengkel ayahnya dalam keadaan sepi. Tidak ada klien di sana, dan ayah Nathan terlihat duduk di kursi, tampak sedang menunggu. Nathan mengangkat kopernya dan melangkah masuk ke bengkel, siap untuk menghadapi apa pun yang ada di hadapannya.

“Bagaimana perjalananmu?” tanya Ronny pada Nathan yang sedang mencium tangannya.

“Lancar, Yah …” jawab Nathan lemas lalu duduk di sebelah Ronny.

“Syukurlah … Sekarang waktu kamu kembali ke dunia nyata.” Ujar Ronny sembari bangkit.

“Tapi, Yah … Aku gak akan lama di sini. Aku akan kembali ke Jakarta,” ungkap Nathan yang sontak Ronny membalikan badan dan menatap anaknya dalam-dalam.

“Apa katamu? Mau balik ke Jakarta?” tanya Ronny dengan nada kurang senang.

“Iya … Aku akan kembali ke Jakarta. Aku … Aku … A,,kan tinggal di sana …” Nathan menjelaskan dengan gugup.

Ronny menatap Nathan dengan kemarahan yang jelas terlihat. “Kamu tahu betapa bencinya aku pada ibumu karena apa yang dia lakukan dulu. Dia meninggalkan kita untuk hidup dengan pria kaya, dan sekarang kamu memilih hidup bersamanya? Dimana perasaanmu, Nathan?”

Nathan mencoba menjelaskan. “Aku mengerti perasaanmu, Yah. Tapi Mama adalah pengusaha besar dan aku merasa aku harus ada di sana. Ini adalah keputusan yang aku pikir benar untuk masa depanku.”

Ronny semakin marah, suaranya meninggi. “Jadi kamu akan meninggalkan semua ini, semua yang kita bangun bersama, hanya untuk bergantung pada ibumu? Aku menyesal telah membesarkanmu. Betapa susahnya aku berjuang untuk semuanya di sini. Sekarang kamu memilih untuk pergi dan aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa menerima ini.”

Nathan menatap Ronny dengan tekad. “Aku harus mengikuti hati dan pilihan hidupku sendiri. Aku tahu keputusan ini menyakitkan ayah, tapi aku yakin ini langkah yang benar untukku.”

Ronny menggelengkan kepala, kemarahan dan kekecewaan terlihat jelas. “Kalau itu keputusanmu, maka pergilah. Tapi ingat, jika kamu memilih untuk tinggal di Jakarta, kamu harus siap menghadapi kemungkinan terburuk yang akan kamu terima nanti. Aku tidak akan membantumu walau nyawamu di ujung tanduk,” ucap Ronny sembari balik badan.

“Ayah …” Nathan dengan cepat berdiri lalu mengambil tangan ayahnya hingga langkah Ronny terhenti. “Apa yang ayah bicarakan?”

“Aku bicara tentang keselamatanmu! Apa kurang jelas!” ucap Ronny dengan amarah yang meluap-luap.

“Jadi ayah pikir, ibuku akan membunuhku, begitu?” suara Nathan mulai meninggi. Nathan menggertakkan giginya, amarahnya mulai muncul, “Ayah benar-benar picik! Apa sebenarnya yang Ayah takutkan itu sama sekali tidak beralasan?”

Ronny menarik napas panjang, nadanya tetap dingin. “Kamu tidak tahu apa-apa, Nathan. Sebaiknya kamu cari tahu dulu siapa ibumu sebenarnya sebelum kamu membela dia mati-matian. Ayah jamin, setelah kamu tahu kebenarannya, kamu akan setuju dengan Ayah.”

“Kalau begitu katakan!” Kini Nathan benar-benar emosi.

Tiba-tiba kelopak mata Ronny basah dan tak lama tetesan air keluar dari matanya, “Kamu harus mencarinya sendiri.”

Ronny membalikkan badan dan meninggalkan bengkel dengan menaiki motornya. Nathan berdiri terpaku, menyaksikan ayahnya yang melaju menjauh. Untuk pertama kalinya, Nathan melihat ayahnya menangis. Pemandangan itu sangat mengejutkan dan membuatnya merasa hancur. Rasa bersalah mulai muncul di hati Nathan karena telah membuat ayahnya dalam keadaan sedih. Nathan merasa berat melihat ayahnya berduka, dan perasaan bersalah semakin mendalam ketika Nathan mengingat tidak pernah sekali pun melihat ayahnya menangis seperti itu.

Nathan segera menutup bengkel begitu melihat jam dinding di atas meja kerjanya. Dia mematikan semua alat, memastikan pintu terkunci, dan menyimpan kunci di tempat biasa. Langkahnya cepat saat meninggalkan bengkel, merasa hari ini sudah cukup melelahkan. Setelah semuanya beres, dia segera keluar untuk mencari ojek yang biasa mangkal di dekat pintu keluar.

Sekitar lima belas menit kemudian, Nathan sudah duduk di belakang seorang tukang ojek, meluncur di jalan yang masih ramai. Angin siang ini terasa panas, tetapi pikirannya tidak tertuju pada suhu udara. Fokusnya sekarang adalah bagaimana cara dia berbicara dengan ayahnya nanti di rumah.

Selama perjalanan, Nathan mulai merencanakan pembicaraan dengan ayahnya nanti. Dia ingin menyampaikan perasaan dan kebingungannya tanpa memicu konflik. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan, terutama tentang kejadian aneh yang terjadi belakangan ini. Nathan yakin ada sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang disembunyikan dari dirinya. Apa pun itu, dia harus mengetahuinya hari ini juga.

Nathan turun dari ojek begitu tiba di depan rumah. Setelah membayar, dia berjalan menuju pintu gerbang. Langkahnya sedikit ragu, tapi dia menguatkan diri. Pintu rumah tidak terkunci. Dia membuka pintu perlahan, masuk ke ruang tamu yang gelap. Tidak ada siapa pun di sana. Suara televisi pun tak terdengar, hanya ada kesunyian.

Nathan melepas sepatunya di dekat pintu dan melangkah menuju dapur. Dari kejauhan, dia mencium bau rokok yang familiar. Setibanya di dapur, dia melihat ayahnya sedang duduk di kursi, satu tangan memegang rokok yang menyala, sementara yang lain berada di atas meja.

Nathan berhenti sejenak di pintu dapur, mengamati ayahnya yang tampak sedih, menatap lurus ke luar jendela tanpa menyadari kehadirannya. Nathan lalu mengambil langkah maju, menarik kursi di seberang meja. Dia duduk, memandang ayahnya yang masih diam dengan rokok di tangannya. Tidak ada kata yang keluar di awal. Mereka hanya duduk berhadapan, terpisahkan oleh meja makan.

“Yah …” Nathan mengawali pembicaraan. “Maafkan aku …” Lanjutnya lembut.

“Ayah sudah memperkirakan kalau hal ini pasti akan terjadi. Ayah pikir kamu harus tahu apa yang sebenarnya,” ujar Ronny yang lagi-lagi matanya mengeluarkan tetesan air mata.

“Apapun yang akan ayah katakan … Demi Yang Menciptakan Langit dan Bumi, aku akan menerimanya dengan lapang dada,” Nathan coba meyakinkan ayahnya.

“Setelah kamu mengetahui ini semua, perasaanmu terhadap ayah akan tetap sama atau akan berubah. Tapi, apapun nanti yang akan terjadi, kamu tetap harus mengetahuinya,” suara Ronny sangat berat seberat beban hatinya.

“Ayah tak usah meragukan perasaanku. Bicaralah, aku sangat butuh penjelasan,” kata Nathan.

Nathan duduk diam, memperhatikan punggung ayahnya yang masih menghadap ke arah jendela. Bahu ayahnya tampak sedikit tegang, tidak bergerak santai seperti biasanya. Tangan kirinya terus menggenggam rokok dengan erat, sementara asapnya dibiarkan membumbung tanpa dihiraukan. Nathan juga melihat napas ayahnya lebih berat, dada naik turun lebih cepat dari biasanya. Meski ayahnya tidak menoleh, Nathan bisa merasakan kegelisahan yang terpancar dari setiap gerakan tubuhnya.

Ronny menghela napas panjang, mematikan rokoknya di asbak. Ia berbalik menghadap Nathan, raut wajahnya serius dan terlihat berat. “Nathan,” ucapnya pelan, “sebelum ayah bercerita, ada satu hal yang ingin ayah minta. Apapun yang akan kamu dengar, tolong jangan membenci ayah. Apapun yang terjadi, ayah selalu menyayangimu.”

Nathan menatap ayahnya, kebingungan menyelimuti pikirannya, namun ia mengangguk perlahan. “Aku berjanji, Yah. Aku tidak akan membencimu.”

Ronny terdiam sesaat, seolah mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. “Ketika ayah masih kecil, saat itu usia ayah sembilan tahun, kakekmu menikah lagi dengan seorang wanita yang jahat. Sejak kehadiran wanita itu, segalanya berubah. Dia membenci ayah tanpa alasan yang jelas. Dia memperlakukan ayah dengan kasar, seperti ayah bukan bagian dari keluarga.”

Nathan mendengarkan dengan seksama, cerita ini pernah ia dengar dari penjelasan Ida sekitar dua minggu yang lalu.

“Seiring ayah tumbuh dewasa, perlakuan buruk itu tidak pernah berubah. Dia semakin kejam, semakin tidak adil. Ayah tidak bisa berbuat banyak, karena kakekmu, Permana, sangat sibuk dengan pekerjaannya. Dia jarang berada di rumah. Ketika dia ada, dia tidak pernah benar-benar memperhatikan apa yang terjadi. Kakekmu terlalu sibuk dengan bisnisnya, seorang pengusaha sukses yang hidupnya hanya berputar di sekitar pekerjaan.” Lanjut Ronny.

“Oh … Nama kakekku Permana?” kali ini Nathan baru tahu nama kakeknya, karena Ronny tidak pernah bercerita tentang latar belakang keluarganya dan selalu menutup-nutupi.

“Ya …” Jawab Ronny sambil mengangguk. Ronny berhenti sejenak, menundukkan kepala, mencoba menahan perasaan yang berat. “Kakekmu, Permana, dikenal sebagai pria yang sangat tampan. Banyak orang menyebutnya sebagai lelaki tertampan di negeri ini. Selain ketampanannya, dia juga memiliki harta yang sangat banyak, warisan dari leluhur kami yang tidak pernah habis.”

Nathan tetap diam, perasaan sedih mulai muncul dalam dirinya. Setiap kata dari ayahnya membuka sisi lain yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya, sisi kelam dari masa lalu ayahnya yang selama ini tak pernah dibicarakan.

Ronny terdiam sejenak, mencoba merangkai kata untuk melanjutkan ceritanya. “Setelah menikah dengan Maya, ayah berharap semuanya akan berubah. Ayah ingin punya kehidupan yang tenang, jauh dari masa lalu yang penuh dengan kepahitan. Tapi kenyataannya tidak banyak yang berubah, Nathan. Ayah malah dibayangi oleh takdir yang semakin menyiksa ayah.”

Nathan tiba-tiba memotong, nadanya sedikit gemetar. “Ayah difitnah, kan? Ibu tiri ayah memfitah ayah memperkosa dia. Karena itu, ayah diusir dari rumah. Kakek percaya begitu saja pada omongan dia.”

Ronny tersenyum getir, matanya sedikit terpejam, sementara napasnya terdengar semakin berat. Dadanya berdebar kencang, seperti sedang menahan sesuatu yang sulit untuk diucapkan. Keraguan jelas terlihat di wajahnya, namun setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, ia mengumpulkan keberaniannya kembali. “Nathan,” ucapnya pelan, “apa yang kamu tahu, itu hanya sebagian kecil dari cerita yang sebenarnya.”

Nathan tersentak, matanya melebar. “Apa?” gumamnya, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Ronny menunduk sejenak, lalu menatap Nathan dengan tatapan penuh beban. “Ada bagian dari cerita ini yang selama ini ayah sembunyikan darimu. Ayah tidak pernah ingin kamu tahu. Ayah takut kalau kamu mengetahuinya, kamu akan membenci ayah. Bahkan mungkin kamu tidak akan menyayangi ayah lagi.”

Nathan terdiam, keterkejutannya semakin besar. “Ayah… ceritakan semuanya,” pintanya dengan suara rendah, meskipun hatinya berdebar tidak menentu.

Ronny melanjutkan ceritanya dengan suara yang bergetar, “Perlakuan ibu tiri ayah yang sangat buruk kepada ayah dan Maya memicu perlawanan dari Maya. Pertengkaran antara Maya dan ibu tiri ayah semakin hebat. Maya benar-benar melawan dengan keberanian yang sangat besar. Kakekmu melihat semua itu dan mulai turun tangan. Dia mencoba mendamaikan mereka tetapi kakekmu selalu membela Maya dalam setiap pertengkaran. Kakekmu tidak pernah berpihak pada istrinya. Akibatnya, ibu tiri ayah merasa sangat marah dan meninggalkan rumah.”

Ronny menelan ludah, wajahnya terlihat sangat hancur. “Awalnya, ayah merasa sangat lega dan bahagia. Rumah terasa damai tanpa kehadiran ibu tiri yang jahat. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Ayah secara tidak sengaja menemukan kakekmu bercinta dengan Maya di kamarnya. Hati ayah hancur berkeping-keping saat melihat pemandangan itu.”

Ronny menangis tersedu-sedu, suaranya pecah dengan isak tangis. Nathan, di hadapan Ronny, bergetar hebat. Semua yang dia dengar membuatnya tidak bisa mempercayai kenyataan. Dengan semua informasi itu, Nathan mulai menyadari siapa dirinya yang sebenarnya.

Air mata terus menetes dari mata Ronny. “Ayah membiarkan semuanya berlanjut. Membiarkan Maya terus dengan kakekmu, ayah pura-pura tidak tahu. Ayah tidak ingin mengganggu kebahagiaan Maya dan kakekmu. Yang ayah pikirkan saat itu, biarkan mereka melakukan itu semua di belakang ayah, asalkan ayah bisa hidup tenang dan senang. Ayah bisa menikmati harta kakekmu sepuas hati dan berfoya-foya. Tak lama, Maya memberi tahu ayah kalau dia hamil. Hati ayah semakin hancur karena ayah yakin bayi itu bukan hasil dari benih ayah. Ayah ini mandul, nak … Ayah tahu kalau ayah mandul sejak ayah memeriksakan diri ke dokter saat mau menikah dengan Maya sebagai syarat administrasi pernikahan, tapi ayah sembunyikan karena malu.”

Nathan, dengan suara terbata-bata dan sangat tertekan, bertanya kepada Ronny, “Jadi, berarti aku adalah adik ayah?”

Ronny mengangguk dan menjawab, “Ya, Nathan. Kamu adalah adik ayah dari satu bapak.”

Nathan terdiam, matanya membelalak, dan tubuhnya bergetar. Dunia seakan terbalik. Semua yang selama ini dia anggap pasti dan biasa, tiba-tiba berubah total. Rasanya seperti lantai di bawahnya menghilang, dan dia jatuh dalam kegelapan yang tak berujung. Setiap detail dari masa lalunya kini tampak samar dan tak jelas, membuatnya merasa bingung dan terasing.

Ronny memandang Nathan dengan penuh perhatian. Dia tahu betapa sulitnya berita ini diterima. Ronny berharap Nathan bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada.

Nathan menarik napas panjang dan berusaha mengendalikan detak jantungnya. Dia menutup matanya sejenak, berusaha meredakan gemetar di tubuhnya. Dengan penuh usaha, dia mencoba memproses informasi yang baru diterimanya, mencoba menata kembali pikirannya dan menerima kenyataan yang mengejutkan ini.

Setelah merasa sedikit lebih tenang, Nathan membuka mata dan menatap Ronny. “Tolong, lanjutkan ceritanya,” katanya dengan nada yang lebih mantap, berharap mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang situasi yang baru saja diungkapkan.

Ronny menghapus air matanya dengan sapu tangan yang dia keluarkan dari saku sambil berkata, “Apapun itu, ayah akan selalu menganggapmu sebagai anak ayah, anak ayah yang sangat ayah sayangi.” Ronny menarik napas panjang, berusaha mengatur emosi yang bergelora dalam dirinya, lalu berkata, “Sekitar sembilan bulan kemudian, datang ibu tiri ayah bersama aparat kepolisian berpangkat tinggi. Rupanya, selama ini ibu tiri itu diam-diam menyelidiki kakekmu dan berhasil menemukan bukti penggelapan uang dalam jumlah besar yang dilakukan kakekmu. Kakekmu terancam hukuman penjara yang sangat lama. Ibu tiri ayah memanfaatkan situasi itu.”

Nathan mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun perasaan gelisah masih menghantui dirinya.

Ronny melanjutkan, “Setelah berbicara panjang, akhirnya tercapai kesepakatan. Ibu tiriku mendapatkan setengah dari harta kakekmu, ditambah dengan satu syarat yaitu kakekmu harus mengusir ayah dan Maya dari rumah. Kakekmu terpaksa mengikuti permintaannya tanpa bisa membela kami.”

Ronny terdiam sejenak, menatap Nathan dengan mata yang penuh beban. “Kami diusir, Nak. Waktu itu ibumu sedang hamil besar, dan kami tidak tahu harus ke mana. Kami akhirnya menyewa sebuah rumah kecil, hidup sangat miskin dan sengsara. Tidak ada pilihan lain.”

Nathan tampak tersentak mendengar ini. Gambaran hidup orang tuanya yang pernah begitu buruk mulai memenuhi pikirannya.

“Setelah kamu lahir,” Ronny melanjutkan, “ibumu semakin sulit menerima kenyataan. Dia sangat sakit hati terhadap ibu tiri ayah, dan kini kebencian itu juga tertuju pada kakekmu. Maya tidak mendengarkan nasihat ayah untuk melupakan dendam itu. Ayah berkali-kali meminta dia untuk berhenti, tapi Maya mengabaikan ayah. Bahkan, dia mulai memandang ayah sebagai seorang pengecut.”

Ronny menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Lalu, Maya bertemu dengan seorang pria bernama Alex. Dia dan Alex mulai merencanakan sesuatu untuk menghancurkan kakekmu dan ibu tiri ayah. Ayah tidak bisa menghentikannya. Kebenciannya kepada ibu tiri ayah dan kakekmu perlahan-lahan beralih kepada ayah. Setiap hari Maya mulai menunjukkan sikap yang dingin, penuh kemarahan. Suatu hari, ayah menemukan Maya dan Alex bermesraan di depan mata ayah. Ayah tidak bisa berkata apa-apa, Nak. Ayah hanya berdiri di sana, tak berdaya. Puncaknya adalah ketika ayah mendapati mereka di rumah kontrakan kita. Ibumu dan Alex, mereka….” Ronny tidak sanggup melanjutkan. Air mata mulai mengalir di pipinya. “Ayah hancur, Nak. Seperti dihancurkan dari dalam. Ayah merasa tak berarti. Semua yang ayah cintai runtuh di depan mata.”

Nathan terdiam, tubuhnya seolah membeku di tempat. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Setiap bagian dari kisah yang baru saja diceritakan oleh ayahnya terasa seperti hantaman keras yang tak terduga. Sekarang, semua potongan yang selama ini terasa kabur mulai terhubung, dan dia mengerti makna sesungguhnya di balik kata-kata ayahnya. Beban yang Ronny pikul, pengkhianatan yang dialaminya, serta keputusan pahit yang harus, semua itu kini menjadi jelas.

“Pada akhirnya, ayah tidak bisa lagi tinggal di sana. Ayah memutuskan untuk membawa kamu pergi. Tanpa sepengetahuan ibumu, ayah membawamu pergi menjadi gelandangan sebelum bertemu nenek angkatmu dan membawa kita ke Pontianak. Kita memulai hidup baru di sini.” Ronny menunduk, tak lagi sanggup berbicara.

Perasaan Nathan bercampur aduk. Rasa sakit dan luka yang pernah dia rasakan sebagai anak yang kehilangan ibunya, kini terasa berbeda setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Luka di hatinya semakin dalam karena penderitaan ayahnya yang selama ini tersembunyi di balik sosoknya yang tenang. Nathan tidak hanya terluka, tapi juga dipenuhi rasa bersalah. Selama ini, dia tidak pernah benar-benar memahami betapa berat hidup ayahnya. Betapa sulitnya bagi Ronny untuk terus melangkah dengan beban berat itu di pundaknya. Kini, Nathan tahu, setiap langkah yang diambil ayahnya bukanlah tanpa alasan, melainkan pilihan yang penuh pengorbanan.

Setelah beberapa saat dalam keheningan, Nathan akhirnya berbicara dengan suara lemah lembut. “Ayah,” katanya pelan, “sekarang aku sadar kenapa Ayah begitu membenci Mama. Apa yang Mama lakukan pasti sangat menyakitkan. Tapi… tidak adil rasanya kalau kebencian Ayah kepada Mama dijadikan alasan untuk menjauhkan aku dari dia. Mama tetaplah ibu kandungku.”

Ronny mendengarkan dengan tenang, lalu menghela napas panjang. “Nathan, apa yang ayah ceritakan belum selesai,” katanya, suaranya lebih tegas.

Nathan menatap ayahnya dengan terkejut. Apa yang baru saja ia dengar sudah terasa sangat berat, dan kini ternyata masih ada lebih banyak hal yang belum terungkap. Perasaan tak menentu kembali menyerangnya. “Lanjutkan ceritanya, Ayah,” ucap Nathan dengan penuh harap, meski hatinya kembali dipenuhi kegelisahan.

Ronny menatap Nathan dalam, bersiap melanjutkan cerita yang selama ini tersembunyi. “Sebelum kakekmu mengusir ayah dan ibumu, ayah bicara dua mata dengan kakekmu, ada sesuatu yang dia berikan untuk bayi yang dikandung Maya saat itu,” ujar Ronny, mencoba merangkai kata dengan hati-hati. “Sesuatu yang sangat luar biasa, sebuah sertifikat tanah yang sangat luas. Itu tanah leluhur, tanah yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tapi, kakekmu tidak memberikannya pada ayah, karena dia menerima wangsit dari leluhur kalau tanah itu harus diberikan kepada bayi yang sedang dikandung Maya, bukan untuk ayah.”

Mendengar kata-kata itu, mata Nathan terbelalak. Nafasnya tertahan. Fakta yang baru saja diungkapkan ayahnya seolah memukulnya keras. Sertifikat tanah warisan leluhur, wangsit, keputusan kakeknya untuk memberikan tanah itu bukan kepada Ronny, tetapi untuk dirinya, meskipun saat itu dia belum lahir. Semua ini seperti menyentak alam pikirannya yang sudah berantakan. Nathan tak pernah membayangkan hal sebesar ini ada di balik kehidupan keluarganya.

“Kakekmu menyuruh ayah untuk memberitahumu tentang hal ini ketika kamu sudah dewasa, tepatnya ketika usiamu mencapai 25 tahun,” Ronny melanjutkan, suaranya masih terdengar tenang tapi penuh beban.

Nathan, yang masih berusaha mencerna setiap kata, menjawab dengan suara datar, “Tapi aku baru berusia 25 tahun sekitar tujuh bulan lagi.”

Ronny mengangguk. “Ayah tahu. Ayah terpaksa mengatakannya sekarang, walaupun belum waktunya. Ini karena kedekatanmu dengan ibumu akhir-akhir ini. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui sebelum semuanya terlambat.”

Nathan menatap Ronny, keningnya berkerut. “Apa yang sebenarnya ada di benak Ayah? Apa kaitannya antara warisan leluhur itu dengan aku dan Mama?”

Ronny menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam sebelum melanjutkan ceritanya. “Tanah leluhur yang diberikan kakekmu itu bukan sembarang tanah, Nathan. Bentuknya tiga gunung di daerah sekitar Yogyakarta. Wilayah itu dulu kekuasaan Prabu Brajamusti, penguasa di sana sekitar tahun 1300 Masehi. Ketiga gunung itu disebut Gunung Brajamusti oleh penduduk sekitar.”

Nathan menatap ayahnya dengan penuh tanda tanya. Perasaannya bercampur, seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar cerita sejarah yang akan diungkapkan Ronny. Mendadak pikirannya melayang pada ajian kanuragan yang sedang ia pelajari, Ajian Brajamusti. Kini, ketika ayahnya menyebut nama Prabu Brajamusti dan ketiga gunung di Yogyakarta, ingatan Nathan mengenai ajian yang tengah dipelajarinya semakin jelas. Nathan merasa tidak mungkin ini hanya kebetulan. Ia mulai menyadari bahwa Ajian Brajamusti yang ia pelajari memiliki hubungan dengan leluhurnya.

Ronny melanjutkan sambil terus memandang Nathan, “Di dalam gunung itu terkandung emas, dan emasnya tidak pernah habis walau digali sebanyak apa pun. Tapi hanya satu orang yang bisa mengakses emas itu, yaitu pemegang sertifikat yang sah menurut hukum. Sejak kakekmu menyerahkan sertifikat tanah leluhur itu kepada ayah, pertambangan emas di sana tutup. Emasnya tiba-tiba menghilang.”

Nathan terkejut, wajahnya tegang mendengar penjelasan ayahnya.

“Emas itu,” Ronny menambahkan, “akan muncul lagi saat kamu berusia 25 tahun ketika kamu tahu soal kepemilikanmu atas Gunung Brajamusti. Sertifikatnya disimpan di sebuah bank dan hanya bisa diambil ketika kamu mencapai usia itu.”

Ronny menyesap rokoknya sebelum berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih berat. “Maya, ibumu, adalah pendendam yang luar biasa. Bersama Alex, dia berhasil menghancurkan kakekmu dan ibu tiriku. Bahkan menurut kabar, mereka dibunuh oleh Maya dan Alex, meskipun sampai sekarang kasus itu tidak pernah terungkap ke publik. Hilang begitu saja.”

Nathan tercengang, tubuhnya serasa kehilangan keseimbangan. Kata-kata ayahnya bergaung di kepalanya, seakan-akan dunia yang ia kenal selama ini runtuh seketika. Ia terdiam, tak mampu bergerak atau merespons, seperti disambar petir di siang bolong. Bayangan Maya, sosok yang selalu ia anggap lembut dan penuh kasih sayang, tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang kelam. Setiap ingatan tentang Maya terasa terdistorsi oleh kenyataan baru ini. Nathan merasa dadanya sesak, seolah udara di ruangan itu menipis. Apa yang ia dengar terlalu mengerikan untuk dipahami.

Ronny meneruskan, “Maya dan Alex menguasai seluruh kekayaan kakekmu dan ibu tiri kejam itu. Secara hukum terlihat sah. Mereka berhasil membuat kakekmu dan istrinya menyerahkan harta mereka dengan sukarela sebelum akhirnya mereka menghilang tanpa jejak.”

Setelah menyesap rokoknya lagi, Ronny menatap Nathan dengan tatapan serius. “Awalnya, Maya tidak tahu kalau kakekmu sudah memberikan sertifikat Gunung Brajamusti kepada ayah dan untuk meneruskannya padamu. Tapi menurut informasi dari orang yang ayah percaya, dalam tiga bulan terakhir ini Maya akhirnya mengetahui sejarah gunung itu. Sejak itu, dia mulai mencari tahu tentangmu.”

Nathan merasakan hawa dingin merayap perlahan di sekelilingnya, seolah udara di ruangan itu berubah menjadi beku. Tubuhnya menggigil, bukan karena suhu, tetapi karena rasa takut dan keterkejutan yang mendalam. Kata-kata ayahnya terus bergema di kepalanya, menambah berat beban yang kini menghimpit pikirannya. Nathan mulai merasa kehilangan pijakan, seolah dunia yang selama ini ia anggap nyata adalah kepalsuan yang dibangun di atas rahasia kelam. Tubuhnya lemas, sementara pikirannya berusaha keras memahami kenyataan baru yang dibebankan padanya. Tanah leluhur, warisan emas, wangsit, pengkhianatan, dan bahkan pembunuhan, semua itu bukan hanya bagian dari cerita masa lalu keluarganya, tetapi kini menjadi bagian dari dirinya.

Nathan menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya yang semakin kalut. “Ayah…,” ucapnya dengan suara yang terdengar tergagap. “Menurut informasi yang aku dapat, Maya sudah mencariku selama belasan tahun. Katanya dia merasa bersalah dan ingin memperbaiki hubungan, baik dengan Ayah maupun denganku.”

Ronny mendengar pernyataan Nathan langsung tersenyum sinis. “Nathan, Maya sudah tahu keberadaan kita sejak lama. Dan, dia tidak pernah peduli. Satu-satunya alasan Maya mulai memperhatikan kita adalah ketika dia menemukan sejarah Gunung Brajamusti. Itu alasan kenapa dia tiba-tiba muncul.”

Mendengar kata-kata Ronny, Nathan memejamkan matanya, seolah berusaha melarikan diri dari kenyataan pahit yang baru saja terungkap. Perasaannya hancur. Ia merasa ditipu. Selama ini, dia benar-benar percaya bahwa Maya tulus ingin menjalin kembali hubungan mereka. Namun kini, semuanya berubah. Entah kenapa, Nathan sangat percaya dengan apa yang dikatakan Ronny. Ada sesuatu dalam nada suara ayahnya yang membuatnya yakin. Perlahan, perasaan sakit hati itu mulai bergeser menjadi kebencian yang mendalam kepada Maya.

Ronny memandang Nathan dengan serius. “Maya tahu kalau emas itu hanya kamu yang bisa membukanya. Itu alasan kenapa dia mendekatimu sekarang,” ujar Ronny dengan nada tegas.

Nathan menatap ayahnya, mencoba mencerna informasi tersebut. “Jadi… itu sebabnya dia bersikap baik akhir-akhir ini?”

Ronny mengangguk. “Iya, Maya punya rencana. Dia tidak mendekatimu karena merasa bersalah atau ingin memperbaiki hubungan. Dia sedang memikirkan cara untuk mendapatkan sertifikat tanah leluhurmu. Tanah itu kunci segalanya.”

Nathan terdiam, hatinya semakin terhimpit oleh kenyataan ini. “Jadi… dia hanya memanfaatkan aku?”

Ronny menatapnya tajam. “Dia tahu kamu satu-satunya yang bisa mengakses emas di Gunung Brajamusti. Itu alasan sebenarnya. Karena itu, dia bersikap lembut. Maya sedang merencanakan sesuatu, Nathan. Kamu harus hati-hati.”

Ronny duduk dengan wajah serius, memandang Nathan dengan penuh perhatian. Ia mulai menjelaskan siapa sebenarnya Maya. Ronny menjelaskan kalau Maya adalah wanita yang gila harta, seseorang yang tidak akan berhenti untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Apapun caranya, entah itu lewat pendekatan halus atau bahkan kekerasan, Maya selalu punya rencana. Ronny mengetahui hal ini dari Husni, orang kepercayaannya yang bekerja di bawah Maya sebagai Direktur di salah satu perusahaan besar yang Maya kendalikan. Husni sering melaporkan bagaimana Maya menggunakan tipu daya dan manipulasi untuk mencapai tujuannya. Di luar, Maya bisa tampak ramah dan penuh perhatian, tetapi di balik layar, dia tak segan-segan menjatuhkan orang yang menghalangi jalannya.

Ronny menjelaskan bahwa Maya tidak peduli siapa yang harus ia korbankan, asalkan apa yang ia kejar bisa tercapai. Ronny sering mendengar kisah tentang Maya yang menggunakan segala macam cara, mulai dari membujuk hingga menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Ronny pun mewanti-wanti Nathan harus berhati-hati, karena Maya sedang membidik sesuatu yang lebih dari sekadar harta yaitu emas yang terkubur di Gunung Brajamusti yang tak akan pernah habis. Dan kunci untuk mendapatkan semuanya ada di tangan Nathan.

Ronny menatap Nathan dengan penuh harapan, suaranya terdengar tegas namun penuh emosi. “Sekarang kamu sudah mengetahui siapa dirimu, siapa Maya, dan siapa orang yang selama ini kamu panggil ayah. Ayah hanya berharap kamu tidak berubah setelah semua ini. Ayah ingin kamu tetap menganggap ayah sebagai ayahmu.”

Nathan merasakan beratnya kata-kata Ronny, menyadari betapa sulitnya situasi ini bagi mereka berdua. Dengan hati-hati, Nathan meraih tangan Ronny dan menggenggamnya erat. Dalam nada lembut ia berkata, “Ayah adalah ayah terbaik yang aku punya. Tidak peduli apapun yang terjadi, aku tetap menganggap ayah sebagai ayahku.”

Nathan merasakan kedekatan yang mendalam dan tak tergantikan saat tangannya menggenggam tangan Ronny. Dalam pelukan tangan Ronny, Nathan menemukan kenyamanan dan dukungan yang sangat berarti. Kesedihan yang menggelayuti pikirannya seakan sedikit menguap dengan kehadiran ayahnya di sampingnya. Hubungan mereka sebagai ayah dan anak, meskipun diuji oleh kebenaran yang sulit diterima, tetap teguh dan penuh makna.

Bersambung​

1 thought on “CERBUNG – NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *