Skip to content

DRAMA Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Collab with Kisanak87 – NO SARA!)

CHAPTER 16​

Gila…

Setelah kejadian yang baru beberapa detik yang lalu, Tita bikin gue nyaris jantungan itu, dengan tanpa merasa bersalah, wanita itu malah ajekin gue buat makan bareng. Beneran makan bareng loh. Karena gue belom sanggup buat mikir lain dulu, apalagi kali ini gue harus menunjukkan skil gue ke dia, untuk mengelak dari segala apa yang ia coba tuduhkan tadi. Meski emang beneran banget sih tebakan dia.

“Kita duduk disitu aja Pak.” Begitulah kata Tita, sambil menunjuk dua kusi kosong dipojokan ruangan.

Ya udahlah. Dan juga, gue lagi gak minat buat ngebacot di awal-awal lagi seperti sebelom-sebelomnya. So! Mari kita lihat, kemana arah game yang di mainini wanita ini tertuju.

“Yuk lah. Gak baik juga makan sambil berdiri.” Balas gue.

Dinda kebetulan melihat ke arah gue, cukup dengan memberinya gesture sebagai komunikasi tanpa kata, jika gue akan duduk dimeja lain. Dinda menjawabnya dengan anggukan kepala.

Kini…

Gue dan Tita duduk berhadapan, sambil mulai menikmati bakso masing–masing. Tanpa ada kata terucap sedikitpun. Mungkin Tita lagi mikir, kalimat apa yang bakal ia katakan lagi ke gue, atau mungkin lagi merencanakan sesuatu buat gue?

Sedangkan gue? Ah entahlah…

Pikiran gue lagi di kerumuni nano mesum di dalam sana. Bukan Cuma mesum aja sih, ada sedikit kekhawatiran di dalamnya.

“Hihihi.” Tiba–tiba Tita tertawa, anjir. Ketawanya malah udah beneran kayak nenek sihir yang bentar lagi bakal nyerang gue. Liat aja. Gue yakin, apalagi kini baksonya udah nyaris ludes di mangkuknya.

“Kenapa bu?” Gue pura-pura nanya.

“Jadi… hmm seriusan nih, Pak Adam lagi dektain Umu Rahmi ya?” Hampir saja gue keselek, dan juga seharusnya sudah sesuai tebakan gue, jika wanita ini gak bakal mungkin ngebiarin pembahasan kami tadi akan berlalu begitu saja. Dia bakal mengejar. Mana sambil berbisik itu, cara dia menatap ke gue sejujurnya sih terlihat menggoda sekali.

Tapi gue gak mungkin langsung menjawab iya. Jadi emang jalan satu-satunya mengelak ajalah. “Enggak kok.”

“Bohong ya, hayoooo” Tita ngedesak buat membenarkan pertanyaannya itu.

“Memangnya kenapa bu?” Tanya gue sambil tetap tenang.

“Harusnya saya yang tanya. Kenapa bapak malah pengen deketin umi Rahmi…. bukannya Pak Adam udah keliatan ‘puas’ banget sama bu Dinda? Atau bapak lagi pengen ngebuktiin keperkasaan bapak ke yang lainnya?” begitu responnya, lalu diakhiri dengan tawanya yang pelan.

“Maksudnya?” Tanya Gue, karena emang gue masih blank. Masih belom ngerti maksud kalimat yang ia ucapkan.

“Atau jangan-jangan…. justru Bu Dinda emang udah kewalahan melayani Pak Adam, jadi Pak Adam mulai cari rumput tetangga yang baru ya? Hihihi.”

Sedetik gue masih loading….

Dua detik….

Tiga detik….

Wait. Wait…..

Pikiran gue tiba-tiba menuju ke arah yang semestinya gue elakkan. Semestinya gue tepis, karena jauh bener dari apa yang gue harapin selama ini. Pikiran gue mencoba mengarahkan gue, buat mengganti si sosok yang berlekabat di dalam kepala sejak tadi, sejak gue menyadari jika pintu kamar hotel gue dalam kondisi sedikit terbuka.

Ahhh gak mungkin tebakan gue sejak tadi salah, bro.

Bener kan bro?

Hayolah…. jangan ikut-ikutan membenarkan tebakan pikiran gue di dalam sana, yang mencoba dengan sekuat tenaga buat menggeser tebakan empunya. Jadilah, otak dan gue malah saling beradu buat memenangkan siapa si pelakon ngintip proses persetubuhan gue dengan Dinda tadi di kamar hotel.

Hmm…. ada baiknya, gue langsung saja mencari tahu jawabannya sendiri.

“Tau dari mana Bu? Gak mungkin kalau Dinda yang cerita.” Kata gue sepesanaran itu. Toh! Gue juga tahu tabiat Dinda, meski dia ember tapi dia gak bakal mungkin menceritakan masalah yang terlalu privasi ke orang lain. Apalagi ini masalah ranjang. Lagian juga, Dinda masih belum kewalahan melayani birahi gue selama ini, kok.

“Tadi sebelum kesini….” ahhh sial. Dia malah ngegantung. Bener-bener bikin gue sampai menggertak gigi gue sendiri, saking menahan rasa kesal serta jutaan penasaran yang mendera.

Lebih sialnya lagi….

Nih betina predator, natapin gue menggoda banget. Sekali saja matanya mengerling manja, itu bikin si otong langsung bereaksi. Ingin nerkam, tapi ini di tempat umum, coeg! Mau diem aja, tapi sepertinya Tita ini tak pantas buat di diemin. Pantasnya, bahkan amat sangat pantas buat gue kontolin aja sekalian, dah!

Dan sepertinya juga….

Betina ini nangkep kekesalan dan ekspresi penasaran di wajah gue.

Maka dari itu, dia melanjutkan, “Hmm… jadi tuh, tadi saya sempat lihat live show yang sangat hot sekali dikamar no 44. Loh! Hihihihi…….”
….
….
….

Wait… wait sodara-sodara.

Ini gue gak lagi berimagi, kan? Ayolah, ini sekedar imagi gue doang kan?

Mampooooossss…. Arghhh. Nyatanya ini beneran kejadian bro. Bener-bener terucap dengan lancar tanpa ada keraguan dari si akhwat yang mulai menunjukkan keliarannya di hadapan gue.

Gue gak tahu lagi harus cam mana sekarang ini. Gak tahu lagi bagaimana gue harus menjelaskan ke kalian, ekspresi serta gesture yang tercipta setelah mendengar penuturan sebagai bentuk pengakuan dari Tita.

Tapi….

Gue harus memastikan….

“Jadi… tadi yang ngintip kami itu Bu Tita?” bukan Rahmi? Ahhh, untung saja, gue beneran gak kelepasan buat menyebut nama wanita lain di hadapan Tita.

Ahhhh gila. Nih betina malah ngangguk pula. Berarti, apa yang sejak tadi gue pikirin salah dong? Yang berharap jika umi Rahmi yang melihat adegan gue ma Dinda di kamar, nyatanya salah. Justru gue baru tahu setelah informasi tersebut pun datang dari si pelakon. The one and only, Tita ini. Hadeh….

Bajigurrrrr-lahhhh…. pyahhhhh! Ini mah gak bisa di biarin gitu aja. Sepertinya, Tita lah yang fix akan menjadi target pertama gue buat gue taklukkan. Buat membuktikan kepadanya, jika keperkasaan gue emang sebuas itu dalam menyiksa lawan.

“Hihihi.” Kembali Tita tertawa pelan.

Namun demikian, apakah gue langsung se-blingsatan itu di hadapannya? Hoho… tentu tidak kawan. Gue masih berusaha setenang mungkin, meski kadar ketenangannya tentulah tak sama seperti sebelumnya.

“Yah mau bagaimana lagi Bu… saya juga sudah tak bisa mengelak. Dan mau tak mau harus jujur saja…. jadi, apa yang bu Tita lihat di kamar hotel, ya begitulah. Memang kenyataanya saya perkasa, makanya Dinda agak kesulitan buat ladenin birahi suaminya selama ini” kalimat sepanjang ini, tentulah punya maksud. Ini sekedar pancingan gue, dan jika dia nyamber maka……………..

