BAB 11
Waktu terus bergulir, tiada henti. Detik demi detik terlewati. Nathan duduk diam, namun pikirannya terus melayang. Matanya tak lepas dari langit-langit kamar, menunggu notifikasi yang tak kunjung muncul. Ia menghela napas panjang berkali-kali, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia merasa gelisah. Rasa cemas semakin sulit ditahan. Ia sudah mengirim pesan bermenit-menit yang lalu, tapi sampai sekarang tak ada jawaban. Nathan mencoba untuk fokus pada hal lain, tapi pikirannya selalu kembali ke satu hal yang sama, pesan itu. Nathan mengerutkan kening, menahan rasa frustrasi yang semakin dalam. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan yang terus berkecamuk.
Akhirnya ponsel Nathan berbunyi tanda ada pesan yang masuk. Suara notifikasi itu membuat Nathan terkejut. Ia menoleh cepat ke arah ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Hati Nathan langsung berdegup lebih kencang. Dengan agak ragu, Nathan mengambil ponsel dari meja. Jari-jarinya sedikit gemetar saat menyentuh layar. Ia menatap ponsel itu untuk beberapa saat. Meskipun harapannya besar, ada ketakutan kecil di sudut hatinya yang membuat Nathan berhenti sejenak sebelum menggeser layar.
Namun kening Nathan mengkerut seketika saat melihat nama Denis yang muncul di layar. Bukan nama yang ia harapkan. Rasa kecewa langsung menyeruak, menggantikan harapan yang tadi sempat muncul. Nathan menarik napas, menahan rasa jengkel yang perlahan mengisi pikirannya. Apa yang Denis inginkan di saat seperti ini?
Nathan membuka pesan dari Denis dengan sedikit kesal. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat isi kiriman Denis. Sebuah foto muncul di layar, membuat Nathan terdiam seribu kata. Ia tidak menyangka akan menerima sesuatu seperti ini. Perlahan tapi pasti, perasaan-perasaan kelam bermunculan di hati Nathan. Ada rasa sakit yang merayap, seiring dengan pikiran-pikiran buruk yang mulai memenuhi kepalanya. Semakin lama ia menatap ponsel, semakin kuat perasaan itu menguasai dirinya. Marah, benci, kecewa, dan perasaan negatif lainnya berkumpul menjadi satu di dadanya. Semua itu bercampur, menciptakan beban yang terasa semakin berat. Ia mencoba menenangkan diri, tapi gagal. Gelombang emosi yang ia rasakan terlalu kuat. Darahnya mendidih, emosinya meninggi. Ia merasakan panas yang menyebar ke seluruh tubuhnya, membuat Nathan hampir kehilangan kendali.
Nathan sangat marah melihat foto kiriman Denis yang disertai pesan teks yang tertulis, “Maya sudah tidur kelelahan” diikuti emoji cinta. Foto itu menampilkan bagian atas tubuh Maya sebatas dada yang telanjang di mana Maya sedang tertidur. Pandangan Nathan langsung tertuju pada tubuh Maya yang terlihat jelas di foto tersebut. Nathan melihat banyak bercak merah di leher dan di payudara Maya. Bercak-bercak itu tampak mencolok, seperti tanda yang tak mungkin disalahartikan.
Sesungguhnya Nathan tidak marah terhadap kenyataan Maya yang bercinta dengan Denis, karena Nathan sudah menyadari hal tersebut sebelumnya. Ida sudah pernah menjelaskan bahwa Denis adalah “teman kasur” Maya. Nathan tahu betul apa yang terjadi antara keduanya, dan hal itu bukan lagi rahasia. Tetapi yang membuat Nathan marah adalah perbuatan Denis yang sepertinya sengaja mengolok-olok dirinya. Pengiriman foto itu dengan sengaja, disertai dengan pesan yang bernada santai namun menusuk, membuat Nathan merasa dipermalukan. Ini bukan soal hubungan Maya dan Denis lagi, melainkan soal sikap Denis yang terlihat seperti mempermainkan perasaannya. Penghinaan tersirat dalam cara Denis menunjukkan bahwa ia bisa mengendalikan situasi sekehendak hatinya.
Nathan menganggap perbuatan Denis itu sebagai pelecehan terhadap dirinya. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak oleh tindakan Denis. Tidak ada alasan lain bagi Denis untuk mengirim foto seperti itu, kecuali untuk menyakiti Nathan secara emosional. Setiap detail dari foto dan pesan itu seolah dirancang untuk mempermalukan Nathan, untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa dalam hubungan mereka bertiga.
Nathan sangat yakin bahwa Denis menganggap dirinya sebagai anak dari Maya. Perbuatan Denis seolah ingin menunjukkan bahwa Maya, yang seharusnya menjadi figur ibu bagi Nathan, berada di bawah kekuasaannya. Denis tampak ingin menunjukkan bahwa Maya hanyalah “mainan” yang bisa ia atur sesuka hati, dan Nathan hanyalah seorang pengamat yang tak berdaya dalam situasi ini.
Nathan menatap layar ponselnya untuk beberapa detik sebelum mematikan layar. Tanpa bicara, dia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju jendela. Pikiran pemuda itu bekerja cepat, menganalisis apa yang baru saja terjadi. Dia sadar bahwa Denis sengaja mengirim foto itu untuk memancing reaksi. Namun, kali ini Nathan tidak ingin memberikan kemenangan mudah bagi Denis. Setelah beberapa saat berdiri di depan jendela, Nathan menarik napas dalam-dalam. Dia merasakan pergeseran dalam dirinya. Alih-alih larut dalam kemarahan, dia mulai berpikir lebih strategis.
Nathan duduk kembali di tempat tidur dan mulai merencanakan langkah-langkah untuk ‘menyenggol’ Denis. Nathan mengambil kembali ponselnya. Setelah beberapa detik, ia membuka pesan Denis lagi, menatap foto yang telah mengganggu pikirannya. Nathan mulai mengetik balasan. Setelah memastikan kata-kata yang tepat, dia mengirim pesan singkat kepada Denis:
“Terima kasih sudah menjaga Ibu. Paling tidak, ada hal yang bisa kamu lakukan dengan baik. Selamat menikmati posisi yang hanya bisa kamu pertahankan dengan tidur bersama atasanmu. Tanpa itu, kamu bukan apa-apa.”
Ruangan terasa sunyi, hanya detak jantungnya yang terdengar di telinga. Ia tahu bahwa pesannya sudah sampai pada Denis. Kali ini, Nathan tidak akan mundur. Pesan itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan siapa sebenarnya yang mengendalikan permainan ini. Nathan tidak peduli apakah Denis membalas atau tidak. Yang penting, pesannya sudah menyampaikan apa yang perlu Denis dengar.
Nathan masih duduk di atas kasur. Ketika ponsel pemuda itu berbunyi, Nathan segera mengambilnya, memeriksa pesan masuk dengan cermat. Pesan itu berasal dari Denis yang berbunyi:
“Lucu sekali, Nathan. Kamu bisa bicara besar sekarang, tapi jangan lupa, aku masih yang memegang kendali di sini. Sementara kamu? Kamu hanya anak manja yang hidup dari belas kasihan ibumu. Teruskan saja permainan ini, tapi jangan kaget kalau aku yang tertawa terakhir.”
Nathan membaca pesan balasan Denis dengan ekspresi datar. Dia tidak terkejut dengan isi pesannya, malah sedikit tersenyum. Nathan tahu Denis akan membalas dengan arogansi yang sama seperti biasanya. Tapi kali ini, Nathan tidak berniat bermain aman. Dia ingin membuat Denis merasa terpojok. Tanpa ragu, Nathan mulai mengetik balasan:
“Kendali, ya? Kendali apa? Posisi yang kamu peroleh karena menempel pada orang yang lebih kuat darimu? Tanpa Ibu, kamu bukan apa-apa. Jadi jangan bicara soal kendali, karena kamu bahkan tidak bisa mengontrol nasibmu sendiri.”
Nathan menatap pesan itu sebentar sebelum mengirimkannya. Kali ini, dia ingin Denis tahu bahwa permainan sudah berubah. Nathan bukan lagi anak manja yang bisa dipermainkan. Nathan merasa kendali semakin berpindah ke tangannya. Kali ini, Denis yang harus bereaksi, bukan sebaliknya. Tak lama, layar ponsel Nathan menyala kembali. Pesan masuk dari Denis. Namun, berbeda dari sebelumnya, balasan kali ini jelas penuh kemarahan. Nathan membuka pesan itu dan membaca:
“Kamu terlalu percaya diri, Nathan. Jangan berpikir kamu bisa menggantikan posisiku begitu saja. Ibumu mungkin punya kasih sayang untukmu, tapi urusan bisnis, aku yang pegang. Tanpa aku, kamu tidak akan pernah tahu seberapa besar kekacauan yang bisa aku ciptakan.”
Nathan menatap pesan itu, namun senyum di wajahnya tak pudar. Ia tahu Denis merasa terancam. Kalimat pendek itu penuh dengan ancaman tersembunyi, namun bagi Nathan, itu hanya menunjukkan bahwa Denis mulai kehilangan kendali atas situasi. Dia tidak lagi sekadar bermain di bawah bayangan ibunya. Ini adalah babak baru. Nathan mengetik balasan, kali ini dengan lebih santai:
“Aku tidak perlu menggantikan posisimu, Denis. Cepat atau lambat, kamu akan menghancurkan dirimu sendiri. Orang yang terlalu bergantung pada orang lain biasanya begitu.”
Nathan mengirim pesan itu tanpa rasa ragu sedikit pun. Dia tahu bahwa Denis mungkin akan merespons dengan lebih agresif, tetapi itu hanya memperlihatkan betapa goyahnya posisi Denis sebenarnya. Kini, Nathan bersiap menghadapi babak berikutnya dari permainan kekuasaan ini. Nathan menunggu dengan sabar respons dari pria itu. Rasa tegang sedikit menurun, tetapi pikirannya tetap fokus pada pesan yang ia kirim. Seharusnya, Denis segera membalas, entah dengan amarah atau kecaman.
Waktu berlalu, ponsel Nathan tetap sunyi. Layar ponsel masih menyala, namun tak ada notifikasi apapun. Sekilas, Nathan melirik jam di ponselnya. Sudah lebih dari setengah jam, tapi tidak ada tanda-tanda pesan balasan dari Denis. Detik-detik berlalu. Nathan mulai merasakan kantuk yang perlahan datang. Matanya terasa semakin berat. Nathan merebahkan tubuhnya di atas kasur, berharap balasan Denis akan datang dalam beberapa menit. Pikirannya masih mengarah ke percakapan mereka, tetapi rasa kantuk mengambil alih. Dalam sekejap, matanya terpejam. Kelelahan dari hari yang panjang membuat Nathan tak kuasa melawan dorongan untuk tertidur. Napasnya mulai teratur, tubuhnya rileks, dan ia segera tenggelam dalam tidur yang dalam.
Nathan duduk dengan santai, menikmati sarapannya dengan tenang. Setiap suapan nasi goreng terasa enak, dan aroma kopi menyegarkan suasana pagi. Sementara Nathan menyantap sarapannya dengan perlahan, Ronny yang duduk di seberang meja tampak gelisah, ekspresinya menunjukkan kekhawatiran dan harapan. Nathan tahu betul bahwa Ronny menunggu keputusannya. Setelah beberapa saat, Nathan menaruh sendok dan garpu di atas piring, lalu menatap Ronny dengan penuh perhatian.
“Ayah … Semalaman aku sudah berpikir dan memutuskan kalau aku tidak bisa membantu ayah. Aku tidak mau berargumen dengan ayah. Keputusanku sudah final. Aku pikir ayah bisa menunggu enam bulan lagi. Bukan hanya rumah yang ayah inginkan, satu kota Pontianak akan aku beli dan semuanya untuk ayah,” ungkap Nathan bulat dan tak terbantahkan.
“Ta…tapi, nak …” ucap Ronny, tetapi kalimatnya tidak lengkap karena Nathan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar ayahnya berhenti berbicara.
Nathan menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan dengan nada yang lebih lembut tetapi tetap tegas, “Ayah sudah terlalu banyak mempengaruhi hidupku. Aku perlu fokus pada apa yang benar-benar penting. Aku akan mengurus urusan ini dengan caraku. Sementara itu, ayah harus menghargai keputusanku.”
Ronny menatap Nathan dengan ekspresi kekecewaan. Perlahan, dia menundukkan kepala, menyadari bahwa perlawanan tidak akan mengubah keputusan Nathan.
Nathan bangkit dari kursi di ruang makan dan melangkah keluar rumah. Pagi yang cerah menyambutnya saat dia melangkah ke halaman rumah. Di sana, terparkir sebuah motor hitam yang telah lama dia rawat. Dia menaiki motor, mengatur posisi duduk dengan nyaman, dan segera melaju keluar dari halaman rumah. Nathan memacu motor menuju bengkel miliknya. Jalanan pagi yang lengang membuat perjalanan menjadi lancar. Setelah beberapa menit berkendara, Nathan sampai di bengkel.
Nathan membuka bengkel dan mulai mempersiapkan semuanya untuk beroperasi. Dia memeriksa peralatan dan memastikan semua peralatan di tempatnya. Setelah itu, dia duduk di kursi kerja, siap menunggu kedatangan konsumen. Hari itu sepi; hingga jam 10.00 tidak ada satu pun pelanggan yang datang. Nathan menatap sekeliling bengkel dengan penuh harapan, tetapi tetap tidak ada tanda-tanda adanya pengunjung.
Tiba-tiba, suara mesin motor terdengar mendekat. Sebuah motor masuk ke dalam bengkel dan berhenti di dekat tempat Nathan duduk. Dua orang turun dari motor tersebut dan langsung mendekati Nathan. Keduanya tampak seperti preman pasar, dengan sikap sok jagoan dan penampilan yang kasar. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan menatap Nathan dengan tatapan menekan. Salah satu dari mereka membawa senjata tajam berupa clurit besar, sementara yang lainnya berdiri di sampingnya dengan tangan terlipat di dada.
Salah satu dari orang itu, yang memegang clurit besar, melangkah maju dengan tatapan tajam. Suaranya kasar dan langsung mengancam saat dia mulai berbicara.
“Kamu akan merasakan akibat dari semua tindakanmu. Jangan harap ada yang bisa menolongmu sekarang,” katanya sambil mengangkat clurit dengan ancaman jelas.
Nathan terkejut mendengar ancaman tiba-tiba dari dua orang yang muncul entah dari mana. Tatapan tajam mereka dan clurit yang terangkat membuatnya heran. Ia merasa aneh, kenapa ada orang yang datang ke bengkelnya untuk mengancam, seolah Nathan punya urusan dengan mereka. Namun, rasa terkejut itu hanya berlangsung sesaat. Sambil menggelengkan kepala perlahan, Nathan bangkit dari kursi. Senyum tipis terulas di wajahnya. Ia berdiri, menghadapi mereka tanpa rasa takut sedikit pun, seolah ancaman itu hanyalah lelucon di pagi hari.
“Lucu juga, pagi-pagi ada yang datang ngajak ribut,” kata Nathan sambil menatap mereka bergantian. “Kalian yakin mau main di sini?” lanjut Nathan penuh intimidasi.
Salah satu dari mereka melangkah maju, terlihat tidak terkesan dengan ucapan Nathan. Clurit di tangannya digenggam erat, menunjukkan bahwa ia siap bertindak kapan saja. “Jangan banyak omong, langsung aja, Bro. Ini perintah,” ujarnya dengan nada dingin, tanpa gentar sedikit pun.
Nathan tetap berusaha tenang, meskipun hatinya sedikit terusik oleh kata “perintah”. Matanya tak lepas dari clurit yang terayun ringan di tangan preman itu. “Perintah, ya?” tanya Nathan, suaranya masih terdengar santai, namun kini lebih tajam. Ia mendekat sedikit, menatap mereka dengan lebih serius. “Siapa yang kirim kalian?” Meski rasa aneh dan terkejut menyelinap, Nathan tetap menjaga sikapnya, menantang preman-preman itu dengan tenang.
Preman yang memegang clurit tiba-tiba mengayunkannya ke arah tubuh Nathan dengan cepat. Dengan santai Nathan menangkis dengan lengannya. Suara benturan keras antara besi clurit dan sesuatu yang keras di lengan Nathan terdengar jelas, “Trang!” Kedua orang itu terkejut, tidak menyangka Nathan menahan serangan clurit dengan menggunakan tangannya. Nathan hanya tersenyum dingin, sengaja menunjukkan kemampuannya. Ia menatap mereka dengan tenang, seolah mengatakan bahwa mereka telah salah memilih lawan. Melihat ketenangan dan kekuatan Nathan, kedua preman itu mulai mundur, ciut nyali mereka.
“Cuma segitu? Kalian dikirim untuk membuat masalah hanya dengan modal nekat. Aku akan tunjukkan bagaimana seharusnya bermain serius,” kata Nathan sambil mendekat, tatapannya tajam. “Sekarang saatnya kita memperjelas keadaan.” Nathan merenggangkan otot-otot tangannya. “Siapa yang mengirim kalian? Bicara atau aku akan kirim kalian ke rumah sakit.”
Kedua orang itu saling memandang, merasa terpojok. Mereka tahu tidak ada pilihan lain selain menyerang Nathan kembali, meski hati mereka dipenuhi keraguan. Dengan komando yang tidak terucapkan, keduanya melancarkan serangan. Salah satu dari mereka mengayunkan clurit ke arah Nathan, sementara yang lain melayangkan pukulan ke wajahnya. Namun, Nathan hanya berdiri tegak, menerima semua serangan itu tanpa melawan. Clurit menghantam kepala dengan keras, tapi tidak mampu melukai Nathan. Pukulan lainnya seolah tidak memberikan efek apa pun, seperti memukul dinding.
Sambil tetap tenang, Nathan memandang kedua penyerangnya. “Kalian benar-benar tidak berdaya,” ucapnya dengan suara tegas. “Serangan ini hanya menunjukkan betapa tidak sebandingnya kalian denganku. Lebih baik kalian panggil pimpinan kalian untuk menghadapi aku langsung.” Senyumnya menantang, dan tatapannya tajam seperti elang. Kedua orang itu mulai merasakan ketidakberdayaan dan semakin ciut nyalinya saat Nathan berdiri tanpa rasa takut.
Kedua orang itu masih merasa penasaran, lalu kembali melancarkan serangan kepada Nathan secara membabi buta. Mereka melesat maju, mengayunkan clurit dan melayangkan pukulan dengan kekuatan maksimal. Nathan tetap tenang, menilai setiap gerakan mereka dengan cermat. Ia tahu mereka tidak sebanding dengan kemampuannya.
Setelah beberapa saat, Nathan mulai bergerak. Ia menghindari serangan clurit yang melayang, melangkah dengan gesit. Dalam sekejap, Nathan mengulurkan tangan kanannya dan mencengkeram pergelangan tangan salah satu penyerang, menariknya dengan kuat. Dalam satu gerakan cepat, Nathan memutar tubuh penyerang itu dan melemparkannya ke arah temannya. Tubuh keduanya bertabrakan, mengakibatkan mereka terjatuh ke lantai.
Nathan berdiri di sana, masih dengan sikap tenang. Ia memfokuskan pandangan pada kedua orang tergelatak di lantai. Dengan senyum mengejek, Nathan melangkah maju dan melayangkan tendangan rendah ke arah tubuh kedua orang itu secara bergantian. Seakan menendang bola, kedua tubuh penyerang itu melayang di udara dengan kecepatan yang cukup tinggi. Nathan menyaksikan dengan tenang saat keduanya terbang, hingga akhirnya membentur dinding bengkel dengan keras. Suara dentuman yang menggema mengisi ruangan, membuat semua barang di sekitarnya bergetar. Kedua penyerang itu akhirnya terjatuh ke lantai, tidak bergerak. Darah mengalir dari sudut mulut mereka, menandakan betapa kerasnya benturan yang mereka alami. Nathan berdiri tegak, menatap kedua sosok yang kini tak berdaya.
“Hhhmm … Ini pasti kerjaan si Denis …” gumam Nathan sambil menatap kedua penyerangnya yang sedang tergeletak di lantai bengkel.
Nathan menyeret kedua tubuh tak berdaya itu dengan mudah, lalu meletakkannya di sisi utara bengkel dekat kursi kerjanya. Setelah itu, ia duduk dengan tenang, menunggu mereka sadar. Suasana bengkel terasa sepi, hanya ada suara detak jam di dinding yang menghitung waktu. Tiba-tiba, sebuah sedan memasuki bengkel, mengalihkan perhatian Nathan.
Pemuda itu tersenyum senang saat melihat sosok Livia keluar dari mobil dan menghampirinya. Namun, ekspresi wajah Livia berubah ketika ia melihat dua orang tergeletak di lantai dekat Nathan. Raut terkejut jelas terlihat di wajahnya, matanya membesar saat menyaksikan keadaan itu. Saat Nathan melihat ekspresi terkejut Livia, ia bisa menebak kalau Livia mengenal kedua orang tersebut. Nathan tersenyum dan tidak perlu menjelaskan apa pun pada Livia. Ia hanya duduk santai, menunggu reaksi Livia selanjutnya.
“A…aappaa … yang, yang terjadi …,” ucap Livia dengan nada terkejut. Ia menatap Nathan dan kemudian berpindah ke dua tubuh yang tergeletak di lantai.
“Siapa mereka?” tanya Nathan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. Nathan tahu kalau Livia mengenal kedua orang itu, melihat dari ketakutan di matanya saat ia menatap mereka.
Livia menelan ludah, matanya tak lepas dari kedua tubuh yang tergeletak.
“Me..mereka… mereka adalah pe..pegawaiku.” jawab Livia, suaranya bergetar.
Nathan menatap Livia dengan tenang. “Mereka datang dan mencoba mengancamku. Aku hanya membela diri. Saat mereka menyerang, aku terpaksa melawan, dan sekarang mereka tergeletak di sini. Kita bisa tunggu sampai mereka sadar untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” Ucap Nathan berharap penjelasannya dapat meredakan kecemasan di wajah Livia.
Livia tertegun, matanya membesar saat mendengar penjelasan Nathan. “Apa? Mereka mengancammu? Ini tidak mungkin…” jawabnya, suaranya bergetar.
Nathan menatap Livia dengan serius. “Aku curiga ada seseorang yang mengatur ini. Mereka tidak akan datang tanpa perintah dari atasannya. Aku perlu tahu siapa yang mengirim mereka. Ini lebih dari sekadar ancaman biasa,” ucap Nathan, nada suaranya tegas.
Livia terlihat terkejut mendengar ucapan Nathan. “Tidak, aku tidak tahu apa-apa tentang ini. Mereka memang pegawaiku, tapi aku tidak pernah menyuruh mereka untuk melakukan ini,” jawabnya cepat, suaranya mengandung kebingungan.
Nathan menatap Livia dengan penuh keyakinan. “Aku tahu kamu tidak menyuruh mereka. Kita tunggu sampai mereka sadar. Aku perlu menginterogasi mereka untuk mencari tahu siapa yang menyuruh mereka. Aku butuh bantuanmu untuk itu. Mungkin mereka akan lebih terbuka jika kamu ada di sini.”
Livia menatap Nathan lekat-lekat selama beberapa detik, lalu bertanya, “Apakah kamu memperkeruh masalahmu dengan Maya?” Suaranya terdengar penuh kekhawatiran.
Nathan menggelengkan kepala dan berkata, “Aku bahkan belum berbicara dengan Maya. Ini semua tidak ada hubungannya dengan dia. Aku hanya ingin mencari tahu siapa yang mengirim mereka.”
Tiba-tiba, salah satu tubuh yang tergeletak di lantai mulai menggeliat. Perlahan, orang itu membuka matanya dan mengerang kesakitan sambil memegang perutnya. Suara mengerang itu membuat Livia segera menghampiri, rasa cemas menghantui pikirannya. Ia berjongkok di dekatnya, memperhatikan dengan seksama.
Livia menatap Nathan dengan serius. “Kita harus bawa mereka ke rumah sakit. Mereka terlihat parah. Kita tidak bisa membiarkan mereka di sini seperti ini,” ujarnya, menunjukkan kekhawatiran di wajahnya.
Nathan menggeleng. “Aku ingin mengorek informasi dari mereka dulu. Setelah itu, baru kita kirim mereka ke rumah sakit.” Dia menambahkan, “Kita perlu tahu siapa yang menyuruh mereka.”
Livia menatap Nathan dengan khawatir, “Tapi mereka terluka, Nathan. Kita tidak bisa membiarkan mereka di sini.”
“Aku bahkan bisa membuat mereka lebih menderita. Aku butuh jawaban, siapa yang menyuruh mereka,” Nathan tidak mundur dengan keputusannya.
Livia berlutut di samping salah satu anak buahnya yang masih tergeletak. Ia menyentuh bahu orang itu dengan lembut, mencoba memberikan dukungan. Air mata mengalir dari mata orang tersebut, menandakan betapa parahnya luka yang diderita. Livia merasakan sakitnya dan berusaha menenangkan, berharap bisa membantu agar orang itu lebih tenang.
Livia menatap lembut ke arah orang yang tergeletak di depannya. “Siapa yang menyuruhmu?” tanyanya, nada suaranya tegas namun penuh harapan.
Orang itu hanya menggeleng-geleng kepala, tidak mau menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan kebingungan dan rasa sakit yang mendalam. Livia merasa frustrasi, berharap mendapatkan informasi yang dibutuhkan, tetapi tampaknya orang itu terlalu tertekan untuk menjawab.
“Jika kamu tidak menjawab … Nathan akan menambah penderitaanmu,” walau lembut namun penuh ancaman.
“Oh, a..ampun … Ja..jangan lakukan …” orang itu ketakutan.
“Maka … Jawab pertanyaannya … Biar aku bisa segera membawamu ke rumah sakit,” ucap Livia.
“De..Denis …” akhirnya keluar juga kata yang memang telah Nathan prediksi sebelumnya.
Livia menatap Nathan dalam-dalam, mimiknya menunjukkan ketidakpercayaan. Nathan hanya tersenyum kecil, seolah masalah ini sepele. Ia duduk kembali di kursinya dan mengambil ponsel dari saku celana. Nathan memotret kedua orang suruhan Denis yang terluka di lantai. Namun, sebelum ia bisa mengetik pesan untuk Denis, Livia tiba-tiba merebut ponsel itu dari tangannya. Livia memandang Nathan dengan serius, menunjukkan bahwa ia tidak setuju dengan tindakan Nathan.
“Kita harus bicara! Tapi selamatkan dulu anak buahku!” ucap Livia sangat tegas dan penuh emosi.
“Bawalah mereka dari sini,” ujar Nathan, suaranya tenang meski tegas.
“Nathan!!! Aku tidak bisa menggendong mereka. Tolong masukan mereka ke mobilku!” Teriak Livia sangat kesal.
Nathan memandang Livia sejenak, lalu mencibirkan bibirnya sekilas. Tanpa banyak bicara, ia bangkit dari kursinya dan berjalan santai menuju dua tubuh yang tergeletak di lantai. Dengan gerakan ringan seolah mereka tidak berbobot, Nathan menenteng kedua orang itu, satu di masing-masing tangan. Ia melangkah ke arah mobil Livia yang terparkir di dekat bengkel, membuka pintu belakang dengan sikunya, lalu dengan hati-hati meletakkan mereka di jok belakang. Livia masuk ke dalam mobil, duduk di kursi pengemudi sambil memandang ke arah Nathan yang masih berdiri di dekat pintu. Tepat sebelum ia menghidupkan mesin, Nathan bersuara, menghentikan Livia sejenak.
“Mana ponselku?” tanya Nathan dengan telapak tangan kanannya terulur ke arah Livia, meminta ponsel yang tadi sempat direbut darinya.
Livia menatap Nathan sejenak, lalu menggenggam ponsel itu erat. “Aku tahan dulu ponselmu. Setelah urusan di rumah sakit selesai, aku akan kembali menemuimu. Kita harus bicara,” ucapnya tegas, tanpa sedikit pun keraguan dalam suaranya.
Suara mesin mobil terdengar, dan perlahan Livia meninggalkan Nathan. Nathan hanya bisa menghela napas sambil memperhatikan mobil itu menghilang di kejauhan. Setelah beberapa saat berdiri di depan bengkel, ia kembali masuk, melangkah menuju clurit yang tergeletak di lantai. Dengan tenang, Nathan mengambil senjata tajam itu dan menyimpannya di tempat tersembunyi. Setelah itu, ia kembali duduk di kursinya, menunggu konsumen datang, seolah kejadian barusan hanyalah rutinitas biasa di hari-harinya.
Setelah satu jam berlalu, Nathan mulai menyadari bahwa hari ini memang bukan hari yang baik baginya. Tak ada satu pun konsumen yang datang ke bengkel. Ia duduk merenung, menatap kosong ke arah jalanan sepi di depan bengkel. Suasana hening, hanya terdengar suara sesekali kendaraan yang melintas.
Tiba-tiba suara mesin mobil mengganggu keheningan. Nathan mengangkat kepalanya dan melihat mobil Livia kembali ke bengkel. Livia keluar dengan tergesa-gesa, berjalan cepat menghampirinya. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung duduk di sisi meja kerja Nathan, napasnya sedikit tersengal seperti terburu-buru.
“Jadi kamu bersitegang dengan Denis?” tanya Livia, suaranya tegas.
“Ya …” jawab Nathan singkat.
“Dengar, aku harap kamu tidak berurusan dengan dia,” ucap Livia, menatapnya tajam.
“Kenapa? Emang, siapa dia?” tanya Nathan, bingung.
“Aku hanya ingin kamu aman. Hindari dia,” jawab Livia singkat.
“Kenapa aku harus menghindari dia? Beri aku jawaban yang bisa aku menerima permintaanmu,” ucap Nathan setengah memaksa.
Livia menatap Nathan dengan serius. “Maya akan selalu membela Denis. Meskipun kamu anak kandungnya, bagi Maya, Denis adalah segalanya.”
Nathan tertegun, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Tapi pasti Maya punya alasan kenapa dia memperlakukan Denis seperti itu, kan?”
Livia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Karena Denis adalah reinkarnasi dari suami Maya, Alex.”
Nathan membeku di tempat, matanya membelalak lebar. “Apa?! Apa katamu?!” Suaranya meninggi, tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. “Denis… adalah Alex?”
Livia mengangguk pelan, memperhatikan reaksi Nathan yang tiba-tiba berdiri mendadak, seolah ingin menepis kenyataan yang baru saja didengarnya. “Ya, Alex… suami Maya setelah ayahmu.”
Nathan hampir kehilangan kata-kata. “Tunggu… jadi Denis—dia… dia bukan sekadar orang lain? Dia adalah reinkarnasi Alex?!” Dia mengulanginya, seolah mencoba memastikan apa yang barusan dikatakan Livia masuk akal.
Livia menatapnya dengan tenang namun tegas. “Maya sangat mencintai Alex. Selama Alex hidup, dialah yang membuat hidup Maya penuh kemakmuran dan kebahagiaan. Ketika Alex meninggal karena kanker, Maya tidak sanggup menerimanya. Kehilangan itu menghancurkan segalanya bagi Maya.”
Nathan menelan ludah, merasakan dadanya sesak dengan campuran emosi. “Tapi… ba..bagaimana mungkin? Ini gila. Dia… melakukan apa?”
“Maya tidak bisa menerima kenyataan bahwa Alex telah pergi, jadi dia mencari cara agar Alex bisa hidup kembali,” lanjut Livia. “Dia menemukan sebuah ritual kegelapan, cara untuk memasukkan arwah Alex ke dalam tubuh orang lain. Dan tubuh itu adalah Denis.”
Nathan mundur selangkah, berusaha memahami apa yang baru saja terungkap. “Jadi… selama ini… Denis… dia tidak tahu? Atau… dia tahu?”
Livia menatapnya dengan tatapan penuh peringatan. “Aku tidak tahu sejauh mana Denis memahami ini, tapi yang jelas Maya akan melakukan apa pun demi Denis. Baginya, Denis adalah Alex, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk kamu, mengganggunya.”
Nathan terdiam seribu bahasa, pikirannya berusaha mencerna penjelasan yang baru saja diberikan Livia. Rasa bingung menyelimuti pikirannya, tetapi perlahan mulai bercampur dengan rasa tidak suka yang selama ini dipendamnya terhadap Denis. Selama ini, Nathan merasa Denis hanya seseorang yang mengacaukan hidupnya. Dan kini, Livia memberinya jawaban yang tidak pernah ia bayangkan, bahwa Denis adalah reinkarnasi Alex. Semua mulai terasa masuk akal, perhatian Maya yang berlebihan pada Denis, sikapnya yang selalu membela Denis dalam segala hal. Perasaan benci, marah, dan terkejut membanjiri dirinya secara bersamaan, membuat Nathan hampir tidak mampu berdiri.
Livia menarik napas dalam, menatap Nathan yang masih terkejut dan bingung. “Tadi, saat di rumah sakit, aku menelepon Maya,” ucap Livia perlahan. “Aku menceritakan semua kejadian ini padanya.”
Nathan menatap Livia tajam, “Dan?” tanya Nathan, nadanya masih kaku.
“Maya menyuruhku untuk memberitahumu tentang siapa Denis sebenarnya,” lanjut Livia. “Dia berharap kamu bisa menjaga sikapmu kepada Denis… kepada Alex, maksudku. Maya sedang mencoba membuat Denis – atau Alex – menerimamu, Nathan.”
Nathan menelan ludah, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang diucapkan Livia. “Menerimaku?” tanyanya dengan nada tak percaya. “Setelah semua yang terjadi?”
Livia mengangguk perlahan. “Maya berharap kamu bisa bersabar. Dia tahu ini tidak mudah untukmu, tapi dia tidak ingin kamu menanggapi perbuatan Denis… atau Alex… secara langsung. Maya minta kamu untuk sementara mengalah.”
Nathan merasakan amarah yang mulai menggelegak dalam dirinya. “Jadi, aku hanya harus diam dan menunggu? Setelah semua yang dia lakukan?!” Suaranya mulai meninggi, tetapi Livia tetap tenang.
“Maya tahu ini sulit. Tapi dia meminta kamu untuk bersabar. Dia ingin semua ini berjalan dengan baik, agar kamu dan Denis bisa menemukan cara untuk saling menerima.”
Nathan duduk terdiam, menatap kosong pada lantai. Ia tidak ingin melanjutkan percakapan dengan Livia. Setiap kata yang keluar dari mulut Livia hanya membuat amarahnya semakin membara. Walaupun Maya berharap dirinya bisa bersabar dan menerima situasi ini, Nathan merasa belum mampu. Dalam hatinya, ia belum bisa menerima apa yang Denis aka Alex lakukan padanya. Bagaimanapun, bagi Nathan, Alex hanyalah bagian dari masa lalu, sosok yang seharusnya tidak lagi memiliki pengaruh di kehidupan mereka. Alex adalah seorang pria yang sudah meninggal, bangkai dari masa lalu, sementara dirinya adalah anak kandung Maya yang nyata dan masih hidup. Seharusnya Maya lebih memperhatikannya, bukan Denis. Di dalam pikiran Nathan, perasaan kecewa dan amarah bercampur. Ia tahu Maya menginginkan kedamaian, tapi Nathan tidak bisa mengabaikan perasaan tersingkirkan yang semakin menghantuinya. Perasaan bahwa kehadiran Denis hanya menjadi bayang-bayang yang menutupi hubungan yang seharusnya ia miliki dengan Maya.
Nathan mengalihkan pandangannya ke Livia yang masih menatapnya dengan cemas, “Apakah semua orang tahu kalau Denis adalah Alex?”
“Tidak semua tahu,” jawab Livia, dengan suara pelan namun tegas. “Hanya orang-orang terdekat Maya yang tahu, dan ini adalah rahasia yang sangat dijaga.” Livia berhenti sejenak, memastikan Nathan menangkap betapa pentingnya hal ini. “Maya tidak ingin orang lain tahu, terutama karena ritual yang dilakukan untuk membawa Alex kembali bukan sesuatu yang mudah diterima akal sehat.”
Nathan terdiam, pikirannya terus memproses kenyataan yang baru saja terungkap. Ia mengerti bahwa rahasia ini tidak bisa sembarangan dibicarakan, tetapi ada satu hal yang terus mengganggunya. “Kalau begitu, kenapa Maya ingin aku tahu?” tanyanya, menatap Livia dengan tatapan tajam.
Livia menahan napas sejenak. “Karena Maya percaya kamu harus tahu kebenaran sebelum semuanya semakin rumit. Dia ingin kamu berhenti melawan Denis, atau lebih tepatnya, berhenti melawan Alex. Maya berharap dengan kamu tahu siapa sebenarnya Denis, kamu bisa lebih memahami situasi ini.”
Nathan mengepalkan tangannya, berusaha menahan rasa marah yang semakin membesar. “Jadi, aku harus paham? Aku yang harus mengalah?” Mata Nathan menyipit. “Sementara dia, Alex atau Denis, siapa pun dia, terus bertingkah seperti dia yang paling penting sampai-sampai mengurusi kehidupan pribadiku?”
Livia menatap Nathan dengan penuh pengertian. “Aku tahu ini sangat berat, Nathan. Maya pun tahu. Tapi, inilah kenyataan yang Maya inginkan. Dia tidak ingin kehilangan salah satu dari kalian.”
Nathan menarik napas panjang. Apa pun yang dikatakan Livia bukan sesuatu yang bisa ia terima begitu saja. Pikirannya masih dipenuhi dengan rasa penolakan terhadap kenyataan bahwa Denis, pria yang ia benci, adalah reinkarnasi Alex. Bayangan ibunya yang terus membela Denis semakin membuat hatinya terasa perih. Baginya, Alex seharusnya tetap menjadi masa lalu, bukan sosok yang kembali mengganggu hidupnya. Nathan merasa dipaksa untuk menerima sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Nathan tahu satu hal pasti, ia tidak akan bisa mengubah perasaannya hanya karena diminta untuk bersabar. Saat ini, ia belum siap untuk menerima semuanya.
Bersambung
Terakhir diubah: 20 Sep 2024
Oke bagus kak..lnjut !!!!