Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 9​

Nathan berdiri dengan tenang di hadapan kedua bodyguard yang siap menjalankan hukuman. Matanya tidak lepas dari mereka. Meski ancaman ada di depan mata, Nathan sama sekali tidak menunjukkan rasa gentar. Dalam hatinya, ia ingin memperlihatkan kepada Denis, dan terlebih lagi kepada Maya, bahwa dirinya tidak bisa diremehkan. Mereka mungkin menganggap dirinya orang baru di lingkungan ini, seseorang yang bisa diperlakukan seenaknya. Namun, pemuda itu tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Kedatangannya ke dalam hidup Maya bukan tanpa tujuan, dan ia akan memastikan posisinya di tempat ini. Mereka harus memahami bahwa dirinya memiliki harga diri, sesuatu yang tidak bisa dipermainkan oleh siapa pun, tak terkecuali Maya dan orang-orang yang bekerja di bawahnya.

Nathan memperhatikan kedua bodyguard itu yang bergerak ke sisi kiri dan kanannya. Mereka tampak siap untuk menangkapnya secara paksa. Ketika kedua pria tersebut mendekat, mereka mengulurkan tangan, siap mencengkram tubuh Nathan. Dalam momen itu, Nathan dengan cepat merentangkan tangannya. Tangan kirinya menangkap pergelangan tangan bodyguard di sebelah kiri, sementara tangan kanannya meraih pergelangan tangan bodyguard di sebelah kanan.

Dengan gerakan terampil, Nathan menarik kedua pergelangan tangan tersebut ke arah tubuhnya sendiri. Lalu, ia memutar kedua pergelangan tangan itu dengan kekuatan yang cukup untuk menggeser engselnya. Gerakan itu membuat sendi pergelangan tangan bodyguard bergeser dari posisinya, menciptakan tekanan yang menyakitkan.

Jeritan kesakitan segera menggema di ruangan. Kedua bodyguard mundur dengan cepat, memegangi pergelangan tangan mereka yang kini terasa sakit akibat engsel yang bergeser. Mereka menjerit kesakitan sambil berusaha menenangkan rasa nyeri yang melanda tangan mereka.

Nathan menatap kedua bodyguard yang kini sedang merasakan kesakitan. Dengan nada tegas dan penuh tekanan, ia berkata, “Jangan sekali-sekali kalian memandang remeh diriku. Kalian sudah berlaku tidak hormat dan mencoba menindasku. Aku peringatkan, jika kalian teruskan niat ini, aku tidak segan-segan untuk memperlakukan kalian lebih kejam lagi.”

Lalu dengan nada menegur, Nathan melanjutkan, “Kalian harus tahu bahwa aku tidak akan takut ancaman kalian. Aku punya harga diri yang harus dihormati, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk kalian, menginjak-injak harga diriku.”

Dengan tatapan tajam, Nathan mengakhiri peringatannya, “Sekarang, pergi dari hadapanku. Jika kalian masih punya rasa hormat, tinggalkan ruangan ini dan jangan kembali lagi.”

Nathan duduk kembali di sofa dengan tenang, tidak menghiraukan kedua bodyguard yang masih merintih kesakitan di sudut ruangan. Ia berpura-pura menonton televisi, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Setelah beberapa saat, kedua bodyguard itu memilih untuk keluar dari ruangan dengan langkah tertatih-tatih. Nathan pun tersenyum kecil, membayangkan reaksi Denis saat mengetahui bahwa orang-orang suruhannya gagal menjalankan tugas. Ia membayangkan Denis marah besar karena kegagalan ini.

Namun, dugaannya salah. Alih-alih menunggu reaksi Denis, Nathan kedatangan seseorang yang tidak terduga. Seorang pria tinggi besar memasuki ruangan. Ia adalah kepala keamanan yang membantunya membuat drama keributan saat ulang tahun Maya dan yang menyuruh Nathan keluar dari wilayah rahasia di belakang rumah Maya. Pria itu berjalan dengan langkah tegap, tetapi wajahnya tidak menunjukkan permusuhan atau ketegangan. Kepala keamanan itu berhenti di dekat Nathan, berdiri dengan tenang dan siap untuk berbicara.

Kepala keamanan berdiri di depan Nathan dan berkata, “Tuan muda, saya di sini atas perintah ibu pimpinan. Kegagalan bodyguard yang tadi adalah hal yang tidak diinginkan. Tapi saya di sini bukan untuk membahas hal itu. Ibu pimpinan ingin memastikan bahwa semua pihak memahami posisinya.” Dia menatap Nathan dan menambahkan, “Kami perlu memastikan semuanya berjalan sesuai aturan. Saya harap tuan muda mengerti bahwa setiap tindakan harus sesuai dengan kebijakan.”

Nathan berkata tegas, “Aku merasa tidak terikat dengan kebijakan apa pun. Aku di sini bukan pegawai atau karyawan. Aku di sini sebagai anak pimpinan.”

Kepala keamanan mendengar ucapan Nathan dengan sikap tenang. Ia mengangguk sedikit, mengakui pernyataan tersebut. “Saya mengerti, Tuan Muda. Namun, bahkan dalam posisi Anda, ada prosedur yang perlu dipatuhi untuk menjaga agar segala sesuatunya tetap teratur.”

Nathan membalas dengan nada lebih tegas lagi, “Jika aku harus mematuhi prosedur, maka biarkan aku tahu apa yang harus kulakukan. Tapi aku tidak akan menerima perlakuan tidak hormat, baik dari bodyguard maupun siapapun di sini. Aku di sini sebagai anak pimpinan, dan itu harus dihargai.”

Kepala keamanan menatap Nathan sejenak, lalu berkata, “Saya akan menyampaikan pesan Anda kepada ibu pimpinan. Saya yakin akan ada klarifikasi mengenai posisi dan hak Anda dalam waktu dekat. Untuk saat ini, saya minta Anda bersabar dan menunggu instruksi lebih lanjut.”

Nathan mengangguk, menandakan bahwa ia menerima pernyataan tersebut, meskipun masih merasa tidak puas dengan situasi ini. Kepala keamanan memberi hormat singkat dan mulai meninggalkan ruangan, meninggalkan Nathan dengan perasaan tak menentu namun siap untuk apa pun yang akan datang. Nathan duduk termenung, merenungkan kejadian yang baru saja terjadi. Ia merasa aturan yang ada di sini sangat kaku dan kejam, sampai-sampai masalah pribadi diatur dan dipaksa untuk tunduk. Baginya, hak pribadi tidak boleh dicampuri oleh siapa pun, termasuk ibunya dan “si keparat Denis”. Nathan merasa perlu menjaga batasan yang adil. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk ibunya, mengabaikan atau meremehkan hak-haknya sebagai individu.

Saat Nathan asyik merenung, tiba-tiba ponsel pintarnya bergetar dan berbunyi lagi. Ia mengangkat ponsel dengan senyum sinis saat melihat pesan WhatsApp itu berasal dari Denis. Nathan membuka pesan tersebut dan hampir tertawa terpingkal-pingkal.

Pesan dari Denis berbunyi: “Nathan, aku ingin memberitahukan bahwa tindakanmu tadi telah mempermalukan aku di depan Maya. Ketika kamu menolak untuk tunduk dan malah melawan bodyguard yang aku tugaskan, itu membuatku terlihat tidak berdaya dan tidak kompeten di hadapan Maya. Maya sangat kecewa. Kamu mungkin merasa puas dengan tindakanmu, tetapi ingatlah bahwa perbuatanmu tidak hanya mempengaruhi diri sendiri, tetapi juga menciptakan masalah besar bagi kami semua. Aku harap kamu memahami konsekuensi dari tindakanmu dan siap menghadapi dampaknya.”

“Denis, aku tidak peduli jika tindakanku membuatmu malu di depan Maya. Masalah ini sebenarnya adalah tentang hakku dan batasan yang tidak boleh dilanggar. Aku tidak takut dengan ancamanmu. Lagipula, menugaskan anak buahmu untuk menghukum aku adalah cara yang salah. Jika kamu merasa malu karena kamu gagal menangani masalah ini, itu bukan urusanku. Aku akan tetap mempertahankan hak dan integritasku tanpa terpengaruh oleh ancaman atau tekanan.” Balas Nathan.

Tak lama Denis membalas, “Nathan, sikap besar kepala kamu sudah melewati batas. Kamu mungkin merasa bahwa kamu punya hak atas segalanya, tapi kamu perlu ingat bahwa posisiku di mata Maya jauh lebih penting dibandingkan denganmu yang hanya hidup menumpang tanpa kontribusi nyata. Jika kamu terus bersikap seperti ini, kamu akan segera merasakan betapa beratnya konsekuensi dari tindakanmu. Aku tidak akan membiarkan kamu terus-menerus menantang kami tanpa membayar harganya. Jangan anggap remeh peringatan ini.”

“Denis, aku ingin mengingatkanmu tentang kesalahan-kesalahanmu. Pertama, kamu salah besar ketika menugaskan anak buahmu untuk menghukum aku. Itu adalah langkah yang salah dan menunjukkan betapa kamu tidak memahami situasi pribadi ini. Kedua, kamu mengatakan bahwa sikapku menantangmu, padahal kamu lah yang memulai semua ini dengan ancaman dan tekanan. Jangan lupa, kamu yang menciptakan ketegangan ini. Jadi, jika ada yang merasa terancam atau tersinggung, itu adalah akibat dari tindakanmu sendiri.” Balas Nathan.

Tak lama Denis membalas, “Nathan, kamu benar-benar membuatku kesal! Kesalahan pertama adalah menugaskan anak buahku untuk menghukummu, tetapi itu adalah respons dari sikapmu yang terus-menerus menantang. Kesalahan kedua adalah karena kamu terus-menerus menganggap remeh apa yang aku lakukan. Kamu yang memulai semua ini dengan sikapmu yang tidak menghargai. Kalau kamu tidak bisa menghormati peraturan, siap-siap menghadapi akibatnya. Jangan coba-coba menyalahkan orang lain untuk tindakan yang kamu buat sendiri!”

“Denis, kau benar-benar bodoh. Kau tidak layak jadi asisten pribadi Maya jika hanya bisa membuat keputusan yang salah dan kemudian menyalahkan orang lain. Tindakanmu menunjukkan betapa tidak kompetennya dirimu. Jangan sekali lagi mencoba memproyeksikan kesalahanmu padaku. Kalau kau tidak bisa menangani tugasmu dengan baik, mungkin sudah saatnya kau mundur dari posisimu dan berhenti mencampuri urusanku.” Balas Nathan.

Setelah perdebatan panjang melalui pesan, suasana di sekitar Nathan menjadi senyap. Selama sekitar dua puluh menit, tidak ada lagi balasan dari Denis. Nathan merasa puas setelah mengolok-olok Denis. Dia merasa bahwa tindakannya sudah memberi pelajaran yang diperlukan. Ketika Nathan mematikan televisi dan memutuskan untuk beristirahat di kamarnya, tiba-tiba ponselnya berdering, menandakan ada panggilan masuk. Nathan melihat layar ponsel dan melihat bahwa panggilan itu berasal dari Maya.

“Hallo …” Nathan memulai pembicaraan dan tahu kemana arah pembicaraan ini.

“Bagaimana bisa kamu begitu tidak hormat padanya? Denis adalah salah satu orang yang paling aku percayai di sini,” kata Maya dengan nada marah.

Nathan menjawab dengan tegas, “Maya, aku tidak merasa perlu menghormati Denis. Dia menunjukkan kebodohan dengan melemparkan kesalahannya sendiri kepada orang lain. Orang seperti itu tidak layak dihormati. Denis jelas tidak gentle.”

