Ya elah…. gini amat hidup gue ya?
Mau nyobain sensasi berselingkuh, malah sulitnya ampun-ampun, dah.
Mana, acara bener-bener udah selesai. Gak ada lagi alasan bagi gue buat bertemu ama salah satu dari sahabat Dinda itu. Khususnya si Tita.
Ahhhh…. Sialan bener dah….
Sumpah euy. Gue bener-bener gak bisa mendapatkan peluang mengajak Tita buat menyelesaikan apa yang sudah seharusnya gue ma dia selesaikan. Jadi lo orang bisa bayangin kan, bagaimana tersiksanya gue sekarang ini?
Mana Dinda yang penuh pengertian ini, sesegera mungkin ngajakin gue ke kamar. Kalo dia sampai langsung minta buat di setubuhi, maka fix, gue juga gak akan bisa menolak, itu artinya sperma gue bakal di kuras ma Dinda tanpa nyisain buat Tita. Itu artinya lagi, gue benar-benar harus merelakan melepaskan Tita di momen kali ini. Entah nanti, apakah semesta memberi jalan itu, atau malah menutupnya rapat-rapat.
Gagal deh jadi Kang The Conqueror. Hahahaha!
Singkat cerita…. lagi!
Setelah bersalam-salaman ama yang lain, termasuk Tita yang sempat juga bersalaman ama gue serta memberikan gesture yang amat sangat super menyebalkan itu – hmm harusnya sih menggoda, Cuma karena gue yang mulai putus asa, pada akhirnya merasakan hal yang berbeda. Bukannya tergoda, malah gue rasa kesal pake banget – pada akhirnya gue ma Dinda memutuskan untuk kembali ke hotel.
Selesai sudah semua acara selama 3 hari di tempat ini. Itu tandanya, gue juga harus sesegera mungkin menyelesaikan semua imagi sialan di dalam sana, yang masih saja mendobrak, memaksa gue buat nyalurin sesegera mungkin dengan si Tita, meski gue tentu saja juga bingung dengan cara dan jalan bagaimana gue berhasil nyalurinnya.
Intinya, ada beberapa orang yang memutuskan untuk langsung kembali ke rumah mereka. Ada juga yang memutuskan untuk menginap semalam di kota ini, karena merasa lelah untuk langsung pulang.
Sama seperti gue dan Dinda. Kami memutuskan untuk nginap semalam lagi. Besok pagi baru kami akan balik ke Jekardah.
Begitu gue ma Dinda udah di kamar…
Begitu gue lagi pengen nyari jalan buat gak ngelakuin persetubuhan dulu, eh…. malah – Dinda langsung ngegas meski caranya gak sefrontal gue selama ini.
“Yah. Mau…. hmm, mau langsung atau?” aishhh. Gagal deh. Hancur sudah cita-cita gue buat nyetubuhin Tita. Karena, gue paham ajakan Dinda itu, bukan ajakan buat maen gaplek, melainkan maen tusuk-tusukan.
Jelas saja, meski ia tak mengatakan secara langsung keinginannya untuk ngewe, tapi dari cara dia natap, dari cara dia memberi gesture badannya ke gue, gue yakin dia lagi pengen di entot. Haha! Dan gue yakin, begitu sperma berhasil gue keluarin di liang kemaluannya, maka berakhir, benar-benar berakhir sudah mimpi gue menjadi penakluk akhwat berjilbab dan bergamis lebar.
Tapi… masih ada peluang meski itu kecil, bukan?
“Bunda gak capek?” masih ada secuil harapan. Haha, itu gue, mencoba untuk negosiasi.
“Hmm dikit sih, Cuma bunda merasa kasihan sama ayah, karena sejak kemarin bunda godain mulu. Hihihihi”
“Gak apa-apa sih. Masih banyak waktu. Kalo bunda mau istirahat dulu silahkan…. ayah masih bisa sabar nungguin sampe bunda bener-bener siap” anjir bacot gue. Baru kali ini, gue nolak memek bro. apalagi ini memek halal woi.
“Yakin?” Dinda sampe menunjukkan tatapannya yang penuh selidik.
“Yakin dong” balas gue cuek, kemudian memutuskan duduk di sofa.
“Ya udah deh. Hihihihi, kalo gitu bunda mau mandi dulu. Bunda gak akan ngunci pintu kamar mandi, jadi kalo ayah mau nyusul silahkan.” Masih saja, bini gue menggoda. Masih saja berusaha untuk gue setubuhi sesegera mungkin. Tapi maaf sayang, suamimu ini, untuk kali ini jauh lebih tergoda sama sahabatmu si Tita.
“Hahaha ntar di liat bun” gue mencoba acuh. Gue lalu membuka ponsel.
Dinda hanya manyun saja, dan segera menanggalkan semua pakaiannya. Harusnya sampai di sini, seperti biasa – gue bakal langsung menerjangnya. Tapi percayalah kawan, untuk kali ini berbeda. Malah yang ada, gue berusaha untuk tidak bersetubuh dulu dengannya, sebelum gue benar-benar memastikan kalo gue tak mendapatkan peluang lagi buat nyalurin ke wanita lain.
Karena gak mendapatkan respon apapun dari gue, alhasil, dengan perasaan gondok, Dinda segera masuk ke kamar mandi. Cara ia berjalan, tentu saja masih berusaha keras biar gue tergoda. Ya, gak bisa gue pungkiri, ia begitu menggoda sekali bro. Tapi maaf istriku tersayang, suamimu lagi gak tergoda sama sekali.
Gue harus putar otak sekarang.
Gue harus mengambil peluang meski itu kecil pake banget. Alhasil, karena otak gue masih saja di kerumini oleh molekul-molekul mesum di dalam, sana, gue mencoba membuka kembali Hp.
Entah apa yang gue nanti sekarang ini. Menanti pesan masuk dari Tita? Lalu, kira-kira kalo dia mengirim gue pesan, apa yang akan ia kirim? Apakah ajakan buat menyelesaikan semuanya?
Ting!
Ada notif pesan baru.
Gue buka…. And then!
…
…
…
Ah sorry, ternyata banyak kang Copaser yang radarnya mulai menjelajahi kisah gue ini. Jadi, karena gue baik hati, hari ini gue update 2 chapter langsung. Cuma, gue bakal lama-lamain durasi update kedepannya, biar gue pengen tahu, akan seperti apa si kang copaser itu mengembangkan cerita ini jikalau reader-readernya menuntut buat update. Hohohohoh…. sebulan sekali aja. Dan kalo masih gue dapetin yang copas, maka setiap chapter akan gue bagi 2 updatenya. Biar si copaser nungguin updatenya sampai berlumut dan berjamur dah.
Nah, bagi teman-teman yang masuk dalam golongan orang baik dan rejekinya berlimpah, serta gak sabar buat menanti lama-lama lanjutannya, mungkin bisa sedikit berbagi buat gue dengan follow IG si penulis kisah gue ini. Hohoho….! yok bisa yok. (Poligemek77 – say.)
…
…
…
Anjir!
Gue terlonjak kaget. Karena gue tiba-tiba seperti mendapatkan angin surga. Bro. Seriusan, gak ada angin, gak ada hujan, tiba-tiba saja Tita mengirim pesan WhatsApp.
Dan pesannya mengatakan………………….
“Pak Adam…. saya dan bu Sari nginap di kamar 41 loh. Hihihi di hotel yang sama ama pak Adam dan Bu Dinda”
Degh!
Wait….
Bukannya tadi mereka mau ke rumah sodaranya bu Sari? Lalu ini, kenapa mereka sudah di sini?
Errr! Bukan urusan gue lah. Karena, yang ingin gue urusin sekarang ini, ialah pesan yang di kirim Tita ini yang sejenak gue tela’ah, sepertinya bermakna ‘ajakan’. Wait…. apakah seriusan ini pesan ajakan? Ah sue. Mana Dinda ada di kamar pula. Hadeh!
Bagaimana ini, bro? apa yang harus gue bales?
Dah lah. Gue bales sekenanya aja. “Terus… kenapa? Gak mungkin kan, saya langsung ke sana buat ngentotin bu Tita. Kan ada bu Sari di kamar, terus gak mungkin juga saya ajak di kamar saya, karena ada Dinda di sini. Ya udah aja, bener kata bu Tita. Memang semesta belum merestui buat kita melakukan hal itu”
“Ngambek ya? Padahal bu Sari lagi mandi loh. Dan saya tahu banget, kalo dia mandi itu lama pake banget……….. hayo…. gimana, berani gak?”
Wah….
Wah…. ini.
Membangunkan singa yang lagi lapar pake banget. Menantang pejantan buat nekad untuk menerobos aral rintangan yang menghalangi? Well! Tunggu Tita. Gue gak bakal ngelepasin lo kali ini.
Pada akhirnya tanpa mikir panjang, serta birahi yang membara telah bener-bener menguasai pikiran gue, gue pun nekad buat mengunjungi kamar 41.
Gue bergegas beranjak dari sofa, sempat pamit ke Dinda, “Bun… ayah ke bawah dulu ya, mau beli cemilan di indo alfamart”
“Ohhh oke yah… hehehe, yakin nih gak mao masuk ke kamar mandi?”
“Ntar aja. Hehehe”
“Ya udah. Bunda mau berendam aja kalo gitu”
“Sip”
Dinda gak curiga sama sekali.
So….
Mari kita beraksi, bro Komeng!
…
…
…
Dan disinilah gue berada. Di depan pintu kamar bertuliskan 41.
Tanpa mikir banyak, gue gak ngetuk, Cuma mengirim pesan ke Tita mengatakan jika gue udah berdiri di depan kamar mereka.
Tak lama, bukan pesan balasan yang gue terima, tapi….. pintu kamar langsung kebuka.
“Wah…. pak Adam nekad juga ternyata” itu Tita. Ah betapa leganya perasaan di dalam sana. Setidaknya, gue gak benar-benar gagal malam ini. Lebih tepatnya belum sih. Hahaha! Dan cara dia berbicara tadi, tentulah dengan cara berbisik pelan.
Wajahnya tampak segar, begitu juga senyumnya yang tersungging manis di bibir. Meski bajunya tampak sangat sederhana, tapi… oh gusti. Cantik banget nih perempuan.
Terkutuklah wahai engkau suaminya. Bodoh banget malah memilih melaut ketimbang mengail di kedalaman kemaluan bininya.
Pandangan gue terpaku untuk sesaat. Kain tipis menempel di tubuhnya yang sintal, menguraikan tonjolan payudaranya yang kemarin sempat gue kerjain.
Puting mungil yang menyodok di balik jilbabnya, oh shit…. gue terbakar bro. sangat terbakar.
Eh tunggu…. Apa dia tidak memakai bra?
Pengen banget gue menghisap dan menjilati putingnya bergantian, menggigiti lembut putingnya yang mungil kemerahan sementara Tita mengubur jari-jari tangannya di rambut gue.
Oh shit…. gue gak tahan lagi.
“Kok…. di… diam aj… aja Pak?” Terdengar suaranya terbata-bata. Mungkin dia sudah gugup. Dan mungkin ia sudah menyadari, apa yang akan selanjutnya terjadi. Siapa suruh menggoda, kini gue yang tergoda gak bakal ngelepasin kesempatan terakhir ini.
Tanpa tendeng aling-aling, segera gue dorong pelan tubuhnya masuk ke dalam kamar. Tita sampai menutup mulutnya, buat menahan pekikannya. Biar gak di dengar oleh orang lain, atau bu Sari yang sepertinya masih berada di kamar mandi. Karena gue juga sempat mendengar suara keciprat air di dalam sana. Sepertinya bu Sari melakukan hal yang sama seperti Dinda. Lagi berendam di bathup.
Abaikan Bu Sari…
Waktunya untuk menyantap makan malam gue kali ini yang beberapa malam tertunda melulu.
Tentu saja setelah gue dorong Tita masuk. Tak lupa tangan gue sempat menutup rapat pintu kamar.
Baiklah…..
Bro komeng, sudah siap juga dengan ketegangan dan ketegakannya di bawah sana. Hohoho! Waktunya eksekusi kawan………………
Lanjut aja woi. Jangan banyak bacot, lo Adam brekele.
Hahaha…. oke. Emang gue mau lanjut, kok.
See? Dasar om monolog sialan, giliran ginian aja, langsung nongol kek jelangkung.
So…. Karena gue gak punya waktu banyak sekarang. Maka, sesegera mungkin, sebelum Tita bereaksi berlebih, gue langsung memeluknya. Bukan hanya itu saja, sekali bergerak pantang bagi gue buat mundur. Hal itulah yang menambah semangat juang gue buat menggerakkan dengan cepat tangan ini menuruni punggung dan seterusnya, sampai tiba di belahan pantatnya yang bulat menggoda, lalu berhenti tepat disana.
Ini sebagai ajang pertaruhan nyawa, bro. Karena gue gak tahu sama sekali sampai kapan bu Sari di dalam kamar mandi. Tapi bodo’ amat lah. Nafsu udah menguasai, alhasil nekad pun mulai terbang bebas ke angkasa.
Mendapatkan tindakan tiba-tiba dari gue, Tita mendesis, “J-jangan!”
Jangan? Oh gak semudah itu, ferguso. Lo yang menggoda, jadi jangan salahin gue kalo langsung tergoda. Tentu saja, perkataanya itu gue abaikan.
Malah kini mulai gue remas-remas ringan bokong bulat yang terasa hangat itu. “Bu Tita cantik banget…. sumpah!” sambil berucap, sambil gue tempelkan batang penis ini di depan perutnya, gue biarkan dia merasakannya. Merasakan bagaimana berhasratnya ia yang tak sabar buat menerobos masuk ke liang terdalamnya.
Mata Tita melesat menuju kamar mandi di mana Bu Sari berada. “J-jangan nekad.” ingatnya.
Gue mendengus dan semakin meremas-remas gemas, setelahnya, gue mulai menciumi juga pipi dan bibirnya yang merekah indah.
“Ohh Pak Adam…. jangan!” Tita berbisik, tangannya gantiin bibir gue yang sempat mencium – masih berusaha membungkam, meredam suaranya yang di landa birahi itu.
Gue acuhin….
Karena gue juga udah terbakar banget.
Selanjutnya, karena gak ada perlawanan yang berarti, gue mulai menariknya buat lebih dekat, buat mencari bibirnya kembali.
“Ada bu Sari di da… dalam” ia memprotes, tapi hampir tak terdengar.
“Biarkan saja” Gue bersikeras, apalagi selanjutnya, bibir ini sukses mendarat di bibirnya yang lembab.
“Katanya kalo bu Sari mandi, pasti lama….” gue membalas membisik, kemudian kembali menghujani bibir lembab itu dengan ciuman-ciuman lembut sebelum kemudian gue mulai meneroboskan lidah ini masuk menyelinap ke dalam mulutnya.
Tita mencoba untuk melepaskan diri, tapi gue segera memegangi bagian belakang jilbabnya untuk mencegah. Gue bisa merasakan tubuhnya menegang, apalagi saat mulai gue sentuh payudaranya yang sebelah kanan.
“Ikhhh!” Tita mencoba memberontak, tampak sangat terkejut dengan tindakan gue ini.
Tapi sebelum dia bisa mengatakan sesuatu, gue dengan cepat sudah membungkuk dan berbisik di telinganya, “Saya ingin membalas apa yang bu Tita lakuin ke saya kemarin”
Tita mendelik, terlihat panik dan terkejut. “T-tapi…” Dia tergagap sebelum gue memotongnya.
“Kita masih sempat kalau bu Tita tidak membantah lagi…. karena kalo tidak sekarang, mungkin kita sudah tak punya kesempatan lagi buat melakukannya” gue berbisik memaksa.