“Pantas saja, tadi Bu Dinda sampe engap-engapan di kerjain ama bapak. Hihihihihi” Ah sial. Dia masih saja tetap nyamber umpan pancingan gue. Tepok jidat. Wah, keliahatannya memang Bu Tita mau merasakan patukan dari komeng yang berbisa.

Well!

Here wo go…. again!

Welcome to…. Speak-Speak Jahannam. Hoho!

Sambil sedikit bergerak mencondongkan tubuh gue ke arahnya, gue mulai kembali memancing. “Jadi gimana bu Tita? Setelah melihat kejadian kami di kamar, bagaimana komentar ibu?”

“Hmm gak ada apa-apa sih” Jawabnya.

“Kok gak ada apa-apa? Katanya saya perkasa tadi?” Kembali gue pancing bu Tita dengan pertanyaan yang langsung menjurus. “Yah setidaknya kasih komentar biar dikit saja”

“Saya belum bisa mengiyakan, karena saya kan belum membuktikan sendiri, apakah Pak Adam beneran seperkasa itu….”

Wadaaaawwww….
Di skak mat gitu, gue langsung kebingungan sodara-sodara. Hahahaha.

“Ayah.” Ahhhhh sial. Tiba-tiba saja Dinda datang dari arah samping kami, mau gak mau pula, obrolan yang sudah mulai panas inipun langsung terhenti.

Sekarang giliran Dinda yang menjadi penggangu. Datang disaat yang tidak tepat. Apa harus seperti ini terus? Nanti kalau Gue sudah sama Dinda diganggu Umi, Tita, Mia, bu Sari. Terus kalau sudah berlima, diganggu Buya, begitu kah?

Gila, gila.

==========================​

Karena tak ada kejadian yang berarti lagi, karena emang gak ada lagi kejadian yang berarti. Toh! Ada Dinda sebagai penyelamat suaminya yang lagi menciptakan rencana buat ngontolin si kawannya ini. So! jadi seperti biasa gue bakal skip aja ya, hingga pada kejadian di malam harinya. Mau gak mau gue tetap harus ikut acara dzikir mereka di lapangan ini, di awali dengan acara ceramah gitulah.

Untuk tempat duduk, antara laki-laki dan wanita dipisahkan serta diberi pembatas. Gue yang gak ada kenalan laki–laki dijemaah ini pun, hanya diam sembari melihat ke arah penceramah diatas mimbar sana.

Setelah ceramah lalu di lanjutkan acara Dzikir dengan duduk bersila, rata-rata pada menutup kepala mereka, lalu terdengarlah dzikir bergema, dengan hanya menyebutkan “La-Ilahaillallah….” kepala bergerak menggeleng ke kiri lalu ke kanan mengikuti penyebutan kata tersebut.

Ya walaupun gue rusak begini, kalau sudah urusan beginian gue tetap focus dan khusu.



Yakin…. gue khusu saat melakukan dzikir bareng semua orang di sini? Eh bukankah, tangan gue lagi maenin HP, karena baru saja, ada pesan masuk di Whatsapp gue, dari nomor yang awalnya gak gue save.

Dan ini. Gue sempat penasaran, darimana si pengirim pesan dapet nomor WA gue ya? Dan itulah yang kini gue tanyakan, setelah pesan dua kali masuk barusan yang berbunyi, “Hihihi fokus amat dengan dzikirnya pak….”

“Padahal tadi obrolan kita berdua belom selesai. Untung saja bu Dinda datang buat ngehentiin bapak. Hihihi, Tapi. Apapun itu, saya minta maaf ya pak Adam, karena sudah lancang jujur tadi ke bapak, tentang ketidaksengajaan saya melihat bapak dan bu Dinda tadi di kamar hotel. Karena kalo di simpen aja, saya takut malah jadi beban nantinya.”

“Bu Tita ternyata… oh iya, dapet nomor WA saya dari siapa?” begitulah. Dan yah! Tita lah yang mengirimiku pesan itu.

Berarti ada dua orang yang sepertinya tidak khusu dalam menjalankan kegiatan dzikir akbar kali ini.

“Dapet dari bu Dinda langsung kok. Hehe”

“Ohhh… begitu. Jadi gimana-gimana?” gue gak bertanya lagi tentang detailnya, kenapa dan mengapanya. Toh! Emang harus begini saja, dari pada gue iseng ngorek sampe ke akar-akarnya malah jadinya, nanti menciptakan kecurigaan di benak bini gue.

“Gak gimana-gimana sih pak. Tita Cuma pengen nyampein permintaan maaf doang.”

“Ohhh ya sudah. Di maafkan….. asal”

“Loh he, malah pake syarat segala…. asal apa pak?”

“Asal bu Tita mau melanjutkan ceritanya tadi yang sempat kepotong karena kedatangan istri”

“Hmm ya udah deh. Nanti kelar acara, sapa tau kita bisa ngobrol kayak tadi. Baru deh Tita ceritain lagi…. hihihi. Sekarang fokus dulu Pak,”

“Oke….” hanya segitu balasan gue ke wanita ini.

Dan pada akhirnya, gue pun kembali melanjutkan dzikir ini yang entah kapan kelarnya. Hahahahaha!

Akhirnya selesai juga acara keseluruhan di hari ini.

Malam sudah benar-benar mulai menggelap. Mulai memasuki waktu di tengah-tengah. Yah, selama itu acara berlangsung. Bahkan gue tak sadar awalnya, tapi begitu ngelihat jam di ponsel, gue langsung sadar kalo sekarang itu sudah jam 10 malam lewat 15 menit. Intinya setelah acara kelar, semua peserta kembali ke tempat masing-masing.

Sedangkan gue?

Fiuhhhh…. Gue rada jengkel dengan Dinda yang kepengen tidur ditenda bareng teman–temannya.

“Katanya tadi kalau Ayah gak kesini, Ayah tidur sendirian. Kenapa setelah kesini, Ayah juga tetap balik ke hotel tanpa Bunda?” begitu tanya gue ke Dinda dengan nada yang kesel.

“Malam ini aja Yah. Lagian Bunda kepengen kumpul sama teman–teman juga.” Jawab Dinda yang bersikukuh tidur di tenda.

Dan karena debatan ini mulai menjadi perhatian beberapa temannya, jadi gue pun memutuskan untuk memungkasinya saja. “Ya sudah lah. Ayah balik aja ke hotel sekarang.”

Gue pun akhirnya mengijinkan, karena kasihan juga dengan Dinda. Dia sudah jauh–jauh kesini, masa gak kumpul bareng teman–temannya?

“Ayah gak marahkan?” Dinda memegang telapak tangan kanan gue.

Gue akhirnya mulai memberinya senyum. Toh! Gak masalah juga, bukan, ngebiarin dia ngumpul dengan kawanannya itu. “Enggak sayangku. Yang penting Bunda seneng.”

“Makasih Ayah. Besok malam Bunda kasih yang special lagi.” Dinda lalu mengecup pipi gue dan terlihat dia sangat senang sekali.

“Ya udah, Ayah balik dulu ya.” Pamit Gue.

“Iya Ayah. Hati –hatiya.” Dinda langsung mengecup punggung tangan kanan gue, setelah itu gue meninggalkannya.

Huuu.

Kelihatanya, sebelom gue bener-bener balik hotel, ada baiknya gue nyicipin sebat dulu neh. Hmm, sekalian aja lah buat nyuci mata ama wanita-wanita berkerudung, bergamis yang masih sesekali berkeliaran, apalagi ada yang beberapa dari daerah jauh. Hohoho! Mayan…. buat menyegarkan mata, apalagi Dinda juga sudah gak ada di samping gue.

Wanita-wanita bergamis dan berjilbab lebar yang berlalu lalang dari tadi, banyak yang cantik. Siapa tau ada satu yang bisa dibawa ke hotel, menemani kesendirian gue malam ini.

Oh iya…..

Setelah mikir gitu, gue tiba-tiba mengingat sesuatu.

Kenapa gak gue coba aja ngajakin si Tita buat gantiin Dinda?

Apalagi…. kondisinya kan, sedari tadi justru dialah yang nyamber beberapa kali pancingan di mata kail gue yang sengaja gue lempar ke arahnya.

Tapi dimana dia? Karena sejak tadi, gue udah gak lihat keberadaannya. Ditenda juga pas nyamperin Dinda, wanita itu gak ada di sana. Hmm, kok jadi penasaran ya? Haha.

“Pak Adam. Kok belum balik?” Wanjir….. ini betina demen amat datang tiba-tiba. Malah kedatangannya gak tercapture oleh sepasang mata sialan gue yang masih saja mencoba mencari keberadaannya.

Dia datang dari luar jangkauan sepasang mata gue.

“Sebat dulu bu. Entar lagi baru balik ke hotel.” Gue menjawabnya, sembari menghisap filter ujung si garpit, kemudian menghembuskan asapnya ke udara.

“Oh. Kalau gitu saya ke tenda dulu ya pak.” Tita terlihat bingung dan ragu untuk pergi.

Karena keragu-raguannya itu, gue harus mengambil kesempatan kali ini. Gak boleh di tunda lagi, bro…..

“Kenapa buru-buru Bu? Memangnya Bu Tita dari mana tadi? Karena tadi saya di tenda Dinda, ibu tidak ada di sana”

“Saya mau tidur dulu pak, tadi… hmm habis ngantar Umi Rahmi ke tenda Buya.” Balasnya. Tapi sepertinya masih ada sesuatu yang ia sembunyikan.

“Lagi ada masalah kah?”

Dia…

Spontan natapin gue. Semakin memberikan keyakinan penuh di dalam sana, jika fix, wanita ini sedang di rusak moodnya. Entah karena apa. Dan itulah yang lagi pengen gue gali sedalam-dalamnya.

“Tadi…. kita berdua sudah ngobrol sebebas-bebasnya. Seakan tak ada batasan sama sekali. Nah, jika ibu emang butuh teman bicara, setidaknya untuk sekedar melampiaskan apa yang menjadi duri saat ini di dalam hati, silahkan…. saya jamin sejuta persen, saya adalah salah satu type pria yang cocok buat di jadikan teman curhat. Karena kemampuan saya untuk menyimpan rapat-rapat sebuah rahasia. Trust me….”

“Tapi pak….” yeah! Mulai ada keraguan. Tapi, justru itu yang bikin gue semakin bersemangat.

“Jika ibu ragu untuk mengeluarkan semua duri dan luka dalam hati ibu di sini, ada baiknya…. kita cari tempat yang cocok buat ibu melampiaskan semuanya.”

“Hmm….” again. Dia makin menunjukkan gelagat tarik ulur, antara yes atau no, menerima tawaran gue ini.

“Anggap saja…. kita nongkrong positif gitu. Tapi sambil menyelam, minum air. Sambil nongkrong, sambil ngeluarin semua uneg-uneg ibu ke pendengar setia bu Tita, satu-satunya malam ini.”

“Nongkrong dimana?” dia menyamber. Menyahut kalimat terakhir gue.

Dan….

Inilah saatnya.

Saatnya memancing di air keruh. Hohohoho!

“Dikamar 44.” Gue memelankan suara.

Spontan….

Matanya langsung menyipit. Menatap ke gue dengan penuh tanya. Lebih ke tatapan penuh selidik sih. Menyelidiki, apakah makna dari tawaran gue ini, bermakna positif, atau malah ke arah negatif.

“Tenang aja bu…. obrolan kita saat ngebakso tadi, Cuma sekedar candaan. Sungguh, ajakan saya ini hanya sebagai bentuk, untuk mengembalikan mood bu Tita lagi… coba bayangkan, jauh-jauh datang ke sini buat ikutan acara dizkir akbar MKTI, harus di rusak oleh – entah siapa pelakunya – hingga mood ibu rusak sedemikan rupa….. dan saya amat memahami, bagaimana perasaan ibu sekarang ini”

Begitu dia masih saja menatap gue penuh selidik, gue gak habis akal. Gue kembali menyerangnya. “Percayalah…. saya, gak sebrengsek itu. Ibu takut jika saya mengajak ibu ke kamar, untuk bertujuan agar ibu bisa membuktikan apa yang tadi terakhir kita obrolkan saat ngebakso, kan? Jadi tenang saja. Lagian, jika memang saya melakukan hal itu, ibu bisa langsung teriak… alhasil, saya akan menjadi bulan-bulanan massa karena baru saja ingin melecehkan seorang wanita cantik, mempersona seperti ibu Tita”

Pyashhh!

Setelah mengatakan itu, gue langsung menyadari sepasang pipinya langsung merona.

Tapi. Gue gak menunggu ia mengeluarkan sepatah kata. Gue makin menyerang. “Dan… saya juga sangat mencintai Dinda kok. Hehe. Percayalah. Tujuan saya buat sekedar menyembuhkan mood ibu yang baru saja di rusak oleh si orang kurang ajar itu, yang telah berani-beraninya menghancurkan semuanya yang telah bu Tita rencanakan sebelum ke sini.”

“Tapi…. or… orang…. itu… suami saya, pa… pak”

Yeah!

Justru itulah. Justru karena suamimu lah, makanya gue semakin punya peluang buat melanjutkan selangkah lagi, rencana gue, sayang.

Well!

Gue pun tak lagi menunggu responnya. Maka, gue segera memungkasi pertemuan kami ini, dengan berucap, “Sekarang saya akan kembali ke kamar sendirian, saya hanya akan menunggu sejam lamanya, lewat dari sejam dan bu Tita belum juga datang ke sana, maka saya gak bisa menjamin saya akan membukakan pintu kamar. Karena jika saya sudah tidur, saya sulit buat dibangunkan…. dan saya juga gak yakin, ibu akan benar-benar menikmati acara selama 3 hari di sini karena mood ibu sudah benar-benar rusak…. Oke… saya permisi dulu, bu. Assalamualaikum wr wb”

Tanpa menunggu balasan salam darinya, gue langsung melangkah pulamng ke hotel, meninggalkan Tita yang sepertinya di serang oleh perasaan dilema. Entahlah…. apa yang terjadi nanti, maka terjadilah.

Benar tidaknya dia nyusul gue di hotel, nanti kita akan buktikan, kawan.

Toh, gue juga bukan seorang cenayang yang bisa dengan mudah meramalkan, kejadian selanjutnya akan seperti apa.

Dan di sinilah gue berada.

Di dalam kamar hotel.

Kamar yang entah akan menjadi saksi buat proses penaklukkan target pertama malam ini, atau malah berakhir zonk.

Tentu saja, pas gue tiba tadi, gue menyempatkan buat merapikan kamar dari bekas pertempuran dengan Dinda, setelah itu gue menyeduh secangkir kopi buat menemani gue menanti kedatangan mangsa.

Intinya…

Jangan tanyakan lagi bagaimana perasaan gue di dalam sana ya. Wahhh, nano-nano bro. Rasa-rasanya gue ini udah seperti predator yang menanti mangsa masuk ke perangkap, yang bisa langsung gue terkam.

Tapi. Ini kok belum ada tanda-tanda sedikitpun, jikalau mangsa malah masuk ke dalam perangkap, ya?

Bukankah, dia memiliki nomor WhatsApp gue?

Ahhh….

Menunggu…. ternyata gak menyenangkan.

Mungkin, pemilik semesta masih belum melancarkan rencana gue malam ini. Mungkin, hanya di lancarkan sebatas speak-speak jahannam doang, sebatas hanya ngobrol berdua doang dengan mangsa, pun, ngobrolnya meski berdua tapi tetap saja ada banyak orang di sekitar. Tapi tak sampai untuk merealisasi tujuan utama gue.

Ya sudahlah…..

Memang sudah saatnya gue pejamin mata, mungkin esok, atau esoknya lagi, baru bisa gue realisasikan rencana gue buat penaklukkan. Atau mungkin tidak akan terjadi sama sekali. Hahahaha!

Makanya. Gue pun mulai beranjak dari duduk, mulai menghabisi sisa kopi dalam cangkir, mulai menekan sisa rokok di asbak agar mati, setelah itu, mulai melangkah ke ranjang. Mulai rebahan dengan nyaman, mulai menarik selimut, mulai memejamkan mata, dan…….

Mari kita tid……………

TOK… TOK… TOK!!

BERSAMBUNG CHAPTER 17​

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *