Dan di sinilah gue berada.
Hahahayyy..
Di depan rumah bu Sari. Lebih tepatnya di depan pagar rumahnya yang masih dalam kondisi tertutup. Uhkkkk. Jadi makin berdebar-debar bro. sumpah…..!!!
Awalnya gue pengen markir tepat di depan pagarnya, Cuma kalo di pikir-pikir lagi, biar gak langsung ketahuan kedatangan gue oleh sang empunya rumah yang masih di dalam rumah, alhasil gue pun berinisiatif markir di seberang jalan, jadi posisi mobil pun tak begitu sejajar dengan rumah yang gue pengen kunjungi sekarang. Meski…. ya, meski gue juga sudah punya alasan tepat sih untuk kesini, kan gue sedang membawa titipan Dinda.
Beres markir mobil…. hmm! Apalagi ya? Gue masih mencoba untuk berfikir dulu sebelum gue bener-bener keluar dari mobil. Lantas, apa yang harus gue pikirin ya? https://maindwtg88.cc/TepokJidat!
Udah ajalah, mending gue turun sekarang. Toh! Gue kan membawa serta titipan Dinda, bukan? Begitu terus yang gue coba sugestikan di dalam diri ini, biar gue gak begitu terlihat aneh, karena datang ke sini tanpa sebab muasab sama sekali. Serta salah satu cara buat menambah kepercayaan dan ketenangan diri di dalam sana.
Well! Setelah gue merasa semuanya gak ada masalah lagi, dan setelah gue sangat yakin dengan keinginan gue buat menemui wanita itu, maka gue segera membuka pintu mobil, keluar dari mobil dan tak lupa mengambil kue yang di titipkan Dinda buat sang empunya rumah di sana.
Gue pun mulai melangkah menyebrangi jalan yang tak begitu besar ini. Kemudian, begitu tiba di depan pagar, gue sempetin untuk memberi salam.
“Assalamualaikum.” Gue mengucapkan salam dengan suara yang tentu saja gak keras. Gak perlu sampai tereak-tereak gak jelas. Oke forget it! Kayaknya keliatan banget kalo gue masih di goda oleh kegugupan, ya? Hahaha!
Gue memberi salam lagi ah, “Assalamualaikum….”
Salam gue kedua ini, di saat gue sudah berdiri di depan pintu pagar rumahnya yang masih dalam kondisi tertutup.
Krieeeekkkk!
Pintu rumah dibuka. Ahhh itu dia orangnya.
Bu Sari keluar dengan memakai daster rumahan bermotif bunga berwarna hijau muda dan memakai hijab simple, lebar berwarna hijau tua. Pakaian khas ibu-ibu rumahan, tapi tidak mengurangi aura keseksian simanis.
“Walaikumsalam. Eh, Pak Adam?” Bu Sari terlihat gugup dan sedikit panik.
Mungkin dia tak menyangka kedatangan gue yang mendadak ini.
Si manis jembatan besi…. ups salah, si manis berhijab itu berdiri didepan pintu rumah yang terbuka dan dia terlihat ragu untuk mendekat ke arah gue. Kelihatannya Dinda tidak mengabari bu Sari, kalau kedatangan gue, selain ingin mencari tahu jawaban yang sebenar-benarnya dari dia atas kejadian perselingkuhan gue dan Tita, tentu saja, tujuan utama gue juga tak lain dan tak bukan, datang untuk membawakan kue pemberian Dinda ini.
“Ada apa Pak?” Tanya bu Sari. Masih tampak jelas, jika ia berusaha untuk tenang, meski gue akui hal itu gagal ia lakukan. Wanita emang sulit buat menyembunyikan kegugupan di hadapan seorang pria. Sama seperti wanita ini.
Biar dia tenang di awal, dan tak begitu di kuasai oleh setan gugup, alhasil gue mengangkat bungkusan yang gue bawa serta, “Mau bawakan kue buatan istri saya bu.”
Gue bahkan sampai mengangkat bungkusan kue agak tinggi, agar terlihat oleh bu Sari.
“Oh iya pak..” akhirnya…. bu Sari mendekat kearah gue, lalu berdiri dibalik pagar, tanpa ada tanda-tanda membuka pintu pagar.
Gue menurunkan tangan gue yang terangkat, sengaja gue tidak langsung menyerahkan bungkusan kue ini ke bu Sari. Ya, masa iya gue yang capek-capek bertamu ke sini gak di bukain pagar rumah. Kan kesannya malah gak sopan.
“Maaf pak, suami saya tidak ada dirumah.” Bu Sari memberikan kode, kalau pintu pagar ini tidak bakal ia buka.
Waduh!
Apa gue langsung putus asa? Hoho, tentu tidak kawan.
