Skip to content

DRAMA Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Collab with Kisanak87 – NO SARA!)

CHAPTER 7​

Biar asyik. Dan juga gak langsung gene-gono, jadi ada baiknya sedikit gue bercerita tentang suasana di TKP saat kami tiba ya.

Jadi….

Suasana tempat kegiatan ini sangat ramai dan segala penjuru parkiran sudah ditempati oleh mobil–mobil yang sudah datang duluan. Lapangan disekitar tempat kegiatan dipenuhi tenda–tenda yang besar dan entah apa fungsi dari tenda–tenda itu.

Apa mungkin dijadikan untuk tempat menginap para peserta kegiatan ya? Kalau gue mah ogah tidur ditenda–tenda itu. Mending tidur di hotel sama Dinda atau kalau perlu dengan wanita–wanita yang bersama tadi di mobil kali ya? Plus, tanpa melupakan si cantik Rahmi tentunya. Wahhh, pasti semakin sempurna deh hidup gue selama di sini.

Gue terus memutarkan mobil dan mencari parkiran untuk mobil kesayangan gue ini. Kalo gue markir sembrono, yang ada gue takut bakal lecet. Mana gue belom sempat buat ngelapisin bodynya dengan Nano Ceramic Coating di bengkel langganan, hmm, sejujurnya udah kepikiran sih Cuma waktunya aja belom sempat – baca = Males.

“Yah, Yah. Itu ada parkiran kosong.” Dinda menunjuk ke arah satu slot tempat parkir mobil yang berada paling ujung. Dan menurut gue, lumayan luas dan lumayan bisa masuk satu mobil gede seperti mobil gue, tanpa menghalangi pintu yang membuka sempurna nantinya. Coba di bayangin kalo posisi slotnya mepet, membuka pintupun harus hati-hati.

Tanpa banyak basa-basi dah….

Pada akhirnya gue langsung mengarahkan mobil ke arah parkiran yang kosong itu, lalu gue memarkirkan mobil gue ditempat itu.

“Akhirnya.” Sedikit gue helain nafas, sedikit juga gue kretekin kepala ke kiri lalu ke kanan karena terasa agak kaku, karena sejak tadi berkemudi dengan siksaan si komeng brekele di bawah sana yang belom mau tidur dengan nyaman.

“Mau dipijit Pak?”

Loh he?

Eh si anjir.

Itu si Tita, apakah seriusan ataukah hanya candaan doang?

“Ayah mau dipijitin ama bu Tita?” Degh!

Wait… wait. Ini Dinda seriusan kah?

Oh tidak. Tentunya pasti Cuma canda doang, mana mau dia lakinya di sentuh ama wanita lain. Istri mana sih, dengan ikhlas membagi suaminya buat di pake rame-rame? Hahay. Ngimpi lo tong… tong!

Maka dari itu, dengan santai gue respon candaan mereka dengan berucap, “Kan ada Bunda. Jadi tak perlu lah sampai bu Tita capek-capek mijitin ayah….” udah… berhenti sampai disitu tanpa pake sambungan segala.

Namun…..

“Tapi kalau Bunda…” Anjir bacot gue. Pake acara di sambung segala.

“Ngijinin, oke aja. Hahaha.”

Syukurlah. Karena itu bukan dari bacotan gue yang ngeluarin kalimat selanjutnya. Itu si Mia yang menyahut.

“Ayahhh. Iihhhh.” Dinda terlihat gemes amat ama gue.

“Loh, bukan ayah yang sambung malah bunda jadi kesel. Gimana sih?”

Yah, Cuma gitu doang.

Gue hanya tersenyum penuh makna, sembari memundurkan kursi kebelakang, lalu gue meluruskan kaki yang agak keram ini. Posisi Komeng yang miring kekiri, pengen gue benerin, tapi takut istri gue curiga kalau gue lagi konak. Hahaha.

“Sudah ah. Kita turun yuk.” Ajak bu Sari dan Tita serta Mia keluar dari mobil gue.

“Gak ada yang ngambil tas dibelakang nih?” Gue bertanya pada wanita-wanita ini.

“Tolong ambilin tas kecil bunda yang warna hitam dong yah.” Ucap Dinda.

“Siap bos.” Sahut gue dan Dinda langsung keluar mobil, lalu bergabung bersama bu Sari dan Mia yang ada didepan mobil gue.

Gue langsung keluar dari mobil, lalu menuju ke arah belakang mobil. Tita ternyata sudah menunggu dibelakang dan doi mau mengambil tasnya.

“Mau ngambil tas bu?” Gue bertanya dan Doi hanya mengangguk pelan.

Loh, yang gue lihat sekarang, nih betina malah berubah sikap. Kenapa lo bu?

Tadi aja, pas di mobil waktu sahutin gue melulu, gak kayak gini. Kenapa sekarang dia malah terlihat canggung? Tidak se-semangat tadi waktu di dalam mobil. Apalagi semua sahutannya pakai kata–kata yang vulgar. Mungkin karena kami belum begitu akrab, jadi ketika berdua seperti ini, Tita merasa sungkan sama gue.

“Itu tas aku.” Tita berucap ketika gue membuka pintu mobil. Dia membungkukan tubuhnya sedikit ke arah dalam mobil dan posisi bokongnya itu, yang menjadi santapan sepasang mata tak berakhlak gue ini, menyempurnakan ketegangan di bawah sana.

Oh Shit!

Sempoooornahhhhh beud tuh bokong.

Sambil melihat bokongnya yang nungging sempurna itu, gue sampe-sampe ngepalin kedua tangan gue, jangan sampai malah kelepasan, malah langsung nampar-namparin tuh bokong. Bukan hanya itu, malah kemungkinan bakal mulai meremas-remas bongkahan daging yang super montok sekseeeh menggiurkan itu.

Kembali ke Tita yang menyiksa meski sesaat doank. Kini, tangan kanannya yang menggapai tasnya, membuat buah dadanya yang bulat sempurna itu, terlihat bergantungan, seperti buah mangga yang siap untuk dipanen. Dan semua itu jelas terlihat meski masih tertutup rapat dengan pakaian yang di kenakannya. Tapi dasar otak mesum, ada aja cara buat memanjakan imagi ini, toh, dari pengalaman gue yang selalu menebak sang mangsa, nyaris 99% benar semua. Dan mungkin juga, tebakan gue terhadap akhwat satu ini pun tak meleset nantinya. Entah kapan, bisa gue buktikan sendiri dengan membukanya, mempreteli satu-persatu pakaian yang akhwat liar ini kenakan.

Belom lagi….

Gamis lebarnya yang tidak mampu menutupi lekukan tubuh Tita, ohhh rasa-rasanya gue gak mampu untuk menahannya lagi, ingin rasanya gue menarik ke atas gamis lebarnya itu, lalu gue turunin celana dalamnya, terus… dan terus…. ahhhh, sudahlah. Gue gak mampu buat ngelanjutin lagi kalimat laknat gue yang mulai melecehkannya meski hanya sebatas imagi saja.

Untung juga hanya sebatas imagi, bayangin aja kalo gue nekad ngelakuin itu semua, ngelecehin akhwat kawan Dinda ini di sini, detik ini juga, bisa digampar sama satu majelis yang hadir sekarang.

“Ehem” Tita yang mengejutkan gue dan bertepatan pandangan mata gue yang melihat ke arah buah dadanya.

“Saya bantuin turunin bu.” Gue menawarkan bantuan kepadanya.

“Apanya yang diturunin pak?” Tanya Tita sambil menenteng tas kecil yang sudah diambilnya dan pandangan matanya terlihat sangat menggoda.

Apalagi….

Jenak berikutnya, ada cekikian lembut tak jelas darinya dan langsung spontan gue sadari jika matanya kini – mulai melirik ke arah bawah. Oh shit. Gue gak sadar kalo tenda yang telah terbentuk di permukaan tepat di depan celana gue semakin menjadi-jadi.

“Apa aja bu. Yang penting bisa buat ringan dibadan” Ucap gue ngasal, karena tatapan matanya bikin gue mulai salting.

“Oh, kalau itu urusan bapak dan bu Dinda. Hihihi” Ucapnya dengan suara yang sangat manja, lalu setelahnya, Tita pun mulai melangkah ke arah depan mobil, mulai bergabung dengan tiga wanita lainnya di sana.

Saat berjalan inilah. Gue Cuma bisa nelan ludah sembari tak mampu mengalihkan tatapan sepasang mata ini pada bokongnya yang padat meliuk–liuk indah.

Ukhhhh jadi pengen nampar beneran tuh bokong, bro.

Awas ya Tit. Titit? Haha…. Semoga semesta memberikan kesempatan buat merealisasikan semua imagi dalam tempurung kepala gue ke elu, nantinya.

Nanti setelah ‘beneran’ terealisasikan, dan lo beneran bisa merasakan gimana ganasnya gue saat di ranjang, gue yakin, amat sangat yakin kalo lo gak akan berani menggoda gue seperti ini lagi.


Huuu. Akhirnya disinilah sekarang gue terdampar. Ditempat yang acaranya pasti membuat gue bosan dan jenuh. Kalau bukan karena para wanita-wanita cantik itu, sejujurnya gue malas ada disini.

Karena berdasarkan hal males itulah, gue mendekati Dinda. Setidaknya, gue gak bener-bener ngikutin acara ini keseluruhannya. Gak mungkin juga kan, gue nginep di tenda sedangkan gue berkemampuan untuk sekedar membuka kamar hotel selama berada di sini.

Bu Sari, Mia dan Tita saat ini, sudah bergabung dengan rombongan MKTI dari kota kami, yang berkumpul tidak jauh dari tempat gue parkir.

Dinda yang – gue sadari dari gesturenya, sepertinya mau ngajakin gue buat gabung ama yang lainnya, segera gue sela saja. “Bun, kalo gitu ayah nyari hotel terdekat ae lah yah. Biar ayah lebih dulu ke hotel. Ntar kalo bunda selesai acaranya, baru bunda nyusul ke hotel” gue mengeluarkan rokok, lalu membakarnya.

“Ih ayah. Kan semua peserta harus nginap di tenda–tenda itu” Dinda menunjuk ke arah tenda yang ada dilapangan sana.

“Loh, jadi bunda gak nginap di hotel gitu?” Tanya gue.

“Bukan bunda aja, tapi ayah juga.”

“Ogah. Ngapain ayah tidur ditenda gitu. Bakal sakit semua badan ayah nantinya atuh bun. Lagian kita dari perjalanan jauh loh. Butuh istirahat yang nyaman.”

“Ya sudah, kalau gitu ayah aja yang tidur di hotel. Biar bunda tidur ditenda sama yang lain.” Sahut Dinda dan ini kabar yang buruk buat gue.

Gue yang sudah menahan ketegangan gue selama diperjalanan tadi, malam ini harus dapat tempat penyaluran. Bukannya gue ngebet atau bagaimana bro. Selain karena gue sudah menahan konak, sensasi ngewe dihotel sama di rumah itu beda banget. Kalau di hotel itu, nafsunya bisa naik berkali–kali lipat dan suasananya itu seperti lagi sedang honeymoon aja.

“Ya gak bisa gitu dong bun. Memangnya bunda bisa tidur nyenyak, sebelum ngewe sama ayah?”

“Idihhh…. pikirannya ih, ke situ mulu. Dasar suami mesum…”

“Ya mesumnya kan sama bunda. Gimana sih?”

“Ya udah, ya udah. Ayah atur aja.” Dinda berucap dengan pasrah dan tidak mau ada debat lagi.

“Dek Adam. Kok malah mau pergi. Padahal…. aku berharap dek Adam bisa join bersama kami semua loh.”

Wanjay….

Baru juga gue pen putar haluan, baru pen melangkah ke mobil setelah punggung tangan ini baru aja di kecup bini, tiba–tiba saja, sapaan merdu yang langsung gue sadari – jika yang menyapa adalah Umi Rahmi, yang datang dari arah belakang.

Wait belakang?

Sebuah pertanyaan laknat muncul, apakah tadi Rahmi sempat mendengar obrolan gue dengan Dinda ya? Ngarepnya sih, ‘Iya’.

Dan satu lagi….

Join? Join apa dulu nih maksudnya? Join sama Umi Rahmi, Mia, Tita dan bu Sari gitu? Terus kami disediakan tenda khusus?

Wahh. Kalau gitu mah, gak tidur dihotel juga gak apa–apa. Gue mampu kok main langsung berlima – ini bukan lagi trisum cuy, kastanya udah jauh lebih tinggi, malah udah ‘Limosum’ – apalagi si komeng sialan di bawah sana-pun pasti gak akan nolak dikasih yang seger-seger kek gini.

“Ini khusus loh, aku yang minta…….” belom juga gue tersadar dari lamunan laknat bin mesum ini, wanita cantik itu melanjutkan, “Karena ini pesan khusus dari Buya, tuh beliau…. beliau yang nyuruh umi buat nahan kepergian dek Adam. Dan maksain buat Dek Adam ikutan loh.”

Ahhh…. kirain.

Kirain wanita itu yang secara khusus meminta gue. Spontan kuasa birahi tiba-tiba mereda setelah mendengar nama kakek tua itu disebut.

“Yuk dek Dinda… dek Adam. Gabung ama yang lain”

Gue ma Dinda hanya ngangguk, tanpa ngasih jawaban pasti padanya. Lalu setelah mengatakan itu, Umi Rahmi melangkah meninggalkan gue dan Dinda.

Seriusan. Tadi ngarep banget kalo wanita itulah yang justru secara khusus minta gue buat join di acara mereka. Ternyata si tua brekele sana, yang juga lakinya itu. Tepok jidat. Merusak imajinasi aja tuh kakek.

Umi Rahmi yang berjalan belum jauh dari posisi gue berdiri ini, membuat pandangan mata tak berakhlak gue ini langsung terpaku pada tubuh menggiurkannya. Lebih tepatnya menatap ke bokong yang lagi bergeol-geol indah.

“Ayah…”

Gedebuk! Gue kaget cuy. Tiba-tiba mulut bini gue udah nempel di telinga. Mana ngomongnya sampai berbisik gitu.

“Sepertinya ayah harus ajakin bunda sekarang ke hotel deh. Biar ayah nuntasin birahinya ayah sekarang…. daripada ayah ileran gitu liatin pantat umi yang geol-geol”

Wanjay, ketahuan rupanya. Hahahahah!

Bro meng….

Siap–siap ya. Malam ini kita berdua akan bekerja keras, dibawah pengaruh nafsu yang mulai membuas.

BERSAMBUNG CHAPTER 8​

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *