CHAPTER 30
Karena ini sudah masuk pada momen-momen menegangkan, jadi gue janji, gue gak bakal berbasa-basi busuk kayak biasanya di setiap pembukaan chapter baru. Haha!
Apalagi, sebelumnya juga, bu Sari sempat ngegas. Terpancar di wajahnya, bagaimana ia menahan semua gejolak rasa di dalam dirinya sejak awal ia melihat dengan jelas kejadian gue bareng sahabatnya si Tita itu, sedang melakukan adegan di luar nurul.
So… Mari kita lanjutkan, kawan!
Setelah tadi gue denger bu Sari ngegas, lantas gue melempar senyum padanya. Tentu saja senyum yang gue buat, masih senyum yang menunjukkan jika gue, gak terpengaruh sama sekali oleh keadaan saat ini. Gue tenang. Masih amat sangat tenang.
Karena percayalah. Semakin wanita ini menunjukkan sisi emosionalnya, semakin membuat gue menguasai permainan yang terjadi.
“Jadi begini bu. Saya jelaskan mulai dari awal..” akhirnya setelah gue menanti wanita di hadapan gue buat nerusin ucapannya, yang ternyata memilih untuk diam, untuk menenangkan hati dan pikirannya itu, alhasil gue pun mengambil giliran untuk berbicara. “Dimalam terakhir kegiatan MKTI, saya tidak sengaja bertemu dengan bu Tita yang baru mengantarkan Umi Rahmi ketenda, yang juga kebetulan saya posisinya mau pulang ke hotel.”
Tak ada respon dari bu Sari, maka gue teruskan penjelasan gue ini. “Kami mengobrol sebentar dan saya melihat bu Tita sangat sedih sekali.” Gue mengambil jeda buat menarik hembuskan nafas sesaat, karena, buat menerangkan padanya, gak boleh secara buru-buru, harus penuh irama, lembut, tapi tetap tegas dan penuh penekanan. Apalagi sambil menjelaskan, sepasang mata ini masih lurus menatap ke dalam bola matanya, menunjukkan jika apa yang gue ceritakan ini, adalah benar-benar terjadi. Wong emang bener kok, Cuma tentu saja gue sedikit memodifnya biar terkesan, di sini gue gak keliatan nge-bet banget sedari awal kami bertemu.
Gue pun melanjutkan, “Intinya itu, suaminya bu Tita yang harusnya cuti minggu-minggu ini, ternyata entah karena alasan yang tak mampu di terima oleh bu Tita, yang ternyata harus ditunda enam bulan lagi. Cerita dari bu Tita sih, katanya suaminya itu ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.”
Bu Sari masih diam. Sepertinya dia juga memilih untuk membiarkan gue nyelesaiin cerita gue ini. Ya udah, karena dia masih diam, tapi, gue juga menangkap jika ekspresinya tak se-emosional tadi. Mulai mencair, meski masih secuil saja, alhasil gue pun lanjutin lagi, “Saya mencoba menghiburnya dengan mengajaknya ngobrol panjang, tapi tidak mungkin ditempat itu, jadi saya mengajaknya ke hotel tempat saya menginap.”
Begitu gue menghentikan cerita gue, yang niatnya mau lanjutin setelah gue ngambil nafas dulu, eh, tiba-tiba ekspresi bu Sari berubah. Matanya tadi yang sudah tak semenyala di awal, langsung menyipit, seakan sedang menerawang jauh di belakang sana. Apa dia curiga? Lantas apa yang ia curigakan, wong, sudah kejadian juga kok. Wong, gue bener-bener udah di tangkap basah sama dia lagi berasyik masyuk dengan sahabatnya itu.
Tentu saja, gue pun membalas tatapannya.
“Oh, saya ingat itu. Waktu itu bu Dinda video call Pak Adam dan Pak Adam lama mengangkatnya ya?” Tanya Bu Sari masih memicingkan sepasang matanya ke arah gue. Setelah mendengar pertanyaannya itu. Gue mengangguk. Karena emang bener kayak gitu kok yang terjadi waktu itu.
“Oh.. jadi sebelum melakukan dikamar kami, kalian berdua sudah melakukan itu dikamar bapak sendiri, malam sebelumnya ya?” Tanya Bu Sari lagi. Waduh! Kok malah ia maen ngasal nebak kek gitu sih. Andai saja emang kek gitu, gue gak bakal mungkin nekad ngelakuin di kamar 41, kale bu.
Karena gak dapet sama sekali itulah, pada akhirnya gue nekad. Dan yah, seperti yang juga telah kalian ikuti selama ini, bagaimana gue nahan siksaan dewa mesum karena godaan tak bertepi yang di berikan oleh Tita selama tiga hari di acara tersebut.
“Jahat…. Jahat banget!” bu Sari mengatakan itu sambil menahan emosinya yang kembali hadir dan menguasainya. Belum juga gue nyela ucapannya itu, dia malah melanjutkan, “Pak Adam sudah memanfaatkan situasi kesedihan yang dialami bu Tita, padahal dia adalah sahabat dari istri anda sendiri.”
Gue menarik nafas dalam-dalam. Kapan gue kepancing emosi, mungkin semua bakal buyar detik ini juga. Makanya gue masih berusaha tenang.
“Kami tidak melakukan hubungan badan dikamar saya bu.. kami hanya mengobrol.. kalau ibu tidak percaya, silahkan tanya ke bu Tita-nya langsung….”
“Oh iya?” dari nadanya itu, tampak jelas jika ia masih tak percaya dengan apa yang gue ucapin barusan.
“Ya dan memang itu yang terjadi. Kami melakukannya baru dikamar yang ibu dan bu Tita tempati kemarin.” Sambil menjawab, masih sambil melempar senyum lembut padanya.
“Mau dimanapun kalian melakukannya, ujung-ujungnya kan tetap selingkuh ‘kan.” Bu Sari mengatakannya dengan sinis.
“Ya… saya tidak bisa menampik itu bu, tapi, saya hanya ingin sekedar membela diri saja, tidak lebih. Jangan melihat dari sudut pandang yang lurus saja, bu. Sesekalilah, mencoba melihat dari sudut pandang lain, dan saya yakin, ibu pasti akan menemukan jawabannya”
“Tetap saja, kalian berselingkuh.”
Gue menarik nafas. Rasa-rasanya pengen banget gue tampar bibir wanita ini, bukan dengan tangan sih, melainkan dengan si komeng di bawah sana.
“Saya hanya sekedar membantu bu Tita yang sedang kesepian dan kesepiannya itu akan berlanjut sampai enam bulan kedepan. Ibu bisa bayangkan, bagaimana kalau sahabat ibu itu mencari laki-laki lain dan bisa saja itu malah merusak rumah tangganya.”
“Jadi Pak Adam mencari pembenaran dari kesalahan yang sudah bapak lakukan?”
“Seperti yang saya katakan ke ibu tadi, disini saya hanya mencoba untuk mendapatkan pengertian dari ibu, yang menjadi satu-satunya saksi kejadian tersebut…. dan satu lagi, sejujurnya, saya hanya sekedar mengagumi bu Tita dan saya tidak ada niat untuk memilikinya, apalagi merusak rumah tangganya. Saya masih mencintai istri saya dan saya yakin apa yang saya ucapkan ini, juga sama yang ada dipikiran bu Tita. Dia juga mencintai suaminya….”
“Mengagumi, gak harus menggauli pak.. Itu salah dan itu jelas-jelas adalah Zinah.” Bu Sari mengatakannya dengan sangat tegas sekali.
Fiuhhhh!
Dengan kalimat apalagi yah, buat gue bungkam nih si manis di hadapan gue?
Oh ya! Gue punya ide…..
Sebuah ide yang baru saja tercetus di benak. Dan tanpa menunggu lama, pun, gue dengan lugas dan masih menyikapinya dengan tenang, gue ucapkan dengan di hadapannya, “Dan ibu menikmatinya, dengan cara melihat kami berhubungan badan.. Apa itu bukan bagian dari zinah? Zinah mata.”
Yeah!!!
Skak Mat, lo.
Tentu saja, begitu mendengar gue ngomong kayak gitu, yang juga tak pernah sama sekali ia sangka, alhasil, kini, di hadapan gue – Bu Sari langsung terkejut. Amat sangat terkejut dan mendadak hening.
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi wanita itu saat ini ya. Haha! Jangan kawan, karena gue semakin merasa, jika gue menang selangkah.
Baiklah….
Gue gak boleh memberi jeda. Mumpung kuasa penuh ada di tangan gue sekarang, maka gue kembali nyerang. “Bu Sari…. dengarkan saya. Kita sudah sama-sama dewasa dan kita pasti tau batasan apa yang tidak boleh dilanggar. Kita hanya sama-sama mencari kepuasan batin dan saya yakin yang saya lakukan itu, justru akan membuat cinta saya kepada istri saya semakin menjadi.”
“Bukannya saya mencari pembanding kepuasan antara istri saya dan wanita-wanita lain, tapi saya justru belajar untuk memuaskan istri saya dari wanita lain.”
Gue melanjutkan. “Saya bisa menemukan hal baru dan hal itu bisa membuat hubungan kami lebih hangat diatas ranjang.”
Setelahnya, gue menarik nafas panjang-panjang, lalu, mengakhirinya. “Jadi begitu bu Sari ceritanya…..” gue pun pada akhirnya nyelesaiin cerita gue ke bu Sari.
Lantas bagaimana responnya?
Tampak jelas di hadapan gue, bu Sari langsung menarik nafas dalam-dalam, entah apa yang sekarang dia pikirkan.
“Jadi…. saya mohon, sikapilah dengan cara yang dewasa juga, ya bu.. saya yakin, bu Sari mengerti dengan maksud saya. Apalagi kedatangan saya kesini, memang khusus untuk membahas dan bercerita sejujur-jujurnya ke bu Sari kok.”
Akhirnya….
Setelah bermain kata demi kata, gue pun menyaksikan egonya mulai luluh.
Apakah ini saatnya gue maju ke step berikutnya? Mencoba untuk menguak jawaban atas apa yang gue skak mat-kan ke dia tadi.
Ya, mencoba gak mengapa juga, bukan?
Namun…..
Baru saja gue ingin berkata kembali, tiba-tiba saja gue denger suara motor dari luar.
“Ikhhh suami saya pulang pak” loh he?
Kok dia langsung keliatan panik pake banget ya?
Lagian kan, gak masalah juga kalo suaminya pulang terus ngeliat gue ma Bu Sari di ruang tamu, bukan? Lagian suaminya pasti tahu kedatangan gue kalo pas liat mobil gue markir di depan, di seberang jalan.
“Gak apa-apa kan bu, kalo ada saya di sini?”
“Nah itu masalahnya pak. Suami saya itu……” gue menyela.
“Cemburuan ya?” Bu Sari mengangguk pelan.
Oalah…. pantes saja, tadi dia awalnya gak mao bukain pintu pagar. Bukan takut akan fitnah, atau omongan dan cibiran para tetangga, melainkan ini toh akar masalahnya.
Tapi, setelah mendengar alasan itu, ketenangan gue yang sedari tadi gue pertahanin, mulai terganggu.
“Waduh, kalo gitu gimana dong?” gue bertanya. Malah jadinya kok gue ikut-ikutan berdebar ya? Mana mulai khawatir juga sih. Tepok jidat!
“Ya udah bapak ngumpet dulu….”
“Waduh. Kok kesannya saya kayak lagi maling ya?”
“Ku mohon pak.” Gue menatap ke dalam matanya. Tampak jelas kekhawatiran yang sangat berlebih di sana. Ya sudah apa boleh buat, alhasil dengan gerakan super cepat, dan di bantu oleh wanita ini, gue beranjak dan entah mau ngumpet dimana. Mana rumahnya juga gak gede-gede amat.
“Biasanya suami saya langsung mandi kalo nyampe kayak gini pak. Jadi bapak ngumpet saja di kamar saya, nanti kalo pas suami lagi mandi, baru pak Adam langsung pergi”
“Oke lah…. tapi, apa dia gak bakal curiga, kan mobil saya ada di luar”
“Suami saya gak tahu mobil bapak kok”
“Oalah”
“Buruan pak” bu Sari makin panik.
BERSAMBUNG CHAPTER 31