“Loh, memangnya kenapa bu? Saya hanya ingin bertamu dan saya gak punya niat jelek kok.” Gue mengucapkannya dengan sehalus mungkin. Tujuannya sih biar ngeyakinin bu Sari, tentang kunjungan gue ini.
“Saya tau niat Pak Adam baik.. tapi karena suami saya tidak ada, saya gak berani membukakan pintu pagar.” Bu Sari menunduk dan tidak berani menatap mata gue.
Seharusnya jika memang niat gue beneran hanya untuk nganterin kue ini doang mah, pasti gue gak akan capek-capek menggunakan skill SSJ (speak speak jahannam) gue, Cuma kan, niat gue yang sesungguhnya ialah…. ah sudahlah, kalian semua pasti paham kan, niat gue yang sebenar-benarnya. Kalo masalah kue mah, Cuma sekedar menyamarkan saja.
Dan saat inilah gue mulai melancarkan kata demi kata yang mumpuni, yang gue selalu yakin, tingkat keberhasilannya nyaris 100 persen.
“Justru kalau lama-lama saya berdiri didepan pagar dan kita mengobrol seperti ini, tetangga ibu akan curiga. Malah takut akan terjadi fitnah juga, bu” Gue menolah ke kanan dan ke kiri.
“Lagian… bukankah menerima tamu tanpa membukakan pintu pagar, agak kurang sopan, bu? Maaf jika saya salah…..”
Lingkungan sekitar perumahan ini terlihat sepi dan mendukung sekali, dengan rencana gue yang ingin masuk kedalam rumah.
Dan itu harus gue realisasikan. Gak mungkin kan, obrolin masalah ewe mengewe di luar sini? Hahahahaha!
“Tapi pak.” Bu Sari masih terlihat ragu.
Apa gue tembak aja langsung ya?
Ok baiklah…. mungkin memang gue tak punya waktu banyak, apalagi memiliki waktu buat bermain kata-kata sekarang ini.
“Saya ingin menjelaskan sesuatu kepada ibu dan tidak mungkin saya jelaskan di luar sini.. dan saya yakin, apa yang akan saya jelaskan ini, bu Sari paham juga”
Perhatian wanita ini mulai tertancap pada sepasang mata ini. Dan gue gak akan memberi ruang untuk berfikir lagi, maka gue pun segera lanjutin ucapan gue. “mohon ijinkan saya masuk sebentar, bu…. setelah itu, setelah saya jelaskan ke ibu, maka saya janji, saya akan langsung pulang.”
Bu Sari terlihat semakin bingung sembari melihat situasi sekeliling rumahnya.
“Bu Sari.” Gue berbisik, sembari menyebut namanya. Rupanya, dia tadi sedang melamun, sedang di landa dilema di dalam sana, buktinya…. begitu gue berbisik memanggilnya, ia malah terkejut dan salah tingkah.
“Eh…. iya…. bagaimana ya pak?” dia makin bimbang.
“Ku mohon bu. Karena kalo ini tetap di diamkan, saya takut malah akan menjadi duri nantinya…. jadi, ku mohon bu. Lebih baik selesai saat ini, daripada di pendam dan menjadi duri tajam di kemudian hari, yang tentu saja, saya yakin, bukan hanya saya yang akan bermasalah di kemudian hari, melainkan ada orang lain juga yang akan terkena masalah tersebut. Dan saya yakin, bu Sari paham kemana arah kata-kata saya ini”
Bu Sari menarik nafas dalam-dalam.
Dari cara ia menatap, gue makin yakin, jika kebimbangannya mulai luntur. Mulai di rasuki keyakinan jika gue bener-bener hanya ingin mengobrol doang.
“Oh iya pak.. Tapi sebentar aja kan.?” Dan yah…. akhirnya Bu Sari mulai berubah pikiran.
“Iya bu. Lagian saya gak bisa lama-lama, karena saya sudah ditunggu Dinda dirumah.” Gue kembali meyakinkan bu Sari.
“Baiklah pak.” Bu Sari membalikkan tubuhnya, lalu melangkah masuk kedalam rumah.
Beberapa saat kemudian, bu Sari keluar lagi sambil membawa kunci pagar. Si manis ini membuka pintu pagar tanpa melihat kearah gue seperti yang tadi ia lakuin di saat proses memberinya keyakinan.
“Maaf pak, kita ngobrolnya jangan diteras ya.. takut kelihatan tetangga.. kita ngobrolnya diruang tamu aja.” Bu Sari membuka pintu pagar dan gue langsung menganggukan kepala.
Namun tanpa wanita ini sadari, betapa bersoraknya dalam hati gue sekarang ini. Yah gimana kagak bersorak, wong emang hal inilah sudah sesuai dengan rencana gue. Emang lebih elok, gue ajak ia berbicara di dalam rumah.
