Dan disinilah gue berada, again and again…. wankawan!
Gue yakin. Amat sangat yakin, kalo semua orang yang hadir di acara MKTI sedari awal sampai di malam terakhir ini, memiliki satu tujuan, yaitu semakin menaqwa-kan diri mereka kepada sang khaliq. Agar lebih baik lagi dalam menjalankan kewajiban mereka sebagai ummat-NYA. Tak terkecuali, Dinda, bini gue juga – sama.
Hanya satu orang saja yang niatnya berbeda. Niat yang awalnya hanya ingin lebih mengenal si umi Rahmi yang cantiknya Masya Allah banget, eh, malah takdir berkata lain. Gue malah di beri tantangan tak kasat mata oleh sang khaliq untuk menaklukkan lebih dari satu orang, para sahabat bini gue yang tentu saja, yang akrab saja. Dan pasti kalian juga tahu kok siapa aja yang masuk dalam list yang akan gue taklukkan.
So…. Gue juga amat sangat yakin jika mayoritas yang baca, gak akan mau membaca adegan by adegan saat gue pada akhirnya memutuskan untuk tetap ke bawah saja. Mau gimana lagi? Toh! Gak ada sesuatu juga yang gue lakuin sekarang. Gue gak mau coli kayak sebelum-sebelumnya. Mubassir banget menurut gue, bro. Makanya, kalo gue bertahan di kamar, justru pikiran gue malah mulai bergentayangan kemana-mana, alhasil si komeng bakal gue siksa lagi pake tangan gue sendiri. Ya sudah, alhasil gue pun telah berada di tengah-tengah para manusia pendamba sorga ini. Kalo gue mah, cukup dambain sorga duniawi ajalah. Apalagi lubang sorganya si Tita. Hahay!
Uhkkk nginget dia, ada yang bergerak gelisah merana di bawah sana. Bro.
Tapi, kalo gue juga nyekip langsung kejadian di tempat ini, mana ada gregetnya. Bener gak? Makanya, gue pun mutusin buat sekilas saja gue akan gambarin ke kalian. Intinya, tentu sebelum benar-benar acara berakhir kami tetap melakukan acara dzikir bersama yang durasinya sejam lebih sedikit. Masih cara yang sama, masih dizkir dengan penyebutan yang sama. Gerakan yang juga sama.
Bedanya… Hohoho. Tentu hanya gue yang ngerasain perbedaannya kali ini. Secara, gue sekarang sudah gak fokus lagi sama keseluruhan acara. Karena sudah di kuasai oleh pesan yang masuk pada ponsel gue.
Pasti kalian langsung bisa nebak kok, pesan dari siapa.. yap! Pesan dari Tita. Ah, ini betina… mana pesannya malah masih saja coba-coba menggoda.
Padahal niat gue awalnya pengen fokus ke acara, apalagi ini malam terakhir. Eh, malah nih perempuan maen godain aja tanpa maen permisi dulu. Kalo sudah kayak gini, gue gak mungkin melepaskan begitu saja si Tita ini. Apalagi ini adalah malam terakhir kami di sini, malam yang akan menentukan kemana arah gue melangkah. Apakah gue bakal dapet zonk doang selama 3 hari disini, atau setidaknya mampu menaklukkan salah satu dari ke 4 sahabat Dinda.
Lets see….
Acara tetap berlanjut, meski ada atau tidak adanya gue di sini. haha.
Tapi tentu saja gue sudah gak fokus lagi buat melanjutkan acara tersebut. Alhasil, sambil uring-uringan, dan ogah-ogahan gue pun mulai tetap melakukan hal yang sama dengan semua orang, tapi dalam hati – gue mulai menghitung waktu.
“Maaf ya bu…. saya lagi ingin fokus berdzikir.”
“Ohhh gitu….”
“P”
Gue cuek….
“Fokus atau malah takut ya? Hihihi” anjir nih Tita, masih aja menggoda. Begitulah pesannya yang datang kembali di saat gue masih belum merespon ‘Ping’ nya sejak tadi.
Pesan sebelumnya sih, Cuma kalimat ‘Cie cie yang lagi fokus…. padahal saya paham betool apa yang ada di pikiran Pak Adam. Hihi’
“Takut? Takut ke siapa dan karena apa, ya bu?”
“Hihih ya udah lupain aja pak”
Nah loh. Malah dianya yang ambigu gini. Well! Gue coba untuk maju selangkah buat ngulik dengan cara gue sendiri. “Saya gak takut pada siapapun. Pada apapun kecuali sang pencipta kok….”
“Yakin? Kalo saya ajekin berduaan aja sekarang, bapak berani?”
Wah. Mulai lagi nih.
“Padahal tadi saya udah siap loh pak. Sayangnya, bapak gak berani ngajekin saya karena takut ama bu Dinda kan?”
Wah. Cukup ya. Sudah cukup…. sekarang waktunya gue balesin dengan langsung nembak aja tanpa mikir-mikir, “Ayo, kalo memang bu Tita serius, maka saya akan nungguin di kamar saya lagi. Kalo mau sekarang hayo…. karena kalo acara ini selesai, kita gak bakal punya waktu lagi”
“Hihihi. Jujur…. padahal saya mah Cuma godain pak Adam aja” Oh, mau maen tarik ulur rupanya nih betina.
“Yakin hanya sekedar godain doang?” begitu balas gue.
“Kalo gak godain, terus menurut bapak apa donk?”
Well! Gue balas aja langsung kali ya, ngebalas dengan apa yang sejak tadi gue pikirin di kepala ini. “Saya yakin. Amat sangat yakin, bu Tita sama berhasratnya seperti yang saya rasakan saat ini. Sangat berhasrat pada tubuh ibu. Dan saya yakin, ibu juga sangat berhasrat kepada saya untuk bisa menggantikan tugas suami ibu buat memuaskan, benar begitu bukan?”
“Astaga Pak Adam…. bapak gak takut dosa apa, ngomong sevulgar itu?”
“Hmm…. Dosa? Ibu sadar? kita sudah kebablasan sampai sejauh ini, bu Tita. Kita sudah jelas-jelas berdosa. Kenapa gak sekalian aja di selesaiin kan? Kalo cuma nahan-nahan kayak gini, kalo Cuma main nyinggung menyinggung doang padahal kita berdua sudah tahu sama tahu bagaimana terpendamnya hasrat kita berdua buat ngelakuin itu, malah tetap berdosa juga bukan? Malah menurut saya kadar dosanya sama kok.”
“Tapi kita kan belum melakukan hubungan badan pak.”
“Iya, tapi pikiran dan mata kita sudah melakukan Zina bu. Belum lagi saya sudah meremas buah dada ibu dan ibu juga sudah mengocok penis saya.”
Skak Mat lo, non. Lo lupa ya, apa yang sudah terjadi di antara kita? Hoho!
“Astaghfirullah pak.. vulgar banget sih kata–katanya?” masih juga ngeles.
Baiklah. Gue gak bakal mundur sekarang, gue bakal pepetin dia. “Iya.. sevulgar penis saya yang sudah ibu lihat dan pegang.”
“Sudahlah pak. Emang kita lagi gak di kasih jalan buat gituan hihihihi…. kan ada bu Dinda. Ya udah, ama bu Dinda aja atu” Tidak. Gue gak ikhlas kalo Tita lepas gitu aja. Gue harus cari cara agar gue bisa menikmati tubuhnya.
“Berarti kalau ada jalan, kita bisa melakukannya dong bu?”
“Jalannya mau lewat mana pak?” apa ini sebagai pancingan? Hmm, mari kita lihat.
“Yang penting niat dulu bu. Selagi ada niat, jalan pasti akan terbuka dengan sendirinya.”
“Hihihi. Pak Adam kelihatannya sudah ngebet banget ya?”
“Ya pastilah bu.. gak mungkin saya membiarkan ibu ngebet sendirian..” dan ketikan gue ini bertepatan dengan acara penutupan yang telah usai.
Untung saja gue masih sempat send pesan tersebut ke Tita, kemudian gue sesegera mungkin lakuin hal yang biasa gue lakuin, dan gue juga baru nyadar, kalo gue lupa selalu mau narasikan hal ini. Ya, apalagi kalo bukan ‘Clear Chat’ coeg! Hahaha. Kalo gak gitu, takut malah gue lupa naroh HP, atau sialnya, si Dinda malah langsung maen ngutak-ngatik hp gue yang pada akhirnya langsung membaca semua chattingan gue ama sahabatnya ini.
Setelah gue kantongi HP, mulai tuh, peserta pria dan wanita yang duduknya dipisah, mulai berdiri satu persatu, mulai berhamburan untuk mencari teman yang satu kota.
Tidak susah bagi istri gue dan teman–temannnya untuk mencari gue, karena gue sendiri saja yang memakai peci berwarna hitam.
Singkatnya….
Sekarang gue, Dinda, Tita, Mia, Bu Sari dan Umi Rahmi sudah berkumpul dipinggir lapangan. Tita terlihat tidak mau bertatapan muka dengan gue. Gue juga gak lupa untuk sesekali nge-check HP, rupanya dia juga tidak membalas pesan terakhir gue.
Acara telah usai, tapi entah kenapa gue justru tidak ingin segera beranjak dari tempat ini. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dan gue harus menyelesaikan ganjalan itu.
“Ayah udah. Yuk balik hotel” Ah Dinda. Kok cepat benar pulangnya? Biasanya kan kamu dan teman-temanmu ini mengobrol dulu, baru setelah itu balik.
Ini malah gak ada hujan, gak ada angin, malah berubah drastis. Malah mau cepet-cepet pulang.
Terus bagaimana kalau sudah seperti ini? Gue juga tidak punya alasan untuk tetap bertahan disini, bukan? Manalah mungkin gue bilang ke Dinda, bentar dulu lah sayang, suami lo masih pengen berinteraksi ama sahabat-sahabat lo tau…. nyari perkara namanya.
Ahhhh kiamat dah kalo gini.
Apakah gue benar-benar tak punya ruang untuk bisa berasyik masyuk dengan Tita saat ini? Apakah semesta benar-benar tidak mengijinkan untuk kami melakukan dosa termanis itu?
Loh, he..
Kok jadi mellow begini?
Masa gara–gara gak bisa secelup dua celup dengan Tita, gue harus sampai meneteskan air mata? Jangan dong, jangan sampai. Cukup pejuh kenikmatan gue saja yang menetes, air mata gak perlu ikut terlibat. Lagian juga, ini kan bukan cerita romance coeg. Ini real cerita ala kadarnya yang pemeran utamanya, otaknya di penuhi oleh selangkangan para wanita berjilbab lebar.
Maka dari itu, gue yang gak punya alasan bertahan lebih lama di sini, lebih dulu nyeletuk, “Ayolah bun…. Ayah juga sudah cape.” Sudah capek di siksa dan di goda sama sahabat lo semua di sini. Hahaha. Untung saja, kalimat terakhirnya gue ucapin dalam hati doang.
Ternyata, begitu gue selesai berbicara, Tita yang mendengarnya langsung melihat ke arah wajah gue. Apa dia juga sama semenyesalnya kayak gue sekarang? Menyesal karena gak punya jalan buat berasyik masyuk? Buat melampiaskan seluruh hasrat yang telah terpendam sedari kemarenan itu?
“Sampai jumpa lagi dek Adam” uhhhh! Itu Rahmi. Wanita yang dua hari ini sempat gue abaikan. Tunggu giliran kamu, ya sayang. Kali ini, gue lagi pengen naklukin si Tita, jadi kamu harus menunggu giliran hahaha.
“Oh iya Umi.. terimakasih sudah mengajak saya ketempat ini ya.. Salam buat Buya ya Mi.”
Terimakasih juga sudah memberikan gue live show yang sangat hot dan gue suka itu Mi, gue suka banget.. untuk kata–kata yang ini, gue hanya bergumam dalam hati. Iya kali gue ucapin beneran, bisa dimassa lah gue sama wanita yang ada disekeliling gue ini.
“Iya De, nanti saya sampaikan salamnya. Ayo Mia, katanya tadi mau ikut mobil saya.” Umi Rahmi mengajak Mia pergi meninggalkan kami.
“Iya Mi. sampai ketemu lagi ya, ibu–ibu dan Pak Adam.” Pamit Mia kepada kami.
“Hati–hati Mia, Umi.”
Para wanita pun saling berangkulan, setelah itu Mia dan Umi Rahmi pergi ke arah tenda utama.
“Terus bu Tita sama Bu Sari bagaimana? Ikut kami lagi pulangnya?” Gue bertanya kepada mereka berdua. Kalo kayak gitu, berarti masih ada peluang dong, ya?
“Enggak Pak Adam. Kami berdua mau ketempat saudara dulu.. tempatnya gak jauh dari sini kok.” Jawab Bu Sari.
“Kalau gitu kami antar aja.” Gue masih mencoba keberuntungan. Gak ada salahnya juga kan, bro?
“Terimakasih Pak. Sebentar lagi saya dijemput saudara kok.” Bu Sari menolak secara halus, padahal gue kepingin mengantarkan mereka, siapa tau masih ada celah sedikit untuk enek–enak dengan Tita.
“Terus kalian mau langsung balik bu?” Tita bertanya ke Dinda.
“Oh, enggak bu. Saya capek banget. Kami menginap dulu satu malam lagi.” Jawab Dinda.
Ya memang benar. Pembahasan ini juga gue males ceritain ke kalian lah ya. Pembahasan gue ama Dinda, kalo mutusin buat nginap semalam lagi di sini, nanti besok baru balik ke rumah, ke Jekardah.
“Iya, ya, ya.. belum lagi malam ini masih panjang. Pasti makin capek ya bu. Hihihihi.” Lagi – dan lagi, Tita mulai memancing.
“Iiiihhh, Tita.” Bu Sari menyenggol lengan Tita pelan.
“Iya lah bu. Semalam sudah saya tinggal, masa malam ini gak saya kasih gantinya.. hihihi..” Dinda malah memanas-manasi.