BAB 8
Langit malam begitu tenang. Ketenangannya bahkan sanggup menyedot semua riuh di jalanan dan membawa perasaan setiap yang menatapnya pada keheningan yang nikmat. Inilah keajaiban kosmosis yang dicitrakan dari ketinggian yang tak terukur. Nathan menunggu Andini di ruang depan yang luas. Pemuda itu berkeliling dengan langkah pelan, memperhatikan berbagai hiasan dan furnitur di ruangan itu. Setiap detail, mulai dari lukisan di dinding hingga perabotan yang elegan, tampak terawat dengan baik. Nathan mengamati dengan cermat barang-barang di sekitar, mencoba mencari sesuatu yang mungkin bisa memberikan lebih banyak informasi tentang Maya.
Maya adalah misteri yang harus Nathan pecahkan. Foto-foto yang ditemukan di gudang, serta informasi yang diperoleh, menambah lapisan pada rahasia yang mengelilingi Maya. Nathan merasa dorongan untuk memahami lebih dalam siapa sebenarnya Maya, dan mengapa ada begitu banyak rahasia yang mengelilinginya. Setiap detail yang ditemuinya semakin memperkuat tekad pemuda itu untuk mengungkap kebenaran.
Tiba-tiba, pintu besar terbuka dan seorang wanita cantik memasuki rumah bersama seorang security. Wanita itu langsung melontarkan senyum manis saat melihat Nathan. Nathan membalas senyuman tersebut dengan penuh kekaguman. Ia memandang lekat pada raut wajah wanita ini. Wanita tersebut memiliki tubuh semampai dengan tinggi sekitar 170 cm. Rambut panjangnya tergerai hingga ke bahu, menambah kesan anggun. Ia mengenakan blouse biru pucat dengan lengan panjang berenda, dipadukan dengan rok biru tua yang cukup ketat. Pinggangnya ramping dan dadanya membusung, semakin mempertegas keindahan penampilannya.
“Maaf aku terlambat …” sapa Andini sembari berjalan mendekati Nathan.
“Tidak apa-apa. Aku menunggu di rumah sendiri kok,” sahut Nathan ramah.
Keduanya kemudian bersalaman. Tangan Nathan menggenggam tangan Andini sedikit lebih lama dari yang diperlukan, dan tatapan Nathan tetap terfokus pada wajah Andini. Andini merasakan kehangatan dari genggaman tangan Nathan dan justru merasa senang dengan perhatian yang diberikan. Senyumnya semakin melebar, menunjukkan bahwa ia nyaman dan menikmati perhatian Nathan.
“Jangan begitu dong natapnya … Aku jadi malu,” ucap Andini sambil mengulum senyum.
“Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang kulihat. Ternyata Mbak jauh lebih cantik dilihat secara langsung seperti ini dibandingkan saat tampil di layar televisi. Sepertinya aku sedang melihat bulan purnama yang bersinar begitu indah menyinari bumi.”
Andini terkikik senang mendengar pujian tersebut. Dengan lembut ia memukul bahu Nathan dengan tangan kirinya dan berkata, “Belum apa-apa, kamu sudah membuat aku meleleh.”
Nathan tertawa ringan mendengar respons Andini. “Ayo, kita ke ruang tengah,” katanya sambil menarik tangan Andini menuju ruang tengah.
Nathan terus memegang tangan Andini dengan lembut saat mereka berjalan menuju ruang tengah. Andini merasakan kehangatan dari genggaman tangan Nathan, dan hatinya bergetar bahagia. Ia membiarkan tangannya tetap digenggam, merasa sangat nyaman di dekat Nathan. Sejak pertama kali melihat dan mengetahui bahwa Nathan adalah putra Maya, Andini merasa hatinya tertambat pada pemuda itu. Ketampanan Nathan membuatnya lupa akan suaminya sendiri. Andini sebenarnya telah lama mencari cara untuk mendekati Nathan. Namun, rasa canggung terhadap Maya dan jadwal kerja yang padat membuatnya ragu untuk mengambil langkah. Ketika Andini melihat undangan pertemuan dari Nathan di media sosialnya, dia merasa seolah kejatuhan bulan. Tanpa ragu, Andini menerima undangan tersebut.
Nathan dan Andini duduk di sofa panjang, posisi mereka berdekatan. Tangan Nathan masih menggenggam tangan Andini dengan erat, seolah enggan melepaskannya. Tidak ada kata-kata yang terucap saat itu, namun senyum tipis menghiasi wajah keduanya setelah mereka duduk. Andini menatap Nathan dengan mata berbinar, sementara Nathan tersenyum hangat, tatapannya tak beralih dari wajah Andini.
Nathan memulai percakapan dengan tatapan kagum. “Aku benar-benar gak pernah membayangkan bisa bertemu langsung dengan artis top seperti Mbak. Selama ini, aku cuma lihat Mbak di layar televisi dan media sosial. Tapi sekarang… Mbak jauh lebih cantik dan menawan di dunia nyata daripada di media.”
Andini tersipu malu mendengar pujian itu. “Aduh, Nathan… kamu terlalu berlebihan. Masih banyak kok artis lain yang lebih terkenal, lebih muda, dan lebih cantik dari aku.”
Nathan menggeleng sambil tersenyum. “Memang ada yang lebih muda dan lebih cantik, tapi buat aku, Mbak yang terbaik di antara mereka. Aku merasa sangat beruntung bisa ada di sini sekarang, bertemu sama wanita yang dikagumi banyak orang.”
Andini tersenyum lebih lebar, hatinya berbunga-bunga mendengar kata-kata Nathan. “Kamu benar-benar tahu cara bikin aku tersanjung, ya. Tapi serius, Nathan… aku cuma perempuan biasa. Bukan seperti yang kamu bayangkan.” Meskipun Andini mencoba merendah, jelas terlihat di matanya bahwa pujian itu membuatnya merasa sangat spesial.
Nathan tersenyum kecil, menatap Andini dengan penuh keyakinan. “Biasa? Rasanya sulit buat aku percaya itu. Mbak selalu tampil memukau di setiap kesempatan. Aku bisa bayangin betapa banyak orang yang iri padaku sekarang karena bisa duduk di sini, ngobrol langsung sama Mbak.”
Andini tertawa kecil, lalu menatap Nathan sambil menggenggam tangannya lebih erat. “Ah, Nathan… kamu memang pandai merayu, ya. Tapi sungguh, aku cuma ingin jadi diriku sendiri. Kadang, aku juga capek selalu dinilai dari apa yang orang lihat di luar.”
Nathan menatapnya lebih dalam, lalu berkata, “Itu yang bikin Mbak spesial. Mbak bukan cuma cantik, tapi Mbak juga punya sisi yang orang mungkin gak tahu. Aku senang bisa lihat sisi itu sekarang.”
Andini tersenyum, merasa tersentuh dengan perkataan Nathan. “Kamu tahu, Nathan? Dari awal aku tahu kamu, ada sesuatu yang bikin aku tertarik. Bukan karena kamu putra Maya saja, tapi lebih dari itu. Kamu punya karisma yang bikin aku nyaman… bahkan sekarang.”
Nathan merasa hangat mendengar pernyataan itu, dan tanpa ragu menjawab, “Aku juga merasa hal yang sama, Mbak. Sepertinya, ada sesuatu di antara kita yang sulit dijelaskan.”
Nathan dan Andini tertawa bersama, merasakan ikatan yang semakin erat di antara mereka. Obrolan mereka penuh kehangatan, dengan gesture mesra yang membuat keduanya tampak seperti sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta. Percakapan mengalir tanpa henti, dipenuhi lelucon yang hanya mereka pahami. Di tengah perbincangan itu, Andini mulai bercerita tentang kedekatannya dengan Maya. Dia mengatakan bahwa Maya sudah dianggap seperti kakaknya sendiri. Nathan, yang sedari tadi menanti momen ini, mulai fokus. Perbincangan tentang Maya adalah bagian utama yang ia tunggu sejak awal. Di dalam hatinya, Nathan tahu ini adalah kesempatan emas untuk menggali lebih dalam tentang Maya, sosok misterius yang selama ini mengisi pikirannya.
“Wah, jadi Mbak sangat dekat dengan Mama, ya? Pasti ada banyak hal yang membuat Mbak merasa begitu,” ujar Nathan, berusaha menggali lebih dalam tentang sosok Maya tanpa terlihat terlalu penasaran.
“Tentu saja,” Andini tersenyum, mengangguk pelan. “Maya orangnya sangat baik dan perhatian, terutama ke aku. Dia selalu memperlakukan aku seperti adik sendiri.”
Nathan mendengarkan dengan seksama, berusaha menangkap setiap detail kecil yang bisa memberinya gambaran tentang Maya.
“Tapi,” lanjut Andini sambil tersenyum tipis, “dia juga orang yang sangat perfectionis. Semua harus berjalan sesuai dengan rencananya. Kalau ada sesuatu yang nggak sesuai, dia bisa agak keras. Kadang pendapat orang lain sulit diterima kalau nggak sejalan dengan pikirannya.”
Nathan mengangkat alis, tertarik dengan informasi itu. “Egois, ya?” tanyanya hati-hati.
Andini mengangguk lagi. “Bisa dibilang begitu. Tapi semua itu karena dia ingin yang terbaik. Nggak ada yang setengah-setengah buat Maya.”
Nathan berusaha menyembunyikan kegelisahannya saat mendengar cerita Andini tentang Maya. “Jadi, Mama orangnya keras ya?” Nathan mencoba untuk tetap terdengar santai, meskipun rasa penasaran di hatinya semakin membesar.
Andini mengangguk. “Iya, keras banget, terutama kalau ada yang menentang pendapatnya. Kadang-kadang aku juga nggak berani berdebat sama dia.” Andini terkekeh, mengingat berbagai momen saat ia mengalah demi menjaga hubungan baik dengan Maya. “Tapi, di balik sikapnya yang keras itu, dia orang yang penyayang, lho.”
Nathan memperhatikan Andini dengan penuh minat. “Penyayang? Maksud Mbak?”
“Walaupun Maya nggak suka kalah, dia selalu mikirin orang-orang yang dia sayangi. Ada sisi lembut yang nggak banyak orang tahu. Kadang dia menyesal kalau terlalu keras atau kasar,” Andini berhenti sejenak, lalu menatap Nathan dengan sedikit ragu.
Andini melanjutkan, wajahnya berubah serius, “Kamu tahu nggak, suatu waktu, aku gak ingat kapan tapi yang jelas bertahun-tahun yang lalu, dia cerita soal masa lalunya. Dia pernah cerita, kalau dia selalu teringat sama anaknya yang dibawa pergi sama mantan suaminya. Waktu itu, anaknya masih bayi.”
Mata Nathan membesar. Dia menelan ludah, berusaha tenang meskipun hatinya berdebar kencang. “Anaknya?”
Andini mengangguk, kemudian menunjuk ke arah Nathan sambil tersenyum tipis. “Dan aku yakin, Nathan, kamu lah anak yang selama ini dipikirkan Maya.”
Nathan merasa terpaku. Hatinya mencelos mendengar pernyataan itu. Berbagai potongan puzzle yang selama ini ia kumpulkan mulai tersusun dalam pikirannya. Foto-foto yang menunjukkan Maya dengan dirinya penuh kasih sayang, informasi dari Andini yang menyatakan bahwa Maya selalu teringat pada anaknya yang dibawa pergi, dan pernyataan ayahnya yang mengatakan bahwa Maya tidak pernah peduli, semuanya bergejolak dalam pikiran Nathan.
Nathan mencoba menggabungkan semua informasi tersebut. Foto-foto itu menunjukkan Maya yang tampak sangat mencintai bayi yang dipeluknya, sebuah gambaran yang seolah bertolak belakang dengan klaim ayahnya. Cerita Andini tentang Maya yang masih memikirkan anaknya dan menyesali segala yang terjadi semakin menguatkan keraguannya terhadap pernyataan ayahnya.
Dengan semua potongan itu, Nathan mulai menyimpulkan bahwa pernyataan ayahnya semakin terlihat tidak sesuai dengan kenyataan. Fakta bahwa Maya sangat mencintai anaknya dan terus memikirkan sosok anak yang hilang, menunjukkan bahwa dia jauh dari gambaran seorang ibu yang tidak peduli. Di sisi lain, perintah Prabu Brajamusti untuk melindungi ibunya semakin memperjelas bahwa Maya mungkin benar-benar berharga dan penting. Kedua fakta ini mengarah pada kesimpulan bahwa pandangan ayahnya tentang Maya mungkin tidak akurat dan perlu dikaji ulang lebih mendalam.
“Kok malah ngelamun?” tanya Andini yang sukses membuat Nathan terkejut. “Nah … Sekarang malah kaget …” lanjut Andini sambil menatap heran pada Nathan.
“Oh … Aku ngelamun karena aku tidak menyangka kalau Mama seperti itu. Dia tidak pernah menunjukkan itu padaku. Dan aku terkejut karena kamu mengejutkan aku,” kata Nathan sambil merangkul bahu Andini.
“Hi hi hi … Sedang ngelamun toh …” Andini terkikik lalu melingkarkan lengannya di pinggang Nathan.
“Selama ini, aku selalu mengira Mama tidak peduli padaku,” ucap Nathan dengan nada penuh penyesalan. “Tapi setelah mendengar cerita Mbak, aku baru sadar betapa salahnya aku tentang itu. Terima kasih telah membuka mataku,” kata Nathan sambil mempererat rangkulannya di bahu Andini. Pipi mereka hampir bersentuhan, dan Nathan tidak ragu untuk memberikan ciuman lembut di pipi Andini.
Andini merasa pipinya memanas, dan dia tersenyum malu-malu, “Nathan, kamu benar-benar orang yang penuh kasih.”
Nathan tersenyum, “Aku hanya mengatakan apa yang kurasakan. Saat ini, aku merasa ada sesuatu yang istimewa. Mbak membuatku merasa begitu nyaman. Rasanya seperti Mbak adalah satu-satunya yang mengerti aku dengan baik.”
“Kamu tahu, Nathan, kamu membuatku merasa istimewa. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya,” ucap Andini sembari meletakkan kepalanya di bahu Nathan.
“Mbak memang istimewa. Aku merasa beruntung bisa berada di sampingmu,” kata Nathan dan mencium kepala Andini.
Andini mengurai pelukan lalu menatap Nathan dengan mata berbinar, merasa hatinya bergetar oleh kata-kata dan sikap Nathan. “Kamu membuatku merasa seperti aku satu-satunya di dunia ini,” katanya dengan suara lembut.
“Itu karena Mbak memang yang terbaik,” bisik Nathan sambil membalas tatapan Andini.
Nathan dan Andini saling menatap. Mata mereka bertemu dalam tatapan yang dalam, berusaha menyampaikan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Perlahan, wajah mereka mulai mendekat. Nathan merasakan aliran darahnya semakin cepat, dan Andini semakin dekat, hampir tak berjarak lagi. Dengan lembut, bibir mereka akhirnya saling menyentuh. Sentuhan itu semakin dalam, saling melumat penuh perasaan. Nathan dan Andini tenggelam dalam kehangatan ciuman mereka. Keduanya terlarut dalam momen tersebut. Birahi mereka semakin jelas terasa.
Nathan merasakan dorongan untuk lebih agresif dalam momen ini. Dengan lembut, tangannya bergerak dan menyentuh payudara Andini. Jari-jarinya merasakan bentuk dan tekstur di balik pakaian Andini, mengusap lembut. Sentuhan itu membuat Andini mendesah pelan, menandakan nikmat dari setiap gerakan tangan Nathan. Perlahan, permainan bibir mereka semakin intens. Ciuman mereka menjadi semakin penuh gairah, dengan setiap gerakan bibir saling mengikuti dan menanggapi. Tidak ada lagi batasan antara mereka, hanya ada rasa dan keinginan yang saling bertautan. Akhirnya, Nathan melepaskan ciuman dan remasannya. Dia mundur sedikit, memberikan ruang di antara mereka, meskipun gelora birahi masih terasa kuat. Keduanya terengah-engah, berusaha menenangkan diri setelah momen yang sangat intim itu.
“Maafkan aku, Mbak … Aku tak bisa menahan pesona Mbak,” ucap Nathan sembari menatap sayu mata Andini.
Andini tersenyum dan menjawab, “Tidak perlu minta maaf, Nathan. Aku juga menikmatinya.”
Mendengar itu, Nathan tersenyum, rasa lega dan kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Dengan suara pelan ia berkata, “Kalau begitu, mari kita lanjutkan di kamarku.”
Andini membalas dengan anggukan lembut, dan senyuman manis menghiasi wajahnya. Mendapat respon positif seperti itu, Nathan berdiri lalu memegang tangan Andini dengan lembut dan membimbingnya menuju tangga di sudut ruangan. Mereka menaiki anak tangga satu per satu menuju lantai dua rumah. Langkah mereka ringan, dan suasana di sekitar mereka terasa tenang. Sesampainya di lantai dua, Nathan membuka pintu kamar tidur yang terletak di ujung lorong. Dia melambaikan tangan untuk mengundang Andini masuk terlebih dahulu. Ketika Andini melangkah ke dalam kamar, Nathan mengikuti, memastikan pintu tertutup di belakang mereka. Di dalam kamar, suasananya nyaman dengan pencahayaan terang benderang dari lampu neon LED yang menempel di langit-langit kamar, memancarkan cahaya hangat. Nathan menatap Andini dengan penuh perhatian, memastikan bahwa dia merasa nyaman sebelum memulai apa yang telah mereka rencanakan.
Nathan menatap Andini dengan penuh perhatian, memastikan wanita itu merasa nyaman dan siap untuk langkah selanjutnya. Dengan gerakan lembut dan penuh perhatian, Nathan mulai melepaskan pakaian Andini satu per satu. Andini membalas dengan cara yang sama, menanggalkan pakaian Nathan dengan hati-hati. Ketika keduanya telah tanpa busana, mereka bergerak menuju tempat tidur yang terletak di tengah kamar. Nathan membantu Andini agar nyaman di atas tempat tidur, dan keduanya mengatur posisi dengan lembut.
Nathan merangkak perlahan ke atas tubuh Andini yang telanjang. Andini melebarkan kakinya untuk memberi ruang dan kenyamanan bagi Nathan di atasnya. Kening Nathan bersentuhan lembut dengan kening Andini, dan kedua mata mereka saling bertatap.
Nathan menatap Andini dalam-dalam, suaranya lembut dan penuh rasa, “Mbak … Aku benar-benar merasa seperti kita sudah saling memahami dan saling membutuhkan.”
Andini membalas tatapan Nathan dengan senyuman lembut, “Aku juga merasa begitu, Nathan. Aku sangat membutuhkanmu.”
Nathan menyentuh pipi Andini dengan lembut, “Aku ingin memastikan kalau Mbak merasa nyaman dan bahagia di sini.”
Andini merangkul tubuh Nathan, “Kamu sudah membuatku merasa sangat nyaman dan bahagia.”
Nathan tersenyum, “Mari kita teruskan dan nikmati bersama.”
Andini mengangguk, “Aku siap, Nathan.”
Nathan kembali menempelkan bibirnya pada bibir Andini, merasakan kehangatan dan kelembutan kulitnya. Ciuman itu dimulai dengan lembut, penuh perhatian, seakan menyelami kedalaman emosi mereka. Bibir Nathan bergerak perlahan, mengikuti ritme napas Andini. Dia menyelipkan tangannya di belakang leher Andini, menariknya lebih dekat. Ciuman mereka semakin dalam, semakin bersemangat, dan menyatukan mereka dalam momen penuh gairah dan keintiman.
Nathan mulai menggesekkan penisnya dengan lembut di lipatan vagina Andini, bergerak dengan penuh penghayatan untuk merangsang dan menstimulasi kesiapan Andini. Gerakan lembut dan teratur dari penis Nathan menciptakan sensasi yang intens, meningkatkan gairah di antara mereka. Pemuda itu melakukannya dengan penuh kelembutan, memastikan setiap gesekan dan tekanan mengundang reaksi yang diinginkan. Andini semakin terbuai, membuat wanita itu semakin siap untuk momen selanjutnya.
Birahi mereka semakin lama semakin meningkat. Setiap sentuhan dan gesekan semakin membangkitkan gairah di antara kedua insan, menciptakan hasrat bercinta yang kian membara. Nafas mereka menjadi lebih berat dan cepat, sementara tubuh mereka saling mendekat dan bergetar. Rasa panas semakin menyelimuti mereka, memicu keinginan yang mendalam dan tak tertahan.
Nathan dengan hati-hati mengarahkan penisnya, mencari posisi yang tepat. Setelah beberapa saat, dia akhirnya menemukan titik yang sesuai. Dengan perlahan, Nathan mulai memberikan tekanan lembut, memasukkan penisnya ke dalam lorong cinta Andini. Sensasi lembab dan hangat menyambutnya, Nathan menambah kedalaman dan kekuatan dorongannya. Setiap inci dari pergerakan ini membuat keduanya merasakan semakin dalam koneksi fisik dan emosional. Andini merespons dengan desahan, sementara Nathan tetap bergerak pelan, memastikan proses berlangsung dengan penuh perhatian terhadap kenyamanan Andini.
“Ooooohhhh ….” Andini mendesah.
Nathan merasakan dirinya tenggelam dalam lubang yang panas, basah dan berdenyut. Merasakan ujung penisnya membentur dinding halus nan licin bagai sutra dilapisi cairan khusus. Sejenak pemuda itu diam saja menikmati sensasi luar biasa di sepanjang penisnya. Denyutan-denyutan kecil terasa di penis Nathan setelah tenggelam seluruhnya dalam vagina Andini. Setiap gerakan halusnya menimbulkan getaran lembut yang meresap ke dalam jaringan sensitif di sekitar penisnya.
Sensasi ini bukan hanya dirasakan oleh Nathan, tetapi juga oleh Andini, yang merespons dengan rasa nikmat dari tubuhnya sendiri. Andini mengerang, mendesah dan merengkuh tubuh Nathan erat-erat. Kedua kakinya membentang seluas mungkin lalu naik memeluk pinggang Nathan, mengunci tubuh mereka dalam sebuah persatuan yang menggairahkan. Sejenak mereka diam saja, saling memeluk dan berciuman mesra. Nathan pun merasa nikmat tertelungkup di atas hamparan lembut kenyal dada Andini.
“Begini aja, yuk!” desah Andini sambil menciumi muka Nathan penuh kemesraan. Ia senang sekali tertancap menjadi satu seperti ini.
“Cuma diam begini?” tanya Nathan dengan nada lucu sambil membalas ciuman Andini.
Andini tertawa kecil di tengah nafasnya yang memburu, “Boleh gerak, dikiit……” bisiknya manja.
“Seperti ini?” tanya Nathan sambil mulai menggerakkan pinggulnya memutar-mutar perlahan.
“Mmhh……” Andini menjawab dengan erangan. “Aduh ini, sih, terlalu sedikit,” pikirnya menyesal mengatakan “dikit” tadi.
“Atau begini?” tanya Nathan sambil menaik turunkan pinggulnya pelan-pelan.
“Aaahh…” Andini mendesah dengan nafas semakin memburu, “Dua-duanya, Yang… Oooh… Aku suka dua-duanya, Yang!”
Nathan tersenyum dan dengan gemas mencium mulut Andini, membungkam si ceriwis yang menggairahkan itu. Segera pula Nathan mengerjakan ‘dua-duanya’, yakni menaik turunkan pinggulnya sambil memutar-mutar. Tetap dengan gerak lambat namun mantap. Penisnya dengan perkasa menyeruak masuk ke liang cinta Andini yang kini sudah terbuka pasrah dan basah. Lancar sekali otot pejalnya itu menerobos, menimbulkan suara-suara seksi berkecipak ramai.
“Aaahh… Ngg…” Andini mengerang tidak karuan sambil megap-megap dan memejamkan matanya, berkonsentrasi menikmati hunjaman Nathan yang perkasa. Nathan melepaskan ciumannya, karena Andini seperti ingin bicara. Lalu terdengar wanita itu mendesah penuh permohonan yang manja, “Boleh lebih cepat… Ooooh… Yang… aku mau, Yang… Aaah…!”
“Pura-pura tidak mau, tahu-tahu paling mau!” umpat Nathan dalam hati sambil menahan tawanya.
Nathan mempercepat hunjaman dan tikaman kejantanannya. Andini mengerang-erang sambil mencengkram pinggang Nathan, ikut membantu menaikturunkan tubuh Nathan. Padahal pemuda itu tak perlu bantuan, tetapi mungkin dengan berpegangan ke pinggang seperti itu, Andini bisa memastikan bahwa Nathan tidak akan berhenti!
Andini menikmati setiap gerakan Nathan, sementara kedua tangannya kini melingkari tubuh pemuda itu dengan erat, menariknya lebih dekat. Andini semakin lama makin menikmati persetubuhan ini. Tanpa sadar dia mulai mengimbangi gerakan Nathan. Kedua insan itu tenggelam dalam keintiman, saling mendesah dan mengerang pelan, menyatu dalam ritme yang mereka ciptakan bersama. Sentuhan demi sentuhan, setiap gerakan terasa penuh gairah, menghadirkan gelombang kenikmatan yang mengalir melalui tubuh mereka. Perasaan itu begitu dalam, menggelora, membungkus mereka dalam gelombang yang semakin kuat dengan setiap detik yang berlalu. Pikiran dan kesadaran mereka perlahan memudar, digantikan oleh sensasi yang meluap, memenuhi setiap inci tubuh.
“Ooohh … Aaaahh … Aaaahh … Sssshh … Aaaaahh …”
“Apakah Mbak menyukainya?” tanya Nathan semenggoda mungkin.
“Y…yaa … Iya … Ini sangat nikmat … Ooohh …aaaahhh …” jawab Andini sambil menikmati rasa yang diberikan Nathan.
Setelah kira-kira tiga lusin kali mengayuh, Nathan merasakan liang kewanitaan Andini menyempit dan mencekal erat. Itu pertanda awal orgasmenya. Andini pun sudah mengerang-erang semakin keras dan menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Nathan mengerti tanda-tanda ini sepenuhnya. Maka ia mempercepat dan memperkeras gerakannya. Bahkan kadang-kadang ia menghentak dan menghunjam dengan gerakan kasar, membuat kasur bergerak dan bergelombang. Tetapi justru itu membuat Andini tambah keenakan, dan setelah enam-tujuh kali “dikasari” seperti itu, wanita ini mencapai puncak birahinya.
“Ooooohh…” ia mengerang panjang, lalu berteriak pendek-pendek, “Ah… Aah… Aah… Aaahh…!” Nathan menghunjam dalam-dalam, lalu memutar dan menekannya dengan sekuat tenaga. “Ooooohhh … Aaaaaaahhhh…!” Andini menjerit keras, meregang dan melentingkan tubuhnya, lalu terhempas kembali ke bawah sambil bergetar kuat seperti orang yang kena hukuman di kursi listrik.
Kasur bergelombang ramai dan Nathan menghujami tubuh Andini kuat-kuat. Bagi Andini, orgasme itu sangat dahsyat. Seluruh tubuhnya ikut tersaput ledakan-ledakan kenikmatan yang bermuara di kedua pangkal pahanya. Dari lembah basah yang tersumpal batang liat dan pejal itulah sumber datangnya gelombang besar yang melanda seluruh tubuhnya. Andini seperti merasa berenang terapung dan terombang-ambing dalam lautan nikmat yang merasuk ke seluruh pori-pori tubuhnya. Beberapa menit kesadarannya menghilang dan tubuhnya lepas dari kendali, bergerak-gerak liar ke segala arah.
Setelah beberapa saat menggelepar dan meregang menikmati orgasmenya, Andini berhasil menguasai diri, lalu mendesah dengan suara letih, “Aduuh… Gila kamu, Yang… Bikin aku ketagihan.”
Nathan tertawa kecil sambil menggigit dagu Andini, “Ini mau protes atau mau bilang terima kasih?” tanyanya.
Andini tak menjawab, melainkan meraih leher Nathan, menciumi mulut pria yang mulai dicintainya itu. Mereka saling mengulum dan menggigit gemas. Andini menumpahkan seluruh perasaannya lewat ciuman itu. Ia ingin berterima kasih, ia ingin memuji, ia ingin memuja, ia ingin menyatakan cinta. Pemuda ini membuatnya lebih hidup dari sekedar hidup, lebih bernafas daripada sekedar bernafas. Pemuda ini mengisi dunianya dengan gairah baru.
Lalu, di tengah ciuman yang bergelora itu, mereka mulai bergerak lagi. Nathan mulai mengayuh lagi, mulai memicu kembali gairah Andini yang belum sepenuhnya reda. Tak berapa lama kemudian mereka sudah tak sanggup lagi berkata-kata. Nafas keduanya memburu dan saling bersusulan, disertai erangan dan desahan yang tidak beraturan. Bantal-bantal berserakan tertendang atau terdorong oleh gerakan-gerakan mereka yang semakin liar. Keringat mulai membanjiri tubuh mereka. Tubuh bagian bawah, terutama dari pinggang ke bawah, tampak paling basah, berkilat-kilat seperti dilapisi lilin dan minyak.
Lalu Andini mencapai orgasmenya yang kedua tanpa bisa ditahan lagi. Wanita itu menggelepar dan mengerang-erang sambil memejamkan matanya erat-erat. Wajahnya tampak berkonsentrasi dan merona merah mempesona. Mulutnya terbuka dan nafasnya keluar dalam hempasan-hempasan pendek. Nathan terus bergerak karena ia juga sudah mencapai tahap akhir pendakian asmara ini. Ia tidak berhenti walau tampaknya Andini telah kewalahan menahan rasa geli yang memuncak. Wanita itu berusaha memperlambat gerakan Nathan, tetapi ia juga tak berdaya karena setengah dari tubuhnya ingin tetap menikmati hunjaman-hunjaman Nathan. Akhirnya ia menyerah saja, menggeletak dan meregang-regang terus menikmati orgasmenya yang sambung-menyambung.
Lalu Nathan mencapai puncak birahinya. Pemuda itu menggeram dan mengerang keras. Seluruh otot di tubuhnya meregang seakan beramai-ramai mendorong keluar cairan cinta dari pinggangnya ke penisnya. Lalu sejenak ia terdiam, menanamkan dalam-dalam penisnya di liang cinta Andini, dalam sekali, sampai melesak ke pangkalnya, sampai menyentuh langit-langit terdalam kewanitaan Andini. Andini menguakkan kedua pahanya seluas mungkin, merasakan kejantanan Nathan seperti membesar sepuluh kali lipat, sebelum akhirnya batang keras itu melonjak-lonjak liar dan menyemprotkan cairan-cairan kental panas. Kewanitaan Andini seperti sebuah ladang kering yang tersiram hujan yang dinanti-nanti sejak lama.
“Kamu luar biasa, sayang… Kamu benar-benar pintar membahagiakan wanita,” puji Andini sambil tersenyum manis, terbaring di atas kasur setelah Nathan turun dari tubuhnya.
“Senang Mbak suka. Aku cuma mengikuti insting,” Nathan tersenyum, lalu berbaring di samping Andini.
“Hi hi hi … Instingmu hebat juga, ya,” Andini tertawa kecil sambil bergerak menindih tubuh Nathan.
“Itu bakat alamiku,” Nathan mengangkat alis, menggoda.
“Ck.. ck.. ck.. Pede banget!” Andini mencubit lembut pipi Nathan.
“Ha ha ha … Kan, kamu yang bilang, kalau aku pandai membahagiakan wanita,” Nathan tertawa ringan.
“Aku sih nggak bohong. Rasanya tadi benar-benar luar biasa,” jujur Andini.
“Aku juga menikmatinya, Mbak,” Nathan menatap wajah Andini sambil tersenyum santai.
“Syukurlah, aku puas banget malam ini,” Andini tersenyum kecil, mengusap pipi Nathan.
Nathan dan Andini menghabiskan beberapa menit untuk berbincang-bincang ringan. Andini yang masih terbaring di kasur akhirnya mengatakan kalau dia harus pulang. Suaminya sudah menunggu di rumah, dan esok hari akan sangat melelahkan baginya. Mereka lalu berdiri dan mulai berpakaian. Andini dengan cepat mengenakan pakaian dan sedikit berdandan agar tampil rapi. Setelah itu, mereka meninggalkan kamar dan berjalan menuju lantai satu.
Nathan mengantarkan Andini hingga ke pintu depan rumah. Mereka berdiri sejenak di depan pintu sambil berbincang, sebelum Andini masuk ke dalam mobilnya. Nathan melambaikan tangan saat mobil Andini mulai bergerak dan perlahan menghilang dari pandangan. Setelah Andini pergi, Nathan kembali masuk ke dalam rumah dan menuju ruang tengah. Dia duduk di sofa, menyalakan televisi, dan mulai menonton berita yang tayang di layar.
Berita nasional akhir-akhir ini diwarnai pemberitaan tentang protes keras kalangan tertentu terhadap oligarki. Isu ini muncul sebagai respon terhadap dugaan bahwa kekuasaan politik dan ekonomi di negeri ini semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elit, yang memanfaatkan kekayaan dan pengaruh mereka untuk mengendalikan kebijakan publik demi keuntungan pribadi.
Para pengkritik oligarki menilai bahwa sistem politik yang ada semakin menjauh dari prinsip demokrasi sejati, di mana kekuasaan seharusnya berada di tangan rakyat. Mereka menuduh bahwa para oligarki menggunakan kekuatan finansial mereka untuk mempengaruhi keputusan pemerintah, termasuk dalam proses legislasi, pemilihan pejabat publik, hingga pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan kepentingan segelintir pihak, sementara rakyat banyak tidak merasakan manfaat yang setara.
Nathan mengerutkan kening saat narasumber dalam acara talk show menyebut nama Maya Magdalena sebagai oligarki terbesar di negeri ini. Nathan tahu bahwa ibunya adalah seorang pengusaha sukses. Namun, ia tak pernah menyangka kalau ibunya memiliki dominasi yang begitu kuat hingga mampu memengaruhi kebijakan negara untuk kepentingannya sendiri. Wajar jika ada yang mendukungnya, tetapi tidak sedikit pula yang merasa dirugikan oleh pengaruh besar yang ia miliki.
Nathan teringat kata-kata Prabu Brajamusti yang berpesan agar Nathan selalu melindungi ibunya. Saat itu, Nathan tidak terlalu mengerti apa maksud dari pesan tersebut. Namun, setelah mendengar bagaimana pengaruh Maya dibahas secara terang-terangan, Nathan mulai menyadari bahwa mungkin inilah yang dimaksud Prabu Brajamusti. Ancaman terhadap ibunya tidak hanya datang dari pesaing bisnis, tetapi juga dari pihak-pihak yang merasa terganggu oleh kekuasaannya.
Tiba-tiba, ponsel pintar milik Nathan di atas meja bergetar dan mengeluarkan suara notifikasi. Nathan, yang sedang termenung, meraih ponselnya dengan cepat. Layar menampilkan pesan Whatsapp dari nomor yang tidak dikenal. Seketika, rasa ingin tahunya tumbuh.
Nathan membuka pesan itu. Kalimat-kalimatnya jelas dan tegas, membuatnya langsung merasa tidak nyaman. “Ibumu tahu kalau kamu pergi menemui ayahmu di Pontianak. Ibumu marah dan kecewa tetapi beliau segan menegurmu. Aku sebagai asisten pribadinya merasa perlu memperingati kamu untuk tidak membuat marah dan kecewa ibumu. Harap jangan diulangi perbuatan konyol itu.”
Rasa kesal segera menyelimuti Nathan. Pesan itu jelas berasal dari Denis, asisten pribadi yang selama ini membuatnya tidak nyaman. Kedekatan Denis dengan ibunya selalu menjadi sumber kerisihan bagi Nathan. Ia merasa tersaingi, seolah-olah ibunya lebih mempercayai Denis daripada dirinya sendiri. Bukan hanya sikap Denis yang suka mencampuri urusan orang lain, tetapi juga perlakuan istimewa ibunya terhadap Denis yang membuat Nathan semakin jengkel. Kali ini, Nathan yakin Denis telah melewati batas.
Nathan mengetik balasan dengan cepat. “Denis, kamu tidak perlu mengatur hidupku. Aku punya hak penuh untuk menemui ayahku di Pontianak. Itu urusan pribadiku, bukan urusanmu, bahkan bukan urusan ibuku. Tidak ada satu orang pun yang bisa mengganggu hak itu, termasuk ibuku sendiri. Dan untukmu, aku harap mulai sekarang kamu tahu batas. Bersikaplah sopan, karena bagaimanapun, aku adalah anak dari pimpinanmu.”
Tak lama kemudian, ponsel Nathan kembali bergetar. Balasan dari Denis muncul dengan nada yang semakin menusuk. “Kamu memang keras kepala, Nathan. Aku bisa mengambil tindakan terhadap siapa pun di lingkungan ini yang tidak tunduk pada pimpinan. Tidak terkecuali dirimu, meskipun kamu anaknya.”
Nathan tersenyum sinis sambil membaca pesan itu. Dalam pikirannya, Denis tidak lebih dari seorang penjilat yang terlalu percaya diri. Dengan tangan mantap, Nathan membalas, “Kalau kamu pikir bisa menindakku, coba saja. Aku tidak akan pernah tunduk pada orang sepertimu. Jika ada yang perlu diatur di sini, itu bukan aku. Jangan pernah mengira posisimu memberimu hak untuk memperlakukan aku seenaknya.”
Pesan itu dikirim dengan cepat, dan sejurus kemudian balasan Denis datang, lebih tegas daripada sebelumnya. “Kamu akan segera merasakan konsekuensi atas sikap keras kepalamu. Ingat baik-baik, Nathan. Tidak ada yang lolos dari pembangkangan di bawah kekuasaan Maya, termasuk kamu.”
Nathan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam. Ucapan Denis tak membuatnya gentar. Sebaliknya, itu hanya memperkuat tekad Nathan untuk menantang otoritas yang dirasa tak adil, termasuk Denis dan ibunya. Nathan muak dengan sikap otoriter Denis, yang tampak merasa berhak mengatur segala hal, seolah-olah seluruh hidup Nathan berada di bawah kendalinya. Maya dan Denis mungkin memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan cara yang sama – mengendalikan, memerintah – tetapi Nathan tidak akan membiarkan itu berlaku untuk dirinya.
Sekarang, Nathan memiliki sesuatu yang membuatnya tak perlu tunduk lagi. Ajian Brajamusti, warisan leluhurnya memberinya kekuatan yang tak bisa diremehkan oleh siapa pun, bahkan oleh ibunya. Dengan ajian itu, Nathan yakin ia mampu menjaga harga dirinya dan melindungi dirinya dari ancaman siapa pun. Kekuatan yang ia miliki sekarang membuatnya tidak perlu takut lagi, tidak pada Maya, tidak pada Denis, atau siapa pun yang mencoba menguasainya.
Pintu ruang tempat Nathan berada terbuka dengan tiba-tiba. Dua pria berbadan kekar melangkah masuk. Bahu mereka lebar, otot-otot tampak menonjol di balik pakaian ketat yang dikenakan. Wajah mereka keras, rahang tegas, dan tatapan mata menunjukkan kebengisan. Tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka berdiri di hadapan Nathan, memberikan tekanan tanpa perlu banyak bicara. Sikap mereka saja sudah cukup untuk menimbulkan ketegangan di ruangan itu.
Nathan menatap mereka dengan tenang, tapi pikirannya mulai berpacu. Benarkah ibunya mengirim orang-orang ini? Apakah ibunya tega menyiksa anaknya sendiri hanya karena sebuah perkara yang menurutnya sepele? Meski sulit untuk percaya, kini Nathan tahu betul sifat ibunya yang keras dan otoriter. Maya tidak pernah ragu mengambil tindakan ekstrem jika merasa ada yang mengancam kekuasaannya, bahkan terhadap keluarga sendiri.
Namun, Nathan menolak untuk tunduk pada ketakutan. Dia tetap duduk dengan tenang di kursinya, kedua tangannya terlipat di depan dada. Wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun rasa gentar. Nathan memutuskan untuk melihat seberapa jauh mereka akan bertindak. Baginya, ini adalah ujian kekuatan mental, bukan hanya fisik.
Nathan menatap kedua bodyguard yang berdiri di hadapannya. Tanpa ragu, ia mengajukan pertanyaan dengan nada dingin, “Apakah kalian disuruh Denis untuk memberikan hukuman padaku?”
Kedua bodyguard itu serempak menjawab, “Ya.”
Salah satu dari mereka melangkah sedikit maju, dengan suara berat ia berkata, “Anda sudah membangkang perintah pimpinan. Itu sebabnya hukuman ini diberikan.”
Nathan mengangkat alis, masih duduk dengan tenang. “Kalian sadar siapa aku, bukan? Aku anak dari pimpinan kalian. Seharusnya kalian hormat padaku, bukan malah bertindak seperti ini.”
Bodyguard yang sama menjawab tanpa ekspresi, “Kami hanya patuh pada perintah pimpinan. Siapa pun yang melanggar, kami tindak.”
Nathan memandangi mereka dengan pandangan tajam. “Kalian yakin ibuku akan tega melihat anaknya sendiri disiksa hanya karena masalah sepele seperti ini?”
Bodyguard itu terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku tidak punya pilihan. Pimpinan yang memberi perintah, dan aku harus mematuhinya.”
Nathan berdiri, menatap mereka dengan penuh tantangan. “Kalau begitu, silakan coba bawa aku. Tapi pastikan kalian cukup kuat untuk melakukannya, karena aku tidak akan pergi begitu saja.”
Bersambung
Wuih ..mantap lanjut !!!!!