“Silahkan masuk Pak.” Bu Sari mempersilahkan gue masuk ke pekarangan rumahnya.
Gue masuk, tapi gue berhenti tidak jauh dari bu Sari yang menutup pagar dan kembali menguncinya.
“Mari pak.” Setelahnya, Bu Sari berjalan lebih dahulu. Mata biadab gue, langsung tertuju pada bokong semoknya yang menyembul dibalik daster yang dipakainya.
Uhhhh. Kalau sampai gue bisa meremas bokong semok itu, gue pasti akan bahagia sekali.
Tapi….
Biar gue gak di kuasai birahi, gue cepet-cepet mengalihkan pikiran serta pandangan gue dari bokong semok si manis, dan langsung mengikutinya berjalan masuk kedalam rumahnya.
“Silahkan duduk pak.. Tapi maaf, pintunya saya buka aja ya.” Bu Sari berdiri di dekat kursi yang ada didepan gue, dengan tatapan mata yang sedikit tajam.
Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, karena wajahnya yang tadi terlihat kebingungan, sekarang justru terlihat agak dingin.
“Oh, gak apa-apa bu.. Terimakasih saya sudah diberi waktu untuk berbicara empat mata dengan ibu.” Ucap gue sambil duduk disofa.
“Oh iya…. ini kue buatan Dinda bu.” Gue meletakan bungkusan kue diatas meja.
“Terimakasih. Langsung aja. Apa yang ingin bapak jelaskan kepada saya.” Bu Sari mengatakan dengan nada yang sedikit tegas.
Si manis menatap masih dengan dingin dan tajam. Namun, gue membalasnya dengan santai, malah cara gue menatap, saat ini agak dalam kebola matanya.
Gue gak ingin kalah dengan tatapan mata bu Sari, karena menurut gue, pandangan mata itu akan mempengaruhi hasil pembicaraan. Kalau kita sudah bisa menguasai dirinya lewat tatapan mata, itu sudah satu point buat kita mendominasi lawan bicara.
Baiklah bu Sari.
Gue juga gak lagi kepengen berbasa-basi busuk, maka, mari kita mulai permainan ini.
“Ini tentang saya dan bu Tita.” Gue mengucapkan serangkai kalimat tersebut dengan sangat tenang. Dengan masih menatap ke bola matanya dengan amat sangat tenang.
“Memangnya ada apa dengan Pak Adam dan Bu Tita?” begitulah ia bertanya, dan seolah ingin menunjukan jika ia tidak tau apa-apa, padahal sudah jelas, amat sangat jelas kok, kalo dia sudah melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Bahkan mata gue dengan matanya saling bersitatap beberapa jenak lamanya, pas kejadian gue lagi garap si Tita.
“Saya tidak perlu menjelaskan secara detail, tentang apa yang kami lakukan, karena ibu sudah melihatnya sendiri.” Gue melempar senyum hormat padanya. Masih berusaha tetang ketenangan ini berjalan pada koridor semestinya.
Sedetik, gue menangkap kekikukannya. Dan itu, menandakan jika kini, obrolan sudah dalam penguasaan gue sepenuhnya.
“Eh, kalau itu.” Nah benerkan? Bu Tita terlihat bingung tapi hanya sebentar dan dia bisa menguasai dirinya lagi.
“Saya hanya ingin menjelaskan ke ibu, kenapa hal itu bisa terjadi…. Ya walaupun sebenarnya gak perlu juga saya melakukan ini, karena apa yang kami lakukan itu atas dasar suka sama suka dan tidak ada yang terpaksa.” Gue mengucapkan itu sembari masih terus menatap ke dalam matanya.
“Kalau begitu, kenapa juga Pak Adam datang dan menjelaskan masalah itu dengan saya?”
“Karena saya tidak mau ibu berpikiran macam-macam kepada bu Tita dan juga saya.”
“Pak Adam dan bu Tita sudah melakukan hal yang sangat diluar batas dan saya tidak boleh berpikiran macam-macam? Hey.. Kalian berdua sudah selingkuh loh. Sudah mengkhianati pasangan masing-masing…. ckckckck….!!!”
Waduh….
Tiba-tiba respon bu Sari di luar prediksi gue coeg!
Tiba-tiba saja, dia ngegas tanpa tendeng aling-aling.
Ahhhhh! Gue harus bisa mengendalikan kembali obrolan ini.
…
…
…
Update lagi Chapter 29 nya.
Lama ya? yah gak apa-apa, hitung-hitung melatih kesabaran reader sekalian. Hahay. Tapi, jika yang udah gak sabaran buat nunggu, nah, baru deh bisa PM ane. Nanti ane bisikin tempatnya yang udah lancar update bahkan udah tamat cerita ini.