Kemarahan Maya meningkat saat ia mendengar ucapan Nathan. Suaranya semakin meninggi. “Nathan, kamu tidak berhak merendahkan Denis seperti itu. Dia adalah orang yang paling aku percayai dan selalu membantuku. Perkataanmu sangat tidak pantas.”

Nathan, merasa perlu memahami alasan di balik pembelaan Maya, dan bertanya, “Kenapa kamu begitu mati-matian membela Denis? Apa yang membuatmu begitu bersemangat melindungi seseorang yang menurutku tidak kompeten?”

Maya menjawab dengan tegas, “Denis adalah orang yang paling aku percayai. Dia telah mendukung dan membantu aku dalam banyak hal. Kontribusinya sangat penting bagi urusanku, dan aku tidak akan membiarkan seseorang meremehkan orang yang telah banyak berkontribusi untukku.”

“Termasuk aku … Anakmu sendiri?” tanya Nathan mulai sewot.

Maya menjawab dengan nada dingin, “Nathan, kamu perlu memahami posisi kamu di sini. Denis adalah orang yang sangat penting bagi aku, dan peranannya dalam hidupku jauh lebih besar daripada apa yang kamu bisa bayangkan. Tidak ada alasan untuk membandingkan dirimu dengan Denis.”

Nathan merasa semakin tersinggung dan suara kemarahannya mulai terdengar, “Jadi, menurutmu, aku tidak lebih penting dari Denis? Aku adalah anakmu, Maya. Aku seharusnya mendapatkan penghargaan dan perhatian yang sama, bukan hanya diabaikan dan dianggap tidak penting.”

Maya tetap bersikap dingin, “Nathan, faktanya adalah kamu belum ada apa-apanya dibandingkan Denis. Kamu baru saja datang ke lingkungan ini dan tidak memiliki kontribusi apa pun. Kamu harus menyadari tempatmu dan berhenti berharap lebih dari yang seharusnya.”

Pernyataan Maya membuat Nathan merasa sangat terhina. “Bukan apa-apa?” tanyanya dengan nada sinis. “Jadi aku benar-benar dianggap tidak berarti di sini? Aku anakmu, dan kau malah mengatakan aku bukan apa-apa?”

Maya tetap teguh dengan sikapnya, “Kamu mungkin anakku, tetapi itu tidak membuatmu lebih penting daripada Denis. Setiap orang di sini memiliki perannya masing-masing, dan saat ini, kamu belum menunjukkan bahwa kamu layak mendapatkan perhatian lebih. Kamu harus memahami hal itu.”

“Bahkan kamu membiarkan Denis memerintahkan anak buahnya untuk menghukumku? Sampai sebegitunya aku dianggap bukan apa-apa olehmu?” kemarahan Nathan meluap dengan suaranya yang melengkikng tinggi.

Maya merasa situasi semakin memanas, kemudian ia berusaha menjaga kendali. “Nathan, kamu harus memahami bahwa Denis hanya menjalankan tugasnya. Semua tindakan yang diambilnya adalah demi kepentingan dan pengaturan yang ada di lingkungan kita ini.”

Nathan membalas dengan nada tinggi, “Jadi menurutmu, semua ini hanya tentang tugas? Tidak ada empati sama sekali? Aku di sini sebagai anakmu, dan aku tidak seharusnya diperlakukan seperti ini. Kamu sendiri yang memaksaku untuk tinggal di rumah ini. Aku tidak meminta untuk dijadikan barang yang bisa diperlakukan sembarangan!”

Maya mulai kehilangan kesabarannya lagi, “Nathan, kamu tidak mengerti situasinya. Aku punya banyak hal yang harus diatur dan diprioritaskan. Kadang-kadang keputusan harus diambil untuk menjaga keseimbangan.”

Nathan tidak bisa menahan kemarahannya lebih lama lagi. “Keseimbangan? Kamu bilang begitu? Justru kamu sendiri yang membuat kesalahan besar dengan memperlakukan aku seperti ini. Kamu tidak punya hak melarangku menemui ayahku. Kamu mengabaikan hak dan perasaanku. Aku tidak bisa tinggal di tempat di mana aku diperlakukan dengan cara yang begitu hina. Aku akan pergi dari sini!”

Maya, dengan nada menurun namun tetap keras, berkata, “Nathan, jangan gegabah. Kamu perlu memikirkan keputusan itu dengan matang.”

Nathan tidak peduli. “Aku sudah memutuskan. Aku pergi. Aku tidak akan tinggal di tempat di mana aku merasa tidak dihargai dan diperlakukan semena-mena. Ingat, kamu yang memaksaku tinggal di sini, tapi sekarang aku memilih untuk pergi.”

Nathan memutuskan panggilan dengan penuh kemarahan. Setelah menutup ponsel, ia merasa tepat dengan keputusan tersebut meskipun perasaannya masih berkecamuk. Keputusannya untuk meninggalkan kehidupan Maya adalah langkah yang tak bisa diubah lagi.

Nathan segera bergegas menuju kamar tidurnya dengan langkah cepat. Nathan mengabaikan ponselnya yang terus berdering tanpa henti. Suara panggilan dan pesan dari Maya tidak mengganggu perhatiannya. Ia tidak lagi peduli dengan usaha Maya untuk menghubunginya. Sesampainya di dalam kamar, dia langsung membuka lemari dan mulai mengemasi barang-barang pribadinya ke dalam ransel. Tanpa membuang waktu, ia memasukkan pakaian, barang-barang penting, dan beberapa dokumen ke dalam ransel, memastikan semua yang diperlukan ada di dalamnya. Setelah merasa cukup, Nathan menutup ransel dan dengan cepat meninggalkan kamar, berjalan menuju tangga.

Saat ia turun dari tangga, pemandangan di lantai bawah membuatnya terkejut. Tidak kurang dari sepuluh orang berdiri menunggu di sana. Di antara mereka, Nathan melihat kepala keamanan yang sebelumnya mengunjungi dirinya. Semua orang itu berdiri dengan sikap tegas, mata mereka penuh penilaian. Keberadaan mereka jelas menunjukkan bahwa mereka siap untuk menghadapi tindakan Nathan selanjutnya. Nathan berhenti sejenak di atas tangga, menilai situasi dengan cermat. Nathan kemudian melangkah turun, menyadari bahwa rencananya untuk pergi tidak akan semudah yang dibayangkannya.

Kepala keamanan, berdiri di barisan depan, menatap Nathan dengan tatapan yang tidak mengungkapkan emosi. Keduanya saling bertatapan sejenak sebelum kepala keamanan melangkah maju, memisahkan diri dari kelompok tersebut. “Tuan muda, kami semua di sini diperintahkan ibu pimpinan untuk mencegah tuan muda pergi,” kata kepala keamanan dengan suara tenang namun tegas. “Namun, ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan sebelum tuan muda memaksa pergi.”

Nathan merasa kemarahannya kembali menyala. “Aku sudah membuat keputusan. Aku tidak ingin berurusan dengan kalian lagi. Aku pergi, dan tidak ada yang bisa menghalangi aku.”

Kepala keamanan mengangkat tangan, memberi isyarat kepada para anggota kelompok di belakangnya untuk tetap tenang. “Kami di sini bukan untuk menghalangi keputusan tuan muda, tetapi untuk memohon kebaikan hati tuan muda. Kami akan mendapat hukuman yang sangat berat, bahkan nyawa taruhan kami, jika kami tidak berhasil menghentikan tuan muda. Oleh karena itu ijinkan kami mengungkap pendapat untuk kepentingan kami di sini.”

Nathan menatap kepala keamanan dengan mata tajam. “Jadi, nyawa kalian sekarang yang dipertaruhkan? Aku tidak peduli dengan itu. Aku punya hak untuk pergi,” katanya dingin.

Kepala keamanan menundukkan kepalanya sedikit, lalu kembali menatap Nathan. “Tuan muda, kami tidak ingin ada kekerasan atau keributan di sini, kami semua menghormati tuan muda. Kami mengerti apa yang tengah tuan muda hadapi. Tetapi izinkan saya menyarankan sesuatu. Ibu pimpinan sedang tidak ada di sini. Dia sedang dalam perjalanan ke Australia untuk urusan penting. Jika tuan muda pergi sekarang, dan kami tidak bisa menghentikan tuan muda, amarahnya bisa sangat merugikan kami semua. Bahkan, kami mungkin tak akan punya pekerjaan lagi, atau lebih buruk… nyawa kami bisa melayang.”

Nathan mendengus, tidak memperlihatkan belas kasihan. “Itu masalah kalian. Aku tidak akan dikendalikan lagi, bukan oleh Maya, bukan oleh Denis, dan terutama bukan oleh kalian.”

Kepala keamanan tetap tenang. “Saya mengerti, Tuan Muda. Saya tidak meminta tuan muda untuk berubah pikiran, hanya menunda. Biarkan Ibu pimpinan kembali dulu dari Australia, hadapi beliau secara langsung. Dengan begitu, kepergian tuan muda tidak akan membahayakan kami. Keputusan ini juga menunjukkan bahwa tuan muda tetap menghargai beliau, meski ada perselisihan.”

Nathan menatap kepala keamanan itu dalam-dalam, mempertimbangkan kata-katanya. “Jadi, kalian ingin aku menunggu? Sampai pimpinan kalian kembali?”

“Benar, Tuan Muda. Kami hanya memohon agar kepergian tuan muda dilakukan dengan cara yang tidak membuat situasi ini semakin buruk. Jika tuan muda pergi saat Ibu pimpinan kembali, setidaknya kami bisa menghindari konsekuensi fatal,” jawab kepala keamanan.

Nathan terdiam, meredam kemarahannya yang membara. Ia tahu betul Maya tidak akan memaafkan orang-orang ini jika ia pergi sekarang. Setelah beberapa saat, Nathan mendesah, lalu berkata, “Baiklah. Aku akan menunggu sampai dia kembali. Tapi ingat, setelah itu, aku pergi. Dan tidak ada satu pun dari kalian yang bisa mencegahnya.”

Kepala keamanan mengangguk pelan, tampak lega. “Terima kasih, Tuan Muda. Kami sangat menghargai kebaikan tuan muda.”

Nathan tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk singkat sebelum berbalik dan berjalan kembali ke kamarnya, sementara para petugas keamanan mundur dengan tenang. Nathan masuk ke kamarnya dengan langkah berat. Ransel yang tadi ia siapkan dilempar ke sudut ruangan tanpa peduli. Ia merebahkan tubuh di atas tempat tidur, mencoba menenangkan pikiran yang masih berkecamuk. Baru saja matanya hendak terpejam, suara dering ponsel kembali mengganggu. Ponsel di sampingnya bergetar, layar menyala, menampilkan nama Maya. Sekilas Nathan memandangnya dengan kesal. Dengan perasaan enggan, Nathan meraih ponsel dan akhirnya menekan tombol untuk menjawab panggilan.

“Hallo,” ucap Nathan dengan nada malas, seolah tidak peduli.

“Nathan, dengar baik-baik. Aku tidak mau kamu pergi ke mana-mana. Tetap di rumah sampai aku kembali dari Australia. Kita harus menyelesaikan ini. Ini bukan permintaan, ini perintah,” suara Maya terdengar tegas, penuh otoritas, seperti tak memberi ruang untuk bantahan.

“Ya.”

“Kamu dengar, kan? Jangan sampai kamu berpikir untuk pergi. Tidak ada alasan untukmu melarikan diri dari semua ini. Aku mau kita bicara langsung begitu aku sampai. Kamu paham apa yang aku katakan?”

“Ya,” suara Nathan datar, tanpa antusiasme.

“Nathan, jangan bertingkah seperti ini. Kamu tahu aku tidak suka sikap kekanakanmu. Tahan emosimu, dan tunggu sampai aku kembali. Jangan buat keadaan jadi lebih buruk dari yang sudah ada.”

“Ya,” Kali ini, jawaban Nathan bahkan lebih hambar.

“Aku tidak main-main, Nathan. Kamu tahu aku punya banyak hal yang harus diurus. Jangan buatku menyesal karena membiarkanmu tinggal di rumah ini. Kita akan selesaikan semua ini saat aku kembali. Jangan bodoh!”

“Ya,”

“Baiklah, aku harap kamu paham betapa seriusnya masalah ini. Jangan buat keputusan yang kamu sesali nanti. Mengerti?”

“Ya …”

Setelah beberapa detik keheningan, Maya menutup telepon tanpa kata-kata lagi. Nathan memandang ponsel di tangannya, lalu melemparkannya ke samping tempat tidur, tidak tertarik untuk mendengar lebih banyak lagi. Kepatuhan yang ia tunjukkan lewat kata-kata sebenarnya hanya menyembunyikan rasa muaknya terhadap situasi ini.

Kepalanya masih dipenuhi dengan rasa kesal dan frustrasi, tapi kelelahan tubuhnya mengalahkan semua itu. Matanya tertutup pelan, sementara napasnya mulai tenang. Tanpa sadar, pikirannya yang berat memudar, dan dalam beberapa menit, Nathan sudah tertidur lelap.


Nathan terbangun ketika matahari mulai mencapai puncaknya. Meski tubuhnya terasa lelah, ia memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah berat, Nathan menuju kamar mandi, membasuh tubuhnya dengan air dingin, lalu berpakaian rapi. Setelah merasa lebih segar, ia mengambil dompetnya yang terletak di meja samping tempat tidurnya. Nathan membuka dompet tersebut dan memeriksa isinya. Di dalam dompet, ia menemukan beberapa lembar uang berwarna merah dan kartu ATM milik Maya yang pernah diberikan kepadanya. Pemuda itu menyimpan dompet di saku belakang celana, sebelum akhirnya ia keluar dari kamar.

Ketika hendak menuruni tangga, pandangannya tertuju pada sosok yang tidak disangka. Maya duduk di sofa, menatap langsung ke arahnya. Wajahnya jelas menunjukkan ketidakpuasan, dan Nathan segera menyadari bahwa ini bukan pertemuan biasa. Dia bisa merasakan ketegangan yang akan segera terjadi. Namun, Nathan tetap tenang. Ia melangkah menuruni tangga tanpa terburu-buru, dan langsung duduk di sofa yang sama, tepat di depan Maya. Mereka kini saling berhadapan, bersiap untuk percakapan yang pasti tidak menyenangkan. Suasana hening terasa berat, hingga akhirnya Maya membuka percakapan dengan nada yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya.

“Nathan, aku tidak mengerti kenapa kamu bersikap begitu kasar pada Denis,” ujar Maya dengan nada penuh tekanan. “Dia itu orang kepercayaanku. Seharusnya kamu bisa menghargai posisinya, apalagi di depan banyak orang.”

Nathan menyandarkan punggungnya ke sofa, mencoba untuk tetap tenang meski perasaannya mulai memanas. “Hargai posisinya? Apa yang harus dihargai dari orang yang menyuruh anak buahnya menghukumku? Denis itu cuma asisten, bukan orang yang bisa seenaknya memperlakukan aku seperti itu.”

“Dia bukan sekadar asisten, Nathan!” Maya menukas cepat. “Denis selalu ada untuk membantu aku, mengurus semuanya tanpa harus kuminta. Dan kamu, kamu hanya menambah beban dengan kelakuanmu yang selalu menentang.”

Nathan mendengus pelan, jelas tak terima dengan apa yang baru saja dikatakan Maya. “Jadi, aku cuma jadi beban menurutmu? Karena aku tidak tunduk pada Denis? Karena aku mempertahankan hakku? Kamu seakan-akan lebih memihak Denis daripada anakmu sendiri.”

Maya meremas tangannya, mencoba menahan amarah yang mulai meletup. “Ini bukan soal memilih pihak, Nathan. Ini soal sikap. Denis selalu bekerja keras untukku, dan kamu mempermalukan dia. Kamu tahu betapa sulit situasi yang dia hadapi setelah itu?”

Nathan menatap Maya dengan dingin, kata-katanya keluar tanpa ragu. “Jadi menurutmu, aku yang salah? Aku yang harus tunduk, sementara Denis bisa melakukan apa saja yang dia mau? Sikapmu terhadap Denis selalu istimewa, Maya. Kamu terlalu lunak pada dia, dan aku muak melihatnya.”

Maya terdiam sejenak, terkejut dengan ketegasan Nathan. “Istimewa?” ulang Maya dengan suara rendah, hampir tidak percaya. “Aku lunak karena aku butuh dia, Nathan! Kamu pikir siapa yang menjaga semua ini berjalan dengan baik? Kamu? Kamu bahkan tidak melakukan apa-apa selain menambah masalah.”

“Dan Denis lebih penting daripada aku? Kamu benar-benar tidak melihat kalau sikap baikmu pada dia sudah kelewatan? Dia memanfaatkan kepercayaanmu, Maya. Tapi kamu terlalu buta untuk melihat itu,” balas Nathan, suaranya meninggi.

“Aku buta?!” Maya berteriak balik. “Nathan!!! Denis lebih banyak berkontribusi daripada kamu. Setidaknya dia tidak membuat masalah setiap saat! Aku tahu kamu tidak suka dia, tapi kamu harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa dia penting bagi aku dan pekerjaanku.”

“Jadi aku ini apa? Aku bukan siapa-siapa menurutmu, ya? Seolah-olah aku harus menerima perlakuan Denis begitu saja karena dia lebih berharga buatmu?” Nathan mengepalkan tangannya, merasa tersinggung.

Maya menatap Nathan, matanya penuh emosi. “Kalau kamu terus bersikap seperti ini, Nathan, ya, kamu akan jadi bukan apa-apa. Kamu sendiri yang mendorong dirimu jauh dari aku!”

Nathan terdiam setelah mendengar kata-kata Maya. ‘Bukan apa-apa.’ Kalimat itu bergema dalam pikirannya, mengiris ke dalam perasaannya seperti pisau tajam. Sakit hati yang selama ini ia tahan meledak begitu saja. Selama ini, ia selalu mencoba mengerti, selalu berusaha mengendalikan emosinya di hadapan Maya. Tapi kali ini, ia merasa dikhianati oleh orang yang seharusnya paling mengerti dirinya.

“Maya…” Nathan memanggil nama ibunya dengan suara serak. “Apa benar aku ini bukan apa-apa bagimu? Hanya karena aku tidak tunduk pada Denis? Hanya karena aku tidak seperti yang kamu harapkan?”

Maya mengalihkan pandangannya, seolah tak sanggup menatap Nathan lebih lama. “Nathan, bukan itu maksudku. Tapi kalau kamu terus seperti ini, kamu akan semakin jauh dari semua orang. Denis, aku… kita semua hanya ingin yang terbaik.”

“Tapi aku bukan bagian dari itu, kan?” Nathan memotong. “Aku ini… cuma ada di sini, mengisi ruang yang tidak pernah benar-benar jadi milikku. Kamu lebih percaya sama Denis, lebih butuh dia, daripada anakmu sendiri.”

Maya menggeleng, berusaha menenangkan diri, tapi Nathan tidak memberi kesempatan. “Aku selalu merasa, selama ini, aku mencoba memahami kamu, memahami apa yang kamu butuhkan. Tapi ternyata, aku yang selama ini salah. Kamu lebih memilih Denis, memperlakukannya seperti orang yang lebih penting. Bahkan ketika dia memperlakukan aku seperti sampah, kamu tetap membelanya.”

“Nathan, kamu tidak mengerti situasinya,” Maya berusaha menjelaskan, tapi Nathan sudah terlalu jauh tenggelam dalam rasa sakitnya.

“Yang aku tidak mengerti,” Nathan menahan suaranya agar tidak pecah, “adalah kenapa ibu kandungku sendiri bisa melihat aku hanya sebagai pengganggu, seseorang yang tidak punya tempat di hidupnya.”

Maya kembali terdiam. Ada sesuatu di wajahnya, mungkin penyesalan, tapi sudah terlambat. Kata-kata itu telah terucap. Luka itu telah terbuka.

Nathan bangkit berdiri. “Kamu tahu? Kamu benar. Mungkin memang aku ini bukan siapa-siapa di sini. Kalau begitu, lebih baik aku pergi. Kamu bisa hidup dengan Denis, menjalankan semua ini tanpa harus memikirkan aku lagi.”

Maya menatap Nathan, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Mungkin karena ia terlalu terkejut, atau mungkin karena dalam hatinya, ia sadar bahwa Nathan benar. Nathan pun tidak menunggu jawaban. Dengan perasaan terluka, ia berbalik dan mulai berjalan menuju pintu yang membatasi ruang tengah dan ruang depan.

Saat Nathan hampir sampai di pintu, Maya memanggil nama Nathan dengan nada penuh penyesalan. “Nathan…” suaranya bergetar. Nathan berhenti sejenak di ambang pintu, tetapi tidak menoleh. Maya melanjutkan dengan suara lebih lembut namun penuh emosi, “Aku mencintaimu.”

Nathan berdiri diam, namun tidak mengubah posisinya. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Nathan akhirnya menjawab dengan tegas, “Aku harus pergi.” Dengan kata-kata itu, Nathan membuka pintu dan melangkah keluar dari rumah, meninggalkan Maya yang terduduk kaku di sofa. Wajah Maya dipenuhi kesedihan dan keputusasaan saat Nathan akhirnya melangkah pergi, meninggalkan segala sesuatu yang tersisa di belakang.

Nathan melangkah keluar dari rumah mewah Maya, merasakan udara siang yang hangat menyentuh wajahnya. Ia berdiri di luar gerbang, menunggu beberapa menit hingga akhirnya sebuah taksi lewat di depannya. Setelah melambaikan tangan, Nathan memasuki taksi tersebut. Di dalam taksi, Nathan memberi tahu supir tujuan ke Bandara Soekarno-Hatta. Mobil mulai bergerak, melewati jalanan Jakarta yang ramai. Nathan duduk dengan tenang, tatapannya kosong menatap ke luar jendela. Ia melihat keramaian kota yang terus bergerak. Tidak ada percakapan antara Nathan dan supir taksi; suasana dalam mobil terasa tenang namun berat. Taksi melintasi jalanan Jakarta, melewati deretan gedung-gedung tinggi dan pusat perbelanjaan yang ramai. Nathan sekali-sekali memeriksa jam tangannya, merasakan waktu berlalu lambat. Setiap menit yang berlalu semakin mempertegas keputusannya untuk pergi dan meninggalkan semuanya.

Nathan melangkah keluar dari taksi setelah membayar tarif perjalanan. Ia berjalan menuju ke terminal bandara. Sesampainya di area check-in, Nathan mengamati kerumunan orang di sekelilingnya sambil merasakan beban emosional yang berat setelah keputusan besar yang telah diambilnya. Ia menuju ke loket tiket di bandara, membeli tiket penerbangan untuk segera terbang ke Pontianak. Setelah mendapatkan tiket, Nathan mengantri untuk check-in, menyelesaikan semua proses yang diperlukan sebelum melanjutkan perjalanan. Dengan tiket di tangan, ia melangkah menuju ruang tunggu, menunggu saat keberangkatannya tiba.

Tak lama setelah Nathan duduk di ruang tunggu, terdengar pengumuman keberangkatan untuk penerbangan ke Pontianak. Nathan berdiri dan melangkah menuju gerbang keberangkatan. Setelah pemeriksaan tiket dan boarding pass, Nathan memasuki pesawat dan menemukan kursinya. Ia duduk dengan tenang, menyandarkan punggung ke kursi, dan memandang keluar jendela. Pemandangan kota Jakarta yang semula terlihat luas perlahan mengecil dan menghilang seiring pesawat yang semakin tinggi.

Selama perjalanan udara, Nathan berusaha menenangkan pikirannya. Ia memandang awan yang bergerak lembut dan pemandangan yang berubah-ubah di luar jendela. Usahanya untuk menenangkan diri seolah dipenuhi dengan pemandangan langit yang tak terputus. Pesawat akhirnya mendarat di Bandara Supadio, Pontianak. Nathan keluar dari pintu kedatangan dan segera melihat taksi yang kebetulan berada di dekatnya. Ia menaiki taksi tersebut dan memberi tahu sopir tujuannya yaitu rumah ayahnya.

Nathan tiba di rumah ayahnya saat langit mulai gelap, menandakan sore menjelang malam. Ia membayar ongkos taksi dan melangkah menuju pintu rumah tanpa ragu. Tanpa mengetuk atau mengucapkan salam, Nathan membuka pintu dan memasuki rumah. Di dalam, Ronny yang hendak mandi terkejut melihat kedatangan mendadak anaknya. Meskipun Ronny tampak bingung dan terkejut, Nathan tidak memberikan perhatian pada reaksi ayahnya tersebut. Ia langsung menuju sofa di ruang depan dan duduk dengan sikap yang menunjukkan kelelahan dan kebingungan. Ronny segera menghampiri Nathan dan duduk di seberang sofa.

“Apa yang terjadi? Tanya Ronny penasaran.

“Aku sangat kecewa terhadap Maya,” jawab Nathan dengan nada penuh amarah. “Dia bilang aku bukan apa-apa. Dan semuanya dimulai ketika aku mengunjungi rumah ini, mengunjungi ayah, beberapa hari yang lalu. Maya marah karena aku datang ke sini, tetapi dia tidak menegurku langsung. Denis, asisten pribadinya, yang malah menegurku. Kami bertengkar, dan Denis mengancam akan menghukumku. Ketika Denis gagal menghukumku, Maya malah membela Denis dan bilang aku tidak ada artinya dibandingkan Denis. Aku merasa ditinggalkan dan tidak dihargai. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk pergi.”

Ronny tampak senang mendengar keputusan Nathan. “Aku senang kamu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Maya,” katanya dengan nada lega.

Dengan nada lembut, Nathan melanjutkan, “Aku juga bisa meninggalkan ayah jika ayah tidak berkata sejujur-jujurnya tentang semuanya. Kenapa ayah selama ini menyembunyikan Maya dariku?”

Terkejut dengan pertanyaan itu, Ronny menjawab, “Aku melakukannya karena aku ingin membalas sakit hatiku kepada Maya. Aku membawa kabur kamu sejak bayi untuk membalas dendam.”

“Tapi kenapa ayah bilang kalau Maya tidak peduli padaku?” tanyanya lagi, merasa bingung dan marah.

“Maya tidak pernah mencari kamu, meskipun dia tahu kamu ada di sini bersamaku di Pontianak,” jawab Ronny.

Nathan berteriak dengan keras, “BOHONG! Itu semua kedustaan!” Nathan berkata dengan nada tajam. “Aku punya bukti kalau Maya selalu mencariku sejak dulu, selalu merindukanku. Hanya saja ayah terlalu pintar menyembunyikan aku darinya. Beberapa bulan terakhir, Maya akhirnya berhasil menemukan aku. Itu lah yang terjadi.”

Ronny berusaha tetap tenang meskipun tampak cemas. “Ayah tidak tahu apa yang kamu maksud. Jika kamu merasa ayah telah berdusta, tunjukkan buktinya.”

Dengan marah, Nathan mengancam, “Aku akan pergi meninggalkanmu, Ayah … Aku akan meninggalkanmu sekarang juga, jika ayah tidak mengatakan yang sebenarnya.”

Ronny terlihat pucat pasi mendengar ancaman Nathan yang sangat serius. Wajahnya kehilangan warna, dan matanya tampak kosong. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu, sulit untuk mengucapkan kata-kata. Tubuhnya sedikit gemetar, menandakan ketidakstabilan emosional yang mendalam. Ia berusaha menenangkan diri, namun getaran halus di tangannya tidak bisa disembunyikan.

“Aku ulangi sekali lagi, kenapa ayah bilang kalau Maya tidak peduli padaku?” tatapan Mata Nathan sangat tajam.

Ronny semakin terlihat tak berkutik di hadapan Nathan. Keringat dingin membasahi dahi Ronny, dan ekspresi wajahnya menunjukkan kepanikan yang mendalam. Tubuhnya semakin bergetar, dan matanya tidak bisa bertemu dengan tatapan Nathan. Dalam situasi yang menekan ini, Nathan semakin yakin bahwa ayahnya telah berdusta selama ini. Ketidakmampuan Ronny untuk memberikan jawaban tegas semakin menguatkan keyakinan Nathan bahwa apa yang selama ini dikatakan ayahnya tidak benar.

Nathan pun bersuara kembali, “Jadi, ayah, aku hanya ingin memastikan satu hal. Kenapa ayah selama ini menyembunyikan Maya dariku? Apakah semua ini hanya balas dendam pribadi, atau ada sesuatu yang jauh lebih besar yang ayah coba tutupi?” Nathan berhenti sejenak, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara.

Nathan melanjutkan dengan nada yang semakin tajam, “Dan kenapa ayah bilang kalau Maya tidak peduli padaku? Aku tahu Maya peduli padaku, sejak dahulu, dia telah mencariku dan merindukanku. Aku punya bukti yang cukup jelas untuk itu. Jadi, apakah semua ini hanya bagian dari rencana ayah untuk menutupi sesuatu yang lebih besar?”

Nathan melihat bagaimana ekspresi Ronny berubah, dari awal yang penuh kepercayaan diri menjadi pucat dan penuh kecemasan. Nathan melanjutkan lagi kata-katanya, “Selama ini, aku merasa bahwa penyembunyian Maya ini bukan hanya tentang balas dendam atau kebetulan. Ini adalah upaya ayah untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting. Dan sekarang, dengan semua informasi yang aku punya, aku tidak bisa lagi percaya pada semua alasan yang ayah berikan. Jadi, katakan padaku, apa sebenarnya yang ayah sembunyikan? Karena jelas bahwa segala yang ayah katakan tentang Maya tidak sesuai dengan kenyataan. Dan jika ayah tidak bisa memberikan jawaban yang jujur, aku tidak ragu untuk pergi dari sini dan meninggalkan semua ini.”

Ronny benar-benar mati kutu di hadapan Nathan. Analisis Nathan begitu tajam dan menyentuh inti dari kedustaan yang selama ini ia sembunyikan. Tidak ada alasan atau penjelasan yang dapat Ronny berikan untuk membantah semua tuduhan tersebut. Wajah Ronny semakin pucat, dan tubuhnya terlihat semakin gemetar. Ia hanya bisa terdiam, terjebak dalam kebisuan yang kian menegangkan.

“Baiklah … Aku pergi …!” ucap Nathan sambil bangkit dari duduknya.

“Na.., Nathan … Ba..baiklah … A..ayah akan ber..berkata jujur,” akhirnya Ronny tergagap, suaranya bergetar penuh ketegangan. Ia merasa terpojok dan tak punya pilihan lain. “A..ayah akan menceritakan semuanya,” lanjutnya, mencoba menenangkan situasi yang semakin memanas.

Nathan pun duduk kembali sambil berkata, “Aku siap mendengarkan kejujuran ayah.”

Wajah Ronny terlihat lelah dan penuh penyesalan. Suaranya bergetar saat ia mulai berbicara. “Nathan, ayah… ayah minta maaf. Ayah tahu ayah telah berdusta padamu. Ayah tidak seharusnya melakukan ini.”

Ronny menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan. “Memang benar, Maya tidak pernah menemukan keberadaan kita sebelum Ida datang ke bengkel beberapa minggu yang lalu. Ayah tidak tahu apakah Maya benar-benar mencari kita atau tidak. Itu di luar pengetahuan ayah.”

Ronny menatap Nathan dengan serius. “Alasan sebenarnya ayah melakukan ini adalah karena ayah tidak ingin Maya menguasai Gunung Brajamusti. Ayah tidak bisa menerima jika Gunung Brajamusti jatuh ke tangan Maya yang tamak. Dia selalu menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya. Ayah tidak rela jika Maya mendapatkan sesuatu yang bukan miliknya, terutama sesuatu yang penting seperti Gunung Brajamusti.”

Ronny melanjutkan, “Maya mengetahui tentang Gunung Brajamusti hanyalah karangan dari ayah saja. Faktanya, Maya tidak tahu bahwa Gunung Brajamusti adalah milikmu saat ini. Dan dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya terkandung dalam Gunung Brajamusti.”

Nathan geleng-geleng kepala sambil membuang napas keras, “Untung saja aku tidak bicara tentang Gunung Brajamusti padanya. Jika dia tahu, pasti kita benar-benar dalam bahaya.”

“Maafkan ayah …” lirih Ronny lalu menghela napas.

“Kenapa ayah melakukan itu?” tanya Nathan selanjutnya.

“Apa maksudmu?” Ronny terkejut lagi.

“Kenapa ayah menyembunyikan Gunung Brajamusti pada Maya?” tanya Nathan memperjelas pertanyaannya.

“Ayah sudah katakan kalau ayah tidak ingin gunung itu jatuh ke tangan Maya’” jawab Ronny.

“Aku akan pergi jika ayah dusta,” ancam Nathan.

“Oh … Baiklah … Ayah ingin… ingin menikmatinya juga …” suara Ronny pelan nyaris berbisik sambil menundukan kepala.

“Ha ha ha … Aku suka ayah jujur …” ucap Nathan sembari bangkit lalu berjalan.

“Nak …!” Ronny menahan tangan Nathan hingga terhenti, “Apakah ayah boleh menikmati hasil Gunung Brajamusti milikmu?”

“Aku kasih semuanya buat ayah. Aku gak butuh itu semua,” jawab Nathan sambil meneruskan langkahnya ke kamar.

Nathan berbaring di atas kasur dengan tubuh yang terasa lelah. Dalam keheningan kamar, ia merenungkan kejadian yang baru saja terjadi. Perlahan, ia mulai merasakan ada sedikit pencerahan mengenai apa yang selama ini terjadi dalam hidupnya. Kegelapan yang menyelimuti pikirannya mulai perlahan sirna, digantikan oleh pemahaman yang lebih jelas tentang apa yang harus dihadapi.

Saat pikirannya berlarian, Nathan teringat wejangan Prabu Brajamusti yang selalu mengingatkannya tentang tanggung jawabnya yang cukup berat yaitu melindungi ayah, ibu, dan saudara-saudaranya sebagai bagian dari warisan yang harus Nathan emban. Pikiran itu membangkitkan kembali rasa tanggung jawab dalam dirinya, mengarahkan fokusnya pada bagaimana harus menyikapi peristiwa ini dan bagaimana melanjutkan hidupnya ke depan.

Hidup ini memang tak pasti. Kejadian demi kejadian sangat sulit diprediksi. Usaha maksimal itu pasti. Selesaikan masalah dan bukan dihindari.

Bersambung​

1 thought on “CERBUNG – NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *