Skip to content

Dokter Anak dan Sopir Ojol – Part 5

Kata Gilang, ngomong itu ada seninya. Salah satunya akan dibagikan di bawah nanti.

Regina bolos dua hari setelah dibawa Gilang ke klinik. Kemudian waktu Gilang lagi kuliah, salah satu temannya datang kepadanya membawa amplop berisi uang. Katanya Regina menitipkan uang itu buat ganti uang Gilang yang dipakai bayar berobat Regina. Gilang menolak tapi berhubung temannya itu cuma menyampaikan amanat, dia terima juga. Ketika diintip, ada selembar uang seratus ribu di dalam amplop. Padahal bayar uang berobat Regina cuma enam puluh ribuan kalau tidak salah. Kata temannya, Regina sudah cukup sehat tapi baru akan masuk kuliah besok.

Siangnya Gilang main futsal sama teman-teman kampus di lapangan. Ada beberapa anak kampus yang menonton dan salah satunya si Ica. Selesai futsal, Gilang menghampiri Ica.

“Habis ini langsung pulang, Ca?” tanya Gilang.

“Iya, Ka.”

“Saya ikut, ya. Mau jenguk Regina. Tapi malu kalau tiba-tiba datang sendirian ke kosan cewek.”

Ica mengiyakan. Tapi sebelum ke kosan Regina, Gilang membawa Ica ke KFC untuk beli ayam buat Regina. Yang habis sakit pasti makannya banyak. Tidak lupa Gilang juga membelikan satu porsi buat Ica karena dia ikut juga. Baru mereka menuju kosan.

Sesampainya di sana, Ica mengetuk kamar Regina. Barulah setelah dibukakan pintu, Ica pamit untuk masuk ke kamarnya sendiri.

Regina sudah tampak sehat. Badannya tegak dan rambutnya diikat rapi. Dia pakai celana pendek dan kaus tangan pendek. Regina sedikit kaget melihat Gilang bawa KFC ke kamarnya.

“Habis kamu kasih uangnya lebih. Ini kembaliannya,” kata Gilang.

“Ih, justru sengaja. Hitung-hitung uang ongkos antar ke klinik. Malah dibeliin ayam.”

“Enggak apa-apalah. Toh, uang itu kalau enggak dipakai buat bayarin obat kamu bakal saya pakai makan juga,” kata Gilang sambil menyodorkan kotak KFC pada Regina.

“Ya, sudah. Makan bareng saja sekalian.”

Gilang masuk ke kamar Regina dan melirik TKP dia crot kemarin. Membayangkannya dia pengin ketawa tapi dia tahan. Sampai hari ini Regina tidak pernah tahu kalau lantai kosannya pernah ternoda oleh Gilang.

Mereka makan sambil ngobrol. Setelah ayamnya habis, Regina duduk di kasur memeluk guling dan bilang, “Makasih, ya. Kalau enggak ada kamu kayaknya saya mati, deh.”

Gilang tertawa.

“Kamu pulang enggak pamit. Kaget saya. Tapi Ica ketemu kamu, ya, pas keluar.”

“Iya. Kamu pulas banget soalnya.”

Regina diam tapi matanya menatap Gilang lama.

“Kenapa?”

“Saya itu orangnya buruk sangkaan. Sebetulnya kalau ada pilihan lain saya bakal telepon orang lain bukan kamu. Tapi ternyata pas bangun tidur kemarin enggak ada yang berubah di kamar. Kamu enggak ngapa-ngapain, ya?”

Tetot. Ngapa-ngapain, sih, tapi enggak akan mengaku kalau ditanya.

“Pulang habis isya, ya? Kamu ngapain selama itu?”

“Tidur. Capek juga angkut kamu dari lantai bawah,” kamar Regina ada di lantai dua.

“Kamu cowok pertama berarti yang sampai malam ada di kosan saya sendiri.”

“Memang ada apa kamu sama cowok?”

Dan Regina bercerita soal perceraian orang tuanya. Bapaknya ternyata selingkuh sama teman kerjanya sendiri. Setelah ketahuan, ibunya mengancam cerai dan bapaknya tobat. Tapi cuma setahun. Kemudian selingkuh lagi sama perempuan lain. Cerailah mereka. Terus ibunya sempat dekat sama laki-laki lain yang dikenalkan tetangganya. Regina dikenalkan sama orangnya dan cukup sreg. Muncullah wacana perkawinan. Tapi suatu hari waktu Regina sedang ganti baju sehabis mandi di rumah, dia melihat si calon bapak tirinya itu mengintip dari jendela. Ngamuklah ibunya. Dibatalkan menikah dan Regina sedikit sulit untuk percaya sama laki-laki sejak itu.

Gilang cuma angguk-angguk saja mendengarnya. Terus si Regina tiba-tiba tersenyum. “Kamu enggak banyak omong, ya? Saya suka.”

Panas betul muka Gilang dibilang begitu. Maka di situlah Gilang belajar kalau salah satu seni dalam bicara itu adalah tidak bicara. Terkadang orang kalau sedang cari perhatian lawan jenis yang dia suka, biasanya cari topik yang kira-kira menarik bagi si lawan jenis supaya mereka bisa ngobrol panjang. Tujuannya mencari kesamaan dan berakhir ke jadian. Tapi terkadang dengan diam, si lawan bicara bakal terbuka dengan sendirinya karena merasa dia didengarkan dan diperhatikan.

Gilang pamit pulang beberapa jam kemudian dan Regina melepasnya dengan senyuman yang sangaaaat manis. Gilang merasa hubungannya dengan Regina ada kemajuan. Jalan menuju wikwik mulai terbuka di otaknya.

Waktu keluar kosan, dia papasan sama Ica yang baru dari warung. Mereka basa-basi terus Ica minta nomor HP Gilang. Mereka tukaran nomor HP dan Gilang pulang.

Besoknya Regina sudah masuk kuliah dan duduk di samping Gilang selama pelajaran. Begitu terus hingga beberapa hari ke depan. Kadang-kadang mereka juga makan siang sama-sama dan Regina beberapa kali minta diantar pulang ke kosan. Tapi hubungan mereka tidak berjalan lebih jauh karena Gilang tidak tahu bagaimana caranya membujuk Regina untuk ehem-ehem.

Secercah harapan muncul ketika mereka kerja kelompok lagi untuk yang terakhir kali. Mereka kumpul di kosan Regina sampai malam dan ketika selesai, Gilang sengaja pulang paling terakhir. Regina juga tampak tidak keberatan dan mereka ngobrol sampai jam sepuluh malam. Gilang putar otak buat cari alasan supaya Regina mau ke arah esek-esek sama dia. Tapi tegangnya minta ampun dan akhirnya Gilang cuma dengarkan Regina curhat saja.

Jam sepuluh lewat, Ica datang ke kamar Regina dan nimbrung. Mereka lupa kalau jam setengah sebelas pintu kosan bakal dikunci. Jam setengah sebelas, bapak kos teriak-teriak menanyakan ada motor siapa di luar dan apakah masih ada cowok di dalam. Regina, Ica, dan Gilang panik. Mereka sibuk cari alasan. Akhirnya Regina mengaku kalau motor itu punya dia dengan berteriak dari lantai dua. Tahunya si bapak kos naik tangga ke lantai dua. Regina makin panik. Ica dengan sigap menyuruh Gilang lari ke kamarnya. Gilang bergegas masuk kamar Ica dan mendengar bapak kos naik ke lantai dua. Bapak kos ngobrol sama Ica dan Regina selama beberapa saat. Jantung Gilang dag dig dug macam maling dikejar polisi. Tak lama, Ica masuk ke kamar.

“Aman, Ka. Tapi Kakak kayaknya sudah enggak bisa keluar. Dikunci pintunya,” kata Ica.

Matilah. Dia menginap di sana gitu?

“Terus gimana?”

“Kakak tidur di sini saja di kamar Ica. Kan, besok Sabtu.”

“Aduh. Di kamar Regina saja.”

“Sempit, Ka. Di sini saja. Ka Regina juga bilang gitu.”

Antara putus asa dan takut dipersekusi. Gilang akhirnya menginap di kamar Ica. Rencananya besok pagi jam sembilan ketika bapak kos pergi dan kunci dibuka, Gilang bakal pulang. Kamar Ica memang lebih luas karena ada di pojok. Ada petak kosong yang cukup buat Gilang rebahan di antara TV dan kasur dengan ranjang pendek. Di sana Gilang tidur.

“Maafin, ya, kalau saya ngorok.”

“Yah, jangan, Ka. Nanti bapak kos dengar.”

“Waduh. Ya, sudah, saya bergadang.”

“Saya temani.”

Mereka ngobrol sampai malam sekali. Lalu otak mesum Gilang jalan. “Ca, kamu sudah pernah ciuman?”

“Hah?” Ica agak kaget mendengarnya. “Kenapa memang?”

“Saya belum, loh,” bohong, Gilang bohong.

“Serius, Ka?”

“Asli. Kayak gimana, sih?”

“Ya, gitu, Ka.”

“Yang begituan enggak ada kursusnya, ya? Saya sedikit enggak pede, nih, nanti kalau pacaran terus pacar saya minta cium. Takut cupu dan dia ill feel.”

“Ya, mana ada ciuman kursus, Ka.”

“Nah, iya, makanya. Gimana, ya?”

Keduanya diam.

“Kamu kalau… eh, enggak jadi, deh.”

“Apa, Ka?”

“Enggak, ah, malu.”

“Ih, bilang saja.”

“Enggak. Tadinya saya mau minta latihan sama kamu. Mumpung cuma berdua dan saya, kan, enggak boleh tidur.”

Ica diam lama. Gilang deg degan. Kenapa dia bisa lancar ngomong begitu? Padahal kalau di depan Regina dia paling susah ngomong begituan.

“Ya, boleh, sih, Ka.”

Jackpot! Baru dibilang begitu tiba-tiba si jenderal langsung mengambil posisi siap.

“Boleh?”

“Boleh,” Ica duduk.

“Eh, tapi saya belum pernah, loh. Kalau cupu jangan diketawain.”

Ica tersenyum dan bersiap. Dia duduk manis menunggu Gilang maju. Gilang maju perlahan dan menyentuh bibir Ica dengan bibirnya. Lembut, coy. Beda dengan punya Rita. Nempel sebentar terus Gilang mundur.

“Gitu?”

“Itu, mah, nempelin bibir doang, Ka. Begini,” Ica maju, tangannya memegang kepala Gilang dan mereka berciuman. Bibir mereka bergerak kali ini, bukan cuma menempel. Ica memejamkan mata dan Gilang maju lebih dekat sambil merangkul tubuh Ica.

Ica membuka mulutnya dan memasukkan lidahnya ke mulut Gilang. Gilang melakukan hal yang sama. Ica menyedot lidah Gilang lembut. Gilang menarik kepalanya dan menatap Ica. “Gitu?”

“Sst,” Ica menarik Gilang lagi dan mereka berciuman.

Ica menarik Gilang. Tubuh Ica berbaring di kasur dan Gilang di atasnya. Kalau sudah begini tidak ada yang bisa menghentikan Gilang. Tangannya langsung menyambar dada Ica. Ica mendesah kecil dan membiarkan Gilang meremas-remas dadanya. Tidak terlalu besar. Tapi kenyal.

Ica mengusap jenderal Gilang. Gilang menangkap itu sebagai sinyal dan dia membuka sleting celana. Dikeluarkanlah si jenderal dan Ica langsung menggenggamnya. Dengan gerakan cepat, Ica mengocok jenderal.

Gilang memasukkan tangan ke dalam kaus Ica. Lalu dia angkat kausnya sampai branya terlihat. Masih belum berpengalaman buka bra, Gilang mengangkat bra Ica ke atas dan melihat putingnya. Gilang menjilat dan menyedotnya dengan nafsu.

Ica mendesah lebih keras lalu dia melepas kaus dan bra. Gilang mengikuti. Ica melepas celana dan dalaman. Gilang juga. Kemudian mereka berpelukan erat sambil berciuman. Tangan Gilang meraba rambut, tengkuk, punggung, hingga pantat. Tangan Ica menggenggam penis Gilang dan mengocoknya.

Gilang mengambil posisi rebahan dan Ica berada di atasnya. Pinggul Ica menggesek penis Gilang sambil berciuman. Lalu Ica bangkit dan duduk. Penis Gilang berada tepat di bawah vagina Ica tapi dia tidak berani mengambil tindakan lebih jauh. Ica juga. Jadi dia hanya menggerakkan pinggul menggesek penis Gilang.

Tangan Gilang meremas kedua dada Ica dan gerakan pinggulnya makin kencang. Tak lama, Gilang mendorong Ica ke samping dan dia crot. Gilang merem melek dan setelah nikmatnya hilang, dia melihat Ica mengelus kepalanya.

“Kenapa?”

“Kejedot tembok. Sakit banget,” kata Ica.

“Eh, sori. Habis takut keluar di situ.”

Ica manyun. Gilang membersihkan spermanya dengan tisu lalu rebahan. Ica ikut rebahan di samping Gilang. Kemudian Ica mengambil tangan Gilang dan meletakkannya di vagina. “Tanggung jawab,” katanya sambil menggesek-gesekkan tangan Gilang di vaginanya.

Gilang menurut. Dia tidak tahu caranya. Pokoknya usap-usap saja terus. Tak lama, Ica membuka mulut, mendesah sambil meremas tangan Gilang. Mungkin sudah selesai karena dia mendorong tangan Gilang menjauh dari vagina. Keduanya lalu tidur berpelukan hingga pagi.

Sesuai rencana, Gilang pulang jam sembilan lebih. Waktu dia keluar Regina belum keluar kamar. Hari Senin, Gilang kuliah lagi dan bersemangat bertemu Regina. Tapi Regina berubah. Dia jadi judes setengah mati. Jangan menjawab ketika ditanya, tatapan mata pun juga dia menolak.

Gilang jadi serba salah. Apa yang terjadi? Apa Regina tahu soal apa yang dilakukan dia dan Ica? Apa Ica cerita? Apa Regina jijik dengannya sekarang? Gilang ingin tahu tapi tidak berani bertanya. Jadinya dia dan Regina diam-diaman lama sekali.

Ini adalah awal dari kekacauan kecil dalam hidup Gilang. Tapi ceritanya ditunda. Update berikutnya kita ke Cecil dulu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *