Skip to content

CERBUNG – TAMAT NATHAN

BAB 34​

Maya duduk di belakang meja kerjanya yang terbuat dari kayu jati, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan dokumen yang belum terselesaikan. Cahaya lampu meja menerangi wajahnya yang tegas saat dia fokus pada strategi bisnis baru yang harus disusun untuk memperluas usahanya. Suara gemerisik dari tumpukan kertas membuatnya merasa frustrasi. Sekali-sekali, dia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu yang terus berlalu, mengingatkannya untuk segera menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk. Di balik kesibukannya, pikiran Maya melayang akan sosok Ronny, yang selama ini menjadi sumber ketegangan dalam hidupnya.

Maya tengah tenggelam dalam pekerjaannya ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu ruang kerjanya. Suara itu membuatnya tersentak dari fokusnya, dan dia menatap pintu dengan rasa penasaran yang disertai sedikit ketegangan. Dengan cepat, dia menata ulang dokumen di atas mejanya, mencoba memastikan bahwa semua terlihat rapi sebelum mengizinkan orang itu masuk. Ketukan kedua semakin keras, seolah-olah mendesak agar dia segera membuka pintu. Maya menarik napas dalam-dalam, merasakan ketidaknyamanan di dadanya.

“Ya! Masuk!” suara Maya terdengar tegas, berusaha menyembunyikan rasa gelisah yang menggerogoti pikirannya.

Pintu terbuka dan menampakkan sosok kepala rumah tangga. Dengan wajah yang serius, ia menundukkan kepala sedikit dan berkata, “Maaf mengganggu, Nyonya Besar. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda.” Suaranya penuh rasa hormat.

Maya segera merasakan perhatian yang diberikan kepala rumah tangganya itu. Dia mengangkat alis, merasa penasaran dengan siapa yang datang untuk mengunjunginya. “Siapa orangnya?” tanya Maya, berharap penjelasan lebih lanjut akan segera menyusul.

“Beliau mengaku Ronny, Nyonya Besar,” jawab sang kepala rumah tangga.

Maya tertegun mendengar nama itu, dan jantungnya berdegup kencang. Kenangan akan Ronny, mantan suaminya yang selama ini dianggap sebagai masa lalu yang sulit, muncul kembali dalam pikirannya. Dia berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam untuk mengusir rasa terkejut. Setelah beberapa detik, Maya berdiri dan meninggalkan ruang kerjanya. Dia melangkah cepat menuju ruang tamu, rasa ingin tahunya mendorongnya terus maju. Saat memasuki ruang tamu, matanya langsung menangkap sosok Ronny yang duduk di sofa, tampak tenang tetapi ada ketegangan di wajahnya.

Maya melangkah mendekat dan menyapa Ronny dengan nada tegas, “Kamu datang lebih cepat dari yang kuharapkan.” Dia berdiri di depan Ronny, mempertahankan ekspresi percaya diri meskipun suasana di antara mereka terasa tegang. “Apa yang membuatmu datang kemari?” tanyanya langsung, menunggu penjelasan dari Ronny tentang tujuan kedatangannya.

Ronny berdiri dari duduknya dan menatap Maya dengan serius. “Aku datang dengan perdamaian, Maya,” katanya, suaranya tenang meskipun ada rasa berat yang menyelimuti pertemuan mereka. “Aku ingin melanjutkan percakapan kita semalam. Ada banyak hal yang masih membingungkan dan sulit kupercaya tentang sikapmu.” Dia berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku hanya ingin memahami lebih dalam tentang keputusanmu.”

Maya mengangguk, menyadari pentingnya pembicaraan ini. “Baiklah, Ronny,” ucapnya, suaranya tegas namun lembut. “Duduklah, aku akan memberikan penjelasan tentang kebingunganmu.” Dia melangkah ke sisi sofa dan menunjuk kursi di dekatnya, berharap Ronny akan merasa lebih nyaman. Maya menatap Ronny yang sudah duduk di dekatnya. “Aku merasa sudah sangat jelas mengutarakan maksud dan tujuanku semalam,” katanya, mengatur nada suaranya agar terdengar terbuka. “Tapi jika masih ada yang membuatmu bingung, aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Jadi, aku mempersilahkanmu untuk bertanya tentang kebingunganmu, dan aku akan menjawab sebaik mungkin.”

“Kenapa kamu melakukan semua ini, Maya?” tanya Ronny, suaranya penuh keingintahuan. “Bukankah apa yang kamu berikan padaku semalam adalah hal yang sangat kamu inginkan? Aku tidak mengerti mengapa kamu melakukan itu? Apa sebenarnya yang kamu harapkan dari semua ini?”

Maya menghela napas sebelum menjawab, “Ronny, aku tidak ingin memilikinya lagi. Semua itu hanyalah kebahagiaan semu. Sudah cukup bagiku merasakan kebahagiaan semu itu.” Suaranya tegas, menegaskan keputusannya. “Aku tidak ingin tertipu oleh kebahagiaan semu seperti itu. Yang aku inginkan sekarang adalah sesuatu yang lebih nyata, sesuatu yang tidak akan membuatku merasa kosong di dalam.”

“Kenapa kamu merasa kebahagiaan itu adalah kebahagiaan semu?” tanya Ronny penasaran.

“Kekuasaan dan kekuatan yang aku miliki hanya membuatku terasing dari anak-anak dan menjauhkan kita, Ronny. Kini, aku sadar bahwa kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang kita nikmati. Itulah yang benar-benar memberikan arti dalam hidup ini,” jelas Maya sembari tersenyum.

“Ya, aku benar-benar percaya dengan semua ini, Ronny,” jawab Maya dengan mantap. “Aku telah merenungkan banyak hal, dan aku menyadari bahwa hidupku tidak bisa terus dibiarkan dikuasai oleh ambisi dan kekuasaan yang tidak memberi makna. Aku ingin membangun hubungan yang lebih baik, terutama dengan anak-anakku. Ini adalah perjalanan yang baru bagiku, dan aku ingin kamu melihatnya sebagai langkah nyata, bukan hanya sekadar kata-kata.”

Ronny menggelengkan kepala, menanggapi pernyataan Maya. “Tapi, Maya, kekuasaan dan kekuatan adalah sumber kebahagiaan. Ketika kita memiliki kekuasaan, kita bisa mengendalikan banyak hal dan mendapatkan apa yang kita inginkan. Apakah kamu yakin bisa meninggalkan semua itu begitu saja?”

Maya menggelengkan kepala dengan tegas. “Ronny, kekuasaan dan kekuatan mungkin memberikan ilusi kebahagiaan, tapi itu tidak bertahan lama. Aku sudah merasakannya. Ketika semua yang aku miliki hanya berfokus pada kontrol dan dominasi, aku kehilangan hal-hal yang sebenarnya penting, seperti cinta, kepercayaan, dan kebersamaan. Kebahagiaan sejati datang dari hubungan yang tulus dan pengalaman yang berarti, bukan dari kekuasaan yang hanya membuatmu merasa sendiri.”

Ronny masih tampak ragu. “Aku mengerti apa yang kamu katakan, Maya, tetapi sulit bagiku untuk membayangkan hidup tanpa kekuasaan. Selama ini, itu adalah yang membuatku merasa berharga dan diakui. Jika suatu saat kamu kembali menghadapi situasi yang menggoda untuk menginginkan kekuasaan itu lagi, apakah kamu yakin bisa bertahan dengan keputusanmu sekarang?”

Maya menjawab dengan tegas, “Aku yakin, Ronny. Aku telah melihat apa yang terjadi ketika aku terjebak dalam pencarian kekuasaan, dan aku tidak ingin mengulanginya. Kini aku memahami bahwa nilai diriku tidak ditentukan oleh seberapa besar kekuasaan yang aku miliki, melainkan oleh hubungan yang aku jalin dan dampak positif yang bisa kuberikan kepada orang-orang di sekitarku. Aku siap untuk menjalani hidup yang lebih berarti, dan aku tidak akan membiarkan godaan itu mengubah keputusanku.”

Ronny mengernyitkan dahi, mempertanyakan keputusan Maya. “Tapi, apakah kamu benar-benar siap untuk jatuh miskin? Meninggalkan semua kekuasaan dan harta yang telah kamu kumpulkan bisa berarti kehilangan segalanya. Apakah kamu bersedia menghadapi risiko itu?”

Maya mengangguk dengan mantap. “Aku telah memikirkan semua risiko itu, Ronny, dan aku siap menerimanya. Kekayaan dan kekuasaan tidak lagi memberikan kebahagiaan yang kuinginkan. Aku lebih memilih hidup dengan kejujuran dan hubungan yang tulus, meskipun itu berarti aku harus melepaskan segala sesuatu yang selama ini aku anggap penting. Yang terpenting bagiku sekarang adalah menemukan arti yang sebenarnya dalam hidup ini.”

Ronny merasa hatinya bergetar mendengar pernyataan Maya. Dalam keheningan sejenak, ia merenungkan hidupnya yang dipenuhi ambisi dan pencarian kekuasaan. Tiba-tiba, seolah ada cahaya yang menyinari kegelapan yang mengelilinginya, ia menyadari bahwa semua yang ia cari selama ini hanyalah kebahagiaan semu. Melihat Maya yang berani mengambil langkah untuk kembali ke jalur yang lebih tulus, ia mulai meragukan pilihan hidupnya sendiri. Perasaannya kini tak menentu, antara harapan dan keraguan, saat ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada kekuasaan, tetapi pada hubungan yang bermakna dengan orang-orang yang dicintainya.

Ronny menghela napas dalam-dalam, berusaha menata pikirannya. “Aku ingin meyakini ucapanmu, Maya,” katanya. “Tapi, aku rasa aku perlu melihat bukti dari pilihan ini. Jika kamu benar-benar ingin meninggalkan semua itu, buktikan padaku bahwa kamu bisa menjalani hidup yang berbeda. Aku butuh keyakinan bahwa ini bukan hanya kata-kata, tetapi langkah nyata menuju perubahan yang kamu inginkan.”

Maya berbicara dengan tegas. “Baiklah, aku akan memberikan sebagian perusahaanku padamu,” ucapnya. “Semua perusahaan yang akan kuberikan adalah memang warisan ayahmu untukmu. Ini bukan hanya tentang pembuktian, tetapi tentang mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hakmu. Dengan cara ini, kamu bisa membangun masa depanmu sendiri, tanpa terjebak dalam ambisi yang tidak memberi arti.”

Ronny terperanjat hebat, tidak menyangka dengan tawaran Maya. “Apa? Kamu serius?” tanyanya dengan nada tercengang.

Maya mengangguk sambil tersenyum. “Ya, aku serius,” jawabnya. “Perusahaan-perusahaan itu memang sebenarnya akan diberikan padamu oleh ayahmu, tetapi aku mengambilnya dengan cara paksa. Sudah saatnya perusahaan-perusahaan itu kembali kepada pemiliknya yang sah. Ini adalah hakmu, dan aku ingin memastikan kamu mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milikmu.”

Ronny menghela napas lega, merasakan keyakinan baru. “Jika itu benar, aku percaya kamu telah berubah, Maya,” katanya. “Kau telah menunjukkan bahwa kamu benar-benar ingin memperbaiki kesalahanmu.”

Maya mengangguk, terlihat serius. “Aku akan segera melakukan perpindahan perusahaan itu secepatnya,” ujarnya. “Begitu semua persiapannya selesai, aku akan mengabari kamu, dan aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar.”

Ronny tersenyum, merasa lega dan bersyukur. “Terima kasih, Maya. Aku sangat menghargai semua yang kamu lakukan untukku. Aku akan menunggu kabar darimu dan berharap semuanya berjalan lancar.” Ronny pun berdiri lalu berkata, “Sudah waktunya aku pamit. Sampai jumpa, Maya. Aku berharap kita bisa bertemu lagi segera.”

“Apa kamu tidak ingin menemui Nathan dulu?” Maya coba menahan Ronny.

Ronny menggeleng pelan. “Aku tidak bisa menemui Nathan sekarang, Maya. Tolong sampaikan permohonan maafku padanya. Saat ini, aku merasa lebih baik jika aku meluangkan waktu untuk memikirkan semuanya. Nanti, setelah semua ini beres, aku akan menemui Nathan sendiri dan menjelaskan semuanya kepadanya.” Dia tersenyum lembut, berharap Maya mengerti keputusannya.

“Baiklah …” respon Maya.

Maya berdiri diam, memperhatikan langkah Ronny yang menghilang dari pandangannya. Keputusan besar baru saja diambil, dan Maya merasa yakin dengan langkah yang sudah diambilnya. Setelah beberapa saat, ia menatap pintu yang tertutup rapat, dan Ronny menghilang dari pandangannya. Perlahan, ia berbalik dan melangkah ke ruang tengah dengan sikap tenang, pikirannya fokus pada langkah berikutnya. Maya berhenti di hadapan di sofa, menarik napas panjang, lalu memanggil kepala rumah tangga yang sedang berdiri tak jauh darinya.

“Bangunkan Nathan. Sekarang,” ujar Maya dengan suara tegas.

Kepala rumah tangga segera mengangguk dan bergerak menuju kamar Nathan, sementara Maya duduk di sofa, menunggu dengan tenang. Suasana ruang tengah sunyi, hanya terdengar langkah kaki kepala rumah tangga yang menjauh. Maya membiarkan pikirannya mengalir, memikirkan langkah berikutnya sambil tetap menjaga ketenangan. Keputusan yang baru saja diambilnya terasa final, tak ada ruang untuk keraguan. Dia tahu langkah ini bukan tanpa risiko, namun dia yakin ini adalah yang terbaik. Semua yang dilakukan demi sebuah harapan-harapan untuk hidup tanpa beban, tanpa harus terus dihantui oleh kekuasaan dan ambisi yang pernah menguasainya. Maya berharap keputusannya kali ini akan membawa kedamaian, baik untuk dirinya maupun untuk orang-orang di sekitarnya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Nathan muncul dari tangga menuju ruang tengah, terlihat segar dengan rambut yang masih sedikit basah setelah mandi. Dia berjalan mendekati Maya, menatap ibunya dengan ekspresi campuran antara ingin tahu dan sedikit ragu. Maya tersenyum tipis, menyadari betapa momen ini sangat penting bagi hubungan mereka. Dia menepuk tempat di sebelahnya di sofa, mengundang Nathan untuk duduk.

“Nathan,” ucap Maya lembut, “ada banyak yang ingin Bunda bicarakan denganmu.”

Nathan duduk di sebelah ibunya, wajahnya menunjukkan keseriusan, seolah siap mendengar penjelasan yang telah lama ditunggu. Maya menarik napas dalam-dalam, kemudian mulai bicara dengan nada lembut.

“Nathan,” kata Maya, “Bunda sudah memutuskan sesuatu yang mungkin mengejutkanmu. Bunda ingin kamu tahu, bahwa sebagian dari apa yang Bunda miliki akan Bunda serahkan kepada ayahmu, Ronny.”

Nathan terkejut, alisnya terangkat dan tatapannya berubah tak percaya. “Apa? Bunda serius ingin melakukan itu?” tanyanya, suaranya penuh kebingungan. Ia mencari kepastian di wajah ibunya, seolah-olah mendengar sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. “Bunda… Bukankah sebelumnya Bunda berencana untuk melenyapkannya?” Nathan bertanya lagi, suaranya kali ini nyaris berbisik, mencoba memahami perubahan besar ini.

Maya menatap Nathan dengan penuh kesungguhan. “Kekerasan tidak akan menyelesaikan apa pun, Nak,” ujarnya dengan suara tenang. “Bunda tidak ingin kita terus hidup dalam konflik yang tak ada akhirnya. Semua kemelut ini… Bunda ingin semua selesai dengan kedamaian.” Ia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan, “Bunda hanya ingin kita semua bisa menjalani hidup dengan tenang. Tidak lagi dikelilingi oleh permusuhan atau dendam yang terus berlanjut. Ini satu-satunya cara agar kita bisa hidup damai.”

Nathan terdiam sesaat sebelum menjawab, mencoba meresapi kata-kata ibunya. “Tapi… Bunda, aku tidak mengerti. Selama ini, bukankah tujuan kita menjaga jarak dengan ayah supaya semua yang kita miliki tetap aman? Lalu sekarang, Bunda malah ingin menyerahkan sebagian dari itu padanya? Apa tidak khawatir dia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk sesuatu yang lebih buruk?”

Maya menarik napas perlahan, berusaha membuat Nathan mengerti. “Nathan, Bunda tahu ini sulit dimengerti, tapi Bunda percaya cara ini adalah yang terbaik. Kalau kita terus berpegang pada kebencian, kita akan terjebak dalam lingkaran yang sama, tanpa akhir. Dengan memberikan ini, Bunda berharap bisa mengakhiri konflik yang tak ada habisnya. Bunda ingin kita semua punya kesempatan untuk hidup lebih damai.”

Nathan mengangguk perlahan, suaranya terdengar tulus, “Kalau itu memang yang Bunda kehendaki, aku akan ikut. Aku hanya berharap keputusan ini benar-benar jadi jalan terbaik untuk menyelesaikan semua kemelut yang ada. Semoga dengan ini, kita semua bisa menemukan kedamaian yang selama ini sulit didapat.”

Maya tersenyum dan berkata, “Terima kasih, Nak … Bunda tahu ini bukan jalan yang mudah, tapi dengan keberadaanmu di sisi Bunda, semuanya akan terasa lebih ringan.” Ia berhenti sejenak, mengambil napas sebelum melanjutkan, “Selain perusahaan yang akan diberikan pada ayahmu, Bunda juga telah memberikan kekuatan yang selama ini ayahmu inginkan. Itu memang sesuatu yang selalu ia dambakan sejak dulu.”

Nathan terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata ibunya. Ia merasa bingung, namun juga mulai merasakan beban yang dipikul oleh Maya. “Bunda… Bunda… memberikan kekuatan Bunda pada ayah?” tanyanya, suaranya penuh keterkejutan.

Maya mengangguk dengan tenang, “Iya, Nak. Itu adalah keputusan yang Bunda ambil. Kekuatan yang Bunda miliki, yang dulu Bunda pertahankan untuk diri sendiri, kini Bunda serahkan padanya.”

Nathan terdiam sejenak, merasa kesal dan bingung. “Bunda… Aku… Aku tidak mengerti,” ujarnya perlahan. “Kenapa harus memberikan semuanya kepada ayah? Kekuatan dan kekuasaan yang Bunda punya, yang dulu Bunda pertahankan dengan keras, kenapa sekarang Bunda serahkan begitu saja?”

Maya menundukkan kepala sejenak, kemudian mengangkat wajahnya dengan penuh ketenangan. “Nak,” ujarnya dengan suara pelan namun tegas, “Bunda sudah lelah dengan semua itu. Kekuatan, kekuasaan, dan semua yang pernah Bunda pertahankan, hanya membuat Bunda semakin terjebak dalam kehidupan yang tak pernah memberi kebahagiaan sejati.” Maya berhenti sejenak, merenungkan kata-katanya. “Bunda ingin merasakan hidup yang normal, hidup tanpa harus terus berjuang untuk mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tidak memberi ketenangan. Bunda ingin bebas dari beban yang selama ini mengekang.”

Nathan terdiam sejenak, merasa kebingungan mulai menghilang. “Sekarang aku mengerti, Bunda,” ujarnya dengan suara lebih tenang. “Bunda ingin hidup tanpa terus-menerus berjuang untuk mempertahankan kekuasaan itu, tanpa terperangkap dalam dunia yang tidak pernah memberi kedamaian. Aku mengerti kenapa Bunda memilih jalan ini.” Nathan sedikit mengangguk, merasa lebih tenang, dan melanjutkan, “Walaupun awalnya sulit, sekarang aku bisa melihat alasan di balik keputusan ini. Aku mendukung Bunda.”

Maya menggenggam tangan Nathan dengan lembut, suara penuh keikhlasan. “Sekarang, semuanya Bunda serahkan pada kamu, Nathan,” ujarnya. “Bunda tidak lagi memiliki apa-apa. Hidup Bunda bergantung padamu, karena Bunda hanya ingin kedamaian. Semua yang Bunda lakukan, semua keputusan yang Bunda ambil, adalah demi mencari ketenangan yang selama ini Bunda cari.” Maya menunduk sejenak, merasakan berat beban yang mulai terasa lebih ringan. “Bunda hanya ingin hidup dengan damai, bebas dari segala ambisi dan kekuasaan yang dulu menguasai Bunda.”

Nathan menggenggam tangan Maya dengan penuh keyakinan. “Bunda, aku janji akan melindungimu,” katanya, suaranya tegas dan penuh tekad. “Apapun yang terjadi, aku akan ada di sampingmu. Kamu tidak sendirian. Kita akan menghadapi semuanya bersama.”

Maya perlahan memeluk Nathan, merasakan kehangatan dan ketenangan yang sudah lama hilang. Air mata yang sejak lama tertahan akhirnya mengalir, menetes di bahu Nathan. Tangisannya bukan lagi tentang kesedihan, melainkan kebahagiaan yang datang setelah perjalanan panjang yang penuh liku. Ia merasa beban yang selama ini dipikulnya perlahan terlepas, seiring dengan ketulusan dan dukungan yang diberikan Nathan. Dalam pelukan anaknya, Maya merasa akhirnya menemukan kedamaian yang ia cari, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar bebas.

Nathan mengusap lembut punggung ibunya, merasakan kehangatan yang begitu dalam. Ia tahu, meskipun ibunya merasa lega, ada rasa berat yang harus ditanggungnya karena melepaskan semua kekuasaan dan kekuatan yang telah lama ia pertahankan. Nathan merasa kasihan, namun di sisi lain, ada rasa bangga yang tumbuh di dalam hatinya. Ibunya yang dulu terperangkap dalam bayang-bayang kekuasaan kini telah memilih untuk berubah. Maya yang dulu dikelilingi kegelapan ambisi dan kontrol, kini mulai menemukan cahaya dalam hidupnya. Nathan merasa senang, karena akhirnya ibunya telah membebaskan dirinya dari beban yang membuatnya tertekan selama ini.

Nathan melepaskan pelukan ibunya dengan lembut, dan menatap Maya dengan penuh keyakinan. Suaranya terdengar lebih tenang namun penuh makna, “Sekarang, semua masalah yang melingkupi keluarga kita mulai menuju apa yang aku harapkan, Bunda,” ucap Nathan. “Aku merasa tanggung jawabku kepada leluhur, untuk menyelamatkan keluarga kita dari kehancuran, hampir tercapai. Hanya satu hal lagi yang harus aku selesaikan, dan itu adalah hal terakhir yang akan membebaskan aku dari beban yang selama ini diamanahkan kepadaku.”

“Apa itu?” tanya Maya dengan rasa ingin tahu yang mendalam.

“Tunggu sebentar,” ucap Nathan sambil bangkit dari duduknya.

Natah melangkah cepat menuju tangga yang terletak di sudut ruangan. Tanpa ragu, ia menaiki anak-anak tangga satu per satu, melewati lantai dua, dan langsung menuju kamarnya. Begitu pintu kamar tertutup, ia segera mencari pakaian yang diberikan oleh Permana, meraih dan menggenggamnya erat. Pakaian itu disembunyikannya di balik tubuhnya. Setelah memastikan semuanya rapi, Natah keluar dari kamar dan kembali menuruni tangga dengan langkah hati-hati. Sampai di lantai satu, ia berjalan menuju ibunya, Maya, yang sedang menunggu di ruang tengah. Nathan berdiri di hadapan Maya, ragu-ragu sejenak, lalu menyembunyikan pakaian yang tergenggam erat di belakang tubuhnya.

Nathan berdiri di depan ibunya dengan ekspresi sedikit gelisah. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah tengah mengumpulkan keberanian. “Bunda… ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan,” ujarnya, suaranya nyaris berbisik.

Maya memperhatikan dengan saksama, merasa ada sesuatu yang penting dalam cara Nathan menyembunyikan sesuatu di balik tubuhnya.

Nathan mengalihkan pandangannya sejenak ke lantai sebelum kembali berbicara dengan nada serius. “Bunda, tolong ingat baik-baik apa yang akan aku perlihatkan ini, ya?” katanya pelan.

Maya mengangguk pelan, menunjukkan bahwa ia setuju tanpa berkata apa-apa. Sejurus kemudian, Nathan mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah baju di hadapannya. Maya memperhatikan pakaian itu dengan seksama; sorot matanya menyusuri setiap detail yang tampak begitu akrab, warna yang memudar, pola yang terasa pernah ia lihat, dan tekstur kain yang memicu kenangan samar. Sesaat ia terdiam, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tiba-tiba, Maya terperanjat, matanya melebar, dan dengan cepat ia menutup mulutnya yang terbuka lebar, terkejut oleh apa yang baru saja disadarinya.

Nathan menunggu sejenak, memperhatikan keterkejutan di wajah bundanya. Dengan suara hati-hati dan sedikit ragu, ia bertanya, “Bunda… apa Bunda ingat sesuatu dengan pakaian ini?”

Suara Maya bergetar, dan matanya kini dipenuhi keheranan dan keterkejutan yang mendalam. “Ini… ini tidak mungkin… bagaimana bisa baju ini ada padamu?”

“Beliau yang memberikannya padaku dan memintaku untuk menunjukannya pada Bunda,” ucap Nathan sedikit tegang.

Maya berusaha merangkai kata-kata, namun suaranya terdengar gemetar, nyaris tak percaya pada apa yang dilihatnya. “Di… dia … Ma… maksudmu … Permana…?” ucap Maya dengan suara bergetar, seolah tak yakin pada kesimpulan yang mulai terbentuk di benaknya.

“Ya, Permana … Aku sudah bertemu dengannya dan beliau memberikan ini padaku,” jawab Nathan lebih tenang.

Maya masih terperangah, suaranya terdengar parau saat ia bertanya, “Nathan… bagaimana bisa… bagaimana mungkin kamu bertemu dengannya?” Matanya masih memancarkan ketidakpercayaan yang dalam, seolah berharap ini semua hanyalah salah paham. “Nak, Permana… dia sudah mati… dia meninggal bertahun-tahun yang lalu. Itu… tidak mungkin.”

Nathan mengangguk pelan, lalu berkata dengan tegas, “Bunda, Permana masih hidup. Dia sehat, seperti tidak ada yang terjadi.” Suaranya mantap, memastikan bahwa ibunya mendengar dengan jelas. Dengan hati-hati, Nathan duduk di samping Maya, dekat dengan ibunya yang tampak masih terkejut. Ia menggulirkan pertanyaan yang masih mengganjal di benaknya. “Bunda… apa arti pakaian ini buat Bunda? Mengapa baju ini bisa begitu penting?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.

Maya menutup wajahnya dengan kedua tangan, seakan berusaha menahan tangis yang sudah tak bisa dibendung lagi. Air mata mulai mengalir deras, menghiasi pipinya yang memerah. Suara isakannya pecah, terdengar sesegukan dan penuh kepedihan. Nathan terdiam, merasa ada sesuatu yang aneh merayapi hatinya. Ia menyaksikan ibunya, yang biasanya tegar dan tak kenal lelah, kini berubah menjadi sosok yang rapuh, penuh kesedihan. Maya yang selama ini keras dan penuh ketegasan, kini seakan hilang, tergantikan oleh sosok ibu yang lembut, yang begitu lemah di hadapannya. Nathan merasakan perasaan sedih, bingung, bahkan sedikit takut melihat perubahan itu. Setelah beberapa saat, isakan Maya perlahan mereda. Ia menurunkan tangannya, menyeka air mata yang masih mengalir di pipinya. Wajahnya terlihat lelah, seakan baru saja melalui perjalanan emosional yang berat.

Maya menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya suara beratnya terdengar, penuh keputusasaan, “Nathan… bagaimana keadaannya sekarang?” Tanya Maya dengan nada yang sangat berbeda, seolah-olah baru saja menyadari betapa lama dia telah terputus dari kenyataan.

Nathan berusaha menenangkan ibunya dengan suara yang lebih lembut, “Permana baik-baik saja, Bunda.” Suaranya tenang, meskipun hatinya penuh kebingungan. Ia menarik napas, lalu dengan perlahan melanjutkan, “Tapi, Bunda… apa yang membuat Bunda begitu bersedih setelah melihat baju ini? Apa yang membuat pakaian ini begitu penting bagi Bunda?”

Maya menarik napas panjang, suaranya serak saat akhirnya ia berbicara dengan terbata-bata, “Bunda… Bunda sudah berbuat dosa, Nathan. Dosa besar kepada Permana.” Suaranya penuh penyesalan, dan matanya dipenuhi rasa bersalah yang dalam. “Bunda… Bunda telah mengambil semuanya darinya, bahkan jiwanya. Dan jika dia masih hidup, Bunda yakin dia takkan pernah mau memaafkan Bunda.” Maya berhenti sejenak, menatap kosong ke depan, mengingat kembali apa yang terjadi bertahun-tahun lalu. “Saat Bunda akan memenjarakan Permana, dia meminta satu hal… baju kesayangan Bunda. Bunda… Bunda memberikannya padanya, meski itu berat bagi Bunda.” Suaranya semakin lemah, namun setiap kata yang keluar terasa seperti beban yang selama ini Bunda tahan. Ia melanjutkan ceritanya, “Sebelum penjara gaib itu tertutup, Permana berkata kalau baju ini akan menjadi bukti bahwa dia akan baik-baik saja. Dia bilang, saat baju ini kembali pada Bunda, aku yakin Bunda sudah berubah. Bunda akan kembali menjadi Maya yang dia kenal.” Maya mengusap wajahnya, seakan mencoba menghapus kenangan pahit itu. “Bunda tidak tahu mengapa dia bisa begitu yakin… Tapi sekarang, setelah baju ini ada pada Bunda lagi, Bunda merasa seakan semua yang dia katakan benar. Bunda tak tahu harus bagaimana untuk menebus semuanya.”

Nathan berkata dengan tenang, berusaha menghilangkan sedikit kebingungan dari wajah Maya, “Bunda, Permana sudah memaafkan Bunda.” Suaranya pelan namun penuh kepastian. “Permana bahkan merasa tertolong oleh Bunda, meski Bunda tidak menyadarinya.” Nathan melanjutkan, “Jika Bunda tidak memenjarakan Permana, dia juga akan diburu oleh para jin penunggu Gunung Brajamusti. Permana telah lalai menjalankan tanggung jawabnya sebagai pewaris Gunung Brajamusti, dan jika itu terus berlanjut, dia akan menghadapi bahaya yang sangat besar. Jadi, meski Bunda merasa Bunda telah berbuat salah, pada kenyataannya, Bunda telah menyelamatkannya.”

Maya mengguncang kepala dengan cepat, tampak bingung dan penuh penyesalan. “Tidak, Nathan… Bunda tidak merasa menolong Permana. Bunda justru merasa telah mencelakainya. Bunda telah mengambil kejayaannya,” ujar Maya dengan suara yang penuh kesedihan. Matanya penuh dengan penyesalan yang dalam, seakan beban masa lalu itu terlalu berat untuk dipikul. Dia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, “Permana… dia melepaskan tanggung jawabnya sebagai pewaris Gunung Brajamusti karena berusaha menolong Bunda. Waktu itu, Bunda diancam oleh Ronny, dia mengancam akan membunuh Bunda. Permana, tanpa ragu, memilih untuk melepaskan segalanya demi menyelamatkan Bunda.” Maya menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang meluap.

Nathan merasa marah, meskipun ia berusaha menahan emosi, suaranya tetap terdengar tegas dan sedikit meluap. “Jadi yang jahat sebenarnya adalah Ronny,” ucap Nathan dengan sedikit amarah, seolah segala kebingungannya kini mulai tersingkap. “Dia yang membuat semuanya jadi salah, bukan Bunda.”

Maya segera menanggapi, suaranya penuh penyesalan. “Jangan hanya menyalahkan Ronny semata, Nathan,” ujarnya dengan tegas. “Semua orang punya andil dalam kemelut ini. Semuanya salah.” Maya menundukkan kepala, seakan tak sanggup lagi menatap kenyataan yang begitu pahit. “Bunda, Ronny, bahkan Permana… semua terjebak dalam kesalahan yang kita buat, dan tidak ada yang bisa dibenarkan dari semuanya.”

Nathan terdiam sejenak, mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan ibunya. Perlahan, sebuah kesadaran mulai tumbuh dalam dirinya. Selama ini, ia terfokus pada satu sisi, mengira bahwa ada satu pihak yang sepenuhnya salah. Namun, saat mendengar perkataan ibunya, ia menyadari bahwa kemelut yang terjadi selama ini sebenarnya adalah akibat dari semua orang; Maya, Ronny, dan Permana. Mereka semua, tanpa terkecuali, memiliki peran dalam kekisruhan ini. Mereka bertiga, dengan berbagai tindakan dan pilihan mereka, telah mengarah pada kehancuran yang tak terelakkan.

Nathan merasa ada pemahaman baru yang muncul dalam dirinya. Dengan suara yang lebih tenang, ia berkata, “Sekarang aku mengerti, Bunda. Semua pihak memang punya andil dalam kekisruhan ini. Kita hampir saling membunuh tanpa kita sadari.” Nathan melanjutkan dengan lebih serius, “Bunda sudah menyelesaikan sebagian masalah ini dengan memberikan kekuatan dan sebagian perusahaan kepada Ronny. Itu langkah besar. Tapi, bagaimana Bunda akan menyelesaikan masalahnya dengan Permana?” Nathan bertanya, matanya mencari jawaban di wajah ibunya.

Maya terlihat termenung sejenak, sebelum akhirnya suara beratnya memecah keheningan. “Bunda akan melepaskan semua perusahaan-perusahaan yang Bunda pegang selama ini kepada Permana. Sebenarnya itu semua adalah miliknya, yang Bunda ambil secara paksa. Tidak ada yang Bunda miliki dalam hal ini. Bunda tak bisa terus mempertahankan sesuatu yang bukan milik Bunda, apalagi setelah semua yang terjadi.”

Nathan memandang ibunya dengan penuh perhatian, sedikit kebingungan dan rasa prihatin. “Bunda… apakah Bunda tidak sayang dengan semuanya yang Bunda miliki sekarang?” tanyanya pelan. “Bunda sudah berjuang begitu keras untuk semua ini. Bunda pasti sudah banyak berkorban. Mungkin, Bunda harus mempertimbangkan lagi keputusan ini, agar Bunda tidak menyesal di kemudian hari.”

Maya mengangkat wajahnya, suaranya tetap tenang namun penuh keyakinan. “Bunda tidak sayang dengan apa yang Bunda miliki sekarang ini, Nathan,” jawabnya dengan mantap. “Karena itu bukan milik Bunda. Itu milik Permana. Bunda hanya mengambilnya secara paksa, dan sekarang saatnya mengembalikannya.” Dia melanjutkan dengan suara yang lebih tegas, “Bunda tidak akan menyesal, karena ini adalah langkah yang harus Bunda ambil. Apa yang Bunda punya sekarang hanyalah hasil dari kesalahan, dan Bunda tidak bisa terus mempertahankan sesuatu yang tidak benar.”

Tiba-tiba, pandangan Nathan terasa kabur, seakan dunia di sekelilingnya diliputi oleh kabut tebal yang datang entah dari mana. Semuanya tampak samar, gelap, dan penuh keheningan. Udara di sekitar menjadi dingin, dan Nathan merasa seolah terperangkap dalam waktu yang berhenti, kehilangan pegangan pada kenyataan. Hatinya berdegup kencang, dan ia berusaha meraba segala sesuatu yang ada di sekitar, namun semuanya terhalang oleh kabut yang semakin tebal. Namun, seiring waktu berlalu, kabut itu perlahan mulai memudar. Pandangannya kembali jelas, dan kini, di hadapannya, berdiri sosok yang begitu megah dan penuh wibawa. Seorang lelaki berpostur tinggi dengan pakaian kerajaan yang berkilau. Itu adalah Prabu Brajamusti. Wajahnya tegas, penuh kebijaksanaan, dan aura keagungannya hampir terasa menekan.

Prabu Brajamusti memandang Nathan dengan tatapan yang penuh kebanggaan. Suaranya bergema, kuat dan penuh wibawa, namun ada kelembutan yang menyertai setiap kata yang keluar dari bibirnya. “Tugas yang aku berikan kepadamu, Nathan, kini telah selesai,” ujar Prabu Brajamusti dengan suara yang mendalam. “Aku sangat bangga padamu, karena kamu telah mampu menyelesaikan perintahku dengan sangat baik. Tidak banyak yang mampu menjalani ujian seperti yang kau hadapi.” Tubuh Prabu Brajamusti berdiri tegak seperti pilar keabadian. “Sekarang, gunakan kekuatan dan kekuasaan yang ada padamu sebaik-baiknya. Jangan pernah biarkan kekuatan itu menodai hatimu. Jadilah pemimpin yang bijaksana. Buatlah orang-orang di sekitarmu bahagia, karena kebahagiaan mereka adalah warisan terpenting yang bisa kamu berikan.” Prabu Brajamusti berhenti sejenak, menatap Nathan dengan tatapan yang seolah menembus kedalaman jiwa. “Kau bukan hanya penerus garis keturunan, Nathan, tetapi juga pembawa harapan bagi masa depan. Ingatlah, kekuatan yang benar terletak pada kemampuanmu untuk memberi, bukan menguasai.”

Tiba-tiba, sosok Prabu Brajamusti mulai memudar, perlahan menghilang seperti bayangan yang tersapu angin. Kabut yang sempat mengelilingi Nathan kembali muncul, menutupi pandangannya, seakan dunia di sekelilingnya mengabur dan menghapus jejak keberadaan leluhurnya. Dalam sekejap, kabut itu menyelimuti segala yang ada, dan suara yang sempat bergema kini menjadi sunyi, seakan semuanya hilang dalam kesunyian yang mencekam. Nathan merasa dirinya terombang-ambing, terpisah antara dunia nyata dan dunia yang baru saja ia alami.

Dengan tiba-tiba, tubuhnya kembali terasa berat, seolah ia dipaksa kembali ke realitas yang keras. Begitu kabut itu menghilang sepenuhnya, pandangannya kembali tajam, dan suara bising dunia nyata menyambutnya. Ruang di sekitarnya kembali terlihat jelas. Maya, dengan segala kegelisahan yang ada di wajahnya, tampak tak berubah. Semua yang ia alami bersama Prabu Brajamusti terasa seperti mimpi yang sangat nyata, namun kini lenyap begitu saja. Nathan menghirup udara dalam-dalam, merasakan kembali beratnya dunia yang ada di sekitarnya.

Tiba-tiba, dua orang pegawai Maya berlari masuk ke ruangan dengan wajah pucat dan penuh kecemasan. Langkah kaki mereka terdengar terburu-buru, seolah sesuatu yang mendesak sedang terjadi. Mereka berhenti tepat di depan Maya, nafas mereka terengah-engah, dan jelas terlihat bahwa mereka sedang diliputi rasa panik. Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh tinggi, hampir tidak bisa berbicara karena terburu-buru.

“Nyonya Besar … Ruang ritual terbakar …” ujarnya dengan suara yang tercekat, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.

Pegawai lainnya, seorang wanita muda, tampak semakin gelisah sambil menggigit bibirnya, wajahnya penuh kecemasan. “Semua artefak berharga di dalamnya juga terbakar, Nyonya… Kami tidak tahu apa yang terjadi, tapi api menyebar sangat cepat, sepertinya ada sesuatu yang salah…” suaranya terputus-putus, seakan kesulitan untuk menyampaikan apa yang baru saja terjadi.

Maya terdiam sejenak, tubuhnya terasa kaku. Seperti ada yang menghimpit dadanya, dan seluruh kesadarannya berputar kembali pada ruang ritual itu, tempat di mana banyak rahasia, ilmu, dan kekuatan terkumpul. Mata Maya terbelalak, dan meskipun ia berusaha tetap tenang, ada getaran halus yang merambat di dalam dirinya. Ia tahu, ini bukan kebetulan.

Maya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. “Biarkan gedung-gedung itu terbakar,” katanya dengan suara yang tegas, “Tetapi pastikan jangan sampai api merembet ke bagian lain. Jangan biarkan itu menyebar ke gedung-gedung lain.”

Semua orang yang berada di sekitar Maya terdiam mendengar perintah yang begitu tegas dan dingin. Nathan, yang sebelumnya terhanyut dalam pikirannya, kini terkejut dengan keputusan Maya yang terkesan sangat tenang menghadapi kebakaran yang mengancam ruang ritual tersebut. Ia menatap ibunya, kebingungan.

“Ruang ritual itu penting bagi Bunda,” ujar Nathan dengan nada tak percaya, tidak dapat memahami bagaimana ibunya bisa begitu mudah memerintahkan untuk membiarkannya terbakar.

Maya terdiam sejenak, seolah meresapi kata-kata Nathan yang penuh kebingungan. Ia lalu menarik napas dalam-dalam, mengatur perasaannya sebelum akhirnya berbicara. “Ruang ritual itu… adalah pertanda bahwa masaku sudah selesai, Nathan,” jawab Maya dengan suara yang tenang, meskipun ada kekosongan yang tampak jelas di matanya. “Semua yang ada di sana, ilmu dan kekuatan yang terkumpul selama bertahun-tahun, sudah tidak lagi menjadi milikku. Itu bagian dari masa lalu yang sudah seharusnya berakhir.”

Maya mengalihkan pandangannya ke luar jendela, seolah menatap jauh ke depan, melihat sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri. Maya pun berkata dalam hatinya, “Kebakaran itu… hanyalah awal dari perubahan yang harus terjadi. Sudah waktunya untuk melepaskan semuanya. Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kekuatan yang tidak lagi aku kendalikan.”

Nathan tidak tinggal diam. Instingnya yang terlatih mendorongnya untuk bergerak cepat. Dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, ia berusaha menghalau api yang semakin besar. Tangan dan kakinya bergerak cepat, menciptakan perisai pelindung untuk menghalangi api agar tidak menjalar ke area lain yang lebih penting. Suasana menjadi semakin panas dan sesak, udara dipenuhi asap tebal yang mengaburkan pandangan. Meskipun ia berusaha keras, api terasa begitu ganas, seolah-olah ada kekuatan lain yang mengendalikannya, menahan segala upaya untuk memadamkan kobaran yang terus melahap ruang ritual itu.

Setengah jam kemudian, sirene pemadam kebakaran terdengar keras, mengalihkan perhatian Nathan sejenak. Belasan mobil pemadam kebakaran akhirnya tiba di lokasi, dan para petugas mulai bekerja keras berusaha menanggulangi api. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Meskipun air yang terus disemprotkan, api tetap membara dengan intensitas yang tak terkendali. Para petugas pemadam kebakaran tampak kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan lagi. Mereka mencoba segala cara, namun api justru semakin besar dan sulit dipadamkan.

Perlahan, gedung-gedung ritual yang begitu bersejarah dan penting itu mulai runtuh satu per satu, terbakar habis tanpa bisa dihentikan. Awan hitam tebal menggulung di atasnya, dan dalam sekejap mata, empat gedung itu lenyap, mengubahnya menjadi abu yang beterbangan dibawa angin. Nathan berdiri tertegun, tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menyaksikan kehancuran yang tak terhindarkan.


Waktu terus berjalan, tak mengenal henti. Setiap detik yang berlalu membawa perubahan, meskipun tak tampak jelas. Semua yang terjadi, baik atau buruk, tergerus oleh waktu yang terus bergerak maju. Kenangan menjadi kabur, peristiwa berlalu tanpa bisa diulang, sementara detik-detik yang lewat tak bisa dihadang. Begitu cepat, hingga kadang tak sadar sudah berapa banyak waktu yang telah dibuang. Orang-orang datang dan pergi, perubahan yang tak terhindarkan terjadi seiring berjalannya waktu. Waktu memaksa untuk bergerak, mengejar yang belum tercapai, menuntut untuk terus maju meskipun ada rasa enggan. Setiap langkah yang diambil, setiap pilihan yang dibuat, selalu dipengaruhi oleh waktu yang tidak bisa diputar kembali. Ia terus berjalan, menghapus segala yang sudah lewat, tanpa memberi kesempatan untuk memperbaiki atau mengulang.

Malam itu, di puncak Gunung Brajamusti, langit tampak begitu gelap, hanya diterangi oleh nyala api dari obor-obor yang dipasang mengelilingi altar batu kuno yang terletak di tengah area terbuka. Puncak gunung yang selama ini sunyi dan penuh misteri kini menjadi saksi dari sebuah peristiwa besar yang telah lama dinantikan. Seiring dengan kabut tebal yang menyelimuti, suasana terasa kian khidmat dan magis.

Di tengah ritual yang berlangsung, Maya berdiri tegak di sebelah altar, matanya tak lepas dari Nathan yang kini berdiri di pusat lingkaran tersebut, mengenakan pakaian adat khas penguasa. Di sekeliling altar, ada banyak saksi yang hadir: Kuncen Gunung Brajamusti, Cici, Sisi, Darren, Rafael, Ratna, Ratih, dan masyarakat sekitar yang datang untuk menyaksikan peristiwa bersejarah ini. Semua diam, terhanyut dalam suasana mistis yang kental.

Kuncen Gunung Brajamusti, seorang pria tua beruban yang tampak bijak, dengan jubah putih panjang dan wajah penuh kerutan, berdiri di depan altar. Ia mengangkat tangan, memulai doa dengan suara berat yang terdengar lebih seperti sebuah mantra yang menggetarkan udara malam itu. Tangan Kuncen yang terangkat ke langit menyentuh awan tebal yang menggantung, memberi kesan bahwa langit dan bumi seakan bersatu dalam kekuatan yang tak terlukiskan.

Nathan berdiri tegap, tangannya menggenggam tongkat sakti yang diberikan oleh Kuncen beberapa detik lalu. Saat ia mengangkat tongkat itu ke langit, seolah-olah gunung dan seluruh alam semesta menyambutnya. Tanah di sekitar altar bergetar lembut, menciptakan gemuruh halus yang terasa sampai ke dada para saksi yang hadir. Sejenak, angin yang sepi di puncak gunung berubah menjadi tiupan keras yang menerpa tubuh mereka, seakan menantang setiap langkah yang mereka ambil.

Kemudian, seiring dengan suara gemuruh tanah, langit yang gelap mendung tiba-tiba tersingkap. Kilatan cahaya putih yang sangat terang menyambar dari langit, menerangi puncak Gunung Brajamusti, menciptakan siluet yang mengagumkan dari sosok Nathan yang berdiri di tengah altar. Sinar itu menyatu dengan energi yang berasal dari dalam bumi, melingkupi Nathan dengan aura yang tak terlihat, namun sangat terasa.

Tiba-tiba, awan yang menggantung di langit berputar-putar dengan cepat, membentuk pusaran yang semakin besar. Kilatan petir menyambar di cakrawala, namun tidak ada suara guntur yang mengiringinya. Hanya ada hening, dan di tengah keheningan itulah suara gemuruh dari dalam tanah semakin kuat. Tanah di sekitar altar tampak berkilau, seperti ada energi tak terlihat yang mengalir ke seluruh penjuru gunung.

Di tengah gemuruh yang semakin memuncak, Kuncen Gunung Brajamusti, yang sejak tadi berdiri dengan tenang di sisi altar, akhirnya mengangkat tangannya. Suaranya yang dalam dan berwibawa terdengar jelas, meskipun suara alam semesta yang bergemuruh masih memenuhi udara.

“Gunung Brajamusti telah menerima Nathan sebagai tuannya,” kata Kuncen dengan penuh keyakinan, suaranya seperti menggema di seluruh penjuru gunung. “Alam ini, bumi ini, dan kekuatan yang ada di dalamnya kini berada di bawah kendalinya. Semua yang ada di gunung ini mengakui keturunan yang telah datang untuk menguasainya. Tugas dan takdir telah berpindah.”

Kuncen menatap Nathan dengan pandangan yang penuh hormat, lalu mengalihkan pandangannya ke langit yang kini mulai tenang. “Nathan, segala yang ada di Gunung Brajamusti, segala kekuatan, telah menjadi milikmu. Gunung ini akan selalu berada di sisimu, mendukungmu. Dan kekuatanmu akan berkembang seiring dengan kedalaman ikatan yang terjalin antara dirimu dan alam ini.”

Nathan berdiri tegak, tangan menggenggam tongkat sakti dengan kuat, dan pandangannya penuh tekad. Suara alam yang bergemuruh seakan memberi ruang bagi kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Gunung Brajamusti,” ucapnya dengan suara yang mantap, “Aku, Nathan, sebagai pewaris sah dari kekuatan ini, berjanji akan menjaga Gunung Brajamusti dengan sepenuh hati. Aku akan menjalankan amanah leluhurku untuk melindungi dan merawat gunung ini. Kekuatan yang ada di dalamnya akan aku gunakan untuk kebaikan umat manusia, untuk menyelamatkan yang terancam, untuk memberi kehidupan pada yang membutuhkan.” Nathan menarik napas dalam-dalam, seolah meresapi setiap kata yang baru saja diucapkannya. “Gunung Brajamusti, aku akan menjaga keutuhanmu, menjaga kekuatanmu, dan memastikan bahwa tak ada yang menyalahgunakanmu. Aku berjanji, selama aku memimpin, kekuatanmu akan membawa kebaikan bagi dunia ini.”

Begitu Nathan selesai mengucapkan janjinya, seketika itu juga, langit yang semula tenang kembali bergejolak. Kilatan petir yang sangat terang menyambar dari atas, mengarah tepat ke tubuh Nathan. Sambaran petir itu begitu kuat, seolah ingin menghancurkan tubuhnya, namun Nathan tetap berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun. Petir-petir itu menghujam tubuhnya satu per satu, menyilaukan seisi langit dengan cahaya putih yang membutakan. Terdengar dentuman keras yang mengguncang udara, namun tubuh Nathan tidak goyah sedikit pun. Tak ada rasa panas, tak ada rasa sakit. Ia hanya merasa dingin, sebuah kedamaian yang meresap ke dalam tubuhnya.

Semua yang hadir melihat dengan mata terbelalak, tak bisa percaya bahwa sambaran petir yang seharusnya membakar dan menghancurkan itu justru tidak memberikan efek apapun pada Nathan. Tanpa sedikit pun tanda-tanda luka atau kepedihan, Nathan tetap berdiri dengan tenang, seakan-akan menyatu dengan alam dan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya.

Begitu petir-petir itu menghilang, langit yang semula bergejolak kembali tenang. Kilatan cahaya yang menyilaukan lenyap begitu cepat, meninggalkan langit yang cerah dengan taburan bintang yang bersinar terang. Suasana yang sebelumnya dipenuhi dengan kekuatan alam yang menakutkan kini kembali normal. Angin malam berhembus lembut, membawa udara segar yang menenangkan. Semua yang hadir merasakan perubahan yang dalam, seperti ada kedamaian yang memenuhi seluruh Gunung Brajamusti.

“Ritual ini telah selesai,” ucap Kuncen dengan suara yang bergetar, namun penuh keyakinan. “Gunung Brajamusti telah menerima Nathan sebagai penguasanya yang baru. Kekuatan dan takdir yang telah lama tertunda kini telah disatukan. Semuanya telah berjalan sesuai kehendak alam.”

Maya, yang sejak awal berdiri di tepi altar dengan wajah penuh perasaan, perlahan melangkah mendekat. Langkah kakinya terasa berat, namun matanya penuh dengan kebanggaan dan keharuan yang tak terucapkan. Begitu sampai di depan Nathan, ia tidak bisa lagi menahan dirinya. Dengan gerakan yang lembut namun penuh makna, Maya membuka pelukannya dan meraih Nathan.

“Selamat, Nathan,” katanya dengan suara yang sedikit tercekat, tetapi penuh kehangatan. “Kau kini menjadi penguasa Gunung Brajamusti. Semua yang telah kita lalui, semua pengorbanan ini, kini membawa kita pada titik ini. Aku bangga padamu.”

Pelukan Maya erat, seakan ingin menyampaikan seluruh rasa yang terpendam selama ini, menghapus segala kesedihan dan ketakutan yang pernah ada. Dengan kata-kata itu, Maya tahu bahwa takdir telah membawa mereka ke sini, dan Nathan kini telah memegang kekuatan besar yang tak terbayangkan sebelumnya.

Cici dan Sisi, yang sejak awal berdiri di belakang, tak dapat menahan perasaan bahagia mereka. Mereka berlari mendekat, wajah mereka bercahaya dengan kebahagiaan yang tulus. Begitu sampai di depan Nathan dan Maya, keduanya tanpa ragu langsung bergabung dalam pelukan hangat itu. Cici dan Sisi memeluk Nathan dan Maya dengan penuh sukacita, seakan merayakan pencapaian besar yang telah terjadi. Tawa ringan dan suara tangisan haru terdengar bercampur, menandakan betapa besar perasaan mereka atas keberhasilan Nathan.

Satu per satu, orang-orang yang hadir mulai menghampiri. Kuncen Gunung Brajamusti, Darren, Rafael, Ratna, Ratih, dan para warga lereng Gunung Brajamusti, yang sejak awal menyaksikan ritual dengan perasaan campur aduk, kini menghampiri mereka dengan senyuman lebar. Setiap langkah mereka dipenuhi rasa bangga dan harapan baru. Mereka mengucapkan selamat kepada Nathan dengan tulus, menyadari bahwa perubahan besar telah terjadi, dan takdir Gunung Brajamusti kini berada di tangan yang tepat.

“Semua yang ada di sini,” tiba-tiba sang Kuncen bersuara, suaranya bergema di udara yang masih dipenuhi energi ritual, “sekarang saatnya kita turun ke lereng gunung dan merayakan pencapaian besar ini bersama-sama.”

Dengan arahan itu, suasana yang semula khidmat berubah menjadi penuh semangat, dan orang-orang mulai bergerak, siap untuk turun ke lereng gunung. Mereka mengiringi Nathan dan Maya, serta Cici dan Sisi, menuju tempat yang lebih rendah, di mana mereka akan merayakan ritual pengukuhan ini dalam kebersamaan.

“Tunggu!!!” Tiba-tiba terdengar suara keras yang memecah suasana perayaan, menghentikan langkah orang-orang yang sudah mulai turun dari puncak. Semua yang hadir menoleh, mencari asal suara itu.

Dari kegelapan di antara pepohonan, muncul sosok Ronny. Wajahnya tampak sedikit terengah-engah, seolah baru saja berlari untuk mengejar. Ia melangkah cepat mendekati Nathan, kemudian berhenti beberapa langkah di depannya, menarik napas dalam-dalam. Maya yang melihat Ronny datang, tampak sedikit terkejut, namun segera menggantikan ekspresinya dengan senyum tipis, seakan mengerti betul apa yang tengah terjadi.

Ronny menatap Nathan dengan penuh perhatian, ada kebanggaan yang jelas tergambar di wajahnya. “Aku terlambat,” ujarnya, suaranya sedikit tersendat. “Tapi aku ingin menyaksikan… bahwa kamu akhirnya menjadi penguasa Gunung Brajamusti. Selamat, Nathan. Ini adalah perjalananmu, perjalanan yang sudah ditentukan.”

“Terima kasih, Ayah,” ujar Nathan, suaranya tenang namun penuh makna. “Terima kasih sudah datang. Aku sangat menghargai itu.”

Ronny menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan rasa bangga yang tulus terhadap Nathan. “Aku bangga padamu, Nathan,” katanya, suaranya penuh emosi. “Aku sadar sekarang bahwa takdir Gunung Brajamusti memang ada di tanganmu. Ini adalah jalan yang benar. Aku pernah menginginkan gunung ini untuk diriku, meskipun itu bukan hakku. Aku minta maaf, anakku. Aku telah salah.” Dia menundukkan kepala sejenak, seolah merenungkan kata-katanya. “Aku dulu terobsesi dengan kekuatan itu, tapi sekarang aku tahu, itu semua memang milikmu. Kamu yang seharusnya menjadi penguasanya, dan aku siap menerima kenyataan itu.”

Nathan mendekat dengan langkah tenang, kedua tangannya diletakkan di pundak Ronny. Wajahnya menunjukkan ekspresi tulus dan penuh pengertian. “Aku senang mendengar Ayah akhirnya menyadarinya,” kata Nathan, suaranya lembut namun penuh makna. “Dan aku juga senang kita bisa dekat lagi seperti ini. Aku harap kita tidak akan terpisah lagi karena ambisi atau keinginan yang salah.” Nathan terdiam sejenak, seolah menimbang kata-katanya. “Aku masih ingat pelajaran Ayah waktu kecil. Keserakahan hanya akan membawa kehancuran. Aku tak mau itu terjadi lagi, apalagi di antara kita. Kini, aku tahu lebih dari sebelumnya betapa pentingnya saling mendukung, bukan untuk saling menjatuhkan.”

Ronny menghela napas dalam-dalam dan dengan suara lembut ia berkata, “Nathan, aku berjanji tidak akan mengumbar ambisiku lagi. Sudah cukup aku menyakiti orang-orang di sekitarku hanya demi ambisi pribadi.” Ronny pun menoleh ke arah Maya, yang tengah tersenyum damai. “Aku akan belajar dari Maya,” lanjutnya dengan suara yang sedikit bergetar. “Dia sudah melepaskan semua kekuatan dan kekuasaannya dengan lapang dada. Aku ingin bisa seperti itu, tidak lagi terbelenggu oleh keinginan untuk menjadi yang terkuat.”

Nathan menatap Ronny dengan penuh harap, sementara Maya memberikan senyuman yang menenangkan, seolah-olah memberikan restu kepada Ronny untuk memulai lembaran baru dalam hidupnya.

Nathan meraih tangan Maya dan Ronny dengan lembut, menyatukan kedua tangan orang tuanya itu dalam genggamannya. Sentuhan hangat mereka terasa berbeda, satu penuh ketenangan dan kepasrahan, yang lain dengan sisa-sisa ketegangan yang perlahan-lahan luluh. Di tengah kebisuan yang mengelilingi mereka, Nathan merasakan energi dari kedua orangtuanya saling mengalir, seolah-olah ada harapan baru yang perlahan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan yang mengandung kelegaan, Maya dan Ronny mulai menyadari bahwa ini adalah awal dari lembaran baru, satu langkah menuju kedamaian.

Nathan memandang Maya dan Ronny secara bergantian. “Aku sungguh berharap kalian bisa menemukan jalan kembali satu sama lain. Bukan hanya untukku, tapi untuk semua kenangan indah yang dulu pernah kalian bagi bersama. Kalian masih punya kesempatan untuk memulai lagi, bersama.”

Maya tersenyum lembut sambil berkata, “Sayang, apa yang kamu inginkan itu begitu indah, dan Bunda benar-benar menghargai harapanmu. Namun, ada hal-hal yang terkadang memang harus kita biarkan seperti apa adanya. Bunda dan ayahmu telah menemukan kedamaian masing-masing dengan cara yang berbeda, dan itu juga demi kebaikan kita semua. Kebahagiaan tidak selalu datang dalam bentuk yang sama, dan itu tidak mengurangi rasa sayang kami padamu.”

“Ibumu benar,” kata Ronny pelan, “kadang kita harus melepaskan sesuatu, meski itu bukanlah hal yang mudah. Kami berdua ingin yang terbaik untukmu, dan itu tidak harus berarti kami kembali seperti dulu. Kebahagiaan bisa datang dalam banyak bentuk, dan meski kami tidak lagi bersama seperti sebelumnya, ayah percaya kami masih bisa memberikan yang terbaik untukmu, dengan cara kami masing-masing.”

Nathan terdiam sejenak, meresapi kata-kata Maya dan Ronny. Kemudian, dengan suara yang lebih tenang, ia berkata, “Aku mengerti. Kalian benar. Kadang kita harus menerima kenyataan bahwa hidup tak selalu seperti yang kita inginkan.” Ia menatap kedua orang tuanya dengan rasa hormat yang mendalam. “Aku mungkin berharap lebih, tapi aku juga tahu bahwa kebahagiaan dan kedamaian itu datang dengan cara yang berbeda untuk setiap orang. Aku akan menerima keputusan kalian.”

Nathan, Maya, dan Ronny berdiri dalam suasana syahdu dan khidmat. Mereka hanya ditemani keheningan, saling merasakan kehadiran satu sama lain di tengah keheningan yang mendalam. Udara terasa tenang, seakan waktu berhenti sejenak untuk mereka. Di tengah keheningan itu, langkah kaki terdengar. Cici, Sisi, Darren, dan Rafael tiba-tiba datang dan bergabung bersama mereka. Tanpa sepatah kata, mereka membentuk lingkaran yang terasa penuh makna, menambah kekuatan suasana yang sudah terjalin di antara mereka. Perlahan, kehangatan mulai merasuk ke dalam hati setiap orang yang berada di situ. Kebersamaan mereka membawa perasaan nyaman dan tenang, seolah rasa keterpisahan yang dulu pernah ada kini telah lenyap. Jarak di antara mereka yang dulu renggang kini sirna, digantikan oleh perasaan kekeluargaan yang kuat. Mereka berdiri bersama, merasakan keutuhan dan kesatuan, menyadari bahwa saat itu telah mengubah mereka menjadi satu keluarga yang utuh.


EPILOG

Nathan kini memegang gelar sebagai raja di wilayah Gunung Brajamusti, bersamanya Maya, yang kini menjadi permaisurinya, setia mendampingi. Keduanya memutuskan untuk membangun kehidupan mereka di lereng gunung yang megah itu, meninggalkan hiruk-pikuk kota Jakarta yang telah lama menjadi bagian dari masa lalu mereka. Nathan telah memilih meninggalkan kehidupannya di kota besar demi memulai babak baru di tanah yang ia yakini akan menjadi tempatnya berakar. Di lereng Gunung Brajamusti, ia mendirikan sebuah istana, menandai wilayah kekuasaannya sekaligus rumah bagi dirinya dan Maya. Istana itu berdiri megah di antara pepohonan dan udara pegunungan yang segar, jauh dari keramaian yang pernah ia kenal. Maya, yang dahulu hidup dalam suasana berbeda, kini telah meninggalkan segala yang pernah menjadi bagian dari dunianya. Sekarang ia hidup dalam kedamaian di sisi Nathan, menerima sepenuhnya perannya sebagai permaisuri dan pasangan yang setia. Bersama Nathan, Maya merasakan ketenangan yang tak pernah ia temukan sebelumnya, menjalani hari-hari dalam kehidupan yang baru di tanah yang menjadi rumah bagi mereka berdua.

Ronny kini meneruskan usaha dan bisnis yang sebelumnya dibangun oleh Maya di Jakarta. Dengan dedikasi dan kerja keras, ia berhasil membawa bisnis itu berkembang pesat, menjadikannya lebih kuat dari sebelumnya. Dalam waktu yang relatif singkat, Ronny menunjukkan kepiawaiannya dalam mengelola setiap aspek perusahaan dengan penuh ketelitian dan strategi yang matang. Keberhasilannya ini membuatnya dihormati oleh banyak kalangan, baik rekan bisnis maupun pesaing. Namanya kian dikenal sebagai pengusaha yang sangat disegani, melanjutkan warisan Maya dan membawa perusahaan itu menuju masa depan yang lebih cerah.

Darren dan Rafael kini memegang kendali atas perusahaan-perusahaan yang telah dipercayakan Maya kepada mereka. Dengan kesungguhan dan keahlian masing-masing, mereka bekerja keras mengelola perusahaan-perusahaan tersebut, memfokuskan diri pada pertumbuhan dan inovasi di setiap langkah yang mereka ambil. Dalam waktu singkat, usaha mereka membuahkan hasil yang nyata. Masing-masing perusahaan berkembang pesat dan meraih kesuksesan baru, mencerminkan kemampuan Darren dan Rafael dalam menjalankan tanggung jawab besar itu. Keberhasilan mereka menarik perhatian di dunia bisnis, memperlihatkan bahwa mereka mampu membawa perusahaan-perusahaan tersebut mencapai puncak kejayaan.

Sementara itu, Cici dan Sisi memutuskan untuk melanjutkan pendidikan mereka di Australia, sebuah pilihan yang mereka ambil dengan penuh kesungguhan. Mereka memahami betul pentingnya pendidikan ini untuk masa depan mereka, dan dengan tekad yang kuat, keduanya berfokus pada studi mereka di sana. Sebelum keberangkatan, mereka memberikan janji kepada Nathan dan Maya bahwa mereka akan menyelesaikan kuliah mereka secepat mungkin. Mereka ingin segera kembali ke tanah air untuk berkumpul bersama lagi.

Ida, Ratih dan Sari, yang kini telah menjadi istri Nathan, sedang menunggu dengan penuh harapan kehadiran anak pertama mereka. Kehidupan mereka bersama Nathan semakin lengkap dengan kabar bahagia ini. Kehadiran calon buah hati membawa kebahagiaan baru yang mendalam, mempererat ikatan mereka sebagai keluarga. Nathan, yang sebelumnya telah melalui banyak perjalanan hidup, kini merasakan kebahagiaan yang berbeda. Kehadiran anak pertama mereka memberi warna baru dalam kehidupan rumah tangga mereka, menjadikan segala sesuatu terasa lebih bermakna.

Heni memutuskan untuk melangkah keluar dari kehidupan Nathan dan Maya, memilih untuk menempuh jalannya sendiri. Ia merasa bahwa sudah waktunya untuk memulai perjalanan baru, jauh dari kehidupan yang telah ia jalani bersama mereka. Bersama beberapa teman dekat, Heni membuka usaha kuliner di Jakarta, sebuah langkah yang ia ambil dengan penuh keyakinan dan semangat. Meskipun tantangan di depan tidak mudah, Heni bertekad untuk berhasil. Dengan usaha dan kerja keras, ia berharap usaha yang baru ini akan berkembang dan memberikan hasil yang memuaskan.

Nathan memimpin wilayah Gunung Brajamusti dengan kebijaksanaan yang luar biasa. Ia selalu mempertimbangkan setiap keputusan dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil akan membawa dampak positif bagi warganya. Kesejahteraan warga sekitar menjadi prioritas utama bagi Nathan, dan ia bekerja keras untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan mereka hidup dengan lebih baik. Di bawah kepemimpinannya, fasilitas dan infrastruktur berkembang pesat, membuka peluang bagi warga untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tak heran jika wilayah Gunung Brajamusti menjadi semakin terkenal, dikenal sebagai tempat yang makmur dan penuh dengan peluang. Nathan berhasil menciptakan lingkungan yang tidak hanya aman dan nyaman, tetapi juga membawa kemajuan bagi seluruh masyarakat.

TAMAT​

1 thought on “CERBUNG – TAMAT NATHAN”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *