Skip to content

CERBUNG – NATHAN

BAB 10​

Nathan membuka matanya ketika suara ketukan pintu terdengar jelas di telinganya. Ketukan itu cukup kuat untuk menariknya keluar dari tidur yang sempat lelap. Beberapa detik kemudian, suara Ronny memanggil namanya dari balik pintu. Nathan tidak segera merespons, namun perlahan bangkit dari tempat tidur. Tubuhnya masih terasa berat, tapi panggilan dari Ronny semakin mendesak. Setelah berdiri, Nathan berjalan menuju pintu dan meraih gagangnya. Ia menariknya perlahan, membuka pintu kamarnya. Matanya sempat melirik ke arah jam dinding di sudut ruangan. Jarum jam menunjukkan pukul 21.15 malam.

“Ayah beli sate ayam. Makanlah dulu, kamu pasti belum makan,” kata Ronny.

“Oh, ya … Aku memang laper sekali,” sahut Nathan.

Nathan dan Ronny berjalan menuju dapur tanpa banyak bicara. Langkah mereka teratur, suara sandal terdengar saat menapak lantai. Sesampainya di dapur, di atas meja makan sudah tersaji nasi putih dan sepiring sate yang masih hangat. Nathan duduk dan tanpa menunggu lama, ia langsung mengambil nasi dan beberapa tusuk sate. Ia mulai makan tanpa berkata-kata, seolah sudah menahan lapar dalam waktu lama. Gerakannya cepat menunjukkan rasa lapar yang begitu kuat. Di seberang meja, Ronny duduk sambil memperhatikan. Senyuman tipis terlukis di wajahnya, menikmati pemandangan Nathan yang makan dengan lahap.

“Kamu seperti tidak pernah dikasih makan oleh ibumu,” kelakar Ronny.

Nathan tidak bisa merespons. Mulutnya masih penuh dengan nasi dan potongan sate. Alih-alih menjawab, Nathan mengangkat tangannya dan menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan. Isyarat itu jelas, Ronny diminta menunda pembicaraan. Ronny memahami isyarat itu dan menahan diri. Beberapa menit kemudian, Nathan menyelesaikan makanannya. Ia menaruh sendok dan garpu di atas piring kosong. Setelah itu, ia meraih segelas air putih di dekatnya. Air itu diteguk sampai habis dalam satu kali minum. Nathan meletakkan gelas kembali di meja, lalu menghela napas. Setelahnya, ia mulai bersuara.

“Ayah harus tahu kalau Maya sangat memperhatikan aku. Segala apa yang aku minta tak pernah tidak tersedia. Hanya hitungan menit permintaanku yang tersulit pun pasti datang,” jelas Nathan sambil tersenyum

“Bagaimana dia sekarang? Maksud ayah, masihkah dia cantik atau sudah seperti nenek-nenek?” tanya Ronny lumayan serius.

“Dia … Em, cantik banget. Gak ada kerutan di wajahnya. Body-nya bikin ngiler …” jawab Nathan masih dengan senyumnya.

“Ya, dia memang wanita cantik,” respon Ronny sambil menerawang jauh. Matanya tampak berkilat seolah membayangkan sosok Maya. “Aku masih ingat betapa menawannya dia dulu. Sepertinya tidak banyak yang berubah.” Ronny tersenyum tipis, lalu meneguk air putihnya, seolah ingin menghalau kenangan-kenangan lama.

“Ayah gak ingin ketemu dengannya?” tanya Nathan setengah bercanda.

“Oh, tidak … Aku tidak ingin …” tegas Ronny sambil geleng-geleng kepala.

“Kenapa?” Nathan terus mencandai Ronny.

“Maya yang sekarang berbeda dengan Maya yang dulu,” jawab Ronny sambil menatap Nathan lekat-lekat.

“Maksudnya?” tanya Nathan mulai serius.

Ronny menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Maya yang dulu itu memang keras kepala dan tak mau kalah, tapi dia masih punya prinsip dan batasan. Sekarang, Maya sudah berubah menjadi pribadi yang sangat berbeda. Dia tidak lagi peduli dengan prinsip atau batasan, dan sepertinya dia lebih mementingkan kekuasaan dan kontrol. Itu sebabnya ayah bilang dia sekarang seperti iblis betina. Dia lebih agresif dan manipulatif dari sebelumnya.”

Nathan mengerutkan dahi, “Apa yang membuat dia berubah seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi pada Maya?”

Ronny menarik napas dan berkata, “Ada kabar yang ayah dengar kalau Maya melakukan ritual kegelapan. Ayah sendiri tidak tahu persis ritual kegelapan itu, tapi yang jelas ritual itu melibatkan kekuatan jahat untuk mendapatkan kekuatan atau kekuasaan. Katanya, setelah melakukan ritual seperti ini, orang akan mengalami perubahan besar dalam diri mereka.”

Nathan tampak bingung, “Jadi, itu yang bikin Maya berubah?”

Ronny mengangguk, “Iya, betul. Ritual itu membuat Maya terpengaruh oleh energi jahat, dan itulah yang membuatnya jadi sangat berbeda, dia lebih agresif, manipulatif, dan tidak peduli dengan orang lain. Itu sebabnya ayah bilang dia sekarang seperti iblis betina.”

“Ayah tahu dari siapa?” tanya Nathan penasaran.

Ronny menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Ayah mendengar kabar dari seorang teman lama yang memiliki pengetahuan spiritualisme. Teman ayah ini mengatakan kalau Maya tidak hanya melakukan ritual itu sekali, tapi berulang kali untuk memperkuat kekuatannya. Setiap kali dia melakukan ritual, pengaruhnya semakin kuat, dan itulah yang membuatnya semakin sulit dikenali lagi.”

“Tapi … Menurutku dia sangat baik, ya walau keras kepala …” ucap Nathan.

Ronny mengamati Nathan dengan penuh perhatian. “Mungkin masih tersisa sifat masa lalunya, belum termakan semua oleh efek ritualnya.”

“Boleh jadi begitu,” Nathan mengangguk-angguk.

Nathan dan Ronny masih melanjutkan pembicaraan tentang Maya. Walau suasana santai, mereka tetap membahasnya dengan serius. Topik yang mereka bicarakan masih seputar Maya. Di tengah obrolan itu, suara ponsel Ronny tiba-tiba terdengar. Nada deringnya memecah keasyikan mereka. Ronny meraih ponsel yang tergeletak di meja, melihat layar sejenak. Nama seseorang muncul di layar. Ia langsung menggeser ikon untuk menerima panggilan, lalu mendekatkan ponsel ke telinganya.

“Ya, Husni … Gimana keadaanmu?” sapa Ronny ramah.

“Aku baik, Ron. Moga-moga dirimu sehat,” balas sapa lawan bicara Ronny.

“Aku baik, Ni. Gimana?” tanya Ronny mulai serius.

“Aku punya cerita seru, Ron. Ini tentang si Nathan,” Ronny langsung menyalakan speaker agar Nathan bisa ikut mendengarkan.

“Oh ya? Gimana ceritanya?” tanya Ronny lagi.

“Barusan saja aku selesai rapat besar dengan Maya. Maya menegur keras semua anak buahnya. Dia bilang, jangan ada yang berani mengganggu keluarganya, apalagi ikut campur dalam urusan pribadi mereka. Dia bilang nggak mau urusan pekerjaan sampai merembet ke kehidupan keluarganya. Setelah aku cari tahu, ternyata asisten pribadi Maya punya masalah dengan anakmu, dan itu yang bikin Maya marah besar sampai keluarkan teguran itu,” jelas Husni di ujung telepon.

“Emangnya apa yang terjadi?” tanya Ronny sambil menatap Nathan.

“Aku sih cuma denger dari kabar burung, kalau asisten pribadi Maya yang bernama Denis, menegur anakmu gara-gara dia pulang ke Pontianak. Maya kurang suka kalau anakmu pulang ke Pontianak saat itu, Maya curhat sama si Denis terus ditanggapi serius oleh si Denis dengan memperingati anakmu supaya tidak membuat Maya kecewa. Anakmu gak terima dengan sikap Denis, dari situlah terjadi perselisihan antara Denis dan anakmu.” papar Husni.

“Loh? Kok sebegitunya? Ya gak bisa begitu dong, hak anakku untuk pulang atau nggak,” respon Ronny.

“Itu dia yang buat Maya marah, tapi dia gak marah langsung sama si Denis. Maya marah-marah sama semua anak buahnya yang hadir,” kata Husni.

“Menurutku tindakan Maya sudah benar. Dia harus tegas memisahkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi,” kata Ronny.

“Iya, sih, aku juga kaget pas denger ceritanya. Tapi ada yang lebih mengejutkan lagi, Ron. Dari informasi yang aku dengar, Denis sebenarnya sangat mencintai Maya. Cinta Denis ke Maya itu bukan cuma cinta biasa-biasa saja, tapi sampai melebihi cintanya pada dirinya sendiri,” ungkap Husni.

“Ah … Yang betul?” Ronny lumayan terkejut.

“Betul,” jawab Husni di seberang telepon. “Dia bukan cuma loyal karena pekerjaan. Denis selalu ada buat Maya, bahkan dalam hal-hal yang seharusnya bukan urusannya. Dia benar-benar peduli sama Maya.”

“Jadi, Denis benar-benar terlibat secara pribadi?” tanya Ronny, masih tidak percaya.

“Ya, begitulah. Cinta Denis ke Maya ini sampai-sampai dia lebih mikirin perasaan Maya ketimbang konsekuensi tindakannya. Itu sebabnya dia berani menegur anakmu, karena dia nggak mau Maya merasa kecewa atau terluka.”

Ronny menggeleng pelan, nadanya mulai terdengar kesal. “Tapi itu bukan alasan buat Denis campur tangan dalam urusan anakku. Aku bisa paham kalau dia sayang sama Maya, tapi dia juga harus tahu batasannya. Anakku punya hak buat pulang ke Pontianak, itu urusan keluarga, bukan urusan kerjaan. Denis seharusnya nggak main perintah begitu aja seolah-olah dia berhak ngatur semuanya. Apapun alasannya, sikap Denis itu udah kelewatan, dan Maya juga harusnya bisa lebih tegas soal mana yang profesional dan mana yang pribadi.”

“Setuju … Oke Ron, aku pamit dulu, baru datang di rumah, belum mandi,” ujar Husni dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.

Ronny tersenyum tipis, meski pikirannya masih sibuk. “Oke siap, makasih infonya, Ni. Kita lanjut nanti.”

“Siap, Ron. Jaga diri,” balas Husni sebelum telepon ditutup.

Ronny meletakkan ponsel di atas meja. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Nathan yang sudah sejak tadi memperhatikannya. Mata Nathan penuh tanda tanya. Ronny terdiam sejenak, seolah sedang mempertimbangkan apa yang harus dikatakan selanjutnya.

Sebelum Ronny berkata, Nathan duluan berbicara, “Jadi, gimana menurut ayah?”

Ronny menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Em, Ayah merasa Maya memang peduli sama kamu. Perhatiannya itu jelas kelihatan. Tapi mungkin caranya nggak selalu kelihatan langsung. Maya punya cara sendiri buat nunjukkin perasaannya, meski kadang terkesan terlalu keras atau nggak langsung. Tapi di balik itu semua, Ayah yakin dia nggak mau kamu sedih.”

Nathan terdiam mendengar ucapan ayahnya. Pikirannya segera melayang ke percakapan yang pernah ia miliki dengan Ida. Ida pernah mengatakan kalau Maya sering menyatakan perasaannya lewat tanda-tanda, bukan dengan kata-kata. Maya jarang, atau bahkan tidak pernah, mau mengungkapkan isi hatinya secara jelas. Nathan mulai menyadari sikap Maya yang kadang membingungkan.

“Gimana kalau aku kembali ke Jakarta?” Nathan hanya bercanda.

Ronny menatap Nathan dengan tenang sambil menjawab, “Ayah rasa, kamu nggak perlu buru-buru. Ayah sangat yakin Maya bakal minta kamu balik. Tunggu aja sampai dia yang minta. Kalau kamu balik sekarang tanpa permintaannya, itu bisa bikin situasinya makin rumit. Percayalah, kalau dia memang peduli sama kamu, dia pasti akan bicara duluan.”

“Setuju, he he he …” Nathan pun tertawa karena pemikiran ayahnya sejalan dengan pemikirannya. Untuk saat ini Nathan masih enggan menemui Maya setelah apa yang Maya lakukan padanya.

Malam semakin larut, dan setelah beberapa saat berbicara, kedua pria itu akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Tanpa banyak bicara lagi, mereka bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamar masing-masing. Nathan membuka pintu kamarnya, lalu merebahkan diri di atas ranjang.

Sambil berbaring, pikirannya kembali ke kejadian-kejadian selama dua minggu terakhir. Begitu banyak hal yang terjadi begitu cepat. Semua itu terasa seperti rangkaian kejutan yang terus datang tanpa henti. Semakin lama matanya mulai terasa berat. Pikiran-pikiran yang semula memenuhi kepalanya perlahan memudar, digantikan oleh rasa lelah yang tak bisa ia tahan lagi. Tak butuh waktu lama, Nathan pun tertidur, tenggelam dalam diamnya malam.


Nathan menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan kembali membantu ayahnya di bengkel. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari hidupnya selama tiga tahun terakhir. Dengan bekerja di bengkel, Nathan tidak hanya dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri tetapi juga telah membangun basis pelanggan tetap yang setia. Dalam setiap harinya, ia menangani berbagai pekerjaan perbaikan dan pemeliharaan kendaraan. Saat ini, Nathan merasa hidupnya kembali normal setelah beberapa minggu terakhir penuh dengan kejutan dan ketegangan. Setiap pagi, ia memasuki bengkel dengan rasa tenang, merasa nyaman dengan keseharian yang stabil dan jauh dari masalah yang pernah menderanya.

Sementara di ufuk timur sinar matahari sudah mulai kehilangan warna merahnya sedikit demi sedikit. Nathan membuka bengkel pada pagi itu. Ia menarik pintu rolling door pelan-pelan hingga terbuka penuh. Setelah itu, Nathan menyalakan lampu-lampu bengkel untuk menerangi ruangan yang dipenuhi oleh peralatan mekanik dan beberapa mobil. Ia menyapu lantai bengkel yang kotor karena debu dan serpihan logam dari pekerjaan sebelumnya. Semua alat-alat diperiksanya, memastikan bahwa setiap peralatan berada di tempat yang semestinya. Setelah lantai bersih, ia mengelap meja kerja dan merapikan kunci-kunci pas, obeng, dan peralatan lainnya ke dalam laci. Ia mempersiapkan bengkel dengan rapi agar pekerjaannya nanti bisa berjalan dengan lancar.

Setelah selesai merapikan bengkel, Nathan beralih ke mobil yang sudah dua hari terakhir ia kerjakan. Mobil itu terparkir di tengah ruangan, dengan kap mesin yang masih terbuka. Ia memeriksa catatan perbaikan dan mengingat bahwa masalah utama pada mobil ini adalah rem yang aus dan perlu diganti. Hari sebelumnya, Nathan sudah memasang beberapa komponen baru, tetapi pengerjaan belum selesai. Dengan teliti, ia memeriksa kembali pemasangan rem depan dan belakang, memastikan semua baut terpasang dengan kencang. Ia juga memeriksa sistem hidrolik rem, memastikan tidak ada kebocoran cairan dan aliran rem berjalan lancar. Setelah yakin, ia melanjutkan pekerjaannya dengan menguji pedal rem, menekan dan mengendurkannya untuk memastikan tekanan yang tepat.

Setelah selesai merapikan bengkel, Nathan beralih ke mobil yang sudah dua hari terakhir ia kerjakan. Mobil itu terparkir di tengah ruangan dengan kap mesin terbuka, dan ia mengingat masalah utama pada mobil tersebut adalah kerusakan serius pada sistem pendingin mesin. Radiator mengalami kebocoran parah, dan beberapa komponen seperti thermostat serta pompa air perlu diganti. Hari sebelumnya, Nathan sudah memasang radiator baru dan mengganti thermostat, namun pekerjaannya belum selesai. Ia memeriksa selang-selang radiator, memastikan semuanya terpasang dengan benar, dan mengecek pompa air untuk memastikan aliran cairan pendingin berjalan lancar. Setelah yakin, ia mengisi ulang cairan pendingin, menyalakan mesin, dan memperhatikan suhu mesin dengan cermat agar tidak ada lagi masalah overheating.

Mobil sedan hitam mengkilat memasuki bengkel Nathan dan berhenti di depan pintu masuk. Suara pintu mobil terbuka, dan seorang wanita anggun dengan penampilan mewah keluar dari kendaraan. Ia mengenakan gaun elegan dan sepatu hak tinggi, memancarkan aura profesional dan berkelas. Wanita itu melangkah menuju area bengkel tempat Nathan sedang memperbaiki mobil. Pada saat bersamaan, Nathan mendekati wanita itu sambil mengusap keringat dari dahinya. Wanita tersebut memandang Nathan dengan tatapan penuh perhatian, membuat Nathan merasa tidak nyaman.

“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Nathan dengan nada ragu.

Wanita itu memandang Nathan dengan tatapan tajam. Setelah beberapa detik, ekspresi wajahnya berubah menjadi terkejut. “Kamu Nathan?” tanyanya dengan nada tidak percaya. Suaranya sedikit bergetar.

Nathan mengernyitkan dahi. “Ya, saya Nathan. Mbak siapa ya?” jawabnya, bingung dengan reaksi wanita itu.

“Maaf, aku Livia. Aku bekerja untuk Maya, ibumu, di Pontianak. Aku mengurus usaha-usaha beliau di sini,” ucap si wanita sambil mencoba menenangkan dirinya.

“Oh, saya tidak tahu kalau Maya punya perusahaan di Pontianak,” Nathan sangat terkejut. “Bagaimana Mbak tahu kalau saya anak ibu Maya?” tanya Nathan kemudian.

“Aku pernah melihatmu beberapa minggu yang lalu, saat ulang tahun Maya. Aku hadir di acara itu,” jawab Livia dengan senyum manis.

“Ulang tahun Maya? Jadi, Mbak ada di sana juga?” sahut Nathan sembari tersenyum.

“Iya,” jawab Livia sambil memperhatikan Nathan dengan tatapan tak percaya. “Aku benar-benar terkejut melihatmu di sini, bekerja di bengkel ini. Aku tidak menyangka seorang anak taipan bisa penuh dengan oli seperti ini. Benar-benar sangat mengejutkan.”

“Ah, jadi menurut Mbak, tidak bolehkah seorang anak orang kaya punya pekerjaan sendiri?” Nathan tersenyum melihat mimik wanita yang baru dikenalnya itu.

“Sangat bagus kalau kamu punya pekerjaan sendiri, tetapi seharusnya tidak seperti ini. Kamu seharusnya bisa memimpin salah satu usaha Maya yang banyaknya puluhan dan tersebar di seluruh negeri,” kata Livia dengan nada penuh keheranan.

Nathan menggelengkan kepala. “Ada alasan tertentu yang membuat saya tidak ikut dalam usaha Maya. Saya lebih senang seperti ini daripada ikut dengan Maya.”

Livia terlihat heran, “Alasan apa yang membuatmu tidak ingin mengelola salah satu perusahaan Maya?”

“Maaf … Alasan itu tidak untuk diketahui orang lain,” jawab Nathan sambil mencoba mengalihkan perhatian. “Oh ya, apa masalah mobil Mbak?”

“Oh, kayaknya remnya deh. Tadi waktu aku berkendara, seperti remnya gak berfungsi dengan baik, jadi aku terpaksa berhenti di sini. Sepertinya ada sesuatu yang salah dengan sistem remnya,” jelas Livia, sedikit khawatir.

“Baik, saya akan memeriksa mobil Mbak terlebih dahulu. Harap bersabar sebentar,” ujar Nathan, sambil mengambil kunci mobil dari Livia dan menuju ke mobilnya.

Nathan memulai perbaikan rem mobil Livia dengan mengangkat kendaraan menggunakan dongkrak untuk mengakses roda depan. Setelah roda dilepas, ia memeriksa kampas rem dan menemukan bahwa kampas tersebut sudah aus. Nathan kemudian mengganti kampas rem yang lama dengan yang baru. Selanjutnya, ia memeriksa sistem hidraulik rem untuk memastikan tidak ada kebocoran atau kerusakan lain. Dia mengganti cairan rem dan memeriksa pipa-pipa serta sambungan untuk memastikan semuanya dalam kondisi baik.

Livia berdiri di dekat Nathan, memperhatikan setiap gerakan dan langkah pemuda tampan itu dengan penuh perhatian. Ketampanan Nathan semakin jelas saat dia fokus memperbaiki mobil, membuat Livia tidak bisa menahan rasa kagumnya. Pikiran Livia mulai dipenuhi bayangan mesum. Dia membayangkan bagaimana rasanya jika dirinya berada satu ranjang bersama Nathan, membayangkan momen intim di mana mereka berbagi kedekatan yang menggairahkan. Dalam fantasinya, wanita cantik itu membayangkan bagaimana tubuh mereka saling menyatu, merasakan kehangatan dan gairah yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

Setelah selesai, Nathan memasang kembali roda dan menurunkan mobil. Ia kemudian melakukan uji coba dengan menekan pedal rem beberapa kali untuk memastikan sistem berfungsi dengan benar. Ketika semuanya dinyatakan berfungsi dengan baik, Nathan memberikan kunci mobil kepada pemiliknya.

“Sudah selesai. Mudah-mudahan awet dan tidak rewel,” kata Nathan ramah.

Livia mengangguk dengan lega saat Nathan selesai memperbaiki mobilnya. Dia tersenyum dan berkata, “Terima kasih banyak, Nathan. Aku kagum sama ….” Ucapan Livia menggantung, dia memberi Nathan senyuman termanisnya.

Livia mengeluarkan dompetnya dan membayar biaya perbaikan yang telah diberikan potongan harga. Setelah melakukan pembayaran dia berkata lagi, “Aku ingin sekali mentraktirmu makan siang.”

Nathan tersenyum, meski dengan nada sopan ia menolak tawaran tersebut. “Terima kasih, Mbak, tapi sayangnya saya tidak bisa meninggalkan bengkel hari ini. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”

Livia sedikit kecewa namun tetap berusaha ceria. “Oh ya, nggak apa-apa. Tapi aku tetap ingin menghubungimu. Boleh aku minta nomor kontakmu?”

Nathan memberikannya tanpa ragu, “Oh, boleh …” Nathan mengambil ponsel dari saku celananya dan dengan cepat mengetikkan nomor kontaknya. Dia kemudian menyerahkan ponsel kepada Livia, yang mencatat nomor tersebut dengan hati-hati.

Livia pun tersenyum, “Terima kasih banyak, Nathan. Aku akan menghubungimu nanti malam.”

Nathan mengangguk sambil membalas senyum Livia, “Saya akan menunggu kabar dari Mbak.”

Livia kembali ke mobilnya kemudian melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Nathan menatapnya saat dia masuk ke mobil dan melaju pergi. Setelah Livia pergi, Nathan kembali ke pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang pada percakapan mereka. Ada rasa keyakinan dalam dirinya bahwa pertemuan mereka mungkin tidak berhenti hanya di sini. Dengan senyum tipis, Nathan membayangkan kemungkinan bahwa hubungan mereka bisa berkembang lebih jauh dari sekadar percakapan singkat di bengkel. Rasa percaya diri itu tumbuh dalam dirinya, seiring dengan harapan bahwa Livia mungkin saja berada satu ranjang dengan dirinya.


Saat matahari mulai terbenam, Nathan menyelesaikan pekerjaannya di bengkel. Dia mematikan semua peralatan dan membersihkan area kerja, lalu memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Setelah bengkel rapi, dia mengunci pintu dan menaiki motornya. Perjalanan pulang ke rumah memakan waktu sekitar dua puluh menit, melewati jalan-jalan kota yang semakin sepi. Sesampainya di rumah, Nathan memarkir motornya di halaman dan memasuki rumah. Dia melepas jaket kerja dan sepatu, lalu menggantungkan kunci di tempatnya. Dengan langkah santai, dia menuju dapur, membuka lemari es untuk mengambil air minum, dan duduk di meja makan. Nathan menghela napas panjang, melepaskan ketegangan hari itu, dan merenung tentang pertemuan dengan Livia. Dengan pikiran yang masih tertuju pada percakapan tadi, dia memutuskan untuk bersantai dan menunggu kabar dari Livia nanti malam.

“Eh, kamu sudah pulang?” suara Ronny mengejutkan Nathan yang sedang asik melamun.

Nathan menoleh dengan ekspresi kesal. “Kenapa ayah tidak datang ke bengkel hari ini? Aku menunggu dari pagi dan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sendiri.”

Ronny menghela napas dan duduk di kursi di hadapan Nathan. “Maaf, Nak … Ayah ada kepentingan mendadak yang tidak bisa ditunda.”

Nathan mengerutkan dahi, masih tampak kesal. “Seharusnya ayah telepon atau beri kabar, jadi aku tidak perlu menunggu-nunggu tanpa kepastian.”

Ronny menunduk sejenak, tampak ragu. “Maafkan ayah … Em … Sebenarnya, ayah perlu bantuanmu.”

Nathan melirik ayahnya dengan penasaran. “Bantuan apa yang ayah perlukan?”

Ronny mengeluarkan suara serak, seolah berat untuk mengucapkannya. “Ayah ingin membeli rumah di pusat kota. Rumah besar, ada kolam renangnya. Tapi …” Ronny berhenti sejenak, tampak tidak nyaman. “Ayah butuh bantuanmu untuk mendapatkan uang.”

Nathan mengerutkan dahi, bertanya dengan bingung, “Ayah kok aneh … Aku kan gak punya uang sebanyak itu. Pasti rumahnya mahal sekali. Ayah ini ada-ada saja.”

Ronny tampak semakin bingung, mencari kata-kata yang tepat. Setelah beberapa detik, dia akhirnya berkata, “Ayah ingin meminjam sertifikat kepemilikanmu yang ada di bank. Dengan sertifikat itu, ayah bisa meminjam uang di bank. Ada teman ayah yang pegawai bank yang bisa mengurus pinjaman tersebut.”

Nathan terkejut, hingga mulutnya sedikit terbuka dan matanya membesar. Dia meletakkan gelas yang baru saja dipegangnya dengan gemetar di atas meja, lalu menatap ayahnya dengan tatapan tidak percaya. “Ayah sudah memikirkan risiko kalau uang pinjaman itu tidak bisa dibayar? Bagaimana kalau kita tidak bisa mengembalikannya?” tanyanya dengan nada yang penuh kekhawatiran.

Ronny menghela napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, “Teman ayah pegawai bank itu bisa mengusahakan penundaan cicilan pertama hingga satu tahun. Sementara itu, emas yang ada di gunung kepunyaanmu bisa digali dalam waktu enam bulan lagi. Pembayaran cicilan bisa diambil dari hasil tambang emas itu.”

Nathan terdiam, hampir tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Tubuhnya terasa kaku, dan dia hanya bisa menatap ayahnya dengan mata terbuka lebar. Keterkejutan membuatnya kehilangan kata-kata. Pikiran Nathan berputar, berusaha mencerna ide gila tentang menggunakan tambang emas untuk membayar cicilan pinjaman yang sangat besar. Ketidakpercayaan dan kebingungan membanjiri pikirannya, dan Nathan hanya bisa duduk di sana, terpaku dalam keadaan hampa.

Ronny menunggu beberapa detik dengan wajah penuh harap. Melihat bahwa Nathan belum juga berbicara, dia akhirnya memecah keheningan dengan penuh desakan. “Nathan, ayah sangat memerlukan bantuanmu. Ini benar-benar penting.”

Nathan masih dalam keadaan terkejut, tetapi perlahan ia mengumpulkan pikirannya. Setelah beberapa saat, dia berkata dengan nada penuh pertimbangan, “Aku butuh waktu untuk memikirkan permintaan ayah. Aku akan memberi jawaban besok pagi.”

Ronny mengangguk dengan rasa lega, “Terima kasih, Nathan. Ayah tunggu keputusanmu.”

Nathan bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah berat. Sesampainya di dalam kamar, dia melemparkan dirinya ke tempat tidur dan membiarkan tubuhnya tenggelam di atas kasur. Kepalanya terasa berat dan pikirannya masih bergejolak hebat. Ia memandangi langit-langit kamar, mencoba mencerna permintaan ayahnya yang terasa sangat ekstrem. Apa yang diminta Ronny adalah warisan leluhur yang sangat berharga, dan menggunakan sertifikat tersebut sebagai jaminan pinjaman sangat mengganggu pikirannya. Nathan merasa cemas tentang bagaimana dampak permintaan itu terhadap warisan keluarga dan kemungkinan konsekuensi jika pinjaman tidak bisa dilunasi atau ada masalah yang tidak bisa diprediksi. Kekhawatiran tersebut terus mengganggu pikirannya, membuatnya sulit untuk fokus atau merasa tenang.

Pikiran Nathan terasa sangat berat. Dalam hati pemuda itu, dia sangat menolak permintaan ayahnya, tetapi di sisi lain, dia juga merasa kasihan pada Ronny. Ketika perasaan kebingungan dan konflik batin tersebut membelenggu pikirannya, tiba-tiba Nathan mendengar sebuah bisikan di telinganya, jelas sekali menyebut nama “Maya.” Nathan terlonjak dari tempat tidur, tubuhnya bergetar akibat kejutan. Dia menoleh ke sekitar kamar dengan napas terengah-engah, mencari sumber suara tersebut, tetapi tidak ada seorang pun di dekatnya. Nathan menggosok telinga, berusaha mengusir rasa bingung yang mendalam, namun suara itu terus mengiang di pikirannya, menambah beban emosional yang sudah sangat berat.

“Maya …” ucapnya dalam hati.

Pikiran Nathan melayang pada ibunya. Dia merenung dalam-dalam, memikirkan bagaimana bantuan Maya bisa membantu mewujudkan keinginan ayahnya untuk membeli rumah yang diidamkan. Namun, setiap kali nama Maya muncul dalam pikirannya, Nathan merasa ada dinding tebal yang menghalangi keputusannya. Ia telah bertekad untuk menjauhi Maya karena rasa sakit hati yang mendalam akibat perlakuan wanita itu. Perasaan ini membuatnya terombang-ambing, seperti kapal tanpa kemudi di tengah badai. Ketidakadilan dan kepedihan akibat perlakuan Maya terus menghantuinya, sementara di sisi lain, kebutuhan mendesak Ronny memaksa Nathan untuk mempertimbangkan kembali perasaannya. Setelah berjuang dengan dilema ini, Nathan merasa egonya perlahan-lahan terkikis. Keputusan untuk meminta bantuan Maya mungkin menjadi pilihan terakhir yang harus dia ambil, meskipun itu berarti merendahkan diri dan harus melupakan rasa sakit hatinya.

Nathan bangkit dari tempat tidur dengan tubuh yang terasa berat. Ia masuk ke kamar mandi dan mandi dengan cepat, mencoba menyegarkan pikirannya yang kacau. Setelah selesai mandi, ia berdandan dengan tergesa-gesa, mengenakan pakaian yang sederhana namun rapi. Rasa bingung dan ketegangan tidak hilang dari wajahnya. Setelah siap, Nathan keluar dari rumah, langsung menuju motor yang diparkir di halaman depan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menyalakan mesin motor dan melaju ke arah pusat kota. Selama perjalanan, pikirannya berputar-putar, berusaha menyusun rencana tentang bagaimana menghadapi Maya. Jalanan yang dilalui terasa seperti blur, dan setiap detik terasa memanjang saat Nathan berusaha menenangkan dirinya dalam situasi yang penuh tekanan.

Nathan menghentikan motornya di tepi alun-alun kota yang ramai. Banyak orang berlalu-lalang, berjualan, atau sekadar menikmati suasana sore menjelang malam. Ia memarkir motornya di pinggir jalan, lalu berjalan perlahan menuju bangku kosong di tengah keramaian. Meski dikelilingi oleh banyak orang, ia merasakan kesunyian yang mencekam. Di sana, duduk di bangku kayu, Nathan menundukkan kepala, mencoba mengurai keruwetan dalam pikirannya. Wajahnya menyiratkan kebingungan yang mendalam, seolah-olah ia terjebak di antara pilihan yang sulit. Semua pikiran tentang Maya, Ronny, dan rumah yang diinginkan ayahnya bercampur, membuat hatinya semakin berat.

Saat Nathan duduk diam seribu bahasa, ponselnya tiba-tiba berdering, mengejutkan pemuda itu dari lamunan. Di layar, hanya terlihat deretan angka, nomor yang tidak dikenal. Nathan mengernyit, tapi rasa penasaran membawanya untuk menjawab panggilan itu.

“Hallo …” ucap Nathan lesu.

“Kamu ngapain di situ sendiri?” suara wanita masuk ke gendang telinga Nathan.

“Maaf, ini siapa ya?” tanya Nathan sedikit penasaran.

“Livia …” jawabnya kemudian Nathan mendengar wanita itu berbicara dengan seseorang.

Mendengar nama Livia, seketika perasaan senang menyusup di hatinya, memberikan sedikit jeda dari beban yang menghimpit. Bagi Nathan, menghabiskan waktu bersama Livia jauh lebih baik daripada terus-menerus memikirkan masalah yang hanya membuatnya semakin stress.

“Hallo Livia …” kata Nathan sedikit bersemangat.

“Ya, sebentar … Aku bayar dulu belanjaanku …” jawab Livia di seberang sana.

Nathan mengedarkan pandangan ke sekeliling alun-alun. Tidak jauh dari tempatnya duduk, ia melihat Livia berdiri dekat gerobak martabak dengan melambaikan tangan ke arahnya. Senyum tipis pun muncul di wajah Nathan. Ia segera bangkit dari tempat duduk, masih memegang ponsel di tangan. Setelah memastikan arah Livia, Nathan mematikan panggilan, lalu memasukkan ponselnya ke saku celana. Langkah Nathan terasa ringan saat ia berjalan menuju Livia, seolah pikiran berat yang sempat menghantuinya memudar sedikit demi sedikit.

“Ngapain kamu di sana?” tanya Livia saat Nathan sudah berada di dekatnya.

“Ngelamun …” jawab Nathan jujur.

“Ihk, jangan ngelamun sore-sore gini, ntar kesambet,” canda Livia sembari menyenggol sikutnya pelan pada Nathan.

“Habisnya pengen ngelamun … Gak bisa ditahan,” balas canda Nathan.

“Daripada ngelamun sendirian, mendingan ke rumahku yuk!” ajak Livia.

“Emanya boleh?” tanya Nathan sambil menyelidik.

“Siapa yang ngelarang?” Livia melirik genit pada Nathan.

“Pacar … Suami …” kata Nathan sambil tersenyum.

“Aku gak punya pacar, aku juga gak punya suami,” ucap Livia.

“Ini sudah neng …” kata penjual martabak sembari menyerahkan bungkusan martabak pada Livia.

Livia melangkah menuju mobilnya setelah membayar martabak. Saat dia membuka pintu mobil, Livia menoleh sebentar ke arah Nathan, seolah memastikan pemuda itu siap mengikutinya. Nathan dengan cepat berjalan ke motornya yang terparkir di tepi jalan. Ia langsung menyalakan mesin motor, dan mengikuti mobil Livia dari belakang. Lampu mobil Livia menyala terang, dan Nathan terus menjaga jarak aman sambil melihat mobil itu melaju pelan di depan. Livia mengarahkan mobilnya melewati beberapa belokan, dan Nathan tetap menjaga jarak di belakangnya. Jalanan kota yang mulai lengang membuat perjalanan mereka lancar. Setelah sekitar sepuluh menit, mereka tiba di sebuah rumah yang cukup besar namun tidak berlebihan. Halamannya cukup luas dengan taman kecil di depan, dan tembok bercat putih terlihat bersih. Lampu-lampu teras menerangi bagian depan rumah. Nathan memarkir motornya di halaman sambil mengamati rumah tersebut, lalu menunggu Livia keluar dari mobilnya.

“Ayo …!” ajak Livia.

Nathan mengikuti Livia masuk ke dalam rumah. Begitu pintu tertutup di belakangnya, seorang gadis kecil sekitar lima tahun berlari menghampiri Livia dengan senyum lebar. Tanpa ragu, gadis itu mengambil martabak dari tangan Livia dan memeluknya erat. Nathan cukup terkejut, tidak menyangka ada anak kecil di sini. Beberapa detik kemudian, seorang nenek muncul dari arah dalam rumah dan membawa gadis kecil itu kembali ke dalam. Livia berbalik, memberi isyarat agar Nathan duduk di sofa.

“Tunggu sebentar, aku buatkan kopi,” katanya sambil berjalan menuju pintu yang memisahkan ruang tamu dengan ruangan lain di rumah ini.

Nathan duduk perlahan di sofa krem, matanya mengamati sekeliling ruangan. Ruangan itu cukup luas dengan perabotan yang sederhana tapi terlihat rapi. Di sudut, ada rak buku kecil, beberapa lukisan menghiasi dinding, dan sebuah meja kayu tua yang masih terlihat kokoh. Suasana di dalam rumah terasa nyaman dan tenang, tidak semewah yang dia bayangkan dari penampilan rumahnya di luar, namun tetap memberikan kesan hangat yang membuatnya betah.

Livia kembali ke ruang tamu dengan membawa segelas kopi. Dia menaruh gelas itu di meja dan duduk di kursi yang berlawanan. Kopi yang dia bawa beraroma harum, menambah suasana hangat di ruangan tersebut. Livia tersenyum ramah dan mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman, lalu membuka percakapan ringan.

“Aku perhatikan, kamu seperti sedang bingung. Tadi waktu di alun-alun, kamu seperti orang linglung,” ucap Livia sambil menatap Nathan.

Nathan tersenyum kecil, mencoba mengalihkan perhatian. “Aku baik-baik saja kok. Mungkin cuma capek saja,” jawabnya dengan nada santai, berusaha menutupi kegelisahan.

Livia menggeleng pelan, jelas tak percaya. “Nggak, Nat. Aku bisa lihat kamu bukan capek. Kamu kelihatan memikirkan sesuatu yang berat.”

Nathan tetap bertahan pada jawabannya. “Aku benar-benar baik-baik saja. Cuma hari yang panjang dan melelahkan, mungkin itu yang bikin aku kelihatan bingung.”

Livia menghela napas, tidak menyerah. “Nathan, kalau kamu terus menyimpan sendiri, itu nggak akan membantu. Coba utarakan apa yang bikin kamu gelisah. Kadang dengan bicara bisa mengurangi beban pikiran.”

Nathan terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengakui, “Memang ada masalah, tapi nggak harus Mbak tahu. Ini bukan sesuatu yang perlu dibicarakan.”

Tiba-tiba, Livia mengucapkan satu nama. “Maya.”

Nathan terkejut mendengar nama itu keluar dari mulut Livia. Jantungnya berdegup lebih cepat, tapi dia langsung tersenyum tipis, berusaha menutupi keterkejutannya. Ia menatap Livia dengan pandangan tenang, meskipun pikirannya mendadak berputar-putar.

Livia menatap Nathan lebih tajam. “Sebenarnya ada apa antara kamu dan Maya? Jika memang ada masalah, kamu bisa cerita.”

Nathan mengalihkan pandangannya sejenak, suaranya terdengar rendah ketika menjawab, “Aku merasa tidak pantas membicarakan masalah itu. Terlalu pribadi.”

Namun, Livia tidak menyerah. “Kalau kamu tidak menceritakannya, kamu akan terus memendam masalah ini. Siapa tahu aku bisa memberi saran atau masukan, apalagi kalau itu bisa membantu menyelesaikan masalah kamu dengan Maya.”

Nathan akhirnya menyerah. Ia menghela napas panjang, menatap Livia sejenak sebelum berkata, “Karena Mbak terus memaksa, baiklah, aku akan cerita,” ucapnya dengan nada datar, sedikit enggan, tapi terlihat lega karena akhirnya bisa berbagi.

Livia tersenyum tipis, menanggapi singkat, “Bagus.”

Nathan memulai ceritanya dengan hati-hati, memilih kata-katanya. “Hubunganku dengan Maya… buruk. Kami mulai menjauh sejak dia mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan. Dia bilang aku bukan apa-apa baginya.” Nathan berhenti, mencoba menenangkan diri. “Kata-kata itu menghancurkan aku, Mbak. Aku sudah mulai benar-benar peduli dan menyayangi dia, tapi ketika itu keluar dari mulutnya, aku merasa seperti tidak ada artinya. Seolah-olah aku ini tidak diperlukan. Saat itu, aku merasa seperti sampah. Itulah mengapa aku memutuskan untuk pergi. Aku tidak bisa tinggal di rumahnya lagi.”

Nathan terdiam sejenak, memberi ruang bagi emosinya yang berkecamuk. Livia, yang merasakan kerentanannya, berkata lembut, “Mungkin kamu salah mengartikan kata-kata Maya. Tapi… lanjutkan ceritanya.”

Nathan mengangguk, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Masalahnya tidak hanya Maya. Ini makin rumit setelah ayahku bilang dia ingin membeli rumah di daerah ini. Rumahnya cukup besar, dan dia minta bantuanku untuk mencari uang guna membeli rumah itu.” Nathan berhenti sebentar, merasa berat melanjutkan, lalu menambahkan dengan sedikit penyesuaian, “Ayahku tidak langsung menyuruh, tapi aku tahu dia berharap aku bisa… mungkin meminta uang ke Maya. Walaupun dia tidak mengatakan secara langsung, rasanya seperti dia menyuruhku untuk itu.”

Livia tampak terkejut, lalu bergumam, “Oh…”

Nathan melanjutkan ceritanya, matanya kosong menatap ke depan. “Aku benar-benar ada di tengah dilema besar, Mbak. Di satu sisi, aku masih terluka oleh Maya. Kata-kata itu tidak bisa begitu saja aku lupakan. Tapi di sisi lain, ayahku membutuhkan bantuan. Dia ingin rumah itu, dan aku tidak bisa hanya diam. Rasanya aku seperti ditarik dari dua arah yang berlawanan. Di satu sisi, ada Maya, di sisi lain, ada ayahku. Dan sejujurnya, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku… sangat tertekan.” Nathan mengakhiri ceritanya dengan suara yang nyaris berbisik, kepalanya tertunduk, seolah beban yang ia pikul terlalu berat untuk dibagi.

Livia menatap Nathan dengan penuh perhatian, lalu berkata dengan nada yang tenang, “Nathan, aku bisa mengerti kenapa kamu merasa sakit hati sama Maya. Tapi, coba kamu pikirkan lagi, mungkin memang begitulah dia. Maya selalu bicara tanpa peduli perasaan orang lain. Aku tahu dia sangat berkuasa, dan itu kadang membuat dia meremehkan orang lain tanpa sadar.”

Nathan mendengarkan dengan serius, namun masih terlihat ragu.

Livia melanjutkan, “Maya juga bukan tipe yang suka dibantah. Semuanya harus berjalan sesuai keinginannya. Aku nggak bilang sikap itu benar, tapi itulah Maya. Sifat-sifat negatif itu mungkin sudah menjadi karakternya. Kalau kamu ingin hubungan kalian membaik, mungkin kamu harus terima itu, Nat. Terima bahwa itulah Maya, dengan segala kekurangannya.”

Livia menatap Nathan lebih dalam sambil melanjutkan ucapannya, “Aku tahu ini nggak mudah, apalagi setelah apa yang dia katakan. Tapi kalau kamu bisa belajar untuk memaafkan, kamu mungkin akan bisa melihat dia dari sisi lain. Dan siapa tahu, mungkin hubungan kalian bisa kembali baik. Yang penting, kamu tidak menyimpan sakit hati terlalu lama.”

Nathan menggelengkan kepala perlahan, terlihat skeptis. “Aku paham apa yang Mbak katakan. Tapi rasanya sulit sekali buatku untuk memaafkan Maya. Aku sudah mencoba memahami dia, tapi kata-katanya itu benar-benar menghancurkan. Aku merasa seperti aku ini tidak ada artinya bagi dia. Bagaimana aku bisa mengabaikan perasaan sakit ini dan memaafkan dia begitu saja?”

Livia mengangguk dengan empati. “Aku mengerti betul betapa beratnya itu. Tapi, Nathan, kadang-kadang kita harus memisahkan antara tindakan seseorang dan perasaan kita sendiri. Maya mungkin tidak tahu betapa sakitnya kata-katanya bagimu. Bisa jadi dia bicara begitu tanpa niat jahat, hanya karena dia tidak peduli atau tidak sadar.”

Nathan masih tampak tidak yakin, lalu bertanya, “Tapi bagaimana kalau dia terus seperti itu? Bagaimana kalau dia tidak berubah dan hanya akan terus menyakiti hatiku?”

Livia menatap Nathan dengan penuh pengertian. “Perubahan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Kita tidak bisa mengubah sifat dasar seseorang, tapi kita bisa memilih bagaimana kita merespon. Memilih untuk memaafkan bukan berarti kamu harus melupakan atau menerima perlakuan buruknya. Itu lebih tentang membebaskan dirimu sendiri dari beban emosional. Kalau kamu terus menyimpan rasa sakit itu, kamu hanya akan terus menderita.”

Nathan merenung sejenak, tampak mulai mempertimbangkan kata-kata Livia. Livia melanjutkan, “Lagipula, memaafkan adalah tentang memberi dirimu kesempatan untuk bergerak maju. Itu bukan hanya untuk Maya, tapi juga untuk dirimu sendiri. Dengan memaafkan, kamu bisa melanjutkan hidup tanpa terus-terusan terikat pada rasa sakit masa lalu. Itu akan membantumu lebih fokus pada apa yang benar-benar penting, seperti membantu ayahmu yang butuh bantuanmu saat ini.”

Nathan menghela napas panjang, tampak sedikit lebih tenang. “Aku akan coba pikirkan lagi, Mbak. Aku memang merasa tertekan dengan semua ini. Mungkin Mbak benar, aku perlu mencari cara untuk melepaskan rasa sakit ini.”

Livia tersenyum lembut, merasa senang karena Nathan mulai membuka diri. “Aku yakin kamu bisa melewati ini, Nat.”

Nathan duduk di sofa, menatap Livia yang duduk di seberangnya. Mereka melanjutkan percakapan mulai dengan hal-hal ringan, namun perlahan-lahan bergeser ke topik yang lebih mendalam. Nathan merasa nyaman berbicara, dan Livia mendengarkan dengan tatapan penuh perhatian. Suasana pun secara perlahan berubah menjadi lebih akrab.

Nathan, yang awalnya duduk dengan posisi agak kaku, mulai melonggarkan tubuhnya. Dia menyilangkan kakinya, kemudian sedikit membungkuk ke depan, semakin tertarik dengan pembicaraan mereka. Sementara itu, Livia tersenyum hangat. Tatapannya lembut, namun sorot matanya yang sesekali berkedip menunjukkan bahwa dia benar-benar menyimak setiap kata yang diucapkan oleh Nathan.

“Jarang sekali aku merasa begitu nyaman berbicara dengan seseorang yang baru aku kenal,” kata Nathan sambil menatap Livia. Suaranya rendah namun terdengar tulus.

Livia tersenyum, lalu berkata dengan lembut, “Aku merasakan hal yang sama. Mungkin kita memang memiliki beberapa kesamaan.” Wanita itu sedikit merapat ke depan, membuat jarak mereka berkurang.

“Atau mungkin kita sama-sama memiliki masalah yang sedang berusaha kita lupakan,” balas Nathan dengan senyum tipis. Tangannya bergerak sedikit, seakan ingin menyampaikan sesuatu yang lebih dalam, namun ia menahan diri.

“Masalah? Hi hi hi… Aku gak punya masalah kok,” jawab Livia dengan lirih, “Atau mungkin… kita memang saling tertarik?”

Nathan terdiam sejenak, menyerap kata-kata Livia barusan yang seakan memberinya lampu hijau untuk lebih berani, kemudian pemuda itu tertawa kecil. “Itu juga bisa menjadi salah satu alasannya,” katanya, sambil menyandarkan punggungnya lebih santai ke sofa. Pandangannya tetap terarah pada Livia, semakin lekat.

“Jujur saja aku merasa nyaman berada di dekatmu, Nathan …” ucap Livia pelan, nyaris berbisik. Kali ini dia bergerak lebih dekat, duduk di pinggiran sofa, membuat jarak di antara mereka semakin tipis.

“Itulah kesamaan kita, dan ya aku juga nyaman sekali bersama Mbak,” ucap Nathan dengan nada tenang. Nathan menatap Livia dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Jujur, dari pertama kali kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Mbak punya sesuatu yang menarik perhatianku. Aku tidak bisa berhenti memikirkan Mbak.”

Livia tersenyum lembut. Tatapan mereka bertemu sekali lagi, kali ini lebih lama. Perlahan, Nathan bergerak lebih dekat, duduk tepat di samping Livia, hingga jarak di antara mereka nyaris tak tersisa. Keduanya masih saling berbicara, tapi suasana semakin intim.

“Sofa ini seperti tahu ya?” ucap Livia dengan senyum kecilnya.

“Em … Tahu apa?” Nathan belum mengerti arah pembicaraan Livia.

“Sofa ini seperti tahu kalau kita merasa saling nyaman,” kata Livia yang sekarang mengulum senyumnya.

“Sangat nyaman. Tapi rasanya lebih nyaman lagi karena Mbak ada di sini,” respon Nathan.

Livia tertawa, “Hi hi hi … Jadi kamu bilang karena aku lah sofa ini terasa lebih enak?”

“Ya … Tapi akan lebih nyaman lagi kalau …” Nathan menjeda kata-katanya sambil menatap mata Livia dengan gelora hasrat di dadanya.

“Lebih nyaman gimana?” Livia menunggu kelanjutan ucapan dengan jantung berdebar-debar.

“Lebih nyaman lagi kalau Mbak mau duduk di pangkuanku,” jawab Nathan sangat menggoda.

Livia tersenyum lebar, matanya bersinar penuh semangat. “Oh, itu benar-benar ide yang sangat menarik,” ujarnya dengan nada ceria.

Dengan gerakan lembut dan penuh keyakinan, Livia berdiri dan perlahan-lahan duduk di pangkuan Nathan. Nathan merasakan berat tubuh Livia yang lembut dan hangat membuatnya semakin bergelora. Darah pemuda itu mengalir deras ke bagian bawah tubuhnya, seolah-olah setiap sentuhan Livia memicu respons fisik yang sangat menyenangkan. Sementara itu, Livia merasakan getaran halus yang menjalar di seluruh syaraf tubuhnya, membuat wanita itu merasakan hormon-hormon kewanitaannya meronta-ronta dalam kegembiraan.

Livia melingkarkan tangannya di leher Nathan dan menatapnya dengan tatapan lembut. “Sekarang, sofa ini terasa sangat sempurna,” bisiknya, dengan senyum hangat.

“Mbak tahu, kalau ada tempat lain yang lebih sempurna daripada sofa ini?” ucap Nathan sambil memeluk Livia dengan lembut, merasakan kehangatan tubuh Livia

“Apa itu?” tanya Livia mendesah pura-pura tidak mengerti arah pembicaraan Nathan.

Nathan memandang Livia dengan tatapan penuh arti, tersenyum lembut. “Tempat yang lebih sempurna adalah tempat di mana kita bisa merasakan kedekatan yang lebih sekedar seperti ini, tanpa batas.”

Livia menatap Nathan dengan mata berkilau. “Tempat seperti apa itu?” tanyanya, dengan nada yang sedikit menggoda.

Nathan membiarkan tatapannya tetap pada Livia, tidak langsung menjawab. “Tempat di mana kita bisa lebih dekat lagi, tempat yang memberi kita kenyamanan yang lebih pribadi.”

Senyuman kecil mengembang di bibir Livia. “Hmm, tempat yang memungkinkan kita untuk benar-benar berbagi kehangatan dan kenikmatan,” katanya, mengarahkan percakapan lebih jelas.

Nathan memandang Livia dengan tatapan penuh arti dan membalas senyumnya. “Ya, itulah maksudku,” ucapnya dengan lembut.

Livia memandang Nathan dengan tatapan penuh arti, senyum di bibirnya semakin melebar. Ada kehangatan dan sesuatu yang sangat dalam pada tatapan mereka, seolah-olah mereka saling membaca pikiran satu sama lain. Suasana di sekitar mereka menjadi panas oleh hasrat yang membara, penuh dengan janji dan keinginan yang tak terucapkan.

Livia perlahan-lahan bangkit dari pangkuan Nathan, gerakannya lembut dan anggun. Dia berdiri di depan Nathan, matanya tetap bertautan dengan tatapan Nathan yang masih penuh arti. “Aku rasa kita sudah merasakan cukup kehangatan di sini,” ucap Livia lembut, mengulurkan tangan kepada Nathan.

Nathan mengikuti gerakan Livia, menyadari arah yang dituju oleh wanita itu. Nathan pun berdiri dan meraih tangan Livia. Senyuman mereka saling menyatu, dan tanpa kata-kata lagi, Livia mulai menarik Nathan penuh perasaan ke arah pintu kamar. Langkah keduanya ringan dan penuh keyakinan, seolah-olah mereka tahu persis ke mana waktu akan membawa mereka.

Saat mereka melangkah menuju kamar, suasana di sekitar mereka terasa semakin panas dan dipenuhi dengan birahi yang membara. Langkah-langkah mereka serasi, setiap gerakan Livia penuh dengan keanggunan yang memikat, seperti tarian lembut yang mengundang hasrat. Nathan merasakan detak jantungnya semakin cepat, bukan hanya karena kegugupan, tetapi karena gelora keinginan yang meluap-luap.

Sesampainya kamar dan menutup kembali pintu, Livia menoleh sejenak ke arah Nathan, matanya berkilau, “Inilah tempat yang kita cari,” katanya dengan nada lembut dan penuh arti. Nathan pun merespon dengan anggukan kecil

Nathan dan Livia saling memandang dengan penuh gairah. Tatapan mereka mengungkapkan keinginan yang tak terbantahkan. Dengan lembut, mereka saling mendekat dan mulai berciuman, sentuhan bibir mereka penuh gairah. Ciuman itu membakar tubuh mereka, membuat keduanya semakin terhubung. Perlahan, mereka mulai melepaskan pakaian satu sama lain, setiap gerakan penuh dengan rasa kekaguman. Nathan mengagumi bentuk tubuh Livia, memperhatikan lekuk-lekuk halus di pinggangnya, keindahan payudaranya yang penuh, serta kemulusan kulitnya yang sempurna. Sebaliknya, Livia memandang tubuh Nathan dengan penuh kekaguman, mengamati kekar otot-otot tubuhnya, serta bentuk dada dan perutnya yang tegap.

Nathan dan Livia menaiki tempat tidur bersama, tanpa sepatah kata pun terucap. Hanya ada dorongan naluri yang menggerakkan mereka. Keduanya saling mendekat, saling menghangatkan, menjalin simpul-simpul birahi yang memancar dari setiap sentuhan. Livia merasakan tangan Nathan yang menyentuh setiap inci tubuhnya dengan lembut, sementara ia sendiri membalas dengan sentuhan lembut pada tubuh Nathan. Setiap sentuhan, setiap gerakan, seolah membangkitkan sebuah api yang semakin membesar dalam diri mereka. Gelora hasrat purba mengalir deras, melingkupi setiap sudut pikiran mereka dengan kekuatan yang sulit untuk dikendalikan. Mereka terbuai dalam gairah, terlarut dalam pengalaman yang hanya bisa dirasakan, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Livia melepas ciumannya lalu menengadahkan kepalanya. Tangan kanan wanita itu membelai surai halus Nathan, “Lakukanlah sekarang, Nathan. Buat aku selalu menginginkanmu,” bisik Livia tepat di telinga Nathan kemudian mengecup pipi Nathan.

“Eeumbbh,” Nathan menjilat perpotongan leher Livia, “Sabar sayang … Aku akan membuatmu selalu menginginkanku.”

Livia terkekeh, “Terserah apa katamu Nat, sshh mmhhh …” desah Livia saat Nathan dengan sengaja menghisap perpotongan lehernya, dan meremas payudara berisinya.

Tangan Nathan mulai menyentuh tubuh Livia, mengusap dan memijat lembut paha Livia, perlahan menjelajahi kulit mulusnya. Sementara itu, Livia merespons dengan menggigit bibir bawahnya, matanya terpejam menikmati setiap sentuhan.

“Aaahhh …” Livia merintih saat tangan Nathan mulai menjamah paha dalamnya, menaiki selangkangannya dan mengusap perlahan kewanitaan Livia dengan telapak tangan pemuda itu.

“Mmmhh… .Nathan… Oooohhh…”

“Nnngghhh” jawab Nathan mengerang sembari melumat payudara kanan Livia.

“Ssssshhh…” desis Livia saat jemari Nathan mulai menekan dan menggesek klitorisnya.

Livia semakin melebarkan kedua pahanya, memberikan ruang bagi Nathan untuk mengeksplorasi dengan lebih leluasa. Dengan lembut, Nathan terus menyentuh dan membelai daerah sensitifnya, setiap gerakan dilakukan dengan penuh penghayatan untuk memastikan kenyamanan dan kepuasan Livia.

“Ssshhh… Aaaaahhh…” Erang Livia saat Nathan memainkan liang kewanitaan Livia, memasukan jarinya perlahan.

“Mbak menikmatinya kan?” tanya Nathan menggoda sesaat setelah melepas lumatannya.

Livia hanya mampu mengangguk karena menahan desahannya, merasa setiap gerakan Nathan semakin membuatnya sulit untuk tetap tenang. Rasa yang kuat ini membuatnya semakin tenggelam dalam momen itu, tubuhnya bergetar lembut seiring dengan setiap sentuhan yang memicu rasa nikmat.

“Jangan ditahan Mbak … Aku ingin mendengar Mbak mendesah.”

“Eeeemmhh … Nathaaannn … Ssssshhh oouuhh …”

Nathan menggerakan perlahan jari telunjuknya, sesekali membuat gerakan memutar, perlahan, dan penuh tekanan, “Aaaaahhh” desahan demi desahan lolos dari bibir Livia, mata besar Livia pun nampak sayu karena kenikmatan yang Nathan berikan. Nathan tak berhenti menggerakan jarinya, cairan putih kental mulai keluar dari kewanitaan Livia, Nathan semakin meningkatkan kecepatan gerakannya, bahkan kini dua jari telah bersarang di liang hangat Livia.

“Eeenngghhh …” rintihan nikmat Livia semakin terdengar. Lendir Livia semakin deras mengalir, bahkan membasahi sekitar liang kewanitaannya. Nathan yang menyaksikan Livia yang sejak tadi terus mengerang, kejantanannya pun mengeras, bahkan lebih keras.

Nathan mengeluarkan jemarinya, terdengar desahan kecewa dari mulut Livia. Tanpa aba-aba, Nathan menaikan bagian bawah Livia, menempelkan bongkahan sintal pantat Livia pada dadanya, membuka lebar paha Livia, dengan posisi ini, Nathan bisa melihat jelas liang surga Livia. Nathan membelai paha Livia, kemudian menciuminya dan memberikan gigitan-gigitan kecil, Livia melihat jelas apa yang dilakukan Nathan, dia hanya mengigit bibirnya untuk meredam erangannya.

Lidah Nathan dengan fasih menjelajahi paha dalam Livia, bergerak dengan lembut dan penuh perhatian. Ia semakin mendekat ke tengah, menyapukan lidahnya perlahan-lahan di sekitar vagina Livia. Setiap sentuhan lidah pemuda itu seperti sebuah tarian yang penuh gairah. Nathan tidak tergesa-gesa, memberikan perhatian penuh pada setiap inci, sebelum akhirnya menyentuh dan mengecup lembut pada bagian klitoris Livia dengan penuh keleluasaan.

“Nnnghh …” erang Livia membuat Nathan semakin bersemangat, dengan lihai lidahnya bergerak turun, menuju lubang kewanitaan Livia, menjilat kemudian menusuknya perlahan.

“Aaaahhhh …” desahan panjang lolos dari bibir merah Livia, Nathan menyeringai, dia semakin bergairah, Nathan menjilati lendir yang membasahi sekitar kewanitaan Livia.

Livia hanya bisa menggeleng sembari menatap sayu Nathan. Tak puas dengan itu, Nathan kembali menyesap kewanitaan Livia, memainkan klitoris Livia dengan jemarinya, napas Livia semakin tidak teratur. Nathan melepas pangutan bibirnya pada bibir vagina Livia, membuka lebar bibir vagina Livia dengan kedua jemarinya, kemudian memasukan jari tengahnya perlahan. Nathan menggerakan jari tengahnya perlahan. Memutar jemarinya sembari memasukan jari manisnya.

“Sssshhh … Aaaahhh …” desah Livia yang tak mampu menahan gelombang sensasi yang menguasai tubuhnya. Suaranya semakin lirih, namun penuh dengan kenikmatan yang tercermin di setiap nada. Tangan Livia tanpa sadar meremas seprai di bawahnya, tubuhnya melengkung lembut seiring dengan setiap gerakan yang Nathan lakukan.

“Nikmat sayang?” tanya Nathan sembari menggerakan kedua jemarinya, Livia tak mampu menjawab, dia hanya mampu mendesah mengekspresikan kenikmatannya.

Nathan mempercepat gerakan jarinya, membuat erangan Livia semakin keras dan napasnya semakin tidak teratur. Vagina Livia menjadi semakin hangat dan lembab, dengan setiap sentuhan terasa semakin nikmat. Livia merasa benar-benar tenggelam dalam sensasi yang ditimbulkan oleh jemari Nathan. Sementara itu, Nathan semakin menambah intensitas gerakannya, dan jeritan nikmat Livia semakin sering keluar, membanjiri ruangan dengan suara kesenangan yang tak tertahan.

“Aaaahhh Nathan..ohh… Sssshhh oouuhhhh…” lolongan nikmat Livia menggema seolah setiap kata yang tidak bermakna itu menggambarkan betapa dalamnya kenikmatan yang Livia rasakan.

“Keluarkan sayang,” ucap Nathan sembari terus menggerakan jemarinya tanpa mengurangi kecepatan.

“Aaarrgghhhhhh…” Livia mengerang, mendongakan kepala, mencengkram kuat batal di bawahnya, menyalurkan puncak kenikmatan yang baru saja dia rasakan, kewanitaannya pun semakin basah, lendirnya mengalir deras.

Nathan mengeluarkan jarinya, mendekatkan wajahnya pada selangkangan Livia, kemudian menyesap lendir yang keluar dari kewanitaan Livia, desahan nikmat semakin terdengar dari mulut Livia, Nathan menurunkan tubuh bawah Livia perlahan.

Napas Livia masih memburu, matanya sayu menatap Nathan yang bersimpuh di antara kedua paha mulusnya. Nathan mengusap kewanitaan Livia dengan kedua jarinya, kemudian menjilat jarinya. Entah mengapa melihat Nathan menjilat nikmat jemarinya, membuat tubuh Livia bergetar.

“Nathan …” panggil Livia yang lebih mirip dengan sebuah desahan. Nathan membelai kedua paha dalam Livia, membukanya semakin lebar, dan mengalungkan kaki Livia pada pinggangnya, membungkukan badannya, mendekatkan kejantanan tegaknya dengan selangkangan Livia.

“Eeenngghhh…” Livia kembali mengerang saat benda keras menyentuh area kewanitaannya.

Nathan menatap Livia, menyingkirkan helaian poni Livia yang menutupi dahinya, kemudian mengecupnya. Livia memejamkan matanya, menikmati sentuhan lembut Nathan. Ciuman Nathan semakin turun, dengan perlahan bibir Nathan menyusuri hidung bangir Livia, semakin turun menuju bibir merah Livia, mengecupnya, kemudian menyesapnya perlahan. Tangan kiri Nathan menyusup kebagian punggung Livia merengkuh tubuh ramping Livia, membuat tubuh mereka semakin menempel. Tangan kanan pemuda itu sibuk membelai rambut dan pipi Livia.

Ciuman Nathan semakin memabukan bagi Livia, tubuhnya kembali bergetar penuh kenikmatan. Erangan lirih terdengar dari bibir Livia saat Nathan dengan sengaja menyentuhkan kejantanannya pada liang kewanitaan Livia. Nathan melumat bibir Livia, menyesap bibir bawahnya, memainkan lidah Livia. Tangan Livia meremas helaian rambut Nathan.

Pinggul Nathan mulai bergerak perlahan, menggesekkan area sensitif mereka dengan penuh gairah. Napas mereka semakin memburu, terasa semakin cepat dan tidak teratur. Nathan menghentikan belaian tangannya pada pipi Livia, tangannya berpindah untuk memegang penisnya lalu mengarahkan ke liang surga milik Livia. Nathan pun melepas ciuman dari bibir Livia, kini pemuda itu terfokus pada penetrasi yang akan ia lakukan.

“Aku akan masuk sayang …” ucap Nathan pelan meminta ijin Livia.

“Lakukanlah Nathan … Lakukanlah …” balas Livia setengah mendesah.

Penis Nathan mulai membelah lembut vagina Livia, bergerak perlahan untuk menghindari rasa sakit dan memastikan kenyamanan. Dengan hati-hati, penis Nathan menembus kelembutan liang senggama Livia, memasuki ruang yang sempit dan basah. Setiap inci pergerakan terasa sangat intens, dan rasa nikmat langsung menyebar ke seluruh tubuh Nathan akibat jepitan nikmat liang surgawi Livia. Sensasi hangat dan ketat tersebut menciptakan gelombang kepuasan yang mendalam.

Penis Nathan mulai keluar masuk perlahan, setiap gerakan terasa terukur saat memasuki lorong vagina Livia. Awalnya, gerakan tersebut terasa lambat, namun seiring waktu, ritmenya menjadi lebih cepat. Vagina Livia semakin basah, lendir yang terbentuk memudahkan pergerakan penis Nathan. Ketika penis Nathan bergerak lebih cepat, lendir yang melimpah semakin memperlancar setiap gesekan. Ketatnya liang vagina Livia menyambut setiap dorongan dengan penuh gairah, menambah kedalaman dan kecepatan setiap gerakan.

Livia menggelinjang, tubuh wanita itu sepenuhnya berada di bawah kendali Nathan. Setiap gerakan Nathan menyebabkan gelombang kenikmatan yang luar biasa hingga Livia merasa seperti kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Kenikmatan yang dirasakan Livia sangat kuat sehingga sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Hanya umpatan dengan kata-kata kotornya yang keluar dari bibirnya, disertai dengan erangan-erangan nikmat yang terus-menerus. Tubuhnya bergetar di bawah setiap sentuhan dan dorongan, seolah setiap gesekan dan huajaman Nathan mengaktifkan titik-titik sensasi yang tak terbayangkan rasanya.

“Aaaahhh Nathhhaannn… Eenakh sayangh… Entot aku lebihhh… cepaaatthh…” pinta Livia.

Mendengar permintaan Livia seperti itu, Nathan mempercepat ritme hujamannya. Setiap hujaman kini lebih cepat dan kuat, menghasilkan suara perpaduan yang seksi antara kedua kelamin mereka. Nathan dan Livia semakin tenggelam dalam lautan kenikmatan yang tiada tara. Mereka merasa seolah dikelilingi oleh gelombang rasa yang sangat dalam dan memuaskan, mengalir tanpa henti di seluruh tubuh mereka. Setiap sentuhan, setiap dorongan, terasa seperti ledakan kecil yang membanjiri mereka dengan rasa senang dan bahagia yang tak tertandingi. Kesadaran mereka mengabur oleh apa yang mereka rasakan.

“Haakk ahhh Nathan… yang kenceng… Ooouhhh, jangan berhenti, ssshh… Aku sebentar lagiihhh…” erang Livia dengan napas yang terengah-engah. Suaranya penuh dengan desakan dan keputusasaan akan kepuasan yang hampir mencapai puncaknya.

“Keluarkan sayang, sshh…” perintah Nathan dengan nada penuh gairah

“Aaarrghhh Nathan… Oooohhhhh …” lendir kewanitaan Livia semakin deras mengalir, puncaknya, tubuh Livia menegang dan bergetar, otot kewanitaannya meremas kuat kejantanan Nathan, jeritan nikmat lolos dari bibir Livia, kedua tangannya merengkuh kuat tubuh Nathan.

Nathan memperlambat gerakannya, membiarkan Livia menikmati orgasme keduanya. Ia menunggu dengan penuh perhatian, memberikan waktu bagi tubuh Livia untuk meresapi setiap gelombang kenikmatan yang melanda. Selama momen itu, Livia merasakan getaran orgasme yang kuat, tubuhnya bergetar-getar, dan napasnya sangat tidak teratur.

“Nath …” panggil Livia sedikit kecewa saat Nathan mengeluarkan kejantanannya, seketika lendir kewanitaan Livia keluar mengalir, menetes membasahi sprei putih Livia.

“Berbaliklah …” pinta Nathan sembari membantu memutar tubuh Livia.

Livia hanya mampu mengikuti perintah Nathan, dia membalikan tubuhnya, bertumpu pada lutut dan sikunya. Nathan membungkukkan tubuhnya, mengecup lembut punggung Livia, dan meremas gemas payudara sintal Livia yang menggantung. Dengan penuh gairah, Nathan melanjutkan sentuhannya, mengecup setiap inci punggung Livia, sementara jemarinya bergerak di sekitar payudara Livia, memicu sensasi yang semakin dalam. Nathan meningkatkan intensitasnya, menggesekkan tubuhnya lebih dekat dan mengalirkan energi baru ke dalam momen itu. Livia merespons dengan mendesah lembut, tubuhnya bergetar meresapi setiap gerakan dan ciuman Nathan. Nathan, dengan penuh perhatian, terus mengeksplorasi, membuat setiap sentuhan dan ciuman semakin memanaskan gairah Livia

“Nnngghhh …” Nathan menyentuh kewanitaan Livia dengan kejantanan tegangnya, perlahan dia menusuk liang kewanitaan Livia. “Sssshhh … Aaahhhh…” desah lega Livia saat kejantanan besar Nathan masuk sempurna.

Nathan pun mengeluarkan penisnya, hanya menyisakan bagian ujung, lalu mengentakkan kembali ke dalam vagina Livia dengan kuat. Gerakan ini Nathan ulang-ulang dengan ritme yang konsisten. Setelah beberapa menit, Livia tak mampu lagi menopang tubuhnya, kepalanya ambruk ke lantai, membuat pinggulnya semakin meninggi. Hal ini memberi keleluasaan bagi Nathan untuk memompa vagina Livia. Nathan bertahan dalam posisi ini cukup lama, lendir mereka bercampur, dan cairan putih menuruni paha Livia. Nathan semakin cepat menggerakkan penisnya, setiap sodokan menjadi lebih tajam dan kuat, meningkatkan kenikmatan bagi keduanya.

“Ssssshh aaahhh Nathhaaann … akkuuhh mauu laghiii …”

”Ssshh..sembentar lagi sayang …”

“Haahh hahh hahhh… Keluarinn say..aahhh. Penuhi aku dengan spermamu … Ooohhh …” pinta Livia.

“Aaarrgghhh Mbakk … Ssshhh oouuhh. Aku keluuaarrr … Aaarrgghhh …” Nathan mengerang dengan keras, suaranya penuh dengan kepuasan saat mencapai puncak kenikmatan. Tubuhnya bergetar hebat, setiap dorongan terakhir terasa sangat kuat. Nathan merasakan gelombang euforia yang menyebar dari inti tubuhnya, menyebabkan setiap ototnya berkontraksi dengan keras. Pada saat yang bersamaan, cairan hangat memenuhi vagina Livia, mengalir dalam ritme yang penuh gairah.

“Ooohh… Aaaahh… Penuhi aku… yanghhh… sshhh aaahhh….” Livia mengerang ketika mencapai orgasmenya kembali saat Nathan menyemburkan spermanya ke dalam liang hangat Livia.

Tubuh Livia ambruk seketika. Nathan kemudian mengeluarkan bendanya, lalu berguling ke samping Livia. Napas mereka terengah, perlahan Livia mengubah posisi tubuhnya, membuatnya kembali terlentang, bergeser mendekati Nathan, menyandarkan kepalanya di dada bidang Nathan dan memeluk tubuh Nathan. Nathan pun membelai rambut Livia.

Tubuh Livia ambruk seketika, lelah setelah mencapai puncak kenikmatan. Nathan mengeluarkan kejantanannya dan berguling ke samping Livia. Napas mereka terengah-engah, saling terputus-putus. Perlahan, Livia mengubah posisi tubuhnya, berusaha untuk kembali terlentang. Ia bergeser mendekati Nathan, menyandarkan kepalanya di dada bidang Nathan, dan memeluk tubuh pemuda itu dengan lembut. Mereka berdua saling berpelukan, menikmati kedekatan dan ketenangan setelah pengalaman yang memuaskan.

“Nathan … Ini baru pertama kalinya aku merasakan kenikmatan bercinta seperti ini sepanjang hidupku. Rasanya luar biasa, tidak pernah aku merasakan hal seperti ini sebelumnya,” ucap Livia sejujur-jujurnya, sambil menatap Nathan dengan mata penuh kekaguman.

“Serius? Aku kok gak percaya. Mbak pasti sudah merasakan banyak pengalaman sebelum ini,” tanya Nathan dengan nada ragu, mengangkat alisnya dan menunjukkan ekspresi tidak yakin, sambil memiringkan kepalanya sedikit.

“Aku gak bohong, Nathan. Hanya kamu yang mampu memberikanku sensasi seperti ini. Kamu benar-benar membuatku merasa luar biasa. Aku gak pernah orgasme sebanyak tadi dalam satu sesi persetubuhan. Malam ini adalah sesuatu yang tidak pernah aku alami dengan orang lain. Kamu sangat perkasa di atas ranjang,” tegas Livia, dengan tangan yang lembut mengelus lengan Nathan.

“Oh, aku hanya berusaha memberikan yang terbaik. Aku tidak pernah merasa bahwa aku istimewa. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa untuk membuat Mbak merasa nyaman dan puas,” kata Nathan sambil tersenyum.

“Nathan, tidak ada yang lebih baik darimu. Kamu memang yang terbaik,” ucap Livia dengan senyum lembut, memeluk Nathan dengan erat sambil menatapnya dengan penuh rasa terima kasih.

“Livia, aku harus pulang sekarang. Ada yang harus aku selesaikan di rumah,” kata Nathan dengan nada serius.

“Tapi Nathan, aku masih ingin kamu di sini,” jawab Livia, mencoba menahan Nathan.

“Aku paham, tapi pekerjaan ini benar-benar harus aku selesaikan malam ini,” jelas Nathan sambil mengangkat bahunya sedikit.

Ya sudah, kalau memang harus begitu. Tapi tolong, sering-seringlah datang ke sini,” ujar Livia, menyerah tapi dengan nada penuh harapan.

“Tentu, aku akan sering datang,” ucap Nathan sambil tersenyum lembut.

Nathan dan Livia turun dari tempat tidur, lalu mereka mengenakan pakaian dan merapikan diri. Setelah itu, mereka keluar dari kamar dan berjalan menuju pintu depan rumah. Di pintu, mereka saling mengucapkan salam perpisahan. Nathan kemudian menuju ke halaman rumah, di mana motornya terparkir. Ia membuka kunci motor, menaikinya dengan hati-hati, dan memulai mesin. Nathan mengemudikan motornya melewati jalan yang tenang di malam hari. Jalan-jalan di sekelilingnya hampir sepi, dengan lampu jalan yang menerangi jalanan dan pepohonan di tepi jalan. Sesekali, mobil melintas, menambah suasana malam yang damai. Nathan mengikuti jalan utama, berbelok ke beberapa persimpangan yang sudah sangat familiar baginya.

Setelah beberapa menit berkendara, Nathan memasuki lingkungan rumahnya. Jalan-jalan di sekitar terlihat lebih dikenal, dengan gang-gang kecil dan taman-taman yang sering ia lewati. Ia melaju pelan menuju rumahnya, merasakan kenyamanan dari suasana lingkungan yang akrab. Sesampainya di rumah, Nathan memarkirkan motor di area parkir depan rumahnya, kemudian memasuki rumah dengan langkah santai.

Namun, begitu dia melangkah masuk ke dalam rumah, suasana hatinya tiba-tiba berubah. Pikiran tentang permintaan ayahnya mulai membebani pikiran pemuda itu. Nathan berhenti sejenak di ruang tamu karena wajah Maya juga menghantui pikirannya. Harapan ayahnya yang mengharuskan Nathan menghadapi Maya seakan mengoyak-ngoyak ketenangan yang dia rasakan sebelumnya. Ketidakpastian dan tekanan batin membuat Nathan merasa seperti terjepit antara kewajiban dan perasaannya sendiri. Meskipun pikirannya dipenuhi dengan kebimbangan, dia tahu bahwa dia tidak bisa menghindari kenyataan. Nathan mengertakkan rahangnya, mengumpulkan tekad untuk menghadapi Maya.

Nathan memasuki kamar lalu duduk di sisi tempat tidur. Tangan pemuda yang sedang galau itu meraih ponsel dari saku celananya. Ia membuka aplikasi WhatsApp, mencari nama Maya di daftar kontak, lalu mengetik pesan. Jari-jarinya sempat ragu sejenak sebelum ia mulai menulis. Kalimat demi kalimat muncul di layar, menggambarkan bahwa mereka perlu bicara untuk membicarakan sesuatu yang penting. Setelah menatap pesannya selama beberapa detik, Nathan menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol kirim. Tepat setelah pesan terkirim, ponsel diletakkan di meja kecil samping tempat tidur. Nathan bersandar di tempat tidur, matanya menatap langit-langit kamar yang terasa lebih sunyi dari biasanya.

Bersambung​

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *