BAB 12
Livia, yang memperhatikan Nathan terus-terusan gelisah kemudian mengajak pemuda itu untuk makan siang. Hari sudah berada di pertengahan, dan Livia merasa Nathan butuh istirahat sejenak dari pikirannya yang kacau. Nathan awalnya menolak, merasa belum ingin pergi ke mana pun, namun Livia terus mendesak. Ia tahu, meskipun Nathan enggan, dia sebenarnya butuh waktu untuk menenangkan diri. Setelah beberapa kali dipaksa, akhirnya Nathan menyerah dan setuju untuk menerima ajakan tersebut.
Nathan berjalan menuju pintu bengkel lalu memutuskan untuk menutupnya lebih awal dari biasanya. Ia kemudian pergi ke ruang belakang untuk berganti pakaian, memilih baju yang lebih rapi dan bersih daripada yang dipakainya saat bekerja. Setelah siap, Nathan keluar dan menemui Livia, lalu mereka berdua berangkat menuju tempat yang belum disebutkan oleh Livia.
Ketika mereka sampai, Nathan sedikit terkejut. Ternyata Livia mengajaknya ke sebuah rumah makan yang tampak asri dengan pemandangan alam di sekelilingnya. Rumah makan itu memiliki konsep yang menarik, di mana setiap meja terletak di dalam gazebo-gazebo kecil yang tersebar di berbagai sudut. Mereka memilih salah satu gazebo di bagian yang agak tenang, dan Nathan mulai merasakan suasana sejuk serta nyaman yang perlahan mengurangi kegelisahannya. Setelah duduk, mereka mulai memesan makanan, dan Nathan merasa setidaknya, meskipun pikirannya masih sibuk, ia bisa sejenak menikmati suasana di tempat ini.
Setelah makanan tersaji di atas meja, Livia menatap Nathan yang terlihat masih termenung. Suasana di sekitar mereka tenang, namun ekspresi Nathan menunjukkan bahwa pikirannya masih jauh dari situasi saat ini. Livia, dengan suara lembut, mulai membuka percakapan.
“Bagaimana sekarang? Apa kamu sudah merasa lebih tenang?” tanya Livia, menatap Nathan dengan penuh perhatian.
Nathan menghela napas panjang sebelum menjawab, “Lumayan. Tapi, masih ada banyak hal yang mengganjal di hati.”
Livia tersenyum tipis, berusaha memberikan dukungan. “Apa yang ingin kamu ketahui? Kamu bisa bertanya apa saja. Aku akan mencoba menjawab, tapi sebatas yang aku tahu.”
Nathan terdiam sejenak, matanya menatap jauh ke arah luar gazebo. Sesaat kemudian, ia mengangguk pelan, merasa bahwa mungkin inilah saatnya ia mulai mencari jawaban atas kegelisahan yang selama ini membebaninya.
Nathan menatap meja di depannya, lalu berbicara dengan nada pelan namun tegas. “Kalau Denis itu Alex, seharusnya mereka tinggal di satu rumah, kan? Tapi selama aku tinggal di rumah Maya, aku cuma lihat Denis sekali. Itu pun, setelah itu, Maya dan Denis langsung pergi ke Australia.”
Livia mengangguk pelan dan berkata, “Iya, Maya dan Denis memang hidup di rumah itu bersama-sama. Mereka tinggal di sana.”
Nathan mengerutkan kening, merasa bingung dengan jawaban Livia. “Tapi kenapa selama aku ada di sana, aku hampir nggak pernah melihat Denis?”
Livia tampak ragu sejenak, lalu menjawab, “Aku nggak tahu pasti kenapa, Nathan. Mungkin ada sesuatu yang mereka sembunyikan darimu. Tapi, kalau kamu benar-benar mau tahu, sebaiknya kamu tanya langsung ke Maya. Dia yang paling tahu soal itu.”
Nathan terdiam, mencerna jawaban Livia, merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di belakang layar. Nathan mengernyitkan alis, mencoba memahami semuanya. “Kalau Denis memang Alex, kenapa Maya yang memimpin perusahaan? Bukannya Denis harusnya lebih berperan besar?”
Livia tersenyum tipis, lalu menjawab, “Karena Maya lebih kuat daripada Denis. Dia punya kekuatan kanuragan yang jauh lebih besar. Jadi, Maya lah yang menguasai perusahaan. Denis nggak bisa menandingi kekuatan Maya.”
Nathan, yang semakin bingung, mengangkat alis. “Kekuatan kanuragan? Memangnya itu jadi syarat buat menguasai perusahaan?”
Livia mengangguk pelan, “Iya, di dunia mereka, kekuatan itu penting. Maya butuh kekuatan kanuragan untuk melindungi perusahaan dari pesaing. Banyak yang berusaha menjatuhkannya, jadi dia harus kuat, bukan cuma dalam bisnis, tapi juga dalam hal lain. Selain itu, di lingkaran orang-orang seperti Maya, kanuragan bukan cuma soal kekuatan fisik, tapi juga tanda kekuasaan. Pemimpin yang nggak punya kekuatan dianggap lemah dan jadi sasaran mudah, nggak cuma dari luar, tapi dari orang-orang dalam juga. Kalau nggak kuat, bisa ditumbangkan kapan aja.”
“Apakah kamu tahu darimana asal kekuatan Maya itu?” tanya Nathan selanjutnya.
Livia menarik napas, tampak sedikit ragu sebelum menjawab. “Dia mendapatkannya lewat sebuah ritual khusus. Bukan cuma itu, Maya juga melalui latihan yang berat selama bertahun-tahun untuk memperkuat kemampuannya.”
Nathan mengerutkan dahi, rasa penasaran semakin tumbuh. “Ritual khusus? Maksudnya semacam ilmu hitam?”
Livia menggeleng. “Bukan ilmu hitam, tapi ritual itu memang bukan sesuatu yang biasa. Ada prosesnya, melibatkan hal-hal yang nggak semua orang tahu atau bisa lakukan. Maya harus menjalani tahapan-tahapan tertentu dan, setelah itu, dia terus melatih dirinya supaya kekuatannya semakin besar. Itulah kenapa Maya bisa mengendalikan banyak hal dengan kekuatan itu. Denis mungkin penting, tapi Maya yang sebenarnya punya kekuatan untuk benar-benar memimpin.”
Nathan mengernyit, kebingungan jelas terlihat di wajahnya. “Ritual ya…?” gumamnya, sambil menggaruk belakang kepalanya, mencoba memahami apa yang dimaksud Livia. “Tadi kamu bilang Maya melakukan ritual kegelapan untuk memasukkan arwah Alex ke tubuh Denis. Sepengetahuan aku, ritual kegelapan itu untuk mendapatkan kekuasaan dan kekuatan.”
Livia langsung menggeleng, “Nggak, itu nggak benar, Nathan. Ritual kegelapan yang Maya lakukan bukan buat kekuasaan. Itu proses memasukkan arwah seseorang ke tubuh orang lain, dan itu yang dia lakukan dengan Alex dan Denis.”
Nathan masih belum puas. “Jadi, kekuatan Maya diperoleh dari ritual lain?”
Livia mengangguk. “Ya, benar.”
Nathan menghela napas panjang, “Berarti Maya melakukan banyak ritual?”
“Ya,” jawab Livia, lalu menambahkan, “dan tempat ritualnya ada di gedung di belakang rumah besar Maya. Tempat itu sangat dianggap suci oleh Maya. Nggak sembarang orang boleh masuk ke sana, hanya yang dia percayai.”
Nathan langsung teringat kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya tanpa sengaja memasuki gedung di belakang rumah besar Maya. Waktu itu, dia penasaran dengan tempat yang terlihat tertutup rapat dengan pintu gerbang yang menawan. Begitu dia masuk ke halaman gedung tersebut, dua orang penjaga langsung menyerangnya. Sekarang, setelah mendengar penjelasan Livia, semuanya mulai masuk akal. Gedung itu bukan sembarang tempat, melainkan pusat dari semua ritual yang dilakukan Maya.
Nathan memandang Livia dengan rasa ingin tahu yang mendalam. “Siapa yang mengajarkan Maya semua ritual yang dia jalani? Dari mana dia belajar semua ini?”
Livia menggelengkan kepala, ekspresinya serius. “Nggak ada yang tahu, Nathan. Semua itu masih jadi misteri. Maya tidak pernah berbagi informasi tentang guru atau sumber ilmunya. Dia seperti mengunci rapat-rapat semua yang berhubungan dengan hal itu.”
Nathan mengerutkan dahi. “Jadi, dia tidak belajar dari satu guru tertentu? Semua ini berasal dari pengalaman dan kepercayaan?”
“Ya, sepertinya begitu,” jawab Livia. “Dia selalu terlihat kuat dan mandiri, tapi itu justru membuat orang semakin penasaran. Semua ritual yang dia lakukan, dan kekuatan yang dia miliki, itu semua datang dari dirinya sendiri. Tidak ada jejak yang bisa diikuti.”
Nathan terus merenungkan tentang Maya, sosok yang sangat misterius baginya. Ia merasa ada banyak hal yang belum terungkap. Livia menjawab pertanyaan-pertanyaan Nathan sejauh yang dia ketahui, memberikan sedikit gambaran tentang sosok Maya. Tanpa mereka sadari, lebih dari satu jam telah berlalu sejak mereka mulai makan. Suasana di restoran semakin ramai, dan keduanya sepakat untuk menyudahi makan. Setelah membayar makanan, mereka beranjak keluar. Nathan dan Livia melangkah perlahan, pikiran Nathan masih terfokus pada misteri seputar Maya yang belum sepenuhnya terpecahkan.
Livia mengantar Nathan kembali ke bengkelnya. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang ringan dan sesekali bercanda. Setibanya di bengkel, mereka langsung berpisah. Livia mengatakan kalau dirinya harus segera kembali ke kantor. Meskipun hari masih siang, dorongan untuk pulang semakin kuat. Ia masuk ke dalam bengkel, mengambil motor kesayangannya. Nathan pun melaju pulang, membiarkan jalanan yang dikenal membawanya kembali ke rumah.
Nathan masuk begitu saja ke dalam rumahnya karena pintu terbuka lebar. Saat melangkah ke ruang depan, dia terkejut melihat ayahnya menunduk dengan kedua tangan menjambak rambutnya sendiri. Nathan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap ayahnya yang tampak putus asa. Dia tahu apa yang dipikirkan Ronny, yaitu masalah keinginannya untuk membeli rumah. Dengan perasaan kesal, Nathan lantas duduk di sofa dekat ayahnya, merasa frustrasi dengan situasi yang terus berulang ini.
“Kenapa ayah begitu frustrasi?” tanya Nathan. “Tidak bisakah bersabar selama enam bulan saja? Nanti yang ayah ingin bisa terbeli semuanya.”
Ronny geleng-geleng kepala. “Ayah butuh uang cepat,” jawabnya.
Nathan terkejut. “Kenapa tidak bisa menunggu?”
Ronny mengangkat kepalanya dengan wajah pucat. “Uang itu sebenarnya bukan untuk membeli rumah. Ayah perlu membayar tebusan.”
Nathan semakin terkejut dan bertanya, “Tebusan apa?”
Ronny menghela napas berat dan mulai menceritakan, “Selama enam bulan terakhir, ayah punya affair dengan seorang wanita bersuami. Suaminya tahu tentang kita dan akan melaporkan ayah ke pihak berwajib. Ayah sudah coba pendekatan kekeluargaan, dan suaminya mau berdamai asal ayah membayar kompensasi sebesar lima milyar.”
“Lima milyar?” pekik Nathan panik, suaranya bergetar. “Ayah pikir uang sebanyak itu bisa datang dari mana?”
Ronny menunduk lagi, menghindari tatapan Nathan. “Ayah tidak tahu, Nak. Itulah kenapa ayah begitu tertekan. Ayah sudah coba mencari pinjaman, tapi tidak ada yang bisa memberi dalam jumlah sebesar itu.”
Nathan menggelengkan kepala dengan keras, matanya melebar tak percaya. “Jadi, selama ini semua omong kosong tentang rumah itu cuma alasan?”
Ronny mengangguk pelan. “Ayah tidak tahu harus bagaimana lagi. Kalau ayah tidak bisa membayar, ayah bisa dipenjara, Nathan.”
Nathan meremas rambutnya, berdiri dari sofa. “Ini gila! Kenapa ayah bisa terjebak dalam situasi seperti ini?” Nathan berjalan mondar-mandir di depan ayahnya, kepalanya masih sulit menerima kenyataan. “Ayah, bagaimana mungkin bisa seceroboh itu? Ayah tahu konsekuensinya, kenapa tetap melakukannya?” Nada suaranya semakin tinggi, bercampur frustrasi.
Ronny menghela napas panjang. “Ayah memang bodoh, Nathan. Ayah tergoda dan tidak berpikir jernih. Wanita itu… ayah tidak bisa menjelaskan. Semuanya terjadi begitu cepat.”
Nathan berhenti, menatap ayahnya tajam. “Ayah tahu, lima milyar bukan uang kecil! Kita bahkan tidak punya uang sebesar itu. Jadi, apa rencana ayah sekarang? Pinjam? Menjual rumah ini? Apa pun yang ayah pikirkan, ini tidak masuk akal!”
Ronny menatap lantai, diam beberapa saat, lalu berkata pelan, “Ayah sudah mencoba, Nathan. Semua jalan sudah buntu. Ayah bahkan berpikir untuk menjual aset, tapi itu pun tidak cukup. Satu-satunya harapan ayah adalah bantuanmu.”
Nathan benar-benar pusing tujuh keliling. Dia berjalan mondar-mandir di ruang tamu, tetapi pikirannya buntu. Segala kemungkinan yang coba dipikirkan, tidak satu pun memberikan solusi. Tiba-tiba terdengar bisikan di telinganya, samar tapi jelas, berkata satu kata: “Maya.” Nathan terperanjat hebat. Nama itu menggema di kepalanya, membawa kembali ingatan tadi malam. Perlahan, dia menoleh ke arah Ronny, menatap ayahnya lekat-lekat, seakan mencoba mencari jawaban yang tersembunyi di balik wajah ayahnya yang terlihat semakin lelah.
“Apakah ayah mendengar sesuatu?” tanya Nathan, suaranya penuh keraguan.
Ronny mengerutkan kening, menatap Nathan dengan bingung. “Mendengar apa, Nak?” jawabnya lemah.
Nathan berdiri terpaku, pikirannya berputar liar setelah mendengar bisikan kata “Maya” lagi. Kali ini, bisikan itu terasa berbeda, seakan ada kekuatan di baliknya. Dia tidak bisa mengabaikannya. Nama itu bukan sekadar kebetulan dan Nathan mulai merasa bahwa ini adalah semacam wangsit, sebuah petunjuk yang muncul di saat dia sedang terdesak mencari solusi. Perlahan, kesimpulan terbentuk di benaknya, “Maya” adalah kunci untuk menyelesaikan masalah ayahnya.
Nathan merasa dadanya sesak, pikirannya kacau. Perang batin yang begitu dahsyat berkecamuk di dalam dirinya. Dia tahu, meminta bantuan kepada Maya adalah pilihan terakhir yang dia miliki. Namun, setiap kali nama itu terlintas, perasaan muak dan marah meluap di dalam hatinya. Maya bukan orang yang ingin dia temui, apalagi minta bantuan. Masa lalu mereka penuh luka yang masih membekas, dan harga dirinya berteriak menolak gagasan itu. Tapi semakin lama dia mencoba mencari jalan lain, semakin jelas bahwa tidak ada opsi lain. Waktu semakin mendesak, dan ayahnya berada di ujung jurang. Nathan mengepalkan tangannya, memandang lantai dengan rahang terkatup rapat. Dia ingin melawan takdir yang seolah memaksanya, tapi dia tahu perlawanan itu sia-sia. Dengan penuh amarah pada situasi dan dirinya sendiri, Nathan akhirnya menyerah pada kenyataan. Tidak ada pilihan lain. Dia harus meminta bantuan Maya.
Nathan duduk kembali di sofa. Dia mencoba menenangkan hati yang masih berkecamuk, berusaha mengatur napas agar pikirannya lebih jernih. Perlahan, dengan tangan yang bergetar, dia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Perasaan ragu kembali menguasai dirinya. Jari-jarinya terasa berat, seakan menolak untuk bergerak mencari kontak Maya. Tetapi dia tahu, tidak ada pilihan lain. Setelah beberapa detik, dia menemukan nama Maya di daftar kontak. Nathan memandangi layar ponsel itu sejenak, mempertimbangkan sekali lagi keputusan yang akan diambil. Namun, tanpa menunggu lebih lama, dia akhirnya menekan tombol panggil.
“Hallo …” suara merdu seorang wanita terdengar di telinganya.
“Ma …” suara Nathan seakan terputus di tenggorokan.
“Nathan?” Maya menjawab dengan nada tenang namun penuh otoritas, seperti biasa. “Ada apa?”
Nathan menelan ludah, merasakan beratnya permintaan yang akan disampaikan. “Aku… butuh bantuan,” ucapnya, akhirnya bisa berbicara meski suaranya terdengar sedikit gemetar.
Maya terdiam sejenak, lalu suaranya terdengar dingin. “Bantuan apa?”
Nathan mengambil napas dalam, berusaha untuk tenang. “Aku butuh uang… lima milyar.”
“Lima milyar?” nada Maya sedikit meninggi. “Untuk apa uang sebesar itu, Nathan?”
Nathan merasa ada keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Dia tidak bisa mengatakan kebenaran. “Aku… aku ingin mengembangkan usaha, Ma. Aku butuh modal untuk proyek baru.”
Hening sejenak di ujung telepon. Nathan tahu Maya sedang mencerna ucapannya. Lalu, dengan nada yang tidak lagi dingin tapi penuh pertimbangan, Maya menjawab, “Baik. Aku bisa memberikan uang itu.” Nathan hampir bernapas lega, tapi kemudian Maya menambahkan, “Tapi ada syaratnya.”
Nathan mengernyit, merasa firasat buruk mulai muncul. “Syarat apa?” tanyanya dengan hati-hati.
Maya tersenyum kecil di balik telepon, meski Nathan tidak bisa melihatnya. “Kamu harus kembali ke sini, Nathan. Tinggal di rumahku. Aku ingin mengawasi apa yang kamu lakukan dengan uang itu, dan aku ingin kamu belajar langsung dari Denis.”
“Apa?!” Nathan terlonjak dari duduknya. “Ma, aku tidak mau tinggal di rumah itu, apalagi dengan Denis! Dia selalu memperlakukanku seperti aku tidak ada!”
“Dia orang kepercayaanku, Nathan,” jawab Maya tegas. “Dia tahu banyak tentang bisnis. Ini adalah kesempatan untukmu belajar dan berkembang.”
Nathan merasa marah. “Tapi ini bukan tentang bisnis! Ini tentang keluargaku dan masalah ayah. Kenapa harus melibatkan Denis?”
“Sebentar … Kamu bilang ini tentang masalah ayahmu? Kamu bilang tadi ini masalah pengembangan usahamu? Jangan coba-coba membodohi aku, Nathan. Aku tahu kamu sedang berbohong,” ucap Maya.
Nathan benar-benar terkejut, pemuda itu keceplosan karena emosi. Nathan pun merasa terdesak. Dia tidak terbiasa berbohong, dan itu membuatnya gugup. “Aku… sebenarnya, uang itu untuk ayah. Dia sedang bermasalah dan butuh tebusan.”
Maya terdiam sejenak, mengamati setiap kata yang keluar dari mulut Nathan. “Tebusan? Untuk apa? Apa yang terjadi?”
Nathan menghela napas, tidak ada gunanya menyimpan rahasia lebih lama. “Ayah terlibat masalah besar. Dia dikejar oleh orang-orang karena sebuah kesalahan. Jika tidak ada uang itu, dia akan dalam bahaya.”
“Jadi, kamu butuh uang untuk menyelamatkan ayahmu?” Maya tersenyum tipis, tampak menguasai situasi tersebut. “Aku akan membantu, tapi kamu harus memenuhi syaratku. Tinggal di sini, belajar dari Denis, dan buktikan bahwa kamu bisa dipercaya.”
“I..itu tidak mungkin …” ucap Nathan pelan.
“Mengabaikan Denis sama saja dengan mengabaikan peluangmu, Nathan,” kata Maya, suaranya tetap datar. “Kamu tidak akan mendapatkan uang itu tanpa syarat.”
“Jadi, aku harus memilih antara uang dan kebanggaanku?” Nathan merasa frustrasi. “Itu tidak adil.”
“Kadang, kita harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan yang lain,” jawab Maya. “Jika kamu benar-benar ingin membantu ayahmu, kamu harus melakukan syaratku. Ini satu-satunya cara.”
Nathan terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Kepalanya berputar memikirkan semua konsekuensi dari permintaan Maya. Uang itu penting untuk menyelamatkan ayahnya, tetapi tinggal bersama Maya dan Denis terasa seperti terjebak dalam jaringan yang lebih rumit. Beberapa detik berlalu dalam hening yang berat, membuat suasana semakin menegangkan.
Tiba-tiba, suara Maya memecah keheningan. “Nathan…” Suara itu tegas, tidak memberi ruang untuk ragu. Nathan tersentak, menyadari bahwa dia masih belum memberikan jawaban. “Kamu masih di sana?” tanya Maya, nada suaranya menuntut kepastian.
Nathan mengangkat napas dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya, Ma,” jawabnya, suara bergetar.
“Waktu untuk apa?” potong Maya dengan nada tajam. “Ini masalah hidup dan mati bagi ayahmu. Apakah kamu akan terus bertele-tele, atau siap mengambil risiko ini?”
“Aku butuh waktu, Ma …” ulang Nathan.
“Dengar, Nathan,” Maya melanjutkan, suaranya semakin dingin. “Jika kamu tidak mengambil kesempatan ini, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi pada ayahmu. Dia terlibat dalam masalah yang sangat serius, dan waktu tidak berpihak padamu.”
Keringat dingin mulai mengalir di pelipis Nathan. “Apa maksudmu?”
“Jika kamu tidak setuju untuk tinggal bersamaku dan Denis, aku tidak akan memberikan uang itu. Ayahmu akan menghadapi konsekuensi dari kesalahannya,” ancam Maya dengan tegas. “Dan aku tidak bisa menjamin keselamatannya. Pilihan ada di tanganmu, Nathan.”
Mendengar kata-kata itu, Nathan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu, jika tidak setuju, masa depan ayahnya bisa hancur. Dalam situasi tertekan seperti ini, tidak ada pilihan lain. “Baiklah, aku setuju,” ucapnya akhirnya, tak berdaya.
Maya di ujung telepon mengeluarkan desahan lega. “Bagus, Nathan. Aku tahu kamu akan membuat keputusan yang tepat. Uang lima milyar yang kamu perlukan sudah ada di Livia.”
Nathan terkejut. “Livia?”
“Ya … Segera hubungi Livia dan atur semuanya. Setelah itu, kamu tidak akan bisa mundur dari kesepakatan ini,” jawab Maya tegas.
Nathan menelan ludah, menyadari bahwa dia terikat pada syarat Maya. “Ba..baiklah,” ucapnya pelan.
“Jangan lupa, Nathan, ini adalah kesempatan. Jangan sia-siakan,” kata Maya sebelum menutup telepon. Nathan melihat layar ponsel, merasa berat dengan keputusan yang telah diambilnya.
Nathan termenung, pikiran berkecamuk tentang keputusan yang baru diambil. Ia masih merasakan beratnya beban yang akan ditanggung. Tiba-tiba, bisikan yang memperingatinya kembali terngiang dalam benaknya, seakan menuntut perhatian. Dua kali bisikan itu muncul, mengingatkannya pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar masalah pribadi. Nathan berpikir, mungkin ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh leluhurnya untuk menyelamatkan Maya. Namun, ia merasa bingung, karena tidak melihat alasan yang kuat bagi Maya untuk diselamatkan. Wanita itu sudah terjun jauh ke dalam dunia bisnis yang gelap dan penuh ambisi. Meski begitu, rasa tanggung jawab dan amanah para leluhur membuatnya mempertimbangkan kembali langkah yang harus diambil.
“Jadi …?” tanya Ronny yang tiba-tiba membuyarkan lamunan Nathan.
“Uangnya sudah ada, tinggal diambil …” jawab Nathan sambil berlalu dari hadapan ayahnya.
Nathan membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk. Dia menuju lemari, membuka pintunya, lalu mengambil handuk yang tergantung di dalamnya. Nathan juga menarik satu set pakaian bersih dan menggenggamnya di tangan. Setelah itu, Nathan berjalan keluar kamar menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Saat melewati ruang dapur, pandangannya sekilas tertuju ke teras belakang. Di sana, ayahnya duduk di kursi rotan sambil merokok. Asap rokok mengambang di udara, dan meskipun wajah Ronny tidak sepenuhnya cerah, ekspresi pria paruh baya itu terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
Nathan tidak lama memandang ke arah ayahnya. Ia segera masuk ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, merasakan air yang mengalir di kulitnya, dan mulai membersihkan diri. Setelah mandi, ia mengenakan pakaian bersih yang sudah dipersiapkannya tadi. Nathan keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamarnya. Di sana, dia berdiri di depan cermin, merapikan rambut dan memastikan penampilannya terlihat rapi sebelum melanjutkan aktivitas lainnya. Nathan keluar dari kamarnya dan berjalan menuju teras belakang rumah. Nathan mendekati ayahnya di teras belakang. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik kursi rotan yang ada di sebelah Ronny dan duduk di sana.
Nathan memecah keheningan. “Aku terpaksa harus pindah ke Jakarta,” ucapnya tanpa basa-basi. “Maya memberi uang untuk menyelesaikan masalah ayah, tapi ada syarat. Aku harus tinggal bersama dia dan Denis. Sebenarnya aku nggak mau tinggal di Jakarta, tapi tidak ada pilihan lain.”
Ronny terdiam, mendengarkan dengan seksama.
Nathan melanjutkan, “Menggadaikan sertifikat tanah bukan jalan yang baik. Risiko terlalu besar. Nilai tanah itu tinggi, dan aku nggak mau kalau sampai hilang atau malah jadi masalah di kemudian hari.”
Ronny menarik napas panjang. “Maafkan ayah, Nathan. Seharusnya kamu nggak perlu menanggung semua ini. Ini semua salah ayah.”
Nathan berdiri dari kursinya tanpa berkata apa-apa lagi. Ia berjalan meninggalkan teras belakang, melewati dapur yang sepi, dan keluar menuju halaman depan rumah. Udara sore terasa hangat saat Nathan mendekati motornya yang terparkir di sudut halaman. Ia memegang setang motor lalu menyalakan mesin. Suara motor yang menyala memecah ketenangan sore ketika Nathan mulai melaju meninggalkan rumah. Perjalanan ke pusat kota dimulai, jalanan yang tidak terlalu ramai memudahkan Nathan melaju dengan kecepatan stabil. Tujuannya adalah rumah Livia. Setelah sekitar setengah jam perjalanan, Nathan tiba di depan rumah Livia. Matahari mulai rendah di ufuk barat, sinarnya masih memberikan cahaya lembut di sekitar rumah.
Nathan mematikan motor dan turun, kemudian berjalan menuju pintu rumah Livia. Ia berhenti sejenak di depan pintu dan menekan bel rumah. Suara bel terdengar dari dalam, membuat Nathan menunggu beberapa detik. Tak lama, pintu terbuka. Livia berdiri di sana dengan senyum lebar, wajahnya terlihat cerah. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung mendekati Nathan, lalu menyambutnya dengan ciuman di bibir. Nathan membalas ciuman Livia, dan setelah beberapa detik, mereka melepaskan ciuman itu.
“Hi hi hi … Ada kabar lucu sekaligus gembira,” ucap Livia sambil menarik tangan Nathan, dan mereka msuk ke dalam lalu duduk di sofa panjang berhimpitan.
“Kabar apa?” tanya Nathan agak lesu.
“Gara-gara kejadian tadi, Maya memindahkan aku ke Jakarta. Kejadian tadi membawa berkah buatku yang sudah lama ingin pindah ke Jakarta,” ucap Livia dengan wajah berseri, penuh semangat dan harapan.
“Oh …” respon Nathan yang tetap lesu membuat Livia mengerutkan dahi.
“Kenapa kamu terlihat begitu? Ini kan kabar baik,” ucapnya, mencoba mengubah suasana.
“Kabar baik buatmu, tapi kabar buruk buatku,” ujar Nathan.
“Nathan … Aku tahu kalau kamu akan pindah juga ke Jakarta. Tadi Maya bicara padaku semuanya. Aku tahu semuanya,” ucap Livia dengan penuh semangat. “Maya akan membimbingmu untuk menjadi pengusaha hebat. Ini kabar baik buatmu,” kata Livia lagi coba memberi semangat pada Nathan.
“Kalau aku dengan Maya mungkin aku masih bisa, tetapi dengan Denis rasanya aku sulit menerima dia setelah apa yang dia lakukan padaku,” ungkap Nathan.
Livia mengangguk, memahami perasaannya. “Aku mengerti. Tapi cobalah untuk melihat sisi baiknya. Mungkin ada cara untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan Denis.”
“Aku belum melihat sisi baik Denis,” jawab Nathan, suaranya masih penuh keraguan. “Dia selalu bersikap seperti orang yang berkuasa, dan itu membuatku merasa tidak nyaman.”
“Hi hi hi … Aku akan kasih tahu sebuah rahasia. Aku bicara dengan pegawaiku yang kamu hajar. Mereka bilang kalau kamu bukan manusia. Mereka bilang kalau kamu sakti dan tidak mempan senjata tajam. Aku ceritakan itu kepada Maya dan Maya kelihatannya sangat tertarik,” ucap Livia dengan nada bersemangat.
“Kenapa dia tertarik dengan hal itu?” tanya Nathan yang sebenarnya dia tahu karakter Maya seperti itu, namun Nathan ingin mengetahui lebih dalam.
Livia mengangguk, menatap Nathan dengan penuh semangat. “Nathan, kamu tahu, Maya selalu mencari cara untuk memperkuat posisinya. Jika dia tahu tentang kemampuanmu, dia pasti akan memanfaatkan itu untuk bisnisnya. Dia juga mungkin merasa terancam oleh saingan atau musuh. Dengan memiliki orang-orang kuat di sekitarnya, dia akan merasa lebih aman dan terlindungi. Selain itu, menjalin hubungan dengan orang kuat sepertimu bisa meningkatkan citranya di mata publik, membuatnya terlihat lebih berkuasa dan mengesankan. Ini bisa jadi kesempatan besar bagimu, lho!”
“Tetap saja masalah terbesarku kan dengan Denis …” Suara Nathan penuh keraguan.
Livia menjawab dengan yakin, “Tapi aku rasa Denis sudah tahu tentang kejadian yang menimpa pegawaiku yang menjadi suruhan dia. Sekarang, Denis pasti sadar akan kemampuanmu. Dia mungkin akan lebih menghargaimu setelah melihat betapa kuatnya kamu.”
Nathan menatap Livia dengan ragu. “Kamu yakin? Dia tampak sangat arogan.”
“Percayalah,” kata Livia, “Denis bukan orang yang bodoh. Dia pasti mengerti bahwa kamu bukan sembarang orang. Dengan semua yang terjadi, dia akan berpikir dua kali sebelum meremehkanmu lagi. Ini bisa jadi titik balik dalam hubungan kalian. Justru, ini kesempatan untuk menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya.”
Penjelasan Livia sangat masuk akal bagi Nathan. Ia mulai memahami bahwa Denis mungkin tidak akan meremehkannya lagi karena sudah mengetahui kekuatannya. Pikiran pemuda itu mulai terbuka, dan keyakinan baru muncul dalam dirinya. Nathan merasakan perubahan dalam suasana hatinya. Ia membayangkan Denis yang sebelumnya tampak sombong kini akan memperlakukannya dengan lebih hormat.
Perubahan ini memberikan pencerahan bagi Nathan. Rasa percaya diri mengalir ke dalam dirinya, dan ia merasa senang dengan kemungkinan baru yang terbuka. Beban yang selama ini mengganggu terasa mulai terangkat. Nathan membayangkan momen di mana ia bisa menunjukkan kemampuannya dan mendapatkan pengakuan. Senyum muncul di wajahnya, dan ia merasa siap menghadapi tantangan yang ada di depan.
“Livia, Terima kasih. Kamu telah membuatku siap pergi ke Jakarta,” kata Nathan dengan tulus.
“Aku juga mau ucapan terima kasih sama kamu, Nathan … Gara-garamu aku pindah ke Jakarta,” balas Livia dan tiba-tiba wanita itu menggeser duduknya hingga di pangkuan Nathan. Dengan senyuman nakal, ia menggigit bibirnya dan menatap Nathan dalam-dalam.
Nathan menahan napas, matanya berkilau. “Kamu tahu, aku paling tidak tahan kalau ada wanita yang duduk di pangkuanku. Rasanya… langsung saja kepingin gituan,” ujarnya sambil tersenyum nakal, tangannya secara tidak sengaja mengelus pinggang Livia.
Livia mencubit hidung Nathan dengan geli. “Aduh, otak kamu itu harus dicuci, deh! Kenapa sih selalu ngeres melulu?” katanya sambil tertawa, matanya menyorot penuh canda.
Nathan berpura-pura merengut. “Eh, siapa yang ngeres? Justru kamu yang berani menggoda punyaku,” balasnya, sambil melengkungkan senyumnya.
Livia tertawa lebih keras, senyumnya membuat Nathan semakin tidak bisa menahan rasa. “Ya ampun, Nathan! Kamu ini ya… bisa-bisanya berpikir begitu!” Lalu Livia mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Nathan, matanya berkilau dengan tantangan. “Tapi… kalau kamu mau, mungkin kita bisa bahas lebih serius di kamarku.”
“He he he … Ketahuan kan, siapa yang ngeres,” Ujar Nathan sambil menangkup buah dada kiri Livia.
“Habisnya kamu yang duluan,” kata Livia agak mendesah.
Nathan tidak lagi merespon ucapan Livia. Ia memfokuskan perhatian pada buah dada wanita itu di tangannya, menggerakkan jari-jarinya dengan lembut. Sementara itu, Livia merasakan sentuhan Nathan yang menyalakan reaksi nikmat. Livia pun mendesah pelan, tidak mampu menahan efek dari sentuhan lembut itu, tubuhnya merespon dengan cara yang semakin jelas.
Livia merasakan dorongan hangat dalam tubuhnya. Ia bergerak perlahan, tubuhnya kini berhadapan dengan Nathan, dan tanpa ragu, ia langsung menempelkan bibirnya pada bibir Nathan. Keheningan di antara mereka pecah seketika. Ciuman itu terasa mendalam, dan cepat membakar hasrat di antara mereka. Sensasi yang muncul semakin kuat, menyelimuti keduanya dalam gairah yang tak tertahankan. Bibir mereka saling melumat, bertemu dengan penuh tenaga. Lidah mereka bertaut, seolah mencari dominasi, sambil bertukar saliva yang membuat rasa di antara mereka semakin nyata, memicu hasrat yang membara, membangkitkan keinginan yang terus meningkat. Nathan melanjutkan gerakannya dengan meremas payudara Livia. Sentuhan tangannya semakin menjelajah, mengikuti ritme yang tercipta di antara mereka.
Di tengah intensitas yang terus memanas, dering ponsel tiba-tiba memecah momen tersebut. Nathan langsung menghentikan aktivitasnya. Ada sedikit rasa jengkel saat dia mengambil ponsel itu dari saku celana. Dia melihat nama tetangganya muncul di layar. Rasa penasaran muncul, meskipun terganggu, dan dia memutuskan untuk menerima panggilan itu.
“Hallo …” sapa Nathan.
Suara di seberang terdengar tergesa, hampir tercekik, “Nathan… Tuhan, rumahmu… kebakaran!” Suaranya bergetar, diselingi hembusan napas yang berat.
Nathan membeku sejenak, tidak percaya. “Apa?! Kebakaran? Rumahku?” Rasa terkejut langsung menyergapnya, suara Nathan semakin keras, penuh ketidakpercayaan.
“Iya! Apinya besar sekali, Nathan! Dari bagian belakang! Asap tebal… kami sudah panggil pemadam, tapi apinya cepat menyebar!” Tetangganya hampir terbata-bata, suaranya diwarnai kepanikan yang nyata, terdengar sedikit terisak.
Nathan tersentak, napasnya mulai tak teratur. “Ya ampun! Seberapa parah?!”
“Parah, Nathan! Setengah rumahmu sudah dilalap! Cepat ke sini! Tuhan, ini makin buruk!” Suara tetangganya semakin panik, hampir tak terkendali, sirene pemadam semakin jelas terdengar di latar belakang.
Nathan menutup telepon dengan gemetar, jantungnya berdegup kencang.
“Ada apa?” tanya Livia, suaranya bergetar, jelas ikut panik melihat perubahan mendadak pada Nathan.
“Rumahku kebakaran…” jawab Nathan dengan suara berat, sembari mengangkat tubuh Livia dari pangkuannya.
Nathan segera berdiri, mengatur napas yang memburu, lalu bergegas menuju pintu. Suasana yang tadinya penuh gairah kini berubah drastis menjadi situasi penuh ketegangan dan kepanikan. Ia membuka pintu dengan kasar, hampir terbanting, lalu keluar rumah secepat mungkin. Di luar, Nathan langsung menghidupkan motornya dengan sekali tarikan. Suara mesin motor menggelegar, seiring dengan tarikan gas yang kencang. Tanpa menoleh ke belakang, Nathan melaju keluar dari halaman, meninggalkan jejak debu di jalan.
Livia, yang terkejut melihat kepanikan Nathan, buru-buru menyusul. Dia meraih kunci mobilnya yang tergeletak di meja, lalu berlari keluar. Matanya mengikuti sosok Nathan yang semakin jauh di depan. Tak ada waktu untuk berpikir. Livia segera masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin, dan memutar setir dengan cepat, berusaha mengejar Nathan yang sudah melaju kencang di kejauhan.
Nathan memacu motornya dengan kecepatan tinggi di jalan yang lengang. Angin malam menerpa wajahnya, namun pikiran pemuda itu hanya terfokus pada satu hal, ayahnya. Jalanan di depan terasa panjang, namun desakan dalam dirinya membuat setiap detik terasa lambat. Matanya lurus ke depan, cemas akan keadaan ayahnya. Benak Nathan dipenuhi kekhawatiran, apakah ayahnya berhasil keluar sebelum api melalap segalanya.
Setibanya di daerah rumah, asap hitam tebal mulai terlihat dari kejauhan. Nathan terus melaju, hingga akhirnya pandangannya tertuju pada lokasi rumahnya yang kini hampir rata dengan tanah. Puing-puing berserakan di sekelilingnya, dengan bara api yang masih menyala di beberapa titik. Petugas pemadam masih berusaha memadamkan sisa api, sementara aroma hangus menyengat menusuk hidung. Nathan berhenti tepat di depan reruntuhan yang dulunya adalah tempat tinggalnya. Rumah itu kini hanya tersisa puing dan bara yang menyala. Dalam kepanikan, ia mencari-cari sosok ayahnya di antara kerumunan.
Nathan melesat, bergerak menuju puing-puing rumahnya. Nathan bergerak cepat di antara puing-puing yang masih panas, matanya mencari-cari sosok ayahnya di tengah kekacauan. Teriknya api dan asap tidak menghalangi pemuda itu. Ia tidak merasa panas berkat Ajian Brajamusti yang dimilikinya. Setiap langkah Nathan penuh semangat dan harapan, meski suara sirene dan teriakan orang-orang di sekelilingnya berusaha memperingatkannya untuk tidak mendekat. Nathan mengabaikan semua itu, fokus pada satu tujuan.
Ia terus menerus memanggil ayahnya, suaranya nyaring dan penuh kepanikan, “Ayah! Di mana ayah?!” Teriakan itu menggema di tengah suasana yang kacau, menambah kesedihan di hatinya. Dengan tangan yang terulur, ia menjelajahi reruntuhan, meraba setiap potongan kayu dan besi, berharap menemukan ayahnya di antara sisa-sisa kehampaan. Saat keringat mengucur di wajahnya, Nathan tetap melangkah, bertekad untuk menemukan ayahnya, terlepas dari bahaya yang mengancam.
Nathan terus meraba puing-puing yang masih menyisakan bara, harapannya semakin memudar seiring waktu yang berlalu. Setiap detik terasa berat, seakan ada beban yang menekan dadanya. Ia tidak menemukan ayahnya di antara reruntuhan. Hati Nathan hancur, seolah seluruh dunia runtuh bersamanya. Setiap kali ia melihat sisa-sisa barang yang hangus, terbayang kenangan-kenangan indah bersama ayahnya, semuanya kini sirna dalam api.
Perasaan kesedihan melanda, mengisi ruang kosong yang tersisa. Air mata mulai mengalir, tak mampu lagi ia tahan. Keringat bercampur debu membuat wajahnya kotor, namun rasa sakit di hatinya jauh lebih menyakitkan. Ia merasa sendirian, terasing di tengah keramaian. Suara kepanikan di sekelilingnya menjadi samar, berganti dengan keheningan yang menyakitkan. Nathan terjatuh di antara puing-puing, merasakan kehampaan yang menguras semua semangatnya. Kegelapan menyelimuti pikiran dan jiwanya, hanya menyisakan kesedihan yang mendalam.
Bersambung
Tambah rame tambah oke…lnjut kakak !!!!