Serba-serbi Cerita Cerita Bersambung
CERBUNG – NATHAN
BAB 7
Nathan dan Ronny terlibat perdebatan sengit tentang cara terbaik menghadapi Maya. Ronny yakin bahwa satu-satunya cara melindungi diri adalah dengan menjauh sejauh mungkin dari Maya, yang ia anggap sebagai ancaman besar. Namun, Nathan berpendapat sebaliknya. Baginya, Maya harus dihadapi, bukan dihindari. Menghindar hanya akan menunda masalah, dan selama ia tidak bertindak, ancaman dari Maya akan terus ada.
Ronny menatap Nathan dengan serius, khawatir dengan keputusan anaknya. “Nathan, kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi. Maya itu ‘Ratu Tega.’ Dia tidak segan menghilangkan nyawa siapa pun yang menentangnya. Dia punya cara-cara kejam untuk memastikan semua orang patuh.”
Nathan menjawab dengan tenang, “Aku mengerti kekhawatiranmu, Ayah. Tapi aku punya rencana. Aku akan mengikuti setiap perintah Maya tanpa menentangnya. Selama aku berada di dekatnya, aku akan mencari tahu kelemahan yang bisa kugunakan untuk menyerangnya.”
Ronny ragu dengan strategi Nathan. “Husni, sahabatku, yang sudah lama bekerja dengan Maya saja tidak pernah menemukan kelemahan Maya. Dia dikelilingi oleh banyak anak buah yang mahir menyembunyikan kebusukan Maya.”
Nathan menjelaskan, “Untuk menemukan kelemahan Maya, aku harus menjadi orang kepercayaannya. Aku akan berusaha menjadi orang kepercayaan Maya. Itu satu-satunya cara.”
Ronny menggelengkan kepala, tidak yakin. “Kamu tidak akan mampu mencapai posisi itu.”
Nathan tersenyum tipis. “Jangan meremehkan kemampuanku, Ayah.”
Ronny menatapnya dengan penasaran. “Kenapa kamu begitu yakin akan mampu menjadi orang kepercayaan Maya?”
Nathan menjawab, “Maya memiliki ritual untuk memilih orang kepercayaannya. Ada sebuah pertarungan untuk menentukan siapa yang layak. Orang kepercayaan yang sedang berkuasa bisa diganti oleh orang lain melalui pertarungan itu.”
Ronny memandang Nathan dengan serius. “Apa yang kamu punya sebagai modal untuk menghadapi pertarungan itu?” tanyanya, suaranya tegas. “Orang yang jadi tangan kanan Maya bukan sembarangan, Nathan. Dia pasti seorang petarung sejati.”
Nathan agak terkejut. “Dari mana Ayah tahu?” tanyanya, penuh rasa penasaran.
Ronny menggelengkan kepalanya pelan. “Aku tahu dari yang kamu bilang barusan, tentang ritual pertarungan untuk memilih orang kepercayaan. Kalau itu seleksi pertarungan, berarti yang kuat yang menang. Tidak mungkin orang yang tidak bisa bertarung jadi orang kepercayaan Maya.”
Nathan tertawa kecil, menyadari logika itu. “Benar juga,” katanya, meskipun tahu masalah ini jauh lebih berat dari yang dibayangkannya.
Ronny menatapnya dalam-dalam. “Tapi apa yang membuatmu yakin bisa menang dalam pertarungan itu?”
Nathan menarik napas dalam sebelum menjawab. “Aku sedang mempelajari Ajian Brajamusti. Ilmu yang namanya sama dengan leluhur kita,” jawabnya mantap.
Mata Ronny membesar karena terkejut. “Sejak kapan kamu belajar ilmu leluhur kita?”
Nathan menjawab tanpa ragu. “Sudah sekitar tiga hari.”
Reaksi Ronny berubah cepat. “Hentikan!” katanya dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya. “Jangan lanjutkan mempelajari ilmu itu.”
Nathan menatap ayahnya, bingung dengan perintah mendadak itu. “Kenapa, Ayah?”
Ronny menatap Nathan dengan serius. “Ajian Brajamusti itu ilmu yang berbahaya untuk dipelajari. Kalau tidak sempurna, orang yang mempelajarinya bisa gila.”
Mata Nathan membesar, mulutnya terbuka lebar tanpa bisa menahan rasa terkejut. “Hah…!”
Ronny melanjutkan penjelasannya. “Ajian itu harus dilakukan dengan ritual-ritual tertentu, seperti semedi tingkat tinggi. Banyak yang gagal karena tergoda atau dihalangi sesuatu. Kalau gagal, mereka bisa gila. Itu sebabnya anak cucu Prabu Brajamusti sudah lama menghindari ajian ini. Mereka tahu risikonya terlalu besar.”
Setelah mendengar penjelasan tersebut, Nathan merenung dalam-dalam. Ia tidak pernah membayangkan bahwa mempelajari Ajian Brajamusti bisa membawa dampak yang begitu mengerikan. Pikiran tentang menjadi gila hanya karena gagal dalam prosesnya benar-benar membuatnya bertanya-tanya apakah keputusannya sudah tepat. Rasa percaya dirinya mulai terkikis oleh kenyataan yang baru saja ia dengar.
Ronny kemudian berkata, “Kalau kamu tetap ingin mempelajari ilmu itu, kamu butuh guru yang bisa membimbingmu.”
Nathan segera menoleh dengan rasa ingin tahu. “Ayah tahu siapa yang bisa membimbingku?”
Ronny menggeleng pelan. “Tidak tahu, tapi ayah bisa bertanya pada teman ayah yang sering mempelajari ilmu-ilmu kanuragan.”
Nathan terlihat sangat tertarik. “Siapa dia?”
“Namanya Budiman, atau biasa dipanggil Pak Budi. Rumahnya tidak jauh dari sini,” jawab Ronny.
Tanpa berpikir panjang, Nathan segera mengajak ayahnya. “Ayo kita temui dia sekarang, Ayah!”
“Baik, kita pergi sekarang.” Jawab Ronny.
Setelah percakapan singkat mengenai rencana menemui Pak Budi, mereka segera bersiap. Nathan mengenakan jaket dan sepatu dengan cepat, sementara Ronny mengambil kunci rumah dari meja dapur. Tanpa banyak bicara, mereka keluar dari rumah menuju motor yang terparkir di halaman. Ronny menyalakan motor dan Nathan segera duduk di belakang, bersiap untuk perjalanan singkat itu.
Motor melaju perlahan meninggalkan rumah, melewati jalanan sempit di perkampungan mereka. Angin petang menjelang malam terasa sejuk saat mereka melintasi beberapa rumah tetangga. Suasana sekitar terasa tenang, hanya terdengar suara motor dan sesekali lolongan anjing dari kejauhan. Perjalanan mereka hanya memakan waktu beberapa menit sebelum akhirnya tiba di depan sebuah rumah sederhana yang dikelilingi pagar kayu rendah.
Ronny mematikan mesin motor di depan rumah itu. Mereka turun, berjalan menuju pintu depan yang catnya mulai memudar. Nathan menatap rumah tersebut, mencoba membayangkan seperti apa sosok Pak Budi yang disebutkan ayahnya. Sebelum mereka mengetuk, pintu depan terbuka perlahan, menampakkan seorang pria paruh baya dengan rambut yang sudah mulai memutih. Pak Budi berdiri di ambang pintu, tersenyum tipis, seolah sudah menunggu kedatangan mereka.
Pak Budi tersenyum ramah sambil membuka pintu lebih lebar. “Silakan masuk,” katanya, mempersilakan Ronny dan Nathan melangkah ke dalam rumah.
Nathan mengikuti Ronny memasuki rumah yang tampak sederhana namun bersih dan rapi. Mereka berjalan menuju ruang tamu yang dipenuhi perabot kayu, dan duduk di kursi yang disediakan Pak Budi.
“Apa kabar, Ron?” tanya Pak Budi sambil duduk di kursi seberang mereka, menatap Ronny dengan pandangan penuh rasa ingin tahu.
“Kabar baik, Budi …” jawab Ronny sambil menatap Nathan sejenak, memberi sinyal bahwa mereka punya urusan penting untuk dibicarakan.
“Bukankah ini anakmu?” tanya Pak Budi pada Ronny.
“Benar … Namanya Nathan …” jawab Ronny lalu Nathan mengangguk dan tersenyum pada Pak Budi.
Sebelum percakapan berlanjut, seorang wanita paruh baya muncul dari arah dapur. Dia membawa nampan berisi dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng yang baru saja diangkat dari penggorengan. Wanita itu, yang ternyata adalah istri Pak Budi, menaruh suguhan di meja dan tersenyum ramah kepada mereka.
“Silakan diminum kopinya,” katanya lembut, sebelum kembali ke dapur.
Nathan meraih cangkir kopi, menghirup aromanya yang kuat sebelum menyesapnya. Dia lalu menatap ayahnya, bersiap untuk mendengarkan percakapan yang akan terjadi antara Ronny dan Pak Budi.
Ronny membuka percakapan dengan sopan. “Maaf mengganggu ketenanganmu.”
Budi tersenyum hangat sambil mengangguk. “Tidak masalah, Ron. Aku justru senang kamu mau berkunjung ke sini.”
Ronny kemudian menjelaskan tujuan kedatangannya. “Sebenarnya, kami datang karena ada sesuatu yang ingin kami tanyakan padamu.”
Budi mengangguk, “Silakan, Ron. Tanyakan saja apa yang ingin kamu ketahui. Aku akan berusaha menjawab sejauh yang aku bisa.”
Tanpa ragu Ronny bertanya, “Apakah kamu tahu seseorang yang bisa membimbing Nathan dalam mempelajari Ajian Brajamusti?”
Budi tampak terkejut, lalu menoleh ke arah Nathan dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Kenapa kamu ingin mempelajari Ajian Brajamusti?” tanyanya.
Nathan menjawab dengan serius. “Saya membutuhkan ilmu ini untuk keperluan menjadi pejabat tinggi di sebuah perusahaan. Mereka mengharuskan seorang pejabat tinggi harus memiliki ilmu tarung yang mumpuni.”
Budi mengangkat alis, tersenyum sumbing. “Aneh sekali, ada perusahaan yang membutuhkan seorang petarung tangguh. Biasanya perusahaan besar mencari pegawai dengan skill pengetahuan modern yang tinggi, bukan ilmu kanuragan.”
Nathan menjelaskan, “Memang perusahaan ini berbeda. Selain skill pengetahuan modern, mereka juga mensyaratkan keterampilan bertarung.”
Budi mengangguk-angguk sambil menyeruput kopi. Setelah itu, dia menyalakan sebatang rokok, lalu berkata, “Ajian Brajamusti adalah ilmu kanuragan yang sudah punah. Sejak jaman dulu, orang-orang enggan mempelajari ilu itu karena sangat sulit dipelajari dan risikonya besar. Aku sendiri tidak tahu siapa yang bisa membimbingmu untuk menguasai ajian ini.”
“Oh …” Nathan mengeluh.
Ronny menatap Nathan dengan serius. “Kamu harus melupakan Ajian Brajamusti,” ujarnya tegas.
“Ilmu itu sangat berbahaya.” Pak Budi menambahkan dengan nada prihatin. “Ajian Brajamusti memerlukan kekuatan mental yang sangat tinggi. Jika tidak kuat secara psikologis, risiko gangguan mental sangat besar. Proses belajarnya sangat menuntut dan bisa berdampak buruk pada kesehatan mental.”
Ronny melanjutkan dengan penuh kekhawatiran. “Nathan, lupakan saja keinginanmu itu. Bahayanya terlalu besar.”
Nathan merasa harapannya terpuruk mendengar peringatan tersebut. Perasaan pemuda itu dipenuhi dengan kekecewaan dan kesedihan mendalam. Impian yang sempat memberinya semangat kini lenyap.
Pak Budi memandang Nathan dengan penuh perhatian, kemudian berkata, “Aku merasakan semangat dan kekuatan luar biasa dalam dirimu untuk menguasai Ajian Brajamusti.”
Nathan, yang mendengar hal itu, segera mengungkapkan keinginannya. “Saya sangat ingin menguasai ajian itu dan berharap Bapak mau mengajarinya.”
Pak Budi tertawa singkat sebelum menjawab, “Sayangnya, aku tidak mengenal Ajian Brajamusti dan tidak bisa membimbingmu. Tapi, kalau kamu benar-benar ingin menguasai ilmu tersebut, aku punya jalan keluar yang mungkin bisa membantumu.”
Nathan, mendengar pernyataan ini, langsung menunjukkan semangatnya. “Apa jalan keluar itu?” tanyanya dengan penuh semangat.
“Aku akan memberikan mantra yang bisa membawamu bertemu dengan leluhurmu. Leluhurmu itu yang menguasai Ajian Brajamusti atau mungkin pencipta ajian tersebut,” jawab Pak Budi sambil tersenyum.
“Mantra seperti apa, Pak?” tanya Nathan penasaran.
“Mantra ini akan membantumu membuka jalan menuju dimensi leluhurmu. Setelah kamu bertemu dengannya, mintalah agar beliau mengajarkan Ajian Brajamusti kepadamu.”
“Apakah yang harus saya lakukan setelah bertemu dengan leluhurku?”
“Mintalah dengan hormat dan pastikan untuk menunjukkan kesungguhanmu. Ajian Brajamusti adalah ilmu yang tidak mudah didapat. Berbicaralah dengan tulus,” ucap Pak Budi kemudian bangkit lalu berjalan ke kamarnya.
Pak Budi memasuki kamarnya. Setelah beberapa menit, ia keluar lagi dan menyerahkan secarik kertas kepada Nathan. Nathan membuka kertas itu dan membaca mantra yang tertulis di sana:
Dengan tulus, aku memanggil roh leluhurku,
Temukanlah jalanku ke dimensi suci,
Ajarkanlah kepadaku Ajian Brajamusti,
Dengan penuh hormat dan keyakinan, aku memohon.
“Sekarang, aku akan menjelaskan bagaimana cara menggunakan mantra ini,” kata Pak Budi sambil memandang serius. “Pertama, pastikan kamu berada di tempat yang tenang dan tidak terganggu. Pilih waktu malam saat bulan purnama jika memungkinkan, karena itu akan memperkuat energi ritualmu. Mulailah dengan duduk dalam posisi meditasi dan tutup matamu. Fokuskan pikiranmu pada niat untuk bertemu dengan leluhur dan menerima ajaran Ajian Brajamusti. Setelah siap, bacalah mantra ini dengan suara yang jelas dan penuh keyakinan. Selama membaca, visualisasikan dirimu berada di hadapan leluhurmu. Rasakan energi dan niatmu agar kuat dan murni. Jangan terburu-buru; biarkan proses ini berjalan dengan alami.”
“Terima kasih banyak, Pak. Saya sangat menghargai bantuan ini.”
“Sama-sama, Nathan. Semoga kamu berhasil.”
Setelah berbincang beberapa saat dengan Pak Budi, Ronny dan Nathan berpamitan. Mereka mengucapkan terima kasih dan meninggalkan rumah Pak Budi. Dalam perjalanan pulang, mereka berbicara tentang ritual yang Pak Budi ajarkan dan berharap ritual ini mampu membawa Nathan menemui leluhurnya. Sesampainya di rumah, Nathan langsung menuju kamar mandi. Ia mandi untuk membersihkan diri dan mempersiapkan tubuh serta pikirannya. Setelah mandi, Nathan mengatur ruangannya agar tenang dan bebas dari gangguan. Ia meletakkan lilin dan dupa di sekeliling ruang, mengikuti petunjuk yang diberikan Pak Budi.
Nathan duduk di lantai dalam posisi meditasi. Lilin dan dupa dinyalakan, dan matanya ditutup. Dia membayangkan berada di hadapan leluhur, memfokuskan pikiran pada niat untuk menerima ajaran Ajian Brajamusti. Dengan suara jelas dan penuh keyakinan, Nathan membaca mantra yang diberikan Pak Budi. Setiap kata dibaca dengan tekun, berusaha memvisualisasikan energi yang mengalir dan menghubungkannya dengan leluhur. Pikiran Nathan terbuka, mengikuti aliran energi, sambil bersabar membiarkan proses berlangsung secara alami.
Saat Nathan melanjutkan membaca mantra, suasana di sekelilingnya terasa tenang, tanpa ada perubahan yang mencolok. Ia terus membacanya dengan tekun, namun tidak merasakan adanya reaksi segera. Sudah sekitar satu jam berlalu, Nathan mulai merasa lelah, tetapi dia tetap fokus. Dan tiba-tiba, cahaya lembut mulai menyelimuti ruangan. Nathan merasakan kehadiran yang kuat dan misterius.
Sosok megah muncul di hadapannya. Prabu Brajamusti, seorang pria tua dengan aura kebijaksanaan dan kekuatan, berdiri tegak. Pakaiannya berkilau seolah terbuat dari cahaya bintang. Prabu Brajamusti menatap Nathan dengan penuh perhatian. “Aku memberikan Ajian Brajamusti kepadamu,” ucapnya dengan suara yang dalam dan berwibawa. “Dengan ijinku, kamu tidak perlu bersusah payah berlatih. Kekuatannya akan langsung kamu kuasai.”
Nathan merasakan energi luar biasa menyelimuti tubuhnya. Kekuatan yang kuat mengalir melalui tubuh pemuda itu, dan seketika itu juga, perubahan fisik terjadi. Tubuhnya bergetar hebat, kulit terasa hangat, dan seluruh badan dipenuhi energi berkilau. Setelah beberapa saat, energi tersebut mulai mereda. Tubuh Nathan kembali ke kondisi semula, dengan getaran dan kehangatan yang perlahan menghilang. Nathan duduk dengan tenang, merasakan dampak dari perubahan yang baru saja dialaminya, dan mulai menyadari bahwa kekuatan Ajian Brajamusti kini ada dalam dirinya.
Setelah itu Prabu Brajamusti berkata, “Ajian ini diberikan untuk melindungi orang-orang terkasihmu: ayah, ibu, dan saudara-saudaramu,” Nathan terkejut. Ia tidak menyangka ibunya juga disebut dalam wejangan Prabu Brajamusti, mengingat niat awalnya adalah untuk menghadapi ibunya yang ia anggap jahat. Sebelum Nathan sempat bertanya, Prabu Brajamusti menghilang secara tiba-tiba. Cahaya di sekelilingnya memudar, meninggalkan Nathan sendirian dalam ruang yang kembali tenang.
Setelah selesai dengan ritual, Nathan duduk dengan tenang, berusaha menenangkan pikirannya. Energi dari Ajian Brajamusti masih terasa dalam dirinya. Namun, pikiran Nathan terfokus pada wejangan Prabu Brajamusti, terutama perintah untuk melindungi ibunya. Nathan tidak bisa memahami mengapa Prabu Brajamusti meminta untuk melindungi ibunya. Dalam pikiran pemuda itu, ibunya adalah sosok yang jahat dan menjadi alasan dia mencari Ajian Brajamusti. Mengapa harus melindungi seseorang yang dianggapnya sebagai ancaman? Pikiran ini terus berputar di benak si pemuda, mengganggu fokus dan ketenangan yang baru saja diperolehnya. Nathan merasa bingung dan terombang-ambing antara kewajiban yang diberikan Prabu Brajamusti dan niat awalnya.
Nathan bangkit dari posisi duduk bersila dan mulai membereskan kamar. Ia memadamkan lilin dan dupa, lalu merapikan tempat tidurnya dan membersihkan area sekitar. Setelah kamar tampak rapi, Nathan kembali duduk di sisi tempat tidur, merenung.
Pikiran Nathan dipenuhi dengan informasi tentang ibunya. Di satu sisi, Prabu Brajamusti meminta Nathan untuk melindungi ibunya, namun yang Nathan tahu ibunya memiliki niat jahat. Hal ini membuat Nathan bingung. Ia teringat bahwa Maya sering kali bertindak keras juga kasar kepada anak buahnya dan bertentangan dengan apa yang dianggap baik.
Pertentangan antara kewajiban untuk melindungi dan kenyataan bahwa ibunya adalah ancaman, membuat Nathan tidak bisa memahami arahan yang diberikan. Pikiran ini menambah beban emosional, menyulitkan Nathan untuk menemukan jawaban yang jelas.
Dengan pikiran dipenuhi berbagai pertanyaan dan kebingungan, Nathan memutuskan untuk beristirahat. Dia menata tempat tidur, menarik selimut, dan berbaring. Saat berbaring, pikirannya terus kembali pada ibunya. Nathan merasa perlu waktu untuk menyerap semua informasi yang baru didapat. Dia menutup mata dan berusaha menenangkan pikiran. Dengan harapan mendapatkan pencerahan dalam tidurnya, Nathan akhirnya terlelap, meninggalkan hari yang penuh dengan pertanyaan.
Nathan terbangun di pagi hari dengan rasa lelah masih terasa. Dia meregangkan tubuh dan turun dari tempat tidur. Setelah menyiapkan diri, Nathan menuju ke kamar mandi yang terletak di luar kamar. Dia mandi dengan cepat, menyegarkan tubuh dan pikiran dari kelelahan malam sebelumnya. Setelah mandi, Nathan berdandan dengan pakaian bersih dan rapi, memilih baju yang sederhana namun nyaman.
Setelah selesai, Nathan meninggalkan kamar dan menuju ke dapur. Di sana, dia melihat ayahnya, Ronny, sedang mempersiapkan sarapan. Ronny sedang mengaduk kopi di cangkirnya dan memotong roti. Nathan menyapa ayahnya dengan senyuman, merasa perlu berbicara tentang penemuan yang didapat semalam. Ronny, yang sedang fokus pada pekerjaannya, mengangguk dan tersenyum melihat kedatangan Nathan. Nathan duduk di salah satu kursi meja makan sambil menikmati sarapan pagi. Tak lama, ia memutuskan untuk berbicara kepada ayahnya.
“Aku bertemu dengan Prabu Brajamusti semalam,” kata Nathan langsung, menatap Ronny dengan serius.
Ronny berhenti dari aktivitasnya dan duduk di hadapan Nathan. “Apa yang terjadi? Apa hasilnya?” tanyanya, wajahnya penuh rasa ingin tahu.
Nathan menjelaskan, “Prabu Brajamusti langsung memberikanku Ajian Brajamusti. Artinya, aku tidak perlu bersusah payah mempelajarinya. Kekuatan ajian itu sudah ada dalam tubuhku sekarang.”
Ronny tampak sangat senang dan bersemangat. “Oh, syukurlah … Jadi, berarti Maya akan mudah dikalahkan,” katanya, yakin dengan kemampuan Nathan.
Nathan menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan kebingungan. “Prabu Brajamusti sebenarnya berwasiat agar aku menggunakan Ajian Brajamusti untuk melindungi seluruh keluarga kita. Termasuk ibuku.” Nathan menghela napas, merasa berat dengan pesan tersebut.
Ronny terkejut mendengar hal itu. “Melindungi ibumu? Itu sulit dipercaya,” gumamnya, masih tidak bisa menerima informasi tersebut.
Nathan menatap wajah Ronny dengan penuh harapan, berusaha membaca pikiran ayahnya. “Ayah, aku perlu tahu sebenarnya apa yang terjadi antara Ayah dan Ibu. Aku membutuhkan kejujuran penuh untuk membuat keputusan yang tepat. Hilangkan dulu rasa dendam atau sakit hati, dan beri aku informasi yang netral,” kata Nathan dengan tegas.
Ronny menatap anaknya lekat-lekat, “Nathan, apa yang sudah ayah ceritakan padamu selama ini adalah kebenaran,” jawab Ronny dengan serius. “Maya memang telah melakukan banyak hal yang merugikan ayah dan keluarga kita. Tidak ada yang tersembunyi dari cerita yang ayah berikan. Ayah berkata sejujur-jujurnya tentang semua perbuatan Maya dan situasi yang sebenarnya.”
Nathan menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara lagi. “Ayah, jika ada sesuatu yang Ayah sembunyikan, itu akan menyulitkan aku dalam menentukan tindakan. Aku tidak mau menargetkan orang yang tidak bersalah,” kata Nathan dengan tegas.
Ronny menatap anaknya dengan serius. “Nathan, ayah sudah berkata jujur. Tidak ada yang ayah sembunyikan. Semua informasi yang ayah berikan adalah kebenaran,” jawab Ronny dengan keyakinan.
Nathan menatap ayahnya, “Saat ini, aku belum bisa memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah, terutama dengan pesan Prabu Brajamusti yang meminta aku melindungi ibuku. Aku perlu kembali ke Jakarta hari ini juga untuk menyelidiki Maya untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas.”
Ronny menunduk, tampak berat hati namun mengerti keputusan Nathan. “Kalau itu yang kamu rasa perlu dilakukan, ayah tidak bisa melarang. Tapi, ayah minta agar kamu menghubungi ayah setiap hari. Ayah ingin tahu bagaimana perkembangan situasinya,” kata Ronny dengan nada penuh perhatian.
Nathan mengangguk, merasa yakin dengan langkahnya. “Aku berjanji akan menghubungi ayah setiap hari. Terima kasih atas pengertiannya.”
Nathan berdiri dari kursinya, meraih jaketnya dan menghela napas dalam-dalam. “Aku akan berangkat sekarang, Ayah,” katanya dengan suara tegas namun penuh emosi.
Ronny berdiri dan mendekat, memeluk Nathan dengan lembut. “Hati-hati di jalan. Dan ingat, hubungi ayah setiap hari. Ayah ingin tahu bagaimana kabarmu,” ujar Ronny, suaranya serak.
Nathan mengangguk, merasa berat meninggalkan rumah dan keluarganya dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Dengan langkah berat, Nathan meninggalkan rumahnya. Ia melangkah keluar, menghirup udara pagi yang segar namun dingin, dan menunggu ojeg yang melintas di depan rumah. Setelah beberapa menit menunggu, sebuah ojek berhenti di depannya. Nathan menaiki sepeda motor ojek tersebut. Nathan memulai perjalanan panjang menuju bandara. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh pesan Prabu Brajamusti dan kebingungan mengenai Maya.
Setibanya di bandara, Nathan menuju ke loket tiket untuk membeli tiket penerbangan ke Jakarta. Setelah mendapatkan tiket, ia segera menuju ke meja check-in. Proses check-in berjalan lancar meskipun suasana di bandara cukup ramai. Nathan menerima boarding pass dan melanjutkan ke area keberangkatan dengan hanya membawa dirinya dan niat yang teguh.
Setelah melewati pemeriksaan keamanan, Nathan menunggu di ruang tunggu bandara. Ketika waktu penerbangannya tiba, ia memasuki pesawat dan menemukan kursinya. Penerbangan menuju Jakarta berlangsung beberapa jam, di mana Nathan sesekali menatap pemandangan dari jendela sambil merenung. Akhirnya, pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, dan Nathan segera menuju ke area kedatangan.
Setelah keluar dari bandara, Nathan naik taksi menuju area perumahan mewah tempat rumah Maya berada. Perjalanan melalui jalan-jalan Jakarta yang padat terasa cukup lama, tetapi akhirnya taksi berhenti di depan gerbang rumah. Rumah Maya tampak megah, dikelilingi pagar tinggi dan gerbang besar yang menjulang. Nathan membayar tarif taksi dan keluar dari kendaraan. Dengan langkah yakin, ia berjalan menuju gerbang. Setelah menekan bel, ia disambut oleh seorang security yang membukakan pintu gerbang.
Nathan melanjutkan perjalanannya melewati jalan setapak yang dikelilingi taman-taman terawat menuju gedung utama. Setiap langkahnya terasa akrab, mengingat dua minggu terakhir ia telah tinggal di rumah ini. Ketika tiba di depan pintu utama, Nathan membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah. Di dalam, suasana rumah yang familiar menyambutnya, memberikan rasa nyaman dan seolah kembali ke tempat yang sudah dianggap rumah kedua.
Nathan berdiri sejenak, mengamati setiap sudut ruangan tempat dia berpijak. Pikirannya berputar, mencoba memutuskan dari mana ia harus memulai pencarian untuk menemukan kebenaran tentang Maya. Tiba-tiba, ruang kerja Maya terlintas di benaknya. Ia merasa yakin, di sanalah tempat yang paling mungkin menyimpan petunjuk penting.
Tanpa berpikir panjang, Nathan melangkah cepat menuju ruang kerja yang ada di ujung lorong. Setibanya di depan pintu, ia mencoba memutar gagang pintu, namun terkunci rapat. Rasa kecewa muncul, tapi ia tahu tak bisa berhenti di situ. Nathan kembali ke ruang depan, lalu memutuskan untuk naik ke lantai dua, menuju kamar tidur Maya.
Nathan melangkah menaiki tangga menuju lantai dua. Setibanya di lantai atas, dia berjalan menuju kamar tidur Maya. Berbeda dengan ruang kerja yang terkunci, pintu kamar itu terbuka sedikit. Nathan berhenti sejenak di depan pintu, lalu dengan pelan mendorongnya hingga terbuka sepenuhnya.
Pemuda itu memasuki kamar yang luas dan tertata rapi, aroma khas parfum ibunya samar-samar tercium. Pandangannya menyapu setiap sudut ruangan. Hiasan-hiasan mewah, lemari besar, dan meja hias dengan berbagai pernak-pernik tertata di atasnya. Sesuatu di meja itu menarik perhatian Nathan, sebuah bingkai foto berwarna keemasan. Nathan melangkah mendekat, mengangkat bingkai itu, lalu melihat foto yang ada di dalamnya. Di dalam foto, Maya tampak tersenyum, diapit oleh dua wanita cantik yang terlihat berusia sekitar awal empat puluhan, namun wajah mereka asing bagi Nathan.
“Oh… Maaf, Tuan Muda…” tiba-tiba terdengar suara seorang pembantu rumah tangga dari ambang pintu. Nathan cukup tersentak juga. Pembantu itu terlihat terkejut melihat Nathan berada di kamar Maya.
Nathan menatapnya sejenak, merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul. “Tidak apa-apa,” jawab Nathan dengan tenang, mencoba mengendalikan situasi. Pembantu itu masih tampak gugup, berdiri ragu-ragu di dekat pintu seolah menunggu instruksi lebih lanjut.
Nathan tiba-tiba teringat sesuatu. Ide muncul di kepalanya. “Kemarilah! Ada yang ingin saya tanyakan,” ujarnya sambil mengangkat bingkai foto ke arah pembantu itu.
Pembantu rumah tangga itu mendekat dengan sedikit ragu, terlihat jelas dia merasa canggung. Setelah sampai di dekat Nathan, pemuda itu kemudian menunjuk foto tersebut. “Siapa mereka?” tanyanya dengan nada serius.
Sang pembantu melihat foto sejenak, tampak berpikir sebelum menjawab. “Mereka adalah sahabat dekat Nyonya Besar. Yang di sebelah kiri bernama Reni Kusumawardani, dan yang di sebelah kanan Andini Lucky. Keduanya artis.”
“Seberapa dekat mereka dengan Nyonya Besar?” Nathan melanjutkan pertanyaannya.
“Sangat dekat, Tuan Muda. Mereka sering bepergian bersama. Kedekatannya seperti sudah menjadi saudara,” jawab pembantu itu dengan nada meyakinkan.
“Ini Reni dan ini Andini,” ucap Nathan ingin memastikan.
“Ya Tuan Muda,” jawab sang pembantu.
“Baiklah … Lanjutkan pekerjaanmu,” kata Nathan sembari menyimpan bingkai foto di tempat semula.
“Ya, Tuan Muda,” jawab sang pembantu lagi.
Nathan tiba di kamarnya dan langsung menuju kamar mandi. Air yang segar membantu mengembalikan energinya. Setelah selesai, dia mengenakan pakaian rapi dan menatap dirinya di cermin. Ada dorongan kuat di dalam dirinya untuk mencari tahu lebih banyak tentang kedua wanita dalam foto tadi. Seperti ada yang membimbing langkahnya, Nathan merasa perlu menemui mereka. Ia yakin, pertemuan dengan sahabat-sahabat Maya bisa memberinya sedikit jawaban yang ia butuhkan dalam pencarian ini.
Setelah berpakaian rapi, Nathan memutuskan untuk mencari informasi tentang Reni Kusumawardani dan Andini Lucky. Pemuda itu duduk di depan meja, membuka komputer yang ada di kamarnya, dan mulai menelusuri nama-nama mereka di internet. Informasi tentang kedua wanita itu mudah ditemukan mengingat status mereka sebagai artis terkenal. Nathan memeriksa berita, artikel, dan media sosial untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai kehidupan mereka.
Dari pencariannya, Nathan menemukan bahwa Reni dan Andini sering terlihat bersama Maya di berbagai acara penting, menunjukkan kedekatan mereka. Ia mencatat beberapa detail yang mencuri perhatiannya. Nathan juga menemukan akun media sosial resmi Reni dan Andini. Setelah itu, ia mengirimkan pesan kepada keduanya, memperkenalkan diri sebagai anak Maya dan menyatakan keinginannya untuk bertemu. Setelah pesan terkirim, Nathan mematikan komputer dan merenungkan langkah selanjutnya yang harus diambil untuk mengungkap lebih banyak tentang latar belakang Maya.
Setelah menyelesaikan pencariannya di depan komputer, Nathan memutuskan untuk menjelajahi bagian lain dari rumah Maya yang belum sempat ia teliti. Terlintas dalam pikirannya bahwa mungkin ada sesuatu yang tersimpan di tempat yang kurang terjangkau. Ia memutuskan untuk memeriksa gudang bawah tanah yang terletak di sudut selatan rumah. Nathan menuruni tangga menuju gudang bawah tanah, sebuah area yang jarang dilihat dan tampaknya sering terabaikan. Begitu sampai di bawah, ia membuka pintu gudang dengan perlahan. Ruangan itu terasa dingin dan pengap, dengan tumpukan kotak-kotak dan barang-barang lama yang menumpuk di berbagai sudut. Cahaya dari lampu meja yang kecil di sudut ruangan memberikan penerangan yang minim.
Dengan hati-hati, Nathan mulai memeriksa barang-barang di gudang. Ia membuka beberapa kotak yang tampaknya berisi barang-barang pribadi dan dokumen. Di salah satu sudut ruangan, ia menemukan sebuah kotak yang tertutup rapat. Kotak itu terbuat dari kayu tua dan memiliki gembok kecil di depannya. Nathan merasa kotak ini mungkin menyimpan sesuatu yang penting.
Nathan memutuskan untuk menggunakan Ajian Brajamusti yang baru diperolehnya untuk membuka kotak tersebut. Dengan penuh konsentrasi, ia mengarahkan energi dari ajian tersebut ke arah gembok. Tangan kirinya menggenggam gembok, dan ia mulai mengucapkan mantra yang memfokuskan energi destruktif untuk menghancurkan pengunci tersebut. Dalam hitungan detik, terdengar suara retakan, dan gembok itu hancur menjadi serpihan kecil yang menyebar ke lantai. Nathan membuka tutup kotak dengan hati-hati, mengamati isi di dalamnya.
Di dalam kotak, Nathan menemukan kertas-kertas usang dan foto-foto lama. Nathan memeriksa kertas-kertas usang satu per satu. Semua kertas tersebut tampak lusuh dan sobek-sobek juga penuh debu, tetapi tidak ada yang memberikan informasi penting. Nathan menyisihkan kertas-kertas itu, memutuskan untuk fokus pada foto-foto di dalam kotak.
Nathan mengamati foto-foto tersebut dengan saksama. Di salah satu foto, ia melihat Maya berdiri bersama Ronny dengan seorang bayi laki-laki di gendongan Maya. Nathan memerhatikan bayi itu dengan seksama. Tidak ada keraguan dalam pikirannya, bayi tersebut adalah dirinya. Foto-foto berikutnya menampilkan Maya yang terus-menerus menggendong bayi laki-laki yang sama. Ekspresi kebahagiaan di wajah Maya sangat jelas, menunjukkan rasa cinta dan kebanggaan yang mendalam terhadap bayi tersebut. Setiap foto memperkuat kesan bahwa Maya memiliki hubungan yang sangat erat dan penuh kasih dengan bayi itu.
Nathan memeriksa setiap foto dengan seksama. Foto-foto tersebut menunjukkan Maya yang selalu menggendong bayi laki-laki dengan wajah penuh kebahagiaan. Nathan menghubungkan gambar-gambar tersebut dengan informasi dari ayahnya, yang selama ini menyatakan bahwa Maya tidak pernah peduli padanya. Kesimpulan yang muncul adalah bahwa ada ketidakcocokan antara apa yang dikatakan ayahnya dan apa yang ditunjukkan oleh foto-foto itu. Melihat kontras antara informasi ayahnya dan kebahagiaan yang terpancar dalam foto-foto, Nathan mulai meragukan kebenaran pernyataan ayahnya.
Nathan menyimpan foto-foto lama di saku celananya dengan hati-hati. Setelah itu, ia berdiri dari posisi jongkok dan memperhatikan ruangan di sekelilingnya. Nathan melihat beberapa tumpukan kertas usang yang sebelumnya ada di dalam kotak yang sama dengan foto-foto. Merasa bahwa kertas-kertas ini mungkin menyimpan informasi penting, Nathan mengambil kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celana. Ia melanjutkan untuk memeriksa sisa barang-barang di gudang dengan teliti, memastikan tidak ada detail yang terlewat. Setelah merasa puas dengan hasil pencariannya, Nathan meninggalkan gudang dan kembali ke kamarnya.
Nathan tiba di kamarnya dan segera menyimpan foto-foto serta kertas-kertas usang di lemari. Setelah itu, ia menyalakan komputer untuk memeriksa pesan-pesan di media sosial yang dikirimkan kepada Reni dan Andini. Ia tersenyum puas saat melihat balasan dari Andini, yang penuh dengan emoji cinta dan menyatakan keinginan Andini untuk bertemu. Nathan membalas pesan tersebut, meminta nomor kontak Andini untuk mengatur pertemuan. Tak lama kemudian, Andini membalas dengan memberikan nomor kontaknya, disertai lebih banyak emoji cinta. Nathan tersenyum lebar dan menyimpan nomor kontak Andini ke dalam ponselnya. Dengan penuh antusias, ia langsung menelepon Andini. Teleponnya dijawab hampir seketika oleh Andini, dengan suara ceria dan penuh semangat.
“Halo Mbak Andini, sebelumnya saya minta maaf sudah menghubungi Mbak tiba-tiba. Saya merasa tidak sopan mengirim pesan tanpa meminta izin terlebih dulu. Saya juga ingin minta maaf karena sudah lancang meminta nomor kontak Mbak,” kata Nathan sopan dan elegan.
“Aih, nggak usah minta maaf, malah aku senang banget bisa kenal kamu! Begitu aku tahu kamu anak Maya, aku langsung tertarik. Kamu itu super tampan, dan aku sangat senang bisa ngobrol langsung dengan cowok sepertimu,” jawab Andini dengan nada ceria, suaranya menggoda dan penuh semangat.
“Terima kasih atas pujian Mbak Andini. Sebenarnya, saya juga penggemar berat Mbak. Saya selalu mengikuti karya-karya Mbak,” ungkap Nathan lembut tapi bohong.
“Wow, kamu benar-benar bikin aku terpesona! Hatiku berdebar-debar dan rasanya seperti baper berat. Aku nggak bisa nunggu lagi untuk ketemu kamu. Kamu benar-benar membuat aku penasaran,” kata Andini dengan nada genit dan penuh semangat.
“Bagaimana kalau kita ketemuan?” ajak Nathan.
“Oh sungguh? Kapan? Dimana?” tanya Andini dengan nada suka cita.
“Saya akan menyesuaikan waktu luang Mbak. Saya tahu Mbak pasti sangat sibuk sebagai seorang artis,” kata Nathan, mencoba menunjukkan pengertian.
“Sebenarnya malam ini aku tidak ada jadwal, jadi aku sangat ingin bertemu malam ini. Bagaimana menurutmu?” ajak Andini dengan antusias.
“Tentu, saya akan sangat senang bisa ketemuan malam ini. Di mana kita bisa bertemu?” tanya Nathan.
“Bagaimana kalau di rumah Maya saja? Di luar, aku sering diganggu wartawan infotainment. Di rumah Maya, kita bisa lebih bebas,” usul Andini dengan percaya diri.
“Baiklah, kita ketemu di rumah Maya. Saya akan menunggu Mbak,” ujar Nathan, menyetujui rencana tersebut.
Nathan dan Andini mengobrol panjang melalui telepon, berbincang akrab dan penuh canda. Keduanya saling bertukar cerita dengan semangat, seakan mereka sudah lama saling mengenal. Percakapan mengalir dengan mudah, menciptakan kedekatan meskipun hanya melalui telepon. Setelah sekitar setengah jam, Andini mengakhiri percakapan karena harus melanjutkan syuting. Begitu telepon terputus, Nathan tersenyum puas. Namun, saat itu juga, pikirannya tiba-tiba dipenuhi oleh bayangan-bayangan mesum.
Bersambung